JMRT, Volume 4 No 1 Tahun 2021, Halaman: 56-71

JMHT


JOURNAL OF MARINE RESEARCH AND TECHNOLOGY

journal homepage: https://ojs.unud.ac.id/index.php/JMRT

ISSN: 2621-0096 (electronic); 2621-0088 (print)


ANALISIS POLA SEBARAN AREA UPWELLING di SELATAN INDONESIA

MENGGUNAKAN CITRA MODIS LEVEL 2


I Gede Mita Anjas Swaraa, I Wayan Gede Astawa Karanga*, Gede Surya Indrawana

aProgram Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Bali, Indonesia

* Corresponding author email: gedekarang@unud.ac.id


ARTICLE INFO


ABSTRACT


Article history:

Received: May 21th 2020

Received in revised form: July 29th 2020

Accepted: Desember 1th 2020

Available online: February 28th 2021


Keywords: Upwelling SST Chlorofil-a ENSO


This research aimed to find out the pattern of spasio-temporal upwelling and its relation with El Nino Southern Oscillation (ENSO) in the southern waters of Java to the East Nusa Tenggara. Two indicators namely sea surface temperature (SST) and chlorofil-a data obtained from oceancolor database were used as an indicator of upwelling occurences. The overlay technique and correlation analyses were used to describe the relationship between upwelling and ENSO. The results showed the phenomenon of upwelling occurred along southern Java and East Nusa Tenggara. The appearance of upwelling occurred in the South Easth Monsoon until transition season which began in June and ended in November. The pattern of upwelling area for 17 years varies each season, where for the South Easth Monsoon in June it gained 6986 km2, in July 78294 km2, and in August 254212 km2. As for transition season II in September 166767 km2, in October 72033 km2, and November 1949 km2. The results also showed that upwelling intensity was influenced by ENSO indicated by correlation values that matched the correlation value between SST - ENSO was -0.78 and chlorophyll-a-ENSO was 0.98.


2021 JMRT. All rights reserved.


plankton yang tinggi menyebabkan ikan-ikan kecil berkumpul sebagai makanan ikan tuna (Kunarso et al., 2005).

Wilayah yang memiliki potensi upwelling yang tinggi adalah perairan Selatan Indonesia yang meliputi Selatan Pulau Jawa - Nusa Tenggara Timur (NTT) (Amri et al., 2013). Menurut keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomer 68/KEPMEN-KP/21016 tentang Wilayah Pengolahan Perikanan (WPP), perairan selatan Jawa - NTT termasuk ke dalam Wilayah Pengolahan Perikanan 573 (WPP-RI 573) yang memiliki potensi sumberdaya ikan tinggi. Ada beberapa faktor yang diketahui mempengaruhi kondisi oseanografi perairan Selatan Indonesia, diantaranya adalah posisi perairan Selatan Indonesia yang dilalui oleh Indonesian Throughflow (ITF), kalvin wave, Madden Julian Oscillation MJO, Arus Katulistiwa Selatan (AKS) dan Arus Pantai Selatan Jawa (APJ) (Purba, 2007; Soenarmo, 2009). Kondisi tersebut menjadikan perairan Selatan Indonesia memiliki variabilitas SPL dan klorofil-a yang tingggi akibat perubahan fenomena oseanografi baik secara regional maupun global. Selain pengaruh langsung dari atmosfer dan Samudra Hindia, perairan Selatan Indonesia juga terdampak dengan adanya El Nino Southern Oscillation (ENSO) di Samudra Pasifik (Tubalawony dan Simon, 2008).

El Nino mengalami peningkatan volume massa air saat terjadinya sirkulasi arus ITF sehingga mempengaruhi temperatur di Samudra Hindia khususnya di Selatan Jawa-NTT, sebaliknya pada periode La Nina volume massa air mengalami penurunan (Susanto et al., 2001). Upwelling di Selatan Jawa Timur relatif stabil sepanjang tahun karena

adanya suplai massa air dari Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia melalui Selat Lombok, Selat Ombai dan celah Timor, namun di sepanjang Selatan Jawa - NTT mengalami variabilitas musiman seiring dengan kecepatan dan arah angin (Kuswardani dan Qiao, 2014; Herlina et al., 2016; Tubalawony dan Simon, 2008).

Parameter yang digunakan untuk mengukur adanya upwelling yaitu SPL dan klorofil-a. Menurut Kunarso et al., (2011), wilayah upwelling dapat ditentukan dengan indikator suhu <27 oC dan klorofil-a >0,4 mg/m3, untuk mencari sebaran SPL dan klorofil-a dapat dilakukan melalui pendekatan penginderaan jauh (remote sensing). Salah satu citra yang dapat digunakan dalam melakukan pengamatan fenomena laut adalah Citra MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectoradiomete) dari satelit Aqua/Terra. Satelit ini mempunyai band thermal dan memiliki resolusi temporal yang tinggi, sehingga perubahan upwelling dapat diamati secara berkesinambungan. Penelitian terkait dengan upwelling dan kaitannya dengan variabilitas ENSO telah banyak dilakukan (Yoga et al., 2014; Kurnaso et al., 2011; Wardani et al., 2014; Herlina et al., 2016; dan Bambang et al., 2018). Menurut Kunarso et al., (2011) saat periode upwelling variabilitas ENSO berpengaruh terhadap SPL dan klorofil-a di Selatan Jawa-NTT. Susanto (2001a, 2001b) serta Susanto dan Marra (2003) mengatakan fenomena ENSO 1997/1998 berpengaruh terahdap tingginya nilai klorofil-a di sepanjang perairan selatan Jawa dan Sumatera. Namun penelitian yang sudah dilakukan sebagian besar pada jangka waktu yang relatif pendek dan resolusi spasial yang rendah (MODIS level 3). Mengingat pentingnya upwelling dan ketersediaan data satelit yang semakin baik maka diperlukan penelitian dengan periode yang lebih panjang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola dan sebaran upwelling di sepanjang Selatan Jawa - NTT, serta menganalisis hubungannya dengan ENSO.

  • 2.    Metode Penelitian

    • 2.1    Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di sepanjang perairan selatan Indonesia dengan batasan area dari Selatan Jawa - NTT pada koordinat 1050 - 1240 Bujur Timur, 120 - 80 Lintang Selatan (Gambar 1). Kegiatan pengolahan data dilakukan di Laboratorium GIS dan Remote Sensing, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana.

Gambar 1. Peta daerah penelitian: Perairan Selatan Pulau Jawa – NTT (dibatasi oleh garis polygon).

tahun). Data SPL dan klorofil-a diperoleh dari https://oceancolor.gsfc.nasa.gov/, sedangkan untuk kondisi anomali SPL direpresentasikan dengan indeks ENSO yang di peroleh dari http://ww.cpc.neep.noaaa.gov. Variabilitas SPL, klorofil-a dan upwelling secara spasio-temporal didapatkan dengan tiga tahapan pengolahan (Gambar 2), yaitu 1) pra-pengolahan citra satelit, 2) pengolahan citra satelit, 3) analisis data citra satelit.

Gambar 2. Diagram Alur Pengolahan Data

  • 2.3    Pra Pengolahan

Pada tahap pra pengolahan citra ini meliputi ekstraksi data dan pemotongan citra (subset). Rincian dari tahap tersebut adalah sebagai berikut:

  • 2.2    Metode Penelitian

Data yang digunakan adalah data SPL dan klorofil-a dari satelit MODIS level-2 dengan resolusi temporal harian dan resolusi spasial 1 km untuk periode tahun 2002 – 2018 (17

  • 2.3.1    Esktraksi Data

Proses ekstraksi data dilakukan dengan software Seadas, dimana dua hal yang dilakukan dalam ekstraksi, yaitu reproject dan mosaic data. Reproject dilakukan, karena citra Aqua Modis level 2 merupakan data harian yang belum terkoreksi

secara geometric dan masih mengandung nilai Nan (data kosong). Setelah melakukan reproject, data harian yang mencakup lokasi penelitian terdiri dari 4-5sind data dimosaic guna memperoleh satu luasan data harian.

  • 2.3.2    Pemotongan Citra (Subset)

Pemotongan citra dilakukan guna memperoleh area yang akan diamati dan mempermudah penganalisaan citra. Proses pemotongan citra pada penelitian ini menggunakan tool Clip Grids (Interactive) yang terdapat pada software SAGA GIS.

  • 2.4    Pengolahan Citra

Tahap pengolahan citra terdiri dari average data dan analisis data. Rincian dari tahap tersebut adalah sebagai berikut:

  • 2.4.1    Average Data

Data bulanan adalah rerata dari 30 data harian. Data musiman merupakan rerata tiga bulanan untuk musim barat (Desember-Januari-Februari)/DJF, musim timur (Juni-Juli-Agustus)/JJA, musim peralihan I (Maret-April-Mei)/MAM, dan musim peralihan II (September-Oktober-November)/SON. Data tahunan adalah data rerat bulan yang sama selama 17 tahun.

  • 2.5    Analisis Data

Penentuan upwelling diawali dengan menyusun peta SPL dan klorofil-a mengikuti metode Kunarso et al., 2011, yaitu dengan kriteria area dengan nilai SPL <27 oC dan klorofil-a >0,4 mg/m3. Hasil berupa area yang didapat diubah ke bentuk vektor untuk mendapatkan nilai luasannya. Setelah itu luasan yang didapat diubah dalam bentuk m2 yang selanjutknya dikonversi menjadi km2. Anomali SPL bulanan dihitung berdasarkan hasil pengurangan antara nilai rata-rata bulanan SPL aktual dengan nilai SPL rata-rata klimatologi selama periode penelitian (Wilby et al., 2004) seperti persamaan 1.

Anomali SPL = SPLa – SPLm

(1)


Keterangan

Anomali SPL


SPLa


SPLm


: nilai anomali SPL pada tempat yang bersangkutan

: nilai rata-rata b\ulanan SPL aktual (oC)

: nilai SPL rata-rata klimatologi (dari series data pada penelitian ini digunakan periode 2002-2018).

Jika nilai SPL aktual lebih tinggi dibanding nilai rata-rata klimatologi, maka nilai anomali SPL akan positif. Demikian sebaliknya, jika nilai SPL aktual lebih rendah dibandingkan nilai rata-rata klimatologinya maka nilai anomali SPL akan negatif.

Hubungan antara SPL, klorofil-a dan luasan upwelling dengan ENSO dihitung menggunakan teknik persamaan Pearson Correlation (Pearson, 1895) (Persamaan 2).

n∑xy — ∑x ∑y

(2)


Interpretasi kekuatan hubungan antara dua variabel terbagi ke dalam beberapa kriteria berdasarkan nilai koefisien korelasinya pada (Tabel 1).

Tabel 1. Nilai kekuatan hubungan hasil koefisien korelasi Pearson Correlation (Sugiyono, 2003).

Koefisien Korelasi

Interpretasi Hubungan

0

Tidak ada korelasi

0.00-0.25

Korelasi sangat lemah

0.25-0.50

Korelasi cukup

0.50-0.75

Korelasi kuat

0.75-0.99

Korelasi sangat kuat

1

Korelasi sempurna

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pola Sebaran Spasio-Temporal SPL Rerata Bulanan

Pola sebaran SPL bulanan menunjukkan adanya variasi SPL secara Spasio-Temporal dengan kisaran SPL 24,9-30,3 oC (Gambar 3). Pada Bulan Januari-Februari pola sebaran SPL yang lebih tinggi berada di bagian timur dan SPL yang rendah berada di bagian barat. Sedangkan pada Bulan Maret-Mei SPL yang tinggi merata di seluruh perairan Selatan Jawa-NTT. Sebaran SPL pada Bulan Januari-Mei relatif tinggi dengan kisaran 28,5-29,1 oC. SPL yang tinggi diduga terjadi karena kecepatan angin rendah dapat menyebabkan massa air di permukaan sulit untuk berpindah dan massa air dengan suhu yang lebih rendah tidak dapat naik ke permukaan (Putra et al., 2014). Angin yang lemah menyebabkan perairan menjadi tenang dan proses pemanasan menjadi lebih kuat (Nontji, 1993).

Memasuki awal Bulan Juni terjadinya perpindahan SPL, dimana SPL yang tinggi berada di bagian barat, sedangkan SPL yang rendah berada di bagian timur. SPL yang tinggi pada Bulan Juli-Oktober mulai merata lagi di perairan Selatan Jawa-NTT (Gambar 3). SPL pada Bulan Juni-Oktober terjadi penurunan dengan kisaran SPL 25,8-27,5 oC. Penurunan SPL ini terjadi karena massa air di sepanjang Selatan Jawa-NTT bergerak menjauhi pantai sehingga SPL menjadi lebih dingin akibat adanya transport Ekman (Hestiningsih et al., 2017). Pada Bulan November-Desember dengan rata-rata SPL 28 oC, dimana SPL yang tinggi kembali terjadi di bagian timur, sedangkan SPL yang rendah berada di bagian barat (Gambar 3).

Sebaran SPL pada Bulan Januari sampai Desember yang dimulai dari selatan NTT yang kemudian meluas hingga selatan Jawa Barat terjadi penurunan SPL 5 0C(Gambar 3). Penurunan SPL ini diduga terjadi karena intensitas kecepatan angin monseun tenggara akan mengakibatkan meningkatnya intensitas upwelling, dimana meningkatnya intensitas upwelling akan meningkatkan aliran air dari lapisan bawah ke permukaan seiring bertambahnya bulan tersebut (Susanto et al., 2006). Penurunan SPL ini diduga juga disebabkan oleh menguatnya adveksi, proses adveksi ini merupakan proses transfer panas dari perairan ke atmosfer melalui media angin (Wyrtki, 1961).




Gambar 3. Pola Sebaran SPL Bulanan (oC) selama 17 tahun.



Secara umum SPL mengalami puncak suhu tertinggi pada Bulan Februari-April, kemudian mengalami penurunan dengan puncak suhu terendah pada Bulan Agustus-September dan kemudian naik lagi pada Bulan Oktober-Desember (Gambar 4A). Pada Bulan Juni-Agustus (musim timur) memiliki rata-rata berkisar 24oC-28 oC, kisaran suhu paling rendah yang mencapai hingga 24 oC tersebut ditemukan di bagian perairan Selatan Jawa Timur-NTT. Rendahnya nilai SPL ini jika dibandingkan dengan Bulan-Bulan sebelumnya menunjukkan adanya fenomena upwelling. Kekosongan massa air yang terjadi di pemukaan akan diisi oleh massa air dari lapisan bawah yang suhunya lebih dingin. Proses upwelling menyebabkan penurunan SPL selama musim timur dan peralihan II. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan Sulaiman et al., (2006), Kunarso et al., (2009) dan Kuswardani (2012), bahwa terjadinya upwelling di selatan Jawa Barat mulai terjadi pada Bulan Juni dan mencapai puncaknya pada Bulan Agustus. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis persentase tingkat penyebaran SPL pada tahun 2002-2018 yang dimulai pada Bulan Juni dengan rata-rata yaitu 27,5 oC dan mencapai puncaknya pada Bulan Agustus dengan rata-rata 25,7 oC (Gambar 4A). Pada Bulan Agustus di setiap tahunnya memperlihatkan fenomena penurunan SPL dengan tingkat nilai

yang rendah. SPL pada tahun 2016 secara umum memiliki variabilitas yang lebih tinggi dibandingkan SPL pada tahun sebelumnya. Hal ini mungkin dipengaruhi karena adanya El Nino yang mengalami penguatan pada tahun 2015 dan diikuti La Nina pada tahun 2016. El Nino tahun 2015 memiliki nilai indeks yang tinggi sepanjang tahun hingga mencapai 2,6 yang terjadi pada Bulan Desember 2015 dan mengalami penurun hingga Bulan Mei 2016, kemudian nilai indeks negatif menunjukan tanda terjadinya periode La Nina hingga mencapai angka -7 pada Bulan September-November 2016.

SPL musiman dimana nilai rata-rata tertinggi 29,73 oC terdapat pada musim peralihan I di tahun 2016 dan nilai rata-rata terendah 24,64 oC terdapat pada musim barat di tahun 2018. Terjadinya penurunan SPL pada setiap musim di perairan Indonesia, selama monseun timur (Juni-Oktober) ditentukan oleh Ekman upwelling di sepanjang perairan Selatan Jawa - NTT, upwelling tersebut menyebabkan SPL menjadi rendah (Wingkin et al., 2015). Turunnya nilai SPL itu membuktikan bahwa upwelling terjadi hanya pada Musim timur dan peralihan II dengan kisaran sebaran SPL 24,64-27,28 oC (Gambar 4B).


7 12 5 10 3 8  1  6 11 4 9 2 7 12 5 10 3 8  1  6 11 4 9 2 7 12 5 10 3 8  1  6 11 4 9 2 7 12 5 10

20022003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

30

29

28

U

27

cz>

26

B

25

24


2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018


Gambar 4. Nilai Rata-rata Konsentrasi SPL Tahun 2002-2018:

  • A.    Bulanan

  • B.    Musiman

    24



    2002-2018


Gambar 5. Nilai Rata-rata tahunan Konsentrasi SPL.

Sebaran SPL tahunan terlihat pada Bulan Januari SPL meningkat sampai puncaknya di Bulan April dengan nilai kisaran 28,75-29,12 oC. Penurunan nilai SPL mulai terjadi pada Bulan Mei dengan rata-rata 28,47 oC. SPL semakin menurun dari Bulan Juni dan yang paling terendah pada Bulan Agustus dengan nilai sekitar 27,51-25,77 oC. SPL rendah di selatan Jawa sampai NTT terjadi pada Bulan Agustus, merupakan dampak dari rendahnya SPL di Samudera Hindia. Kembalinya kenaikan SPL pada Bulan September-Desember dengan nilai sekitar 26,55-28,94 oC (Gambar 5). Menurut Hidayat et al., (2010), peningkatan dan penurunan SPL pada bagian selatan diakibatkan oleh angin monseun tenggara, dimana poros Arus Khatulistiwa Selatan (AKS) bergeser ke arah pantai Jawa-Sumbawa dan mengakibatkan penurunan SPL. Sedangkan pada saat monseun barat daya angin yang bertiup menyebabkan poros AKS bergeser ke selatan dan arus pantai Jawa mengalir ketimur membawa massa air yang lebih hangat (Wyrtki, 1961).

bergeraknya angin dari arah utara dan timur laut yang melewati Laut Halmahera menuju kearah selatan dan tenggara (Purwanti et al., 2017).

Sebaran SPL pada musim timur mulai terlihat merata dengan rata-rata SPL 26,6 oC (Gambar 6c). SPL pada musim timur lebih rendah dibandingkan dengan musim barat dan peralihan I. Hal ini diakibatkan pengaruh posisi semu matahari yang berada di belahan bumi utara, sehingga pemanasan yang lebih rendah terjadi di perairan Selatan Jawa-NTT dan sekitarnya (Hestiningsih et al., 2017).

Pada musim peralihan II sebaran SPL yang tinggi kembali ke perairan NTT dan SPL yang rendah berada di perairan selatan Jawa. SPL yang tinggi pada musim peralihan II sekitar 27,4 oC (Gambar 6d). Sebaran SPL di musim peralihan II menunjukan peningkatan SPL di bandingkan dengan musim timur, yang disebabkan oleh pergerakan semu matahari mulai menuju khatulistiwa dan bumi belahan selatan, sehingga mempengaruhi peningkatan SPL (Hestiningsih et al., 2017)

3.1.1 Pola Sebaran Rata-rata Musiman SPL Tahun 2002-2018

Pola sebaran SPL secara spasial di perairan selatan Jawa-NTT mengalami fluktuasi musiman. Diketahui pada saat musim timur, SPL relatif lebih rendah dibandingkan musim barat. Sebaran SPL yang tinggi pada musim barat dimulai dari perairan selatan NTT menuju kepraiaran selatan Jawa Barat. Pada Gambar 6(a) menunjukan rata-rata SPL pada musim barat (DJF) tahun 2002-2018 dengan rata-rata SPL 28,8 oC. Tinginya SPL pada musim barat terjadi karena kedudukan semu matahari berada di belahan bumi selatan sehingga panas yang diterima lebih besar dibandingkan pada musim timur (Hestiningsih et al., 2017). Seacara spasial terlihat semakin ke barat SPLnya semakin rendah. Hal ini disebabkan oleh angin munseon barat yang banyak membawa uap air lautan sehingga mengakibatkan tingginya curah hujan di perairan timur (Purwanti et al., 2017).

Sebaran SPL pada musim peralihan I menunjukan pola sebaran SPL yang tinggi mengarah ke perairan barat dengan rata-rata SPL 28,9 oC dari tahun 2002-2018 (Gambar 6b). SPL di Selatan Jawa-NTT pada musim ini relatif lebih tinggi di bandingkan pada musim barat. Hal ini disebabkan karena pergerakan semu matahari yang mulai menuju khatulistiwa dan belahan bumi utara sehingga pemanasan muka laut di belahan bumi selatan berkurang (Hestiningsih et al., 2017). Dimana


Gambar 6. Rata-rata SPLoC Tahun 2002-2018 musim:

a. barat (DJF)

b. peralihan I (MAM)

c. timur (JJA)

d. peralihan II (SON)


  • 3.2 Pola Pola Sebaran Spasio-Temporal Klorofil-a Rata-rata Bulanan

Terdapat variasi pola sebaran klorofil-a secara Spasio-Temporal dengan melihat tingkat konsentrasinya. Pada Bulan Januari-Februari terlihat bahwa tingkat konsentrasi klorofil-a di perairan Selatan Jawa-NTT berkisar 0,13-0,02 mg/m3 lebih rendah jika dibandingkan dengan bulan lainnya (Gambar 7). Pada periode Bulan Maret-Mei pola sebaran konsentrasi klorofil-a secara spasial berkisar 0,13-0,24 mg/m3 lebih tinggi dengan Bulan Januari-Februari (Gambar 7). Tingkat konsentrasi yang relatif tinggi ditemukan di daerah pesisir. Menurut Nontji, 2005, pada Bulan Januari-Mei merupakan musim angin yang membawa banyak hujan. Putra et al., 2014, juga mengatakan Hal ini diduga karena adanya pengaruh masukan nutrien dari daratan yang disebabkan oleh tingkat curah hujan yang relatif tinggi pada Bulan ini sehingga memberikan kontribusi peningkatan konsentrasi klorofil-a di wilayah pesisir.

Konsentrasi klorofil-a pada Bulan Juni memiliki pola sebaran yang tinggi dan masih berada di sekitar pesisir khususnya bagian selatan Jawa-NTT, sedangkan pada Bulan Juli-Agustus pola penyebaran mulai meluas ke arah barat Selatan NTT menuju Selatan Jawa. Konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi mulai terlihat pada Bulan Juli dan maksimum di Bulan Agustus berkisar 0,22-0,55 mg/m3 (Gambar 7). Konsentrasi klorofil-a yang tinggi pada Musim Timur diawali dengan menurunnya SPL di selatan Jawa-NTT menunjukkan terjadinya upwelling, hal ini sesuai dengan Kunarso et al., 2011 dan Susanto et al., 2001 yang menjelaskan bahwa pada perairan selatan Jawa sampai NTT upwelling terjadi pada Bulan Juni-Agustus (musim timur).

Konsentrasi klorofil-a pada Bulan September sekitar 0,11 mg/m3, pada Bulan November konsentrasi klorofil-a yang mulai menurun sekitar 0,02 mg/m3. Peningkatan konsentrasi klorofil-a kembali terlihat pada Bulan Desember yaitu 0,14

mg/m3 (Gambar 7). Tingkat konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi pada Bulan Juni-Desember disebabkan oleh meningkatnya unsur hara di bagian permukaan yang terbawa oleh fenomena upwelling dari lapisan dalam. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wei et al. (2012) menjelaskan bahwa kandungan zat hara (fosfat, nitrat, dan klorofil-a) yang tinggi di lapisan permukaan selatan Jawa-NTT yang diakibatkan oleh upwelling masih terlihat hingga Bulan November akhir.

Sebaran klorofil-a mulai meningkat dengan kisaran 0,010,75 mg/m3 relatif tersebar secara merata di bagian pesisir di seluruh perairan selatan Jawa-NTT (Gambar 7). Konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi pada musim peralihan II ini disebabkan oleh peningkatan unsur hara di bagian permukaan yang terbawa oleh fenomena upwelling dari lapisan bawah. Peningkatan klorofil-a juga disebabkan karena meningkatnya curah hujan yang membawa nutrien dari darat kelaut. Menurut Lalli dan Parson, (1994), penyebab peningkatan klorofil-a terjadi karena konsentrasi nutrien terlarut yang meningkat dan intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan.

Gambar 7. Pola sebaran Bulanan klorofil-a (mg/m3) selama 17 tahun.

Secara temporal, rata-rata bulanan konsentrasi klorofil-a ditemukan berkisar 0,01-1,18 mg/m3. Analisis yang didapat dari rata-rata bulanan, yaitu pada tahun 2002 di Bulan Juli yaitu 0,32 mg/m3 dan meningkat pada tahun 2006 yaitu 1,18 mg/m3 di Bulan November, sedangkan penurunan yang terjadi berkisar 0,0012 mg/m3 pada tahun 2018 di Bulan Oktober (Gambar 8A). Sedangkan untuk analisis rata-rata musim yang didapat selama 17 tahun, yaitu pada Musim Timur kenaikan Klorofil-a berkisar 0,6 mg/m3 di tahun 2006 dan menurun sekitar 0,03 mg/m3 di Tahun 2016. Musim Peralihan II kenaikan Klorofil-a sekitar 1,01 mg/m3 di tahun 2006 dan menurun pada tahun 2016 berkisar 0,03 mg/m3, sedangkan pada Musim Barat krolofil-a tertinggi terdapat pada tahun 2006 sekitar 0,13 mg/m3 dan menurun pada tahun dengan klorofil-a yang didapat yaitu 0,01 mg/m3, di musim Peralihan I Klorofil-a tertinggi 0,2 mg/m3 terdapat pada tahun 2008 dan menurun pada tahun 2016 dengan rentang nilai 0,03 mg/m3 (Gambar 8B).

Kenaikan dan penuruan konsentrasi klorofil-a terjadi karena pengaruh angin monseun timur yang bergeser ke monseun barat, hal ini berkaitan dengan adanya pergeseran pusat tekanan udara rendah di Benua Australia yang menyebabkan kecepatan angin monseun timur menurun seiring dengan perubahan bulan (Susanto et al., 2001). Konsentrasi klorofil-a yang tinggi meluas di bagian selatan Jawa-NTT. Pola penyebaran klorofil-a pada tahun 2006 menunjukkan bahwa fenomena upwelling terjadi setiap tahun pada Musim Timur dengan pola penyebaran yang sama. Menurunnya konsentrasi klorofil-a berkaitan dengan proses upwelling yang semakin menurun. Intensitas upwelling yang rendah menyebabkan kadar nutrien yang berada di lapisan permukaan perairan ikut rendah. Nutrien yang rendah di perairan menjadi semakin tidak subur, sehingga pertumbuhan fitoplankton berkurang (Jin et al., 2013). Hal ini yang menyebabkan kadar klorofil-a menurun, seiring perubahan bulan.

1.40


E 1.20

S 1.00 j 0.80 O 0.60 O 0.40 ^ 0.20

0.00

A



7 12 5 10 3 8 1 6 11 4 9 2 7 12 5 103 8  1 6 11 4 9 2 7 12 5 103 8 1 6 11 4 9 2 7 12 5 10

20022003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018


1.20


E

S

aS


O


B


1.00

0.80

0.60

0.40

0.20

0.00

2002

2003

2004

2005

2006  2007  2008  2009  2010  2011

2012

2013

2014  2015  2016  2017  2018


Gambar 8. Nilai Rata-rata Konsentrasi Klorofil-a Tahun 2002-2018:

  • A.    Bulanan

  • B.    Musiman


0.45

0.40

0.35

¾ 0.30

'Si)

S 0.25

κs

0.20 o

2 0.15

0.10

0.05


0.00

Gambar 9. Nilai rata-rata tahunan konsentrasi klorofil-a

Sebaran klorofil-a tahunan terlihat bahwa pada Bulan Januari klorofil-a meningkat sampai Bulan Februari dengan nilai kisaran 0,08-0,09mg/m3. Bulan Maret mulai terjadi penurunan klorofil-a dengan nilai 0,08 mg/m3. Klorofil-a semakin meningkat dari Bulan April dan puncaknya pada Bulan Agustus dengan nilai sekitar 0,11-0,39 mg/m3. Klorofil-a tinggi pada Bulan Agustus terjadi pada bagian Selatan Jawa sampai NTT yang merupakan dampak dari rendahnya SPL di Samudera Hindia. Kembalinya penurunan klorofil-a pada Bulan September-Desember dengan nilai sekitar 0,35-0,13 mg/m3 (Gambar 9). Menurut Putra et al., (2014), klorofil-a mengalami peningkatan yang sangat signifikan pada Bulan Januari-Mei dan mencapai puncaknya pada Bulan Agustus, kemudian mengalami penurunan yang sangat cepat pada Bulan November.

  • 3.2.1    Pola Sebaran Rata-rata Klorofil-a Musiman Tahun 20022018

Konsentrasi klorofil-a dengan nilai yang cukup tinggi pada musim barat yang ditunjukkan dengan warna kuning hanya terlihat sedikit di dekat pesisir selatan Jawa-NTT dengan distribusi yang tidak terlalu jauh (Gambar 10a). Hal ini diduga karena adanya pengaruh masukan nutrien dari daratan yang disebabkan oleh tingkat hujan yang relatif tinggi pada musim barat sehingga memberikan kontribusi peningkatan konsentrasi klorofil-a di wilayah pesisir. Sebaran klorofil-a secara spasial berkisar 0,01-0,27 mg/m3, klorofil-a yang cukup tinggi berada di bagian pinggir perairan selatan Jawa-NTT. Menurut Siadari, (2017), banyaknya sebaran klorofil-a dipengaruhi oleh nilai konsentrasi akibat kenaikan massa air, ditandai dengan SPL rendah yang banyak akan nutrien dibandingkan dengan SPL tinggi.

Pada musim peralihan I, nilai klorofil-a mulai meningkat dengan sebaran klorofil-a berkisar 0,01-0,41 mg/m3. Meski demikian, klorofil-a masih banyak terkonsentrasi di wilayah pesisir dekat pantai (Gambar 10b). Pada musim peralihan I ini, SPL menurun dengan diikuti kenaikan sebaran klorofil-a terutama di bagian selatan Bali-NTT. Menurut Hendriati et al., (2004), transport dari perairan selatan Jawa dicirikan dengan temperatur yang lebih hangat, tinggi nutrien dan salinitas rendah pada permukaan.

Konsentrasi klorofi-a pada musim timur lebih tinggi di bandingkan musim barat dan peralihan I dengan nilai sebesar 0,01-1,02 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a yang tinggi di perairan selatan Jawa-NTT terdistribusi meluas dari tepi pantai (Gambar 10c). Konsentrasi klorofil-a yang tinggi di perairan selatan Jawa-NTT menandakan adanya upwelling. Menurut Nontjin (1993), upwelling terjadi pada saat konsentrasi klorofil-a tinggi yang dijumpai pada monseun tenggara. Hendiarti et al., (2004) juga menjelaskan bahwa peningkatan klorofil-a di selatan Jawa-NTT karena adanya mekanisme upwelling yang makin intensif sehingga meningkatan kadar nutrien.

Sebaran klorofil-a mulai menurun pada musim peralihan II dibandingkan pada musim timur dengan kisaran 0,01-0,75 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a yang cukup tinggi relatif tersebar secara merata di bagian pesisir di seluruh perairan selatan Jawa-NTT (Gambar 10d). Konsentrasi klorofil-a yang cukup tinggi ini disebabkan oleh peningkatan unsur hara di bagian permukaan yang terbawa oleh fenomena upwelling dari lapisan bawah. Peningkatan klorofil-a juga disebabkan karena meningkatnya curah hujan yang membawa nutrien dari darat ke laut. Menurut Lalli dan Parson, (1994), penyebab peningkatan klorofil-a terjadi karena konsentrasi nutrien terlarut yang meningkat dan intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan.


Gambar 10. Rata-rata Klorofil-a (mg/m3) Musim:

  • a.    barat (DJF)

  • b.    peralihan I (MAM)

  • c.    timur (JJA)

  • d.    Peralihan II (SON) Tahun 2002-2018

    • 3.3.    Prakiraan Luasan Upwelling

Hasil dari analisis rata-rata konsentrasi SPL dan Klorofil-a Tahun 2002-2018 menunjukan bahwa penurunan SPL di mulai pada Bulan Juli di tahun 2002. SPL yang rendah diikuti dengan meningkatnya klorofil-a yang tinggi menyebar di perairan selatan Jawa-NTT, menunjukkan terjadinya upwelling pada musim Timur (Juni-Agustus) dan musim Peralihan II (September-November) (Gambar 11). Berdasarkan data distribusi SPL dan Klorofil-a bisa diketahui intensitas upwelling yang kuat umumnya terjadi pada SPL yang lebih rendah dan kadar Klorofil-a lebih tinggi (Kunarso et al., 2005).

Konsentrasi klorofil-a dan SPL dari grafik Bulanan pada Gambar 11, konsentrasi klorofil-a mengalami peningkatan pada Bulan Maret-April dan puncaknya pada Bulan Agustus-September pada kisaran antara 0.14mg/m3 hingga 0.97mg/m3. Kondisi yang berbeda terlihat ada tahun 2016 dimana klorofil-a tidak mengalami peningkatan sebagaimana tahun sebelumnya, dimana SPL pada tahun 2016 secara umum memiliki variabilitas yang lebih tinggi dibandingkan SPL pada tahun 2017. Korelasi antara SPL dan klorofil-a yang didapat sebesar 0.73 (tinggi). Hal ini mungkin terjadi karena adanya pengaruh El Nino pada tahun 2015 dan diikuti La Nina pada tahun 2016 (Bambang et al., 2018).

Gambar 11. Nilai Rat-rata Bulanan Konsentrasi SPL dan Klorofil-a tahun 2002-2018


Upwelling terjadi karena nilai SPL dan konsentrasi klorofil-a pada tahun 2002, 2003, 2006, 2007, 2008, 2011, 2012, 2015, 2016 yang tinggi pada Bulan Agustus (Gambar 11). Hal ini

ditunjukkan dengan semakin menurunnya SPL dari Bulan Juli yang kemudian diikuti dengan peningkatan klorofil-a pada Bulan Juli. Pola sebaran SPL dan klorofil-a pada November tahun 2006 menunjukkan terjadinya anomali, yang mana nilai

SPL berkisar 28,2 oC dan nilai klorofil-a berkisar 1,19 mg/m3. Dimana pada tahun 2006 tidak hanya terjadi EL Nino namun juga Dipole Mode positif (Kemili dan Putri, 2012). Tingginya klorofil-a pada Bulan November dikarenakan proses alami upwelling berpontensi untuk memicu peningkatan alga, namun akan terjadi bila ada kombinasi dengan unsur pemicu lain seperti masukan nutrien yang tinggi (Makmur, 2008). Secara umum kejadian upwelling akan berulang secara periodik pada musim timur, hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Susanto et al., (2001) dan Yusuf, (2002), yang menjelaskan bahwa upwelling di selatan Jawa-NTT terjadi pada musim timur. Jika dilihat dari Gambar 12, prakiraan luasan upwelling pada musim Barat dan Peralihan I tepatnya

pada Bulan Desember-Mei tahun 2002-2018 tidak terdeteksi adanya upwelling. Rata-rata luasan upwelling didapat pada musim Timur dan Peralihan II tepatnya pada Bulan Juni-November dengan luasan tertinggi pada Bulan Agustus diikuti dengan penurunan rata-rata SPL. Musim timur dan musim peralihan II tahun 2002-2018 memiliki rata-rata luasan upwelling mencapai 47531 km2 pada Bulan Juni, kemudian 128404 km2 pada Bulan Juli dan tertinggi 167386 km2 pada Bulan Agustus. Sedangkan pada musim Peralihan II luasan upwelling mencapai 91956 km2 pada Bulan September, kemudian 25049 km2 pada Bulan Oktober dan menurun pada Bulan November dengan luasan upwelling mencapai 5618 km2.


2002 200320042005 2006  2007 2008 200920102011 201220132014 2015 201620172018

Gambar 12. Nilai Rata-rata Bulanan Luasan Upwelling Tahun 2002-2018.

Secara spasial terlihat pola perubahan upwelling yang sudah rata-rata pertahunnya dapat dilihat dengan jelas seperti Gambar 13 (a,b,c,d), dimana pola sebaran upwelling pada musim Timur pola sebarannya terlihat pada bagian perairan selatan Jawa Barat dan NTB dengan luasan 6986 km2 pada Bulan Juni. Pada Bulan Juli pola sebaran upwelling mulai meluas dari perairan Selatan Jawa, Bali dan sebagian di NTT dengan luasan 78294 km2, sedangkan di Bulan Agustus Pola sebaran upwelling makin meluas dari selatan Jawa sampai NTT dengan luasan 254212 km2 yang paling tinggi di musim Timur. Sedangkan pada musim Peralihan II terlihat pola sebaran upwelling mulai menurun, dimana pada Bulan

September luasan mencapai 16767 km2 dan meningkat agak meningkat pada Bulan Oktober sebesar 72033 km2. Penurunan pola sebaran upwelling terjadi pada Bulan November, dimana sebarannya hanya terlihat di bagian pesisir Jawa Timur dan di Pesisir NTB dengan luasan 1949 km2.

Pola sebaran upwelling yang dimulai pada Bulan Juni mencapai puncaknya pada Bulan Agustus dan berakhir pada Bulan November, pola ini akan tetap sama dari tahun ke tahun. Menurut Susanto dan Marra (2003), selama bertiupnya angin monseun tenggara yakni pada Bulan April-Oktober, dimana angin tenggara dari Australia yang membawa air dengan suhu rendah sehingga meningkatkan nutrien ke permukaan laut di sepanjang selatan Jawa-NTT.

Gambar 13. Pola luasan upwelling tahun 2002-2018 Bulan: a. Juli; b. Agustus; c. September; d. Oktober.


3.3 Pengaruh ENSO Terhadap Upwelling

ENSO mempengaruhi variabilitas upwelling yang menyebabkan fluktuasi SPL lebih hangat maupun lebih dingin dibandingkan kondisi normal. Pada periode El Nino yang ditandai dengan indeks ENSO yang lebih tinggi dari 0,5 akan diikuti dengan penurunan SPL hingga lebih dari 3 oC, sebaliknya pada periode La Nina dimana indeks ENSO lebih

rendah dari -0,5 akan diikuti dengan SPL yang lebih hangat (Bambang et al., 2018). Menurut National Weather Service, (2006), fenomena El Nino terdapat kriteria 0-0,5 indeks Nino lemah, 0,5-1 indeks Nino sedang dan >1 indeks Nino kuat, sebaliknya pada La Nina 0-(-0,5) indeks Nino lemah, -0,5-(-1) indeks Nino sedang dan >-1 indeks Nino kuat.


Gambar 14. Nilai Rata-rata Anomali Bulanan SPL di Overlay dengan Indeks ENSO selama Periode Upwelling (Juni-November) tahun 2002-


2018.

Berdasarkan hasil grafik pada gambar 14, terjadinya El Nino lemah pada tahun 2003-2006, 2008, 2012 dan 2018 dengan nilai SPL berkisar 26 oC. El Nino sedang terjadi pada tahun 2002 dan 2009 dengan nilai SPL 26,5 oC. El Nino kuat terjadi pada tahun 2014-2015 dengan nilai SPL sebesar 25,8oC. Sedangkan La Nina lemah terjadi pada tahun 2011-2013, 2016 dan 2017 dengan nilai SPL sebesar 28,5oC. Terjadinya La Nina sedang terjadi pada tahun 2007 dan 2010 dengan nilai SPL sebesar 29 oC. Dari terjadinya El Nino dan La Nina didapatkan

korelasi antara ENSO dan SPL sebesar -0,78. Hal ini menunjukan bahwa pada saat El Nino mengalami penurunan SPL dan saat La Nina terjadi peningkatan SPL. Menurut Kunarso, (2014), bahwa SPL di selatan Jawa sampai Sumbawa mengalami fluktuasi musiman dengan SPL terebdah terjadi pada musim timur. Ningsih et al., (2013), juga mengatakan bahwa SPL di perairan Selatan Jawa sampai Sumbawa pada musim timur berkisar antara 24,5-28,0 oC, sedangkan pada musim barat berkisar antara 28,7-30.2 oC.

-4                                                                                                                                                                              -4


M indeks ENSO ^^^^vanomali Klorofil-a

Gambar 15. Nilai Rata-rata Anomali Bulanan Klorofil-a overlay dengan Indeks ENSO selama Periode Upwelling (Juni-November) tahun 2002-2018.

Berbeda halnya dengan konsentrasi klorofil-a pada gambar 15, dimana periode El Nino lemah terjadi pada tahun 20032006, 2008, 2012-2013 dan 2017 dengan konsentrasi klorofil-a sebesar 0,60 mg/m3, El Nino sedang terjadi pada tahun 2002, 2009, 2018 dengan konsentrasi klorofil-a 0,40 mg/m3, El Nino kuat terjadi pada tahun 2014-2015 dengan konsentrasi klorofil-a 0,60 mg/m3. Sedangkan terjadinya La Nina lemah pada tahun 2011 dan 2016 dengan konsentrasi klorofil-a 0,20 mg/m3, terjadinya La Nina sedang pada tahun 2007 dan 2010 dengan konsentrasi klorofil-a 0,15 mg/m3. Hasil dari analisis nilai Indeks ENSO dengan konsentrasi klorofil-a di perairan selatan Jawa - NTT dengan korelasi 0,98, menunjukan bahwa ENSO mempengaruhi sebaran klorofil-a. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Susanto dan Marra, (2005), dimana pada periode El Nino konsentrasi klorofil-a mengalami peningkatan lebih tinggi dari pada kondisi normal.

Berdasarkan hasl uji korelasi dari SPL, klorofil-a dengan ENSO menunjukan bahwa hal ini tampak berkaitan dengan terjadinya intensitas upwelling. Fenomena ini dipengaruhi oleh angin monseun timur yang bergeser ke monseun barat, dimana proses ini terjadi karena pergeseran pusat tekanan udara rendah di atas Benua Australia yang menyebabkan kecepatan angin monseun timur menurun seiring dengan perubahan bulan (Susanto et al., 2001). Kriteria intensitas upwelling terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria Intensitas Upwelling

Luasan Upwelling (km2)

Kriteria Upwelling

12,000-130,000

Lemah

130,000-270,000

Sedang

>270,000

Kuat

Gambar 16. Hubungan antara luasan Upwelling dan indeks ENSO tahun 2002-2018.


Berdasarkan kriteria pada Tabel 2 dan Gambar 16, dimana pada saat terjadi El Nino lemah pada tahun 2003-2005 dengan intensitas upwelling kuat pada Bulan Juli dan menurun pada Bulan Oktober dan meningkat pada Bulan September di tahun 2006. Di tahun 2008 pada Bulan Juni terjadi intensitas upwelling sedang dan meningkat pada Bulan Agustus, tahun 2014 dan 2018 intensitas upwelling yang terjadi lemah dari awal adanya upwelling sampai upwelling berakhir. Terjadinya

El Nino sedang pada tahun 2002 intensitas upwelling yang terjadi yaitu sedang pada Bulan Juli-Oktober, sedangkan tahun 2009 dan 2012 intensitas upwelling yang terjadi lemah di setiap bulannya. El Nino kuat terjadi pada tahun 2015 dengan intensitas lemah pada Bulan Juni terus meningkat pada Bulan September dan mulai melemah di Bulan November. Pada La Nina lemah terjadi pada tahun 2007 dengan intensitas upwelling sedang di tiap Bulannya, sedangkan La Nina kuat terjadi pada tahun 2010, 2011, 2016 dan 2017 dengan

intensitas upwelling yang sedang pada Bulan Juli, terus meningkat pada Bulan Agustus dan mulai menurun pada Bulan September. Menurut Hadiman, (2016), saat terjadinya El Nino tekanan udara di Pasifik Timur kecil akibatnya angin dan kolom air dari Pasifik Barat yang hangat mengalir ke Pasifik Timur. Hal ini juga mempengaruhi tekanan air naik menjadi lebih besar di Perairan Indonesia yang menyebabkan upwelling pada saat El Nino intensitasnya lebih kuat dari pada saat normal dan La Nina (Kunarso et al., 2005).

4. Kesimpulan

Pola sebaran upwelling dimulai dari NTT dan berkembang sampai Selatan Jawa, dimana pembentukan upwelling diawali pada Bulan Juni,yang akan berada pada puncaknya padan Bulan Agustus puncak dan berakhir di Bulan November. Terdapat variasi rata-rata luasan upwelling selama 17 tahun pada musim Timur dan musim peralihan II dimana ENSO berperan dalam tingkat intensitas upwelling yang terjadi di Selatan Jawa – NTT yang ditunjukkan dengan nilai korelasi yang tingi antara SPL-ENSO adalah -0.78 dan klorofil-a-ENSO adalah 0,98. Pada penelitian ini semua data utama terkait penentuan upwelling diperoleh dari data remote sensing sehingga kedepan diperlukan alternative lain guna memperoleh sebaran upwelling yang lebih akurat dengan menggunakan data insitu dan pemodelan numeric.

DAFTAR PUSTAKA

Ayu, Dwi, Bangun M.S, dan Lalu M J. 2012. Studi Perubahan Suhu Permukaan Laut. Program Studi teknik Geomatika ITS.

Amri, k, Djisman Manurung, Jonson L. Gaol & Mulyono S. Baskoro. 2013. Karakteristik Suhu Permukaan Laut Dan Kejadian Upwelling Fase Indian Ocean Dipole Mode Positif Di Barat Sumatera Dan Selatan Jawa Barat. Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Balitbang KP-KKP.

Bambang S, Denarika J, Denny W K. 2018. Multilayer Analysis Of Upwelling Variability In South Java Sea. Balai Riset dan Observasi Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan Desa Perancak, Jembrana, Bali

Gunarso W, 1985. Tingkah Laku Ikan, IPB. Bogor, 149 hal.

Hasyim,B. (2014). Identifikasi Zona Potensi Penangkapan Ikan di Selat Madura Waktu Terjadi EL Nino Berdasarkan Data Penginderaan Jauh.

Hendiarti, N., H. Siegel, and T. Ohde. 2004. Investigation of different coastal processes in Indonesian waters using SeaWiFS data. Deep Sea Research Part II 51:85–97.

Hadiman, 2016. Analisis Pengaruh El Niño (2004-2005) Dan La Niña (2010-2011) Terhadap Konsentrasi Klorofil-A Di Perairan Maluku Bagian Selatan. Skripsi. Tangerang Selatan: Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.

Herlina Ika Ratnawati, Rahmat Hidayat, Ahmad Bey, Tania June. 2016. Upwelling Di Laut Banda Dan Pesisir Selatan Jawa Serta Hubungannya Dengan ENSO Dan IOD. Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Dramaga,Bogor, 16680, Indonesia

Hestiningsih, Yudo Prasetyo, Bandi Sasmito, Anindya Wirasatriya. 2017. Identifikasi Kawasan Upwelling Berdasarkan Variabilitas Klorofil-A, Suhu Permukaan Laut Dari Data Citra Aqua Modis Tahun 2003-2015 Dan Arus. Jurnal Geodesi Undip.

Hidayat, Rahmat., & Kizu, Shoichi., 2010, Influence of the Madden-Julian Oscillation on Indonesia Rainfall Variability in Austral Summer, Int. J.Clymatology Vol. 30: 1816-1825

Jin, Daeho., Waliser, D.E., Jones, C., & Murtugudde, R., 2013,

Modulation of tropical ocean surface chlorophyll by the

Madden–Julian Oscillation, J. Climate Dymanic, Volume 40: 3958

Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 68/Kepmen-Kp/2016 tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Ikan Lemuru Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Kunarso K, Hadi S, Ningsih N S. 2005. Kajian lokasi upwelling untuk penentuan fishing ground potensialikan tuna. Ilmu Kelautan:

Indonesian Journal of Marine Sciences, 10(2), pp.61-67.

Kunarso, A. Supangat, N.S. Ningsih dan S. Hadi. 2009. Upwelling dan Fishing Ground Tuna di Laut Nusantara. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 211 hlm

Kunarso S, Hadi N S, Ningsih dan Baskoro M S. 2011. Variabilitas Suhu dan Klorofil-a di DaerahUpwelling pada Variasi Kejadian ENSO dan IOD di Perairan Selatan Jawa sampai Timor. Jurnal IlmuKelautan, 16 (3):171-180.

Kunarso dan Ningsih N S. (2014). Memahami Distribusi Temporal Upwelling Pada Variabilitas ENSO di Indonesia Untuk Memperkirakan Waktu Musim Ikan Tuna Big Eye.

Kunarso. 2014. Pengaruh Monsun, El Niño-Southern Oscillation dan Indian Ocean Dipole Terhadap Waktu dan Daerah Penangkapan Ikan Tuna di Samudra India Bagian Timur. [Disertasi], Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Kuswardani, A.R.T.D. 2012. The Development of a Wave-TideCirculation Couple Model and Its Upwelling Simulation Application in the Indonesian Seas. [Disertation]. Ocean University of China, China.

Kuswardani, R.T.D. and Qiao, F., 2014. Influence of the Indonesian Throughflow on the upwelling off the east coast of South Java. Chinese science bulletin, 59(33), pp.4516-4523.

Lalli, C.M., & T.R. Parson. 1994. Biological Oceanography: An

introduction. Pergamon, BPC Wheatons Ltd, British. 301p.

Makmur Murdahayu, 2008. Pengaruh Upwelling Terhadap Ledakan Alga (Blooming Alga) di Lingkungan Perairan Laur. Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAM, ISSN 1415-6086.

Marsac, F. and J. Le Blanc. 1998. Dynamics of ENSO events in the Indian Ocean, to What Extend would Recruitment and Catch-ability of Tropical Tuna be Affected. IOTC Proceedings, 3: 89-101

NASA. Karakteristik MODIS. https://www.nasa.gov/. Diakses pada tanggal 11 September 2016.

National Weather Service. 2006. What are El Niño, La Niña, and ENSO http://www.elnino.noaa.gov . Diakses 23 April 2016 pukul 20:22 WIB.

Ningsih N S, Rakhmaputeri N dan Harto A B. 2013. Upwelling variability along the southern coast of Bali and in Nusa Tenggara waters. Ocean Science Journal, 48(1), pp.49-57.

Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta

Nontji. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.

Pearson, Karl. 1895. Note on Regression and Inheritance in the Case of Two Parents. Proceedings of the Royal Society of London Vol. 58 , pp. 240-242 (3 pages) Published By: Royal Society

Putra, E., Gaol, JL. & Siregar, VP. (2014). Relationship Chlorophyll-a Concentration And Sea Surface Temperature With Primary Pelagic Fish Cathes In Java Sea From MODIS Satellite Images. Jurnal Teknologi Perikanan Dan Kelautan 3(1):1-10.

Purba, M. 2007. Dinamika Perairan Selatan P. Jawa – P. Sumbawa Saat Muson Tenggara. Torani, 17(2):140-150 .Siadari, E. L. (2017).

Pengaruh Suhu Permukaan Laut dan Angin Terhadap Distribusi Klorofil-A di Perairan Papua Tahun 2002-2016. Prosiding Seminar Nasional Sains Atmosfer 2017.

Purwanti Indah, Yudo Prasetyo, Arwan Putra Wijaya. 2017. Analisis Pola Persebaran Klorofil-A, Suhu Permukaan Laut, Dan Arah Angin Untuk Identifikasi Kawasan Upwelling Secara Temporal Tahun 20032016. Departemen Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.

Soenarmo S H. 2009. Penginderaan Jauh dan Pengenalan Sistem Informasi Geografi Untuk Bidang Ilmu Kebumian. Bandung: Penerbit ITB.

Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : Alfabeta

Sulaiman. A, F. Syamsudin, M.C.G. Frederik, M. Sadly, N. Hendiarti, R. Andiastuti dan Y.S. Djajadiharja. 2006. Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 126 hlm.

Susanto D, Gordon A L dan Zheng Q. (2001). Upwelling Along the Coast of Java and Sumatra and its Relation to ENSO. Geophysical Research Letter, Vol. 28, No. 8, Pages 1599-1602, April 15, 2001.

Susanto R D, Gordon A L, Zheng Q. 2001a. Upwelling along the coasts of Java and Sumatra and its relation to ENSO. Geophysical Research Letters 28:1,559– 1,602.

Susanto R D, Gordon A L, Zheng Q. 2001b. Upwelling within the Indonesian Seas and its relation to Monsoon and ENSO.

Susanto, D and J. Marra. 2003. Effect of the 1997/1998 El Nino on Chlorophyll-a Variability along the Southern Coasts of Java and Sumatra. Journal of the Oceanography Society Vol. 18, No. 4, December 2005. USA.

Susanto R D dan Marra J. 2005. Effect of the 1997/98 El Niño on Chlorophyll-a Variability Along the Southern Coasts of Java and Sumatra, Oceanography. Journal of the Oceanography Society, Volume 18, Number 4.

Surinati D. 2009. Upwelling dan Efeknya terhadap Perairan Laut.Oseana, vol. XXXIV, no. 4, pp. 35-42.

Sprintal & Liu. 2005. Ekman Mass and Heat Transport in The Indonesian Seas. Oceanography. 18(4): 88-97

Trujillo A P dan Thurman H V. 2004. Introductory Oceanography. Pearson Prentice Hall. New Jersey. 608 hlm.

Tubalawony dan Simon. 2008. Dinamika Massa Air Lapisan Ekman Perairan Selatan Jawa – Sumbawa Selama Muson Tenggara. Torani, 17(2):140-150.

Wardani, R., W.S. Pranowo, & E. Indrayanti. 2014. Variabilitas Salinitas Berkaitan dengan ENSO dan IOD di Samudera Hindia (Selatan Jawa hingga Selatan Nusa Tenggara) Periode Tahun 20042010. J. Harpodon 7(1): 9-18.

Wei, X., Liao, X., Zhan, H. and Liu, H., 2012. Estimates of potential new production in the Java-Sumatra upwelling system. Chinese journal of oceanology and limnology, 30(6), pp.1063-1067.

Wingking E. Rintaka, Eko Susilo, Amandangi W. Hastuti. 2015. Pengaruh In-Direct Upwelling Terhadap Jumlah Tangkapan Lemuru Di Perairan Selat Bali. Balai Penelitian dan Observasi Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan Jalan Baru Perancak, Jembrana, Bali

Wilby RL, Charles SP, Zorita E, Timbal B, Whetton P, Mearns LO. (2004). Guidelines for Use of Climate Scenarios Developed from Statistical Downscaling Methods,1(2): 19

Wyrtki, K.A. 1961. Naga Report. Volume 2: Physical Oceanography of the Southeast Asean Waters. The University of California, California. 195p.

Yoga RB, Setyono H, Harsono G. 2014. Dinamika upwelling dan downwelling berdasarkan variabilitas suhu permukaan laut dan klorofil-a-a di Perairan Selatan Jawa. Jurnal Oseanografi. 3(1):57-66.

Yusuf, M, 2002, Model Numerik Upwelling Di Perairan Indonesia Wilayah Tengah Dan Barat Serta Kaitannya Dengan Perubahan Monsun. Bidang khusus Oseanografi, Program Studi Oseanografi dan Sains Atmosfir, Program Pascasarjana, ITB.

71