URGENSI PELESTARIAN EKOSISTEM LINGKUNGAN FISIK

PADA DESTINASI WISATA: PENGALAMAN DARI KAWASAN

EKOWISATA HUTAN MANGROVE BATU LUMBANG, DENPASAR, BALI

Harsanto Mursyid

Universitas Riau

Email: [email protected]

Khusnul Bayu Aji

Universitas Gadjah Mada Email: [email protected]

Madina Dwi Panuntun

Universitas Gadjah Mada Email: [email protected]

M. Adika Faris Ihsan

Universitas Gadjah Mada

Email: [email protected]

Milda Longgeita Pinem

Universitas Gadjah Mada

Email: [email protected]

ABSTRACT

The purpose of this study is to disclose the importance of preserving the Batu Lumbang mangrove forest in Denpasar, Bali. The mangrove forest is notable for its high biodiversity rate, and it is also become a popular tourist destination at the same time. This study employs convergent parallel mixed-methods data collection, which includes observation, mapping with Google Earth and Landsat 8 satellite imagery, semi-structured interviews with relevant key informants, and a literature review. Afterwards, descriptive techniques are used to analyse the data. The results indicate that the Batu Lumbang mangrove forest has a coverage area of approximately 85.9 Ha, with a rainfall tension of approximately 100 mm/year in the rain season and 60 mm/year in the dry season. Sixteen vegetation species were discovered in the mangrove forest compound, all of which are common in lowland and mangrove ecosystems. There are also 36 species of fauna, the majority of which are bird and

avian in nature. Furthermore, changes in land cover indicate a vibrant ecosystem in the Batu Lumbang mangrove forest area. So far, three types of land cover have been identified: mangrove forests, water bodies and the built environment. Mangrove forests remain dominant among these three, accounting for 60.35 %. As a result, it is no wonder that mangroves have become the primary tourist attraction in Batu Lumbang. Some preservation efforts related to tourism activities that can be made based on its ecological value include: establishing a system of visitor management, dealing with waste problems, and spatial management in areas with high biodiversity as a form of rigorous conservation initiative.

Keywords: preservation, ecosystem, mangrove, tourist destination, batu lumbang.

Pendahuluan

Keberlanjutan dalam konteks pariwisata telah menjadi agenda global sejak 1980-an sampai dengan hari ini, dan umum diterjemahkan ke dalam konsep pariwisata berkelanjutan (Page, 2004; Sharpley, 2009; Hall, 2010; Bramwell et al., 2017; Higham & Miller, 2017). Tidak dapat dipungkiri, diskusi mengenai pariwisata berkelanjutan cenderung menitikberatkan pada isu pelestarian dan konservasi sumber daya alam yang dipicu oleh masifnya gerakan lingkungan secara global yang mulanya terjadi pada paruh kedua abad 20 (Dowling & Fennell, 2003). Hal ini menimbulkan konsekuensi banyaknya penelitian yang kemudian menempatkan pariwisata berkelanjutan dalam lingkup aspek lingkungan sebagai fokus utamanya (Sharpley, 2000; Lu & Nepal, 2009; Mowforth & Munt, 2016; Bramwell et al., 2017). Apalagi, dampak negatif pariwisata terhadap lingkungan juga sudah menjadi bahan diskusi sejak 1970-an, atau berlangsung sebelum konsep mengenai pariwisata berkelanjutan muncul (Hall, 2010).

Studi yang menjadikan konsep pariwisata berkelanjutan sebagai pendekatan teoretis telah banyak dilakukan di Indonesia, khususnya di Bali (lihat Wall, 1999; Schianetz et al., 2007; Mustika et al., 2013; Cole, 2014; Ernawati et al., 2017; Pickel-Chevalier et al., 2019; Adityanandana & Gerber, 2019; Dolezal & Novelli, 2020;

Rahadiarta et al., 2021). Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang dinilai menjadi destinasi wisata paling populer dan telah melekat dalam sejarah panjang terkait pengaruh kolonialisme dan determinasi asing, termasuk dalam lingkup pariwisata, investasi, dan migrasi (Pickel-Chevalier et al., 2019; Dolezal & Novelli, 2020). Kolaborasi pariwisata dengan pertanian dianggap menjadi sektor utama perekonomian Bali yang telah menghadapi berbagai ketidakpastian dan ketidakamanan akibat terorisme, penjualan tanah yang tidak direncanakan, degradasi lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas pariwisata, serta masifnya investasi asing (Hitchcock & Putra, 2007; Wardana, 2019; Dolezal & Novelli, 2020).

Dari penjabaran di atas, diketahui bahwa degradasi lingkungan menjadi salah satu isu penting yang perlu diperhatikan karena dapat mengancam sektor pariwisata di Bali. Hal ini terjadi pula, salah satunya, di kawasan hutan mangrove Batu Lumbang. Masalah utama yang dihadapi oleh kawasan tersebut adalah sampah kiriman karena letak Ekowisata Batu Lumbang berada di muara sungai, atau tergolong ke dalam zona estuari (Tyas & Arida, 2020). Sementara itu, Batu Lumbang merupakan kawasan hutan mangrove yang terbentang seluas 85,9 Ha dengan fungsi ekologi yang tentunya penting untuk dijaga. Secara ekologis, hutan mangrove menyediakan beberapa jasa ekosistem seperti: tempat bertelur, berkembang biak, penetasan, dan pembibitan bagi fauna perairan (Cannicii et al, 2008). Selain itu, ekosistem mangrove juga berperan mengurangi dampak tsunami (Kathiresan & Rajendran, 2005), melindungi garis pantai masyarakat di wilayah pesisir (Gedan et al., 2011), dan mengurangi dampak perubahan iklim global melalui penyimpanan karbon (Alongi et al., 2016; Donato et al., 2011; Murdiyarso et al., 2015). Penyerapan karbon yang dilakukan oleh hutan mangrove memiliki kemampuan lebih tinggi per satuan luas dibandingkan dengan penyerapan karbon oleh hutan daratan (Heriyanto & Subiandono, 2016).

Untuk itu, penelitian ini bermaksud mengungkap urgensi pelestarian dan konservasi kawasan hutan mangrove Batu Lumbang yang saat ini telah aktif sebagai

tempat tujuan wisata. Mengingat, pemanfaatan hutan mangrove sebagai kawasan wisata tersebut harus diimbangi dengan perlindungan dan pelestarian ekosistemnya. Sebelum mengarah ke sana, penting juga untuk melihat bagaimana penyelenggaraan aktivitas wisata di Batu Lumbang yang tentunya akan berpengaruh kepada kelestarian ekosistem setempat. Maka dari itu, tujuan penelitian ini adalah: 1) mengetahui penyelenggaraan kegiatan kepariwisataan di kawasan hutan mangrove Batu Lumbang secara umum; 2) mengetahui urgensi pelestarian dan konservasi kawasan hutan mangrove Batu Lumbang yang dimanfaatkan sebagai destinasi wisata ditinjau dari sisi ekologis; serta 3) menyusun peluang penerapan pengelolaan aktivitas wisata yang sejalan dengan pelestarian dan konservasi ekosistem kawasan.

Metode Penelitian

Ruang lingkup lokasi penelitian ini mengambil tempat di kawasan hutan mangrove Batu Lumbang yang terletak di Suwung, Pamogan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali (Gambar 1).

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Kawasan Ekowisata Batu Lumbang

Sumber: Penulis, 2020

Penelitian ini tergolong ke dalam penelitian deskriptif dengan pendekatan metode campuran konvergen paralel (convergent parallel mixed-methods). Di bidang kepariwisataan, penelitian deskriptif sering digunakan dengan pertimbangan tiga alasan utama, yaitu sebagai bentuk pembaharuan kajian, mendeskripsikan secara menyeluruh perubahan fenomena yang sedang dipelajari dan juga sebagai upaya untuk memberikan pemisahan terhadap ranah penelitian dan tindakan (Veal, 2006). Sementara itu, penelitian yang dilakukan dengan pendekatan metode campuran konvergen paralel dapat diartikan sebagai penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan data kuantitatif dan data kualitatif secara bersamaan (Cresswell, 2014). Baik data kuantitatif maupun data kualitatif selanjutnya dianalisis secara terpisah kemudian hasil analisis dari masing-masing jenis data tersebut dikombinasikan atau dikomparasikan satu sama lain untuk membangun interpretasi sebagai bagian dari analisis data (Creswell, 2014).

Gambar 2. Desain Penelitian dengan Pendekatan Metode Campuran Paralel Konvergen

Sumber: Creswell, 2014

Selanjutnya, data dalam penelitian ini diklasifikasikan ke dalam data primer kuantitatif dan data primer kualitatif, serta data sekunder kuantitatif dan data sekunder kualitatif. Data primer kuantitatif diperoleh melalui observasi yang dapat dipahami sebagai aktivitas pengamatan sekaligus pencatatan yang dilakukan oleh

peneliti secara sistematis terhadap objek yang ditelitinya (Creswell, 2014; Nawawi, 2007), yang dalam konteks ini berlokasi di kawasan hutan mangrove Batu Lumbang, Bali. Selain melalui observasi, data primer kuantitatif dalam penelitian ini juga diperoleh melalui pemetaan untuk kepentingan identifikasi atribut fisik kawasan dan perhitungan daya dukung fisik atau Physical Carrying Capacity (PCC) untuk kepentingan pengukuran jumlah maksimal kunjungan pada setiap harinya. Pemetaan dilakukan dengan menggunakan bantuan citra satelit Google Earth dan Citra Landsat 8 dengan bantuan software ArcGIS 10.3. Sedangkan perhitungan PCC dikalkulasikan dengan menggunakan rumus dari Cifuentes yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1992 (Sayan & Atik, 2011).

Sementara itu, data primer kualitatif dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara semi-terstruktur (semi-structured interview). Wawancara semi-terstruktur sendiri digunakan dalam penelitian dengan pertimbangan karakteristiknya yang fleksibel, namun secara umum proses wawancara tetap dipandu oleh daftar pertanyaan atau masalah yang akan dieksplorasi (Merriam & Tisdell, 2016). Artinya hal ini memang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Proses wawancara semi-terstruktur selanjutnya juga dilakukan dengan mempertimbangkan pemilihan informan. Penentuan informan sendiri dilakukan dengan teknik sampel bertujuan (purposive sampling). Oleh beberapa ahli termasuk Creswell (2014), jumlah sampel wawancara tidak harus banyak, tetapi dipilih pihak-pihak yang dapat menjadi informan dengan karakteristik memahami masalah dan dapat memberikan informasi yang akurat sesuai kebutuhan dan tujuan dari penelitian. Adapun pihak-pihak yang menjadi informan dalam penelitian ini mencakup: 1) Ketua KUB Segara Batu Lumbang; 2) Sekretaris KUB Segara Batu Lumbang; 3) Ketua POKMASWAS Mina Wedhi Batu Lumbang; 4) Ketua koperasi simpan pinjam Desa Pamogan; 5) Wisatawan

Selanjutnya, data sekunder, baik kuantitatif maupun kualitatif, dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode studi literatur. Studi literatur 456 I JUMPA Volume 9, Nomor 1, Juli 2022

sendiri dapat dipahami sebagai penelusuran pustaka yang bersumber dari dokumen. Oleh Merriam dan Tisdell (2016), dokumen dalam konteks penelitian digunakan sebagai istilah payung untuk merujuk pada berbagai materi tertulis, visual, digital, dan fisik yang relevan dengan penelitian, termasuk juga gambar visual. Adapun dokumen yang digunakan sebagai sumber data sekunder dalam penelitian ini tentunya dibatasi sesuai dengan fokus dan ruang lingkup penelitian, meliputi: Profil KUB Guna Segara Batu Lumbang, Rencna Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan peta desa.

Analisis data dalam penelitian ini, baik analisis untuk data yang tergolong kuantitatif maupun kualitatif, dilakukan dengan menggunakan teknik analisis data deskriptif. Menurut Loeb et al (2017), analisis deskriptif adalah penyederhanaan data melalui penyajian terkait apa yang kita ketahui tentang kapasitas, kebutuhan, metode, praktik, kebijakan, populasi, dan latar tertentu dengan cara yang relevan sesuai pertanyaan penelitian.

Hasil dan Pembahasan

Profil Hutan Mangrove Batu Lumbang

Kawasan Ekowisata Batu Lumbang terletak di Desa Pamogan, Denpasar yang berbatasan dengan kawasan administrasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai. Kawasan Ekowisata Batu Lumbang memiliki daerah jelajah seluas 85,9 Ha yang didominasi oleh hutan mangrove (81%) dengan curah hujan 100 mm/tahun pada musim basah, 60 mm/tahun pada musim kering dan tergolong iklim tipe C menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson. Lebih lanjut, kawasan ekowisata tersebut terletak di hilir Sungai Badung atau Tukad Badung. Dalam kurun waktu terakhir ini, Batu Lumbang dimanfaatkan sebagai salah satu daya tarik wisata di Denpasar Selatan yang dikelola oleh Kelompok Usaha Bersama (KUB) Segara Batu Lumbang. Pemanfaatan sebagai

daya tarik wisata menjadi aktivitas sampingan bagi KUB Segara Guna Batu Lumbang yang rutinitasnya bekerja sebagai kelompok usaha nelayan.

KUB Segara Guna Batu Lumbang awalnya adalah kelompok usaha nelayan di kawasan tersebut. Terdapat beberapa atraksi wisata di kawasan Batu Lumbang diantaranya adalah penyediaan lokasi untuk prewedding, titik-titik pemancingan yang tersebar di kawasan hutan mangrove, wisata edukasi penanaman bibit pohon mangrove, pelatihan dan pendampingan terkait pelestarian hutan mangrove serta atraksi andalan yakni penyewaan perahu bermesin dan kano.

Guna menunjang pelayanan wisata di kawasan Batu Lumbang, KUB Segara Guna Batu Lumbang memiliki beberapa fasilitas untuk pengunjung diantaranya toilet, kamar ganti, dan warung makan. Selain itu, terdapat kantor sekretariat yang dapat difungsikan sebagai aula pertemuan. KUB Segara Guna Batu Lumbang telah memiliki aliran listrik mandiri hingga 2000 kWh. Untuk sinyal telekomunikasi di kawasan Batu Lumbang kurang memadai karena pengelola belum memiliki fasilitas penguat sinyal.

Kawasan Batu Lumbang dapat diakses dari Jalan By Pass Ngurah Rai di Desa Pemogan menuju arah selatan melalui Jalan Tanah Kilap. Kondisi Jalan Tanah Kilap berupa jalan paving dengan bahu jalan berupa tanah. Jalan ini dapat dilalui kendaraan pribadi hingga kendaraan besar maksimal ukuran bus 45 seats. Belum tersedia angkutan umum dengan rute menuju kawasan Batu Lumbang. Belum tersedia pula penunjuk jalan menuju kawasan tersebut. Oleh karenanya, kawasan Batu Lumbang baru dapat dijangkau dengan kendaraan pribadi.

Tanggung jawab pengelolaan kawasan Batu Lumbang oleh KUB Segara Guna Batu Lumbang secara resmi diberikan oleh UPT Tahura Ngurah Rai. Pembentukan KUB Segara Guna Batu Lumbang ini tercatat secara resmi di Dinas Perikanan dan Ketahanan Pangan Kota Denpasar pada Agustus 2005 sebagai kelompok nelayan di kawasan Batu Lumbang. Hingga saat ini, KUB Segara Guna Batu Lumbang memiliki

total anggota sebanyak 47 orang. Berikut susunan kepengurusan KUB Segara Guna Batu Lumbang periode kepengurusan 2019-2022

Gambar 3. Struktur Organisasi Kelompok Masyarakat (POKMASWAS) Mina

Werdhi Batu Lumbang

Sumber: Penulis, 2020

Selain KUB Segara Guna Batu Lumbang sebagai kelompok usaha yang mengelola aktivitas wisata di kawasan Batu Lumbang, terdapat organisasi lain bernama POKMASWAS Mina Werdhi Batu Lumbang. Organisasi ini memiliki tugas utama sebagai pelaksana langsung aktivitas konservasi di kawasan Batu Lumbang. Aktivitas konservasi yang dilakukan antaranya adalah penanaman bibit mangrove, patroli rutin dari perburuan satwa liar, dan membersihkan kawasan dari sampah. Belum ada batas wewenang yang jelas antara KUB Segara Guna Batu Lumbang dan POKMASWAS karena keanggotaan kedua organisasi diisi oleh orang-orang yang sama. Dalam pembagian profit dari hasil aktivitas wisata, telah disepakati kedua pihak bahwa 25% pemasukan tiap bulan masuk ke dalam kas operasional POKMASWAS.

KUB Segara Batu Lumbang belum mempunyai sistem pencatatan jumlah kunjungan di Kawasan Batu Lumbang. Hal ini disebabkan karena belum diberlakukannya sistem ticketing untuk pengunjung. Hal tersebut dikarenakan oleh pihak pengelola belum mengantongi izin resmi untuk melaksanakan usaha wisata. Sejauh ini, pengelola hanya melakukan pencatatan penyewaan kano dan perahu. Namun, metode ini tidak akurat untuk menggambarkan tingkat kunjungan karena tidak semua pengunjung menyewa kano atau perahu. Apabila dilihat dari pencatatan penyewaan kano dan perahu, rata-rata jumlah pengunjung di Kawasan Batu Lumbang tiap tahunnya yang mencapai kisaran 6.300 kunjungan.

Sebagai tempat tujuan wisata, Batu Lumbang memiliki beberapa permasalahan mendasar, salah satunya adalah sampah. Keberadaan sampah di muara sungai Badung kerap menimbulkan permasalahan serius untuk hutan mangrove yang mengancam kehidupan organisme dan kegiatan pariwisata yang merupakan salah satu sumber penghasilan warga desa Pamogan. Menurut hasil wawancara, sampah yang terbawa ke hilir berasal dari sampah perkotaan dan adanya kebocoran dari TPA yang berada di sekitar Sungai Badung. Puncak permasalahan sampah biasanya terjadi pada musim penghujan. Upaya pengendalian sebenarnya sudah dilakukan baik dari pemerintah dan masyarakat, terlebih anggota KUB Segara Batu Lumbang dan pengelola ekowisata Batu Lumbang, namun nampaknya belum berhasil mengatasi permasalah sampah tersebut.

Nilai Penting dan Dinamika Ekosistem Kawasan

Kondisi Vegetasi dan Satwa

Daerah ekowisata Batu Lumbang disamping memiliki peran penting terhadap aspek sosial dan ekonomi, juga berperan penting terhadap lingkungan untuk daerah pesisir yakni berfungsi lindung terhadap gelombang pantai, rumah bagi berbagai jenis organisme laut maupun darat hingga memiliki peran sebagai penyimpan karbon dalam jumlah yang sangat besar (Murdiyarso et al., 2015; Donato, 2011). Berdasarkan

hasil studi literasi yang dilakukan, ditemukan berbagai spesies tumbuhan dan hewan yang memiliki status dilindungi maupun tidak dilindungi menurut Permen LHK No 106/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, dan menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature). Tumbuhan yang dilaporkan berada di hutan mangrove adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Hasil Identifikasi Tumbuhan Berdasarkan Status Konservasinya

No

Nama Lokal

Nama Ilmiah

IUCN

Permen LHK No. 106/2018

Status

Populasi

1

Dudun agung

Aegiceras corniculatum

Tidak dilindungi

Least concern

Menurun

2

Api – Api

Avicennia marina

Tidak dilindungi

Least concern

Menurun

3

Tancang

Bruguiera gymnorhiza

Tidak dilindungi

Least concern

Menurun

4

Sia–sia

Bruguiera parviflora

Tidak dilindungi

Least concern

Menurun

5

Lindur

Ceriops tagal

Tidak dilindungi

Least concern

Menurun

6

Buta–buta

Excoecaria agallocha

Tidak dilindungi

Least concern

Menurun

7

Terumtum

Lumnitzera racemosa

Tidak dilindungi

Least concern

Menurun

8

Bakau

Rhizophora conjugata

Tidak dilindungi

Least concern

Menurun

9

Bakau putih

Rhizophora apiculata

Tidak dilindungi

Least concern

Menurun

10

Bakau-Bakau

Rhizophora mucronata

Tidak dilindungi

Least concern

Menurun

No

Nama Lokal

Nama Ilmiah

IUCN

Permen LHK No. 106/2018

Status

Populasi

11

Prapat

Sonneratia alba

Tidak dilindungi

Least concern

Menurun

12

Nyirih

Xylocarpus granatum

Tidak dilindungi

Least concern

Menurun

13

Jeruju

Acanthus ilicifolius

Tidak dilindungi

Least concern

Tidak diketahui

14

Akar tuba

Derris heterophylla

Tidak dilindungi

Tidak diketahui

Tidak diketahui

15

Waru

Hibiscus tiliaceus

Tidak dilindungi

Least concern

Tidak diketahui

16

Nipah

Nypa fruticans

Tidak dilindungi

Least concern

Tidak diketahui

Sumber: Rencana Pengelolaan Kawasan Tahura Ngurah Rai Tahun 2012, diolah kembali

Keenam belas spesies yang ditemukan di kawasan Ekowisata merupakan spesies khas dataran rendah dan ekosistem mangrove. Menurut Permen LHK No. 106/2018, semua tumbuhan yang berada di kawasan ekowisata dan Tahura Ngurah Rai tidak ada yang memiliki status dilindungi. Hal tersebut senada saat dicocokan dengan statusnya di IUCN, ke-16 tumbuhan memiliki status konservasi yang memiliki risiko rendah (Least concern) namun mayoritas populasinya terus menurun. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan BIG (2012) dan KLHK (2013) bahwa luasan hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan yang berakibat pada turunnya keanekaragaman hayatinya.

Tabel 2. Hasil Identifikasi Fauna Daratan Berdasarkan Status Konservasinya

No

Nama Lokal

Nama Ilmiah

Permen LHK 106/2018

IUCN

Status

Populasi

1

Elang Bondol

Haliastur indus

Dilindungi

Least concern

Menurun

2

Gagak

Corvus sp.

Dilindungi

Least concern

Stabil

3

Kipasan

Rhipidura javanica

Dilindungi

Least concern

Stabil

4

Kowak

Melayu

Gorsachius melanolophus

Dilindungi

Least concern

Tidak diketahui

Sumber: Rencana Pengelolaan Kawasan Tahura Ngurah Rai Tahun 2012, diolah kembali

Selain tumbuhan, ada beberapa satwa darat dan satwa perairan yang hidup di kawasan Ekowisata Batu Lumbang dan Tahura Ngurah Rai dari hasil studi literatur yang dilakukan. Terdapat 36 satwa darat yang ditemukan dimana mayoritasnya merupakan jenis burung/aves. Empat diantaranya adalah satwa dilindungi menurut Permen LHK No. 106/ 2018 dengan status tidak terancam meski 39% diantaranya menurun menurut IUCN (tabel 2). Sedangkan untuk satwa perairan ditemukan sekitar 15 spesies yang tidak satupun memiliki status dilindungi Permen LHK No 106/ 2018. Hal tersebut juga sesuai dengan hasil pencocokan status konservasi spesies menurut IUCN. Tidak ada satu spesies pun yang masuk ke dalam status terancam meskipun beberapa diantaranya tidak ditemukan datanya. Dari ke-15 spesies, terdapat beberapa spesies yang dimanfaatkan yakni jenis snapper, baronang, udang dan kepiting.

Dinamika Ekosistem Kawasan

Pertambahan pemukiman maupun pembangunan infrastruktur menyebabkan terjadinya perubahan tutupan lahan di suatu daerah. Kondisi ini semakin masif terjadi dengan diterapkannya pemanfaatan suatu kawasan ekosistem hutan untuk aktivitas wisata yang tidak diimbangi dengan pelestarian dan konservasi kawasan. Selanjutnya, sebagai bagian dari pengembangan tata kelola dan pelestarian hutan mangrove di dalam konsep pariwisata berkelanjutan, maka perlu diketahui perubahan tutupan lahan di Kawasan Ekowisata Batu Lumbang. Pengamatan perubahan tutupan lahan Ekowisata Batu Lumbang ini dilakukan dengan metode penginderaan jauh melalui citra satelit Google Earth dengan bantuan software ArcGIS 10.3.

Klasifikasi perubahan tutupan lahan dilakukan dengan cara interpretasi visual dikarenakan cara tersebut dinilai lebih baik untuk mengamati batas antara hutan dan non-hutan dengan jelas. Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit Google Earth yang diolah dengan bantuan software ArcGIS 10.3, diketahui bahwa terdapat tiga jenis tutupan lahan di kawasan Ekowisata Batu Lumbang. Dalam penelitian ini ditentukan perbandingan antara tahun 2010, 2014, 2017 dan 2020. Penentuan tutupan lahan pada tahun tersebut didasarkan oleh tahun setelah pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Segara Guna Batu Lumbang serta pemanfaatan secara intensif kawasan sebagai destinasi ekowisata Batu Lumbang. Berikut adalah peta hasil perubahan tutupan lahan (Gambar 4):

Gambar 4. Peta Perubahan Tutupan Lahan Kawasan Ekowisata Mangrove Batu

Lumbang

(Sumber: Penulis, 2020)

Terdapat tiga klasifikasi tutupan lahan di kawasan Ekowisata Batu Lumbang, yaitu tutupan lahan berupa hutan mangrove, tubuh air dan juga lahan terbangun. Berdasarkan hasil interpretasi peta perubahan tutupan lahan di Kawasan Ekowisata Batu Lumbang, diketahui adanya perbandingan luasan dari tahun 2010, 2014, 2017 dan 2020 yang disajikan pada Gambar 5 berikut:

Gambar 5. Grafik Perubahan Luasan Tutupan Lahan Ekowisata Batu Lumbang (Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2020)

Perubahan tutupan lahan di kawasan ekowisata batu lumbang terjadi fluktuatif, atau dengan kata lain mengalami kenaikan dan penurunan. Pada tahun 2017, diketahui bahwa tutupan mangrove mengalami penurunan yang diduga disebabkan oleh adanya angka wisatawan paling tinggi sejak awal pemanfaatan kawasan menjadi destinasi ekowisata pada tahun 2015 sehingga dalam pengelolaan mangrove pada kawasan ekowisata belum optimal. Kendati demikian, pada tahun 2020 terjadi pertambahan luas tutupan mangrove sebesar 0,75 Ha. Kondisi ini diperkirakan karena adanya kegiatan penanaman yang dilakukan secara berkala setiap tahun. Dengan adanya penambahan luas tutupan mangrove tersebut, dapat diasumsikan bahwa kemampuan kawasan mangrove dalam memberikan jasa lingkungan seperti perlindungan terhadap ancaman dari gelombang besar serta kapasitas penyerapan karbon semakin meningkat (Badola & Hussain, 2005; Murdiyarso et al., 2015).

Apabila dilihat berdasarkan lahan terbangun pada tahun 2010, 2014, dan 2017 tidak mengalami penurunan maupun penambahan luasan lahan. Sedangkan pada tahun 2020, lahan terbangun mengalami penambahan luasan menjadi 0,64 Ha. Hal ini disebabkan oleh adanya bangunan permanen pembatas hulu Sungai Badung. Pembangunan pembatas aliran sungai tersebut dapat diasumsikan untuk

meminimalisasi adanya aliran sedimen menuju sungai utama pesisir kawasan mangrove. Selain itu, pembangunan pembatas tersebut juga telah dilakukan kajian sebelumnya dalam upaya pengelolaan hutan mangrove dan mengontrol debit aliran sungai. Selanjutnya, pada tutupan lahan berupa tubuh air diasumsikan sebagai aliran anak Sungai Badung yang juga dimanfaatkan pengelola untuk kegiatan wisata kano.

Dari ketiga jenis tutupan lahan yakni tutupan mangrove, tubuh air dan juga lahan terbangun, dapat diketahui bahwa tutupan mangrove memiliki peran paling dominan sebagai daya tarik wisata sekaligus sebagai penyedia jasa ekosistem. Kumpulan dari pohon bakau atau mangrove yang membentuk tutupan lahan tentu memiliki tingkat kerapatan vegetasi yang berbeda-beda. Tingkat kerapatan vegetasi tersebut dapat diketahui dari perhitungan nilai indeks vegetasi. Dalam aplikasi penginderaan jauh, indeks vegetasi merupakan cerminan tingkat kehijauan vegetasi yang menghasilkan nilai dari gabungan beberapa spectral band spesifik dari citra satelit. Tanaman memantulkan sekaligus menyerap gelombang dari objek-objek lain sehingga dapat dibedakan antara vegetasi dan objek selain vegetasi (Horning, 2004). Perhitungan indeks vegetasi tersebut kemudian dapat dilakukan dengan menggunakan metode Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Nilai NDVI mempunyai rentang antara -1 (minus) hingga 1 (positif). Nilai yang mewakili vegetasi berada pada rentang 0,1 hingga 0,7. jika nilai NDVI di atas nilai ini menunjukkan tingkat kesehatan dari tutupan vegetasi yang lebih baik. Klasifikasi tingkat kerapatan tutupan mangrove didasarkan pada kriteria sebagai berikut:

Tabel 3. Tingkat Kerapatan Vegetasi

Kelas NDVI

Tingkat Kerapatan

0 s.d 0,32

Jarang

0,32 s.d 0,42

Sedang

0,42 s.d 1

Tinggi

(Sumber: Departemen Kehutanan, 2005)

Berdasarkan hasil analisis perekaman Citra Landsat 8 (Maret 2020), diketahui Kawasan Ekowisata batu Lumbang memiliki nilai NDVI minimum sebesar -0,06 dan nilai NDVI maksimum 0,49. Kemudian nilai kelas NDVI tersebut diklasifikasikan ulang (reclass) menjadi tiga kelas, yaitu jarang, sedang dan lebat. Apabila diidentifikasi berdasarkan interpretasi visual tutupan lahan yang disajikan pada Gambar 6. dapat diketahui bahwa vegetasi mangrove dengan kerapatan tajuk yang rapat atau lebat mendominasi Kawasan Ekowisata Batu Lumbang dengan persentase 60,35%. Sedangkan perairan memiliki persentase 2,93%. Hal ini dikarenakan perairan memiliki atraksi wisata tersendiri sebagai jalur wisata kano yang terdapat di Ekowisata Batu Lumbang.

Gambar 6. Peta Kerapatan Tutupan Mangrove Kawasan Ekowisata Batu Lumbang

Sumber: Penulis, 2020

Peluang Pengelolaan Aktivitas Wisata yang Sejalan dengan Pelestarian dan Konservasi Ekosistem Kawasan

Konversi lahan hutan menjadi areal penggunaan lain terbukti menjadi sebab menurunnya kualitas lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia (Rockström et al., 2009). Oleh karena itu, dalam pemanfaatan hutan kini perlu diperhatikan agar proses degradasi lingkungan berkurang atau bahkan tidak terjadi lagi. Ekowisata menjadi jawaban sekaligus jalan tengah bagi pecinta lingkungan yang ingin menjaga ekosistem lingkungan dan pariwisata yang awalnya cenderung eksploitatif.

Ekowisata sendiri dapat didefinisikan sebagai aktivitas bepergian ke kawasan alam yang relatif tidak terganggu atau tidak tercemar dengan tujuan khusus untuk mempelajari, mengagumi, dan menikmati pemandangan serta tumbuhan dan satwa liarnya, serta berbagai manifestasi budaya yang ada (baik dulu maupun sekarang) yang ditemukan di kawasan tersebut (Ceballos-Lascura, 1987; Dowling & Fennell, 2003). Dari definisi tersebut terdapat dua komponen yang saling berkaitan yakni aktivitas wisata dan kawasan alam yang artinya bila salah satu aspek tidak terpenuhi maka kegiatan ekowisata tersebut akan hilang. Seperti halnya di Ekowisata Batu Lumbang, aktivitas pariwisata yang dilakukan perlu diupayakan agar tidak terjadi eksploitasi yang berlebihan. Hal ini dimaksudkan agar kelestarian alam dan kegiatan ekowisata dapat berjalan beriringan.

Upaya pelestarian lingkungan berupa pembersihan sampah dan penanaman mangrove di kawasan Ekowisata Batu Lumbang telah dilakukan oleh pengelola wisata, namun masih perlu ditingkatkan. Perhatian khusus perlu dilakukan pada permasalahan sampah yang berasal dari sungai Badung karena akan berdampak pada pencemaran lingkungan khususnya air. Akibat dari pencemaran air tersebut antara lain terganggunya ekosistem mangrove, menurunnya perkembangbiakan biota laut, sekaligus akan mengurangi hasil tangkapan ikan (Goyal et al., 2021). Dalam hal ini, adanya kerjasama berbagai pihak khususnya Pemerintah perlu dilakukan untuk

menyelesaikan permasalahan ini. Beberapa upaya yang dapat dilakukan antara lain: penegakan tata tertib dan pembangunan penyaringan atau filter sampah di dekat hilir yang berpeluang sebagai alternatif pencegahan sampah untuk masuk ke area mangrove dan laut. Sedangkan kegiatan penanaman mangrove yang diselenggarakan oleh pengelola wisata perlu dikemas ulang untuk sekaligus memberikan edukasi kepada masyarakat dan pengunjung.

Upaya pelestarian lain yang perlu dilakukan oleh pengelola ekowisata adalah konservasi biodiversitas khususnya adalah satwa yang dilindungi. Perlu dilakukan deliniasi jika ditemukan habitat/sarang satwa yang dilindungi. Pada area tersebut perlu dilakukan pembatasan akses oleh wisatawan untuk menjaga keberadaanya. Di sisi lain, adanya sarang/rumah satwa tersebut bisa dimanfaatkan untuk atraksi pariwisata yakni dengan skema birdwatching atau aktivitas pengamatan burung liar langsung di habitatnya dengan memperhatikan ruang dan jarak agar satwa tidak terganggu.

Berikutnya, dalam rangka perlindungan terhadap biodiversitas perlu dilakukan upaya pengaturan kunjungan agar tidak melampaui daya dukung fisik atau Physical Carrying Capacity (PCC). Dari perhitungan daya dukung fisik yang dirumuskan oleh Cifuentes (1992 via Sayan & Atik, 2011) didapatkan hasil bahwa jumlah pengunjung harian maksimal adalah 83 pengunjung dengan memasukkan faktor area bangunan sebesar 900 m2; rata-rata durasi kunjungan selama 1.5 jam; dan durasi operasional selama 9 jam.

Maka dapat diartikan 83 pengunjung secara fisik dan teoretis dapat berkunjung pada satu waktu sekaligus dalam satu hari di lahan daratan dan bangunan fisik. Namun, perlu menjadi catatan bahwa kalkulasi daya dukung fisik hanya memberikan perhitungan dasar mengenai angka maksimal kunjungan tanpa memperhatikan aspek-aspek lainnya. Melihat kondisi di lapangan, rerata kunjungan per tahun di Kawasan Batu Lumbang berkisar di angka 6.300 pengunjung. Dalam satu

hari, pengelola melayani rata-rata 17 pengunjung. Angka tersebut masih jauh dengan batas maksimal daya tampung wisatawan yang telah dihitung.

Angka maksimal 83 pengunjung pun dapat diasumsikan jauh dari batas maksimal daya dukung fisik kawasan, mengingat wilayah perairan memiliki luasan yang lebih besar apabila dibandingkan dengan daratan. Dengan atraksi utama berupa susur sungai menggunakan perahu atau kano, daya dukung fisik di Kawasan Ekowisata Batu Lumbang dapat lebih dikembangkan dengan menggunakan total luasan sungai yang dimanfaatkan sebagai jalur atraksi susur sungai.

Di sisi lain, dalam konteks pengelolaan lingkungan wisata yang lestari, perlu adanya kontribusi masyarakat dengan pendampingan pemerintah (Herdiana, 2019; Sgroi, 2020). Pemerintah perlu menyiapkan perangkat politik yang memadai untuk melindungi aset, yang dalam konteks ini mengarah pada sumber daya alam kawasan. Pendampingan ini sendiri juga bertujuan untuk memastikan tercukupinya kebutuhan masyarakat serta memastikan pengelolaan sumber daya alam yang memadai. Pendampingan pengelola melalui sosialisasi maupun pelatihan kebersihan lingkungan dapat dijadikan sebagai upaya untuk meningkatkan pemahaman pengelola guna menjaga kelestarian lingkungan. Melalui pendampingan tersebut, diharapkan pengelola dapat pula berperan aktif untuk senantiasa mengajak dan mendukung aksi kebersihan lingkungan bagi wisatawan maupun masyarakat di sekitar Kawasan Ekowisata Batu Lumbang.

Kesimpulan dan Saran

Kawasan Ekowisata Batu Lumbang menawarkan atraksi wisata berupa keindahan alam dalam berbagai bentuk yang berbasis pada ekosistem hutan mangrove. Pada praktiknya, kegiatan pariwisata di kawasan tersebut dikelola secara swadaya oleh penduduk setempat melalui organisasi KUB Segara Batu Lumbang yang didampingi oleh POKMASWAS Mina Werdhi Batu Lumbang. Ekosistem hutan

mangrove Segara Batu Lumbang sendiri tergolong memiliki kekayaan hayati yang tinggi khususnya spesies burung. Tutupan lahan hutan mangrove dalam kondisi baik dan mengalami peningkatan yang disebabkan oleh aktivitas penanaman rutin yang dilakukan oleh pengelola dengan melibatkan masyarakat setempat.

Secara umum, ekowisata hutan mangrove Batu Lumbang memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai tempat konservasi satwa liar dan ekosistemnya. Akan tetapi, tujuan ini perlu dilakukan dengan diiringi oleh berbagai pengembangan seperti pembentukan sistem pengelolaan pengunjung, penanganan masalah sampah kiriman serta, delineasi kawasan yang memiliki biodiversitas tinggi sebagai bentuk upaya konservasi.

Daftar Pustaka

Adityanandana, Made dan Julien-François Gerber. 2019. “Post-growth in the Tropics? Contestations Over Tri Hita Karana and a Tourism Megaproject in Bali”. Journal of Sustainable Tourism. https://doi.org/10.1080/09669582.2019.1666857.

Alongi D., Murdiyarso D., Fourqurean J., Kauffman J., Hutahaean A., Crooks S., Lovelock C., Howard J., Herr D., Fortes M. 2016. “Indonesia’s Blue Carbon: a Globally Significant and Vulnerable Sink for Seagrass and Mangrove Carbon”. Wetlands Ecology and Management, Vol. 24: 3-13.

Badola, R., & Hussain, S. A., 2005. “Valuing ecosystem functions: An empirical study on the storm protection function of Bhitarkanika mangrove ecosystem, India”. Environmental        Conservation,        Vol.        32(1):        85–92.

https://doi.org/10.1017/S0376892905001967

Braun, Virginia dan Victoria Clarke. 2013. Successful Qualitative Research: A Practical Guide for Beginners. California: SAGE Publications.

Bramwell, B., James Higham, Bernard Lane dan Graham Miller. 2017. “Twenty-Five Years of Sustainable Tourism and the Journal of Sustainable Tourism: Looking Back and Moving Forward”. Journal of Sustainable Tourism. Vol. 25(1): 1–9.

Cannicci S., Burrows D., Fratini S., Smith T. J., Offenberg J., Dahdouh-Guebas, F. 2008. “Faunal Impact on Vegetation Structure and Ecosystem Function in Mangrove Forests: A Review”. Aquatic Botany, Vol. 89: 186-200.

Ceballos-Lascura, H. 1987. “The Future of Ecotourism”. Mexico Journal January, 13–14.

Creswell, John W. 2014. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches (4th Edition). USA: SAGE Publications.

Cole, Stroma. 2014. “Tourism and Water: From Stakeholders to Rights Holders, and What Tourism Businesses Need to Do”. Journal of Sustainable Tourism. Vol. 22(1): 89–106.

Dinas Kehutanan Provinsi Bali. 2012. Rencana Pengelolaan (Management Plan) Kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA) Ngurah Rai, Provinsi Bali. Kerjasama PPLH-LEMLIT Universitas Udayana dengan Dinas Kehutanan Provinsi Bali. Denpasar: Bali.

Dolezal, Claudia dan Marina Novelli. 2020. “Power in Community-Based Tourism: Empowerment and Partnership in Bali. Journal of Sustainable Tourism. https://doi.org/10.1080/09669582.2020.1838527.

Donato D.C., Kauffman J.B., Murdiyarso D., Kurnianto S., Stidham M., Kanninen M. 2011. “Mangroves Among the Most Carbon-rich Forests in the Tropics”. Nature Geoscience, Vol. 4: 293-297.

Dowling, Ross K. dan David A. Fennell. 2003. The Context of Ecotourism Policy and Planning. Dalam David A. Fennell dan Ross K. Dowling (eds.). Ecotourism Policy and Planning. Hlm. 1–20. UK: CABI Publishing.

Ernawati, Ni Made, Dale Sanders dan Ross K. Dowling. 2017. “Host–Guest Orientations of Community-Based Tourism Products: A Case Study in Bali”. International Journal of Tourism Research, Vol. 19(3): 367–382.

Gedan KB, Kirwan ML, Wolanski E., Barbier, EB, Silliman BR. 2011. “The Present and Future Role of Coastal Wetland Vegetation in Protecting Shorelines: Answering Recent Challenges to the Paradigm”. Climatic Change, Vol. 106: 729.

Goyal, V. C., Singh, O., Singh, R., Chhoden, K., Kumar, J., Yadav, S., Singh, N., Shrivastava, N. G., & Carvalho, L. (2021). Ecological health and water quality of village ponds in the subtropics limiting their use for water supply and groundwater recharge. Journal of Environmental Management, 277(October 2020), 111450. https://doi.org/10.1016/j.jenvman.2020.111450

Hall, C. Michael. 2010. “Changing Paradigms and Global Change: From Sustainable to Steady-state Tourism”. Tourism Recreation Research. Vol. 35(2): 131–143.

Herdiana, D. (2019). DESA WISATA BERBASIS MASYARAKAT Pendahuluan. Jurnal Master Pariwisata, 6(1), 63–86.

Heriyanto, N.M., dan Subiandono. 2016. “Peran Biomassa Mangrove dalam Menyimpan Karbon di Kubu Raya, Kalimantan Barat”. Jurnal Analisis Kebijakan. Vol. 13: 1-12.

Higham, James dan Graham Miller. 2017. “Transforming Societies and Transforming Tourism: Sustainable Tourism in Times of Change”. Journal of Sustainable Tourism. Vol. 26(1): 1–8.

Hitchcock, Michael dan I Nyoman Darma Putra. 2007. Tourism, Development and Terrorism in Bali. USA : Ashgate.

Horning, N., 2004. Global Land Vegetation ; An Electronic Textbook. NASA Goddard Space Flight Center Earth Sciences Directorate Scientifix and Educational Endeavors (SEE). http://www.ccpo.odu.edu/ SEES/ veget/ vg_class.htm. Dikunjungi pada tanggal Mei 2020

Imogie A.E, C.V Udosen, M. Ugbah. 2008. “Fertility Indices and Management of Hydromorphic Soils Supporting Raphia”. Continental Journal of Agronomy, Vol. 2:19–24.

Kathiresan K., and Rajendran N. 2005. “Coastal Mangrove Forests Mitigated Tsunami”. Estuarine, Coastal and Shelf Science, Vol. 65: 601-606.

Lu, Jiaying dan Sanjay K. Nepal. 2009. “Sustainable tourism research: an analysis of papers published in the Journal of Sustainable Tourism”. Journal of Sustainable Tourism. Vol. 17(1): 5–16.

Merriam, Sharan B., dan Elizabeth J. Tisdell, 2016. Qualitative Research: A Guide to Design and Implementation (4th Edition). USA: Wiley and Sons.

Mowforth, M., dan Ian Munt. 2016. Tourism and Sustainability: Development, Globalization, and New Tourism in the Third World (4th Edition). London: Routledge.

Murdiyarso, D. Purbopuspito, J. Kauffman, J.B. Warren, M.W. Sasmito, S.D. Donato, D.C. Manuri, S. Krisnawati, H. Taberina, S. Kurnianto, S. 2016. “The potential of Indonesian mangrove forests for global climate change mitigation”. Center for         International          Forestry         Research          (CIFOR).

https://doi.org/10.17528/CIFOR/DATA.00031.

Mustika, Putu L.K., Alastair Birtles, Yvette Everingham dan Helene Marsh. 2013. “The Human Dimensions of Wildlife Tourism in a Developing Country: Watching Spinner Dolphins at Lovina, Bali, Indonesia”. Journal of Sustainable Tourism. Vol. 21(2): 229–251.

Nawawi, H. 2007. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Page, Stephen J. 2004. Transport and Tourism. Dalam Alan A. Lew, C. Michael Hall, dan Allan M. Williams (eds.). A Companion to Tourism. Hlm 146–159. UK: Blackwell Publishing.

Pickel-Chevalier, Sylvine, I Komang Gde Bendesa dan I Nyoman Darma Putra. 2019. “The Integrated Touristic Villages: An Indonesian Model of Sustainable Tourism?”. Tourism Geographies: An International Journal of Tourism, Space and Place. https://doi.org/10.1080/14616688.2019.1600006.

Rahadiarta, I. G. N. P. S., Wiranatha, A. S., & Sunarta, I. N. (2021). PENGELOLAAN PARIWISATA BAHARI BERKELANJUTAN DI DESA JUNGUTBATU, KECAMATAN NUSA PENIDA. Jurnal Master Pariwisata, 8, 669–689.

Retrieved                                                         from

https://ojs.unud.ac.id/index.php/jumpa/article/view/76028/40590

Rockström, J., Steffen, W., Noone, K. et al. A safe operating space for humanity. Nature 461, 472–475 (2009). https://doi.org/10.1038/461472a

Sayan, Mustafa Selçuk dan Meryem Atik. 2011. “Recreation carrying capacity estimates for protected areas: a study of Termessos National Park”. Ekoloji. Vol. 20(78): 66-74

Schianetz, Karin, Lydia Kavanagh dan David Lockington. 2007. “The Learning Tourism Destination: The Potential of a Learning Organisation Approach for Improving the Sustainability of Tourism Destinations”. Tourism Management. Vol. 28: 1485–1495.

Sgroi, F. 2020. “Forest resources and sustainable tourism, a combination for the resilience of the landscape and development of mountain areas”. Science of the Total           Environment,           Vol.           736:           139539.

https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2020.139539

Sharpley, Richard. 2000. “Tourism and Sustainable Development: Exploring the Theoretical Divide”. Journal of Sustainable Tourism. Vol. 8(1): 1–19.

Sharpley, Richard. 2009. Tourism Development and the Environment: Beyond Sustainability?. UK: Earthscan.

Suwargana, N. 2008. Analisis Perubahan Hutan Mangrove Menggunakan Data Penginderaan Jauh Di Pantai Bahagia, Muara Gembong, Bekasi. Jurnal Penginderaan Jauh, Vol. 5 (1):64-74.

Torrent, J. 2005. “Mediterranean Soils”. Dalam Daniel Hillel (ed.). Encyclopaedia of Soils in the Environment. Hlm. 418-427. Oxford: Elsevier.

Tyas, Septianing dan I Nyoman Sukma Arida. 2020. “Peluang Pengembangan Voluntourism Berbasis Masyarakat di Hutan Mangrove Batu Lumbang, Suwung, Pemogan, Denpasar”. Jurnal Destinasi Pariwisata. Vol. 8(2): 343–348.

Veal, Anthony J. 2006. Research Methods for Leisure and Tourism: A Practical Guide (3rd Edition). London: Pearson Education.

Wall, Geoff. 1999. “Research Report: Mechanism in Support of Research Efforts: The Bali Sustainable Development Project, A Multidisciplinary and Collaborative Activity”. Tourism Geographies: An International Journal of Tourism, Space and Place. Vol. 1(2): 183–191.

Wardana, Agung. 2019. Contemporary Bali: Contested Space and Governance. London: Palgrave Macmillan.

Yuliasamaya, Darmawan, A. dan Hilmanto, R. 2014. Perubahan tutupan hutan mangrove di pesisir Kabupaten Lampung Timur. Jurnal Sylva Lestari. Vol. 2(3): 113-120.

Profil Penulis

Harsanto Mursyid adalah dosen di Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Riau. Penulis menyelesaikan studi jenjang sarjana di Fakultas Kehutanan universitas Gadjah Mada. Selanjutnya, penulis menempuh pendidikan masternya sebagai mahasiswa double degree di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dan di Fakultas Pertanian Kyoto University tahun 2019.

Khusnul Bayu Aji adalah staf pengelola Gadjah Mada Journal of Tourism Studies (GamaJTS), Program Studi Pariwisata, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Pria yang akrab disapa Khusnul ini menyelesaikan pendidikan program sarjana di Program Studi Pariwisata, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada tahun 2016. Setelahnya, ia melanjutkan pendidikan program pascasarjana di Program Studi Magister Arsitektur Konsentrasi Arsitektur dan Perencanaan Pariwisata, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada tahun 2019.

Madina Dwi Panuntun adalah mahasiswa Magister Pengelolaan Lingkungan, Program Studi Ilmu Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada tahun ajaran 2020/2021. Sebelumnya, penulis telah menyelesaikan studi jenjang sarjana di Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada tahun 2019. Selain itu, penulis juga memiliki pengalaman kerja di Direktorat Pusat Inovasi Kajian dan Akademik, Kantor Pusat Universitas Gadjah Mada tahun 2018-2019.

M. Adika Faris Ihsan adalah lulusan Program Studi Pariwisata, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Penulis menyelesaikan studi jenjang sarjananya pada awal tahun 202. Penulis menjadi salah satu pendiri Wirta, media dan kanal diskusi daring yang berfokus pada isu-isu pariwisata. Kini penulis bekerja sebagai jurnalis di salah satu media komersial.

Milda Longgeita Pinem adalah dosen di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fisipol, UGM. Ia memperoleh gelar Ph.D dalam bidang Gender Studies (Social Sciences) dari University of Hull, UK. Fokus penelitiannya adalah gender, pemberdayaan, dan pengembangan masyarakat.

JUMPA Volume 8, Nomor 2, Januari 2022

477