JMRT, Volume 5 No 2 Tahun 2022, Halaman: 57-63

JMRT


JOURNAL-OF-MARINE-RESEARCH-AND-TECHNOLOGY

journal-homepage: https://ojs.unud.ac.id/index.php/JMRT

ISSN: 2621 - 0096 (electronic); 2621 - 0088 (print)

Analisis Spasial dan Temporal Suhu Menggunakan Pemodelan Numerik di Perairan Amed, Karangasem, Bali

Gati Widhiasih, I Gede Hendrawana*, IGB. Sila Dharma a, Alexis-Chappuisb

aProgram Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Bali, Indonesia

bUnderwater Scientific Exploration and Education (UNSEEN) Expeditions

*Corresponding author, email:[email protected]

ARTICLE INFO


ABSTRACT


Article history:

Received : 19 Januari 2022

Received in revised form : 14 Maret 2022

Accepted : 19 Maret 2022

Available online : 31 Agustus 2022


Keywords: Amed FVCOM Spatial Temperature Temporal


Amed is a marine tourism area in the east of the island of Bali, which has high biodiversity. The high biodiversity is caused by the influence of the Indonesian Throughflow (ITF), which crosses the Lombok Strait and brings cold and rich nutrient that plays a vital role in the marine and fisheries sector. Currents have an essential role in regulating the oceanographic process of waters, so they can be used as parameters in understanding the vertical characteristics of waters, one of which is temperature. Temperature is a critical factor for physiological processes and the distribution of marine organisms. The purpose of this study was to analyze the temperature spatially and temporally in the waters of Amed, Karangasem, and Bali using numerical modeling. Logger recording data was carried out in February - September 2019 at three different locations and depths, namely the depths 30, 60, and 65 m. Finite Volume Coastal Ocean Model (FVCOM) is a numerical modeling method used in this research. Based on the spatial analysis of current movement patterns and the distribution of sea surface temperature (SST) that occurred in January – December 2019 following the seasonal variant of the wind that occurred in Indonesia. The results of the temperature gradient analysis showed that the data at a depth of 30 m did not reveal the presence of a thermocline layer. In contrast, at a depth of 60 and 65, the thermocline layer was found at a depth of 33 and 34 m with a temperature gradient of 0.1 oC/m.

2022 jmrt. all rights reserved.

  • 1.    Pendahuluan

Perairan Amed adalah perairan yang terletak di timur Pulau Bali dengan panjang garis pantai 87 km menurut RPIJM (Rencana Program Investasi Jangka Menengah) Bidang Cipta Karya Kabupaten Karangasem tahun 2018-2022. Berdasarkan Keputusan Gubernur Bali No: 375/03-L/HK/2017 tanggal 19 Januari 2017, Perairan Amed masuk kedalam Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan di Kabupaten Karangasem, Bali bersama dengan wilayah Tulamben, Padang Bai, dan Candidasa. Hal tersebut dikarenakan Perairan Amed merupakan kawasan yang memiliki biodiversitas yang tinggi. Biodiversitas yang tinggi di Perairan Amed karena adanya pengaruh Indonesian Throughflow (ITF) atau yang lebih dikenal sebagai Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) yang melintasi Selat Lombok dengan membawa arus dingin dan kaya nutrisi yang berperan penting dalam bidang kelautan dan perikanan (Abida et al., 2015).

Dahuri (2003) meyebutkan bahwa keanekaragaman ekosistem atau biodiversitas dapat dikenali melalui pengamatan karakteristik fisik lingkungan seperti parameter oseanografi, hal ini disebakan lingkungan fisik (parameter oseanografi) yang berbeda akan menghasilkan komunitas yang berbeda. Suhu adalah salah satu parameter oseanografi yang penting bagi organisme di perairan, hal tersebut dikarenakan suhu secara langsung akan mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun reproduksi organisme (Karif, 2011). Demikian pula, suhu secara tidak langsung akan mempengaruhi daya larut oksigen yang digunakan

dalam proses respirasi organisme di perairan. Pemantuan kondisi suhu permukaan laut dan pemanasan global penting dilakukan untuk mengetahui pertemuan dua massa air (front), upwelling, potensi distribusi ikan, serta perubahan suhu di lautan (Holiludin, 2009). Dengan demikian, studi tentang sebaran spasial dan temporal suhu di Perairan Amed penting untuk dilakukan mengingat daerah tersebut memiliki biodiversitas yang tinggi dan potensi wisata bahari yang tidak lepas dari faktor Oseanografi khususnya suhu.

Dalam menganalisis kondisi suatu perairan terdapat beberapa metode yang dapat digunakan yaitu observasi secara langsung di lapangan ataupun menggunakan pemodelan numerik hidrodinamika (Huang et al., 2008). Namun, beberapa penelitian memilih menggunakan metode pemodelan numerik untuk menganalisis perairan, hal ini dikarenakan pemodelan numerik hidrodinamika lebih efisien digunakan dibandingkan metode observasi. Salah satu kelebihan metode ini dapat memprediksikan kondisi perairan dengan cakupan area dari ukuran kecil (sempit) sampai dengan ukuran besar (luas) tanpa memerlukan tenaga, waktu dan biaya yang besar. Finite Volume Coastal Ocean (FVCOM) adalah salah satu metode yang sering digunakan untuk menggambarkan proses hidrodinamika di perairan (Chen et al., 2006). FVCOM merupakan model perairan laut dimensi dengan sistem grid yang tidak terstruktur (Unstructured Grid), sehingga dapat mempresentasikan garis pantai yang lebih akurat (Chen et al., 2006). Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui hasil analisis spasial dan temporal suhu di Perairan Amed, Karangasem, Bali menggunakan pemodelan numerik.

  • 2.    Metode Penelitian

    • 2.1    Waktu dan Tempat

Simulasi model dilaksanakan selama 12 bulan yaitu pada bulan Januari–Desember 2019, dengan waktu validasi model selama 8 bulan (Februari–September 2019) sesuai dengan data perekaman logger. Lokasi penelitian terletak di Perairan Amed, Karangasem, Bali dengan jumlah titik lokasi pengamatan sebanyak 3 titik (Gambar 1). Titik pengamatan pertama terletak pada 8°17'54,81"S - 115°37'15,87"E dengan kedalaman 30m, titik kedua terletak pada 8°17'53,32"S - 115°37'18,55"E dengan kedalaman 60 m, dan titik ketiga terletak pada 8°17'50,25"S -115°37'16,08"E dengan kedalaman 65 m. Ketiga kedalaman tersebut dipilih berkaitan dengan karakteristik vertikal perairan, dimana pada kedalaman tersebut merupakan daerah batas atas dari lapisan termoklin yang terdapat pada Perairan Jawa hingga Pulau Timor (Kunarso et al., 2012).

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian


  • 2.2    Metode Penelitian

Dalam pelaksanaan penilitian terdapat beberapa metode penelitian yang digunakan yaitu pengumpulan data untuk input model dan validasi, membuat desain model hidrodinamika, dan analisis data hasil model.

  • 2.2.1    Pengumpulan Data

  • 1.    Input Model

Data input model yang digunakan merupakan data sekunder yang diperoleh dari beberapa sumber. Data suhu berasal dari Hybrid Coordinate Ocean Model (HYCOM) diunduh dari https://www.hycom.org/dataserver dengan resolusi spasial 1/12o. Data batimetri berasal dari Batimetri Nasional (BATNAS) diunduh dari http://batnas.big.go.id/ dengan resolusi spasial 1/3600o. Data arah dan kecepatan angin diperoleh dari European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF) diunduh dari https://www.ecmwf.int/ dengan resolusi spasial 0,125o. Dan data elevasi pasang surut menggunakan data elevasi dari Tide Model Driver  (TMD) – TPXO 8 diunduh dari

ftp.oce.orst.edu/dist/tides/regional/Ind2016.tar.Z dengan resolusi spasial 1/30o.

  • 2.    Data validasi

Data yang validasi yaitu data suhu dan elevasi pasang surut. Validasi dilakukan dengan menghitung kesalahan kedua data

JMRT, Volume 5 No 2 Tahun 2022, Halaman: 57-63 menggunakan analisis Root Mean Square Error (RMSE), sedangkan analisis koefisien korelasi (r) digunakan untuk mengetahui kekuatan hubungan linier kedua data tersebut. Validasi suhu dilakukan dengan membandingkan data hasil simulasi model dengan data hasil perekaman logger. Data logger berasal dari hasil kerjasama Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana bersama dengan Underwater Scientific Exploration and Education (UNSEEN) pada bulan Februari – September 2019. Sedangkan, data elevasi pasang surut hasil model divalidasi dengan data prediksi pasang surut dari Badan Informasi Geospasial (BIG) http://tides.big.go.id/.

  • 2.2.2    Persamaan Hidrodinamika

Finite Volume Coastal Ocean Model (FVCOM) merupakan model perairan 3-Dimensi yang memiliki sistem grid yang tidak terstruktur (Unstructured Grid), sehingga dapat mempresentasikan garis pantai yang lebih akurat (Chen et al., 2006). Menurut Chen et al. (2010), persamaan hidrodinamika dalam model FVCOM menggunakan 8 (delapan) persamaan, sebagai berikut: Persamaan 1-3 (Momentum); Persamaan 4 (Kontinuitas); Persamaan 5 (Suhu); Persamaan 6 (Salinitas); Persamaan 7 (Densitas); Dan, Persamaan 8 (Elevasi Pasang Surut).


(1)



(2)








(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

Dimana x, y dan z menunjukan arah timur-barat, utara-selatan dan vertikal dalam sistem koordinat kartesius; u, v dan w menunjukan komponen kecepatan arus (m/s) untuk arah x, y dan z; T adalah temperatur (oC); S adalah salinitas (psu); ρ adalah densitas (kg/m3); P adalah tekanan (Pa); f menunjukan gaya Coriolis (o); ɡ adalah gravitasi (m/s); Km menunjukan koefisien eddy viscosity secara vertikal (m2/s); Kh adalah koefisien thermal eddy diffusion secara vertikal (m2/s); Fu, Fv, Ft, dan Fs adalah menunjukan arah gesekan x dan y, thermal dan difusi salinitas (N); ζ adalah water elevation relative to a water level at rest; ζi, ωi , θi adalah amplitudo, frekuensi dan fase waktu ke i; N0 adalah total number of tidal constituents, dimana hal tersebut di setup 15 menjadi 6 komponen elevasi pasang surut pada versi FVCOM. Enam komponen pasang surut yaitu: komponen pasang surut S2 (periode = 12 jam); komponen pasang surut M2 (periode = 12,42 jam); komponen pasang surut N2 (periode = 12,66 jam); komponen pasang surut K1 (periode = 23,49 jam); komponen pasang surut P1 (periode = 24,06 jam); komponen pasang surut O1 (periode = 25,82 jam).

  • 2.2.3    Desain Model Hidrodinamika

Domain model secara horizontal terdiri dari batas terbuka (open boundary) dan batas tertutup (close boundary) dengan jarak antar node 100 – 2000 m (Gambar 2). Batas terbuka (open boundary) adalah batas yang bersinggungan dengan laut, sedangkan batas tertutup (close boundary) adalah batas yang bersingunggan dengan daratan. Resolusi spasial grid model pada daerah penelitian dibuat lebih tinggi dibandingkan daerah sekelilingnya, hal tersebut bertujuan untuk memfokuskan model sehingga memperoleh hasil yang detail pada daerah penelitian. Sedangkan, daerah yang mendekati batas terbuka memiliki resolusi spasial lebih rendah karena daerah tersebut tidak menjadi daerah fokus penelitian, namun diperlukan untuk mengurangi bias error yang disebabkan dari input pada batas terbuka.

Gambar 2. Desain grid model

  • 2.2.4    Analisis Data

  • 1.    Uji Statistik Korelasi dan Regresi Sederhana

Analisis statistik korelasi dan regresi sederhana digunakan untuk mempelajari dan mengukur hubungan keterkaitan secara statistik diantara 2 variabel yaitu suhu dan kedalaman. Menurut Subandriyo (2020) analisis regresi digunakan untuk mengetahui hubungan ketergantungan antara 2 variabel (Persamaan 9 dan 10), dengan tujuan untuk memprediksi nilai rata-rata variable terikat berdasarkan variable bebas. Persamaan regresi sederhana menurut Sudjana (1992) adalah sebagai berikut.

(9)

_ (∑y)(∑χ2) ~ (∑*)(∑⅞y) _ π(∑χy) - (∑χ)(∑y)

(10)

dimana Y’ adalah nilai variabel dependen (terikat~ kedalaman/layer); X adalah nilai variabel independen (bebas~ suhu); a menunjukan konstanta atau titik potong garis regresi pada sumbu y (nilai Y’ bila X = 0); b menunjukan koefisien atau gradien garis regresi (perubahan nilai Y’ per satuan perubahan nilai X).

Koefisien korelasi (r) adalah ukuran arah dan kekuatan hubungan linier antara dua variabel. Ketentuan dari nilai r yaitu (1 ≤ r ≤ +1), Perhitungan korelasi yang digunakan seperti persamaan 11 berasal dari Sugiono (2012).

v (∑*)(∑y) ς^v--S---


(11)


JMRT, Volume 5 No 2 Tahun 2022, Halaman: 57-63 dimana r menunjukan koefisien korelasi; n menunjukan jumlah data; ∑x menunjukan nilai hasil observasi; ∑y menunjukan nilai hasil model.

Interprestasi koefisien korelasi menurut Sugiyono (2008) dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Interprestasi Koefisien Korelasi

Interval Koefisien Korelasi

Tingkat Hubungan

0.00 – 0.19

Sangat rendah/lemah

0.20 – 0.39

Rendah/lemah

0.40 – 0.59

Sedang

0.60 – 0.79

Kuat

0.80 – 1.00

Sangat Kuat

  • 2.    Root Mean Square Error (RMSE)

Root Mean Square Error (RMSE) menunjukan seberapa besar kesalahan atau error hasil simulasi model. Jika nilai error semakin kecil (mendekati 0), maka hasil simulasi model akan semakin akurat. Dalam perhitungannya (Persamaan 12) menggunakan persamaan dari Soliwoda (2014).

RMSE = i~l^insitu'i  -modal,i}

(12)

dimana X_insitu adalah nilai hasil observasi; X_model adalah nilai hasil model; n adalah umlah data

  • 3.    Analisis Gradien Konsentrasi Suhu

Gradien didefinisikan sebagai nilai yang menyatakan

. .                                       .                  __ Ay

kemiringan suatu persamaan garis lurus (         ). Dalam

bidang oseanografi, analisis ini digunakan untuk mengetahui gradien dari tekanan, temperature, dan konsentrasi gas terlarut pada persamaan Hukum Fick (Tanaka et al., 1999; Millero, 2013). Untuk mengetahui gradien kecepatan perubahan konsentrasi suhu terhadap bertambahnya kedalaman digunakan persamaan 13 berikut:

ΔT

mT = ~T

(13)

dimana mT adalah gradien konsentrasi suhu (°C/m); ∆T adalah perubahan konsentrasi suhu (°C); ∆h adalah perubahan kedalaman (m).

  • 4.    Hasil dan Pembahasan

    • 4.1    Validasi

      • 4.1.1    Pasang Surut

Hasil validasi pasang surut antara data simulasi model dengan data prediksi (Gambar 3), secara umum memiliki pola yang serupa atau saling berimpit dengan nilai korelasi sebesar 0,97 dan nilai bias error sebesar 0,08 m. Berdasarkan tabel interprestasi koefisien korelasi dari Sugiyono (2008), menunjukan pola pasang surut yang berbanding lurus dan memiliki hubungan yang sangat kuat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa elevasi pasang surut dari hasil simulasi model di Perairan Amed dapat merepresentasikan kondisi atau keadaan yang sebenarnya.

Gambar 3. Validasi Pasang surut


4.1.2 Suhu


JMRT, Volume 5 No 2 Tahun 2022, Halaman: 57-63 sebesar 2.01 oC. Rata-rata perbedaan suhu yang terjadi antara data hasil simulasi model dengan data observasi pada kedalaman 60 m yaitu sebesar 1,57 oC (6,2 %), sedangkan pada kedalaman 65 m memiliki perbedaan suhu sebesar 2,01 oC (7,9 %).

Grafik fluktuasi suhu yang terjadi dikedalaman 60 m dan 65 m memiliki pola yang serupa dengan suhu maksimum terjadi pada bulan Agustus. Suhu maksimum yang terjadi pada bulan Agustus diduga karena adanya Upwelling di Perairan Amed, Bali. Berdasarkan pernyataan Wudianto (2001) pada musim timur (Juni, Juli, dan Agustus) telah terjadi proses penaikan massa air di sepanjang pantai selatan Jawa, Bali sampai Sumbawa. Secara lebih detail Kunarso et al. (2012) menyebutklan bahwa di Perairan Selatan Jawa hingga Pulau Timor terbentuk lapisan termoklin (tempat terjadinya upwelling) yang terjadi pada musim timur hingga musim peralihan II dengan batas atas termoklin terdapat pada kedalaman 63,22 m – 69,03 m.

  • 1.    Suhu Kedalaman 30m

Grafik temporal pada kedalaman 30 m (Gambar 4) menunjukan adanya fluktuasi suhu yang terjadi antara data simulasi model dengan data observasi, selain itu kedua data tersebut memiliki kemiripan. Hasil validasi menunjukan nilai korelasi sebesar 0,8 atau menunjukan hubungan yang sangat kuat, dengan nilai bias error sebesar 0,73 oC. Hasil simulasi model menunjukan bahwa suhu maksimum terjadi pada bulan Mei yaitu sebesar 28,06 oC dan suhu minimum terjadi pada bulan September yaitu sebesar 26,74 oC. Sedangkan dari hasil data observasi menunjukan bahwa suhu maksimum terjadi pada bulan April yaitu sebesar 28,92 oC dan suhu minimum terjadi pada bulan September yaitu sebesar 26,86 oC. Rata-rata perbedaan suhu yang terjadi antara data hasil simulasi model dengan data observasi yaitu sebesar 0,54 oC (1,9 %). Perbedaan suhu yang terjadi dikedua data diduga karena adanya keterbatasan inputan model, dimana pada simulasi ini membatasi data inputan yang digunakan dan mengabaikan beberapa faktor lain yang mempengaruhi persebaran suhu di perairan seperti intensitas cahaya matahari, curah hujan, penguapan dan kelembapan. Pada penelitian ini suhu dibangkitkan oleh angin dan pergerakan arus pasang surut, dengan demikian perubahan suhu yang terjadi pada kedalaman ini sangat dipengaruhi oleh pergerakan angin yang terdapat pada permukaan laut (Bernawis, 2000). Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Yuhendrasmiko et al. (2016) menunjukan bahwa suhu di bagian utara Perairan Lombok lebih tinggi dibandingkan bagian selatan terutama pada musim timur dengan puncak pada bulan Juni – September.

• Model B Observasi


Gambar 5. Grafik validasi validasi suhu pada kedalaman 60m

^^ Model ■ ♦ —Observasi


Gambar 6. Grafik validasi validasi suhu pada kedalaman 65m


> Model ∙ ∙Observasi

Gambar 4. Grafik validasi suhu pada kedalaman 30m

  • 2.    Suhu Kedalaman 60m dan 65m

Grafik temporal suhu pada kedalaman 60 m (Gambar 5) dan 65 m (Gambar 6) memiliki pola yang serupa. Suhu dikedalaman 60 m memiliki hubungan yang sangat kuat yaitu dengan nilai koefisien korelasi 0,94 dan nilai bias error 1,54 oC. Sedangkan pada kedalaman 65 m memiliki hubungan yang sangat kuat dengan nilai koefisien korelasi 0,99 dengan nilai bias error

  • 4.2    Pergerakan Arus

Simulasi model untuk mengetahui pola pergerakan arus dilakukan pada bulan Januari – Desember 2019. Data yang digunakan berasal dari Tide Model Driver (TMD) – TPXO 8 dengan komponen S2, M2, N2, K2, K1, P1, O1 dan Q1. Simulasi hidrodinamika dilakukan untuk mengetahui pola pergerakan arus pada perairan Amed Bali yang diakibatkan oleh elevasi pasang surut di batas terbuka (open boundary) dan pergerakan angin yang terdapat permukaan perairan (Gambar 7).

Pada Musim Barat (Desember, Januari dan Februari), pergerakan arus dominan bergerak dari arah barat laut (Laut Jawa) kearah tenggara menuju Selat Lombok mengikuti arah pergerakan angin muson barat. Hasil model menunjukan bahwa kecepatan arus pada periode ini yaitu 0,02 – 0,15 m/s. Pada Musim Barat suhu perairan di Indonesia relatif lebih hangat, hal ini dikarenakan arus yang berasal dari Laut Cina Selatan membawa massa air yang relatif hangat (Qu dan Lukas 2003; Qu et al., 2004). Musim Peralihan I (Maret, April, Mei) pergerakan arus dari Laut Jawa mengalami pelemahan yang disebabkan karena adanya pergantian Musim Barat ke Musim Timur (Wyrtki,

  • 1961) . Hasil model menunjukan bahwa pada bulan April terjadi perbalikan arah arus dengan puncak perubahan terjadi pada bulan Mei dengan kecepatan 0,02 – 0,2 m/s.

Pada Musim Timur (Juni, Juli, Agustus) pergerakan arus dominan bergerak dari arah tenggara menuju ke arah barat laut. Hasil simulasi model menunjukan bahwa pada musim timur kecepatan arus menjadi lebih kuat dan intensif, hal tersebut dikarenakan posisi Perairan Amed yang dekat dengan Selat Lombok (Gambar 1). Menurut Atmadipoera dan Parahita (2017), pada musim timur arus yang bergerak di Perairan Bali termasuk Perairan Amed berasal dari Arlindo sehingga memiliki kekuatan yang intensif besar. Pada musim peralihan II (September, Oktober dan November) hasil simulasi model diketahui bahwa puncak perubahan terjadi bulan November. Pada bulan tersebut, arus telah berbalik ke Musim Barat dan memiliki kecepatan arus yang lemah yaitu 0,02 – 0,12 m/s. Dengan demikian dapat membuktikan bahwa hasil simulasi model pergerakan arus di Perairan Amed dipengaruhi atau dibangkitkan oleh pergerakan angin muson yang terdapat di permukaan laut. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Dida et al. (2016) dimana pergerakan arus di permukaan perairan terjadi akibat adanya pengaruh angin muson yang melintasi perairan Indonesia disepanjang tahun. Bernawis (2000) menyebutkan bahwa faktor pembangkit arus yang ada di permukaan dikarenakan adanya angin yang bergerak diatasnya, angin akan memberikan pengaruh sebanyak 2 % dari jumlah total kecepatan angin yang ada di permukaan laut.

Gambar 7. Sebaran spasial pola pergerakan arus

  • 4.3    Suhu Permukaan Laut (SPL)

Simulasi hasil model untuk mengetahui sebaran spasial suhu permukaan laut (SPL) di perairan Amed Bali dianalisis berdasarkan data rata-rata bulanan. Simulasi model SPL

JMRT, Volume 5 No 2 Tahun 2022, Halaman: 57-63 dilakukan selama 12 bulan (Januari - Desember 2019). Berdasarkan hasil simulasi sebaran SPL mengikuti pola arus dan variasi musiman yang terjadi di Perairan Amed Bali, sebaran spasial SPL di Perairan Amed Bali dapat dilihat pada Gambar 11. Emiyanti et al. (2014) memperkuat pernyataan bahwa angin dan perubahan musim akan mempengaruhi tinggi dan rendahnya sebaran SPL, jika mengkaitkannya dengan pergerakan arah dan kecepatan angin.

115.6   115.7  115.6   115.7

Gambar 8. Sebaran spasial suhu permukaan laut (SPL)

Hasil simulasi model SPL pada Musim Barat (Desember, Januari dan Februari) menunjukan sebaran dari arah barat laut ke arah tenggara mengikuti arah pergerakan angin dan arus. Pada Musim Barat, suhu pada domain model relatif lebih hangat dikarenakan adanya massa air relatif lebih hangat dari Laut Cina (Qu dan Lukas, 2003; Qu et al., 2004). Musim Peralihan I (Maret, April dan Mei) merupakan musim dimana angin dari musim barat melemah dan digantikan dengan angin dari musim timur. Pada musim ini distribusi suhu mengalami perubahan mengikuti pola angin dan arus. Pada bulan April suhu permukaan di daerah domain model tersebar lebih merata, hal tersebut dikarenakan terjadinya pergantian arah angin yang menyebakan arus dari arah barat laut melemah sehingga massa air hangat dari Laut Jawa berkumpul pada daerah domain model. Sedangkan pada bulan Mei menunjukan pergerakan sebaran SPL menuju ke arah barat laut yang mengartikan bahwa pada bulan tersebut pergerakan angin berasal dari musim timur.

Pada musim timur (Juni, Juli, Agustus) distribusi SPL di domain model berkisar 28,74 – 30,46 °C. Atmadipoera dan Paradita (2017) menyebutkan bahwa di tengah Laut Bali terdapat pusaran arus berlawanan arah jarum jam (anti-cyclonic eddy) pada Musim Timur – Musim Peralihan II, sehingga inti dari

cincin suhu lebih hangat dibandingkan dengan suhu disekitarnya. Suhu yang hangat pada daerah tersebut diduga juga terdistribusi hingga ke daerah domain model. Pada Musim Peralihan II (September, Oktober dan November), suhu yang terdapat pada daerah domain model yaitu berkisar antara 29,05–30,75 °C. Pada bulan September dan Oktober distribusi suhu masih didominasi dari musim timur, sedangkan pada bulan November angin dari musim timur mulai melemah dan arus mengalami pembalikan arah yang massa air berkumpul sehingga menyebabkan distribusi menyebar lebih merata. Berdasarkan hasil simulasi model SPL diketahui bahwa suhu di perairan dangkal atau daerah pesisir lebih hangat dibandingkan dengan suhu di perairan dalam atau lepas pantai. Pada perairan dangkal intensitas cahaya matahari akan lebih mudah mencapai dasar perairan dibandingkan perairan yang lebih dalam (Sidabutar et al., 2019). Dengan demikian, energi matahari yang diterima perairan dangkal akan lebih efektif dalam meningkatkan suhu air laut. Selain intensitas matahari, adanya pengaruh dari pemanasan daratan juga dapat meningkatkan suhu air pada pantai (Maharani et al., 2014).

  • 4.4    Profil Vertikal Suhu pada Titik Penelitian

Data simulasi model selama 12 bulan (Januari – Desember 2019) dianalisis secara vertikal, dengan tujuan untuk mengetahui perubahan atau penenurunan suhu yang terjadi pada setiap kedalaman. Profil vertikal dan gradien suhu rata-rata selama 12 bulan disajikan dalam Gambar 12. Profil vertikal dianalisis dengan melakukan uji regresi sederhana yang dilakukan pada setiap kedalaman. Berdasarkan grafik profil vertikal suhu pada kedalaman 30 m, 60 m, dan 65 m menunjukan hubungan yang berbanding terbalik (negatif). Pada kedalaman 30 m memiliki persamaan regresi y = -0,1023 x + 30,461 dengan nilai koefisien determinasi sebesar 0,9819, sedangkan nilai gradien suhu berkisar 0,08 – 0,28oC/m. Pada kedalaman 60 m memiliki persamaan regresi y = -0,1095 x + 30,549 dengan nilai koefisien determinasi 0,9946, sedangkan nilai gradien suhunya berkisar dari 0,09 – 0,32 oC/m. Pada kedalaman 65 m memiliki persamaan regresi y = -0,1081 x + 30,539 dengan nilai koefisien determinasi 0,9962, sedangkan nilai gradiennya berkisar dari 0,07 – 0,31 oC/m.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Harvianto et al., (2015) di bagian utara Perairan Selat Lombok lapisan termoklin ditemukan pada kedalaman 53 - 133 m dengan gradien penurunan suhu sebesar 0,1166 oC/m, sedangkan lapisan termoklin di Selat Lombok terletak pada kedalaman 60 – 163 m dengan gradien penurunan suhu sebesar 0,10 oC/m. Berdasarkan grafik gradien suhu pada kedalaman 30 m tidak menunjukan adanya lapisan termoklin yang terbentuk, sedangkan pada kedalaman 60 m dan 65 m terlihat adanya lapisan termoklin yang terbentuk. Pada grafik gradien kedalaman 60 m lapisan awal termoklin terlihat pada kedalaman 33 m dengan gradien penurunan suhu sebesar 0,1 oC/m, sedangkan pada grafik gradien kedalaman 65 m lapisan awal termoklin terbentuk pada kedalaman 34 m dengan gradien penurunan suhu 0,1 oC/m. Menurut Tomzack (2000) faktor yang mempengaruhi perubahan letak kedalaman dari lapisan termoklin yaitu arus, upwelling dan downwelling, material padatan tersuspensi, posisi lintang, curah hujan dan variabilitas iklim global (El Nino dan La Nina). Kunarso et al. (2012) menyebutkan bahwa batas atas termoklin di Perairan Selatan Jawa hingga Pulau Timor pada musim timur hingga musim peralihan II terdapat pada kedalaman 63,22 – 69,03 m. Sedangkan pada musim barat hingga peralihan I terdapat pada kedalaman 38,68 – 51,33 m. Kondisi tersebut berkaitan erat dengan angin, dimana pada musim timur hingga peralihan II angin di wilayah perairan selatan Jawa hingga Timor dilewati angin tenggara yang intensif dan menguat pada musim timur dengan puncak pada bulan Juli atau Agustus. Semakin kuat kecepatan angin maka lapisan batas atas termoklin

JMRT, Volume 5 No 2 Tahun 2022, Halaman: 57-63 yang terbentuk akan semakin dalam. Hal tersebut menunjukan bahwa semakin kuat kecepatan angin maka akan semakin dalam batas atas termoklin yang terbentuk. Kecepatan angin yang menguat akan memicu menguatnya arus dan gelombang, sehingga menyebabkan proses pencampuran (mixing) menjadi semakin kuat. Dengan demikian akan menyebabkan semakin dalam lapisan mixing dan lapisan termoklin akan semakin turun.

a                   b                   c

Gambar 9. Profil vertical suhu (a) kedalaman 30 m; (b) kedalaman 60 m; (c) kedalaman 65 m

a                   b                   c

Gambar 10. Profil vertical suhu (a) kedalaman 30 m; (b) kedalaman 60 m; (c) kedalaman 65 m

  • 5.    Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis spasial pola pergerakan arus dan sebaran suhu permukaan laut (SPL) yang terjadi pada bulan Januari – Desember 2019 mengikuti varian musiman angin yang terjadi di wilayah Indonesia. Hasil validasi suhu secara temporal menunjukan pola yang serupa antara data hasil simulasi model dengan data lapangan dengan nilai koefisien korelasi 0,8 pada kedalaman 30 m, koefisien korelasi 0,94 untuk kedalaman 60 m dan koefisien korelasi 0,99 untuk kedalaman 65 m. Pada hasil validasi suhu menunjukan adanya perbedaan tinggi nilai suhu yang dikarena adanya keterbatasan inputan data yang digunakan. Hasil analisis gradien suhu menunjukan bahwa pada data kedalaman 30 m tidak menunjukan adanya lapisan termoklin, sedangkan pada data kedalaman 60 dan 65 terbentuk pada kedalaman 33 m dan 34 m dengan gradien penurunan suhu 0,1 oC/m.

Ucapan Terima Kasih

Selama penelitian berlangsung penulis mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak terkait. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan serta dukungan hingga tercapainya penelitian ini.

Daftar Pustaka

Abida RF, Pranowo WS, Pratomo Y, Kisnarti EA. 2015. Identifikasi Komponen Harmonik di Selat Lombok Berdasarkan Data Arus Time Series. Jurnal Depik Vol. 4 (1): 24-32.

Atmadipoera AS dan Paradita Hasanah. 2017. Karakteristik Dan Variabilitas Arlindo Flores Dan Koherensinya Dengan Arus Pantai Selatan Jawa. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis Vol. 9 No. 2.

Bernawis LI. 2000. Temperature and Pressure Responses on El-Nino 1997 and La-Nina 1998 in Lombok Strait. Proc. The JSPS-DGHE International Symposium on Fisheries Science in Tropical Area.

Dida HP, Sudjito Suparman, Denny Widhiyanuriyaman. 2016. Pemetaan Potensi Energi Angin di Perairan Indonesia Berdasarkan Data Satelit QuikScat dan WindSat. Jounal Rekayasa Mesin Vol.7 (2): 2477-6041.

Gordon, A.L. and R.D. Susanto. 2003.Throughflow whitin Makassar Strait. Geophys. Res. Lett., 26:3325-3328.

Harvianto L, Parenkuan M, Koropitan AF, Agustiadi T. 2015. Analisis diagram T-S berdasarkan parameter oseanografi di perairan Selat Lombok. Journal of Technology Vol. 1 (1): 101-117.

Keputusan Gubernur Bali Nomor 375/03-L/HK/2017 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Kabupaten Karangasem Provinsi Bali tanggal    19    Januari    2017.    http://nyegaragunung.net/wp-

content/uploads/2018/12/SK-Pencadangan-Kawasan-Konservasi-Perairan-Kab.-Karangasem-2017.pdf. Diakses tanggal 09 September 2021.

Kunarso, Safwa H, Nining SN, Mulyono SB. 2012. Perubahan Kedalaman dan Ketebalan Termoklin pada Variasi Kejadian ENSO, IOD dan Monsun di Perairan Selatan Jawa hingga Pulau Timor. Indonesia Journal of Marine Sciences Vol 17 (2): 87-98.

Millero FJ. 2013. Chemical Oceanography (4th ed). U.S.: CRC Press, Taylor & Francis Group. 547 pp.

RPIJM Bidang Cipta Karya Kabupaten Karangasem 2018-2022. https://sippa.ciptakarya.pu.go.id/sippa_online/ws_file/dokumen/rpi2jm/ DOCRPIJM_1536545882BAB_II_2017_.pdf. Diakses pada tanggal 09 September 2021.

JMRT, Volume 5 No 2 Tahun 2022, Halaman: 57-63 Pratama IGD, IG. Hendrawan, IWGA. Karang, Alexis C. 2019. Karakteristik Vertikal Salinitas dan TDS di Perairan Amed dan Tulamben, Karangasem, Bali. Journal Marine Research and Technology Vol. 3:1.

Qu, T. and R. Lukas. 2003. On the bifurcation of the North Equatorial Current in Pacific. J. Phys. Oceanogr., 33:5-18.

Qu, T., Y.Y. Kim, M. Yaremchuk, T. Tozuka, A. Ishida, and T. Yamagata. 2004. Can Luzon Strait transport play role in conveying the impact of ENSO to the South Cina Sea. J. Clim., 17:3644-3657.

Sprintall, J., A.L. Gordon, R. Martugudde, and R.D. Susanto. 2000. A semiannual Indian Ocean forced Kelvin wave observed in the Indonesian Seas in May 1997. Geophys Res Lett., 105:17217-17230.

Sprintall, J., S.E. Wijffels, R. Molcard, and I. Jaya. 2009. Direct estimation of the Indonesian Throughflow entering the Indian Ocean: 2004-2006. J. Geophys. Res., 114:1-9.

Soliwoda, J., 2014. Methods of Vessel Casualty Process Assessment.

TransNav: International Journal on Marine Navigation and Safety of Sea Transportation, Vol.8.

Subandriyo, Budi. 2020. Bahan Ajar: Analisis Kolerasi dan Regresi. https://pusdiklat.bps.go.id/diklat/bahan_diklat/BA_Analisis%20Korelas i%20dan%20Regresi_Budi%20Soebandriyo,%20SST,%20M.%20Stat_ 2123.pdf. Diakses tanggal 27 November 2021.

Sudjana, 1992. Metode Statistika. Edisi ke 5. Bandung: Penerbit Tarsito

Sugiono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2008. Statistika untuk PenelitianF. Bandung: Alfabeta.

Tanaka A, Okubo Y, Matsubayashi O. 1999. Curie Point Depth Based on Spectrum Analysis of The Magnetic Anomaly Data in East and Southeast Asia. Tectonophysics Vol. 306: 461-470.

Wyrtki, K. 1961. Physical oceanography of the Southeast Asian Water. Naga Report., 2(1):1-195.

Wudianto. 2001. [Disertasi] Analisis Sebaran dan Kelimpahan Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Perairan Selat Bali: Kaitannya Dengan Optimasi Penangkapan. Bogor. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

63