Manajemen Energi di Rumah Sakit …

I Putu Gde Weda S etyawan, dkk

MANAJEMEN ENERGI DI RUMAH SAKIT SURYA HUSADHA DENPASAR

I Putu Gde Weda Setyawan, Rukmi Sari Hartati, INyoman Satya Kumara Program Magister Teknik Elektro, Fakultas Teknik Universitas Udayana Jl. PB Sudirman Denpasar, Bali, Telp/Fax : 0361 239599

Email : [email protected]

Abstrak

Rumah Sakit Surya Husadha Denpasar merupakan rumah sakit berstandar internasional dengan tingkat hunian kamar pada tahun 2011 cukup tinggi sekitar 75%.Yang berdampak pada tingkat pemakaian energi listrik. Tingkat pemakaian energi listrikrumah sakit tiap bulan rata-rata sebesar 123,071 kWh, diperuntukan pengoperasian AC sebanyak 43%, peralatan medis 29%, lampu 13%, elektronik 11% dan lainnya 4%. Dalam hal ini konservasi energi yang dilakukan difokuskan pada AC dan lampu karena hal tersebut memungkinkan untuk dilakukan pengontrolan pemakaian, penggantian peralatan dan tidak termasuk kategori peralatan vital seperti halnya peralatan medis. Dari tahapan audit energi diperoleh data bahwa nilai IKE adalah 245,40 kWh/m2/tahun. Sebanyak 37,1% kapasitas AC dan 84,54% kuat pencahayaan telah sesuai dengan pembebanan ruangan dan pedoman pencahayaan rumah sakit. Untuk perancangan manajemen energi, pimpinan rumah sakit belum memiliki acuan penyusunan sehingga perlu dilakukan pemetaan terhadap kebijakan dan sistem, organisasi, motivasi, sistem informasi, promosi dan investasi. Rancangan manajemen energi yang disusun mengacu pada matriks manajemen energi. Hasil matriks manajemen energi menunjukan bahwa manajemen energi rumah sakit belum terkelola dengan baik namun dalam hal penerapan teknologi dan sistem perawatan lampu dan AC dapat dijadikan best practice.

Kata Kunci: Manajemen energi, matriks manajemen energi, konservasi energi, rumah sakit.

  • 1.    PENDAHULUAN

Kebutuhan daya listrik di Bali saat ini dipasok oleh sistem interkoneksi Jawa-Madura-Bali melalui jaringan transmisi kabel laut, selain itu dipasok pula oleh pembangkit yang ada di Provinsi Bali sendiri dengan total daya mampu adalah 647,60 MW[1]. Berdasarkan laporan PLN tahun 2011, kebutuhan listrikBali adalah 585 MW dengan beban puncak terjadi pada malam hari yaitu sebesar 600,3 MW. Dengan kondisi tersebut apabila terjadi gangguan ataupun salah satu pembangkit memasuki masa perawatan maka dipastikan kondisi pasokan energi akan terganggu, hal inilah yang menyebabkan Bali saat ini telah dan sedang mengalami krisis energi listrik.

Salah satu upaya untuk mengurangi permasalahan tersebut adalah upaya penerapan pengelolaan energi atau manajemen energi. Berdasarkan laporan Departemen Energi Sumber Daya Mineral, diidentifikasikan bahwa potensi melakukan konservasi energi di semua sektor akan mempunyai peluang penghematan yang sangat besar yaitu antara 10% sampai dengan 30%. Penghematan ini dapat direalisasikan dengan cara yang mudah dengan sedikit atau tanpa biaya[2].

Berdasarkan data yang diperoleh dari manajemen Rumah Sakit Surya Husadha diinformasikan bahwa dalam operasional kegiatannya, sumber energi listriknya dipasokan dari dua trafo PLN dengan daya 197 kVA. Secara fisik bangunan gedung rumah sakit terdiri dari empat lantai, dengan posisi gedung menghadap arah

barat.Berdasarkan pengamatan pada tiap ruangan pada sisi luar bangunan gedung mulai dari lantai dua ke atas, terdapat jendela kaca pada sisi luar dindingnya. Namun untuk menerangi ruangan terutama pada siang hari masih tetap menggunakan lampu, padahal jendela kaca dapat difungsikan untuk memanfaatkan penerangan yang bersumber dari pencahayaan alami.Kemudian pengamatan pada sistem pengkondisian udara, dalam tiap ruangan rumah sakit telah memiliki sistem pendingin ruangan berupa AC Split. Namun dalam pengoperasiannya belum memenuhi ketentuan pemakaian ruangan, seperti terlihat pada beberapa ruangan yang pintunya dibiarkan terbuka sedangkan AC dioperasikan dalam keadaan hidup dengan putaran kipas AC yang besar dan distel pada suhu 18oC, sehingga mengakibatkan terjadinya pemborosan energi listriknya. Dari sistem pengelolaan energi, diinformasikan bahwa selama ini rumah sakit tidak memiliki sistem monitoring penggunaan energi listrik, baik berupa pencatatan maupun pengontrolan pemakaian energi listrik sehingga manajemen tidak mengetahui bagian mana dalam rumah sakit sebagai pengguna energi listrik terbesar.

  • 2.    TINJAUAN PUSTAKA

    • 2.1    Manajemen Energi

Manajemen Energi adalah suatu aktivitas manajemen energi yang berdisiplin, terorganisasi dan terstruktur menuju penggunaan energi yang lebih efisien, tanpa mengurangi tingkat produksi, kualitas serta ketentuan keselamatan dan pencemaran lingkungan[3].

Manajemen energi mengacu pada Demand Side Management. Pengertian DSM adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan yang dilakukan oleh pengusaha untuk mempengaruhi pola konsumsi pelanggan tenaga listrik yang menyangkut dan waktu penggunaannya tanpa merugikan pengusaha atau konsumen. Secara umum DSM dapat digolongkan menjadi tiga bagian yaitu:

  • 1.    Energy Reduction Programmes. Kegiatan ini meliputi audit energi, survei, pemeliharaan preventif, pencatatan alat ukur dan pembayaran, pembelian energi, peningkatan kesadaran melalui pelatihan dan pendidikan, pengelolaan investasi modal dan mempekerjakan konsultan energi.

  • 2.    Load Management Programmes. Kegiatan ini diorientasikan pada pengelolaan beban, dimana meliputi load levelling (shapping), load control, tariffs incentive or penalty.

  • 3.    Load Growth and Conservation Programmes. Kegiatan ini diarahkan pada penambahan beban yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas pelanggan dengan memperhatikan aspek lingkungan (konservasi energi) dan di lain sisi mengalami peningkatan penjualan energi.

Adapun tujuan akhir dari penerapan DSM adalah:

  • 1.    Cost Reduction. Berbagai usaha dalam konteks perencanaan sumber daya terpadu (integrated resource planning) dengan tujuan mengurangi total biaya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi.

  • 2.    Environmental and Social Improvement. Tujuan DSM adalah efisiensi energi, dengan efisiensi energi maka akan memberikan dampak pengurangan jumlah konsumsi energi, berkurangnya jumlah konsumsi energi akan mengurangi produksi energi, berkurangnya produksi energi akan mengurangi penggunaan sumber daya untuk keperluan energi yang akan membawa dampak mengurangi emisi gas buang. Sedangkan nilai tambah bagi perusahaan berupa pencitraan positif (public imaging).

  • 3.    Reliability and Network Issues. Dengan pengurangan beban ke dalam jaringan listrik akan menyebabkan kehandalan sistem dalam jangka pendek dan mencegah kebutuhan network augmentation dalam jangka panjang.

  • 2.2    Audit Energi

Audit energi merupakan teknik yang dipakai untuk menghitung besarnya konsumsi energi pada bangunan gedung dan mengenali cara-cara untuk penghematannya. Tujuan dari audit energi adalah mencari nilai Peluang Hemat Energi (PHE). Hasil dari proses audit energi akan diketahui potret atau profil penggunaan energi yang memberikan gambaran menyeluruh tentang pemanfaatan energi pada bangunan gedung. Sehingga dapat di susun suatu rancangan strategis untuk mengendalikan

penggunaan energi dalam bentuk laporan audit energi[4].

  • 2.3    Bangunan Hemat Energi

Pada umumnya gedung di daerah tropis (Indonesia) intensitas penggunaan energinya terbagi menjadi:

  • 1.    Sistem tata udara (45-70%),

  • 2.    Sistem pencahayaan (10-20%),

  • 3.    Lift dan eskalator (2-7%), dan

  • 4.    Peralatan elektronik (2-10%).

Kriteria penggunaan energi (IKE) pada bangunan gedung untuk fungsi perkantoran menurut ASEAN Data Base Officers 1990 (PPE ITB, 2005) terbagi menjadi beberapa bagian yaitu[5]:

  • 1.    Energy Intensive

Bangunan gedung ini termasuk kelompok yang memiliki tingkat IKE elektrik sebesar 340 kWh/m2/tahun±5%. Indikasi ini menunjukan konsumsi energi elektrik pada bangunan gedung tersebut adalah boros.

  • 2.    Base Case

IKE elektriknya berada pada angka 240 kWh/m2/tahun±5%, hal ini menunjukan bahwa bangunan gedung tersebut tidak terkelola dengan baik tetapi tidak dikategorikan boros.

  • 3.    Energy Standard

IKE elektriknya sebesar 180 kWh/m2/tahun±5%, nilai ini menunjukan bahwa bangunan gedung tersebut telah dapat mengelola energi elektriknya dengan baik dan sudah melaksanakan program hemat energi.

  • 4.    Energy Efficiency.

IKE elektriknya adalah 145 kWh/m2/tahun±5% ini menunjukan bahwa bangunan gedung ini telah mengelola energi elektrinya secara optimal sehingga menjadi hemat dan efisien.

  • 2. 4 Sumber Pencahayaan

Berdasarkan sumbernya sistem pencahayaan dapat dibagi menjadi dua sumber asalnya yaitu[6]:

  • 1.    Pencahayaan alami.

Pencahayaan yang sumbernya berasal dari alam (sinar matahari) yang digunakan untuk menerangi ruangan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pencahayaan alami yang dikatakan baik apabila memenuhi syarat yaitu:

  • a.    Pada siang hari antara pukul 08.00 sampai 16.00 waktu setempat, terdapat cukup banyak cahaya yang masuk ke dalam ruangan.

  • b.    Distribusi cahaya di dalam ruangan cukup merata dan tidak menimbulkan kontras yang mengganggu.

  • 2.    Pencahayaan buatan

Pencahayaan yang mana sumbernya berasal dari teknologi penciptaan manusia yang dikenal dengan nama lampu.

  • 2.5    Rekomendasi Pencahayaan Buatan

Setiap pekerjaan memerlukan tingkat pencahayaan pada permukaannya. Tingkat pencahayaan suatu ruangan pada umumnya didefenisikan sebagai tingkat pencahayaan rata-rata pada bidang kerja. Dalam perancangan pencahayaan buatan harus memenuhi persayaratan sbb:

  • 1.    Sistem pencahayaan buatan yang dirancang, dalam hal ini pengkajian awal dibuat terhadap jenis pencahayaan yang akan diciptakan. Sistem pencahayaan yang diciptakan biasanya difungsikan dengan dasar estetika dan faktor ekonomi.

  • 2.    Tingkat pencahayaan minimal sesuai rekomen dasi, dalam perkembangannya sistem pencahayaan dalam suatu ruangan disesuaikan dengan fungsi ruangan dan jenis kegiatan yang dilakukan. Sesuai dengan pedoman pencahayaan rumah sakit, terdapat beberapa ketentuan dalam kategori pencahayaan, yang disesuaikan dengan bidang kerjanya. Kategori pencahayaan diberi nilai dengan notasi huruf mulai dari A hingga F dan masing-masing huruf mempunyai nilai intensitas penerangan tiga macam yaitu nilai minimal, yang diharapkan dan maksimal. Berikut kategori penerangan yang disarankan yaitu[7]:

Tabel 1 Kategori Penerangan Rumah Sakit

Katagori

LUX

Min

Diharapkan

Max

A

20

30

50

B

50

75

100

C

100

150

200

D

200

300

500

E

500

700

1000

F

1000

1500

2000

  • 3.    Daya listrik untuk pencahayaan yang sesuai dengan konservasi energi pada bangunan gedung, maka pemanfaatan energi secara keseluruhan mengacu pada efisiensi energi termasuk untuk pencahayaan. Berikut daya listrik maksimum yang direkomendasikan untuk sistem penerangan (khusus rumah sakit) yaitu[8]:

Tabel 2 Daya Listrik Maksimum Pencahayaan

Lokasi

Daya Pencahayaan Maksimum ( W/m2) termasuk rugi-rugi ballast

Ruang kantor

15

Rumah sakit

15

Ruang pasien

15

Gudang

5

Lobi

10

Tangga

10

Ruang parkir

5

Ruang perkumpulan

20

  • 2.6    Faktor Yang Mempengaruhi Pengkondisian

    Ruangan

Faktor pembebanan pendingin ruangan biasanya disebut dengan istilah selubung bangunan. Tujuan untuk mengetahui seberapa besar pembebanan yang ditimbulkan pada bangunan gedung tersebut adalah memberikan suatu acuan dalam pemilihan kapasitas AC yang tepat yang dapat dipasang pada suatu ruangan. Berikut beberapa komponen bangunan gedung yang mempengaruhi pembebanan pada AC, yaitu[9]:

  • 1.    Bahan bangunan, pemilihan bahan bangunan akan mempengaruhi nilai transmitansi termal bagi beban pendinginan.

  • 2.    Beban listrik, beban yang ditimbulkan dari penggunaan listrik untuk pencahayaan memberi sumbangan beban pendinginan sebesar 15%-20%.

  • 3.    Beban penghuni, tingkat hunian merupakan komponen yang memberikan pengaruh pada kondisi pembebanan pada pendingin ruangan, nilainya berkisar antara 10%-15%.

  • 4.    Beban udara luar sebagai ventilasi dan infiltrasi, udara luar yang dimasukan sebagai ventilasi akan menimbulkan sensibel maupun laten pada beban pendinginan yang cukup tinggi, yang nilainya mencapai 12%-18%.

  • 5.    Beban selubung bangunan, beban pendingin yang berasal dari luar melalui selubung bangunan akan memberikan pengaruh pada waktu beban puncak.

  • 6.    Beban lainnya dan beban sistem, disamping beban yang menimbulkan beban positip bagi beban pendinginan, terdapat pula peralatan yang memberikan nilai negatif dalam beban pendinginan seperti refrigrated cabinet dll.

  • 2.7    Sistem Manajemen Energi

Pemanfaatan energi listrik yang tanpa melalui pengelolaan yang terarah dan terencana akan membawa dampak pemborosan, hal yang paling nyata dalam pemborosan adalah peningkatan biaya pengeluaran. Pengaruh ini akan membawa dampak internal perusahaan yaitu menurunnya profit dan menurunnya daya saing usaha[10].

Dalam menyusun suatu rekomendasi manajemen energi digunakan suatu parameter ukur. Parameter tersebut adalah matrik manajemen energi, matrik tersebut akan memuat kriteria pengukuran kinerja dari model penerapan manajemen energi. Matriks manajemen energi memiliki 6 bagian utama yang dapat memetakan kondisi nyata dilapangan, kemudian dari peta kondisi nyata dapat ditarik suatu rencana aksi untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Aksi inilah yang dijadikan rekomendasi dalam perumusan manajemen energi. Berikut adalah bagian utama dalam matrik manajemen energi yaitu:

  • 1.    Kebijakan dan Sistem

Digunakan untuk mengukur bagaimana bentuk kebijakan atau keputusan pimpinan puncak dalam

melakukan perencanaan dan pengelolaan penggunaan energinya.

  • 2.    Organisasi

Digunakan untuk mengukur bagaimana bentuk kebijakan atau keputusan manajemen puncak dalam pendelegasian tugas dan tanggung jawab dalam upaya konservasi energi dilingkungan kerjanya.

  • 3.    Motivasi

Digunakan untuk mengukur bagaimana bentuk komunikasi yang ada antara penyedia energi dan pengguna energi berdasarkan bagan struktur organisasi perusahaan.

  • 4.    Sistem Informasi

Digunakan untuk mengukur bagaimana bentuk penanganan permasalahan energi yang terkait dengan sistem informasi dan data penggunaan energi, telah terintegrasi atau masih terpisah dalam bagian/divisi masing-masing sesuai dengan organisasi perusahaan.

  • 5.    Promosi

Digunakan untuk mengukur bagaimana bentuk usaha yang diterapkan manajemen puncak dalam meningkatkan maupun melaksanakan program efisiensi energi yang berkelanjutan.

  • 6.    Investasi

Digunakan untuk mengukur bagaimana bentuk kebijakan yang diambil oleh manajemen puncak dalam pengingkatan program efisiensi energi yang berkaitan dengan biaya.

  • 3    METODE

Dalam melakukan audit energi berpedoman pada SNI 03-6196-2000. Sedangkan dalam perancangan manajemen energi dilakukan langkah-langkah seperti terlihat pada diagram alur berikut:

Gambar 1. Diagram Alur Manajemen Energi

  • 4.    HASIL DAN PEMBAHASAN

Secara fisik bangunan gedung rumah sakit terdiri dari empat lantai dengan posisi menghadap

arah barat. Dalam pembangunanya dilakukan melalui tiga tahap pengembangan, sehingga dikenal dengan istilah gedung plan A, B dan C.

  • 4.1    Karakteristik Pemakaian Energi

Untuk tingkat hunian kamar rawat inap, Rumah Sakit Umum Surya Husadha Denpasar memiliki tingkat hunian kamar pasien rata-rata 75% selama tahun 2011. Tingginya tingkat hunian kamar akan mempengaruhi tingkat konsumsi listrik. Berikut tingkat konsumsi pemakaian energi listrik tiap bulan:

Gambar 2. Grafik Tingkat Konsumsi Energi Listrik

Untuk mengetahui persentase pemakaian energi listrik dapat dilakukan melalui perhitungan besarnya daya peralatan, lamanya waktu pemakaian serta pengaruh faktor pengalinya dan hasil akhir perhitungan yang diperoleh kemudian diakumulasi berdasarkan pengelompokan berdasarkan jenis peralatan sehingga diperoleh komposisi penggunaan energi untuk tiap peralatan. Dari hasil perhitungan diperoleh hasil konsumsi energi listrik diperuntukan pengoperasian AC, peralatan medis, penerangan, elektronik dan peralatan lainnya. Berikut hasil pemetaan pendistribusian energi listrik:

Gambar 3. Grafik Persentase Pemakaian Energi

IKE Listrik merupakan istilah yang digunakan dalam menyatakan besaran pemakaian energi dalam bangunan gedung. Jumlah energi yang dipakai pada tahun 2011 didasarkan pada akumulasi pembayaran tagihan rekening listrik yaitu 1.476.856 kWh/tahun sedangkan luas kotor bangunan gedung sesuai dengan adalah 6019 m2, maka diperoleh hasil IKE sebesar:

kWh toul

IK* = ------------

Luas Barigunaa

1.4/6.856

IKh = - —— = 245.4U k∖Vh∕m2∕tahutj vvx 7

Bila nilai IKE tersebut dikonversikan pada nilai standar menurut Asean Data Base Officers 1990, maka konsumsi energi listrik gedung rumah sakit termasuk dalam kategori Base Case, dimana rentang tingkat IKE elektriknya berkisar antara 240-340 kWh/m2/tahun. Merujuk pada redaksi Asean Data Base Officers, kondisiIKE tersebut mengindikasikan bahwa pengelolaan energi pada bangunan gedung tersebut tidak terkelola dengan baik tetapi tidak dikategorikan boros.

  • 4.2    Sistem Pencahayaan Rumah Sakit

Berdasarkan pengamatan pada posisi gedung dan matahari, diperoleh keadaan bahwa posisi matahari lebih condong ke lintang utara, sedangkan posisi bangunan gedung rumah sakit, memanjang dari timur ke barat dengan pintu masuk utama dari arah barat. Sehingga posisi gedung bagian utara lebih banyak memperoleh sinar matahari dibandingkan bagian selatan. Walaupun demikian, pada sisi bangunan utara (gedung A dan C) tidak semua lantai dapat menerima cahaya alami. Untuk keseluruhan lantai I bangunan gedung tidak memiliki jendela yang terkena sinar matahari, sedangkan untuk lantai II gedung A dan B memiliki beberapa jendela kaca dengan ukuran kecil memanjang dengan luas satu meter persegi tiap jendela, namun gedung C memiliki luas jendela kaca yang bervariasi. Dan tiap jendela kaca ditutupi tirai kain bening dan dilapisi korden berwarna krem. Ditinjau dari segi letak, posisi gedung C terletak dibarat sehingga memiliki potensi pemanfaatan cahaya alami lebih besar.

Dari keseluruhan hasil rekapitulasi pengukuran diperoleh data bahwa tingkat pencahayaan ruangan rumah sakit secara umum telah memenuhi kriteria standar pencahayaan minimum. Dimana sekitar 84,54% ruangan telah memenuhi standar pencahayaan minimum yang direkomendasikan pedoman pencahayaan rumah sakit, dari data tidak memenuhi syarat yaitu 15,46% dapat dijabarkan bahwa 33%-nya berada di lantai I, 47% berada dilantai II, 15% berada dilantai III dan 5% berada dilantai IV. Berikut hasil pengukuran pencahayaan dari beberapa ruangan:

Tabel 3. Perhitungan dan Pengukuran Intensitas Kuat Pencahayaan

  • 4.3    Sistem Pengkondisian Udara Rumah Sakit

Faktor selubung bangunan memberikan pengaruh besar pada pengkondisian udara. Sehingga perlu dilakukan perhitungan agar diperoleh kapasitas AC yang sesuai dengan pembebanan ruangan.Pada saat penelitian dilakukan pencatatan suhu luar antara 21oC-30oC dengan kelembaban 60%-90%. Dilihat dari sisi letak, pembebanan maksimum terdapat pada ruangan rawat inap kelas I di gedung C karena ruangan ini terletak pada lantai IV dengan posisi arah barat, sehingga dari panas matahari diserap melalui dinding dan atapnya. Berikut perhitungan beban penambahan kalor dari radiasi matahari melalui kaca yaitu:

Q Cl) = [A XI-X L X SClutara

Sehingga diperoleh hasil sebagai berikut:

Q(l) = [73.93x0.50x65 Λθ,25]uαra

Q Cl) = 601,05 BtU∕ħ

Untuk beban pendinginan akibat adanya panas yang mengalir dari dinding luar ruangan, dapat ditentukan dengan persamaan:

C - -.√ jλj 1?;.:;;._-.. jsj17j5f,2Ξ- J.i.1.71 :?r- ..■ -.L7? _u Sehingga diperoleh hasil sebagai berikut:

φ√'=[MιLa2ιl⅛r+[lUιH^

+ilLj¾tHiffij5te

Q(2) = 1516,1 J Bm, n

Untuk beban pendinginan akibat adanya panas yang mengalir dari luar ruangan melalui atap ruangan, dapat ditentukan dengan persamaan:

Q(3) = IUxAx CLTDlatap

sehingga diperoleh hasil:

Q(3) = [0.34xl∕ 2,16x16]arap

Q(3) = 933,75 BCu/h

Untuk beban pendinginan akibat adanya panas yang dikeluarkan melalui lantai, dapat ditentukan dengan persamaan:

Q (4) = [U x A x Ati I anta!

Sehingga diperoleh hasil:

∆t = 86ςl,         .

Q<4j = [0.41xl∕2,16x5][antai

Q(4) = 385,75 Bru, h

Untuk beban pendinginan akibat adanya panas yang dikeluarkan melalui infiltrasi dan ventilasi, dapat ditentukan dengan persamaan:

Q(S) — Qsensibel 4^ Qlaren

Sehingga diperoleh hasil sebagai berikut:

Q(sensibelJ = ic⅛χ LUB x∆tl

172.16x9,78x6

cftn = 169.49

∆t = 86° b - Sl0P

2: = 5*F

Q(sensibelJ = ’169.49 x LOBxS]

QisensiJxlJ = 988,45

∆ħ = 709 ,

Q LarenJ = [cιmxθ.67x∆h]

Q iaren 1 = [169.49 x 0,6/ x 2]

QilitenJ = 227,11

Q(S) = 988,45 + 227,11

Q(5) = 1215,57 Eru n

Untuk beban pendinginan akibat adanya panas yang dikeluarkan melalui aktivitas manusia, dapat ditentukan dengan persamaan:

Q⅛) = Qa≡n≡⅛l + Qlaren

Sehingga diperoleh hasil sebagai berikut:

QtsensibeiJ =IixQaicpirilXUlB

QjsensibeiJ = 2 x 225 x 0,18

QtsensibeiJ =BL

Q-ItenJ =HxQaieintaa

QtsensibeiJ = 2x105

QCsensibeiJ =210 Bτuħ∕h

Q(6) = 81 + 210

Q(6) = 291 Bru/h

Untuk beban pendinginan akibat adanya panas yang dikeluarkan melalui lampu penerangan, dapat ditentukan dengan persamaan:

QQ) = Qienniel ÷ Qlaten

Sehingga diperoleh hasil sebagai berikut:

QtsensibeiJ = W xL xFa xLLb

Fu = b⅛tar UtIity (0.91

F3 =TiKtar Billsst (1.21

QCsensibeiJ = 40.5 xU.9χ 1.2 x0.78

QtsenslbeO = 34.12 Brui,'h

QQatenJ = W xL_b

QQatenJ = 40.5 x 0. 8

QQatenJ = 32,40 BTufTi

Q(J) = 34.12 + 32,40

Q(7) = 66.52 Bru /h

Untuk beban pendinginan akibat adanya panas yang dikeluarkan melalui peralatan listrik lainnya, dapat ditentukan dengan persamaan:

Q (8) = Qien3ftel + Qjlten

sehingga diperoleh hasil sebagai berikut:

QtsenslbeO = W x 0,32 x LLb

QtsensibeO = 882 x 0,32x0.40

QtsensibeO = 112.90

QQatenJ = W xθ.32

QQatenJ = 882 x C.32

QQatenJ =282,24

Q(S) = 112.90 + 282,24

Q(B) = 395.14 Btui n

Besarnya beban pendinginan yang disebabkan oleh timbulnya panas yang masuk ke ruangan dan panas yang ditimbulkan dari peralatan dapat ditentukan dengan mencari nilai rata-rata beban pendinginan per jam dengan mempergunakan persamaan:

Qttatal = (Ql - QJ - Qd + Q4 - Q5 - Qt - Q . - Qb!

Qttotalj =5404,90 Bru’n

Btu

1 —= 0.2931 WmakaQQotaIJ = 1584.18 Vvstt

Banyaknya unit AC yang harus dipasang pada setiap ruangan yang dikondisikan ruangan ber AC, dapat dihitung dengan mengunakan persamaan:

_ QCtotalJ

Q(E)

Q (EJ = dimana DayalBK = C

QCIJ = 0. z 46x3

QtEJ = Zi, sehingga kapasitas AC yang diperlukan adalah

1584.18

2238


0.7 < 0.75 PK


Kondisi eksis menujukan bahwa dalam ruangan tersebut menggunakan AC ukuran 1 PK agar pemasangan AC optimal dengan kebutuhan maka disarankan menggunakan AC yang memiliki kapasitas 0,75 PK. Hasil perhitungan tentang pengaruh pembebanan selubung bangunan terhadap

kapasitas AC adalah sebanyak 37,1% ruangan yang dikondisikan telah memenuhi syarat, sedangkan sebanyak 62,9% ruangan belum memenuhi syarat, dari jumlah yang tidak memenuhi syarat diperoleh hasil bahwa sebanyak 63,8% diantaranya mengalami kelebihan kapasitas terpasang dan 36,2% diantaranya masih berada dibawah kapasitas.

  • 4.4    Peluang Hemat Energi

Berikut bentuk-bentuk PHE dalam pencahayaan yang dapat diuraikan berdasarkan prilaku pemakai, sistem perawatan dan penggunaan teknologi yaitu: 1. Untuk perubahan perilaku perlu dibuatkan SOP tentang pemakaian lampu pada tiap ruangan, yang mana selama ini tidak ada prosedur pemakaian peralatan pada ruangan yang baku dan untuk pengontrolan pemakaian lampu sepenuhnya ditanggung jawabkan pada teknisi untuk mematikan lampu.

  • 2.    Pemanfaatan cahaya alami pada ruangan yang memiliki akses tersebut terutama pada pagi hingga siang hari (mulai pukul 08.00-13.00) sehingga pemakaian energi pada cahaya buatan menjadi berkurang.

  • 3.    Untuk ruangan yang memiliki tingkat pencahayaan rendah agar meningkatkan intensitas pencahayaan agar memenuhi kriteria tingkat minimum. Walaupun hal ini akan berdampak pada meningkatnya konsumsi energi listrik namun ada hal penting yang tidak dapat diabaikan adalah terpenuhinya tingkat kenyamanan dan keamanan pemakai gedung.

  • 4.    Penggunaan teknologi yang mendukung program penghematan energi.

Berdasarkan observasi dilapangan menunjukan bahwa PHE dari segi teknologi AC pada rumah sakit dapat dideskripsikan telah memenuhi kriteria efisiensi. Demikian pula dalam hal perawatan, diketahui perawatan AC dalam rumah sakit sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak ketiga dengan sistem kontrak kerja, sehingga dari kondisi AC seluruhnya dalam keadaan baik. Terkait dengan perilaku pemakaian AC berdasarkan pengamatan di lapangan diperoleh keadaan bahwa penggunaan AC masih belum memenuhi tingkat standar pengoperasian ekonomis yang disarankan sesuai dengan buku panduan pemakaian AC, sehingga dari hal tersebut perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Bentuk PHE dari sisi prilaku perlu dibuatkan SOP

pada tiap ruangan terkait dengan pemakaian AC, yang memuat kriteria dari pengoperasian dan memuat anjuran penggunaan AC dari segi ekonomis yang diperoleh dari buku panduan penggunaan AC.

  • 2.    Bentuk PHE dari segi teknologi pada AC, yang masih dapat dikaji adalah penggantian jenis R-22 ke jenis Musicool (MC-22) dimana berdasarkan tipe Musicool memiliki nilai refrigerant effect yang lebih tinggi, dengan nilai yang tinggi

menunjukan baiknya kinerja gas tersebut dalam pengurangan konsumsi listrik. Disamping itu menurut laporan Pertamina, penggunaan refrigerant jenis Musicool mampu menghemat pemakaian listrik dari 14%-20%.

  • 4.5    Perancangan Manajemen Energi Rumah Sakit

Dari hasil wawancara dengan pihak manajemen diperoleh informasi bahwa pihak manajemen belum memiliki acuan atau tolak ukur kinerja dalam melakukan program konservasi energi. Maka perancangan program manajemen energi menjadi hal yang penting bagi manajemen agar memiliki pedoman dalam melakukan pengukuran kinerja dan sasaran yang akan dicapai dalam program konservasi energi.

Dalam penelitian ini acuan yang akan digunakan untuk menilai kinerja tentang konservasi energi digunakan matriks manajemen energi. Kategori yang ada dalam matriks ini mencakup kebijakan dan sistem, organisasi, motivasi, sistem informasi, promosi dan investasi. Tiap indikator dari kategori-kategori yang ada kemudian dinilai berdasarkan tingkatan mulai dari tingkat terendah bernilai 0 hingga tertinggi bernilai 4. Dalam hal penilaian, penggunaan matriks akan memudahkan pihak manajemen dalam memetakan kondisi eksis dari pengelolaan energi perusahaan maupun melakukan evaluasi terhadap kinerja yang telah

dicapai dalam program konservasi. berikut hasil pemetaan konservasi energi pada rumah sakit, yaitu:

Gambar 4. Grafik Pemetaan Kinerja Konservasi Energi

Berdasarkan evaluasi data matriks manajemen energi dan data grafik diatas, maka diperoleh hasil bahwa:

  • 1.    Pada kategori kebijakan, manajemen rumah sakit berada pada tingkat 1 sehingga pihak manajemen perlu menyusun program atau kebijakan yang melibatkan peran serta aktif unsur rumah sakit.

  • 2.    Kategori organisasi, berada pada tingkat 0, maka perlu dibentuk suatu organisasi yang secara khusus menangani konservasi energi, dengan kewenangan yang luas dalam penanganan program konservasi energi.

  • 3.    Untuk kategori motivasi, berada pada tingkat 1, kategori ini memiliki kaitan dengan organisasi. Bila organisasi telah dibentuk maka akan membentuk tata cara kordinasi yang mampu melibatkan peran aktif seluruh elemen rumah sakit, saat ini konservasi energi hanya bersifat kesadaran individu-individu.

  • 4.    Sistem informasi, berada pada tingkat 1, dimana selama ini sistem informasi yang disampaikan berupa biaya konsumsi energi listrik yang didasarkan pada rekening listrik tanpa menindaklanjuti bila terjadi kenaikan pemakaian energi listrik.

  • 5.    Kategori promosi dan investasi, pihak manajemen berada pada tingkat 2 hal ini menunjukan adanya upaya-upaya dari pihak manajemen rumah sakit dalam program konservasi energi. Upaya-upaya tersebut dapat dilihat pada penggunaan alat timer pada sistem penerangan lampu dibalkon, serta pemilihan jenis AC yang tepat dari segi teknologi hemat energi seperti terlihat pada nilai EER dan COP pada data spesfikasi AC.

  • 5.    SIMPULAN

Hasil pembahasan tentang manajemen energi di rumah sakit dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut:

  • 1.    Hasil perhitungan nilai IKE, mengindikasikan bahwa konsumsi energi listrik pada bangunan gedung rumah sakit termasuk kategori Base Case.

  • 2.    Hasil pengukuran pada sistem pencahayaan adalah sebanyak 84,54% ruangan telah memenuhi standar pencahayaan minimum. Sedangkan hasil perhitungan tentang pengaruh selubung bangunan dengan kapasitas AC yang harus dipasang adalah sebanyak 37,1% ruangan yang dikondisikan telah memenuhi syarat pemasangan.

  • 3.    Sistem pengelolaan energi rumah sakit pada saat ini belum mengacu pada SNI 03-6196-2000 tentang audit energi.

  • 4.    Dari penggunaan teknologi lampu, telah menggunakan alat timer untuk pengontrolan penggunaan lampu pada balkon, sedangkan penggunaan AC telah menggunakan AC yang hemat energi yang ditandai dengan penggunaan AC inverter, serta nilai EER dan COP yang baik.

Dari uraian pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa manajemen energi pada rumah sakit Surya Husadha Denpasar saat ini belum terkelola dengan baik namun dalam hal penerapan teknologi dan sistem perawatan peralatan khususnya lampu dan AC dapat dijadikan best practice.

  • 6.    DAFTAR PUSTAKA

  • [1]    Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, ‘Masterplan Pembangunan Ketenagalistrikan 2010 s/d 2014’, Jakarta, Desember 2009.

  • [2]    Anonim, ‘Energy Efficiency and Conservation Clearing House Indonesia (EECCHI). Kantor Hemat Energi’. Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral, Jakarta, 2011.

  • [3]    Manajemen Energi. Tersedia di: http://www.energyoffice.org/english/index.html. (diunduh tanggal 15 September 2011).

  • [4]    Thumann, Al, PE, CEM and Younger, William J., CEM and Niehus, Terry, PE, CEM, ‘Handbook of Energy Audit’, Eighth Edition, 2009.

  • [5]    Hadiputra, Hendra Rizki. ‘Audit Energi Pada Bangunan Gedung Rumah Sakit Dr. Karyadi Semarang’. Tugas Akhir, Program Studi Teknik Elektro-Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Jawa Tengah.

  • [6]    Pedoman Efisiensi Energi Untuk Industri di Asia, ‘Peralatan Energi Listrik: Pencahayaan’. 2006.

  • [7]    Departemen Kesehatan Republik Indonesia, ‘Pedoman Pencahayaan di Rumah Sakit’, Jakarta, Januari 1992.

  • [8]    Badan Standarisasi Nasional 2011. SNI 036197-2000. Konservasi Energi Sistem Pencahayaan Pada Bangunan Gedung.

  • [9]    Badan Standarisasi Nasional 2011. SNI 036090-2000. Konservasi Energi Sistem Tata Udara Pada Bangunan Gedung

  • [10]    Kritiningrum, Ellia dan Suminto, ‘Kajian Keunggulan Standar Sistem Manajemen Energi’, Jurnal Prosiding PPI Standardisasi 2011, Yogyakarta, 14 Juli 2011.

  • [11]    Badan Standarisasi Nasional 2011. SNI 036196-2000. Prosedur Audit Energi Pada Bangunan Gedung.

Teknologi Elektro

24

Vol. 11 No.2 Juli - Desember 2012