JMRT, Volume 6 No 1 Tahun 2023, Halaman: 20-26

JHRT


JOURNAL OF MARINE RESEARCH AND TECHNOLOGY

journal homepage: https://ojs.unud.ac.id/index.php/JMRT

ISSN: 2621 - 0096 (electronic); 2621 - 0088 (print)

Estimasi Simpanan Karbon di Padang Lamun di Perairan Sumberkima Buleleng, Bali

*Gilang Pratama a, I Wayan Gede Astawa Karang a*, I Nyoman Giri Putra a

aProgram Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Bali, Indonesia

*Corresponding author email: [email protected]

ARTICLE INFO


ABSTRACT

Article history:

Received: 31 Januari 2022

Received in revised form: 22 Februari 2022

Accepted: 20 September 2022

Available online: 28 Februari 2023


Keywords:

Seagrass

Coastal ecosystem

C02

Sumberkima


Seagrass is one of the vegetation that has the potential to absorb carbon in Sumberkima waters, Bali. This study aimed to determine the density of seagrass and the estimated value of carbon storage at the top of the substrate (leaves) and at the bottom of the substrate (roots and rhizomes) in Sumberkima waters, Bali. This research was conducted on two islands, namely Pulau Gisik and Pulau Pasir Putih, on September 11 to October 8, 2021, where each island was taken 5 stations with a quadrant transect size of 50cm x 50cm, where each line transect was taken seagrass every 0 m, 50 m, and 100 m. The types of seagrasses found on Pasir Putih Island were Thalassia hemprichii, Cyomodocea serrulata, and C. rotundata while on Gisik Island, the types of seagrasses found were Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, C. serrulata, and Halophila ovalis. The density of seagrass on Pasir Putih Island was, on average, between 40 - 87 stands/m2 with the category of rare to somewhat dense, while on Gisik Island, the average is between 35 - 44 stands/m2, indicating a rare category. Estimated total carbon storage in the upper substrate (leaves) on Pasir Putih Island and Gisik Island. The value of carbon storage in Pasir Putih Island at the top of the substrate (leaves) was 0.04 tons/ha, while at the bottom of the substrate (rhizomes and roots) was 0.05 tons/ha, and the value of carbon storage in Gisik Island was at the top. the substrate (leaves) was 0.03 tons/ha, while at the bottom of the substrate (rhizomes and roots), it was 0.04 tons/ha.

2023 jmrt. all rights reserved.

  • 1.    Pendahuluan

Gas CO2 menjadi perhatian penting karena memiliki kontribusi yang paling tinggi terhadap kandungan gas rumah kaca, yaitu sebesar 55% dari emisi karbon yang dihasilkan oleh aktivitas manusia (Septiani et al., 2018). Keberadaannya di atmosfer yang semakin meningkat dan minimnya pengikatan oleh tumbuhan hijau dapat menyebabkan pemanasan global, salah satu upaya dalam mengurangi emisi gas CO2 dan pemanasan global yaitu melalui penyerapan gas CO2 oleh berbagai vegetasi. Salah satu vegetasi yang mampu menyerap karbondioksida adalah lamun (Azkab, 2006).

Ekosistem lamun merupakan suatu ekosistem penting di laut, di samping terumbu karang sebagai pendukung kehidupan biota. Ekosistem lamun memiliki fungsi ekologi antara lain merupakan selaku habitat (tempat hidup), tempat pemijahan (spawning ground), tempat pengasuhan (nursery ground), tempat pembesaran (rearing ground), dan tempat mencari makanan (feeding ground) dari bermacam biota, selain itu juga sebagai produsen primer, penangkap sedimen, serta pendaur zat hara (Kordi, 2011). Menurut Fourqurean et al. (2012), ekosistem padang lamun mampu menyerap dan memindahkan jumlah besar karbon dari atmosfir setiap harinya, dan mengendapkannya dalam jaringan atau sedimen untuk waktu yang lama, sehingga

keberadaan lamun dibumi sangat diperlukan sebagai jasa dalam penyerapan karbon (carbon sequestration).

Lamun (seagrass) merupakan salah satu vegetasi laut yang tercantum tanaman sejati sebab telah bisa dibedakan antara batang, daun, serta akarnya. Lamun merupakan tanaman berbunga yang berkembang di perairan dangkal (Tristanto et al., 2014). Padang lamun mampu menyerap karbon sebesar 1,15 ton/ha, dengan kandungan karbon di bawah substrat sebesar 0,88 ton/ha (76,3%), lebih tinggi dibanding karbon di atas substrat yang hanya 0,7 ton/ha (23,7%) (Rahadiarta, 2018). Konstribusi vegetasi lamun terhadap penyerapan karbon diawali dari proses fotosintesis yang setelah itu menjadi biomassa (Githaiga et al., 2017). Fotosintesis yang optimal sangat dipengaruhi oleh cahaya dan suhu untuk mendukung proses fisiologis lamun seperti fotosintesis, laju pertumbuhan, respirasi dan reproduksi (Cintya et al., 2019), sehingga lamun dapat berfotosintesis lebih baik dan menyerap karbon lebih banyak.

Penelitian mengenai simpanan karbon pada lamun telah dilakukan oleh Indah et al. (2020) di kawasan Pantai Karang sewu - Gilimanuk (Bali) menggunakan transek kuadran 1x1 m2 dengan 25 sub petak dan menghasilkan karbon atas substrat 0,01 ton dan bawah substrat 0,02 ton. Rahadiarta et al. (2018) 20

melakukan penelitian di Pantai Mengiat, Nusa Dua (Bali) menggunakan transek kuadran 1x1 m2 dengan 25 sub petak dan mendapatkan hasil kandungan karbon tertinggi terdapat pada bagian bawah substrat yaitu 25,70 gC/m2 sedangkan kandungan karbon pada bagian atas substrat sebesar 17,18 gC/m2. Graha et al. (2016) melakukan penelitian simpanan karbon di padang lamun di kawasan Pantai Sanur, Denpasar, menggunakan transek kuadran 100x100 cm2 dan mendapatkan hasil total kandungan karbon 66,0 ton.

Penelitian ini dilakukan di Perairan Sumberkima karena masih sedikitnya informasi mengenai estimasi simpanan karbon di padang lamun pada daerah Bali bagian utara. Maka dari itu, penelitian mengenai pengukuran estimasi simpanan karbon pada lamun di Perairan Sumberkima perlu dilakukan.

  • 2.    Metode Penelitian

    • 2.1    Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada 11 September - 8 Oktober 2021 yang mencakup kegiatan pengambilan data lapangan dan pengolahan sampel di laboratorium. Pengambilan sampel dilakukan di Perairan Sumberkima, Buleleng di Pulau Pasir putih dan Pulau Gisik yang ada di titik merah pada gambar. Pengolahan sampel biomassa dilakukan di Laboratorium Ilmu Kelautan dan manajemen sumberdaya perikanan, Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana dan pengolahan perhitungan karbon dilakukan di Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana. Peta penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 2. Pengambilan Sampel Lamun

Pengambilan sampel parameter lingkungan meliputi suhu, pH dan salinitas. Pengambilan sampel air laut parameter lingkungan diambil menggunakan botol di setiap stasiun Pulau Pasir Putih dan Pulau Gisik pengambilan sampel dilakukan di setiap stasiun. Pengambilan parameter suhu menggunakan termometer dengan memasukan termometer kedalam sampel air laut, pengambilan parameter pH menggunakan pH meter dengan meneteskan sampel air pada pH meter, dan pengambilan parameter salinitas menggunakan refraktometer dengan meneteskan air pada alat refraktometer kemudian nilai salinitas dilihat pada alat menggunakan cahaya matahari

Analisis lebih lanjut terkait ekosistem lamun adalah pengukuran di laboratorium untuk mendapatkan berat kering dengan mengoven sampel biomassa pada suhu 60°C. Selanjutnya sampel dihaluskan untuk mendapatkan nilai karbon. Menggunakan metode pengeringan (Loss of Ignition atau LOI). Metode LOI pada prinsipnya adalah menghilangkan bahan organik melalui proses pembakaran di dalam tanur/tungku (furnace). Nilai bahan organik yangdidapat merupakan berat sampel yang hilang karena pembakaran pada suhu tertentu 500ºC selama beberapa waktu 3-6 jam (Helrick, 1990).

  • 2.3 . Analisa Data

    • 2.3.1    Kerapatan Lamun

Adapun kerapatan jenis merupakan jumlah tegakan lamun (tegakan) per satuan luas. Kerapatan lamun dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut (Ira et al., 2013):

Di-(1)

A                                    v 7

  • 2.2    Pengambilan Data Lamun

Metode yang digunakan untuk pengambilan data lamun menggunakan kuadran ukuran 50 cm x 50 cm sesuai dengan buku panduan Segrass-watch (Mc Kenzie et al., 2001). Setiap pulau ditarik garis transek sepanjang 100 m tegak lurus garis pantai ke arah laut. Pengamatan dilakukan di lapangan terhadap identifikasi spesies lamun dan tegakan lamun. Pengambilan sampel lamun dilakukan dengan cara mencuplik lamun sampai pada kedalaman penetrasi yang terdapat pada setiap transek. Pengambilan sampel lamun dilakukan pada 2 pulau dengan 5 stasiun di setiap pulau dimana setiap stasiun diambil lamun setiap 0 m, 50 m dan 100 m. Pengambilan sampel lamun dapat dilihat pada (Gambar 2).

Keterangan:

Di      : Kerapatan jenis lamun (tegakan/m2)

ni      : Jumlah tegakan lamun (Tegakan)

A       : Luas transek (m2)

  • 2.3.2 . Pengukuran Biomassa

Biomassa lamun dapat dicari dengan menghitung berat kering dibagi luasan area menggunakan persamaan (2) (Santoso, 2018):

B = W / A ..................................

(2)

Keterangan:

B = Biomassa Lamun (gbk/m2) W = Berat Kering Lamun (gbk) A = Luasan Area Transek (0,25 m2)

  • 2.3.3    Pengukuran Karbon Lamun

    • 2.3.3.1    Kadar Abu

Rumus yang digunakan untuk menghitung kandungan karbon jaringan lamun dengan metode pengabuan dapat dihitung dengan persamaan oleh Helrich (1990):

Kadar abu = — % 100%................................(3)

b-a

Keterangan: a = berat cawan b = berat cawan + berat kering jaringan lamun c = berat cawan + berat abu jaringan lamun

  • 2.3.3.2    Bahan Organik

Bahan organik dihitung dengan metode pengabuan yaitu pengurangan berat saat pengabuan oleh Helrich (1990):

Kadar bahan organik = [(b ^J^ a) % 100%..................(4)

Keterangan: a = berat cawan b = berat cawan + berat sampel c = berat (cawan + abu)

  • 2.3.3.3 . Nilai Kandungan Organik

Nilai kandungan karbon jaringan lamun dihitung dengan persamaan Helrich (1990):

Kandungan karbon = (kadar bahan organik)/1,724..........(5)

Keterangan:

1,724 = konstanta nilai bahan organic

  • 2.3.3.4    Total Stok Karbon Total

Stok karbon lamun dihitung dengan menggunakan rumus menurut Sulaeman et al. (2005):

Ct = Σ (Li x ci) ……………….………(6)

Keterangan:

Ct = karbon total (ton)

Li = luas padang lamun hanya di transek (12.500 m2)

Ci = rata-rata stok karbon lamun kategori kelas i (gC/m2)

  • 3.    Pembahasan

    • 3.1    Kerapatan lamun

Hasil kerapatan jenis lamun Pulau Pasir Putih dan Pulau Gisik dapat dilihat pada Tabel 1. Pulau Pasir Putih memeliki nilai rata-rata kerapatan tertinggi yaitu di stasiun 2 sebesar 86 tegakan/m2, sedangkan nilai rata–rata terendah terdapat di stasiun 1 yaitu 40 tegakan/m2 dan di Pulau Gisik nilai rata-rata kerapatan tertinggi di stasiun 5 yaitu sebesar 45 tegakan/m2, sedangkan nilai rata-rata terendah yaitu di stasiun 1 sebesar 36 tegakan/m2. Variasi tinggi rendahnya nilai kerapatan jenis menurut Dahuri et al. (2001) menyatakan bahwa distribusi lamun tergantung oleh kondisi lingkungan seperti yaitu temperatur (28 – 30℃) dan salinitas (10 – 40 psu). Jumlah rata – rata kerapatan jenis lamun di Pulau Pasir Putih yaitu 72 tegakan/m2 dengan kondisi jarang dan Pulau Gisik yaitu 40 tegakan/m2 dengan kondisi jarang. Jenis lamun di Pulau Pasir Putih dan Pulau Gisik memiliki nilai yang beragam, lamun di Pulau Pasir Putih memiliki jenis C. rotundata memiliki nilai kerapatan yaitu 12 - 123 tegakan/m2, jenis Thalassia hemprichii memiliki nilai kerapatan sebesar 69 - 85 tegakan/m2, jenis C. serrulata memiliki nilai kerapatan sebesar 37 – 125 tegakan/m2. Sedangkan di Pulau Gisik memiliki jenis C. rotundata memiliki nilai kerapatan sebesar 26 – 87 tegakan/m2, jenis Halophila ovalis memiliki nilai kerapatan sebesar 7 – 28 tegakan/m2, jenis Thalassia hemprichii memiliki nilai kerapatan sebesar 27 – 40 tegakan/m2 dan jenis Enhalus acoroides memiliki nilai kerapatan sebesar 31 - 83 tegakan/m2, jenis C. serrulata memiliki nilai kerapatan sebesar 32 – 53 tegakan/m2.

Kerapatan jenis lamun tertinggi terdapat pada spesies C. serrulata karena sesuai dengan pernyataan Faishol et al. (2016), bahwa jenis C. serrulata merupakan jenis lamun kosmopolit, yaitu dapat tumbuh hampir di semua kategori habitat seperti substrat pasir berlumpur atau pasir dengan pecahan karang pada daerah pasang-surut dan kadang-kadang bercampur dengan jenis lamun lain. Kerapatan jenis terendah terdapat pada spesies Halophila ovalis dikarenakan rendahnya nilai kerapatan lamun spesies Halophila ovalis disebabkan karena spesies ini memiliki akar kecil sehingga spesies lamun tersebut tidak dapat melekat kuat pada substrat akibatnya jumlah spesies menjadi sedikit sehingga nilai kerapatan menjadi rendah (Setyawati et al., 2014)

Tabel 1. Data kerapatan lamun di Pulau Pasir Putih dan Pulau Gisik

Puhu Pasii Putih

Stasiun

CS

TH

CR

Rata-rata (Itgakanini)

Kondisi

1

39

69

12

40

Jaiang

2

89

85

-

87

Agakrapat

3

125

-

47

86

Agakrapat

4

55

79

123

85

Agakrapat

5

40

72

79

63

Jaiaug

Jumlah tata

-rata tegakan

72

Jarang

Pulau Gisik

Stasiiui

TH

EA

CR

HO

CS

Rata-rata (tegakan in2)

Kondisi

1

40

52

27

28

32

36

Jarang

2

27

31

87

7

-

38

Jarang

3

-

83

40

13

-

45

Jarang

4

29

59

-

11

53

38

Jarang

5

-

49

79

7

45

Jarang

Jumlah rata

- rata tegakan

40

Jarang

Keterangan:  TH:  Thalassia hemprichi; EA: Enhalus

acoroides; CR: C. rotundata: HO: Halophila ovalis; CR: C. serrulata


Pulau Pasir Putih

■ Thalassia hemprichii

■ Cymodocea serrulata

Pulau Gisik

□ Cymodocea rotundata


  • 3.2 . Biomassa Lamun

Lamun Thalassia hemprichii memiliki nilai biomassa tertinggi di Pulau Pasir Putih, karena lamun tersebut memiliki ukuran morfologi yang relatif lebih besar baik pada bagian daun, rhizoma maupun akar, sedangkan pada jenis lamun lainnya yang memiliki ukuran morfologi lebih kecil dapat memengaruhi nilai kandungan biomassa dari lamun tersebut. Nilai biomassa di Pulau Gising tertinggi adalah spesies Enhalus acoroides karena spesies lamun tersebut yang mendominasi di Pulau Gising serta Enhalus acoroides memiliki morfologi yang besar dibandingkan dengan spesies lamun lainnya. Hal ini didukung menurut Laffoley dan Grimsditch (2009), bahwa jenis lamun yang secara morfologi berukuran besar cenderung mengembangkan biomassa yang tinggi. Enhalus acoroides memiliki morfologi yang paling besar diantara spesies lamun lainnya, sehingga diduga Enhalus acoroides sebagai penyumbang biomassa yang tinggi.

Hasil total biomassa atas substrat dan bawah substrat di Pulau Pasir Putih dan Pulau Gisik dapat dilihat pada Gambar 4. Nilai biomassa atas substrat di Pulau Pasir Putih yaitu 91,4 (gbk/m2). Nilai dari bagian atas substrat lebih rendah dibandingkan pada bagian bawah substrat yang memiliki nilai biomassa sebesar 362 (gbk/m2). Nilai biomassa atas substrat di Pulau Gisik yaitu 812,6 (gbk/m2). Nilai biomassa dari bagian atas substrat lebih rendah dibandingkan dengan bagian bawah substrat yaitu 252,1 (gbk/m2). Hasil penelitian ini serupa dengan Pranata et al. (2020) di Perairan Tanjung Benoa, Bali bahwa biomassa lamun pada atas substrat 3377,4 (gbk/m2) lebih rendah dibandingkan dengan bagian bawah substart yaitu 8642,1 (gbk/m2) dikarenakan rata-rata biomassa dibawah substrat lebih dari tiga kali lipat dibanding kan biomassa pada atas substrat. Hal ini dikarenakan bahwa rhizoma mengandung banyak zat pati dan unsur hara dimana zat tersebut didistribusikan dari hasil fotosintesis yang disimpan pada bagian dibawah substrat, sehingga biomassa pada rhizoma dibawah substrat lebih tinggi dibandingkan dengan jaringan lainnya (Hartati et al., 2017)

(a) Biomassa per jenis Pulau Pasir Putih dan Pulau Gisik


  • (b) Biomassa per jenis Pulau Gisik

Gambar 3. Hasil Biomassa per jenis (a) Pulau Pasir Putih dan (b) Pulau Gising

900 -■

800 -

r 700 ^ I 600 -§ 500 -i 400 -re

300 -

200 -

100 -

0 --

812.60

Pulau Gisik


Pulau Pasii' Putih


■ Atas Substrat ■ Bawali Substiat

Gambar 4. Biomassa Atas Substrat dan Bawah Substrat

  • 3.3    Kadar Abu dan Bahan Organik

Hasil nilai kadar abu dan bahan organik dibagian atas dan bawah substrat di Pulau Pasir Putih dan Pulau Gisik. Hasil nilai kadar abu di Pulau Pasir Putih pada bagian atas substrat yaitu 33% dan nilai kandungan bahan organik yaitu 66% serta bagian bawah substrat nilai kadar abu yaitu 32% dan bahan organik yaitu 68%. Hasil nilai kadar abu di Pulau Gisik pada bagian atas substrat yaitu 34% dan nilai kandungan bahan organik yaitu 66% serta bagian bawah substrat nilai kadar abu di Pulau Gisik yaitu 32% dan bahan organik 68% (Gambar 5). Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian yang diperoleh Indah et al. (2020) di Pantai

Karang Sewu nilai kadar abu pada bagian atas substrat (daun) memiliki persentase lebih rendah daripada nilai bahan organik yaitu 37% dan kandungan bahan organik yaitu sebesar 63%. Sedangkan nilai kadar abu pada bagian bawah (rhizoma dan akar) substrat yaitu sebesar 13% dan kandungan bahan organik yaitu sebesar 87%. Hasil nilai kadar abu dan nilai bahan organik pada bagian atas substrat yaitu dan bawah substrat di Pulau Pasir Putih diketahui memiliki persentase lebih rendah daripada di Pulau Gisik karena jumlah kerapatan spesies lamun di Pulau Gisik lebih rapat daripada di Pulau Pasir Putih. Hal ini didukung Riniatsih (2015) jika semakin besar kerapatan lamun, maka banyak bahan organik yang terikat di dasar perairan.

■ Kadar Abu ■ Kadar Bahan Organik

(a) Pulau Pasir Putih

Kadar Abu     ■ Kadar Bahan Organik

(b) Pulau Gisik

Gambar 5. Hasil Kadar Abu dan Kadar Bahan Organik (a) Pulau Pasir Putih dan (b) Pulau Gising

  • 3.4    Kandungan Karbon

Kandungan karbon pada lamun menggambarkan besarnya lamun yang dapat mengikat CO2 di atmosfer. Kandungan karbon dapat diartikan sebagai banyaknya karbon yang mampu diserap oleh lamun dalam bentuk biomassa. Karbon pada lamun tersimpan dalam bentuk biomassa dimana karbon akan disimpan selama lamun itu masih hidup (Carruthers, 2007). Kandungan karbon di Pulau Pasir Putih terdapat pada bagian atas substrat yaitu 3,43 gC/m2 sedangkan rata-rata kandungan karbon pada bagian bawah substrat yaitu 3,45 gC/m2 dan hasil rata-rata kandungan karbon di Pulau Gisik terdapat pada atas substrat yaitu 2,81 gC/m2 sedangkan rata-rata kandungan karbon pada bagian bawah substrat yaitu 2,82 gC/m2 (Gambar 6). Hasil penelitian ini serupa dengan Negara et al. (2020) di Pantai Nusa Lembongan, Bali yaitu rata – rata nilai kandungan karbon yang terkandung di bagian bawah substrat sebesar 1,73

gC/m2 sedangkan untuk rata- rata nilai kandungan karbon yang terkandung di bagian atas substrat sebesar 0,84 gC/m2.

Bahan organik berpengaruh terhadap besarnya nilai karbon di bawah substrat karena sebagai faktor penyerapan karbon. Pulau Gisik memiliki kandungan karbon di bawah substrat lebih kecil dibandingkan dengan kandungan karbon bawah substrat di Pulau Pasir Putih. Kondisi substrat di Pulau Pasir Putih berlumpur dan berpasir, sedangkan di Pulau Gisik kondisi substrat berpasir. Seperti yang dikemukakan oleh Yunitha (2015) bahwa penyerapan karbon organik dipengaruhi oleh besaran butiran substrat, karena butiran substrat yang lebih besar menurunkan kemampuan substrat tersebut menyerap karbon organik. Hal ini dikarenakan kandungan karbon di bawah substrat tidak terlalu terkena pengaruh oleh faktor fisik lingkungan dibandingkan dengan kandungan karbon yang terdapat pada bagian atas substrat yang lebih dipengaruhi oleh faktor perairan seperti suhu dan lainnya (Rahman et al., 2014). Kennedy et al. (2009) menyatakan bahwa kandungan karbon dibawah substrat akan tersimpan disedimen walaupun tunas pada lamun tersebut telah mati, sedangkan karbon diatas substrat hanya akan tersimpan jika tunas lamun masih tetap

Gambar 6. Hasil Kandungan Karbon Atas Substrat dan Bawah Substrat

  • 3.5    Estimasi Total Simpanan Karbon

Total simpanan karbon merupakan hasil dari rata-rata stasiun perhitungan stok karbon yang kemudian dikonversi ke luasan transek area lamun yang didapatkan pada saat pengambilan data baik bagian atas substrat (daun) maupun bawah substrat (rhizoma dan akar) pada keseluruhan di Pulau Pasir Putih dan Pulau Gisik. Estimasi total simpanan karbon pada bagian atas substrat (daun) yaitu sebesar 0,04 ton/ha sedangkan pada bagian bawah substrat (rhizoma dan akar) yaitu sebesar 0,05 ton/ha dengan total simpanan yaitu sebesar 0,09 ton/ha, sedangkan di Pulau Gisik didapatkan bahwa estimasi total simpanan karbon pada bagian atas (daun) substrat lebih kecil daripada bagian bawah (rhizoma dan akar) substrat. Estimasi total simpanan karbon pada bagian atas substrat (daun) yaitu sebesar 0,03 ton/ha sedangkan pada bagian bawah substrat (rhizoma dan akar) yaitu sebesar 0,04 ton/ha dengan total simpanan karbon

0,07 ton/ha (Gambar 7). Hasil penelitian Indah et al. (2020) mendapatkan nilai estimasi total simpanan karbon pada bagian atas substrat (daun) sebesar 0,01 ton/ha karbon sedangkan pada bagian bawah substrat (rhizoma dan akar) yaitu sebesar 0,02 ton/ha dengan total simpanan karbon pada padang lamun di Pantai Karang Sewu yaitu sebesar 0,03 ton/ha. Tingginya nilai estimasi simpanan karbon pada bagian bawah substrat karena tidak terlalu dipengaruhi oleh faktor fisik lingkungan berbeda dengan di atas substrat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu dan paparan sinar matahari (Supriadi, 2012). Bahan organik berpengaruh sebagai faktor penyerapan karbon dibawah substrat (Yunitha, 2015). Hal tersebut sesuai dengan Christon et al. (2012) bahwa substrat yang lebih halus menyebabkan tingginya biomassa dikarenakan adanya efek terhadap sistem penyerapan nutrien, begitu juga sebaliknya sehingga berpengaruh terhadap besar kecilnya simpanan karbon yang terserap oleh lamun.

Gambar 7. Hasil Stok Karbon Atas substrat dan Bawah Substrat

  • 3.6    Parameter Lingkungan

Kondisi pasang surut saat pengambilan data lamun di Pulau Pasir Putih dan Pulau Gisik yaitu dari surut terendah hingga pasang tertinggi. Pengaruh pasang surut akan memengaruhi pertumbuhan lamun yang baik di daerah pasang surut terbuka sehingga cahaya dapat masuk dan membantu proses pertumbuhan lamun yang optimal (Nainggolan, 2011). Hasil penelitian di Pulau Pasir Putih dan Pulau Gisik untuk parameter lingkungan yaitu suhu, salinitas dan pH dapat dilihat pada Tabel 2. Nilai suhu di tertinggi di Pulau Pasir Putih adalah 31,1°C dan suhu terendah adalah 30,8°C. Nilai suhu tertinggi di Pulau Gisik adalah 30,8°C dan suhu terendah adalah 30,3°C. Suhu di kedua pulau tersebut baik sesuai dengan baku mutu yaitu 28,0°C-32,0°C (KEPMEN LH NO.51 Tahun 2004). Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Perubahan suhu terhadap kehidupan lamun, antara lain dapat mempengaruhi metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun (Hasanuddin, 2013). Kondisi suhu Pulau Pasir Putih dan Pulau Gisik masih layak untuk kehidupan ekosistem lamun.

Hasil dari nilai salinitas tertinggi di Pulau Pasir Putih adalah 35 psu dan terendah adalah 34 psu sedangkan nilai salinitas tertinggi di Pulau Gisik adalah 35 psu dan terendah adalah 34

psu. Hasil penelitian Rambe (2019) mendapatkan nilai salinitas 33 – 35 psu. Hal ini sesuai dengan Supriharyono (2009) yaitu salinitas optimal untuk pertumbuhan lamun berkisar antara 25 – 35 psu untuk mendukung kehidupan komunitas lamun, jadi salinitas di Pulau Pasir Putih dan Pulau Gisik cocok untuk pertumbuhan lamun karena berada pada kisaran salinitas 34 - 35 psu.

Hasil dari nilai pH tertinggi di Pulau Pasir Putih adalah 7,4 dan terendah adalah 7 sedangkan nilai pH tertinggi di Pulau Gisik adalah 7,1 dan terendah adalah 7. Nilai pH di kedua pulau tersebut optimal untuk pertumbuhan lamun dan sesuai dengan kadar baku mutu bahwa pH 7 - 8.5 optimal untuk pertumbuhan lamun (KEPMEN LH NO.51 Tahun 2004) dan pH suatu perairan merupakan salah satu parameter kimia yang cukup penting dalam memantau kestabilan perairan (Hamuna et al., 2018).

Tabel 2. Parameter perairan di Pulau Pasir Putih dan Pulau Gisik

Parameter

Suhu "C Salinitas

  • 4.    Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut

  • 1.    Kerapatan lamun di Pulau Pasir Putih rata-rata antara 40 - 87 tegakan/m2 dikategorikan jarang hingga agak rapat, sedangkan di Pulau Gisik rata-rata antara 35 - 44

tegakan/m2 menunjukan kategori jarang.

  • 2.    Total estimasi simpanan karbon pada bagian atas substrat (daun) di Pulau Pasir Putih dan Pulau Gisik. Nilai simpanan karbon di Pulau Pasir Putih pada bagian atas substrat (daun) yaitu sebesar 0,04 ton/ha sedangkan pada bagian bawah substrat (rhizoma dan akar) yaitu sebesar 0,05 ton/ha dengan total simpanan yaitu sebesar 0,09 ton/m2 dan Nilai simpanan karbon di Pulau Gisik pada bagian atas substrat (daun) yaitu sebesar 0,03 ton/m2 sedangkan pada bagian bawah substrat (rhizoma dan akar) yaitu sebesar 0,04 ton/m2 dengan total simpanan karbon 0,07 ton/m2.

Daftar Pustaka

Azkab, M. H. 2006. Ada Apa Dengan Lamun. Jakarta; Bidang Sumberdaya     Laut, Pusat Penelitian

Oseanografi- LIPI. Volume XXXI, Nomor 3, Halaman 45 – 55.

Carruthers, T.J.B. 2007. Halodule uninervis. In: IUCN 2011.         IUCN Redlist of Threatened Species.

Christon, Djunaedi, O. S., Purba, N. P. 2012. Pengaruh Tinggi       Pasang Surut Terhadap Pertumbuhan

dan Biomassa Daun Lamun Enhalus Acoroides di Pulau Pari Kepulauan Seribu    Jakarta.        Jurnal

Perikanan dan Kelautan Unpad. Jatinangor: Universitas Padjajaran

Cullen-Unsworth, L. C. 2014. ‘Seagrass meadows globally as a coupled social – ecological system: implications for human wellbeing, Marine Pollution Bulletin. Elsevier Ltd, 83(2),pp387–397.

Dahuri, R.  2001. PengelolaanSumber Daya Wilayah

Peisisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT.Pradnya Paramita

Faishol, M. L., Nurcahyo, H., Nugroho, D. A. S., Rizky, M. A., Hutanto, Y., Roni, S., Utama, A. P., Budi, P., Supriyadi, S., Kertawijaya, L. S. 2016. Ekosistem Lamun       di Taman Wisata Perairan Kepulauan

Anambas.    Pekanbaru:  Loka Kawasan Konservasi

Perairan Nasional      Pekanbaru.

Ferawati, R. et al,. 2018. “Biomassa Dan Penyerapan Karbon Oleh Lamun Enhalus Acroides Di Pesisir Teluk Gunung Botak Papua Barat. Jurnal Sumberdaya Akuatik Indopasifik. Vol 2 No 2. November 2018”. UNIPA: Manokwari

Fourqurean, J.W., Duarte, C.M., Kennedy, H., Marba, N., Holmer, M., Matoe, M.A.,      Apostolaki,      E.,

Kendrick,     G.A., Jensen, D.K., McGlathery, K.J.,

and Serrano, O.       2012. Seagrass Ecosystems as

a Globally Significant       Carbon Stock.

Nature Geoscience. pp 1-5.

Githaiga, M.N., Kairo, J.G., Gilpin, L. & Huxham, M. 2017. Carbon Storage in     the Seagrass     Meadows of

Gazi Bay, Kenya. PLoS ONE Journal,     12(5):1-13.

Graha, Y.I. 2016. Simpanan Karbon Padang Lamun di Kawasan Pantai Sanur, Kota Denpasar. Ecotrophic, 10(1):46 53. DOI:10.24843/ejes.2016.v10.i01.p08.

Hamuna, B. et al. 2018. Kajian Kualitas Air Laut dan

Indeks       Pencemaran Berdasarkan Parameter

Fisika-Kimia di        Perairan    Distrik Depapre,

Jayapura. Jurnal Ilmu   Lingkungan. Vol  16 No 1.

Semarang: Universitas Diponegoro

Hartati, R., Pratikto, I. & Pratiwi, T.N. 2017. Biomassa dan Estimasi Simpanan    Karbon pada       Ekosistem

Padang Lamun di Pulau Menjangan Kecil dan     Pulau

Sintok, Kepulauan Karimunjawa. Ilmu Kelautan, 17(4):217-225.

Hasanuddin. R. 2013. Hubungan Antara Kerapatan dan Morfometrik Lamun Enhalus acoroides Dengan Substrat dan Nutrien di Pulau Sarappo Lompo      Kab.

Pangkep.Universitas Hasanuddin: Makassar.

Helrich, K. 1990. Method of Analysis of The Association of Official Analytical      Chemists. 5 th ed. Virginia.

Hernawan, Udhi Eko. 2017. Status Padang Lamun Indonesia 2017. Jakarta : Pusat penelitian oseanografi-LIPI

Ira, Oetama D, Juliati. 2013. Kerapatan dan Penutupan Lamun pada Daerah Tanggul Pemecah Ombak di Perairan Desa Terebino Propinsi Sulawesi Tengah.

Aquasains:   Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya

Perairan.      Volume 2, No. 1:89-96

Kennedy, H. and Bjork, M. 2009. Seagrass Meadows. In: Laffoley D.D.A and Grimsditch G. (Eds). The Management of Natural Coastal Carbon Sinks.     Glan:

IUCN

Komang, I. V. L. et al. 2020. Estimasi Simpanan Karbon pada Padang Lamun di Kawasan Pantai Karang Sewu, Gilimanuk, Bali. Vol 3 No 1. Journal of Marine Research and Technology. Bali

Kordi, K.H.G.M. 2011. Ekosistem Lamun (Seagrass) : Fungsi, Potensi, dan Pengelolaan. PT. Rineka Cipta, Jakarta

Laffoley, D.d’A. & Grimsditch, G. 2009. The Management of Natural Coastal      Carbon Sinks. IUCN, Gland,

Switzerland. 53 pp..

Nainggolan, P. 2011. Distribusi Spasial dan Pengelolaan Lamun (Seagrass) Di Teluk Bakau, Kepulauan Riau.

Skripsi, IPB: Bogor.

Negara, I Ketut Suta. 2020. Simpanan Karbon Padang Lamun di Kawasan Pantai Nusa Lembongan, Klungkung, Bali. Journal of Marine Research and Technology. Vol. 3 No. 2. Universitas Udayana

Ni Putu. C. K. J.., I Wayan. R.,, Made A. P. 2019. Kajian Kesesuaian Pulau Pasir Putih Dalam Kerangka Pengembangan Ekowisata Bahari Di     Pantai

Sumberkima,Buleleng,Bali. Current   Trends in

Aquatic Science, [S.l.], v. 2, n. 1, p. 63- 70, feb. 2019. ISSN        2621-7473.

McKenzie, LJ & Yoshida, R.L. (2011). Seagrass-Watch: Proceedings of a workshop for monitoring seagrass habitats in the Kimberly region, Westren Australia, Departement of Environment & Conservation – West Kimberley Office, Broome, 15 -16 October 2011

Pranata, I. K. A. et al.. 2020. Simpanan Karbon pada Padang Lamun di Perairan Tanjung Benoa, Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences. Vol. 6 No. 1. Universitas Udayana

Rahadiarta, I., Vidyananda, S. & Yulianto, S. 2019. Simpanan Karbon pada Padang Lamun di Kawasan Pantai Mengiat Nusa Dua Bali. Journal of Marine and Aquatic       Sciences,       5(1):1-10.       DOI:

10.24843/jmas.2019.v05.i01.p01.

Rambe, R. Y. 2019. Studi Tutupan dan Kerapatan Lamun di Pesisir Pantai Pulau Pane Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara. [Skripsi]. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Riniatsih I. 2015. Distribusi Muatan Padatan Tersuspensi (MPT) di Padang      Lamun di Perairan Teluk Awur

dan Pantai Prawean Jepara. Jurnal Kelautan Tropis. Volume 18, No. 3: 121-126.

Santoso B, Dharma I. G. B. S., & Faiqoh E. (2018). Pertumbuhan dan      produktivitas daun lamun

Thalassia hemprichii (Ehrenb) Ascherson di perairan Tanjung Benoa, Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences       4(2), 278-285

Septiani. 2018. Uji aktivitas pertumbuhan Journal of Pharmacopolium, Vol. 1,        No. 2, Agustus [69

73]

Setyawati, Y., Subiyanto dan Ruswahyuni. 2014. Hubungan antara Kelimpahan Epifauna Dasar dengan Tingkatan Kerapatan Lamun Yang Berbeda di Pulau Panjang dan Teluk Awur Jepara. Diponegoro Journal of Maquares. 3 (4): 235-242

Sulaeman, Suparto dan Eviati. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.

Supriadi. 2012. Stok dan Neraca Karbon Komunitas Lamun di Pulau Barranglompo Makassar (disertasi). Bogor: Institut        Pertanian Bogor.

Supriharyono. 2009. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 470 hal

Tristanto, R., Putri, M.A., Situmorang, A.P. & Suryanti. 2014.         Optimalisasi     Pemanfaatan

Daun Lamun Thalassia hemprichii sebagai Sumber Antioksidan Alami.    Jurnal Saintek Perikanan,

10 (1): 26-29.

Yunitha, A. (2015). Kandungan  CO2 pada Lamun

Berdasarkan Habitat dan Jenis Lamun di Pesisir Desa Bahoi Kabupaten Minahasa Utara Sulawesi Utara. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor

26