KOMODIFIKASI KEARIFAN LOKAL DI BIDANG KESEHATAN SEBAGAI DAYA TARIK WELLNESS TOURISM DI UBUD
on
KOMODIFIKASI KEARIFAN LOKAL DI BIDANG KESEHATAN SEBAGAI DAYA TARIK WELLNESS TOURISM DI UBUD
I Wayan Suteja
Prodi Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana Email: tejabulan@gmail.com
I Wayan Ardika
Prodi Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana Email: ardika52@yahoo.co.id
Ida Bagus Gde Pujaastawa
Prodi Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana Email: ibg_pujaastawa@yahoo.co.id
ABSTRACT
This study discusses the commodification of local wisdom in health sector as the attraction of wellness tourism in Ubud Tourism Area. This research addresses the problem about the forms of commodification of local wisdom in health sector as an attraction of wellness tourism in Ubud Tourism Area. The method used to analyse the data is descriptive qualitative method with qualitative data. Types of data used are primary and secondary data with data collection techniques such as in-depth interviews, observations, documentations and literature studies. Based on the results of this study it can be explained that the development of commodification of local wisdom in health sector as a health tourism attraction in the Ubud Tourism Area occurs in the form of commercialisation, profanisasi and modernisation. Commercialisation is identified in the form of place arrangement, product packaging and marketing. Then the profanisation occurs causes the decline in the sacred value of local wisdom into economic-oriented activities. Modernisation also has changed the local wisdom into modernised products.
Keywords: Commodification, Local Wisdom, Health Tour, Ubud
Pendahuluan
Kawasan Pariwisata Ubud merupakan salah satu kawasan pariwisata yang sejak awal perkembangannya sudah sangat terkenal melalui kebudayaan terutama seni lukisnya. Berkat kebudayaan, Ubud telah mendapat beberapa sebutan seperti “Kota Seni” dan “Desa Tradisional” di Bali. Hal ini telah membawa Ubud menjadi salah satu tempat tujuan pariwisata dunia. Tetapi sejalan dengan semakin pesatnya pertumbuhan pariwisata dan perubahan tren perjalanan yang dilakukan oleh wisatawan global, turut berpengaruh terhadap perkembangan berbagai produk pariwisata di Ubud. Belakangan ini Ubud tidak hanya dikenal sebagai kawasan pariwisata budaya, tetapi Ubud justru muncul sebagai salah satu pusat wellness tourism di Bali.
Wellness tourism pada konsep bisnis pariwisata adalah sub bagian dari health tourism sejajar dengan bisnis pariwisata lainnya. Health tourism dapat dikategorikan sebagai illness prevention tourism dan spa/convalescence tourism. Health and wellness tourism termasuk pada illness prevention tourism yang di dalamnya dikategorikan menjadi jasa kesehatan dan jasa kebugaran (Kaspar 1990, dalam Utama 2011). Dari sekian banyak produk wellness tourism yang ada di Ubud, spa dan yoga menjadi produk yang muncul dengan perkembangan yang paling pesat.
Bali dengan pusatnya Ubud merupakan salah satu tujuan wisata health and wellness bahkan telah memiliki nama yang populer sebagai salah satu tujuan wisata wellness khususnya di bidang spa dan telah meraih predikat The Best Destination Spa in Asia pada Asia Spa and Wellness Festival Gold Award di Bangkok dan The Best Spa di dunia oleh Berlin Based Fitness Magazine Sense Spa dan Annual International Tourism Bourse (ITB), Berlin pada tahun 2009. Perkembangan ini didukung oleh potensi yang sangat besar atas kedua aset wellness tourism yaitu (1) Existing assets for health and wellness tourism di antaranya natural asset, indigenous healing tradition, medical service, nature, serta spiritual tradition dan (2) Use of existing assets di antaranya leisure and recreation, medical or therapeutis hotel and clinic spa, medical or surgical clinic or hospital, medical well-
ness centre or spa, holistic retreat, hotel dan resort spa (Utama 2011)
Peningkatan tren wellness tourism khususnya spa telah mendorong terjadinya komodifikasi terhadap aset lokal terutama kearifan tradisional masyarakat di bidang kesehatan dan pengobatan tradisional. Produk-produk wellness tourism yang dikembangkan bahkan sebagian besar bersumber dari pengetahuan lokal yang dikemas sebagai komoditas pariwisata. Berkembangnya komodi-fikasi terhadap kearifan lokal di bidang kesehatan sebagai daya tarik wellness tourism merupakan fenomena yang cukup menarik untuk dikaji. Oleh karena itu dalam tulisan ini dibahas tentang bentuk-bentuk komodifikasi kearifan lokal di bidang kesehatan sebagai daya tarik wellness tourism di Kawasan Pariwisata Ubud.
Teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam tulisan ini adalah teori komodifikasi yang dirujuk dari pemikiran Karl Marx dan George Simmel (Turner 1992). Teori ini menjelaskan bahwa akibat ekonomi uang yang berdasarkan semangat memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya mengakibatkan munculnya gejala komodifikasi di berbagai sektor kehidupan. Selain itu teori ini juga didukung oleh pendapat Piliang (1999) yang menjelaskan bahwa masyarakat penghasil produk selalu dituntut kreativitasnya untuk dapat menyesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan pasar. Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kawasan Pariwisata Ubud, Kabupaten Gianyar Provinsi Bali dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara mendalam, observasi dan studi kepustakaan. Adapun jenis data yang diperoleh berupa data kulaitatif dan kuantitatif dengan sumber data primer dan data skunder serta proses analis data dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif.
Wellness Tourism di Kawasan Pariwisata Ubud
Kawasan Pariwisata Ubud yang semula menjadi pusat pariwisata budaya di Bali saat ini telah berkembang mengikuti perkembangan pasar pariwisata dunia. Belakangan ini Ubud justru tidak hanya dikenal karena atraksi alam dan budayanya saja tetapi juga muncul kegiatan pariwisata yang tengah diminati para
wisatawan dunia salah satunya adalah wellness tourism. Kegiatan wellness tourism di Ubud sudah muncul sejak tahun 1980-an dan semakin berkembang pesat semenjak Ubud muncul dalam sebuah film yang berjudul “Eat Pray Love” yang turut mengangkat nama salah satu praktisi pengobatan tradisional Ketut Liyer.
Sampai saat ini perkembangan wellness tourism di Ubud semakin meningkat seiring dengan peningkatan atas permintaan untuk menikmati kesehatan dan kebugaran yang telah menjadi kebutuhan, gaya hidup bahkan menjadi aktualisasi masyarakat dunia. Global Spa and Wellness Summit (2013) menyebutkan bahwa pengaruh resesi finansial dunia telah mengubah demografik dan sikap budaya konsumen menuju pada sikap budaya konsumen pascaresesi (post rescessionconsumer). Dalam hal ini terdapat empat indikator kunci dalam sikap budaya masyarakat, salah satu di antaranya ialah komponen health and wellbeing, yaitu good health dan wellness menjadi gaya hidup yang membawa kebahagiaan yang lebih baik pada sisi jasmani dan rohani penikmatnya. Selain itu, berdasarkan laporan dari Global Spa and Wellness Summit (2013) dampak ekonomi dari perkembangan wellness dunia terdiri atas beberapa impact (dampak) yaitu; 1) dampak terhadap pasar pariwisata global (tourism global market) sekitar $439 milyar, 2) dampak terhadap lapangan kerja langsung (direct job) sebesar 12 juta, 3) dampak terhadap ekonomi global (global economic impact) sebesar $1,3 triliun, dan 4) dampak terhadap pengeluaran pariwisata global secara keseluruhan (all global tourism spending) sebesar 14%. Bahkan diperkirakan bahwa wellness akan menjadi tren perjalanan wisata utama dan mengalami peningkatan dari segi permintaan pada tahun-tahun mendatang terutama di Kawasan Asia, Amerika Latin dan Afrika bagian Tengah.
Model produk wellness tourism yang muncul di dunia yang produknya dapat dikategorikan ke dalam beberapa kelompok yakni (1) mind mental activitor education (latihan pengendalian jiwa/meditasi), (2) health nutrion/diet (kesehatan dan nutrisi), (3) body physical fitnessor beauty care (fitness, perawatan fisik dan kecantikan), dan (4) relaxationrest or spa (relaksasi). Dari beberapa je-
Komodifikasi Kearifan Lokal di Bidang Kesehatan sebagai Daya Tarik Wellness Tourism... nis produk wellness tersebut hampir semuanya telah tumbuh dan berkembang di Kawasan Pariwisata Ubud. Tetapi jenis produk yang perkembangannya paling pesat adalah yang di kategorikan ke dalam relaxation rest and spa (mencakup seluruh jenis relaksasi dan spa). Kemudian kategori kedua adalah mind mental activi-tor education yang meliputi healing, yoga, palming dan meditasi. Sedangkan kategori produk yang paling diminati adalah spa dan yoga (Utama 2011).
Kawasan Pariwisata Ubud juga sangat didukung oleh aset wellness tourism existing assets for health and wellness tourism yang berupa potensi alami yang dimiliki masyarakat Ubud yang telah diwariskan secara turun-temurun. Existing assets for health and wellness tourism yang dimiliki di antaranya natural asset yaitu segala potensi yang ada di sekitar masyarakat yang berkembang secara alami, indigenous healing tradition yang berupa beragam kearifan tradisional di bidang kesehatan, medical services berupa layanan-layanan pengobatan yang bersifat tradisional (usada), serta spiritual tradition berupa kegiatan dan tradisi yang bersifat spiritual. Kemudian aset kedua yang dimiliki oleh Ubud adalah use of existing assets yaitu kemampuan masyarakat di dalam mengolah, mengkemas dan mengelola segala potensi yang ada sehingga mampu menjadi produk wisata yang diminati oleh wisatawan. Kemampuan sumber daya manusia (SDM) masyarakat Ubud dalam menampilkan potensi yang ada khususnya untuk wellness product antara lain dalam bentuk leisure and recreation services berupa layanan bagi wisatawan yang melakukan kegiatan wisata di Ubud, hotel medical and clinic spa berupa program dan fasilitas medical and wellness yang di tawarkan di dalam akomodasi wisata khususnya hotel dan wellness centre di antaranya pusat-pusat kegiatan wellness seperti spa dan yoga (Utama 2011).
Pesatnya perkembangan wellness tourism yang didukung oleh produk-produk hasil komodifikasi kearifan tradisional bahkan telah menyebabkan nama Ubud kian melambung di kancah internasional sebagai pusat pariwisata kesehatan di Bali yang ditandai dengan beragam prestasi dan penghargaan yang diraih
terutama pada bidang spa. Beberapa penghargaan yang pernah didapatkan adalah The Best Destination Spa in Asia pada Asia Spa and Wellness Festival Gold Award di Bangkok dan The Best Spa di dunia oleh Berlin Based Fitness Magazine Sense Spa dan Annual International Tourism Bourse (ITB), Berlin pada tahun 2009 (Dar-mawijaya 2011).
Bentuk-Bentuk Komodifikasi Kearifan lokal di bidang Kesehatan sebagai Daya Tarik Wellness Tourism
Terkait dengan bentuk-bentuk komodifikasi kearifan lokal di bidang kesehatan sebagai daya traik wellness tourism di Kawasan Pariwisata Ubud dapat dijelaskan antara lain:
Komersialisasi
Terjadinya komodifikasi terhadap beragam kearifan lokal di bidang kesehatan sebagai daya tarik wellness tourism di Kawasan Pariwisata Ubud juga dapat dilihat sebagai sebuah proses menjadikan kebudayaan sebagai komoditi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Akibat terjadinya komodifikasi menjadi produk wisata maka perkembangan kearifan lokal di bidang kesehatan juga turut mengalami perubahan ke arah produksi massal serta bersifat komersial. Hal ini terjadi karena kreativitas yang dilakukan masyarakat Ubud dengan cara melakukan praktik komodifikasi terhadap potensi yang ada sebenarnya memiliki orientasi bisnis dan memiliki tujuan untuk meraih keuntungan. Sehingga dalam produksi kearifan lokal di bidang kesehatan dikemas sedemikian rupa agar mampu menjadi sebuah produk yang menarik bagi konsumen utamanya wisatawan.
Seperti halnya pandangan yang diberikan oleh Marx (1983 dalam Lestari 2014) bahwa ada dua jenis produksi yaitu produk yang dimanfaatkan langsung oleh pembuatnya dan produk yang dibuat dengan tujuan untuk diperjual-belikan. Produksi sebagai komoditas inilah yang diyakini sebagai pendorong budaya konsumen sebagai bentuk budaya materi. Hal ini juga ditegaskan
Komodifikasi Kearifan Lokal di Bidang Kesehatan sebagai Daya Tarik Wellness Tourism... oleh Piliang (2011) bahwa konsumerisme dan budaya populer merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan pada masyarakat industri terutama pada ekonomi kapitalis. Konsep produksi ke arah komoditi ini juga yang mempengaruhi perilaku masyarakat sehingga kebudayaan diartikan sebagai sebuah produk yang mampu diproduksi dengan jumlah banyak untuk memenuhi kebutuhan pasar. Peristiwa ini juga yang telah mendorong masyarakat untuk melahirkan beragam produk budaya yang tidak hanya berupa budaya baru tetapi berbagai macam praktik komodifikasi budaya agar dapat dikomersialisasikan dalam pasar pariwisata.
Terjadinya komodifikasi kearifan lokal di bidang kesehatan menjadi produk yang bersifat komersial yang terjadi di Ubud juga menimbulkan pergeseran fungsi kearifan tradisional dari fungsi sosial menjadi fungsi ekonomi. Sebelum dikembangkan dan dikemas sebagai produk wisata, beragam kearifan lokal di bidang kesehatan dipelajari kemudian digunakan oleh para pelaku (praktisi kesehatan tradisional) untuk menolong orang-orang di sekitarnya atas dasar prinsip matatulung (saling menolong) dengan tujuan kemanusiaan. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga kesehatan secara pribadi dan orang-orang sekitar (self prevention) pada saat-saat diperlukan. Tetapi seiring dengan perubahan menjadi produk yang dikomersialisasi, fungsi kearifan lokal di bidang kesehatan yang sebelumnya digunakan untuk menolong sesama atas dasar menyama braya (persaudaraan) kini beralih menjadi prinsip yang berdasarkan profit oriented (berorientasi keuntungan) secara ekonomi dengan diberlakukannya tarif atau dikemas menjadi paket wisata dengan harga-harga yang sudah ditentukan.
Sebelum dikemas menjadi produk wisata, kegiatan kesehatan tradisional yang dilakukan oleh para praktisi masih sangat jarang menunjukkan kemampuan yang dimiliki kepada publik dengan memegang prinsip eda ngaden awak bisa (jangan menganggap diri pintar). Selain itu para praktisi juga cenderung memiliki sikap merendah dengan menggunakan istilah tiyang
nak belog nenten uning napi-napi (saya orang bodoh yang tidak tahu apa-apa). Pada saat itu para praktisi ini tidak pernah mengkomersialisasikan keterampilan yang mereka miliki dan mereka justru cenderung menyembunyikan kemampun mereka.
Guna meningkatkan kesan komersial para pelaku dan praktisi wellness tourism di Kawasan Pariwisata Ubud juga melakukan penataan terhadap produk yang ditawarkan. Penataan produk ini disesuaikan dengan perkembangan pasar saat ini sehingga kemasan wellness yang bersumber dari kearifan tradisional dapat memasuki pasar modern serta sesuai dengan perkembangan tren konsumsi masyarakat saat ini seperti:
Penataan Tempat
Pada masa lalu kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pengetahuan kesehatan tradisional seperti pijat, urut, meditasi dan kegiatan sejenis biasanya dilakukan di rumah praktisi atau orang yang memiliki keterampilan dan kemampuan di bidangnya. Atau sesekali praktisi bersangkutan yang diundang dan datang ke rumah orang yang membutuhkan. Tidak ada tempat praktik yang dibuka secara khusus dan biasanya berada dilingkungan sekitar masyarakat serta tidak mempertimbangkan strategis atau tidaknya lokasi.
Setelah berkembang dan dikemas menjadi daya tarik wisata, penyajian kearifan lokal di bidang kesehatan kemudian disediakan tempat khusus yang bersifat komersial. Lokasi untuk membangun pusat wellness juga dipilih yang strategis serta dilengkapi dengan alat pendeteksi lokasi sehingga mudah di temukan oleh wisatawan. Pada saat ini tampilan tempat-tempat wellness juga di buat dan ditata dengan design yang menarik. Bahkan beberapa pusat wellness dibangun dengan tema khusus seperti tema tradisional, modern maupun dengan tema ethnic. Penataan di dalam bangunan terutama dalam sebuah spa juga dibuat agar menarik seperti penataan bed, furniture, dekorasi dan penataan peralatan lainnya. Serta penataan lingkungan pada pusat yoga yang dibuat agar memberikan kesan damai bagi penikmatnya.
Foto 1. Tampilan Tempat Taksu Wellness Centre dan Ubud Wellness Centre. Sumber: Dokumentasi Pribadi
Pengkemasan Produk
Penataan kemasan atau penyajian kearifan lokal di bidang kesehatan untuk wellness product cenderung berorientasi kepada dua tujuan yaitu profit (keuntungan) dan kepuasan konsumen. Upaya ini dilakukan agar dapat menarik lebih banyak minat konsumen. Senada dengan pendapat Piliang (2012) bahwa pasar khususnya konsumen sangat mempengaruhi praktik berkebudayaan pada masyarakat jaman globalisasi. Segala aktivitas masyarakat diukur berdasarkan atas nilai guna yang mengacu untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Hal ini juga dipertegas oleh Piliang (2011) dimana komunitas harus memiliki dan memikirkan bagaimana caranya mengkemas kebudayaan, melakukan survey pasar untuk memahami minat dan selera konsumen sehingga mereka tertarik untuk melakukan konsumsi. Alasan seperti ini juga yang berpengaruh dalam kegiatan komodifikasi kearifan tradisional yang terjadi di Ubud. Cara-cara menampilkan kearifan tradisional kepada konsumen yang tidak sesuai dan kurang bermanfaat akan ditata ulang sehingga memunculkan cara baru yang lebih sesuai dengan selera konsumen. Jadi dengan komodifikasi terhadap cara menampilkan suatu produk agar dapat menarik konsumen sebanyak-banyaknya, maka barulah keuntungan dapat diperoleh. Penataan kemasan atau sajian dapat dilihat berdasarkan presentasi produk baik yang
berupa keterampilan maupun produk barang. Setelah dikemas
menjadi daya tarik wisata, sajian produk wisata kesehatan ini
dibuat agar menarik bagi konsumen.
Foto 2. Dari kiri ke kanan: Ginger Tea dan Rujak, Bentuk Kemasan Boreh Bali Sumber: Dokumentasi Pribadi
Promosi (Pemasaran)
Sebagai sebuah produk, agar bisa diketahui oleh pasar dan terjual kepada konsumen maka memerlukan sebuah proses promosi. Hasil komodifikasi kearifan tradisional yang telah menjadi kemasan wellness tourism juga sangat membutuhkan proses promosi agar bisa mencapai konsumen atau wisatawan. Pendapat ini sangat sesuai dengan konsep komodifikasi dari Fairclough (1995) yang menyatakan bahwa komodifikasi menyangkut bagaimana barang-barang tersebut diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi. Dari konsep tersebut dapat dipahami bahwa proses produksi, distribusi dan konsumsi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya utamanya di dalam kegiatan industri.
Teknik promosi yang dilakukan meliputi promosi secara langsung (direct promotion), melalui brosur, flayer dan baliho (media cetak) dan promosi melalui media internet atau website (media elektronik). Pusat-pusat wellness berskala besar rata-rata memiliki website perusahaan. Selain didukung oleh media promosi, beberapa pusat wellness tourism juga menggunakan
Komodifikasi Kearifan Lokal di Bidang Kesehatan sebagai Daya Tarik Wellness Tourism... teknik promosi dengan menggunakan tokohnya sebagai ikon promosi”selling of name”misalnya “Ketut Liyer: Traditional Medician and Palmer”, “Ketut Arsana: Mahatma Therapist” dan “Ngurah Sudana: Eselen Healing Massage”. Promosi secara langsung kepada calon konsumen dilakukan oleh bagian informasi, reservasi, resepsionis, dilakukan langsung oleh praktisi maupun oleh marketing dari masing-masing pusat wellness. Promosi tidak langsung dilakukan dengan menggunakan media cetak maupun elektronik. Promosi melalui media cetak dibuat dalam bentuk baliho (papan periklanan), brosur, flayer, majalah, pamphlet dan stationary book (buku informasi). Promosi melalui media elektronik khususnya yang berbasis internet di antaranya melalui website dan sosial media seperti facebook, twitter, instagram, massanger, line dan aplikasi lainnya.
Tabel 1 Perbandingan Praktik Kearifan lokal di bidang kesehatan
Sebelum dan Sesudah Mengalami Proses Komersialisasi
SEBELUM |
SESUDAH |
• Berorientasi sosial atas dasar prinsip matetulung (pertolongan) kemanusiaan antar sesama dalam masyarakat |
• Berorientasi pada prinsip ekonomi dengan sistem profit orientation. |
• Bukan merupakan pekerjaan atau mata pencaharian utama dan dilakukan pada waktu-waktu senggang saja. |
• Dijadikan pekerjaan atau mata pencaharian utama dengan melakukan praktik setiap hari. |
• Tidak mengenal durasi dan tarif atau upah, melainkan sekadar sasari yang bersifat sukarela. |
• Terdapat ketentuan durasi dan tarif telah ditentukan berdasarkan kemasan dan paket wisata. |
• Tidak dipromosikan, bahkan praktisi cenderung enggan menunjukkan eksistensinya dan ditandai dengan sikap cenderung merendah (tiyang anak belog nenten uning napi), atau prinsip eda ngaden awak bisa. |
• Dipromosikan melalui beberapa media dengan menonjolkan keunggulan-keunggulan serta berbagai metode pemasaran agar lebih banyak dikenal oleh konsumen. |
Sumber: Data olahan
Profanisasi
Pada umumnya praktik kearifan tradisional dalam bidang kesehatan di Bali mengandung nilai sakralitas dan terkandung unsur-unsur spiritual yang berkaitan dengan sistem religi masyarakat Bali pada umumnya. Tetapi seiring dengan terjadinya komodifikasi sebagai daya tarik wisata, belakangan ini praktik kearifan tradisional di Ubud telah mengalami perubahan ke arah profanisasi atau yang sering disebut dengan desakralisasi. Sebelum terjadinya komodifikasi keahlian yang diperoleh oleh para praktisi dipersepsikan sebagai anugerah dari leluhur atau kekuatan adikodrati lainnya yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Pada saat itu kearifan lokal di bidang kesehatan yang dimiliki oleh praktisi dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan luar biasa dan bersifat “tenget” (keramat). Dengan demikian kearifan tradisional ini cenderung hanya dikuasai oleh orang-orang yang memiliki kemampuan khusus. Tidak sembarang orang dapat mempelajari kearifan tradisional, bahkan untuk dapat mempelajarinya harus melalui berbagai macam ritual atau tahap-tahapan spiritual tertentu. Pada saat itu kearifan tradisional adalah sesuatu yang sangat sakral, sehingga muncul berbagai istilah atau sebutan untuk praktisi yang memiliki kemampuan dalam bidang kesehatan seperti balian kapicen (keterampilan praktisi yang berasal dari anugerah Tuhan), balian ketakson (praktisi yang memiliki kekuatan spiritual/taksu), balian kesidian (praktisi berkekuatan spirit dan supranatural), pengiring (abdi) adalah praktisi yang dipandang memiliki kedekatan secara spiritual dengan Tuhan.
Perbedaan yang terjadi setelah berkembang menjadi kemasan wisata adalah kearifan lokal di bidang kesehatan bisa dipelajari oleh siapapun juga terutama pengetahuan yang sudah dikemas atau dikomodifikasi menjadi produk wisata. Untuk belajar dan menguasai keterampilan dalam bidang kesehatan tidak ada pembatasan status maupun kemampuan spiritual. Bahkan saat ini sudah muncul sekolah-sekolah atau lembaga yang khusus memberikan pelatihan dalam bidang wellness product
seperti spa dan yoga. Hal ini telah memudahkan bagi siapa saja untuk mendapatkan tempat belajar pengetahuan dalam bidang kesehatan atau wellness. Seperti halnya pandangan Liem (2013) bahwa di dalam budaya konsumerisme yang didorong oleh kapitalisme, sebuah produk bukan hanya memenuhi kebutuhan namun juga haruslah menggoda keinginan konsumen. Hal tersebut dibentuk oleh komunikasi pemasaran yang dapat dilihat dalam fenomena sakralisasi dan profanisasi pada produk yang dikonsumsi. Praktik kearifan tradisional yang tidak banyak diperlihatkan karena di dalamnya mengandung makna dan nilai sakral harus mengalami perubahan ke arah budaya profan agar dapat dipasarkan.
Tabel 2 Perbandingan Praktik Kearifan lokal di bidang kesehatan
Sebelum dan Sesudah Mengalami Profanisasi
SEBELUM |
SESUDAH |
• Keahlian yang diperoleh dipersepsikan sebagai anugerah dari leluhur, atau kekuatan adikodrati lainnya, dikenal istilah balian kapican, katakson dan sebagainya. |
Boleh dilakukan oleh siapa saja melalui kursus, pelatihan dan sebagainya. |
• Terdapat pantangan-pantangan tertentu yang wajib dijalankan. |
Tidak ada pantangan khusus yang mengikat praktisinya. |
• Ada kewajiban praktik ritual terkait sistem pengobatan atau kegiatan kesehatan tradisinal lainnya. |
Tidak ada praktik ritual khsuus sebelum melakukan praktik wellness. |
Lebih menekankan rasa spiritual dan bakti kepada Tuhan |
Menekankan pelayanan dan kepuasan konsumen |
Sumber: Data olahan
Modernisasi
Modernisasi terjadi sebagai wujud bahwa perkembangan kearifan lokal di bidang kesehatan yang dikemas sebagai daya tarik wellness tourism juga turut mengikuti perkembangan yang terjadi. Sentuhan modern yang dilakukan oleh praktisi bertujuan agar kearifan tradisional yang dikemas sedemikian rupa dapat diterima oleh masyarakat modern khususnya wisatawan. Terjadinya perubahan kearifan tradisional ke arah modernisasi
senada dengan pandangan yang dikemukakan oleh Haviland (2002, h. 394) yang menyatakan bahwa:
“Modernization as a process of changes in economic as well as cultural aspects of the society. The traditional societies use the scientific knowledge gained from the modern societies and apply it on their own societies, this application of scientific knowledge which is borrowed from the west creates changes in their traditional culture. The family system, cultural patterns, religious system and their normative structure changes as a result of the foreign rules and procedures”.
Modernisasi sebagai proses perubahan aspek ekonomi serta budaya masyarakat. Masyarakat tradisional menggunakan pengetahuan ilmiah yang diperoleh dari masyarakat modern dan menerapkannya pada masyarakat mereka sendiri, pengetahuan ilmiah yang dipinjam dari barat menciptakan perubahan budaya tradisional mereka. Sistem keluarga, pola budaya, sistem agama dan normatif perubahan struktur mereka sebagai akibat dari aturan dan prosedur asing.
Beberapa aspek yang mendapatkan sentuhan modern sehingga kearifan tradisional berubah menjadi produk yang lebih menarik bagi masyarakat dan konsumen di antaranya dari segi peralatan,bahandansistempengelolaan atau manajemen.Sebelum berkembang menjadi wellness product, peralatan yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kesehatan tradisional sepenuhnya masih menggunakan tradisional seperti contohnya cobek digunakan untuk menghaluskan boreh dan bahan-bahan obat lainnya dihaluskan dengan “lesung” (alat penumbuk).
Seiring berkembangnya menjadi wellness product dan didukung oleh perkembangan IPTEK maka peralatan yang digunakan untuk mengolah bahan-bahan yang digunakan dalam kegiatan wellness sudah menggunakan alat-alat modern seperti contohnya mesin penggiling. Selain itu alat-alat pendukung dalam aktivitas wellness juga turut berkembang dengan menggunakan alat-alat modern seperti menggunakan matras pada saat yoga dan menggunakan jakushi, bathtub serta spa bed (kasur khusus spa).
Begitu juga bahan-bahan yang dulu sepenuhnya menggunakan bahan tradisional sekarang telah berkembang menjadi lebih modern dengan menggunakan berbagai bahan hasil ekstrak seperti aroma therapi pada minyak massage dan menggunakan minyak hasil olahan, seperti VCO (Virgin Coconut Oil) dan lain sebagainya.
Dari aspek pengelolaan yang dahulu dilakukan di dalam rumah praktisi sendiri tanpa adanya pengelolaan secara khusus, saat ini sudah menggunakan sistem pengelolaan modern dan memiliki manajemen khusus. Selain dikelola dalam lingkungan keluarga dengan manajemen modern, beberapa wellness centre yang besar seperti Taksu juga memiliki manajemen dengan beberapa departemen seperti kantor depan yang terdiri dari bagian informasi, penerima tamu dan penerima pesanan (reservasi), bagian marketing (pemasaran) yang memiliki peran khusus melakukan pemasaran terhadap wellness product yang ditawarkan serta membangun jaringan dan kerjasama dengan biro perjalanan wisata serta bagian accounting yang khusus mengelola keuangan. Selain itu tidak kalah juga adanya peranan tim yang terdiri dari therapist dan instruktur yoga.
Tabel 3 Perbandingan Praktik Kearifan lokal di bidang kesehatan
Sebelum dan Sesudah Mengalami Proses Modernisasi
SEBELUM |
SESUDAH |
• Sepenuhnya menggunakan peralatan dan teknologi tradisional. |
• Mengadopsi peralatan dan teknologi modern, bahan-bahan modern dan sebagainya. |
• Cenderung dilaksanakan di rumah praktisi. |
• Dibuatkan tempat khusus dilengkapi sarana dan prasarana modern. |
• Tidak mengenal sistem manajemen secara khusus dan tanpa adanya pengelolaan khusus. |
• Dikelola dengan sistem manajemen modern serta dikelola secara khusus. |
Simpulan dan Saran
Adanya komodifikasi kearifan tradisional menjadi produk wisata telah mendorong perkembangan kearifan lokal di bidang kesehatan ke arah produksi massal serta bersifat komersial
dengan tujuan bisnis dan orientasi untuk meraih keuntungan. Hal tersebut akhirnya turut mendorong pergeseran fungsi kearifan tradisional dari fungsi sosial menjadi fungsi ekonomi. Guna meningkatkan kesan komersial penataan juga dilakukan terhadap berbagai unsur dalam kegiatan wellness tourism seperti penataan tempat, pengkemasan produk dan kegiatan promosi. Setelah dikomodifikasi dan berkembang menjadi produk komersial juga telah menimbulkan pergeseran nilai sakral yang dimiliki oleh kearifan tradisional menjadi nilai profan yang berupa aktivitas yang bernilai bisnis. Hal ini tidak terlepas dari dorongan para praktisi untuk lebih kreatif dalam menggali dan mengembangkan kearifan tradisional dalam bentuk yang lebih modern dan dapat diterima oleh konsumen. Selain itu, para praktisi juga mengkombinasikan pengetahuan tradsional yang ada dengan beragam pengetahuan modern serta menggunakana berbagai peralatan modern yang dapat membantu dalam mengembangakan wellness product.
Saran yang dapat diberikan dalam tulisan ini yaitu walaupun perkembangan tren wellness tourism yang begitu pesat yang turut mendorong terjadinya komodifikasi beragam kearifan tradisional dalam bidang kesehatan menjadi kemasan produk wisata, tetapi para pelaku pariwisata hendaknya tetap mengedepankan aspek keberlanjutan dari kegiatan wisata ini dengan menjadikannya sebagai kegiatan pariwisata alternatif agar tidak menjadi kegiatan pariwisata massal yang bersifat jangka pendek. Selain itu masyarakat maupun praktisi hendaknya mempertahankan perinsip metetulung dan menyama braya agar manfaat yang dirasakan dari adanya kearifan tradisional tidak hanya dalam aspek ekonomi maupun semata-mata mengarah pada profit oriented. Dengan demikian kearifan tradisional yang ada dapat mempererat ikatan sosial dalam masyarakat. Selain itu praktisi, pelaku pariwisata maupun masyarakat hendaknya mempertahankan kearifan tradisional yang memiliki fungsi spiritual maupun bersifat sakral agar tidak terjadi penurunan makna atau desakralisasi serta generasi berikutnya masih dapat
mengenal bentuk-bentuk asli dari kearifan tradisional.
Daftar Pustaka
Fairclogh, N., 1995. Discourse and Social Change. Cambridge: Polity Press.
Haviland, W.A., 2002. Cultural Anthropology. USA: Harcourt Collage Publishers.
Lestari, S.D., 2014. Komodifikasi Drama Tari Kecak Ramayana dalam Industri Pariwisata di Desa Singapadu Kabupaten Gianyar. Denpasar: Universitas Udayana (tesis).
Liem, R. 2013. Tinjauan Paradoks Nilai Sakral dan Profan Pada Produk Kerohanian Dalam Analisa Semiotika Pemasaran. Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain.No. 1 Vol.7. 25-43.
Piliang, Y. A., 1999. Sebuah Dunia Yang Dilipat, Menjelang Milineum Ketiga dan Matinya Postmodernisme. Bandung: Mizan.
Piliang, Y., A.. 2011. Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Bandung: Matahari.
Turner, B. S., 1992. Max Weber: From Historyto Modernity. London: Routledge.
Utama, I.G.B.R. 2011. Health and Wellness Tourism Jenis dan Potensi Pengembangannya di Bali.http//www. Tourismbali.wordpress.com (diakses tgl. 17 September 2015).
Widjaya, D., .2011. Spa Industry in Bali. Guest Lecturer in Tourism Doctoral at Udayana University.
Profil Penulis
I Wayan Suteja, S.Par, M.Par., lahir di Karangasem 24 Juli 1991. Menyelesaikan program sarjana di Jurusan Destinasi Pariwisata, Fakultas Pariwisata Universitas Udayana pada tahun 2014 dengan gelar S.Par dan menyelesaikan Program Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana pada tahun 2016 dengan gelar M.Par., Saat ini penulis bekerja sebagai dosen di Akademi Pariwisata Mataram.
Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A. lahir di Tabanan pada tanggal 18 Februari 1952. Beliau merupakan tenaga edukatif di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A.menerbitkan buku Warisan Budaya, Perspektif Masa Kini (2015). Buku setebal 114 halaman ini diterbitkan oleh Udayana University Press. Sebagai guru besar ilmu arkeologi, Prof. Ardika juga memiliki minat dalam bidang warisan budaya dan kaitannya dengan heritage tourism. Sebelumnya, Ketua Prodi S-2 Kajian Pariwisata pertama ini sudah menerbitkan buku Pusaka Budaya dan Pariwisata, diterbitkan oleh Pustaka Larasan (2007). Pada masa kepemimpinannya sebagai Kaprodi S2 Pariwisata Unud mahasiswa setiap angkatan dianjurkan melakukan penelitian lapangan. Program Studi Magister (S2) Kajian Pariwisata Unud menerbitkan buku tahun 2003, sebagai hasil riset mahasiswa dengan judul Pariwisata Budaya Berkelanjutan. Refleksi dan Harapan di Tengah Perkembangan Global.
Dr. Drs. Ida Bagus Gde Pujaastawa, M.A. lahir di Denpasar, 18 November 1962. Pada tahun 1986 menyelesaikan pendidikan S-1 ilmu Antropologi di Fakultas Sastra Universitas Udayana, tahun 1996 menyelesaikan pendidikan S-2 ilmu Antropologi di Universitas Indonesia, dan tahun 2011 menyelesaikan pendidikan S-3 Kajian Budaya di Universitas Udayana. Di samping sebagai dosen Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, juga mengajar beberapa mata kuliah di Program S-2 Kajian Pariwisata, S-2 dan S-3 Ilmu Lingkungan, S-2 dan S-3 Kajian Budaya Universitas Udayana. Di samping mengajar, juga mengemban tugas tambahan sebagai sekretaris Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kepriwisataan Universitas Udayana.
128
JUMPA Volume 05, Nomor 01, Juli 2018
Discussion and feedback