BALI DI TENGAH PANDEMI COVID-19: STUDI KUALITATIF TERHADAP PELAKU PARIWISATA DI WILAYAH KUTA, BALI

Rindo Bagus Sanjaya

Program Studi Destinasi Pariwisata, Universitas Kristen Satya Wacana Email: [email protected]

ABSTRACT

Kuta is a region located in Badung Regency, which has the highest number of workers in the tourism industry in Bali. Despite this, the Covid-19 pandemic has had a significant economic impact on both workers and tourism operators in Kuta. This is evidenced by reduced working hours, layoffs, closures of tourism-related businesses, and slowdown in the economy in Kuta. The objective of this study is to explore how tourism industry players in Kuta have conducted their activities before, during, and after the pandemic. The study adopts a qualitative research methodology, utilizing in-depth interviews with tourism actors and workers in Kuta from various backgrounds, such as hotel owners, surfing instructors, hotel staff, guest house and laundry owners, travel agents and tour guides, online motorcycle drivers, motorbike rental owners, and souvenir traders. The findings of the study reveal that every business actor and worker in the tourism sector has their own approach to cope with the Covid-19 pandemic.

Keywords: tourism resilience, covid-19 pandemic, tourism workers, Kuta Bali.

Pendahuluan

Pandemi Virus Corona (Covid-19) adalah salah satu bencana paling berdampak pada abad ke-21 (Zenker & Kock, 2020). Banyak sektor secara signifikan turut merasakan dampak tersebut, seperti sektor kesehatan, pendidikan, perekonomian, transportasi, dan pariwisata (Shahabi Sorman Abadi, Ghaderi, Hall, Soltaninasab, & Hossein Qezelbash, 2021). Di Indonesia, sektor pariwisata menjadi sektor yang paling kritis terdampak pandemi (Irawanto, Novianti, & Satwika, 2022). Sejak bulan Februari 2020, jumlah wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia

mengalami penurunan drastis (Suciati & Suadnya, 2021). Pada tahun 2019, Kemenparekraf (2021) mencatat bahwa selama tahun 2020 jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia sekitar 4.052 juta orang. Total angka tersebut hanya sekitar 25% dari jumlah wisatawan yang masuk ke Indonesia pada tahun 2019. Menurunnya jumlah wisatawan menyebabkan penurunan pendapatan negara di sektor pariwisata sebesar Rp 20,7 miliar (Subawa, Widhiasthini, Permatasari, & Sri Wisudawati, 2022).

Dampak penurunan jumlah wisatawan ternyata juga mempengaruhi tenaga kerja di sektor pariwisata (Ida, Ida, & Komang, 2020). Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) pada tahun 2020, sekitar 409 ribu tenaga kerja di sektor pariwisata telah kehilangan pekerjaannya. Pada tahun yang sama, sekitar 12,91 juta orang pada sektor pariwisata mengalami pengurangan jam kerja dan 939 ribu orang sementara tidak bekerja (Kemenlu.go.id, 2021). Hal ini tentu menjadi persoalan bagi orang-orang yang bekerja di daerah-daerah yang menjadikan sektor pariwisata sebagai pemasukan utama mereka (Malikah, 2021). Bali termasuk provinsi yang memiliki jumlah tenaga kerja terbanyak pada perusahaan obyek wisata komersial di Indonesia dengan jumlah 4.049 pekerja; jumlah tersebut belum termasuk pekerja yang belum terdaftar pada Dinas Ketenagakerjaan (BPS, 2020).

Sebagai salah satu destinasi unggulan di Indonesia, Bali tentu masuk pada daftar catatan destinasi wisata yang ikut merasakan dampak pandemi Covid-19 (Wacika, 2021). Hampir seluruh masyarakat di Bali mengandalkan pariwisata sebagai lapangan pekerjaan mereka (Ayupijaya, 2021). Selama lebih dari dua tahun terakhir kunjungan wisatawan ke Bali mengalami kemerosotan hingga 99,99%. Dari sebanyak 552.403 wisatawan mancanegara di bulan Desember 2019 menjadi 22 orang saja di bulan Agustus 2020 (kemenkeu.go.id, 2021). Dampak yang dialami oleh sektor pariwisata juga berimplikasi terhadap kondisi perekonomian Bali. Berdasarkan data yang diambil dari Kementerian Keuangan (2022), Bali mengalami kemunduran pemasukan ekonomi hingga -1,44% year on year atau -7,67% quarter to quarter.

Berkurangnya kunjungan wisatawan membuat pariwisata di Bali, khususnya di daerah Kuta menjadi terhenti. Kuta merupakan salah satu daerah yang berada di Kabupaten Badung, dimana Kabupaten ini menjadi daerah dengan pekerja di sektor pariwisata paling tinggi di Bali (Ayupijaya, 2021). Sebagai daerah yang dikenal sebagai pusat keramaian dan kunjungan utama wisatawan, banyak gerai pertokoan dan pusat hiburan malam di Kuta harus tutup. Dengan berhentinya laju ekonomi di Kuta menghentikan pula laju perekonomian masyarakat setempat (Irawanto et al., 2022). Hal ini kemudian meningkatkan angka pengangguran yang signifikan akibat pandemi serta berdampak terhadap pasar kerja karena pengurangan jam kerja (Suparta, 2021). Berdasarkan index data perusahaan, pekerja dirumahkan, dan PHK Provinsi Bali yang diperoleh dari data Dinas Tenaga Kerja Provinsi Bali dapat dilihat pada tabel berikut.

Table 1. Data Perusahaan, Pekerja Dirumahkan, PHK Provinsi Bali Tahun 2021

No

Kabupaten/Kota

Dirumahkan

PHK

Perusahaan

Orang

Perusahaan

Orang

1

Badung

421

42.409

55

1.551

2

Denpasar

357

12.950

58

918

3

Gianyar

167

12.958

21

397

4

Tabanan

31

1.460

5

62

5

Jembrana

23

430

0

0

6

Buleleng

84

2.708

20

294

7

Bangli

30

897

2

10

8

Klungkung

71

1.772

0

0

9

Karangasem

304

3.519

29

117

Total

1.488

79.103

190

3.349

Sumber: Dinas Tenaga Kerja Provinsi Bali, diakses tahun 2022

Ditutupnya sektor-sektor hiburan dan pengurangan jam operasional tempat wisata merupakan aturan yang dibuat oleh pemerintah dalam rangka pencegahan penularan Covid-19. Lebih lanjut, pada tahun 2021, Pemerintah Provinsi Bali kembali menghimbau kepada masyarakat dan wisatawan untuk tinggal di rumah menghindari kerumunan, membatasi moda transportasi, dan pengurangan jam kerja. Kebijakan tersebut mengacu pada Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat di wilayah Jawa dan Bali untuk menghentikan kegiatan-kegiatan selama pandemi (Koos, 2010). Akibatnya pengelola destinasi wisata dan tempat hiburan mengeluhkan biaya operasional dan tenaga kerja yang tidak lagi dapat mereka bayarkan. Beberapa pemilik usaha di sektor pariwisata kemudian terpaksa menutup usahanya secara sementara bahkan ada yang berhenti beroperasi secara permanen (Ayupijaya, 2021). Memasuki tahun 2022, kondisi pandemi kian membaik. Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif membuat sebuah program bertajuk “We Love Bali” untuk mendukung kegiatan-kegiatan pariwisata di Bali (Kusuma, Bagus Kusuma Wijaya, & Wayan Eny Mariani, 2021). Selain itu, Pemerintah memperluas kebijakan pemberian visa yang berlaku untuk 43 negara dan wisatawan ASEAN, memberikan program vaksinasi dan penerapan CHSE (Clean, Healthy, Safety, Environment), serta penerapan-penerapan protokol kesehatan di setiap destinasi wisata (Imigrasi.go.id, 2022). Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tersebut diharapkan mampu memberikan angin segar bagi terbukanya kegiatan pariwisata di Bali.

Meskipun pariwisata di Bali kian membaik dengan datangnya wisatawan domestik dan mancanegara, namun tidak serta-merta memulihkan keadaan seperti sebelum pandemi (Irawanto et al., 2022). Masih banyak masyarakat, pebisnis, dan pengusaha-pengusaha di sektor pariwisata yang belum dapat bangkit secara penuh untuk menjalankan usahanya kembali (Razak, 2022). Pandemi Covid-19 telah mengubah tatanan dan mobilitas sosial, sehingga memberikan perubahan signifikan

terhadap pelaku-pelaku di industri pariwisata (Adams, Choe, Mostafanezhad, & Phi, 2021). Masyarakat dan para pemangku kepentingan di sektor pariwisata harus dapat melaluinya dengan berbagai upaya dan cara (Miao, Im, So, & Cao, 2022).

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini bertujuan untuk meneliti bagaimana masyarakat dan pelaku-pelaku usaha pariwisata di Kuta dapat bertahan selama pandemi Covid 19. Penelitian ini juga mendeskripsikan temuan-temuan empiris tentang bagaimana masyarakat dan pelaku-pelaku usaha pariwisata mengatasi persoalan pandemi selama lebih dari dua tahun sejak tahun 2020. Banyak di antara pekerja dan pelaku industri pariwisata di Kuta, Bali telah kehilangan pekerjaannya dan mengharuskan mereka memperoleh pekerjaan untuk menutup biaya kebutuhan dan kehidupan sehari-hari. Pandemi telah membuat pelaku-pelaku wisata lebih kreatif, sehingga banyak diversifikasi pekerjaan muncul sebagai bagian dari cara mereka bertahan hidup. Penelitian ini juga memberikan gambaran terkait strategi resiliensi yang berbeda-beda dari pelaku-pelaku wisata. Bagian berikut dari artikel ini akan mengulas berbagai literatur terkait dampak Covid-19 terhadap kepariwisataan dan berbagai upaya-upaya yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan dalam merespon pandemi (pasca pandemi Covid-19).

Tinjauan Pustaka

Bencana/Krisis di Sektor Pariwisata

Konsep bencana dan krisis sebagaimana diterapkan pada bisnis pariwisata telah dikaji oleh banyak ahli (AlBattat & Mat Som, 2013). Beberapa penulis memilih untuk tidak menangani perbedaan definisi bencana dan krisis, tetapi menggunakan istilah tersebut secara bergantian atau bersamaan (Ritchie, 2008). Krisis seringkali memiliki komponen yang dapat dikendalikan oleh kelompok yang terkena dampak (misalnya kegagalan manajemen untuk bereaksi terhadap peristiwa dengan cara meminimalkan efek), sementara bencana terjadi secara tiba-tiba dan peristiwa

sebenarnya berada di luar kendali mereka yang terkena dampak (misalnya gempa bumi yang melanda daerah yang padat penduduk) (Rockett, 1999).

Menurut Glaesser (2003), dalam sektor pariwisata, krisis merupakan kejadian yang dapat mengancam operasional dan perilaku bisnis pariwisata dengan merusak reputasi keseluruhan destinasi wisata dalam hal keamanan, daya tarik, dan kenyamanan (Xie, Zhang, Huang, Chen, & Morrison, 2022). Pada akhirnya, krisis tersebut menyebabkan penurunan ekonomi perjalanan dan pariwisata lokal serta mengganggu kelangsungan operasi bisnis untuk industri perjalanan dan pariwisata lokal dengan pengurangan kedatangan dan pengeluaran turis di destinasi wisata (Kainthola, Robledo, & Chowdhary, 2022).

Bencana sering digambarkan sebagai sebuah siklus dengan fase yang mengarah dari satu fase ke fase berikutnya. Siklus tersebut terdiri dari 4R; pengurangan (reduction); kesiapan (readiness); respons (response); dan pemulihan (recovery) (Tibay et al., 2018). Dalam spektrum ini seseorang mengurangi (atau menghilangkan) risiko yang mungkin terjadi, bersiap menghadapi risiko yang tidak dapat dikurangi atau dihilangkan, menanggapi peristiwa dengan persiapan yang disiapkan, dan bekerja menuju pemulihan setelah peristiwa tersebut, termasuk mengurangi atau menghilangkan kemungkinan ancaman. Faulkner (2001) memberikan enam fase bencana dalam kerangka manajemen bencana pariwisata. Fase-fase ini meliputi; (1) pra-peristiwa (pre-event), di mana tindakan diambil untuk mengurangi efek dari atau menghilangkan peristiwa potensial; (2) tahap permulaan (prodromal), waktu sesaat sebelum terjadinya bencana di mana peringatan dan rencana dimulai; (3) darurat (emergency), kegiatan tanggap bencana yang sebenarnya; (4) menengah (intermediate), di mana masalah jangka pendek diselesaikan dan rencana untuk kembali normal; (5) pemulihan jangka panjang (long-term recovery), kelanjutan dari fase sebelumnya; (6) resolusi (resolution), fase terakhir di mana kegiatan normal dilanjutkan dan peninjauan kembali kejadian masih berlangsung. Dalam kedua siklus manajemen bencana ini, konsepnya tetap bahwa proses manajemen dimulai sebelum

terjadinya suatu peristiwa dengan perencanaan dan pengurangan risiko, dilanjutkan dengan pembelajaran dan penerapan untuk perencanaan di masa depan (Lu-qi, 2011).

Teori Resiliensi Terhadap Studi Pariwisata

Resiliensi merupakan saduran dari bahasa Latin ‘resilire’ yang dipahami sebagai kemampuan untuk membangun kapasitas dan kapasitas untuk pulih dari kejadian buruk (Gallopin, 2016; Adams et al., 2021). Melalui akar resiliensi pada bidang kedokteran, psikologi, teknik, dan pendidikan (Svavarsdottir & Jonsdottir, 2011), teori resiliensi dikembangkan oleh ahli ekologi C.S. Holling (1973) untuk menjelaskan dinamika non linear yang diamati dalam sistem ekologi (Holling, 1973; Adams et al., 2021). Teori resiliensi sejak itu dikaitkan dengan sistem sosial ekologis yang mengakui peran tindakan manusia dalam ketahanan dan memperhitungkan konteks sosial seperti komunitas (Bec, Moyle, & Moyle, 2015). Dengan asal usul akademiknya yang beragam maka definisi resiliensi memiliki definisi yang beragam pula, namun semuanya memiliki pandangan yang sama tentang sistem yang dinamis dan terus beradaptasi dengan perubahan-perubahan (Masten & Obradovic, 2016; Xie et al., 2022). Resiliensi disini didefinisikan sebagai kapasitas suatu sistem untuk menyerap gangguan dan mengatur ulang saat mengalami perubahan, sehingga pada dasarnya bertujuan untuk mempertahankan fungsi, struktur, identitas, dan feedbacks yang sama (Walker, Holling, Carpenter, & Kinzig, 2004).

Resiliensi di sektor pariwisata biasanya berfokus pada ketahanan ekonomi (Lew, 2014; (Adams et al., 2021), dan bencana dan bahaya jangka pendek (Bec et al., 2015). Namun jika mengacu pada teori Dahles, resiliensi pariwisata dipahami sebagai cara untuk meningkatkan keberlanjutan setelah mengalami bencana ekologis atau lingkungan dan untuk memberikan alternatif pembangunan berkelanjutan (Dahles, 2018). Jadi disini, resiliensi menurut Dahles lebih kepada ketahanan jangka panjang. Ketahanan jangka panjang maksudnya adalah memikirkan cara pulih, bertahan, dan kemampuan beradaptasi terhadap kemungkinan-kemungkinan, jika terjadi sesuatu

yang bersifat mengganggu stabilitas suatu kondisi (Folke, Hahn, Olsson, & Norberg, 2005).

Oleh sebab itu, untuk bertahan hidup, sektor pariwisata perlu menciptakan “perencanaan dan budaya” serta kolaborasi dan inovasi (Kainthola et al., 2022). Resiliensi tersebut harus melibatkan kapasitas yang kuat dan tindakan yang mengarah kepada kewirausahaan untuk tidak terlalu bergantung pada kebijakan pemerintah (Adams et al., 2021). Kolaborasi diperlukan di semua sektor untuk menciptakan inovasi dalam layanan pariwisata (Restikadewi, Ramadhan, & Islam, 2021). Pemikiran akan resiliensi diperlukan saat mengelola pariwisata sebagai sistem yang terpengaruh oleh guncangan. Ini terdiri dari sifat-sifat seperti persistensi, adaptasi, dan transformasi, yang semuanya merupakan dinamika yang memungkinkan sistem mempertahankan stabilitasnya (B. Faulkner, 2001).

Metodologi

Penelitian dilakukan di Kuta, Bali pada bulan Juli 2022 sampai Desember 2022. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Peneliti mencari informasi dan data bagaimana strategi masyarakat sebagai pelaku-pelaku usaha wisata dan pekerja di sektor pariwisata pada skala mikro di Kuta, Bali selama pandemi. Untuk mengembangkan kerangka konseptual terkait ketahanan masyarakat, khususnya pekerja dan pelaku usaha di sektor pariwisata terhadap perubahan struktural jangka panjang yang didorong oleh pariwisata, tinjauan naratif terhadap literatur yang masih ada dilakukan terhadap literatur resiliensi (Leamy, Bird, Le Boutillier, Williams, & Slade, 2011).

Tinjauan naratif yang dibangun dalam penelitian ini adalah fleksibel, mampu mencakup kumpulan besar literatur dan sangat berguna ketika berhadapan dengan kumpulan literatur yang berkembang yang membutuhkan wawasan dari pengetahuan antar disiplin ilmu (Collins & Fauser, 2005). Untuk lebih memperkuat tinjauan naratif, Ruhanen, Weiler, Moyle, dan McLennan (2015) memasukkan unsur

tinjauan sistematis ke dalam tinjauan naratif untuk meningkatkan transparansi dan ketelitian. Kemudian membangun metode yang diterapkan oleh Ruhanen et al. (2015), di mana catatan rinci dari proses peninjauan disimpan selama pengumpulan dan analisis data (Ruhanen, Weiler, Moyle, & McLennan, 2015).

Dalam penelitian ini memiliki dua sumber data yang diambil, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari masyarakat di Kuta, Bali sebagai pelaku-pelaku usaha dan pekerja-pekerja di bidang pariwisata pada tingkat mikro. Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen pendukung berupa data statistik dari Badan Pusat Statistik dan jurnal-jurnal pendukung lainnya. Sumber data primer dipilih berdasarkan obervasi awal di mana ditemukan pekerjaan-pekerjaan yang paling banyak ditemukan di Kuta, Bali. Setelah pemilihan data primer, narasumber yang dimaksud dikelompokkan untuk mendapatkan informasi tentang bencana atau krisis dan bagaimana resiliensi mereka selama pandemi Covid-19. Setiap partisipan secara verbal sudah memberikan persetujuan untuk berpartisipasi memberikan informasi sesuai dengan topik penelitian yang diambil (direkam, di-anonim-kan dan dikutip hasil wawancaranya), sehingga yang tercantum dalam penelitian ini sudah melalui prosedur dan ijin dari yang bersangkutan. Pemilihan dan pengelompokan sumber data primer dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.

Table 2. Narasumber

Kode Narasumber

Jenis Usaha

Posisi

X1

Hotel

Sales Marketing Manager

X2

Hostel dan Kafe

Owner

X3

Surf Lessons

Head Manager

X4

Hotel

Owner

X5

Guest HouseLaundry

Owner

X6

Bisnis Souvenir

Owner

X7

Travel Agent

Owner

X8

Food & Beverage

Manajer

X9

Tattoo Studio

Owner

X10

Online Transportation

Driver

X11

Rent Bike

Owner

Pengambilan data dilakukan langsung di lapangan menggunakan teknik pengumpulan data wawancara mendalam (in-depth interview). Data diambil dengan latar belakang pekerjaan yang berbeda untuk mendapatkan informasi bagaimana pelaku-pelaku usaha di bidang pariwisata tersebut dapat bertahan selama pandemi Covid-19. Setelah data terkumpul, data ditranskripsikan lalu diolah dan disesuaikan dengan tujuan penulisan penelitian, yaitu mengetahui strategi dan resiliensi dari pelaku-pelaku industri pariwisata di Kuta, Bali. Jika data yang diperoleh sudah memenuhi kriteria penelitian, maka data dianggap cukup dan tidak perlu pengambilan data lagi. Berikutnya, data dikelompokkan dan diklasifikasikan sesuai dengan tujuan penelitian untuk menjawab rumusan masalah, kemudian disimpulkan.

Hasil dan Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk melihat siklus-siklus bencana berdasarkan data empiris yang diperoleh di Kuta, Bali. Adapun fase-fase bencana yang dimaksud tersebut ditinjau dari dua sudut pandang, yaitu fase bencana dengan siklus 4R menurut Tibay dan 6 fase bencana menurut Faulkner. Meskipun jika ditelaah kembali, siklus bencana dengan 4R dan siklus bencana dengan 6 fase memiliki alur yang hampir serupa. Fase bencana dengan siklus 4R adalah: pengurangan (reduction), kesiapan (readiness), respons (response), dan pemulihan (recovery). Berikutnya, 6 fase bencana menurut Faulkner adalah pra peristiwa (pre-event), tahap permulaan (prodromal), darurat (emergency), menengah (intermediate), pemulihan jangka panjang (long-term recovery), dan resolusi (resolution). Namun pada intinya, kedua fase tersebut akan menggambarkan kondisi masyarakat di Kuta, Bali, khususnya masyarakat

sebagai pekerja-pekerja dan pelaku-pelaku di industri pariwisata saat sebelum pandemi, saat pandemi, dan keadaan setelah pandemi Covid-19.

Pra Pandemi Covid-19 Di Kuta, Bali

Pada fase ini disebut sebagai fase pra peristiwa (pra event). Tahap ini merupakan tahap yang diambil untuk mengurangi efek dari suatu kejadian atau bencana dan menanggulangi serta mencegah bencana secara potensial. Bali, sebelum terjadinya pandemi, masyarakat masih melakukan kegiatan seperti biasanya (Ida Bagus Gede Paramita, 2020). Tidak hanya masyarakat, pariwisata di Bali justru semakin ramai oleh wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Banyak wisatawan beranggapan bahwa virus Covid-19 tidak akan sampai ke Indonesia, sehingga tidak berpengaruh juga terhadap kegiatan-kegiatan pariwisata di Bali. Tidak hanya masyarakat di Bali, namun pemerintah juga mengeluarkan promosi-promosi untuk wisatawan berkunjung ke Bali (Winanti & Wawan Mas’udi, 2020). Meskipun banyak pemberitaan yang mengatakan virus mulai menyerang berbagai negara, tetapi kondisi pariwisata di Bali masih terbilang normal. Sebelum pandemi, justru tingkat kedatangan wisatawan ke Bali meningkat sebesar 3,37% pada tahun 2019 (Ida Bagus Gede Paramita, 2020). Di tahun yang sama, tahun 2019, World Tourism Organization (WTO) meramalkan bahwa kunjungan wisatawan mancanegara ke destinasi-destinasi wisata akan mencapai 1,6 miliar pada tahun 2020.

Sebelum pandemi Covid-19, pemilik hotel dan masyarakat Kuta mengatakan bahwa Kuta merupakan salah satu daerah yang paling ramai wisatawan, terlebih wisatawan yang berasal dari mancanegara. Menurut mereka, wisatawan asing yang paling banyak datang ke Kuta adalah wisatawan yang berasal dari Australia, India, Jepang, Cina, Korea, dan Singapura.

Saya merupakan salah satu pemilik hotel di Kuta. Sebelum pandemi, hampir semua penginapan penuh, dan dari sini dapat dilihat jalanan penuh oleh wisatawan yang berjalan kaki. Pagi hingga malam hari tak terkecuali wisatawan lalu lalang

memadati jalan Legian menuju Pantai Kuta. Saya juga tidak bisa membedakan kapan high season dan low season, karena tamu terus datang bergantian setiap harinya.” (X4)

Jika melihat kondisi pariwisata di Bali pada tahun 2019 (tahun sebelum pandemi), tentu tidak ada persiapan apapun dalam menghadapi pandemi Covid-19 di tahun 2020. Tidak ada hal yang berpengaruh dan mengganggu kegiatan-kegiatan kepariwisataan yang ada di Bali pada tahun 2019. Masyarakat beranggapan bahwa (nanti) jika terjadi bencana maupun krisis karena virus Covid-19, mereka tetap akan melaluinya seperti mereka melalui bencana dan krisis sebelumnya. Bali sudah beberapa kali menghadapi krisis bencana, namun bisa pulih kembali, maka dari itu, masyarakat di Bali tidak begitu intens dalam mempersiapkan segala hal jika terjadi krisis yang panjang ini (Pandemi Covid-19). Dapat dikatakan bahwa Bali tidak melakukan persiapan awal (pre-event) dan pengurangan (reduction) untuk melihat kemungkinan-kemungkinan terjadinya bencana atau krisis di tahun berikutnya, meskipun di seluruh dunia sudah mempersiapkan tindakan-tindakan preventif menghadapi bencana.

Menanggapi isu yang terjadi di dunia, hampir semua masyarakat di Bali sepakat bahwa pandemi yang mungkin akan datang nantinya tidak akan mempengaruhi pariwisata dan kehidupan masyarakat yang ada di Bali. Berikut pendapat masyarakat Bali tentang persiapan pandemi yang mungkin akan terjadi.

Sejujurnya, kami tidak takut dengan pemberitaan yang terjadi di luar sana, karena kami sudah mengalami 3 bencana, Bom Bali 1 dan 2, dan peristiwa Gunung Agung.” (X2)

Dulu saat Bom Bali 2 saya pikir Legian ini akan sepi, ternyata setelahnya justru semakin ramai, banyak keluarga yang ingin berkunjung ke Bali karena ingin melihat tempat kejadian bom tersebut…” (X3)

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa beberapa kali masyarakat Bali menghadapi bencana, mereka tetap bisa bertahan, terlebih pada sektor pariwisata. Namun keadaan bencana sebelumnya berbeda dengan pandemi Covid-19 yang membuat pariwisata di Bali pulih lebih lama.

Meskipun pada awal bencana ada beberapa kegiatan yang harus terhenti, namun itu tidak memakan waktu yang lama, tidak seperti ketika pandemi Covid-19, sudah lebih dua tahun tetapi pariwisata masih belum sepenuhnya pulih.” (X7)

Kondisi Kuta, Bali Saat Pandemi

Sejak masuknya virus Corona (Covid-19) pada akhir Maret 2020 di Indonesia, ada tiga destinasi wisata yang paling terdampak virus ini (Malikah, 2021). Menurut Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (2020), tiga destinasi wisata itu adalah Bali, Manado, Kepulauan Riau (Suparta, 2021). Namun dari ketiga destinasi, Bali menjadi satu-satunya destinasi yang paling terdampak adanya pandemi Covid-19 (Subawa et al., 2022). Pada bulan Maret tahun 2020, terjadi penurunan jumlah wisatawan mancanegara hingga 56,89%. Hal ini merupakan penurunan paling ekstrim sejak terakhir terjadi pada tahun 2017 saat peristiwa Gunung Agung (Paramita, 2020).

Berdasarkan pengamatan di lapangan dan wawancara dengan masyarakat lokal di Bali, ternyata tidak semua daerah di Bali merasakan dampak pandemi Covid-19. Kuta, Kabupaten Badung adalah daerah yang paling merasakan dampak Covid-19 (Paramita, 2020). Pada bulan April 2020, kurang lebih ada 205 perusahaan yang tutup, 20.272 orang dirumahkan, dan 235 pekerja harus di-PHK. Dengan penutupan tempat usaha juga mengakibatkan wisatawan yang tinggal di Bali memutuskan untuk berpindah tempat berkunjung.

Legian, Kuta, dan Badung pokoknya tidak ada wisatawan lagi. Semua lari ke Canggu. Jadi, kalau dilihat sekarang kenapa Canggu ramai sekali, yaitu karena saat pandemi, wisatawan-wisatawan asing pada pindah ke sana.” (X4)

Kuta ini sepi saat pandemi karena memang aktivitas wisata sangat banyak di sini, makanya ketika ada pandemi dan pembatasan kegiatan wisatawan, Kuta menjadi sepi. Mereka (wisatawan asing) pada pindah ke Canggu semua, di sana juga tidak dipantau seketat di Kuta. Denpasar juga masih ramai karena rata-rata pekerjaan mereka bukan di pariwisata namun di sektor perkantoran, mereka masih bisa WFH (Work from Home).” (X2)

Selain berpindahnya wisatawan mancanegara dari Kuta (Kabupaten Badung) ke Canggu, berkurangnya jumlah wisatawan asing disebabkan oleh ditutupnya penerbangan internasional sejak bulan Mei 2020. Sejak saat itu, daerah Kuta menjadi sepi, tidak hanya wisatawan asing, namun wisatawan domestik juga tidak berkunjung ke Bali karena pembatasan-pembatasan penerbangan dan kegiatan untuk mencegah penularan Covid-19. Penurunan jumlah wisatawan dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini. Penurunan jumlah wisatawan sebenarnya tidak hanya terjadi di Bali saja, namun secara total, di Indonesia mengalami penurunan jumlah kedatangan wisatawan mancanegara hingga -74,84% pada tahun 2020. Demikian pula dengan Bali, jumlah kedatangan wisatawan mancanegara mengalami penurunan hingga -82,96% di tahun 2020. Dan dilanjutkan pada tahun 2021, jumlah kunjungan wisatawan asing turun hingga -100%. Angka penurunan karena Covid-19 lebih tinggi dibandingkan dengan peristiwa Bom Bali 1 tahun 2002, Bom Bali 2 tahun 2005, dan peristiwa Gunung Agung tahun 2017.

Tahun

Vfear

Indonesia

Bali

Total

Growth (%)

Total

Growth (%)

1996

5 034 472

16,80

1 138 895

12,31

1997

5 1 84 486

2,98

1 230 316

8,03

1998

4 606 416

-11,15

1 187 153

-3,51

1999

4 600 ∞O

-0,14

1 355 799

14,21

2000

5 064 217

10,09

1 412 839

4,21

2001

5 153 620

1,77

1 356 774

-3,97

2002

5 033 400

-2,33

1 285 842

-5,23

2003

4 467 021

-11,25

993 185

-22,76

2004

5 321 165

19,12

1 472 190

48,23

2005

5 002 101

-6,00

1 388 984

-5,65

2006

4 871 351

-2,61

1 262 537

-9,10

2007

5 505 759

13,02

1 668 531

32,16

2008

6 234 497

13,24

2 085 084

24,97

2009

6 323 730

1,43

2 385 122

14,39

2010

7 002 944

10,74

2 576 142

8,01

2011

7 649 731

9,24

2 826 709

9,73

2012

8 044 462

5,16

2 949 332

4,34

2013

8 802 129

9,42

3 278 598

11,16

2014

9 435 411

7,19

3 766 638

14,89

2015

10 406 291

10.29

4 001 835

6,24

2016

11 519 275

10,70

4 927 937

23,14

2017

14 039 799

21,88

5 697 739

15,62

2018

15 806 191

12,58

6 070 473

6,54

2019

16 106 954

1,88

6 275 210

3,37

2020

4 052 923

74,84

1 069 473

-82,96

2021

1 557 530

-61,57

51

-100,00

Gambar 1. Data Penurunan Jumlah Wisatawan

Pemerintah menerapkan kebijakan lockdown, di mana semua kegiatan, tidak hanya kepariwisataan, namun semua kegiatan yang melibatkan banyak orang harus dibatasi dan dihentikan sementara (Winowatan, Suarta, & Sukarana, 2020). Hal ini bertujuan untuk mengurangi mobilitas masyarakat dan mencegah penularan virus. Namun memang ada resiko yang harus ditanggung oleh masyarakat dengan kebijakan lockdown tersebut. Di satu sisi, pemberlakuan lockdown memang menghambat penyebaran virus Covid-19, di sisi yang lain, lockdown menghentikan laju perekonomian di Bali (Badan, Statistik, & Jambi, 2021).

Meskipun ada aturan-aturan pemerintah yang menegaskan untuk melakukan pembatasan kegiatan dan lockdown, namun masyarakat masih melakukan aktivitasnya seperti biasa. Tidak heran masyarakat di Bali masih melakukan kegiatan seperti biasa karena memang sebagian besar sumber pemasukan masyarakat adalah dari kegiatan pariwisata. Salah satu masyarakat di Kuta mengatakan pendapatnya terkait masih banyaknya masyarakat yang keluar rumah.

Jika kami hanya di rumah saja, bagaimana kami dapat memenuhi kebutuhan hidup. Namun juga, di luar rumah pun, kami tidak mendapati pekerjaan seperti sebelumnya. Tidak ada wisatawan yang datang ke Bali. Legian sangat sepi.” (X7) “…percuma sih keluar rumah, tidak ada pemasukan. Mau narik ojek, juga tidak ada tamu, mau antar makanan juga warungnya tutup…” (X10)

Dengan pembatasan kegiatan dan penutupan akses ke daerah-daerah wisata membuat masyarakat merasa terpuruk selama pandemi. Masyarakat merasa bahwa pandemi membuat penghasilan ekonomi masyarakat menjadi kacau. Selain itu, kebijakan pemerintah yang selalu berubah-ubah menambah keterpurukan dan keputusasaan di kalangan masyarakat (Sitorus, 2021). Masyarakat menganggap tidak adanya konsistensi pemerintah dalam menyelesaikan masalah pandemi Covid-19. Dengan keadaan yang tidak kondusif selama pandemi, akhirnya memaksa masyarakat untuk melakukan kegiatan yang dapat membantu pemasukan ekonominya. Hampir semua narasumber mengatakan hal yang sama bahwa mereka harus memiliki ide-ide kreatif untuk bisa mendapatkan pemasukan ekonomi dan melalui pandemi Covid-19.

Kami harus punya ide-ide kreatif lainnya, kalau cuma diam saja di rumah ya percuma, tidak ada pemasukan…” (X8)

Bisa dikatakan juga, keadaan pandemi Covid-19 telah menciptakan industri-industri baru dan mulainya bermunculan usaha-usaha mikro di Bali (Badan et al., 2021). Tujuannya adalah mendapatkan pemasukan ekonomi untuk bertahan hidup.

Respons Terhadap Bencana/Krisis

Dampak pandemi Covid-19 telah mendorong kehidupan dan mata pencaharian jutaan praktisi pariwisata ke dalam ketidakpastian (Adams et al., 2021). Tidak dalam hal perekonomian saja, dampak pandemi juga sangat berdampak pada

kondisi mental dan emosional (Maunder, 2009). Oleh sebab itu, seluruh pemangku kepentingan harus dapat bekerjasama untuk dapat meredam dampak negatif pandemi tersebut (Kainthola et al., 2022). Sejak pandemi, muncul diversifikasi mata pencaharian oleh masyarakat di Kuta, Bali. Diversifikasi dan munculnya usaha-usaha baru adalah siasat yang dilakukan untuk mendapatkan pemasukan bagi penghidupan sehari-hari (Wedha, dkk, 2020). Sesuai dengan teori Kainthola et al. (2022) yang mengatakan bahwa sektor pariwisata harus bisa menciptakan perencanaan dan budaya serta kolaborasi dan inovasi (Kainthola et al., 2022).

Pada bagian ini akan dibahas tentang bagaimana pelaku usaha dan pekerja di bidang pariwisata dapat bertahan selama pandemi. Pelaku usaha dan pekerja tersebut juga menciptakan peluang-peluang baru untuk dapat bertahan selama pandemi (Amrita, Handayani, & Erynayati, 2021). Sesuai dengan lokasi penelitian yang diambil, pelaku usaha dan pekerja ini diambil di wilayah Kuta, Bali. Cara bertahan dan resiliensi pelaku dan pekerja wisata sangat berbeda di setiap wilayah, namun data yang diperoleh dapat menunjukkan keterkaitan teori resiliensi dengan kondisi empiris di lapangan terkait dengan cara pelaku dan pekerja bertahan selama pandemi.

Ketika pandemi, ada diversifikasi usaha-usaha yang muncul sebagai sebuah strategi resiliensi yang dilakukan oleh pelaku-pelaku usaha dan pekerja-pekerja di sektor pariwisata. Diversifikasi usaha yang muncul tidak selalu sama dengan latar belakang usaha dan pekerjaan sebelumnya oleh setiap pelaku-pelaku wisata tersebut. Artinya, tidak ada kesesuaian latar belakang pekerjaan dengan usaha-usaha baru yang dijalankan oleh para pelaku wisata di Kuta. Semua narasumber mengatakan bahwa tidak bisa terus bergantung seperti pekerjaan sebelumnya selama menghadapi pandemi.

“…mau kerja di hotel jelas tidak mungkin, wisatawan aja tidak ada yang datang.

Harus cari peluang baru untuk mendapatkan pemasukan…” (X1)

Ini pertama kalinya saya memiliki bisnis yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya, karena pandemi, semua jadi mungkin.” (X1, X3)

Lebih kepada menyalurkan hobi, eh ternyata justru mendatangkan keuntungan.” (X2)

Lebih detail tentang transformasi pekerjaan dan cara bertahan selama pandemi akan dijabarkan di bawah ini:

  •    X1 merupakan pekerja hotel yang sudah bekerja selama 5 tahun di hotel bintang 5. Penurunan tingkat hunian hotel menyebabkan pengurangan jam kerja dan pemutusan hubungan kerja sepihak. Meskipun secara legal hotel tersebut masih memberikan kesempatan untuk bekerja kembali setelah pandemi usai, namun X1 memilih untuk tidak kembali bekerja. Selama tidak bekerja, ada tiga usaha yang dijalankan, yaitu bisnis makanan, penjualan baju secara online, dan nail art. Bisnis makanan dan penjualan baju hanya bertahan selama 3 bulan saja, sedangkan nail art justru bisa bertahan sampai saat ini.

Ide nail art ini muncul ketika pandemi, meski tidak ada kegiatan pariwisata, tetapi kegiatan upacara adat terus berjalan, wanita-wanita tetap ingin merias dirinya sehingga nail art tetap laku, bahkan sampai sekarang.” (X1)

  •    X2 sudah memiliki hostel dan kafe sejak tahun 2016. Jumlah pegawai yang bekerja di hostel dan kafe ini adalah 12 orang. Hampir 90% pengunjung di hostel dan kafe adalah wisatawan asing, sehingga ketika pandemi tidak ada wisatawan yang datang ke tempat usaha tersebut. Untuk menekan pengeluaran dan biaya operasional, maka pekerja yang ada harus dikurangi. Selama hampir satu tahun tidak ada tamu satu pun yang datang. Untuk mengisi kegiatan selama pandemi, X2 kembali menekuni hobinya memancing. Beruntungnya, sebelum pandemi X2 sudah membeli kapal untuk memancing.

Saat pandemi, di mana banyak orang tidak bekerja, ternyata kapal yang dibelinya sebelum pandemi dapat disewakan dan mendatangkan pemasukan. X2 juga sering menjadi pemandu untuk kegiatan memancing di laut. Jadi, meskipun pandemi, ada pemasukan yang diperoleh dari hobi memancing tersebut.

“Hampir setiap hari kapal disewa orang untuk berlayar ke laut, mencari ikan, ada yang refreshing… Selain mendapatkan ikan, saya juga senang dengan kegiatan ini, ternyata bisa menjadi guide dan memperoleh pemasukan dari hobi ini…” (X2)

  •    X3 adalah pengajar surfing yang sudah mulai mengajar sejak tahun 2006. Posisi yang dimiliki saat ini adalah sebagai head manager. Sebelum pandemi Covid-19, setidaknya ada 50 tamu dalam sehari yang belajar surfing. Sampai akhirnya, ketika pandemi, tidak ada tamu sama sekali yang belajar surfing. Untuk bertahan hidup dan memperoleh pemasukan, X3 memulai usaha makanan secara online.

“Sebenarnya tidak ada pengalaman usaha kuliner, tetapi karena harus memperoleh pemasukan, saya memberanikan diri untuk membuka usaha kuliner. Usaha kuliner itu seperti sate taichan, penyetan, dan donat.” “…untungnya di Kuta, teman bantu teman, artinya, setiap ada bisnis baru, mereka saling support, begitu sebaliknya, sehingga semua dapat perputaran uang, dapat penghasilan dari saling bantu tersebut…” (X3)

  •    X4 merupakan pemilik hotel sejak awal tahun 1990an. Hotel tersebut merupakan bisnis keluarga turun temurun yang masih berjalan hingga saat ini. Semua pemasukan yang ada di hotel tersebut dibagi untuk seluruh anggota keluarga yang tergabung dalam bisnis tersebut. Selama pandemi, tidak ada

wisatawan yang berkunjung ke hotel tersebut. Akhirnya, karena tidak ada pengunjung, hotel yang ada diubah menjadi penginapan bulanan atau kos. Semenjak disewakan bulanan, ternyata banyak tamu yang menginap. Tidak hanya wisatawan asing saja, bahkan banyak pekerja dari luar Bali datang menyewa hotel tersebut untuk bekerja. Meskipun penghasilan yang diperoleh tidak sebanyak ketika menjadi hotel, namun setidaknya dapat memperoleh pemasukan yang bisa diharapkan dari kos tersebut. Selain itu, X4 juga menyewakan tanahnya untuk pemasangan tower salah satu provider internet, di mana uang sewa yang diperoleh ternyata sangat banyak dan dapat untuk modal bisnis yang lainnya.

“Selama pandemi, hotel diubah menjadi kosan, justru banyak peminat ternyata. Bahkan sampai sekarang, setelah pandemi berangsur membaik, banyak yang masih ingin tinggal di hotel, namun saya sudah mulai stop untuk menyewakan sebagai kosan. Sekarang banyak wisatawan yang sudah datang ke Indonesia… halaman rumah saya juga disewa oleh XL untuk jaringan internetnya. Lumayan, saya bisa membeli mobil dan menyewakannya. Sekarang saya bisa menjadi supir rental juga…” (X4)

  •    X5 adalah pemilik guest house dan laundry sejak tahun 2000an. Selama pandemi, tidak ada orang yang menginap di guest house miliknya. Namun untuk laundry, masih ada tamu lain, selain wisatawan yang menggunakan jasa laundry miliknya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, X5 harus mengurangi jumlah karyawan dan mengubah cara bisnis laundry-nya menggunakan sistem antar jemput laundry. Selain itu, ada bisnis baru yang muncul yaitu penjualan pakaian dan makanan secara online.

“…penginapan dan laundry sepi, kami mencoba bisnis kuliner. Pembelinya sih masih sekitar tetangga, teman-teman dekat, dan keluarga. Laundry masih jalan karena beberapa orang masih ada yang membutuhkan jasa laundry tersebut.” (X5)

  •    X6 adalah kelompok pedagang souvenir yang berasal dari Madura. Kelompok tersebut sudah mulai berjualan sejak tahun 2000an. Selama pandemi, tidak ada wisatawan yang berkunjung ke Kuta sehingga toko souvenir harus ditutup sementara. Sebelumnya, dagangan yang dijual hanya dipasarkan secara konvensional saja, namun pandemi memunculkan ide untuk menjual barang dagangan secara online.

“Lumayan juga, meski tingkat penjualan tidak seramai ketika berjualan di toko. Harga online juga harus harga pasti, kalau di toko kan bisa di-up kemudian ada tamu tawar menawar… tapi kami bisa kerja di rumah lewat hp, lebih banyak dibantu komunitas pedagang juga, jadi bisa berjualan selain souvenir.” (X6)

  •    X7 merupakan pebisnis pakaian eksport (bikini) dan pemilik travel agent di Kuta yang berasal dari Banyuwangi. Dari bisnisnya, X7 mampu membeli rumah dan mengembangkan cabang-cabang usaha di Bali. Bisnis yang

dimilikinya  mempekerjakan  orang-orang  Bali dan  pendatang dari

Banyuwangi. Selama pandemi, karena tidak adanya pemasukan dan pembelian pakaian, maka bisnis yang sudah dijalankan selama 20 tahun harus tutup. Tidak ada pemasukan dan biaya untuk gaji karyawan dan operasional. Uang tabungan yang diperoleh selama bekerja dimanfaatkan untuk membeli tanah di kampung halaman. X7 pulang ke Banyuwangi dan mencoba menjadi petani sayur mayur. Namun, usahanya ternyata gagal karena harga sayur yang dipasarkan tidak bisa mencukupi biaya operasional. Hal ini dipengaruhi oleh lockdown yang diberlakukan di daerahnya. Masa panen juga tidak bisa cepat

sehingga perputaran uang tidak bisa cepat. Contohnya, harga cabe yang dijual adalah Rp 1500/kg dan tomat seharga Rp 200/kg. Harga tersebut sangat jauh dibandingkan biaya operasional yang dikeluarkan untuk menanam dan membayar pekerja. Akhirnya, uang hasil tabungan dan bisnisnya sudah habis dan tidak membuahkan apapun. Beruntungnya ada bantuan dari tamu-tamu yang dikenalnya ketika membuka usaha di Bali. Jika dijumlah, uang yang diberikan oleh tamu-tamu tersebut bisa mencapai Rp 150.000.000. Dengan uang bantuan tersebut bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari dan membayar hutang selama dua tahun. Tahun 2022 awal kembali ke Kuta lalu memulai bisnis baru dan bekerja serabutan, berjualan biji kopi, menjadi tukang kayu, sales, supir rental, dan instruktur surfing paruh waktu.

“…tidak ada strategi khusus dalam menghadapi pandemi selain bekerja keras dan mencari peluang-peluang lain selain menjadi tour guide. Tahun 2022 ini sudah mulai banyak tamu datang, jadi bisa menawarkan kopi ke mereka dan menjalin kerjasama lagi.” (X7)

  •    X8 adalah pegawai bar yang juga terkena dampak pandemi. Sejak pembatasan kegiatan, bar harus tutup sementara. Hal ini disebabkan karena jam operasional bar dibuka pada jam 6 sore sedangkan pembatasan kegiatan dimulai jam 7 malam.

“Jelas tidak ada wisatawan yang berkunjung ke bar pada siang hari. Jadi, kami lebih memilih untuk menutup bar sementara.” (X8)

Bar tersebut tidak memberikan gaji karena tidak ada biaya upah dan operasional, sehingga pegawai-pegawai harus mencari penghasilan tambahan. Untuk memenuhi kebutuhan hariannya, X8 membuka usaha kuliner secara online. Ternyata

usahanya itu dapat memberikan pemasukan dan dapat bertahan sampai saat ini. Selain kuliner, ada usaha penjualan minuman beralkohol khas Bali yang dipasarkan melalui online. Dari sini X8 memperoleh beberapa kolega untuk bekerja sama dan membesarkan usahanya.

“…ternyata saat berjualan online ini membangun koneksi dengan banyak orang di luar bali. Hampir setiap hari bisa mengirimkan minuman ke Malang, Surabaya, ada yang Sumatera, dan Kalimantan. Mereka suka dengan produk ini. Saya tidak pernah menyangka kalau bisnis online ini justru memberikan pemasukan lebih banyak dibandingkan ketika bekerja di bar.“(X8)

  •    X9 merupakan seniman tato yang sudah ada di Kuta sejak tahun 1990an. Sebelumnya, X9 bekerja dengan orang di studio tato yang ada di Bali. Pada tahun 2007, X9 mulai membuka usaha studionya sendiri. Tentu bisnis tato tidak bisa berjalan jika tidak ada tamu yang datang. Bisnis ini merupakan bisnis yang mengharuskan orang datang karena aplikasi gambar tidak bisa dilakukan secara daring. Sebelum pandemi, banyak orang sudah memesan jasa tatonya, beberapa sudah melakukan pembayaran uang muka dan mengatur jadwal. Namun, karena wisatawan tidak bisa datang, maka tidak ada pemasukan sama sekali di studio tersebut.

“…untung saja uang yang sudah di-dp tidak diminta. Saya pakai uang itu untuk modal bisnis jual beli online. Jadi, karena banyak orang yang membutuhkan uang di Bali, banyak barang yang dijual, lalu saya beli dan dijual kembali di luar Bali. Barang-barang itu seperti handphone, jam tangan, komputer, dan benda-benda pribadi. Sejak itu, saya mulai menjalankan bisnis jual beli online dan menjadi artis tato panggilan (menerima jasa tato dengan mendatangi rumah pelanggannya).” (X9)

  • •  X10 adalah driver ojek online yang berasal dari Jawa. Dalam satu bulan sebelum

pandemi, pemasukan yang diperoleh bisa mencapai Rp 12.000.000 hingga 15.000.000. Saat pandemi, pemasukan sangat turun drastis, bahkan dalam satu hari belum tentu dapat pemasukan. Tidak ada yang berubah dengan pekerjaan yang dilakukan X10 saat pandemi. X10 masih menjalankan aktivitas seperti biasa sebagai driver ojek online. Saat pandemi jasa ojek memang sangat turun drastis namun jasa pembelian makanan secara online ternyata meningkat. Pada beberapa bulan setelah pandemi, banyak pengendara ojek yang pulang ke daerahnya, hal ini membuat saingan menjadi semakin kecil, sehingga pengendara ojek yang masih bertahan di Kuta tetap dapat pemasukan dari tamu-tamu yang memesan makanan secara online.

“…awal pandemi gak ada tamu, tetapi setelah beberapa bulan ada pemasukan lagi. Banyak orang yang pesan makanan secara online. Banyak driver yang pulang ke kampung halaman juga, jadi saingan saya semakin sedikit. Saya tidak ada pikiran untuk membuat bisnis baru, jadi saya tetap bekerja sebagai pengendara ojek saja. Kalau sekarang itu yang banyak menggunakan jasa ojek kebanyakan adalah orangorang lokal” (X10)

  • X11 merupakan pemilik rental motor dengan kurang lebih memiliki 30

kendaraan. Bisnis tersebut sudah berjalan selama kurang lebih 15 tahun. Sejak pandemi, tidak ada penyewa motor sama sekali karena hampir 100% penyewa motor miliknya adalah wisatawan asing. Tidak adanya wisatawan yang menyewa kendaraan karena aturan yang tidak memperbolehkan orang melakukan kegiatan wisata.

  • “ Pandemi membuat usaha rental menjadi sangat sepi. Wisatawan tidak mungkin menyewa motor karena tidak boleh pergi kemana-mana. Apalagi sekarang ada

pembatasan kegiatan, bule-bule juga tidak bisa ke Indonesia, itu yang membuat bisnis rental semakin sepi.” (X11)

Setelah hampir 6 bulan tidak ada pemasukan sama sekali, ada beberapa motor yang harus dijual. Ternyata, ketika pandemi banyak sekali penjualan motor-motor di Bali. Hal ini memberikan ide bagi X11 untuk membuka usaha jual beli motor bekas.

“Saat itu saya cek situs jual beli motor second, eh banyak juga orang-orang Bali yang menjual motornya. Saya kontak mereka, akhirnya malah saya ikut forum jual beli motor bekas. Banyak pembeli yang beli motor bekas itu justru dari luar Bali. Bisnis ini akhirnya saya jalankan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.” (X11)

Keadaan Setelah Pandemi

Dalam masa resiliensi, sektor pariwisata harus melibatkan kapasitas yang kuat dan tindakan yang mengarah kepada kewirausahaan yang tidak selalu bergantung pada kebijakan pemerintah (Adams et al., 2021). Meskipun memang peran pemerintah juga sangat dibutuhkan dalam masa-masa resiliensi dalam bentuk kerjasama antara pemerintah dan masyarakat untuk menghadapi krisis atau bencana secara bersama-sama. Sebagai contoh, pemerintah di Bali telah mengadakan program vaksinasi di Kuta untuk masyarakat yang bekerja di sektor pariwisata. Pemerintah juga memberikan aturan jam operasional tempat-tempat wisata. Selain itu, ada program sertifikasi CHSE (Cleanliness, Health, Safety, dan Environment Sustainability) di setiap destinasi wisata. Tujuannya adalah untuk memberikan rasa aman bagi wisatawan dan meningkatkan kembali kunjungan ke destinasi wisata. Dengan demikian, perekonomian bisa kembali pulih.

Semua hal di atas merupakan persiapan untuk kedatangan wisatawan setelah pandemi Covid-19 berakhir. Masyarakat dan seluruh lapisan masyarakat dipersiapkan dan dibiasakan dalam keadaan ‘new normal.’ Keadaan pandemi ternyata juga telah mengubah banyak hal dalam kepariwisataan di Bali. Berdasarkan data yang

diperoleh di lapangan, ada perubahan yang terjadi setelah pandemi di Bali. Perubahan tersebut antara lain:

  •    Wisatawan lebih memilih destinasi yang lebih sepi dengan pelayanan yang tersertifikasi CHSE. “…kadang pas wisatawan masuk ke kafe, karena rame, mereka keluar lagi. Mereka (wisatawan) sepertinya pengen ke tempat yang lebih sepi. Tapi, sepertinya sudah tidak seperti dulu, wisatawan udah mulai terbuka, merasa aman dengan Bali.” (X2)

  •    Wisatawan lebih banyak bepergian dalam jumlah kelompok yang kecil, tidak seperti keadaan sebelum pandemi. “Sekarang wisatawan seringnya sendiri-sendiri, dalam jumlah kecil gitu. Kalau dulu kan banyak rombongan.” (X10)

  •    Munculnya tren wisata baru seperti staycation, healing tourism, wellness tourism. …sejak pandemi ini, sekarang banyak orang-orang Jakarta datang ke Bali. Mereka mau staycation gitu, cuma di hotel saja tidak pergi kemana-mana.” (X2)

  •    Wisatawan lebih tertutup dan tidak membuka diri kepada masyarakat. “…kesannya sombong gitu, tidak ramah lagi, bahkan sekarang banyak wisatawan yang marah-marah kalau ditawari sesuatu seperti sewa motor, souvenir, dan guide.” (C6)

  •    Wisatawan lebih memperhitungkan pengeluaran saat berbelanja dibandingkan sebelum pandemi. “Dulu itu wisatawan sering kasih tips, terus (hampir) tidak pernah menawar ketika belanja, sekarang tingkat belanja wisatawan menurun.” (X6)

  •    Asal kunjungan wisatawan menjadi berubah. Menurut masyarakat lokal, sebelumnya wisatawan asing yang banyak datang ke Kuta adalah wisatawan yang berasal dari Australia. “…saat ini kunjungan wisatawan Rusia yang datang ke Kuta lebih banyak dibandingkan wisatawan dari negara lain.” (X1, X2, X3, X7, X10, X11)

    Nomor

    Negara

    Jan. 2023

    Des. 2022

    Perubahan (%)

    1

    Australia

    91,254

    94,365

    -3.30 %

    2

    Rusia

    22,104

    19,702

    12.19 %

    3

    India

    21,700

    35,980

    -39.69 %

    4

    Korea Selatan

    17,598

    14,115

    24.68 %

    5

    Singapura

    16,586

    35,606

    -53.42 %

Gambar 2 Negara Penyumbang Trafik Kunjungan Terbanyak Ke Bali

Namun jika merujuk pada data Badan Pusat Statistik Bali (2023), jumlah wisatawan Australia menurun -3,30% meskipun masih pada posisi paling atas di antara asal wisatawan lainnya. Kemudian, jumlah wisatawan Rusia meningkat 12,19% dan menempati posisi kedua, melewati India, Korea Selatan, dan Singapura. Mungkin hal ini yang menyebabkan mengapa masyarakat lokal mengatakan bahwa kunjungan wisatawan Rusia ke Kuta lebih banyak dibanding Australia.

  •    Tidak bisa lagi memprediksi kunjungan wisatawan. Semua narasumber sepakat bahwa waktu kunjungan wisatawan ke Bali menjadi berubah. “Sekarang susah memprediksi wisatawan, jadi tidak bisa membedakan low season dan high season. (X2)” Berdasarkan informasi yang diperoleh, wisatawan sudah tidak memperdulikan kembali waktu liburan mereka. Wisatawan lebih fleksibel dalam menentukan waktu liburannya. Mereka takut jika tidak berlibur sekarang (atau pada waktu ada kesempatan), mereka tidak akan bisa liburan lagi jika ada pandemi seperti saat ini

  •    Masyarakat mulai berani membuka usaha-usaha baru meskipun tidak ada pengalaman sebelumnya terhadap usaha tersebut. “…banyak anak muda di Kuta tidak berani membuka usaha baru, tetapi sejak pandemi ini, mereka nekat buka usaha baru, dan ternyata mereka bisa juga.” (X3)

Simpulan

Pandemi Covid-19 telah memberikan dampak yang sangat signifikan bagi pariwisata di Bali. Dampak tersebut dapat dilihat dari berkurangnya jumlah wisatawan ke Bali, baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Menurunnya jumlah kunjungan wisatawan membuat kegiatan pariwisata di Bali menjadi terhenti. Pandemi juga telah mendorong kehidupan dan mata pencaharian kepada ketidakpastian. Hal tersebut menjadi pengaruh terhadap pendapatan perekonomian masyarakat dan pelaku wisata yang ada di Bali. Dengan berhentinya kegiatan wisata, banyak pelaku usaha dan pekerja di Bali harus kehilangan mata pencahariannya.

Selama pandemi, muncul diversifikasi mata pencaharian di kalangan masyarakat, terutama bagi pekerja dan pelaku usaha pariwisata. Munculnya usaha-usaha baru di Bali saat pandemi merupakan cara untuk bertahan hidup dan bagian dari resiliensi masyarakat. Masyarakat tidak bisa hanya diam saja menunggu pandemi cepat berakhir, sehingga kemudian timbul ide-ide kreatif yang menjadi bukti bahwa masyarakat dapat bangkit menghadapi pandemi. Bahkan sampai keadaan mulai kondusif, usaha-usaha yang muncul ketika pandemi masih dipertahankan sampai saat ini. Diversifikasi usaha yang muncul membuktikan bahwa masyarakat memiliki cara yang kreatif dalam menghadapi pandemi Covid-19.

Jika ditinjau dari siklus bencana, saat ini Bali memasuki fase pemulihan (recovery). Bali sudah melewati masa kritisnya dan mulai bangkit, terutama dalam kegiatan kepariwisataannya. Masyarakat, pelaku usaha, dan pekerja di sektor pariwisata mampu melewati pandemi dengan cara bertahan dan resiliensi yang berbeda-beda. Dari pengalaman pandemi tersebut, semua pemangku kepentingan perlu membuat perencanaan berkelanjutan dan strategi jangka panjang untuk bersiap menghadapi krisis.

Setelah pandemi, ada beberapa perubahan dalam pariwisata di Kuta, Bali. Berdasarkan data yang diperoleh, perubahan tersebut adalah; wisatawan lebih memilih destinasi yang lebih sepi; wisatawan bepergian dalam jumlah kelompok

yang lebih kecil; munculnya trend wisata baru seperti staycation, healing tourism, dan wellness tourism; wisatawan lebih tertutup terhadap masyarakat lokal; wisatawan lebih memperhitungkan pengeluaran saat berbelanja dibandingkan sebelum pandemi; asal kunjungan wisatawan mancanegara menjadi berubah; masyarakat tidak lagi dapat memprediksi low season dan high season; masyarakat lokal mulai berani membuka usaha-usaha baru.

Daftar Pustaka

Adams, K. M., Choe, J., Mostafanezhad, M., & Phi, G. T. (2021). (Post-) Pandemic Tourism Resiliency: Southeast Asian Lives and Livelihoods in Limbo. Tourism Geographies, 23(4), 915–936. https://doi.org/10.1080/14616688.2021.1916584

AlBattat, A. R., & Mat Som, A. P. (2013). Emergency Preparedness for Disasters and Crises in the Hotel Industry. SAGE Open,  3(3),  215824401350560.

https://doi.org/10.1177/2158244013505604

Amrita, N. D. A., Handayani, M. M., & Erynayati, L. (2021). Pengaruh Pandemi Covid-19 Terhadap Pariwisata Bali. Jurnal Manajemen Dan Bisnis Equilibrium, 7(2), 246– 257. https://doi.org/10.47329/jurnal_mbe.v7i2.824

Ayupijaya, M. (2021). Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Ketenagakerjaan di Provinsi Bali. Jurnal Bali Membangun    Bali,   2(3),    151–168.

https://doi.org/10.51172/jbmb

Badan, O., Statistik, P., & Jambi, P. (2021). Analisis Pengaruh Pandemi Covid-19 Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dengan Uji Statistik Mc Nemar. Jurnal Paradigma     Ekonomika,     16(3),     2085–1960.     Retrieved     from

https://id.tradingeconomics.com

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, 2023.

Bec, A., Moyle, C.-L., & Moyle, B. (2015). Community Resilience to Long-Term Tourism Decline and Rejuvenation: A Literature Review and Conceptual Model.      Current      Issues      in      Tourism,      19,      1–27.

https://doi.org/10.1080/13683500.2015.1083538

Collins, J. A., & Fauser, B. C. J. M. (2005). Balancing the Strengths of Systematic and Narrative    Reviews.    Human    Reproduction    Update.    England.

https://doi.org/10.1093/humupd/dmh058

Dahles, H. (2018). The Sustainability of Small Business Resilience. The Local Tourism Industry of Yogyakarta, Indonesia a Decade After the Crisis. (p. 150–163.).

Faulkner, B. (2001). Towards a Framework for Tourism Disaster Management. Tourism Management,  22(2),  135–147.  https://doi.org/https://doi.org/10.1016/S0261-

5177(00)00048-0

Folke, C., Hahn, T., Olsson, P., & Norberg, J. (2005). Adaptive Governance of Social-Ecological Systems. Annual Review of Environment and Resources, 30(May 2014), 441–473. https://doi.org/10.1146/annurev.energy.30.050504.144511

Ida, A. D. A., Ida, P. G. B., & Komang, T. A. (2020). Ekspektasi, Realisasi Dan Negosiasi Tourism Reborn Di Masa Pandemi Dalam Pariwisata Bali. Cultour Jurnal Ilmiah Pariwisata Budaya Hindu, 53(9), 1689–1699.

Ida Bagus Gede Paramita, I. G. G. P. A. P. (2020). New Normal Bagi Pariwisata Bali Di Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Ilmiah Pariwisata Agama Dan Budaya, EISSN 2614, ISSN 2527-9734. https://doi.org/10.36275/mws

Irawanto, D. W., Novianti, K. R., & Satwika, I. P. (2022). Post-Pandemic Tourism Resiliency: Lesson from Bali Leadership Capacities. Contemporary Research on Management         and         Business,         (August),         60–63.

https://doi.org/10.1201/9781003295952-16

Kainthola, S., Robledo, M., & Chowdhary, N. R. (2022). Spiritual Inclinations in PostPandemic       Travel.       Turyzm/Tourism,       32(1),       219–224.

https://doi.org/10.18778/0867-5856.32.1.10

Koos, Stefan. (2010). Legal Framework for the Post Pandemic Tourism in Bali. Journal Equity     of     Law     and     Governance.     1(2),     148–157.

http://dx.doi.org/10.55637/elg.1.2.3943.148-157

Kusuma, B., Bagus Kusuma Wijaya, & Wayan Eny Mariani. (2021). Dampak Pandemi Covid-19 Pada Sektor Perhotelan Di Bali. Warmadewa Management and Business Journal (WMBJ), 3(1), 49–59. https://doi.org/10.22225/wmbj.3.1.2021.49-59

Leamy, M., Bird, V., Le Boutillier, C., Williams, J., & Slade, M. (2011). Conceptual framework for Personal Recovery in Mental Health: Systematic Review and

Narrative Synthesis. The British Journal of Psychiatry: The Journal of Mental Science, 199(6), 445–452. https://doi.org/10.1192/bjp.bp.110.083733

Lu-qi, Z. X. H. E. Z. X. U. E. (2011). ® Based on the Crisis Life-cycle.

Malikah, A. (2021). Comparison of Financial Performance Before and During COVID-19: Case Study of Hospitality Business, Indonesia. Golden Ratio of Finance Management, 1(1), 51–60. https://doi.org/10.52970/grfm.v1i1.204

Maunder, R. (2009). Was SARS a Mental Health Catastrophe? Gen Hosp Psychiatry, 31, 316–317. https://doi.org/10.1016/j.genhosppsych.2009.04.004

Miao, L., Im, J., So, K. K. F., & Cao, Y. (2022). Post-Pandemic and Post-Traumatic Tourism Behavior. Annals of Tourism Research,   95,   103410.

https://doi.org/10.1016/j.annals.2022.103410

Razak, D. (2022). Understanding Tourists’ Perceptions of Bali During Post-Pandemic Era. Jurnal Sosial Humaniora Dan    Pendidikan,    1,    199–202.

https://doi.org/10.55606/inovasi.v1i3.660

Restikadewi, A., Ramadhan, E. S., & Islam, A. A. A. (2021). The Impact of COVID-19 on the Tourism Sector in Indonesia. Sebelas Maret Business Review, 3(1), 389–401.

Ritchie, B. (2008). Tourism Disaster Planning and Management: From Response and Recovery to Reduction and Readiness. Current Issues in Tourism, 11(4), 315–348. https://doi.org/10.1080/13683500802140372

Rockett, J. P. (1999). Definitions Are Not What They Seem. Risk Management, 1(3), 37– 47. https://doi.org/10.1057/palgrave.rm.8240003

Ruhanen, L., Weiler, B., Moyle, B. D., & McLennan, C. J. (2015). Trends and patterns in Sustainable Tourism Research: a 25-year bibliometric analysis. Journal of Sustainable                Tourism,                23(4),                517–535.

https://doi.org/10.1080/09669582.2014.978790

Shahabi Sorman Abadi, R., Ghaderi, Z., Hall, C. M., Soltaninasab, M., & Hossein Qezelbash, A. (2021). COVID-19 and the Travel Behavior of Xenophobic Tourists. Journal of Policy Research in Tourism, Leisure and Events, 0(0), 1–23. https://doi.org/10.1080/19407963.2021.1943415

Sitorus, A. A. (2021). Disinkronisasi Kebijakan Pemerintah Indonesia Dalam Penanganan      Covid-19.      Jurnal      Renaissance,      6(1),      721.

https://doi.org/10.53878/jr.v6i1.137

Subawa, N. S., Widhiasthini, N. W., Permatasari, N. P. I., & Sri Wisudawati, N. N. (2022). MSMEs Envisaged as the Economy Spearhead for Bali in the Covid-19 Pandemic Situation. Cogent Economics and  Finance,   10(1),   0–13.

https://doi.org/10.1080/23322039.2022.2096200

Suciati, D. A. P., & Suadnya, I. M. (2021). Tourism Recovery Strategy After Handling the Covid-19 Pandemic in Bali Province. Maha Widya Duta, 5(1), 88–94.

Suparta, I. W. (2021). Recovery Pariwisata Bali Pasca Pandemi Covid 19 (Studi Kasus: Penegakan Protokol Kesehatan Di Kabupaten Buleleng). Jurnal Akademisi Dan Praktisi Pariwisata, 1(1), 59–75.

Svavarsdottir, E. K., & Jonsdottir, H. (2011). New Book Announcement. Journal of Family Nursing, 17(3), 403–404. https://doi.org/10.1177/1074840711414801

Tibay, V., Miller, J., Chang-Richards, A., Egbelakin, T., Seville, E., & Wilkinson, S. (2018). Business Resilience: A study of Auckland Hospitality Sector. Procedia Engineering, 212(2017), 1217–1224. https://doi.org/10.1016/j.proeng.2018.01.157

Wacika, P. L. (2021). Strategi Komunikasi Krisis Dinas Pariwisata Provinsi Bali dalam Menghadapi Virus Korona. JCommsci - Journal Of Media and Communication Science, 4(1), 32–43. https://doi.org/10.29303/jcommsci.v4i1.99

Walker, B., Holling, C. S., Carpenter, S. R., & Kinzig, A. (2004). Resilience, Adaptability and Transformability in Social-Ecological Systems. Ecology and Society, 9(2). https://doi.org/10.5751/ES-00650-090205

Winanti, P. S., & Wawan Mas’udi. (2020). Problem Infodemic Dalam Merespon Pandemi Covid-19. Policy   Brief,   2201,   1–4.   Retrieved from

https://fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1056/2020/04/Policy-Brief-Problem-Infodemic-dalam-Merespon-Pandemi-COVID-19.pdf

Winowatan, W. J., Suarta, I. P., & Sukarana, M. (2020). TULIP: Tulisan Ilmiah Pariwisata. Tulisan Ilmiah Pariwisata, 3(2), 42–48.

Xie, C., Zhang, J., Huang, Q., Chen, Y., & Morrison, A. M. (2022). An Analysis of UserGenerated Crisis Frames: Online Public Responses to a Tourism Crisis. Tourism Management Perspectives, 41(January). https://doi.org/10.1016/j.tmp.2021.100931

Yogi Yasa Wedha, Holy One Singadimedja, Edy Nurcahyo, Ahmad Rosidi, & Sara Ida Magdalena Awi. (2020). The Handling of the Pandemic Covid 19 in the Consciousness of the Legal Community in Bali. International Journal of Science, Technology & Management, 1(2), 55–61. https://doi.org/10.46729/ijstm.v1i2.12

Zenker, S., & Kock, F. (2020). The Coronavirus Pandemic – A Critical Discussion of a Tourism Research Agenda. Tourism  Management,  81(June), 104164.

https://doi.org/10.1016/j.tourman.2020.104164

Profil Penulis

Rindo Bagus Sanjaya adalah pengajar di Universitas Kristen Satya Wacana pada

Program Studi Destinasi Pariwisata.

134     JUMPA Volume 10, Nomor 1, Juli 2023