EMPAT SRIKANDI KULINER BALI: PERAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN

PARIWISATA BERKELANJUTAN1

I Nyoman Darma Putra

Program Studi Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana

Email: [email protected]

Abstract

This article discusses the role of women in supporting sustainable tourism development in Bali by promoting Balinese cuisine to the tourism world. To date, studies on the role of Balinese women in the tourism industry have looked mainly at women as ordinary workers or professionals. In fact, Balinese women operate as culinary entrepreneurs who have not only been successful in introducing Balinese cuisine to the world of tourism but have opened up job opportunities for men and women alike. The data presented in this article was collected through observation of four leading Balinese women who run successful local culinary outlets or restaurants offering local dishes, and is complemented by interviews and other published sources relating to their business activities. The four pioneering women surveyed are Men Tempeh of Gilimanuk (West Bali) serving chicken betutu, the suckling pig restaurant manager Ibu Oka in Ubud, the owner of Made’s Warung Ni Made Masih, and the catering company owner Ibu Warti Buleleng, based in Denpasar. This article concludes that these four Balinese culinary heroines or srikandi have successfully managed to preserve and promote Balinese dishes to the world of tourism while contributing to the sustainable development of Balinese tourism by providing opportunities for tourists to experience local cuisine.

Key words: Balinese culinary, women, tourism, sustainable tourism, glocalisation

It suggests an important role for food tourism in strengthening a region’s identity, sustaining cultural heritage, contesting fears of global food homogenisation and facilitating the regeneration of an area’s sociocultural fabric.

(Everett and Aitchison 2008: 150).

  • 1.    Pendahuluan

Konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan yang mulai banyak dibicarakan pada dekade 1990-an pada dasarnya lebih mengutamakan pembahasan aspek pemanfaatan sumber daya alam daripada aspek-aspek lainnya. Hal ini tidak mengherankan karena panduan mengenai prinsip-prinsip pembangunan pariwisata berkelanjutan yang dikeluarkan oleh WTTC/WTO tahun 1995 mendapat inspirasi dari Deklarasi KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, 1992, tentang Lingkungan dan Pembangunan (Sheperd 1999:109). Akibatnya, wacana dan kajian terhadap destinasi pariwisata dalam konteks pembangunan pariwisata berkelanjutan banyak diarahkan pada masalah carrying capacity sebuah destinasi atau banyak terfokus pada sumber daya alam, sementara sumber daya sosial dan budaya lainnya mendapat perhatian kecil, seolah tidak berkaitan dengan pembangunan pariwisata berkelanjutan.

Dari dua belas point prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan yang dikeluarkan WTTC/WTO, sebagian besar kata kuncinya adalah lingkungan (environment), ekosistem (ecosystem), atau alam (nature). Partisipasi publik juga ditekankan dalam konteks peran mereka dalam mewujudkan hidup sehat dan produktif yang harmonis dengan alam. Aspek budaya dan identitas secara eksplisit hanya tertuang dalam satu point, yaitu point ke-11 yang berbunyi ‘tourism development should recognise and support the identity, culture and interest of indigenous people’ (Sheperd 1999:109), artinya ‘pembangunan kepariwisataan sebaiknya mengakui dan mendukung identitas, budaya, dan kepentingan masyarakat lokal’. Tidak mungkin mengabaikan kebudayaan dalam pembicaraan

Empat Srikandi Kuliner Bali: Peran Perempuan dalam Pembangunan Pariwisata ... pembangunan pariwisata berkelanjutan karena budaya adalah hardware (daya tarik fisik, tangible) sekaligus software (daya tarik non-fisik, intangible) yang sama pentingnya dengan aspek alam dari sebuah destinasi (Munster 2010:52).

Dalam perkembangan selanjutnya, terutama di Indonesia, wacana pariwisata berkelanjutan mulai memberikan perhatian yang seimbang antara antara sumber daya alam, sumber daya sosial, dan sumber daya budaya (Gede Ardika 2003:7). Gede Ardika (Menteri Kebudayaan dan Pariwisata -2001-2004), menegaskan bahwa ‘pembangunan pariwisata berkelanjutan pada intinya berkaitan dengan usaha menjamin agar sumber daya alam, sosial dan budaya yang kita manfaatkan untuk pembangunan pariwisata dalam generasi ini dilestarikan untuk generasi mendatang’. Pernyataan ini sangat relevan karena bagi Indonesia, daya tarik keindahan alam sebuah destinasi wisata yang sama pentingnya dengan daya tarik budaya. Bagi Bali, penegasan pentingnya sumber daya budaya semakin vital karena di sanalah letak daya tarik utama destinasi pariwisata Pulau Dewata.

Artikel ini membahas topik pembangunan pariwisata berkelanjutan dengan mengkaji salah satu aspek budaya Bali yaitu makanan khas Bali yang telah terbukti berkembang dan menjadi salah satu pendukung penting daya tarik pariwisata pulau ini. Secara spesifik, artikel ini akan menelusuri peranan perempuan Bali yang kreatif dan inovatif dalam mengangkat makanan khas Bali kepada masyarakat luas, khususnya pada wisatawan Nusantara dan internasional.

Artikel ini diharapkan dapat memberikan kontribusi tentang wacana sekitar peran perempuan Bali dalam mengembangkan kuliner Bali dalam konteks pembangunan pariwisata berkelanjutan. Atau, resiprokalitas pembangunan pariwisata dengan pengembangan kuliner Bali dengan melihat peran perempuan sebagai agensinya. Bali memiliki kuliner yang kaya dan beberapa di antaranya sudah kian populer di kalangan masyarakat kontemporer dan wisatawan, seperti ayam betutu, babi guling, tipat cantok atau gado-gado model Bali. Fakta

menunjukkan ada sejumlah perempuan Bali yang tampil sebagai pahlawan atau srikandi yang berhasil menggali, mengembangkan, dan memperkenalkan kuliner-kuliner Bali ke duania pariwisata sampai dikenal luas di kalangan wisatawan domestic dan mancanegara.

Subjek penelitian ini bukanlah semata-mata pada kuliner tersebut tetapi pada tokoh di baliknya yang mengembangkannya. Dalam hal ini dipilih empat srikandi Bali yang berhasil memperkenalkan kuliner Bali ke dunia luas, yaitu

  • (1)    Ni Made Masih pemilik Made’s Warung di Kuta dan

Seminyak

  • (2)    Ni Wayan Rarud alias Men Tèmpèh yang memperkenalkan ayam betutu Gilimanuk,

  • (3)    Ibu Oka dengan babi gulingnya di Ubud, dan

  • (4) . Nyonya Warti Buleleng pengelola perusahan jasa boga

dengan menu kuliner Bali.

Keempat srikandi di atas memiliki usaha yang sukses. Namun, kriteria pemilihan mereka bukan semata karena usaha mereka berhasil tetapi kreativitas mereka yang berhasil membuat citra kuliner Bali terangkat dan sustainable dalam kehidupan sekarang dan kiranya kelak di masa datang. Alasan lain diuraikan secara rinci dalam diskusi di bawah. Artikel ini ditulis dengan sumber-sumber berdasarkan wawancara, informasi dari artikel di media massa, observasi langsung sebagai peneliti/konsumen, sumber video di Youtube yang memuat informasi tentang srikandi tersebut.

Artikel ini disusun dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: mengapa kuliner Bali?; mengapa perempuan Bali?; mengapa peran mereka yang mesti diangkat dalam membahas topik pembangunan pariwisata berkelanjutan?

  • 2.    Mengapa Kuliner?

Kuliner merupakan kebutuhan utama manusia dalam kehidupan sehari-hari di tempat kediamannya atau pun ketika

Empat Srikandi Kuliner Bali: Peran Perempuan dalam Pembangunan Pariwisata ... mereka melakukan perjalanan wisata. Beberapa kali sejarah pariwisata Bali digoncang oleh isu kolera (khususnya di kalangan wisatawan Jepang) dan sakit perut Bali-belly yang menimpa wisatawan lain termasuk dari Australia. Berita-berita tersebut sempat membuat penurunan tajam sementara angka kunjungan wisatawan Jepang ke Bali pertengahan 1990-an. Kuliner atau makanan merupakan hal yang sangat vital dalam pariwisata, baik untuk hal positif maupun negatif, atau pencegahan yang kedua untuk penonjolan yang positifnya. Oleh karena itu, perhatian kepada kebersihan dan kesehatan (hygiene and healthy) proses dan presentasi makanan harus diutamakan kapan dan di mana pun, untuk siapa pun, termasuk wisatawan.

Pentingnya posisi kuliner dalam dunia pariwisata mulai banyak dibicarakan belakangan ini sejalan dengan luasnya perkembangan media massa cetak dan elektronik. Kian banyak media cetak yang membuka ruang ‘wisata kuliner’, banyak pula stasiun televisi yang menyuguhkan acara ‘memasak’ atau ‘saluran wisata’ yang berisi tentang wisata kuliner. Presenters TV dunia yang terkenal di bidang laporannya mengenai kuliner atau gastronomi bermunculan seperti TV selebritis Anthony Michael Bourdain (1956) dari Amerika yang terkenal akan programnya ‘No Reservation’ disiarkan ‘Travel Channel’ dan belakangan dia bergabung dengan CNN; dan Rick Stein (1947) dari London yang terkenal lewat program BBC Food. Mereka berkeliling dunia, berwisata dari satu destinasi ke destinasi untuk menggali keunikan kuliner tiap destinasi dan memperkenalkannya kepada masyarakat internasional lewat acara mereka di televisi. Keduanya pernah ke Bali dan meliput kekayaan dan kehebatan kuliner Bali (lihat di bawah).

Di Indonesia sendiri kita mengenal Bondan Winarno, mantan wartawan dan kolumnis, yang terkenal dengan acara wisatawa kulinernya di Trans TV. Belakangan, muncul Farah Quinn yang menyajikan acara memasak (juga) di Trans TV. Seperti halnya Bondan, selebritis spesial kuliner Farah Quinn juga berkeliling dari satu destinasi wisata ke destinasi wisata lainnya

untuk tidak saja mempromosikan kuliner daerah setempat tetapi juga daya tarik wisata tempat mereka shooting. Destinasi wisata sering menjadi latar belakang siaran kulinernya sehingga acara kuliner itu tidak saja mempromosikan makanan tetapi juga objek wisata yang menjadi latar belakangnya. Farah Quinn sering tampil di televisi dengan latar belakang taman hotel atau di villa dengan pantai yang indah, dan mempromosikan makanan dan fasilitas pariwisatanya. Sering terjadi bahwa makanan suatu daerah diangkat karena daerah tersebut populer sebagai destinasi wisata.

Pengaruh acara TV internasional sangat terasa di media elektronik di Indonesia, seperti Master Cheff. Masak-memasak bukan saja urusan terampil di dapur tetapi juga merupakan pentas dan daya tarik (atraksi) yang memberikan kenikmatan (pleasure) untuk dikonsumsi sebagai tontonan. Program acara kuliner atau wisata kuliner di media elektronik telah mengubah paradigma memasak dari sekadar memperkenalkan resep dengan rincian biji, siung, dan ukuran dalam gram menjadi aktivitas wisata dan pengenalan kekayaan warisan budaya daerah serta daya tarik wisatanya.

  • 3.    Kajian tentang Kuliner

Penelitian-penelitian kaitan antara kuliner dan pariwisata semakin banyak dan terus bertambah di kalangan sarjana dunia. Beberapa yang terakhir adalah Everett dan Aitchison (2008), Montanari dan Staniscia (2009), dan Karim dan Chi (2010). Everett dan Aitchison dalam tulisannya “The Role of Food Tourism in Sustaining Regional Identity: A Case Study of Cornwall, South West England” yang dimuat Journal of Sustainable Tourism membahas tiga hal yaitu peranan wisata kuliner dalam meningkatkan pengeluaran wisatawan (tourist spending), peran wisata kuliner dalam memperpanjang musim wisatawan (tourist season), dan menganalisis tipologi wisatawan kuliner dalam konteks pariwisata berkelanjutan. Di samping itu, mereka juga menyimpulkan bahwa ada korelasi antara meningkatnya minat

Empat Srikandi Kuliner Bali: Peran Perempuan dalam Pembangunan Pariwisata ... pada wisata kuliner dengan pembertahanan dan pengembangan identitas daerah (2008:150). Penelitiannya dilakukan di Cornwall, daerah pinggiran Barat Daya Inggris, sebuah daerah wisata yang bergairah mengembangkan pariwisata dengan kuliner lokal seperti masakan berbahan ikan dan es krim, yang berbeda dengan hidangan-hidangan termasuk junk-food yang dianggap oleh wisatawan tidak memberikan kelas atau jati diri atau modal budaya (cultural capital).

Sama dengan itu, Montanari dan Staniscia (2009) dalam tulisannya “Culinary Tourism as a Tool for Regional Reequilibrium” yang dimuat dalam European Planning Studies menyimpulkan peran penting pariwisata khususnya wisata kuliner dalam menjaga keberlangsungan pembangunan sebuah daerah. Mereka melakukan peneltiian di Italia Tengah dan Selatan dengan melakukan wawancara mendalam dengan 21 petani yang aktif dalam sektor agri-wisata (agritourism; sama dengan agrotourism) dalam memproduksi wine, keju, jams, saus tomat, madu, pasta, dan sosis; juga dengan 13 pengusaha bidang pariwisata dan penjabat lokal. Salah satu kesimpulan mereka adalah bidang pertanian yang penuh risiko bisa diselamatkan dari wisata kuliner, sesuatu yang memerlukan dukungan pengusaha pariwisata, pemerintah dalam membangun kebijakan, dan masyarakat umum. Yang menarik dari kesimpulan mereka adalah bahwa:

this development is sustainable because of its intrinsic nature: preserving traditional products, traditional landscape, using traditional ways of production, brings sustainability, the long history of traditions is the guarantee of sustainability (2009:1482).

Artinyakuranglebihbahwapembangunandikatakanberkelanjutan karena sifatnya yang melestarikan produk lokal-tradisional, menjaga lanskap tradisional (perdesaan), menggunakan cara-cara tradisional dalam pengelolaan makanan, pendek kata membawa dan menerapkan konsep keberlanjutan. Kesimpulan ini tidak saja

menunjukkan adanya keuntungan ekonomi dan bisnis pariwisata tetapi juga bagaimana melestarikan tradisi dan produk tradisional suatu daerah secara berkelanjutan. Kebanggaan pada kekayaan tradisi merupakan hal utama dalam menjadikan kuliner dan produk lokal sebagai daya tarik dan produk wisata.

Artikel Karim dan Chi (2010) “Culinary Tourism as a Destination Attraction: An Empirical Examination of Destinations’ Food Image” yang dimuat Journal of Hospitality Marketing & Management menganalisis peranan kuliner sebagai daya tarik wisata di tiga negara yaitu Paris, Itali, dan Bangkok. Penelitian lintas negara Asia dan Eropa ini menunjukkan bahwa Itali memiliki citra paling favorit dalam hal makanan dan potensi paling tinggi untuk dikunjungi di masa datang (the most favorable food image and the highest potential to be visited in the future) (2010:531). Di Asia, Bangkok juga sangat terkenal akan makanan khas negeri itu. Restoran Thailand bertebaran di seluruh dunia, menegaskan identitas global negeri Thailand yang sekaligus merupakan ikon-promosi untuk pariwisata Negeri Gajah Putih itu.

Di Indonesia, riset tentang kuliner semakin berkembang, apalagi dewasa ini, kuliner dimasukkan ke dalam daftar industri/ ekonomi kreatif oleh pemerintah (atas usul dari publik khususnya pelaku pariwisata dan jasa boga). Dalam draft awal, kuliner tidak masuk. Kementerian pariwisata dan Ekonomi Kreatif sudah menggelar dan mendukung pelaksanaan festival kuliner dan memilih 30 ikon kuliner Indonesia, yang resepnya sudah diunggah di situs kementerian.

Kajian atas kuliner atau gastronomi yang semula kurang populer, belakangan sudah mulai bermunculan di Indonesia seperti yang dilakukan Ardika (2011), deNeefe (2011), dan sejumlah thesis seperti Elistyawati (2011). Ardika dalam artikel “Gastronomi dalam pariwisata Budaya” menyebutkan bahwa makanan Indonesia sudah diperkenalkan kepada warga dunia lewat dunia kolonial, dan belakangan berlanjut lewat dunia pariwisata. Ardika melihat bahwa kekayaan kuliner Nusantara sangat potensial untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata.

Pengenalan makanan lokal Indonesia kepada wisatawan, menurut Ardika (2011:25-26), tidak saja menambah daya tarik wisata tetapi juga sebagai dasar untuk membangun ekonomi pro-rakyat.

Janet deNeefe, dalam tulisannya ‘A Look at the Global Identit of Balinese Cuisine” (2011) menguraikan pengalaman pribadinya sebagai prang Australia yang menikah dengan warga Ubud di dalam mengenali masakan khas Bali. Dia juga mengungkapkan rasa kagumnya bagaimana makanan khas Bali memikat perhatian dunia, dengan menyebutkan kehadiran para selebritis TV internasional Anthony Bourdain, Rick Stein, dan Bobby Chin yang tersohor dalam acara kuliner mereka amsing-masing di TV. Janet sendiri mengelola program ‘cooking class/lesson’ di Ubud buat wisatawan yang berlibur ke Bali sebagai tambahan pengalaman istimewa dengan belajar memasak masakan khas Bali, mulai dari berbelanja bumbu ke pasar sampai mengelolanya dengan cara lokal. Elistyawati (2011) melihat dari dekat kuliner ‘bebek’ sebagai menu dan daya tarik pariwisata di Ubud.

Ke depan, tampaknya studi seperti ini akan semakin banyak mengingat masih banyaknya aspek menarik dari eksistensi kuliner lokal dalam dinamika pariwisata Bali yang bisa diteliti dan dari berbagai disiplin dalam konteks budaya dan pariwisata.

  • 4.    Mengapa Perempuan?

Wacana kesetaraan gender di Indonesia belakangan ini banyak bergema di dunia sosial, politik, dan kerja. Aspek yang dibahas umumnya berkaitan dengan status, kedudukan, dan upah (Nakatami 1999) atau sejarah perkembangan intelektualitas perempuan Bali (Putra 2003 [2007]). Di dunia kepariwisataan, sektor yang banyak menyerap tenaga kerja perempuan, belum mendapat perhatian besar dalam kajian.

Yang menjadi latar belakang penulisan artikel ini ada dua. Pertama, fakta menunjukkan bahwa dunia hospitality ini membuka banyak peluang kerja bagi wanita. Sifat pekerjaan di dunia pariwisata berkait erat dengan karakteristik dunia pekerjaan yang dilakoni perempuan di dunia domestik, seperti memasak

atau menyajikan hidangan di resotan atau membersihkan kamar. Kedua, adalah fakta sejarah juga bahwa terdapat sejumlah perempuan Bali yang memainkan peranan penting dalam perkembangan pariwisata bukan saja sebagai pekerja tetapi sebagai pionir dan pengsusaha pariwisata yang sukses atau legendaris. Selama ini, kajian atas pariwisata Bali banyak dilakukan dengan melihat dampak turun (trickle down effect) ekonomi pariwisata (Erawan 1994), dampak pariwisata terhadap kebudayaan (McKean 1974; Picard 1996; Pitana et.al 2000), dan pariwisata budaya berkelanjutan (Ardika [ed]. 2003), pariwisata pro-rakyat (Putra dan Pitana 2010), pariwisata dan pemberdayaan (Putra dan Pitana [eds] 2011). Kajian tentang peranan dan posisi perempuan masih amat kosong.

Salah satu kajian awal tentang keterlibatan perampuan dalam industri pariwisata Bali dilakukan Cukier, Norris, dan Wall (1996). Dalam tulisannya “The Involvement of Women in the Tourism Industry of Bali, Indonesia”, mereka menunjukkan hasil survei keterlibatan perempuan Bali dalam industri pariwisata. Survei tersebut dilaksanakan di Kedewatan (Ubud) dan di daerah wisata pantai yaitu Sanur dan Kuta ayng dilaksanakan awal tahun 1990-an. Sebagai satu daerah wisata yang baru berkembang tahun 1990-an, daerah Kedewatan menunjukkan kehadiran hotel atau villa di sepanjang tepian sungai yang berpanorama indah. Jasa akomodasi ini membuka peluang kerja bagi warga setempat, termasuk perempuan. Sejalan dengan pertumbuhan pariwisata, hadir juga kios barang kerajinan dan toko-toko yang menyediakan kebutuhan sehari-hari turis dan penduduk. Mereka juga mengutip hasil survei UNDP tahun 1992 yang menunjukkan masih sedikitnya perempuan Bali terjun ke dunia pariwisata, misalnya dalam angka pemandu wisata resmi hanya ada 7% guide perempuan (1996:267), jumlah yang kecil apalagi dibandingkan dengan sekarang.

Cukier dkk menunjukkan bahwa karakter pembagian kerja seksusl masyarakat Bali terpantul baik dalam dunia kerja pariwisata yang ditekuni. Misalnya, jumlah perempuan yang

bekerja di tokoh di Kedewatan 67% wanita yang sudah menikah, sedangkan yang bekerja di hotel 24% menikah. Angka ini menunjukkan bahwa lebih mudah bagi perempuan pencari kerja untuk bekerja di toko kalau sudah menikah, daripada bekerja di hotel. Perempuan yang bekerja di toko karena pekerjaan menjaga toko memungkinkan mereka mengajak anak ke toko, sesuatu yang tidak bisa dilakukan kalau bekerja di hotel. Perempuan yang sudah menikah juga memiliki kewajian sosial-agama di rumah dan desa. Mengutip hasil survei UNDP, para penulis menyebutkan bahwa perbandingan pekerja laki-laki dan perempuan di sector pariwisata khususnya hotel di Sanur adalah 3:1, jadi lebih banyak laki-laki daripada perempuan (1996:265). Aspek lain dari riset mereka misalnya besarnya upah juga diuraikan, misalnya pekerja perempuan berada dalam kategori pendapatan yang lebih rendah daripada pekerja laki-laki. Belakangan ada beberapa mahasiswa yang meneliti pekerja perempuan dalam sector pariwisata tetapi semuanya dalam konteks laki dan perempuan sebagai karyawan.

Berbeda dengan penelitian di atas, artikel ini mencoba melihat kehadiran sosok perempuan sebagai pengusaha, baik sekala kecil maupun menengah-ke atas. Walaupun tidak banyak, sejarha pariwisata Bali juga mencatat pengusaha-pengusaha perempuan Bali yang berhasil dalam bidang usahanya, seperti Anak Agugn MirahAstuti Kompiang sebagai pionir pariwisata Bali bidang jasa perhotelan (Putra 2011), Ni Made Rempi pengusaha akomodasi di Kuta, Ni Wayan Taman (almarhum) dalam bidang biro perjalanan, perajin perak Desak Nyoman Suarti, Ni Made Masih (Made’s Warung di Kuta, Seminyak), Anak Agung Oka pengusaha jasa boga babi guling Ubud, dan Ny Warti Buleleng pengusaha jasa boga (catering). Sebagai perempuan, mereka hadir sebagai pengusaha yang menyediakan lapangan kerja (sedikti atau banyak), bukan sebagai pekerja seperti yang diteliti Cukier dkk. di atas.

Yang dijadikan objek kajian dalam artikel ini adalah khusus mereka yang disebut dengan pahlawan kuliner karena berkat usahanya kuliner Bali itu tergali dan terlestarikan dalam konteks

kontemporer. Di samping itu, popularitas kuliner Bali membuat orang Bali ikut merasa bangga atas warisan budaya kuliner yang mereka miliki. Lewat kuliner, citra destinasi pariwisata Bali ikut terangkat, seperti halnya lewat popularitas ikan bakar Jimbaran, babi guling Ibu Oka, nasi ayam Kedewatan, betutu Gilimanuk, dan warung nasi Men Weti di Sanur, dan Mak Beng yang terkenal akan menu ikan goring dan sup ikannya di Sanur.

Jasa mereka perlu dicatat dan diakui. Pemerintah Provinsi Bali pernah memberika penghargaan Karya Karana Pariwisata untuk beberapa tahun, mulai tahun 2003, sesudah tragedi bomb Bali, setiap tahun (mungkin sampai tahun 2007). Dari sekitar 20-an orang yang sudah mendapat anugerah Karya Karana Pariwisata mulai dari Made Mangku Pastika sampai I Gde Wirata, hanya terdapat dua perempuan yaitu Ni Wayan Taman (perintis jasa usaha biro perjalanan BIL Tours bermula di Jakarta lalu Bali) dan Ni Made Rempi (pengusaha akomodasi Hotel Yasa Samudra Kuta). Masih banyak ada perempuan Bali yang kreativitas dan inovasinya pantas dihargai. Artikel ini merupaan bentuk lain dari apresiasi terhadap perempuan Bali yang bisa dianggap sebagai pahlawan kuliner. Mereka adalah Made Masih, Ni Wayan Rarud, Ny Warti Buleleng, dan Anak Agung Oka. Keterbatasan ruang tidak memungkinkan untuk menulis semua pahlawanan, mudah-mudahan lain kali ada ruang dan waktu yang lebih mencukupi.

  • 5.    Srikandi Kuliner

Istilah srikandi atau pahlawan kuliner mengacu pada orang yang bertahun-tahun berjuang lewat kreativitas dan inovasinya untuk membuat kuliner Bali menjadi masakan yang populer dan bisa diterima oleh masyarakat modern, dan bisa diterima dengan bangga oleh masyarakat Bali sendiri. Ni Made Masih memperkenalkan kuliner lokal Bali sejak tahun 1969, Ni Wayan Rarud alias Mèn Tèmpèh menjual ayam betutu sejak 1978, Anak Agung Oka alias Ibu Oka memulai jualan nasi babi guling sejak 1980-an, dan Ny Warti Buleleng mengelola jasa boga khas Bali sejak tahun 1989.

Berikut akan diuraikan satu per satu profil pahlawan dan perjuangan mereka memperkenalkan makanan lokal Bali. Lewat jalur dan popularitasnya masing-masing, para pahlawan kuliner ini mendapat ekspose yang luar biasa di media massa lokal, nasional, dan internasional, termasuk tentu juga lewat Internet.

Mèn Tèmpèh


Ni Made Masih dan suaminya Peter.


Ibu Oka


Ny Warti Buleleng


  • 5.1    Ni Made Masih

Nama Made’s Warung jauh lebih terkenal daripada nama pemiliknya, Ni Made Masih (Kuta, 1954). Uraian sumber pertama mengenai sejarah Made’s Warung dituangkan oleh Peter

Steenbergen, pemuda warga negara Belanda yang tak lain adalah suami Ni Made Masih sampai sekarang.2

Peter menulis bahwa usaha Made’s Warung bermula dari warung kecil tahun 1969 yang menjual makanan seperti tipat cantok dan minuman seperti kopi dan teh untuk wisatawan di Kuta. Dari foto yang dijepret tahun 1969, terlihat gambar warung Made yang beratap genteng, dinding gedeg, lantai pasir gembur, kursi bambu, berisi bale beralas tikar. Turis duduk di bale sambil menikmati kopi atau teh yang dalam gelas yang ditaruh di atas dulang. Di bale-bale yang sama di pojok belakang, ada belèk sèng biasa digunakan menyimpan kerupuk atau keripik yang biasanya menjadi camilan pelengkap tipat cantok.

Di sebuah pojok, terdapat tiang tempat menggantung pisang, sepertinya bahan untuk pisang rebus atau pisang goreng. Di warung sederhana inilah, turis-turis dunia terutama peselancar dari Australia mengusir rasa haus dan lapar. Ke tempat inilah, Peter berkunjung, dan jatuh cinta pada Ni Made Masih yang snenatiasa berambut panjang seperti halnya umumnya wanita Bali zaman itu. Mereka menikah tahun 1974, kawin lari dengan ‘menyembunyikan diri’ di Hotel Bali Hyatt, yang baru saja rampung (1972). Menurut Peter, di hotel inilah dia berbulan madu selama lima hari sambil memperkenalkan kepada Made Masih unsur-unsur budaya Barat. Peter menulis:

After taking refuge in the Bali Hyatt hotel in Sanur, assuming that the security officers at the gate would stop any party of furious Kuta people seeking to reclaim their “kidnapped” family member, we enjoyed a peaceful, five-day honeymoon during which I introduced Made to elevators, knives and forks, aircons and other “artifacts” of Western culture (nd :138).

Yang dimaksud dengan unsur-unsur budaya Barat adalah artefak seperti pisau (makan) dan garpu, elevator, AC. Tentu saja mudah membayangkan bahwa barang-barang ‘mewah’ itu

belum hadir di Kuta pada tahun 1970-an. Semula Peter menduga dirinya tidak akan diterima oleh keluarga Made karena zaman itu jarang atau belum ada orang lokal menikah dengan orang asing. Nyatanya, yang terjadi adalah kebalikannya, Peter yang semula bekerja di sebuah perusahaan importir di Belanda, menetap di Bali dan membantu Made untuk mengembangkan warungnya. Made’s Warung pertama didirikan di Kuta, lalu berkembang ke Made’s Warung di Seminyak.

Kini Made’s Warung merupakan salah satu usaha dengan jatidiri Bali tersukses di Kuta. Warung ini sangat populer dan pelanggannya banyak sekali. Saat akhir pekan, mendapatkan kursi duduk untuk makan sulit sekali, karena ramai, kecuali pesan terlebih dahulu. Identitas lokal Bali warung ini kental sekali, dan itu mulai terasa dari namanya ‘warung’ dan ‘made’, walaupun ditulis dalam struktur bahasa Inggris ‘Made’s Warung’. Kalaupun diucapkan dalam struktur bahasa Indonesia/Bali ‘Warung Made’, orang atau wisatawan dengan mudah mengenalinya.

Identitas lokal warung ini juga terlihat dari nama, atmosfir, dan makanan yang disajikan. Di warung ini, pengunjung bisa makan tipat-cantok atau gado-gado ala Bali, nasi campur, tuna saos Bali, sup ikan Bali, dan babi guling yang harus dipesan sebelumnya. Makanan Bali ini bersanding dengan makanan luar negeri lain seperti sup tom yam (Thailand), makanan Jepang seperti sashimi, steak, aneka salad, dan lain-lain.

Made’s Warung sudah menjadi ikon pariwisata Bali. Kalau ada wisatawan bertanya di mana bsia menikmati masakan khas Bali atau Indonesia, banyak yang biasanya merekomendasikan Made’s Warung. Orang merasa belum berkunjung ke Bali kalau belum berkunjung untuk makan di Made’s Warung. Bagi wisatawan mancanegara, Made’s Warung mungkin dilihat sebagai salah satu tempat untuk mencicipi masakan Indonesia asli (authentic Indonesian foods).

Aneka komentar wisatawan atau pelanggan atas Made’s Warung bisa disimak di berbagai situs internet antara lain dari Lonely Planet dan dari TripAdvisor. Ada kesan memuji, ada juga

kesan yang menilainya secara kritis, atau biasa-biasa saja. Secara random, dipilih dua. Seorang pengunjung yang menyebutkan dirinya dengan Clayton The Cat Sydney, Australia, menulis kesannya atas kunjungan January 2013. Dia menulis :“Made’s Warung Seminyak - authentic Indonesian”. Lebih jauh, tulisnya:

Fantastic authentic Indonesian food, with an extensive menu that includes other nationalities such as Thai, Italian, European and kids choices. Not the cheapest, but fairly priced and good value for money. I cook a lot of Indonesian food and their Rendang was the business. Great ambience created by the excellent live acoustic band, bustling Balinese-trattoria-style feel and surrounding shopping arcade. A great dining option in the heart of tres-chic Seminyak.3

Pengunjung yang menyebutkan dirinya sebagai ‘Egalitar’ atas kunjungannya April 2013 menulis “Skip It” (Lewatkan Saja). Tulisnya:

I know it’s recommended in lonely planet but not worth visiting in day. Food was average to poor. Beef rendang was very gristly and both my husband and I felt like our meals were of canteen quality. He has the nasi goreng. We would have preferred to eat in canteen and pay half the price. It may be better when entertainment is on to distract you from food quality :) 4

Komentar pertama memuji makanan dan suasana warung, tetapi komentar kedua menyebutkan bahwa warung ini direkomendasikan oleh Lonely Planet, tetapi kualitas makanannya kurang menggembirakan dan dinilai sebagai ‘kualitas kantin’. Secara sinis dia menulis penampilan pertunjukan bisa menghilangkan gangguan Anda dari kualitas makanan. Tiap orang bisa menyampaikan komentar subjektifnya, kenyataan yang ada sekarang, Made’s Warung Seminyak tetap kelihatan ramai,

Empat Srikandi Kuliner Bali: Peran Perempuan dalam Pembangunan Pariwisata ... salah satu yang berhasil memikat banyak pelanggan di kawasan Seminyak.

Spirit warung ala Bali adalah membuat suasana akrab sesama pelanggan dengan menyediakan tempat duduk di mana pelanggan duduk dalam bangku panjang sesama pelangggan lain. Spirit itu dijelaskna Peter dengan mengatakan “we had to seat our guests together on benches or at big round tables with other guests”, bukan selalu satu kursi satu meja seperti di restoran. Atmosfir warung ini memang terasa Balinya, mulai dari kursi-kursi panjang (walaupun tidak semua), lantai yang kuno (setelah renovasi, banyak tegel tempo doeloe dipasang), serta peralatan pernak-pernik lainnya yang khas kreativitas Made’s Warung, misalnya menggunakan daun kamboja untuk menulis tanda ‘reserved’ untuk meja.

Keberlanjutan Made’s Warung bisa dilihat dari segi lain, yakni proses alih-kelola lintas generasi karena setelah Made Masih dan Peter sudah merasa tua dan memiliki cucu, usaha mereka diteruskan kepada dua anak (laki-lakinya) dan menantunya. Peter dalam tulisannya yakin bahwa “the ongoing concept of warung will continue to flourish” (nd. 139). Peter dan Made Masih yakin bahwa perjuangannya mewujudkan tempat fine dining yang lain dari yang lain akan berlanjut menjadi ikon pariwisata Bali.

  • 5.2    Mèn Tèmpèh

Mèn Tèmpèh mulai menjual ayam betutu tahun 1978, setelah dia bosan menjual buah di pasar Gilimanuk. Kisah perjuangan mereka memperkenalkan ayam betutu yang kemudian dikenal dengan betutu Gilimanuk diungkapkan dalam laporan Kompas (Minggu, 28 April 2013, p. 14). Kompas edisi itu mengangkat laporan khusus “Jelajah Kuliner Nusantara” dengan menjadikan Bali sebagai pokok liputan, menurunkan empat tulisan, termasuk ayam betutu Gilimanuk.5 Ilustrasi foto-foto indah membuat

laporan koran terbesar di Indonesia ini sebagai promosi budaya dan wisata yang penting buat daya tarik kuliner Bali.

Mèn Tèmpèh adalah nama julukan yang diberikan oleh kalangan sopir bus di terminal Gilimanuk, pembeli atau pelanggan awal ayam betutu Men Tèmpèh, karena wajah dan badan Mèn Tèmpèh bundar seperti ‘tèmpèh’ atau ‘nampan’.6 Nama asli Mèn Tèmpèh adalah Ni Wayan Rarud asal dari Gianyar, menikah dengan Nyoman Suratna (63) asal Bangli. Mereka bertemu di Kintamani, ketika keduanya bersama-sama bekerja menjadi buruh pengaspalan jalan. Setelah menikah tahun 1971, mereka merantau ke Bali Barat, ke daerah Gilimanuk, semula sebagai buruh. Nasib tidak kunjung berubah, sehingga Rarud mencoba berdagang buah ke Ketapang. Bosan menjual buah-buahan, dia mencoba menjual masakan ayam, mula-mula membeli lima ekor lalu bertambah menjadi sepuluh.

Ayam betutu Mèn Tèmpèh sangat terkenal karena lezat dan pedasnya. Warga di sekitar Gilimanuk seperti keluarga atau mantan karyawannya mengikuti langkah Mèn Tèmpèh dengan membuat ayam betutu. Kini, ada beberapa warung makan menjual betutu di Gilimanuk yang lezatnya tidak jauh berbeda. Sementara itu, sejak Mèn Tèmpèh meninggal tahun 2004, warung nasinya dilanjutkan oleh suami. Dalam sehari, mereka bisa memasak antara 150-180 potong ayam betutu untuk memenuhi permintaan konsumen. Konsumennya bervariasi dari sopir sampai pejabat. Banyak yang membungkus betutu untuk di bawah jauh dari Gilimanuk ke Denpasar. Menurut Kompas, ayam betutu yang semula merupakan lauk kelas ‘rumahan’ atau ‘kampung’, naik pangkat menjadi ‘merk dagang’. Kini terkenal sekali ayam betutu Gilimanuk, berkat kreativitas Mèn Tèmpèh sejak tahun 1978 sampai dia meninggal 2004, sekitar seperempat abad. “Para keponakan dan mantan karyawan yang dulu bekerja di Warung Mèn Tèmpèh kini sudah membuka warung-warung serupa di sekitar pelabuhan Gilimanuk. “Cuma itu yang diberi Mèn Tèmpèh

kepada para keponakannya,” tutur Suratna. Dia sendiri memiliki tujuh karyawan dan empat juru masak, melangsungkan cikal-bakal usaha yang diwariskan oleh Mèn Tèmpèh.

Jasa Mèn Tèmpèh tidak saja meneruskan usaha warung betutu buat keluarga dan warga Gilimanuk, tetapi juga buat warga Bali lainnya. Kini, betutu Gilimanuk menjadi merk dagang yang sudah tersebar di Denpasar, Jakarta, dan Jogya. Kedai betutu Gilimanuk itu tidak ada hubungan langsung dengan men Tempeh. ‘Ayamnya saja dari Gilimanuk, pengelolaannya bukan di Gilimanuk,” kata Suratna seperti dikutip video Kompas. Di Denpasar terdapat tiga kedai betutu Gilimanuk, dan tahun 2012 dibuka satu kedai di Bandara Ngurah Rai, fakta yang membuat ayam betutu ini kian mendekati diri dengan ranah pariwisata. Di Jakarta terdapat tiga kedai, dan di Jogya satu kedai.

Gilimanuk berada dalam lintasan darat Denpasar-Surabaya, jalur transportasi antar-provinsi sekaligus jalur wisata. Posisi ini menguntungkan jasa kuliner di Gilimanuk. Bagi sebagian orang, ayam betutu Gilimanuk menjadi daya tarik tersendiri karena ada di sana, tetapi bagi sebagian lain merupakan daya tarik khusus karena orang dapat saja dengan sengaja datang ke Gilimanuk untuk menikmati ayam betutunya, termasuk dan terutama tentu warisan Mèn Tèmpèh.

  • 5.3    Bu Oka

Ada banyak tempat makan yang populer di Ubud, salah satunya adalah warung babi guling Ibu Oka. Sudah ada sekitar 28 tahun dia mengelola usahanya mulai dari pedagang nasi keliling sampai sekarang berkembang menjadi tiga rumah makan: satu di depan Puri Ubud (Bu Oka 1), dan satu lagi di Peliatan (Bu Oka 2), dan di rumahnya (Bu Oka 3). Yang mengagumkan, popularitas babi guling Bu Oka sempat menjadi magnet yang dapat menarik selebriti TV dunia Anthony Bourdain dan Rick Stein untuk datang ke Ubud membuat feature story tentang masakan Indonesia dan Bali dan menjadikan suckling pig Bu Oka sebagai satu fokus perhatian. Dunia luas menyaksikan show Anthony Bourdain

lewat Travel Channel dan Rick Stein lewat BBC Food. Jejaknya bisa diikuti sampai sekarang di YouTube.

Ibu Oka memulai usaha nasi babi guling ini dimulai 1985, sebagai warisan dari mertuanya. Waktu itu, Bu Oka membantu mertuanya berjualan di tengah pasar Ubud, menggunakan satu meja kecil yang bisa dijunjung kesana-kemari, termasuk di tempat ada keramaian judi sabungan-ayam.7 Bu Oka mulai berjualan dengan satu ekor guling, mulai pukul 12.00 sampai (habis) pk. 19.00. Mulai tahun 1990-an, dia disarankan oleh keluarga Puri Ubud untuk mengontrak Bale Banjar di depan Puri Ubud. Usaha berjualan keliling tidak dilanjutkan lagi.

Pelan dan pasti, usaha Bu Oka kian terkenal. Menu utamanya hanya nasi lauk babi guling, berisi sedikit sayur. Yang paling berkesan dan favorit banyak pengunjung adalah kulit babi yang renyah. Ketika Anthony Bourdain membuat film ini, dia menunjukkan dirinya makan dan menikmati kriuk-kriuk makan kulit guling. Wisatawan domestik dari Jakarta dan Surabaya, serta wisatawan asing dari Singapura dan Taiwan banyak berkunjung ke Bu Oka. Mereka tidak memiliki persoalan dengan haram/halal makanan. Warga lokal Bali juga senang akan kelezatan babi guling Bu Oka, buktinya banyak orang yang sengaja datang ke Ubud untuk menikmatinya, atau singgah di Ubud dalam perjalanan kea rah Gianyar.

Dalam musim ramai, Bu Oka mengatakan memanggang guling antara 8-10 ekor, jumlah tertinggi yang pernah dicapai sekitar 4-5 tahun lalu, 2008/2009. Dalam musim sepi, dia hanya menyembelih tiga ekor babi untuk di ketiga restoran. Dalam wawancaranya, Bu Oka menyampaikan pernah membayar pajak sapai Rp 300 juta per tahun, dari sini omzet per tahunnya bisa dihitung jika persentase pajak bisa diketahui. Dengan mengelola tiga rumah makan, Bu Oka mempekerjakan 63 pegawai termasuk 10 tukang guling. Mereka dibayar dengan sistem harian, Rp 50 ribu per hari, dan untuk tukang guling Rp 75 ribu per hari karena

pekerjaan mereka lebih berat dan memerlukan keahlian khusus. Harga sepiring nasi naik terus dari semula sekitar Rp 10 ribu menjadi Rp 30 ribu atau Rp 35 ribu. Ada banyak warung babi guling di Bali, tetapi daya tarik babi guling Bu Oka cukup kuat. Promosi yang dilakukan di TV internasional tak hanya memperkenalkan warisan budaya kuliner Bali tetapi juga mengundang wisatawan untuk datang membeli. Seorang komentator dari India menulis:

we wanted to visit ibu oka ever since Antony Bourdain covered it on his show...Really amazing...juicy .local..fresh...crackling...PORK!!! (atvieira Mumbai, Bombay, India).8

Komentar positif lainnya bisa dilihat di TripAdvisor, yang ditulis oleh orang yang menamakan dirinya Fredinasia, dari Amsterdam, yang berkunjung ke Bu Oka bulan Februari 2013.

Usually I go to Ibu Oka 1, people share tables there and I like the messy feel of it all, Ibu Oka 2 is a proper restaurant with lots of tables and chairs where large Indonesian families like to eat. There is a section upstairs as well.

The food is pretty much the same as Ibu Oka 1: very delicious suckling pig. The soup however is not worth it (mainy potato and carrot), so I usually just order the special (30.000 IR). 9

Yang paling populer adalah Ibu Oka 1, terletak di depan puri. Bu Oka mendirikan dua warung lagi di dua tempat berbeda (di rumah dan di Peliatan) adalah untuk memuaskan permintaan pelanggan. Jangansampai orang datang jauh-jauh ke Ubud lalu tidak mendapat babi guling karena habis. Menurut Bu Oka, beberapa tamu sering menelpon dari Bandara Ngurah Rai menanyakan apakah masih tersedia babi guling kalau mereka meluncur dari bandara saat itu juga? Bu Oka berusaha menjaga kualitas babi gulingnya dan kepuasan pelanggan. Atas usaha ini, dia mendapat penghargaan

certificate of excellence 2012’ dari TripAdvisor, dengan rating empat dari lima element untuk aspek makanan, pelayanan, nilai, dan atmosfir. Rating ini diberikan secara on-line oleh pelanggan. Penghargaan sebagai ‘one of Asia’s finest restaurants 2011/2012’ juga diterima dari The Miele Guide, sebua lembaga penaduan restoran yang otoritatif dan independen.

Bersama beberapa restoran lain seperti Bebek Bengil, Bebek Tepi Sawah, dan nasi ayam Kedewatan, rumah makan Babi Guling Bu Oka memperkuat citra Ubud sebagai destinasi wisata budaya. Popularitas Ubud lewat seni pertunjukan dan seni rupa, diperkuat oleh warisan budaya kuliner. Selain itu, Bu Oka yang kini dibantu oleh anak dan menantunya mengurus rumah makan miliknya juga berperan penting dalam melestarikan warisan budaya babi guling yang khas ada di Bali. Citra babi guling yang merupakan hidangan masyarakat dan bagian sesajen terangkat sebagai kuliner untuk wisatawan.

  • 5.4    Warti Buleleng

Perusahaan catering jasa boga ini sangat terkenal di kalangan masyarakat Bali, khususnya Denpasar dan Badung, merupakan hasil jerih payah Ni Ketut Warti (1939) sejak tahun 1989 atau hampir seperempat abad lalu. Perempuan kelahiran Sibang Kaja, Badung, ini lahir dari ibu yang menjual nasi. Sejak usia SD, dia sudah biasa membantu ibunya dalam dunia memasak dan berjualan. Setelah dewasa, Warti bekerja menjadi perawat di RSU Wangaya sampai akhirnya istri dari Drs, I Gusti Ngurah Made Buleleng, Kepala Dinas Pengajaran Kabupaten Badung, pensiun sebagai perawat di Puskesmas Lumintang tahun 1989. Sejak menjadi istri seorang pejabat kepala dinas, Warti juga sering menangani urusan konsumsi instansi yang dipimpin suaminya. Sampai akhirnya tonggak penting datang Januari 1989, ketika dia diminta untuk menyediakan catering untuk pelantikan Bupati Badung, IGB Alit Putra.

Sukses mengurus catering pelantikan Bupati Badung itu membawa tantangan baru bagi Ny Warti Buleleng, yaitu dia

Empat Srikandi Kuliner Bali: Peran Perempuan dalam Pembangunan Pariwisata ... diminta untuk menyiapkan konsumsi atlet PON Bali yang berada dalam training centre (TC), Juni 1989. Jumlahnya 200 atlet, selama 1,5 bulan, dengan tiga kali makan dan empat kali snack. Dalam urusan menu ini, dia mendapat banyak pengalaman karena bekerja dengan supervise dari dokter atlet. Proyek menyiapkan hidangan untuk atlet ini sukses sehingga jika ditanya kapan Ny Warti memulai usaha catering, dia akan menyebutkan tahun 1989 itu. Dari waktu ke waktu dia mempelajari dengan cermat cara memasak aneka masakan Bali dengan cita rasa yang tepat untuk orang Bali dan orang lain, termasuk orang asing. Usahanya berkembang, kini dia mempekerjakan 100 orang pegawai tetap dan puluhan peagwai harian sesuai kebutuhan.

Popularitas datang untuk mereka yang menjamin mutu. Demikianlah yang dirasakan Ny Warti ketika makanannya disenangi banyak kalangan. Para presiden Indonesia dari Presiden Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY menyenangi masakan Ny Warti.10 Pejabat daerah juga senang dan cocok dengan cita rasa hidangan Ny Warti. Dia sering diundang untuk menyediakan catering rapat, seminar, dan konferensi-konferensi. Salah satu yang besar adalah ketika acara di Istana Tampaksiring yang dihadiri Presiden SBY beberapa tahun lalu (2010). Ny Warti menyampaikan harus menyediakan masakah untuk 1500 orang, tiga kali sehari, ditambah dua kali snack. Tugas ini pun sukses besar. Yang dirasakan Ny Warti waktu itu adalah bahwa doanya senantiasa dikabulkan Tuhan. Setiap menangani catering, dia selalu mohon petunjuk lewat sembahyang. Walaupun berbeda dengan pahlawan kuliner lainnya yang diuraikan di atas yang membuka warung untuk menerima kunjungan wisatawan atau pelanggan, Ny Warti yang menekuni usaha katering pun sangat berjasa dalam memperkenalkan makanan khas Bali ke pada dunia luas, termasuk tentunya orang asing.

Bulan Juli 2012, kami melaksanakan konferensi internasional “Bali in Global Asia” di Unud, diahadiri 250 sarjana dari seluruh

dunia, seperti Belanda, Jerman, Jepang, Australia, Inggris, dan Amerika. Kami mempercayakan sajian makan siang dan kudapan (snack) kepada Ny Warti, hasilnya luar biasa. Para peserta senang sekali akan cita rasa makanan yang mereka sediakan, baik yang vegetarian maupun yang biasa. Menariknya, karena makan malam disediakan pihak lain untuk tiga malam, dalam hal ini Pemprov Bali (di Taman Budaya, saat pembukaan), Pemkot Denpasar (di Bali Hotel), dan Pemkab Badung (di Pura Taman Ayun, saat Penutupan), ternyata kateringnya juga disediakan oleh Ny Warti Buleleng. Maka, jadilah peserta konferensi kami selama tiga hari menikmati penuh boga produksi Ny Warti Buleleng, tanpa merasa jenuh atau bosan. Ini petanda catering Ny Warti adalah jaminan mutu.

Ny Warti Buleleng bukan orang pertama yang memperkenalkan aneka kuliner Bali, tetapi usahanya saat berhasil saling menunjang dengan usaha-usaha orang lain termasuk yang dilakukan juru masak asing yang mengelola Bumbu Bali dengan buku dan paket wisata praktek memasak. Tepat sekali judul artikel Tokoh ketika menulis profil Ny Warti dengan menyebutkan “Lestarikan Budaya lewat Tata Boga” (20-28 April 2013, p. 5). Dalam berusaha, Ny Warti memenuhi ketentuan perundangan untuk melindungi merk dagangnya. Untuk itu, Ny Warti mendaftarkan merk dagangnya 18 April 2007, dan mendapat sertifikat merk 14 Maret 2008 dari Kementerian Hukumm dan Hak Asasi Manusia RI.

Usaha Ny Warti tidak saja melayani katering untuk konferensi dan seminar dengan peserta nasional dan internasional, tetapi juga catering untuk pesta pernikahan Bali dan upacara adat termasuk menyediakan hidangan untuk pendeta dalam sebuah ritual. Usaha Ny Warti kini mulai dikelola anak dan menantunya, meneruskan usaha Ny Warti untuk bisnis sekaligus melestarikan kekayaan kuliner Bali sebagai pendukung adat dan tradisi serta kebutuhan dunia pariwisata. Tentu tidak tertutup kemungkinan lahirnya ‘pahlawan kuliner’ lain dengan bakat lain di bidang yang sama, yang akan melestarikan kekayaan kuliner Bali sesuai

Empat Srikandi Kuliner Bali: Peran Perempuan dalam Pembangunan Pariwisata ... perkembangan zaman.

  • 6.    Srikandi Kuliner dan Pariwisata Berkelanjutan Bali

Dalam artikelnya “The Role of Food Tourism in Sustaining Regional Identity: A Case Study of Cornwall, South West England”, yang dimuat di Journal of Sustainable Tourism (2008), yang dikutip dalam awal tulisan ini, Everett dan Aitchison menekankan pentingnya peranan wisata kuliner (food tourism) dalam memperkuat identitas sebuah destinasi dalam mempertahankan warisan budaya, dalam melawan ketakutan terhadap proses penyeragaman kuliner global dan memfasilitasi regenerasi struktur sosio-kultural sebuah daerah. Pendapat ini penting digunakan untuk melihat apa yang terjadi di Bali dalam konteks eksistensi kuliner lokal dan kehadiran kuliner global yang disalurkan industri pariwisata di era global.

Kehadiran pariwisata di Bali ikut membawa serta kuliner berbagai bangsa di dunia masuk ke Bali, mulai dari McDonald, KFC, Pizza, masakan Thailand, Indian food, masakan Jepang, dan masakan dari daerah lainnya. Di satu pihak, kehadiran kuliner itu tidak mungkin ditolak karena kekuatan kapitalisme, di lain pihak merupakan ‘kebutuhan’ bagi Bali sebagai destinasi wisata internasional. Sebagai destinasi wisata internasional, sudah sepantasnya Bali menyediakan berbagai hidangan dari berbagai negara yang dibutuhkan wisatawan dari berbagai penjuru dunia. Kehadiran kuliner internasional telah membuat Bali, khususnya daerah-daerah wisata, sebagai bagian belahan dunia global dalam arti kuliner. Kebutuhan wisatawan akan berbagai masakan bisa terpenuhi.

Kehadiran kuliner global itu menjelaskan dengan nyata proses globalisasi yang dibawa oleh pariwisata. Namun, seperti disampaikan para ahli, setiap globalisasi tidak berdiri sendiri karena senantiasa diikuti dengan proses glokalisasi. Robertson pada tahun 1995 memperkenalkan istilah ‘glocalisation’ untuk memahami koneksitas poros antara globalisasi dan lokalisasi (Salazaar 2010:190). Salazaar memperkenalkan istilah ‘glocal

ethnography’ dalam meneliti pertemuan antara wisatawan dan tuan rumah (host and guest) terutama kontak turis dengan pemandu wisatawan. Wisatawan hadir sebagai symbol budaya global, yang datang ke sebuah destinasi, dan disambut oleh pemandu wisata lokal, kontak mereka dilaksanakan dalam bahasa Inggris dalam menjelaskan elemn-elemn budaya dan informasi lokal. Kontak tersebut dan bahasa sebagai alat komunikasi merupakan contoh glokalisasi, yakni koneksitas poros global dan lokal. Dalam dunia kuliner, hal ini ditunjukkan oleh hadirnya nasi sebagai pengganti atau alternatif kentang goreng dalam kedai McDonald atau KFC. Sajian alternatif dalam kedai-kedai cepat saji ini memberikan salah satu bentuk pertemuan identitas global dan lokal.

Bentuk lain dalam proses glocal bisa dilihat dalam fenomena lain yakni semakin kuatnya kekuatan global dalam membawa yang dikhawatirkan keseragaman budaya senantiasa disambut oleh tumbuhnya semangat pembelaan terhadap unsur budaya lokal. Pariwisata Bali menunjukkan gejalan yang baik untuk hal ini. Semangat mempertahankan dan mengembangkan budaya daerah semakin kuat sejalan dengan timbulnya pemahaman bahwa pariwisata dapat memberikan dampak negative dalam kehidupan kebudayaan lokal. Konsep dan kredo pariwisata budaya, yakni mengembangkan kepariwisataan dengan menjadikan budaya sebagai daya tarik sekaligus sebagai tujuan akhir untuk pengembangan dan pelestariannya, sangat relevan dalam membangun semangat glokal, atau semangat mengglobalkan yang lokal.

Usaha dagang yang dilakukan pahlawan kuliner Bali termasuk Mèn Tèmpèh, Made Masih, Ny Warti, dan Bu Oka bukan saja bisnis semata oleh orang local dalam memanfaatkan perkembangan industri pariwisata tetapi adalah usaha secara tidak langsung untuk mengangkat dan melestarikan kekayaan kuliner lokal. Mereka membawa kuliner lokal ke ranah global, terutama lewat penawaran pada restoran atau rumah makan atau meja katering yang menjadikan orang asing sebagai target penikmat. Bagi warga lokal, adalah suatu kebanggaan melihat

Empat Srikandi Kuliner Bali: Peran Perempuan dalam Pembangunan Pariwisata ... kekayaan kuliner Bali bisa bertahan dan diterima wisatawan, sedangkan bagi wisatawan adalah suatu pengalaman budaya jika dapat menikmati kuliner lokal selama berlibur di Bali.

Kalau boleh kembali mengutip salah satu prinsip dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan bahwa pembangunan kepariwisataan harus mengakui, mendukung dan memperkuat identitas serta kepentingan penduduk lokal, maka pelestarian kuliner Bali lewat dunia pariwisata bisa dianggap sebagai (1) dukungan kuliner lokal terhadap pembangunan pariwisata berkelanjutan dan (2) dukungan pariwisata untuk membangun keberlanjutan kuliner lokal. Kenyataan menunjukkan bahwa dalam pembangunan kepariwisataan berkelanjutan lewat kuliner lokal atau pelestarian kuliner lokal lewat perkembangan pariwisata berkelanjutan itu peran perempuan tampak menonjol. Srikandi kuliner adalah contoh nyata dari perempuan Bali yang bukan tergolong pencari kerja dalam dunia pariwisata tetapi tampil sebagai pengusaha yang membuka lapangan kerja. Tersedianya lapangan kerja bagi tenaga lokal merupakan salah satu fondasi untuk pembangunan pariwisata berkelanjutan.

  • 7.    Simpulan dan Saran

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa srikandi kuliner Bali memberikan kontribusi penting dalam pembangunan pariwisata berkelanjutan. Usaha mereka tidak saja berhasil memperkenalkan masakan Bali ke dunia pariwisata tetapi juga membuat daya tarik pariwisata Bali kian lengkap dengan menumenu masakan Bali yang bisa dinikmati wisatawan.

Di luar keempat srikandi kuliner Bali yang dikaji di atas terdapat masih banyak figur baik yang bergerak di bidang dunia kuliner maupun dalam industri pariwisata dan ekonomi kreatif lainnya, yang kontribusinya pantas dicatat dan dikaji lebih jauh.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan terima kasih kepada beberapa sahabat yang memberikan bantuan dan inspirasi dalam penulisan

artikel ini. Untuk rekan Drs. I Wayan Lamopia, M.Si. yang telah menyiapkan informasi dan foto mengenai Ibu Oka, dan Dr. Anak Agung Putu Agung Suryawan Wiranatha,M.Sc. yang mendorong dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyajikan draft awal artikel ini dalam seminar pariwisata berkelanjutan yang diselenggarakan program Doktor S-3 Pariwisata Universitas Udayana.

PROFIL PENULIS

I Nyoman Darma Putra adalah Ketua Program Studi Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana (sejak Maret 2014). Dia menyelesaikan program doktor di School of Languages and Comparative Cultural Studies University of Queensland, Australia (2003), dan menerbitkan sejumlah buku mengenai pariwisata dan budaya termasuk Tourism Development and Terrorism in Bali (bersama Michael Hitchcock, 2007), A literary mirror; Balinese reflections on modernity and identity in the twentieth century (KITLV Press, 2011), dan Wanita Bali Tempo Doeloe, Perspektif Masa Kini (Pustaka Larasan, 2007).

DAFTAR PUSTAKA

Ardika, I Wayan (ed.). 2003. Pariwisata Budaya Berkelanjutan, Refleksi dan Harapan di tengah Perkembangan Global. Denpasar: Program Studi Magister (S2) Kajian pariwisata.

Ardika, I Wayan. 2011. “Gastronomi dalam Pariwisata Budaya”, dalam I Nyoman Darma Putra dan I Gde Pitana (eds) Pemberdayaan & Hiperdemokrasi dalam Pembangunan Pariwisata, Persembahan untuk prof. Ida Bagus Adnyana Manuaba, pp.17-27. Denpasar: Pustaka Larasan.

Cukier, Judie; Norris, Joanne; Wall, Geoffrey. 1996. The involvement of women in the tourism industry of Bali, Indonesia. The Journal of Development Studies; December, Vol. 32, No.2, pp. 248-270.

deNeefe, Janet. 2011. “A look at the global identity of Balinese cuisine”, dalam I Nyoman Darma Putra dan I Gde Pitana (eds) BALI

dalam Proses Pembentukan Karakter Bangsa, pp.121-132. Denpasar: Pustaka Larasan.

Elistyawati, Ida Ayu. 2011. Modifikasi Makanan Tradisional Berbahan Dasar Bebek sebagai Pendukung Industri Pariwisata Di Ubud. Thesis Master S-2 Kajian Pariwisata Unud.

Erawan, I Nyoman. 1994. Pariwisata dan Pembangunan Ekonomi (Bali sebagai kasus). Denpasar: PT Upada Sastra.

Everett, Sally & Cara Aitchison. 2008. “The Role of Food Tourism in Sustaining Regional Identity: A Case Study of Cornwall, South West England”, Journal of Sustainable Tourism, 16:2, 150-167.

Jones, A., & Jenkins, I. 2002. A taste of Wales—Blas Ar Gymru: Institutional malaise in promoting welsh food tourism products. In A. M Hjalager & G. Richards (Eds.), Tourism and gastronomy (pp.112– 115). London, England: Routledge.

McKean, Philip Frick. 1971 ‘Pengaruh-pengaruh asing terhadap kebudayaan Bali: hubungan ‘hippies’ dan ‘pemuda international’ dengan masyarakat Bali masa kini’, in: I Gusti Ngurah Bagus (ed.), Bali dalam sentuhan pariwisata, pp.21-27. Denpasar: Fakultas Sastra Unud.

Montanari, Armando dan Barbara Staniscia. 2009. Culinary Tourism as a Tool for Regional Re-equilibrium, European Planning Studies, 17:10, 1463-1483.

Nakatani, Ayami. 1999. ‘Eating threads’; brocades as cash crop for weaving mothers and daughters in Bali’, in: Raechelle Rubinstein and Linda Connor (eds), Staying local in the global village, Bali in the twentieth century, pp. 203-30. Honolulu: University of Hawaii Press.

Picard, Michel. 1996 Bali; Cultural tourism and touristic culture. Singapore: Archipelago Press.

Pitana, I Gde (et all). 2000. Kuta, Cermin Retak Pariwisata Bali. Denpasar: Penerbit BP.

Putra, I Nyoman Darma dan I Gde Pitana (eds). 2011. Pemberdayaan & Hiperdemokrasi dalam Pembangunan Pariwisata, Persembahan untuk prof. Ida Bagus Adnyana Manuaba. Denpasar: Pustaka Larasan.

Putra, I Nyoman Darma dan I Gde Pitana. 2010). Pariwisata Pro-Rakyat, Meretas Jalan Mengentaskan Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.

Putra, I Nyoman Darma. 2007 [2003]. Wanita Bali Tempo Doeloe, Perspektif Masa Kini. Denpasar: Pustaka Larasan.

Putra, I Nyoman Darma. 2012. Ida Bagus Kompiang dan Anak Agung Mirah Astuti Kompiang; Pasangan Pionir Pariwisata Bali. Denpasar: Jagat Press.

Putra, I Nyoman Darma. 2014. Mewujudkan Impian melalui Pariwisata, Hadi Taryoto (biografi). Denpasar: Pustaka Larasan.

Salazar, Noel B. 2010. “From Local to Global (and Back): Towards Glocal Ethnographies of Cultural Tourism” dalam Greg Richards dan Wil Munsters (eds) Cultural Tourism Research Methods, pp.188198. Oxford: CAB International.

94

JUMPA Volume 01, Nomor 01, Juli 2014