DAMPAK PANDEMI COVID-19 DAN STRATEGI

PENGEMBANGAN TERHADAP DESA WISATA TELAGA BIRU
CIGARU KABUPATEN TANGERANG

Nadya Rechtta Utami

Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo Yogyakarta Email: [email protected]

Nining Yuniati

Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo Yogyakarta Email: [email protected]

Amiluhur Soeroso

Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo Yogyakarta Email: [email protected]

ABSTRACT

Cigaru Blue Lake Rural Tourism is located in Cigaru Village, Cisoka Village, approximately 10 kilometers from the Tangerang Regency Government Headquarters. The attraction of this destination is a distinctive culture and lake that has blue water colour, the lake is not a natural tourism but artificial tourism, the destination has become famous and can become a tourist village in the Cisoka area, Tangerang because it has inclusion from the Cigaru Village government. and supervised by the local community and there is authority as the headman. it has problems, first, related to visits in recent times, visits have decreased even if there are no visitors. Second, several facilities were damaged, there was no cost to renovate, thus hampering its development. The method used is a qualitative case study and the technique used is descriptive. The conclusions from this study were concluded based on the formulation of the existing problems and the results were: The impact of the pandemic on the Cigaru Blue Lake Rural Tourism, namely the decrease in tourist visits that occurred resulting in a decrease in the economic level experienced by the people of Cigaru Village, then the CHSE protocol had not been implemented so that the destination has not been able to operate again. In addition, researchers found other problems outside of the impact of the pandemic, namely the ineffectiveness of the concept of a rural tourist in the destination so that the right strategy was needed to draw conclusions in strategic planning, then the development strategy needed in the Cigaru Blue Lake Rural Tourism, namely by implementing CHSE and developing on facilities and activities (Eco-Lodge, Eco-Recreation and Eco-Education) at Cigaru Blue Lake Rural Tourism.

Keywords: rural tourism, cigaru blue lake, development strategy, pandemic, covid-19.

Pendahuluan

Sejak pertama kali COVID-19 ditemukan di Indonesia pada awal tahun 2020 penyebaranya telah berlangsung lebih dari setahun. Pengaturan berbeda yang membatasi aktivitas masyarakat membuat tingkat kunjungan wisatawan ke titik terendah. Berdasarkan informasi dari Central Measurements Organization, terjadinya penurunan wisatawan yang cukup signifikan, hal ini terjadi pada pengunjung sekitar juga pengunjung jarak jauh. Jumlah kunjungan pengunjung ke Indonesia pada tahun 2020 menjadi 4,02 juta kunjungan dibandingkan dengan tahun 2019, jumlah pengunjung jarak jauh berkurang 75,03 persen. Kondisi pariwisata yang kurang kondusif membuat kondisi keuangan masyarakat terpuruk.

Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (KEMENPAREKRAF), menyampaikan kebijakan terkait arahan Presiden Indonesia terhadap pemulian industri pariwisata meliputi kemudahan berspekulasi dari para pelaku bisnis, penataan segmen anggaran khususnya yang terkait dengan fintek atau modal. Sesuai aturan UNWTO, beberapa negara yang masih menggantungkan gajinya melalui segmen pariwisata harus mulai menciptakan visi dengan pariwisata yang layak. Pariwisata ekonomis adalah pariwisata yang mempertimbangkan dampak sosial, alam, pengunjung, industri dan lingkungan sekitar. Kemajuan industri pariwisata saat ini telah mengakui pergeseran pengenalan, dari pariwisata berkualitas menjadi pariwisata alternatif.

Desa Wisata Telaga Biru Cigaru menjadi salah satu tempat wisata paling terkenal dan instagramable di Tangerang. Danau Biru Cigaru bukanlah wisata alam melainkan wisata buatan. Cigaru bisa menjadi desa wisata di kawasan Cisoka, Tangerang. Kawasan ini memiliki inklusi dari pemerintah Desa Cigaru dan di awasi oleh masyarakat setempat serta ada otoritas sebagai kepala desa.

Pengaruh peningkatan pariwisata telah dibawa dalam pencapaian tingkat pembangunan keuangan yang tinggi. Salah satunya adalah segmen pariwisata yang

memberikan komitmen terbesar. Tingginya kontribusi tersebut dilihat dari adanya peningkatan kunjungan wisatawan residensial pada tahun 2019, antara lain:

Tabel 1. Kunjungan Desa Wisata Telaga Biru Cigaru 2016-2020

No

Tahun

Jumlah

1

2016

20.000

2

2017

22.000

3

2018

22.000

4

2019

18.000

5

2020

10.000

Rerata

18.400

Sumber: Pokdarwis Telaga Biru Cigaru, 2022

Berdasarkan tabel 1 yang didapatkan dari data kelompok sadar wisata (POKDARWIS) terlihat bahwa dari kunjungan tahun 2016 sampai 2017 Wisata Telaga Biru Cigaru menngalami peningkatan kunjungan sebesar 2000 pengunjung dari 20.000 pengunjung menjadi 22.000 pengunjung dan pada tahun 2018 kunjungan pengunjung masih stabil yaitu 22.000 pengunung. Peningkatan jumlah pengunjung yang konsisten membuat orang-orang di desa wisata mendapatkan banyak peluang untuk menambah penghasilan mereka melalui latihan yang dilakukan atau dibuka di kawasan desa wisata. Hal tersebut merupakan bagian dari upaya dari masyarakat desa wisata untuk menggerakkan perekonomian dengan memanfaatkan kemajuan desa wisata. Setiap kemajuan pariwisata berdampak pada masyarakat sekitar di sekitar jangkauan pengunjung.

Pada tahun 2019 hingga 2020 mulai mengalami penurunan pengunjung di tahun 2019 kunjungan wisata menurun menjadi 18.000 pengunjung dan di tahun 2020 selama pandemik kunjungan wisata di tahun 2020 menjadi 10.000 pengunjung, dengan penurunan tingkat kunjungan wisata tersebut warga sekitar kehilangan sumber penghasilannya dan sumber penghasilan Desa Wisata yang seharusnya

dibagi untuk pemeliharaan akomodasi selama pandemi berlangsung hanya menjadi pemasukan waga sekitar.

Sumber Daya Manusia sangat vital, tetapi kualitas SDM yang rendah akan membuat masyarakat tidak mampu mengatasi masalah kehidupan mereka yang dapat berdampak pada peningkatan jumlah intuitif. Selanjutnya, upaya pengembangan SDM harus dilakukan.

Desa wisata Cigaru memiliki sejumlah permasalahan, pertama, terkait kunjungan dalam beberapa waktu terakhir kunjungan mengalami penuruan bahkan tidak ada pengunjung. Kedua beberapa fasilitas rusak, tidak ada biaya untuk merenovasi desa wisata tersebut sehingga menghambat perkembangannya.

Pernyataan yang dilakukan Ananta, Rizkon, Swastikasari, Karim, Prastyanto dan Mularsih (2020) dalam pembahasannya bahwa segmen pariwisata merupakan salah satu segmen yang memberikan kontribusi terhadap pembayaran teritorial. Bagaimanapun, sejak Covid-19 penghasilan dari devisa pariwisata menurun. Desa Wisata Sikembang yang ada di Kabupaten Batang tepatnya Desa Blado, salah satu wisata yang terdampak Covid-19. Pengunjung yang datang ke Kawasan tersebut mengalami penurunan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pengelola Desa Wisata Sikembang agar para wisatawan tetap dapat berwisata namun tetap sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Upaya tersebut antara lain: memeriksa suhu tubuh, penggunaan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan.

Pada penelitian yang dilakukan Rafsanjani (2021) bertujuan untuk mengetahui seperti apa prosedur perbaikan akan dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Munculnya Teknik Peningkatan Pariwisata aturan Banyuwangi di tengah meluasnya Covid 19. Teknik kontras beberapa waktu belakangan ini tersebar luas, aturan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi beberapa waktu belakangan ini dengan maraknya pengembangan atau ekowisata yang bisa dipertahankan dan layak dikembangkan, namun di tengah maraknya perbedaan itu di semua objek wisata Peraturan

Banyuwangi harus memiliki Sertifikasi CHSE yaitu langsung dari Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang terhubung dengan semua tempat wisata di Indonesia, Dinas-dinas terkait yang harus mewujudkan konvensi kesehatan yang sangat ketat, dalam rangka menghindari penyebaran Covid 19 yang meluas.

Situasi pandemi covid-19 tentunya memaksa setiap orang baik wisatawan maupun para pengelola destinasi untuk melakukan terobosan baru, salah satunya dengan menerapkan protokol kesehatan karena memang dengan adanya situasi yang berbeda di masa sebelumnya, tentunya telah banyak tejadi pergeseran trend dikalangan wisatawan. Wisatawan saat ini lebih memprioritaskan hal-hal yang berkaitan dengan kebersihan, keamanan dan bebas dari penularan virus sepulangnya dari destinasi wisata tersebut. Tentunya hal ini menjadi suatu peluang dan tantangan para pemangku kepentingan dalam hal pemenuhan hak-hak wisatawan yang menginginkan destinasi wisata yang terbebas dari covid-19, sehingga apabila hak-hak tersebut terpenuhi maka wisatawan akan menjatuhkan pilihannya untuk mengunjungi destinasi wisata tersebut. Adanya suatu prioritas yang tidak biasa ini, tentunya hal tersebut menjadi penyebab perubahan tren wisata saat adaptasi kebiasaan baru. (Ramadan,2021)

Salah satu metodologi yang mendukung peningkatan pariwisata berbasis masyarakat memiliki karakter sebagai berikut:

  • 1.    Pariwisata berbasis masyarakat memiliki karakter yang lebih unik dan dapat dikelola oleh organisasi dengan skala kecil, jenis pariwisata ini dianggap aman dan tidak banyak menimbulkan dampak yang negatif seperti pariwisata konvensional.

  • 2.    Pariwisata berbasis masyarakat memiliki kesempatan untuk dapat menciptakan daya tarik pengunjung yang lebih kecil sehingga dapat diawasi oleh masyarakat sekitar dan pelaku bisnis.

  • 3.    Sangat erat kaitannya dan karena keduanya lebih dari sekadar wisata konvensional, di mana masyarakat sekitar dilibatkan dalam mendapatkan

manfaat dari kemajuan pariwisata, dengan demikian lebih melibatkan masyarakat.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan yakni kualitatif case study (studi kasus). Memanfaatkan landasan teori agar inti dari penelitian yang dilakukan sesuai dengan realitas dilapangan dan menonjolkan proses dilapangan dan mempunyai sifat deskriptif itulah yang dinamakan kualitatif. Sinonim dari penelitian kualitatif adalah penelitian interpretatif, penelitian fenomena dan penelitian natural (Rukin, 2019). Case study (studi kasus) adalah latar belakang yang alami sesuai kenyataan dilapangan yang harus dipahami, ditelaah, dijelaskan dan diuji secara komprehensif, detail, dan intensif (Suwendra, 2018). Penggunaan pendekatan penelitian kualitatif dimana Penelitian kualitatif itu dilakukan keadaan alamiah, bersifat deskritif, terjadi penakanan terhadap proses dibanding produk atau output, data yang didapat di tempat penelitian atau lapangan dianalisis secara induktif dan ditekankan pada makna hasil penelitian tersebut (Sugiyono, 2020).

Hasil dan Pembahasan

Desa Wisata Telaga Biru Cigaru berlokasi di Desa Cigaru Kelurahan Cisoka berjarak kurang lebih 10 kilometer dari Kantor Pusat Pemerintahan Kabupaten Tangerang. Pada gambar IV.1 merupakan peta dari destinasi wisata terdapat tiga danau yang berdekatan di jalan cigaru – cisoka. Telaga tersebut tdak jauh dari pemukiman waga desa dan sepanjang jalan menuju destinasi wisata terdapat banyak lahan perkebunan dan sawah.

Gambar 1. Lokasi Telaga Biru Cigaru

Sumber: Google Map, 2022

Sejarah Desa Wisata Telaga Biru Cigaru

Berdasakan hasil wawancara peneliti dengan Ketua Seksi Daya Tarik Wisata dan Kenangan bahwasanya telaga yang ada di kawasan tersebut bukan terbentuk secara alami namun telaga tersebut terbentuk dari sisa tambang pasir dengan luas 4 hektar pada tahun 1999 hingga 2005 proses alam membuat bekas galian itu digenangi oleh air, Ketua Seksi Daya Tarik Wisata dan Kenangan menuturkan bahwa air yang tergenang di kawasan tersebut dahulunya bukan berwarna biru namun dengan seiring berjalannya waktu air genangan tersebut berubah menjadi biru namun pada salah satu telaga yang awalnya berwarna biru berubah menjadi warna hijau dengan sendirinya menurut kutipan (prfnews.id, 2021) perubahan warna di telaga itu dipengaruhi dari tingkat keasaman air telaga itu sendiri. Diketahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang milik salah satu pengusaha yaitu Bapak Sudirman Indah atau yang kerap disapa dengan Koh acin, ketiga telaga tersebut memiliki kedalaman yang berbeda-beda, telaga pertama memiliki kedalaman 5 meter, kedalaman telaga kedua 15 meter dan kedalaman pada telaga ketiga yaitu 20 meter.

Pemilik lahan mengatakan bahwa keindahan di telaga tersebut memiliki potensi untuk dijadikan objek wisata, hingga akhirnya pada tahun 2015 kawasan tersebut diresmikan oleh Bupati Tangerang yaitu Ahmed Zaki Iskandar. Destinasi

wisata ini juga dimanfaatkan oleh warga sekitar sebagai lahan bisnis dengan membuka beberapa kedai makan sebagai tempat bersantai ketika berkunjung ke kawasan tersebut.

Dampak Pandemi Terhadap Desa Wisata Telaga Biru Cigaru

Dampak pandemi di lokasi penelitian terlihat jelas dari kondisi objek pada saat peneliti melakukan observasi langsung berikut hasil dokumentasi peneliti ktika

melakukan observasi:

Gambar 2. Parkir Motor dan Kedai Milik Warga

Sumber: Dokumentasi peneliti

Ketika memasuki kawasan terlihat pada gambar 2 bahwa kondisi lahan parkir motor sudah banyak ditumbuhi ilalang dan di depan parkiran merupakan kedai tempat masyarakat Desa Cigaru menjajakan dagangannya. Menurut Ketua Seksi Daya Tarik Wisata dan Kenangan dan juga penjaga objek wisata hal tersebut didasari karena tidak ada pemasukan dari pengunjung yang datang, sehingga terhambatnya biaya pemeliharaan di kawasan tersebut. Selain lahan parkir beberapa fasilitas lainnya seperti toilet juga mengalami kerusakan, dapat dilihat pada gambar yang telah peneliti dokumentasikan pada gambar 3.

Gambar 3. Kondisi Toilet di Kawasan Wisata

Sumber: Dokumentasi peneliti

Beberapa pintu sudah tidak berfungsi karena kurangnya penjagaan di area tersebut, toilet yang ada di kawasan itu dipergunakan sembarang oleh pengunjung yang memaksa masuk ke area objek wisata di saat masa pandemi. Ketua Seksi Daya Tarik Wisata dan Kenangan mengatakan bahwa area tersebut di tutup sementara karena kebijakan pemerintah, namun beberapa oknum warga di sana tetap memaksa membuka kawasan itu apabila ada pengunjung yang datang karena area tersebut merupakan mata pencaharian warga sekitar, atas hal itu pun beliau tidak dapat melarang, kemudian kondisi danau tersebut juga tidak terawat ilalang menutupi tepian danau, beberapa wahana outbond yang ada di area itu seperti sepeda gantung, flying fox dan perahu wisata juga mulai mengalami kerusakan pada gambar 4.

Gambar 4. Area Telaga Biru

Sumber: Dokumentasi peneliti

Pada proses identifikasi masalah yang terjadi di lokasi penelitian diperlukan wawancara secara mendalam, wawancara yang dilakukan pada penelitian ini dilaksanakan secara oral dengan pengelola objek wisata dan masyarakat yang ikut andil di dalam lingkup kawasan wisata, kemudian data yang telah terkumpul diolah menggunakan diagam tulang ikan (fishbone).

Hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti menghasilkan tiga poin permasalahan yang dibahas untuk diidentifiksi sebab dan akibatnya sehingga dapat ditarik keputusan untuk menghasilkan solusi, tiga poin permasalahan tersebut yakni, terjadinya penurunan kunjungan selama pandemi covid-19, rusaknya fasiltas dan wahana yang ada di lokasi desa wisata dan terhambatnya perkembangan desa wisata. Ketiga poin tersebut didentifikasikan secara grafik dengan menggunakan diagram fishbone sebagai berikut:

DIAGRAM TULANG IKAN (FISHBONE)

Gambar 5. Diagram Tulang Ikan

Komponen pada aturan digunakan untuk mengidentifikasikan masalah terhadap turunnya tingkat kunjungan selama pandemi covid-19, penurunan angka kunjungan ini tidak hanya dirasakan oleh objek penelitian namun di seluruh objek wisata memiliki dampak yang serupa karena beberapa aturan yang dibuat oleh pemerintah untuk memutus penyebaran virus seperti menjaga jarak, tetap melaksanakan protokol kesehatan dan pembatasan masyarakat untuk berkumpul. Pada saat peneliti melakukan observasi dan wawancara di lokasi penelitian terdapat permasalahan yang saling berhubungan yakni belum adanya sertifikasi CHSE di objek penelitian sehingga mengakibatkan penutupan sementara destinsi wisata telaga biru, sertifikasi CHSE merupakan program Kemenparekraf untuk pelaku usaha industri pariwisata yang berupa penerapan protokol kesehatan berbasis Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan) dan Environment (Ramah lingkungan).

Pada komponen sumber daya manusia digunakan untuk mengidentifikasi permasalahan pada rusaknya fasilitas dan wahana yang ada di objek penelitian, terdapat permasalahan yang saling berkaitan, keseluruhan dana yang masuk ke objek wisata merupakan hasil dari kunjungan wisatawan dengan menurunnya kunjungan wisata berdasarkan data pokdarwis pada tahun 2019 dan 2020 kemudian pada tahun 2020 hingga 2022 kawasan tersebut ditutup sementara menurut penuturan ketua pokdarwis beliau juga mengatakan bahwa baru bergabung mengurus desa wisata di tahun 2019 terhitung dari agustus hingga desember dan januari 2020 tempat wisata ditutup dan tidak dikelola lagi, peneliti menemukan keejanggalan karena pada tabel I.1 terdapat jumblah kunjungan namun menurut penuturan ketua pokdarwis mengtakan bahwa destinasi tersebut ditutup selama pandemi berlangsung, peneliti mencari info lain untuk mencari tahu data tersebut, salah satu pengurus memberikan penjelasan bahwa pada awal pandemi masuk dan ditutupnya destinasi wisata telaga biru cigaru wisatawan masih tetap berdatangan angka jumblah kunjungan pada tabel I.1 merupakan kisaran jumblah kunjungan dalam satu tahun di tahun 2020,

kunjungan tersebut dimanfaatkan oleh warga desa cigaru yang kehilangan penghasilannya selama pandemi pada akhirnya destinasi tersebut dibuka tanpa pengelolaan pokdarwis dan dana kunjungan yang masuk menjadi penghasilan warga desa cigaru untuk kebutuhannya sendiri pada akhirnya pengelola tidak dapat melakukan pemeliharaan secara berkala dan terjadilah kerusakan-kerusakan pada fasilitas dan wahana yang ada, dalam wawancara dengan ketua seksi daya tarik dan kenangan menuturkan bahwa pemilik lahan telah berusaha mencari pihak investor untuk menunjang keberlangsungan destinasi wisata di masa mendatang.

Komponen terahir yakni bahan baku untuk mengidentifikasi permasalahan pada terhambatnya perkembangan desa wisata, pada masalah ini didasari atas perubahan konsep awal objek penelitian sebagai desa wisata. Pemilik lahan mengatakan bahwa bekas tambang pasir yang ditinggalkan itu telah direncanakan untuk dijadikan objek wisata namun tidak untuk dalam waktu dekat mengingat pemilik lahan masih memiliki sejumlah kendala dalam hal menjadikan kawasan tambang tersebut untuk dijadikan destinasi wisata yakni kendala pembiayaan sehingga kawasan tambang tersebut masih dibiarkan seperti sediakala. Namun ternyata fenomena alam telah memaksa kawasan tambang tersebut untuk dikembangkan sebagai destiasi wisata di luar waktu perencanaan pemilik tambang terebut. Air yang tergenang di lubang bekas galian tambang yang semula berwarna hitam, keruh, dan tidak menarik untuk dipandang kemudian berubah menjadi warna biru karena tingkat keasaman pada danau tersebut atas dasar itu bekas tambang pasir itu menjadi suatu daya tarik yang memancarkan keindahan pesona alam, fenomena tersebut berdampak kepada banyaknya para masyarakat yang penasaran dengan kawasan tambang dikarenakan pemandangan yang ada di kawasan tersebut layaknya pemangdangan yang biasa orang saksikan di kawah-kawah pegunungan. Sehingga pemilik tambang menganggap hal tersebut sebagai suatu momentum untuk menyegerakan peresmian pembukaan kawasna bekas galian tambang tersbut

menjadi suatu destinasi wisata kendatipun masih diselenggarakan dengan kehadiran fasilitas-fasilitas yang jauh dari kata mumpuni.

Menanggapi banyaknya masyarakat yang mendatangi kawasan tambang tersebut sehingga pemerintah daerah juga turut melirik kawasan tersbut sebagai potensi wisata yang dapat dikembangkan sehingga pemerintah daerah pun memberikan dorongan dukungan baik pelatihan pengoptimalan sumber daya manusia dan lain sebagainya. Namun nyatanya pelatihan-pelathan yang telah diberikan oleh pemerintah daerah, tidak sepenuhnya di terapkan tergambar jelas pada saat peneliti melakukan wawancara dengan pengelola beberapa perencanan awal masih belum terlaksana karena pihak pengelola juga pemilik lahan masih fokus pada pengembangan seperti pembangunan jalan setapak untuk mengitari danau, arena outbond, dan spot foto. Penuturan Ketua Seksi Daya Tarik Wisata dan Kenangan bahwa masyarakat yang terlibat dalam POKDARWIS diberikan pelatihan oleh Dinas Pariwisata untuk mengelola desa tersebut dengan memperhatikan keanekaragaman budaya yang ada, baik dari makanan khas, kesenian dan juga upacara adat, berikut beberapa perencanaan awal yang akhirnya terhambat:

Tabel 2. Perencanaan Desa Wisata yang Terhambat

No

Perencanaan

Status

1

Kelas memasak (masakan khas desa cigaru)

Belum terlaksana

2

Paket wisata edukasi wisata

tentang Desa Cigaru

Belum terlaksana

3

Pertunjukan seni

Terlaksana namun tidak berjalan

4

Membuat  kerajinan  tangan

untuk oleh-oleh

Belum terlaksana

Sumber: Podarwis Telaga Biru Cigaru, 2022

Pada tabel 2 menurut penuturan Pokdarwis perencanaan awal dalam membangun desa wisata dengan mengadakan edukasi wisata kepada wisatawan terhadap keanekaragaman di Desa Cigaru, beberapa perencanaan seperti kelas memasak, pertunjukan seni dan kerajinan tangan yang ada di desa tersebut terhambat pelaksanaannya ditambah dengan terjadinya pandemi yang berlangsung selama dua tahun lebih sehingga melumpuhkan seluruh kegiatan yang ada di Desa Cigaru. Berikut merupakan tingkat kunjungan Desa Wisata Telaga Biru Cigaru sebelum dan selama pandemi berlangsung:

TINGKAT KUNJUNGAN WISATAWAN

—♦— Wisatawan

25000


20000

15000

10000

5000

0

Gambar 6. Tingkat Kunjungan Wisatawan ke Telaga Biru Cigaru

Sumber: Pokdarwis Telaga Biru Cigaru, 2022

Tingkat kunjungan di Desa Cigaru dari tahun 2016 mengalami peningkatan yang cukup bagus hingga akhirnya di tahun 2019 kunjungan wisatawan mulai merosot hampir mencapai 10.000 pengunjung pertahunnya hingga munculnya pandemi covid-19 tingkat kunjungan di desa tu semakin terpuruk dan di awal tahun 2022 pengelola objek pada akhirnya menutup sementara waktu karena tidak ada wisatawn yang berkunjung, penutupan sementara waktu ini bertujuan memfokuskan

pengelola dan para pihak terkait yang bertanggung jawab atas desa wisata tersebut untuk membuat strategi yang dapat membantu membangkitkan desa wisata tersebut

di masa mendatang.

Dampak Pandemi Terhadap Masyarakat Desa Cigaru

Dampak lainnya dirasakan oleh masyarakat Desa Cigaru karena destinasi tersebut merupakan mata pencaharian masyarakat sekitar di mana pola pembelanjaan wistawanpun ikut memburuk, berdasarka hasil wawacara masyarakat Desa Cigaru yang berniaga di kawasan Desa Wisata Telaga Biru Cigaru rerata penghasilan yang didapatkan sebelum pandemi mencapai Rp. 300.000-400.000 dalam satu hari, namun selama pandemi berlangsung untuk mendapatkan Rp. 50.000 dalam sehari pun sangatlah sulit, tingkat pembelanjaan tersebut apabila digambarkan dalam bentuk diagram maka akan seperti berikut:

TINGKAT PEMBELANJAAN

160.000.000

140.000.000

120.000.000

100.000.000

80.000.000

60.000.000

40.000.000

20.000.000

0

—♦—Rerata Pembelanjaan

Gambar 7. Tingkat Pembelanjaan Telaga Biru Cigaru


Sumber: Warga Desa Cigaru

Data pada gambar 7 didapatkan dari hasil wawancara langsung dengan masyarakat Desa Cigaru yaitu Bapak Amsin dan Ibu Masitoh yang masih bertahan

menjajakan jualannya di area wisata, menurut penuturannya meskipun kawasan tersebut ditutup sementara akibat pandemi, namun pada saat hari libur kawasan

tersebut masih sering dikunjungi wisatawan untuk bersuafoto jadi bapak amsin juga ibu masitoh tetap berjualan dengan harapan ada pengunjung yang datang. Peneliti menemukan fenomena yakni terdapat pengrajin bambu di desa tersebut tidak menjual produknya di desa wisata namum mengirimnya ke pasar, menurut data yang

di dapatkan peneliti dari POKDARWIS, padahal dengan menjajakan kerajinan tangan

tersebut akan meningkatkan ragam penjualan sebagai ciri khas desa wisata.

Gambar 8. Kerajinan Tangan Desa Cigaru

Sumber: Sayuti, 2022

Pada gambar 8 merupkan produk dari pengrajin yang di Desa Cigaru, menurut penuturan informan produknya tidak laku karena hasil produknya tidak sesuai dan tidak diterima oleh wisatawan justru malah laku di pasaran. Menurut peneliti berdasarkan observasi terhadap produk produk turunan dari bambu yang dibuat oleh para pengrajin anyaman memang bentuknya tidak unik tidak menarik dan apa yang dihasilkan oleh para pengrajin tidak mampu menyesuaikan desain produk

dengan kebutuhan wisatawan yang ingin membawa pulang sesuai sebagai suatu bukti atau pertanda bahwasanya mereka telah mengunjungi tempat tersebut yang dinamakan dengan oleh-oleh atau cindera mata. Peneliti menilai, produk yang dihasilkan para pengrajin terkesan minim inovasi, sangat umum dan dapat ditemukan di mana saja tidak hanya di lokasi wisata. semestinya hendaklah para pengrajin tersebut mampu beradaptasi dan memahami kebutuhna wisatawan sepeti halnya membuat dompet atau tas-tas atau sesuatu ynag sifatnya mdah dibawa pulang dan tidak merepotkan pembeli dengan ukuran yang besar.

Hasil identifikasi masalah yang telah dijabarkan pada gambar 5 selanjutnya diperlukan penarikan keputusan untuk mengambil solusi dari hasil analisis yang akan digunakan sebagai strategi pengembangan desa wisata di masa pandemi. Penulis menggunakan teknik analisis strategi PESTLE untuk melakukan penyesuaian antara fenomen dengan fakta yang terjadi di destinasi wisata sehingga memunculkan solusi yang seharusnya diambil.

  • 1.    Faktor Politik

Sebagai bentuk dukungan dari perkembangan pariwisata khususnya di Desa Wisata Telaga Biru Cigaru, Pemerintah Kabupaten Tangerang telah memberikan Peran pelatihan terhadap masyarakat Desa Cigaru untuk mengelola desa tersebut sebagai destinasi wisata sebagai peningkatan ekonomi masyarakat di desa tersebut. namun pada prakteknya warga tdak dapat sepenuhnya menerapkan apa yang telah diberikan pada pelatihan tersebut, atas dasar itu dibutuhkan pemberdayaan SDM di desa tersebut dan juga peningkatan keterampilan dalam menyajikan kebudayaan seperti kesenian dan kerajinan tangan khas daerah serta kegiatan sehari-hari warga Desa Cigaru yang terdapat di desa itu karena pada hasil wawancara tehadap wisatawan sebagian besar wisatawan yang pergi berkunjung ke destinasi wisata justru tidak mengetahui akan kebudayaan tersebut.

  • 2.    Kondisi Ekonomi

Petumbuhan ekonomi yang dirasakan warga Desa Cigaru atas diresmikannya Telaga Biru Cigaru pada tahun 2018 sebagai destinasi wisata menunjukan hasil yang positif, pada hasil data yang peneliti dapatkan dari warga sekitar terlihat pada gambar IV.9 di tahun 2018 penghasilan warga desa cigaru yang menggantungkan mata pencahariannya di kawasan dengan berniaga mengalami peningkatan yang sangat baik, berdasarkan data tersebut dikatakan bahwa pemasukan yang didapatkan oleh warga dalam sehari sebanyak sekitar Rp. 300.000 sampai dengan Rp. 400.000. Namun pada saat pandemi datang warga menuturkan untuk mendapatkan penghasilan dalam satu hari sangatlah susah apalagi selama destinas tersebut ditutup sementara. Dengan demikian penutupan destinasi wisata tersebut sangat berpengaruh terhadap kondisi ekonomi warga Desa Cigaru, dengan adanya peraturan pemerintah untuk melakukan sertifikasi CHSE terhadap pelaku usaha pariwisata merupakan peluang bagi pengelola Desa Wisata Telaga Biru Cigaru untuk membuka kembali destinasi tersebut dengan harapan dapat memperbaiki kondisi ekonomi warga Desa Cigaru.

  • 3.    Faktor Sosial Budaya

Desa wisata merupakan bentuk destinasi wisata dengan kegiatan yang secara langsung melibatkan penduduk lokal sebagai subjek. Melalui interaksi secara langsung dengan pengunjung akan memberikan informasi terhadap pemahaman kebudayaan yang ada di desa tesebut. Pada prakteknya interaksi yang dilakukan antara pengunjung dan pengelola di Desa Wisata Telaga Biru Cigaru kurang, dari hasil wawncara secara tidak langsung antara peneliti dengan wisatawan yang pernah mengunjng destinasi tersebut masih menunjukan bahwa informasi tentang kebudayaan di Desa Cigaru tidak tersampaikan kepada wisatawan yang datang berkunjung.

Untuk memecahkan permasalahan yang terjadi dibutuhkan pembngunan desa wisata secara keseluruhan meliputi agama, adat, budaya, sosial, ideologi, politik, ekonomi dan teknologi. Selain itu, pembangunan pariwisata berkelanjutan juga

diperlukan untuk menjamin sumber daya alam juga kebudayaan yang dilestarikan untuk generasi yang akan datang.

  • 4.    Faktor Teknologi

Pekembangan teknologi dengan penggunaan internet yang meningkat di masa kini dapat dimanfaatkan dengan baik oleh pengusaha dan pengelola wisata dalam mengembangkan pariwisata. Pemanfaatan teknologi dapat memudahkan informasi kepada wisatawan tentang destinasi wisata dengan sarana dan prasarana pendukungnya seperti informasi rute, biaya dan transportasi yang dapat digunakan menuju destinasi wisata.

Pemanfaatan teknologi di Desa Wisata Telaga Biru Cigaru yang telah diterapkan oleh pemerintah sekitar yakni dengan menyiarkan iklan layanan informasi tentang destinasi tersebut melalui siaran radio Swara Tangerang Gemilang, iklan tersebut masih tersedia sampai saat penelitian ini berlangsung, tindakan tersebut diharapkan dapat menyampaikan informasi tentang destinasi wisata kepada masyarakat namun pada prakteknya informasi itu hanya sampai kepada masyarakat yang berada di jangkauan radio Tangerang dan kepada pendengar yang mendengarkan radio saja, dibutuhkan tindak lanjut pemanfaatan teknologi dengan media lain yang lebih memungkinkan banyaknya wisatawan yang melihat informasi tersebut.

  • 5.    Faktor Legal/Regulasi

Regulasi pemerintah tidak dapat diabaikan khususnya di masa pandemi ini, beberapa regulasi telah di tetapkan pemerintah untuk memutuskan penyebaran virus yang menyebabkan pandemi. Regulasi yang di buat pemerintah untuk para pelaku usaha di sektor pariwisata berupa penerapan CHSE menjadi syarat untuk destinasi wisata dibuka kembali dan diperbolehan beroperasi dengan aturan yang berlaku. Pada prakteknya Desa Wisata Telg Biru Cigaru masih dala keadaan tutup sementara karena belum diterapkannya regulasi pemerintah. Menurut hasil wawancara dengan pengelola wisata bahwasanya destinasi tersebut masih direncanakan untuk dibuka

kembali, pengelola dan masyarakat sekitar masih berbenah memperbaiki kerusakan-kerusakan yang ada di destinasi wisata. dengan adanya regulasi pemerintah tentang CHSE dapat menjadi pedoman pengelola wisata dalam merencanakan pengembangannya.

  • 6.    Faktor Lingkungan

Lingkungan alam merupakan salah satu daya tarik dari pariwisata, lingkungan tersebut bisa berupa pemandangan alam yang terbentang luas, keindahan danau, sungai dan lautan, hijaunya perkebunan, hutan dan rawa, kelestarian floura dan fauna, peninggalan sejarah juga kebudayaan. Hubungan antara wisatawan dengan lingkungan semestinya saling menguntungkan, dengan keindahan faktor lingkungan wisatawan mendapatkan keuntungan berupa rasa bahagia ketika berwisata begitu juga faktor lingkungan yang harusnya mendapatkan keuntungan dari wisatawan berupa tanggung jawab atas kelestarian alam. Dengan menjaga kelestarian tersebut dapat membuat keberlanjutan destinasi wisata di masa mendatang.

Pada prakteknya Desa Wisata Telaga Biru Cigaru mengalami kerusakan, kurangnya pemeliharaan dan penjagaan menjadi faktor utama kerusakan di destinasi tersebut. oleh karena itu, diperlukan perbaikan ulang untuk membangun destinasi kembali seperti sedia kala, selanjutnya dibutukan penjagaan ketat teradap oknum yang berpotensi merusak kelestarian lingkungan.

Berdasarkan unit analisis yang telah ditentukan pada penelitian ini dengan merangkum semua hasil wawancara serta observasi langsung kemudian dilakukan penyajian data dengan diagram, bagan serta tabel sehingga mempermudah dalam penarikan hasil (kesimpulan). Strategi pengembangan yang sesuai dengan prinsip desa wisata dapat disimpulkan pada beberapa unit. Strategi tersebut diambil dengan cara menganalisis kesenjangan yang ada di Desa Cigaru pada analisis PESTLE sehingga dapat dijadikan prioritas pengembangan.

Strategi Pengembangan Terhadap Desa Wisata Cigaru

Berikut ini merupakan strategi yang akan diterapkan di Desa Cigaru:

  • 1.    Penerapan CHSE

Untuk memberikan kenyamanan pada wisatawan saat berkunjung pengelola dan masyarakat sekitar melakukan penerapan protokol kesehatan dengan pengecekan suhu di pintu masuk desa wisata, menyediakan fasilitas pencuci tangan di pintu masuk untuk digunakan wisatawan sebelum memasuki area destinasi wisata, diperukan juga pemandu rute agar wisatawan tidak tersesat dan tidak terjadinya penumpukan di satu titik.

  • 2.    Pengembangan Fasilitas dan Kegiatan

Kegiatan pengembangan fasilitas dan kegiatan pada penelitian ini berfokus pada aspek Desa Wisata menurut Aryani, Sunarti dan Darmawan 2017:

  • a.    Eco-lodge

Mendesain ulang homestay untuk memenuhi kebutuhan pemukiman pengunjung, atau membangun rumah pengunjung dalam kerangka rumah bambu, rumah konvensional, rumah kayu, dan sebagainya

  • b.    Eco-Recreation

Latihan agraria, pameran kerajinan lingkungan, memancing di danau, jalan-jalan, bersepeda dan sebagainya. Pada aspek ini perencanaan kegiatan mesti ditambahkan seperti pameran kerajinan bambu, penyediaan kereta wisata.

  • c.    Eco-Education

Pada aspek ini wisatawan akan diberikan edukasi tentang ciri khas budaya dari Desa Cigaru seperti pertunjukan kesenian di mana kesenian yang terdapat di Desa Cigaru seperti pencak silat, mapag penganten dan permainan alat musik rebana yang biasanya dipertunjukan pada saat upacara pernikahan, kemudian edukasi wisata terhadap lngkungan sektar, di mana telah direncanakan sebelumnya kegiatan berkebun seperti menanam kacang tanah kemudian pemberian kelas memasak dengan olahan kacang tersebut, diketahui bahwa kacang tanah merupakan makanan

yang populer di desa ini selain itu kegiatan berternak seperti ternak lebah madu dan ternak sapi untuk diperah sebagai edukasi floura dan fauna di lokasi wisata.

Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari penelitian ini disimpulkan berdasakan rumusan masalah yang ada sebagai berikut:

  • 1.    Dampak pandemi terhadap Desa Wisata Telaga Biru Cigaru yakni dengan penurunan kunjungan wsatawan yang terjadi mengakibatkan terjadinya penurunan pada tingkat ekonomi yang dialami oleh masyarakat Desa Cigaru, kemudian belum diterapkannya protokol CHSE sehingga destinas tersebut belum bisa beroperasi kembali. Selain itu, peneliti menemukan permasalah lain di luar dari dampak pandemi yakni tidak berjalannya konsep desa wisata di destinasi sehingga dibutuhkan strategi yang tepat untuk menarik kesimpulan dalam perencanaan strategi.

  • 2.    Strategi pengembangan yang dibutuhkan di Desa Wisata Telaga Biru Cigaru yakni dengan penerpan CHSE dan pengembangan pada fasilitas dan kegiatan (Eco-Lodge, Eco-Recreation dan Eco-Education) di Desa Wisata Telaga Biru Cigaru.

Ucapan Terima Kasih

Penulis berterima kasih penuh kepada Dr. Nining Yuniati, S.S., M.M. selaku pembimbing utama dan Dr. Amiluhur Soeroso, M.M., M.Sc., CHE. Selaku pembimbing pendamping, terima kasih atas kesabaran yang begitu besar dalam membimbing. Waktu, semangat dan saran yang diberikan sangat membantu dalam menyeleaikan tulisan ini.

Daftar Pustaka

Ananta, H., Rizkon, A., Swastikasari, A., Karim, M. A., Prastyanto, L. D., & Mularsih, S. (2020). Analisis dampak Covid-19 terhadap Sektor Pariwisata Sikembang Park Kecamatan Blado Kabupaten Batang. Faklutas Ilmu Pendidikan, Fakultas Ilmu Sosial, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, 17.

Ramadan, R. (2021). Pergeseran Tren dan Perilaku Wisatawan serta Pelaku Industri Pariwisata di Provinsi Sumatera barat pada Era New Normal. VITKA Jurnal Manajemen Pariwisata, 3(01).

Rafsanjani, F. (2021). Strategi Pengembangan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi Pada Masa Pandemi Covid 19 (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER).

Rukin. (2019). Metodologi Penelitian Kualitatif (1st ed.). Yayasan Ahmar Cendikia Indonesia.

Sugiyono. (2020). Metode Penelitian Pariwisata (M. DR. Yuniati, Nining, SS. (ed.); 1st ed.). Alfabeta Bandung.

Suwendra, I. W. (2018). Metodologi penelitian kualitatif dalam ilmu sosial, pendidikan, kebudayaan dan keagamaan. Nilacakra.

Profil Penulis

Nadya Rechtta Utami, S.H. merupakan Mahasiswa Program Studi Magister Pariwisata, Sekolah Tinggi Ilmu Pariwisata Ambarrukmo Yogyakarta Angkatan 2020. Dr. Nining Yuniati, S.S., M.M. merupakan dosen Sekolah Tinggi Ilmu Pariwisata Ambarrukmo Yogyakarta. Meraih Gelar Doktor (S3) di Universitas Satya Wacana 2019. Meraih Gelar Magister (S2) di Universitas Atma Jaya 2002. Meraih Gelar Sarjana (S1) di Unversitas Gajah Mada 1998.

Dr. Amiluhur Soeroso, M.M., M.Sc., CHE. merupakan dosen Sekolah Tinggi Ilmu Pariwisata Ambarrukmo Yogyakarta.

JUMPA Volume 8, Nomor 2, Januari 2022

353