PERBANDINGAN LAJU PERTUMBUHAN RUMPUT LAUT (EUCHEUMA COTTONII) DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM BUDIDAYA CO-CULTURE DAN MONOCULTURE DI PERAIRAN PANTAI GEGER, NUSA DUA, BALI
on
JMRT, Volume 2 No 1 Tahun 2019, Halaman: 8-16
JffKT
JOURNAL OF MARINE RESEARCH AND TECHNOLOGY
journal homepage: https://ojs.unud.ac.id/index.php/JMRT
ISSN: 2621-0096 (electronic); 2621-0088 (print)
Perbandingan Laju Pertumbuhan Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Dengan Menggunakan Sistem Budidaya Ko-kultur dan Monokultur di Perairan Pantai Geger, Nusa Dua, Bali
Riris Christiani Gultom a, I Gusti Ngurah Putra Dirgayusaa, Ni Luh Putu Ria Puspithaa
a Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Kampus UNUD Bukit Jimbaran, Bali 80361, Indonesia
ARTICLE INFO
ABSTRACT
Article history:
Received July 31th 2018
Received in revised form August 27th 2018
Accepted November 10th 2018
Available online January 15th 2019
Keywords:
Monoculture
Co-culture
Seaweed Eucheuma cottonii
Abalone
Seaweed is one group of marine plants that have properties that cannot be distinguished between the roots, stems and leaves so that all parts of the seaweed are called thallus. In seaweed cultivation process, seaweed farmers use monoculture system. But with the growing knowledge there is a more profitable system that is with the co-culture system. The co-culture system is a cultivation system that combines species from different trophic levels in the same system and considers environmental sustainability. The existence of co-culture system is believed to help fishermen in increasing income and overcome environmental problems due to the results of cultivation activities that are not utilized. This research was conducted for 42 days on May 2, 2018 - June 13, 2018 in the waters of coast Geger, Nusa Dua, Bali. The method used is the RAL method (completely randomized design) using three treatments and three replications. The monoculture cultivation system as a control and co-culture cultivation system with different density of abalone is 20 and 40 abalone consists of 10 seeds of seaweed with the same initial weight of 100 grams. The results showed that the highest seaweed-specific growth rate between the monoculture system and the co-culture system in cycles 1 and 2 was found in the co-culture system, whereas in cycle 3 the co-culture system experienced lower growth rate due to competition between thallus, the epiphytes attached to the cultivation net of co-culture, large enough current, and the loss of abalone that allegedly taken by the community around the coast.
2018 JMRT. All rights reserved.
Rumput laut adalah salah satu kelompok tumbuhan laut yang memiliki sifat tidak bisa dibedakan bagian antara akar, batang dan daun sehingga keseluruhan bagian dari rumput laut disebut talus (Eti et al., 2014). Rumput laut yang dapat dibudidayakan salah satunya yaitu jenis rumput laut Eucheuma cottonii. E. cottonii merupakan jenis rumput laut yang paling sering dibudidayakan karena dapat digunakan sebagai bahan dalam pembuatan makanan, campuran obat dan sebagai bahan untuk kosmetik (Rismawati, 2012).
International Trade Center (2015) menyatakan bahwa kondisi rumput laut yang diproduksi di Indonesia belum maksimal. Hal tersebut dapat terlihat dari rendahnya produktivitas rumput laut di Indonesia. Valderrama et al. (2013) menyatakan bahwa produktivitas rumput laut kering di Indonesia hanya sebesar 1,14 ton/km dan angka tersebut merupakan angka terendah dibandingkan produktivitas di negara lain yang mencapai 4,55 ton/km di kepulauan Solomon dan produktivitas rumput laut sebesar 1,61 ton/km di Tanzania, India dan Filipina. Rendahnya produktivitas rumput laut yang dihasilkan Indonesia diduga disebabkan oleh rendahnya laju pertumbuhan rumput laut (Prabowo, 2007). Pada pertumbuhan rumput laut, terdapat faktor
internal dan faktor eksternal yang sangat mempengaruhi terhadap laju pertumbuhan rumput laut. Faktor internal yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut yaitu spesies, bagian talus (bibit) dan umur, sedangkan faktor eksternal yaitu lingkungan, jarak tanaman, berat bibit awal, teknik penanaman dan metode budidaya (Fikri et al., 2015).
Adanya faktor - faktor yang mendukung dalam laju pertumbuhan rumput laut tersebut, teknik penanaman dan metode budidaya adalah salah satu faktor penting yang harus dipilih secara tepat dalam budidaya. Pada proses budidaya rumput laut umumnya para petani rumput laut menggunakan teknik penanaman dan metode budidaya secara tradisional yang disebut dengan sistem monokultur. Sedangkan dengan semakin berkembangnya pengetahuan terhadap sistem budidaya, terdapat sistem budidaya baru yang mendukung pertumbuhan rumput laut, sistem tersebut yaitu sistem ko-kultur.
Sistem monokultur merupakan sistem budidaya dengan cara menanam satu jenis tanaman pada satu area, namun pada sistem ini memiliki kekurangan yaitu tanaman relatif mudah terserang hama maupun penyakit yang dapat mengganggu pertumbuhan rumput laut (Setjanata, 1983). Sedangkan sistem ko-kultur merupakan sistem budidaya yang menggabungkan spesies dari
trofik yang berbeda dalam sistem yang sama serta memperhatikan kelestarian lingkungan (Barrington et al., 2009). Menurut Barrington et al. (2009) bahwa penerapan sistem ko-kultur dalam suatu lingkungan salah satunya melalui konsep yang disebut IMTA (Integrated Multi Trophic Aquaculture). Konsep IMTA yaitu suatu konsep yang bertujuan untuk mengoptimalkan hasil sumberdaya laut melalui pendekatan terhadap ekosistem laut sehingga mengoptimalkan dalam mendapatkan hasil, efisiensi pakan, dan diversifikasi produk (Varadi, 2012). Pengaplikasian konsep IMTA pada perairan laut salah satunya yaitu pertumbuhan abalon yang diintegrasikan dengan pertumbuhan rumput laut. Pada konsep IMTA, rumput laut memiliki fungsi sebagai biofilter dan penghasil biomassa yang bernilai ekonomis. Limbah dalam bentuk feses dan sisa pakan yang dihasilkan dari budidaya abalon dapat dijadikan sebagai sumber nutrien yang berguna bagi pertumbuhan rumput laut sedangkan abalon dapat memanfaatkan rumput laut sebagai penyaring kualitas air (biofilter) agar perairan tetap jernih yang menyebabkan abalon dapat hidup dengan kondisi yang bagus dan terciptanya keseimbangan ekosistem.
Berdasarkan observasi lapangan dan menurut penelitian Yudiastuti (2017), kondisi lingkungan perairan pantai Geger, Nusa Dua, Bali sangat memungkinkan dilakukannya penanaman rumput laut. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai perbandingan laju pertumbuhan rumput laut (E. cottonii) dengan sistem budidaya ko-kultur dan monokultur dan laju pertumbuhan pada budidaya ko-kultur dengan padat tebar abalon berbeda di perairan pantai Geger, Nusa Dua, Bali.
Penelitian laju pertumbuhan rumput laut E. cottonii dilakukan selama 42 hari dimulai pada 2 Mei 2018 sampai 13 Juni 2018 di perairan pantai Geger yang terletak di Desa Adat Paminge, Sawangan, Nusa Dua, Kabupaten Badung, Provinsi Bali dengan titik 1 (ko-kultur) yaitu S 08°48’58.6”, E 115°13’37.6” dan titik koordinat titik 2 (monokultur) yaitu S 08°48’59.0”, E 115°13’41.6”. Lokasi ini merupakan lokasi yang dijadikan tempat budidaya rumput laut oleh masyarakat pesisir pantai geger. Berikut disajikan peta daerah lokasi penelitian pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
-
2.2. Alat dan Bahan
Adapun alat yang dibutuhkan pada saat persiapan penelitian dalam mengetahui perbandingan laju pertumbuhan rumput laut dengan sistem ko-kultur dan monokultur di perairan pantai Geger, Nusa Dua, Bali yaitu GPS (Global Positioning System), refraktometer, secchi disk, kertas lakmus, thermometer, langrangian, DO meter, botol, keranjang plastik, timbangan digital, alat tulis, kamera underwater, alat dasar selam (ADS), tali ris, besi, gunting, pisau, kabel tis, styrofoam, palu, bambu, label, dan jaring. Sedangkan bahan yang dibutuhkan pada saat penelitian yaitu bibit rumput laut E. cottonii, bibit abalon yaitu Haliotis squamata dan sampel air laut.
-
2.3. Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan di perairan pantai Geger, Nusa Dua, Bali selama 42 hari. Penelitian dilakukan selama 42 hari dikarenakan pada umur 40 - 45 hari setelah penanaman bibit rumput laut merupakan umur panen tanaman yang optimum untuk mencapai kandungan karagenan yang optimum (Luthfiyana et al., 2016). Budidaya rumput laut E. cottonii yang diintegrasikan dengan abalon H. squamata menggunakan perlakuan dengan padat tebar yang berbeda yaitu 20 dan 40 ekor abalon. Metode yang digunakan pada penelitian mengenai laju pertumbuhan rumput laut E. cottonii menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan sampel perlakuan yaitu tiga perlakuan dan tiga ulangan. Deskripsi variasi perlakuan rumput laut E. cottonii dan abalon H. squamata yang digunakan adalah sebagai berikut:
T1 = Rumput laut sebagai kontrol (100 gram)
T2 = Rumput laut (100 gram) dan abalon (20 ekor)
T3 = Rumput laut (100 gram) dan abalon (40 ekor)
Berikut merupakan tabel rancangan percobaan ditampilkan pada Ttabel 1 :
Tabel 1. Rancangan Percobaan
Perlakuan |
Ulangan | ||
1 |
2 |
3 | |
Monokultur (T1) |
T11 |
T12 |
T13 |
Ko-kultur 20 (T2) |
T21 |
T22 |
T23 |
Ko-kultur 40 (T3) |
T31 |
T32 |
T33 |
-
2.4. Tahap Penanaman
Pada penelitian ini terdapat dua sistem kontruksi yang digunakan untuk budidaya rumput laut, yaitu sistem monokultur dan sistem ko-kultur. Kontruksi monokultur digunakan sebagai kontrol yaitu rumput laut tidak terintegrasi dengan abalon, sedangkan pada kontruksi ko-kultur budidaya rumput laut diintegrasikan dengan budidaya abalon. Penanaman rumput laut E.cottonii pada kontruksi monokultur menggunakan metode lepas dasar. Tali ris yang digunakan berukuran 3 meter. Tali ris dibentangkan sejajar kemudian diikat pada dua patok bambu yang ditancap pada dasar laut. Pada kontruksi monokultur, jarak antara titik tanam bibit rumput laut dengan titik tanam bibit rumput laut lainnya dalam tali ris sekitar 20 cm dan satu tali ris berisi 10 individu rumput laut, serta jarak antara substrat dengan tali ris yang digunakan untuk menanam rumput laut sebesar 30 cm.
Pada sistem kontruksi budidaya ko-kultur menggunakan besi dengan ukuran 200 cm x 110 cm x 80 cm. Penanaman rumput laut melalui sistem ko-kultur yaitu dengan cara mengikat rumput laut dengan arah sejajar diantara 2 patok besi yang terpasang di atas kontruksi abalon dan pada bagian bawah rumput laut terdapat keranjang abalon yang berisi abalon dengan padat tebar abalon 20 dan 40 ekor. Jarak antara rumput laut yang dibudidayakan dengan keranjang abalon sebesar 20 cm, jarak antar keranjang abalon
sebesar 20 cm, jarak penanaman pada setiap bibit rumput laut sebesar 20 cm dan jarak keranjang abalon dengan substrat sebesar 20 cm. Wadah pemeliharaan abalon menggunakan keranjang buah berwarna putih dengan ukuran 48,5 cm x 32 cm x 15 cm. Pada penelitian ini, rumput laut yang digunakan yaitu bibit rumput laut E. cottonii dari pantai Serangan, Bali dengan bobot awal rumput laut yaitu 100 gram pada setiap perlakuan dan bibit abalon yang digunakan pada sistem budidaya ko-kultur menggunakan bibit yang diperoleh dari Balai Perikanan Budidaya Laut (BPBL) Lombok dengan ukuran panjang cangkang 4 cm dan lebar 3 cm, serta total seluruh benih abalon yang digunakan pada kontruksi ko-kultur sebesar 180 benih abalon. Pada Gambar 2 menampilan kontruksi dari sistem monokultur dan sistem ko-kultur sebagai berikut :
Gambar 2. Kontruksi budidaya abalon dengan sistem monokultur (gambar kiri) dan sistem ko-kultur (gambar kanan)
-
2.5. Metode Pengumpulan Data
Pada tahap pengambilan data, rumput laut ditimbang beratnya. Sampel yang ditimbang sebanyak 10 sampel individu rumput laut pada setiap ris dengan 3 perlakuan dan 3 kali ulangan hingga waktu panen. Tanaman rumput laut yang diujikan pada setiap perlakuan diamati pertumbuhannya setiap 14 hari sekali dihitung dari awal penelitian sampai akhir penelitian dengan cara mengukur bobot rumput laut menggunakan timbangan digital. Seluruh kegiatan penelitian dilakukan selama 42 hari.
-
2.6. Analisis Data
Data berat rumput laut yang diperoleh dari hasil penelitian, selanjutnya dianalisis laju pertumbuhannya menggunakan Microsoft Excel 2010. Hal tersebut bertujuan untuk menghitung laju pertumbuhan rumput laut E. cottonii. Selanjutnya data laju pertumbuhan rumput laut E. cottonii yang sudah diperoleh dianalisis melalui SPSS (Statistical Package for the Social Science) versi 17.0 yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan sistem budidaya ko-kultur dan monokultur terhadap laju pertumbuhan rumput laut E. cottonii dengan menggunakan uji normalitas, homogenitas dan ANOVA. Namun, pada saat uji normalitas dan homogenitas nilai yang didapatkan tidak normal dan variannya tidak homogen, maka dilakukan pengujian dengan uji Kruskal-Wallis Test dan uji lanjutan yaitu Mann-Whitney Test yang bertujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh perlakuan terhadap bobot rumput laut E. cottonii. Peningkatan laju pertumbuhan rumput laut E. cottonii dapat ditentukan dengan menggunakan rumus perhitungan laju pertumbuhan spesifik (Effendi, 1997) pada persamaan 1 sebagai berikut :
-
a. Laju Pertumbuhan Rumput Laut
Laju pertumbuhan spesifik rumput laut dihitung dengan menggunakan rumus perhitungan laju pertumbuhan spesifik (Effendi, 1997) pada persamaan (1) sebagai berikut :
SGR =
(Ln Wt - Ln Wo) Ln Wo x t
x 100%
(1)
Keterangan :
SGR = SpeCific Growth Rate /laju pertumbuhan spesifik (%/hari)
Wo = Bobot awal rumput laut (gram)
Wt = Bobot akhir rumput laut (gram)
t = Waktu Pemeliharaan (hari)
Pada penelitian mengenai rumput laut, sangat diperlukan pengukuran mengenai kualitas perairan di lokasi budidaya. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui bagaimana kondisi lingkungan perairan di lokasi budidaya rumput laut dalam mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Adanya pernyataan tersebut sesuai dengan pernyataan Akib et al. (2015). Menurut Akib et al. (2015) menyatakan bahwa faktor biologi, fisika dan kimia dari suatu perairan merupakan penentu keberhasilan dari budidaya rumput laut. Pengukuran kualitas perairan di pantai Geger juga dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya perubahan kualitas perairan pantai Geger dengan membandingkan pada penelitian sebelumnya yaitu penelitian Yudiastuti (2017) yang dilakukan di pantai Geger. Pada penelitian ini, data kualitas perairan yang diukur merupakan data pendukung. Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air di pantai Geger yang dilakukan pada awal penelitian dan pada akhir penelitian didapatkan hasil yaitu pada awal penelitian suhu sebesar 29ºC dan akhir penelitian suhu sebesar 29ºC. Menurut penelitian Yudiastuti (2017) menyatakan bahwa suhu perairan pantai Geger berkisar antara 27,3ºC – 31,5ºC mendukung untuk pertumbuhan rumput laut yang diintegrasikan dengan abalon dan hal tersebut menunjukkan bahwa suhu perairan pantai Geger pada saat awal dan akhir penelitian masih mendukung untuk pertumbuhan rumput laut yang diintegrasikan dengan abalon. Menurut Luning (1990) menyatakan bahwa suhu suatu perairan sangat spesifik dalam mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Suhu perairan yang tinggi menyebabkan kematian pada rumput laut. Hal tersebut dapat terjadi dalam proses fotosintesis, kerusakan enzim, dan membran yang bersifat labil. Sedangkan pada suhu perairan yang rendah, membran protein dan lemak akan mengalami kerusakan serta membentuk kristal dan hal tersebut sangat berpengaruh terhadap kehidupan rumput laut.
Pada awal penelitian nilai salinitas yang diperoleh sebesar 33 ppt dan diakhir penelitian sebesar 35 ppt. Menurut penelitian Yudiastuti (2017) yang dilakukan di pantai Geger menyatakan bahwa nilai salinitas perairan pantai Geger berkisar 33-35 ppt dan nilai salinitas tersebut termasuk dalam kisaran salinitas yang tinggi untuk pertumbuhan rumput laut. Kisaran salinitas yang optimal untuk pertumbuhan rumput laut menurut Guo (2014) yaitu sebesar 25-33 ppt sedangkan untuk pertumbuhan abalon kisaran salinas yaitu 30-35 ppt (Susanto, 2010). Adanya hal tersebut menunjukkan bahwa salinitas yang diperoleh pada awal penelitian masih mendukung untuk pertumbuhan rumput laut, namun pada akhir penelitian tidak mendukung pertumbuhan rumput laut secara maksimal yang menyebabkan pertumbuhan rumput laut menjadi lebih lambat. Peningkatan dan penurunan salinitas diatas batas optimum menyebabkan rumput laut mudah patah, kurang elastis, dan pertumbuhannya akan terhambat (Latif, 2008).
Pada awal penelitian nilai pH yang diperoleh sebesar 8 dan diakhir penelitian sebesar 8. Menurut penelitian Yudiastuti (2017) yang dilakukan di pantai Geger menyatakan bahwa hasil pengukuran pH berkisar 8,14 - 8,17, dan kisaran nilai pH yang didapatkan tersebut menunjukkan kondisi yang masih relatif stabil dan mendukung pertumbuhan rumput laut. Mudeng et al. (2015)
menyatakan bahwa pH yang diinginkan untuk budidaya rumput laut sebesar 6,5 – 8,5. Adanya nilai pH air laut yang berada pada nilai yang cukup tinggi akan mempengaruhi fisiologi organisme, toksisitas beberapa polutan seperti amoniak dan logam berat, serta dapat menyebabkan kematian mendadak pada organisme (Waluyo et al., 2016).
Pada awal penelitian nilai DO yang diperoleh sebesar 7 mg/l sedangkan pada akhir penelitian sebesar 11 mg/l. Adanya nilai DO yang didapatkan berbeda dari pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yudiastuti (2017) di perairan pantai Geger, dimana nilai DO yang didapatkan berkisar 5,2 – 5,57 mg/l. Adanya nilai DO yang lebih tinggi pada penelitian kali ini diduga disebabkan karena adanya nilai arus yang didapatkan lebih tinggi yaitu sebesar 0,13 m/s sedangkan pada penelitian Yudiastuti (2017) nilai arus yang didapatkan sebesar 0,05 m/s. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2009) menyatakan pergerakan arus cukup tinggi yaitu 0,2 - 0,4 m/s dapat berpengaruh terhadap aerasi, transportasi nutrien, dan pengadukan air sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut K. alvarezii. Selain arus, adanya perbedaan suhu juga menyebabkan nilai DO pada penelitian kali ini lebih tinggi dari penelitian yang dilakukan Yudiastuti (2017). Suhu yang didapatkan pada penelitian kali ini lebih rendah yaitu 29ºC sedangkan penelitian Yudiastuti (2017) nilai suhu berkisar 27,3ºC – 31,5ºC. Menurut Paramitha (2014) menyatakan bahwa semakin tinggi temperatur suatu perairan maka akan semakin rendah kandungan oksigen terlarut (DO). Selain adanya pengaruh arus dan suhu, terdapat proses fotosintesis tumbuhan air dan fitoplankton di perairan pantai Geger yang mempengaruhi perbedaan nilai kelarutan oksigen (DO) pada perairan pantai Geger. Menurut Mudeng et al. (2015) menyatakan bahwa penilaian kesesuaian perairan untuk kawasan budidaya rumput laut nilai DO lebih dari 6 mg/L dapat dikatakan baik atau sesuai. Oleh karena itu, besarnya nilai DO yang diperoleh pada penelitian kali ini yang dilakukan pada awal dan akhir penelitian sudah sesuai untuk mendukung pertumbuhan rumput laut.
Pada penelitian kali ini, nilai arus yang diperoleh pada awal penelitian 0,13 m/s dan akhir penelitian sebesar 0,13 m/s sedangkan pada penelitian Yudiastuti (2017) yang dilakukan di pantai Geger nilai arus yang didapat sebesar 0,05 m/s. Menurut Basmal (2009) menyatakan bahwa nilai arus yang ideal untuk pertumbuhan rumput laut sebesar 0,2 – 0,4 m/s. Sedangkan menurut Setiyanto et al. (2008) menyatakan bahwa rata-rata kecepatan arus sebesar 0,13 – 0,15 m/s sesuai untuk pertumbuhan rumput laut. Oleh karena itu, pada penelitian kali ini nilai arus yang didapatkan sesuai untuk mendukung pertumbuhan rumput laut. Adanya kecepatan arus sangat menentukan dalam proses percampuran masa air, pengambilan unsur hara, dan transportasi oksigen (Akib et al., 2015).
Pada penelitian ini didapatkan nilai kedalaman pada saat pasang sebesar 2,5 - 3 meter dan nilai kedalaman pada saat surut 0,6 – 0,8 meter. Sedangkan pada penelitian Yudiastuti (2017) yang dilakukan di perairan pantai Geger diperoleh nilai kedalaman sebesar 0,4 – 0,8 meter pada waktu surut dan 1 – 3 meter pada saat pasang. Adanya nilai kedalaman yang didapatkan pada penelitian ini sudah sesuai untuk pertumbuhan rumput laut. Ditjenkanbud (2008) menegaskan kedalaman yang sesuai pada rumput laut sebesar 0,3 – 0,6 meter dan menurut Aryati et al. (2007) kedalaman yang tepat bagi pertumbuhan rumput laut sebesar < 35 m.
Pada penelitian ini didapatkan nilai kecerahan sebesar 100% dan pada penelitian sebelumnya yaitu penelitian Yudiastuti (2017) yang dilakukan di perairan pantai Geger nilai kecerahan yang didapatkan sebesar 100%. Menurut Departemen Kelautan (2007)
menyatakan bahwa kecerahan yang sesuai untuk pertumbuhan rumput laut yaitu 0,6 – 0,8 m. Hal tersebut sesuai dengan hasil pengukuran kedalaman pada saat surut sebesar 0,6 - 0,8 meter. Adanya penetrasi sinar matahari yang cukup dapat mempengaruhi rumput laut dalam mensuplai kebutuhan nutriennya seperti karbon, nitrogen, dan posfor untuk pertumbuhan dan pembelahan sel (Asni, 2015).
Pada saat penelitian, dilakukan juga pengukuran terhadap nitrat dan fosfat yang terkandung didalam air laut dalam membantu pertumbuhan rumput laut. Adapun hasil yang didapatkan dari pengukuran nitrat dan fosfat yaitu nilai konsentrasi nitrat pada sistem ko-kultur 0,491 mg/L pada awal penelitian dan 0,382 mg/L akhir penelitian dan pada sistem monokultur nilai konsentrasi nitrat 0,476 mg/L pada awal penelitian dan 0,365 mg/L pada akhir penelitian. Berdasarkan Tabel 2 yaitu hubungan kandungan nitrat dengan pertumbuhan organisme diperoleh hasil yaitu konsentrasi nitrat pada awal dan akhir penelitian pada perairan pantai Geger pada sistem ko-kultur dan monokultur untuk mendukung pertumbuhan rumput laut berdasarkan kategorinya menunjukkan nilai yang cukup untuk mendukung pertumbuhan rumput laut.
Tabel 2. Kesesuaian Kandungan Nitrat dengan Pertumbuhan Organisme
Nitrat (mg/l) |
Pertumbuhan Organisme |
0,3 – 0,9 |
Cukup |
0,9 – 3,5 |
Optimum |
>3,5 |
Membahayakan Perairan |
Sumber : Chu in Wardoyo (1982) in Patty et al. (2015)
Sedangkan nilai konsentrasi fosfat yang didapatkan sistem ko-kultur pada awal penelitian 0,033 mg/L dan akhir penelitian 0,031 mg/L dan pada sistem monokultur nilai konsentrasi fosfat pada awal penelitian 0,030 mg/L dan akhir penelitian 0,027 mg/L. Berdasarkan Tabel 3 yaitu tingkat kesuburan perairan berdasarkan kadar fosfat menyatakan bahwa konsentrasi fosfat pada awal dan akhir penelitian pada sistem ko-kultur dan monokultur pada perairan pantai geger untuk mendukung pertumbuhan rumput laut berdasarkan kategorinya menunjukkan nilai yang cukup subur untuk mendukung pertumbuhan rumput laut.
Tabel 3. Tingkat Kesuburan Perairan Berdasarkan Kadar Fosfat
Fosfat (mg/l) |
Tingkat kesuburan |
0 – 0,002 |
Kurang subur |
0,0021 – 0,050 |
Cukup subur |
0,051 – 0,100 |
Subur |
0,101 – 0,200 |
Sangat subur |
>0,201 |
Sangat subur sekali |
Sumber : Joshimura in Wardoyo (1982) in Patty et al. (2015)
Pada akhir penelitian, nilai nitrat dan nilai fosfat pada sistem ko-kultur dan monokultur cenderung mengalami penurunan dari nilai yang diperoleh pada awal penelitian. Hal tersebut terjadi karena rumput laut dalam menyerap nutrien baik nitrat dan fosfat
menyerap dengan sangat maksimal. Menurut Ginting (2015) menyatakan bahwa penurunan nitrat dan fosfat dilokasi budidaya dikarnakan rumput laut melakukan proses penyerapan nitrat dan fosfat untuk mendukung pertumbuhan rumput laut.
-
3.2. Laju Pertumbuhan Spesifik
Menurut Kamlasi (2008) pertumbuhan merupakan pertambahan suatu ukuran organisme baik panjang ataupun berat dalam periode waktu tertentu. Berikut ini merupakan hasil laju
pertumbuhann spesifik rumput laut pada perlakuan yang berbeda yaitu sistem budidaya ko-kultur dan monokultur, serta pada siklus yang berbeda di pantai Geger, Nusa Dua, Bali ditampilkan pada Gambar 3 sebagai berikut :

Gambar 3. Laju pertumbuhan spesifik rumput laut pada siklus 1, 2, dan 3
-
a. Laju Pertumbuhan Spesifik Rumput Laut Siklus 1
Laju pertumbuhan spesifik rumput laut E. cottonii pada siklus 1 ditampilkan pada Gambar 3. Berdasarkan diagram SGR rumput laut pada siklus 1 didapatkan hasil yaitu pada perlakuan monokultur mendapatkan nilai SGR terendah yaitu 0,04%/hari dari dua perlakuan lainnya, sedangkan nilai SGR pada perlakuan ko-kultur 20 abalon mendapatkan nilai SGR sebesar 0,72%/hari dan perlakuan ko-kultur 40 abalon mendapatkan nilai SGR sebesar 0,60%/hari.
Dari hasil yang sudah didapatkan, perlakuan monokultur merupakan perlakuan yang mendapat nilai SGR terendah. Hal tersebut diperoleh karena pada proses pertumbuhan rumput laut di sistem budidaya monokultur pada minggu pertama diduga terjadi proses aklimatisasi pada talus. Menurut Damar et al. (1992) menyatakan bahwa pada 7 hari pertama pemeliharaan merupakan waktu untuk tanaman beraklimatisasi. Adanya proses aklimatisasi pada talus menyebabkan talus yang tidak dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi perairan yang baru mengalami perubahan warna menjadi putih pucat, rapuh dan bahkan patah pada bagian ujung talus yang menyebabkan bobot talus berkurang. Adanya pernyataan tersebut sesuai dengan Marisca (2013) yang menyatakan bahwa aklimatisasi merupakan suatu proses adaptasi biota laut dalam mempertahankan hidupnya terhadap lingkungan yang baru. Menurut Yong et al. (2014) juga menyatakan bahwa rumput laut yang tidak dapat beradaptasi dengan baik pada proses aklimatisasi menyebabkan rumput laut mengalami stress akibat perubahan kondisi lingkungan yang mendadak.
Pertumbuhan rumput laut di sistem budidaya monokultur juga lebih rendah dari sistem budidaya ko-kultur karena pada sistem budidaya monokultur rumput laut hanya dibudidayakan sendiri tanpa diintegrasikan dengan tingkat trofik lain seperti abalon yang menyebabkan nutrisi yang diserap hanya sedikit dan terbatas. Menurut Marisca (2013) menyatakan bahwa pertumbuhan yang baik akan dicapai oleh rumput laut ketika mendapatkan nutrisi yang cukup dari lingkungannya. Ketika jumlah nutrisi di lingkungan sedikit atau terbatas, maka akan sedikit pula yang diserap oleh rumput laut. Adanya hal tersebut menyebabkan
pertumbuhan rumput laut menjadi rendah dan terhambat dalam proses pertumbuhannya.
Selain adanya proses aklimatisasi dan nutrisi yang terbatas yang diserap oleh talus, terdapat tanaman lain yang menempel pada talus seperti Ulva sp., Chaetomorpha sp., dan potongan lamun yang melayang di perairan dan menempel pada talus yang menyebabkan pertumbuhan rumput laut terganggu. Menurut Krismaningrum (2007) menyatakan bahwa adanya tumbuhan lain yang menempel pada talus memicu pertumbuhan rumput laut semakin lambat karena tumbuhan yang menempel tersebut bersifat kompetitor dalam menyerap nutrien untuk pertumbuhan rumput laut serta dengan adanya tumbuhan lain yang menempel pada talus dapat menyebabkan permukaan talus tertutup sehingga menghalangi rumput laut untuk melakukan proses fotosintesis. Adanya peristiwa tersebut sesuai dengan pernyataan Anggadiredja (2006) yang menyatakan bahwa tumbuhan disekitar tanaman budidaya merupakan kompetitor yang dapat menyebabkan pertumbuhan rumput laut terganggu.
Sedangkan pada perlakuan ko-kultur 20 abalon dan perlakuan ko-kultur 40 abalon hasil laju pertumbuhan rumput laut menunjukkan pertumbuhan yang lebih tinggi dari perlakuan monokultur. Adanya pertumbuhan yang lebih tinggi pada sistem budidaya ko-kultur di siklus 1 disebabkan karena adanya proses aklimatisasi yang menyebabkan bobot rumput laut lebih kecil serta adanya integrasi antara rumput laut dengan abalon. Rumput laut yaitu sebagai biofilter dapat memanfaatkan hasil buangan yang berupa feses dan sisa makanan dari abalon yang berupa CO2 dan nutrien inorganik yaitu nitrogen dalam bentuk ammonium (NH4) dan fosfat yang akan digunakan dalam proses fotosintesis. Dengan adanya bahan organik yang melimpah dan mendukung dalam proses fotosintesis rumput laut maka akan mendukung dalam proses pertumbuhan rumput laut yang semakin cepat (Sukti et al., 2016). Adanya bahan organik yang melimpah dan didukung dengan bobot rumput laut yang lebih kecil karena adanya proses aklimatisasi pada minggu pertama juga menyebabkan talus
dalam menyerap bahan organik di perairan lebih optimal. Mondoringin et al. (2013) menyatakan berat awal rumput laut yang dibudidayakan dapat berpengaruh terhadap pertumbuhannya. Bibit awal yang lebih kecil akan tumbuh lebih cepat karena tidak terjadi persaingan antar talus yang tinggi dalam memperoleh makanan.
Selain menguntungkan bagi pertumbuhan rumput laut, sistem ko-kultur juga menguntungkan bagi tingkat trofik lainnya seperti abalon. Hal tersebut terjadi dikarenakan pada proses fotosintesis yang dilakukan oleh rumput laut akan menghasilkan oksigen dan nitrit yang kemudian mengalami proses nitrifikasi sehingga berubah menjadi nitrat yang dapat dimanfaatkan oleh abalon dalam proses pertumbuhannya (Sukti et al., 2016). Dalam sistem budidaya ko-kultur, selain dapat membantu pertumbuhan rumput laut, sistem ko-kultur juga dapat mengurangi unsur hara yang berlebihan yang akan berubah menjadi limbah perairan dengan cara rumput laut sebagai biofilter. Menurut Anggorowati (2004) menyatakan bahwa melimpahnya unsur hara didalam perairan dan tidak termanfaatkan dengan baik dapat menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman dan organisme lainnya akan terhambat sehingga ekosistem perairan tidak seimbang.
-
b. Laju Pertumbuhan Spesifik Rumput Laut Siklus 2
Hasil laju pertumbuhan spesifik rumput laut E. cottonii pada siklus 2 ditampilkan pada Gambar 3. Berdasarkan diagram SGR rumput laut pada siklus 2, didapatkan hasil yaitu pada perlakuan monokultur mendapatkan nilai SGR terendah yaitu sebesar 0,09%/hari sedangkan pada perlakuan ko-kultur 20 abalon mendapatkan nilai SGR sebesar 0,29%/hari dan pada perlakuan ko-kultur 40 abalon mendapatkan nilai SGR sebesar 0,15%/hari. Berdasarkan hasil yang sudah didapatkan, diketahui bahwa laju pertumbuhan rumput laut pada perlakuan monokultur, perlakuan ko-kultur 20 abalon dan perlakuan ko-kultur 40 abalon mengalami peningkatan laju pertumbuhan yang belum maksimal. Menurut Sulistiani et al. (2014) menyatakan bahwa berat rumput laut dianggap menguntungkan yaitu diatas 3% pertambahan berat perhari.
Peningkatan yang tidak maksimal yang dialami perlakuan monokultur diperoleh karena pada proses pertumbuhan rumput laut di sistem budidaya monokultur terdapat ujung-ujung talus yang rusak diduga akibat adanya predator seperti ikan yang memakan bagian ujung talus. Adanya hal tersebut sesuai dengan pernyataan nelayan di pantai Geger yaitu menurut Made Kutir dan Made Simbik (2018) yang menyatakan bahwa budidaya rumput laut semakin tahun semakin menurun di pantai Geger akibat semakin banyaknya ikan yang memangsa dan memakan rumput laut (Hasil wawancara dengan nelayan). Menurut Musa and Wei (2008) juga menyatakan bahwa faktor predisposisii atau pemicu lain adanya luka pada talus yaitu adanya serangan hama seperti penyu hijau (Chelonia midas), bulu babi (Diadema sp.), ikan baronang (Siganus spp.) dan bintang laut (Protoneostes). Adanya luka pada talus menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri dan menyebabkan bagian talus menjadi putih, rapuh dan mudah patah yang menjadi ciri penyakit ice-ice. Selain adanya predator yang menggangu pertumbuhan rumput laut, terdapat banyak sekali epifit dan potongan lamun yang menempel pada permukaan talus yang diduga akibat terbawa oleh arus. Susanto (2005) menyatakan tumbuhan lumut dan epifit yang menempel pada rumput laut akan menghalangi proses masuknya sinar matahari sehingga rumput laut akan terganggu dalam melakukan fotosintesis yang mengakibatkan talus menjadi kerdil, kurus, dan laju pertumbuhan harian pada rumput laut akan menjadi rendah.
Sedangkan pada perlakuan ko-kultur 20 abalon dan ko-kultur 40 abalon mengalami peningkatan yang tidak maksimal dikarenakan bobot talus pada siklus ini sudah mengalami bobot talus yang cukup besar dari pada bobot talus pada perlakuan monokultur. Adanya bobot talus yang besar, rimbun dan saling bertumpukan antar talus menyebabkan kompetisi antar talus dalam hal mendapatkan ruang, nutrisi dan sinar matahari untuk fotosintesis menjadi lebih besar. Adanya pernyataan tersebut sesuai dengan Marisca (2013) yang menyatakan bahwa semakin besar biomassa tanaman dan semakin padat densitas tanaman karena tumbuhnya tunas-tunas baru dan cabang yang membesar meenyebabkan ruang gerak semakin sempit, persaingan antar tanaman untuk memperoleh makanan (nutrien) semakin besar serta mendapatkan cahaya matahari dalam proses fotosintesis semakin ketat. Selain adanya kompetisi antar talus, terdapat juga kompetisi antara talus dengan tanaman lain yang menempel pada jaring ko-kultur yang melindungi rumput laut. Hal tersebut menyebabkan cahaya matahari yang masuk akan terhambat oleh tanaman yang menempel pada jaring ko-kultur yang menyebabkan proses fotosistesis talus akan terganggu dan persaingan untuk memperoleh makanan akan jauh lebih besar. Menurut Nurdiana et al. (2016) menyatakan bahwa menempelnya berbagai makroepifit pada lingkungan talus dapat menghambat pertumbuhan rumput laut, menghambat penyerapan zat hara, menghalangi sinar matahari yang dibutuhkan dalam proses fotosintesis, terjadinya kompetisi makanan (nutrien) dan kompetisi ruang. Selain adanya kompetisi antar talus dan kompetisi talus dengan tanaman lain, pertumbuhan talus kurang maksimal pada sistem budidaya ko-kultur terutama pada perlakuan ko-kultur 40 abalon juga disebabkan karena adanya beberapa talus yang mengalami pengurangan bobot akibat terbawa arus. Hal tersebut terjadi karena pada saat proses pertumbuhan dan penimbangan di siklus 2 (pertumbuhan 4 minggu rumput laut) terjadi angin yang cukup kencang yang menyebabkan arus di perairan pantai geger cukup besar dan menyebabkan beberapa talus mengalami pengurangan bobot yang diduga terbawa oleh arus. Menurut penelitian yang dilakukan Pratomo dan Sulistyowati (2001) menyatakan kecepatan arus 0,1 – 0,2 m/s merupakan kecepatan arus yang masih dalam kategori yang baik bagi pertumbuhan rumput laut, namun adanya kecepatan arus tersebut bahkan jika kecepatan arus lebih besar maka akan menyulitkan pertumbuhan rumput laut untuk bertumbuh dengan baik karena kemungkinan terlepasnya talus dengan mudah dari pangkalnya atau adanya talus yang patah karena terombang-ambing oleh arus yang cukup besar.
-
c. Laju Pertumbuhan Spesifik Rumput Laut Siklus 3
Hasil laju pertumbuhan spesifik rumput laut E. cottonii pada siklus 3 ditampilkan pada Gambar 3. Berdasarkan grafik SGR rumput laut pada siklus 3, didapatkan hasil yaitu pada perlakuan monokultur mendapatkan nilai SGR tertinggi yaitu sebesar 0,43%/hari sedangkan pada perlakuan ko-kultur 20 abalon mendapatkan nilai SGR sebesar 0 %/hari dan pada pada perlakuan ko-kultur 40 abalon mendapatkan nilai SGR sebesar 0,23%/hari. Dari hasil penelitian tersebut, didapatkan hasil yaitu pada perlakuan monokultur mengalami kenaikan pertumbuhan yang lebih tinggi dari pada perlakuan ko-kultur 20 abalon dan perlakuan ko-kultur 40 abalon.
Adanya laju pertumbuhan yang lebih tinggi pada perlakuan monokultur disebabkan oleh adanya bobot talus yang lebih kecil sebelumnya dari pada perlakuan ko-kultur pada siklus 1 dan 2. Adanya bobot talus yang lebih kecil dari pada bobot talus ko-kultur menyebabkan suplai makanan yang diterima pada setiap talus di monokultur dapat tercukupi dengan baik karena tidak
adanya persaingan yang tinggi antar talus dalam memperoleh makanan pada siklus 3. Mondoringin (2013) menyatakan berat awal rumput laut yang dibudidayakan dapat berpengaruh terhadap pertumbuhannya. Dimana bibit awal yang lebih kecil akan tumbuh lebih cepat karena tidak terjadi persaingan antar talus dalam memperoleh makanan. Sedangkan pada perlakuan ko-kultur 20 abalon dan perlakuan ko-kultur 40 abalon mengalami kenaikan pertumbuhan rumput laut yang lebih rendah dari perlakuan dengan sistem monokultur dikarenakan bobot rumput laut pada perlakuan ko-kultur lebih besar dari bobot rumput laut pada monokultur. Menurut Marisca (2013) menyatakan bahwa semakin padat rumput laut yang dipelihara maka semakin rendah pertumbuhannya. Pernyataan tersebut juga sesuai dengan Damar et al. (1992) yang menyatakan bahwa semakin besar ukuran tanaman, maka semakin besar juga persaingan dalam memperoleh unsur hara dan hal tersebut menyebabkan pertumbuhan menjadi terganggu.
Selain adanya pengaruh bobot talus, pertumbuhan pada sistem budidaya ko-kultur juga semakin rendah akibat semakin banyaknya makroepifit dan potongan lamun yang terbawa arus dan menempel pada jaring ko-kultur. Semakin banyaknya makroepifit dan potongan lamun yang menempel pada jaring menyebabkan pertumbuhan talus akan terhambat akibat adanya kompetisi dalam makanan (nutrien) yang lebih tinggi karena tidak hanya dengan antar talus tetapi kompetisi juga terjadi dengan tanaman lain, sinar matahari yang masuk akan terhalang oleh makroepifit yang semakin melimpah di jaring serta adanyaa kompetisi ruang antar talus dengan makroepifit. Munoz dan Fotedar (2009) menyatakan bahwa epifit menghambat tingkat pertumbuhan inangnya dan mengakibatkan menurunnya biomassa akibat epifit berkompetisi langsung dengan alga inangnya dalam mengurangi oksigen, karbon dioksida, nutrien dari perairan atau area budidaya, meningkatkan beban yang menyebabkan kerusakan talus, mengurangi fotosintesis dan dapat menembus jaringan inang.
Hasil analisis Kruskal-Wallis Test pada bobot rumput laut pada siklus 1 dan siklus 2 dari perlakuan T1 (monokultur), T2 (ko-kultur 20 abalon), dan T3 (ko-kultur 40 abalon) diketahui bahwa nilai sig = 0,000 < α = 0,05 dan sig = 0,037 < α = 0,05, artinya pemberian perlakuan yang berbeda yaitu sistem ko-kultur dan sistem monokultur berpengaruh terhadap laju pertumbuhan rumput laut (E. cottonii) pada siklus 1 dan 2. Adanya pengaruh pemberian perlakuan ko-kultur dan monokultur terhadap laju pertumbuhan rumput laut (E. cotonii) disebabkan karena pada sistem ko-kultur terdapat asupan nutrien yang lebih besar karena rumput laut yang di budidayakan diintegrasikan oleh abalon. Adanya integrasi rumput laut dengan abalon menyebabkan rumput laut sebagai biofilter dapat memanfaatkan hasil limbah budidaya abalon yang terbuang di laut baik berupa hasil metabolisme ataupun sisa pakan yang tidak termakan sebagai sumber nutrien yang sangat bermanfaat untuk pertumbuhan rumput laut (Troell et al., 2009). Pada saat penelitian, rumput laut yang terdapat pada sistem ko-kultur juga sedikit yang mengalami kerusakan pada talus dan hal tersebut mendukung laju pertumbuhan rumput laut dengan baiik. Barrington et al. (2009) yaitu selain membantu mengurangi dampak lingkungan dan menciptakan produk ekonomi lainnya dalam waktu bersamaan, konsep IMTA juga merupakan konsep budidaya yang tidak rentan terhadap penyakit karena adanya diversifikasi produk dalam konsep IMTA. Sedangkan pada sistem monokultur rumput laut tidak diintegrasikan dengan abalon yang menyebabkan nutrien yang didapatkan oleh rumput laut terbatas dan rentan terhadap hama dikarenakan tidak adanya diversifikasi produk. Setjanata (1983) menyatakan bahwa sistem monokultur
merupakan sistem budidaya dengan cara menanam satu jenis tanaman pada satu area, namun pada sistem ini memiliki kekurangan yaitu tanaman relatif mudah terserang hama maupun penyakit yang dapat mengganggu pertumbuhan rumput laut. Namun, pada siklus 3 dari perlakuan T1 (monokultur), T2 (ko-kultur 20 abalon), dan T3 (ko-kultur 40 abalon) didapatkan hasil yaitu sig = 0,604 > α = 0,05, yang artinya tidak ada pengaruh perbedaan perlakuan sistem monokultur dan ko-kultur terhadap laju pertumbuhan rumput laut E. cottonii. Adanya nilai sig > α = 0,05 pada siklus 3 diduga karena adanya pengaruh nilai salinitas yang lebih tinggi pada akhir penelitian yaitu sebesar 35 ppt. Menurut Guo (2014) menyatakan bahwa kisaran salinitas yang mendukung untuk pertumbuhan rumput laut yaitu sebesar 25 - 33 ppt. Penurunan dan peningkatan salinitas diatas batas optimum menyebabkan rumput laut tidak elastis, pertumbuhannya terhambat dan mudah patah (Latif 2008). Pada siklus 3, laju pertumbuhan rumput laut E. cottonii pada sistem ko-kultur dan monokultur juga mengalami kenaikan laju pertumbuhan yang tidak maksimal diduga disebabkan rumput laut sudah memasuki masa panen yang menyebabkan kondisi rumput laut mulai melemah dan mudah terbawa oleh arus.
Adanya pengaruh perlakuan sistem budidaya ko-kultur dan monokultur terhadap laju pertumbuhan rumput laut E. cottonii juga dapat dilihat dari analisis Compare Means Test atau uji perbandingan rata-rata bobot rumput laut pada perlakuan yaitu monokultur dan ko-kultur dengan siklus yang berbeda yaitu pada Tabel 4, 5 dan 6. Pada tabel tersebut menunjukkan nilai rata-rata bobot rumput laut pada sistem budidaya ko-kultur menunjukkan nilai rata-rata bobot rumput laut lebih tinggi dari pada nilai rata-rata bobot rumput laut pada sistem monokultur. Adanya penerapan sistem budidaya ko-kultur oleh nelayan rumput laut dengan metode yang benar akan memberikan keuntungan yang maksimal.
Tabel 4. Hasil Compare Means Test pada siklus 1
Perlakuan |
Mean |
N |
Std. Deviation |
Sum |
MiiiirriUEi |
Maximum |
Variance |
Monoculture Co-culture 20 Go-culture 40 Total |
4.63 66.30 57.57 42.83 |
30 30 30 90 |
19.599 37.487 44.770 44.574 |
139 1989 1727 3855 |
-38 -54 -59 -59 |
46 120 132 132 |
384.102 1405 252 2004392 1986.837 |
Tabel 5. Hasil Compare Means Test pada siklus 2
Tabel 6. Hasil Compare Means Test pada siklus 3
Perlakuan |
Mean |
N |
Std. Devladon |
Sum |
Minimum |
Maximum |
Variance |
Monoculture |
9.40 |
30 |
30.449 |
282 |
-50 |
79 |
927.145 |
Co-CultuielO |
41.57 |
30 |
73.556 |
1247 |
-92 |
235 |
5410.530 |
Co-culture 40 |
20.63 |
30 |
70.040 |
619 |
-148 |
149 |
4905.620 |
Total |
23.87 |
90 |
61.994 |
2148 |
-148 |
235 |
3843218 |
-
3.3. Laju Pertumbuhan Rumput Laut Eucheuma cottonii pada Budidaya Ko-kultur dengan Padat Tebar Abalon yang Berbeda pada Siklus 1, 2, dan 3
Laju pertumbuhan rumput laut E. cottonii dengan padat tebar abalon yang berbeda yaitu padat tebar 20 ekor abalon (ko-kultur 20) dan 40 ekor abalon (ko-kultur 40) pada siklus 1, siklus 2, dan siklus 3 ditampilkan pada Gambar 4 sebagai berikut :
3
Gambar 4. Grafik laju pertumbuhan rumput laut dengan padat tebar abalon yang berbeda yaitu 20 ekor abalon (ko-kultur 20) dan 40 ekor abalon (ko-kultur 40) pada siklus 1, siklus 2, dan siklus 3
Hasil penelitian yang sudah didapatkan, diketahui bahwa laju pertumbuhan rumput laut pada padat tebar 20 ekor abalon lebih tinggi dari pada laju pertumbuhan rumput laut pada padat tebar 40 ekor abalon pada siklus 1 dan 2. Sedangkan pada siklus 3, laju pertumbuhan rumput laut dengan padat tebar 20 ekor abalon lebih rendah dari pada laju pertumbuhan rumput laut pada padat tebar 40 ekor abalon. Adanya laju pertumbuhan rumput laut pada padat tebar 20 ekor abalon lebih tinggi pada siklus 1 dan 2 disebabkan karena pada padat tebar 20 ekor abalon, abalon dapat memanfaatkan asupan oksigen dan nitrat hasil proses fotosintensis rumput laut lebih banyak dari pada abalon dengan padat tebar 40 ekor. Dengan adanya asupan oksigen yang cukup dan didukung juga dengan adanya ruang gerak dan kebutuhan pakan yang cukup karena tingkat kompetisi terhadap sesama abalon untuk mencari makan tidak terlalu tinggi dari pada padat tebar abalon sebanyak 40 ekor menyebabkan abalon dengan padat tebar 20 ekor lebih baik dalam hal pertumbuhannya, tingkat kematian abalon akan lebih sedikit dan hasil metabolisme berupa feses dan sisa makanan dari abalon yang berupa CO2 dan nutrien inorganik yaitu nitrogen dalam bentuk ammonium (NH4) dan fosfat yang akan termanfaatkan dengan baik oleh rumput laut yaitu sebagai biofilter dalam mendukung proses fotosintesis dan pertumbuhan rumput laut semakin cepat. Adanya hal tersebut sesuai dengan pendapat Akkae (1986) yang menyatakan bahwa jika padat penebaran suatu organisme rendah maka pertumbuhan akan menjadi cepat, sebaliknya jika padat penebaran suatu organisme tinggi maka pertumbuhan akan menjadi lambat.
Selain ruang gerak dan pakan yang cukup, padat tebar abalon 20 ekor juga memiliki laju pertumbuhan rumput laut yang lebih tinggi dibandingkan pada laju pertumbuhan rumput laut pada padat tebar 40 ekor abalon dikarenakan tingkat kebersihan keranjang abalon dari sisa-sisa pakan abalon pada padat tebar 20 ekor abalon tidak terlalu banyak dari pada padat tebar abalon 40 ekor. Adanya sisa pakan yang tidak digunakan dalam jumlah banyak dapat menyebabkan abalon mendapatkan asupan oksigen menjadi lebih sedikit karena tertutupi oleh sisa-sisa pakan yang tidak digunakan. Hal tersebut menyebabkan abalon pada padat tebar 40 ekor menjadi lemas, proses metabolisme abalon
terganggu, dan menyebabkan rumput laut sebagai biofilter tidak dapat memanfaatkan limbah produk abalon secara maksimal dalam proses fotosintesis untuk pertumbuhan rumput laut. Rusdi et al., (2009) menyatakan bahwa pemeliharaan benih abalon sangat dipengaruhi oleh lingkungannya, dan hal tersebut dapat berdampak pada pertumbuhan abalon yang berbeda-beda pada setiap pemeliharaannya.
Sedangkan pada siklus 3 laju pertumbuhan rumput laut dengan padat tebar 20 ekor abalon lebih rendah dari pada laju pertumbuhan rumput laut pada padat tebar 40 ekor abalon disebabkan karena pada siklus 3 terdapat 2 keranjang abalon dengan padat tebar 20 ekor abalon yang hilang. Hilangnya 2 keranjang abalon diduga akibat adanya pencurian yang dilakukan oleh masyarakat sekitar pantai geger yang melakukan aktivitas pada malam hari di pantai geger. Hal tersebut diketahui dari hasil perbincangan dengan masyarakat yang berada dikawasan pantai geger (Nelayan di pantai Geger). Adanya keranjang yang hilang tersebut menyebabkan laju pertumbuhan rumput laut dengan padat tebar 20 ekor abalon lebih rendah dari pada laju pertumbuhan rumput laut pada padat tebar 40 ekor abalon karena nutrisi yang didapatkan rumput laut dari hasil metabolisme abalon berkurang dan menyebabkan pertumbuhan terhambat. Ginting (2015) menyatakan bahwa nutrien sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut dikarenakan nitrogen (N) dapat bermanfaat untuk merangsang pertumbuhan rumput laut agar berkembang dengan pesat dan apabila kekurangan N maka akan menghambat pertumbuhan karena proses fotosintesis akan terganggu.
Hasil analisis uji lanjutan yaitu Mann-Whitney Test mendapatkan hasil bahwa laju pertumbuhan rumput laut dari perlakuan ko-kultur 20 dan ko-kultur 40 pada siklus 1 sebesar sig = 0,329 > α = 0,05 , siklus 2 sebesar sig = 0,290 > α = 0,05 dan siklus 3 sebesar sig = 0,906 > α = 0,05, sehingga perbedaan padat tebar abalon yang berbeda yaitu padat tebar 20 ekor dan padat tebar 40 ekor abalon tidak berpengaruh terhadap laju pertumbuhan rumput laut E. cottonii.
Laju pertumbuhan spesifik rumput laut E. cottonii, mengalami pertumbuhan tertinggi pada siklus 1 dan 2 melalui sistem budidaya ko-kultur, sedangkan pada siklus 3 sistem budidaya ko-kultur mengalami penurunan laju pertumbuhan diakibatkan adanya persaingan antar talus yang semakin tinggi yang menyebabkan nutrisi yang didapatkan talus semakin berkurang, adanya epifit dan potongan lamun yang menempel pada jaring yang menutupi kontruksi budidaya ko-kultur, adanya arus yang cukup besar pada siklus 2 serta hilangnya abalon yang diduga diambil oleh masyarakat di sekitar pantai Geger pada siklus 3 yang menyebabkan pertumbuhan rumput laut tidak maksimal. Pada laju pertumbuhan dengan padat tebar abalon yang berbeda yaitu padat tebar 20 ekor abalon dan 40 ekor abalon mengalami laju pertumbuhan rumput laut tertinggi pada siklus 1 dan 2 pada padat tebar abalon 20 ekor sedangkan pada siklus 3 laju pertumbuhan pada padat tebar 20 ekor abalon mengalami penurunan yang disebabkan pada proses penanaman di siklus 3 terjadi 2 keranjang abalon hilang yaitu keranjang dengan padat tebar 20 ekor abalon, yang menyebabkan laju pertumbuhan rumput laut pada padat tebar 20 ekor abalon menurun karena nutrisi yang didapatkan oleh talus semakin berkurang.
Ucapan Terimakasih
Penulis mengucapkan terimakasih kepada reviewer jurnal yang sangat membantu dalam memberikan kritik dan saran dalam penulisan jurnal sehingga jurnal ini dapat terselesaikan dengan baik, serta Bapak Made Kutir yang telah memberikan fasilitas tempat serta membantu selama penelitian di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
[ITC] International Trade Center. 2015. Data Ekspor Impor Rumput Laut
Dunia HS 121220, HS 121221, HS 121229, HS 130231,HS 130239 Periode 2010-2014.
Akib A, Litaay M, Ambeng, Asnady M. 2015. Kelayakan Kualitas Air Untuk Kawasan Budidaya Eucheuma cottonii Berdasarkan Aspek Fisika, Kimia dan Biologi di Kabupaten Kepulauan Selayar. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis Vol 1: 1-12
Akkae. 1986. Percobaan Budidaya Udang Putih (Penaeus marguenesis) di
Tambak dengan Padat Penebaran yang berbeda [Tesis]. Ujung Pandang : Fakultas Peternakan Jurusan Perikanan, Universitas Hasanuddin.
Anggadiredja JT, Zatnika A, Purwoto H, Istini S. 2006. Rumput Laut : Pembudidayaan, Pengolahan dan Pemasaran Komoditas Perikanan Potensial. Jakarta : Penebar Swadaya. 147 hlm
Aryati RW, Sya’rani L, Arini E. 2007. Analisis Kesesuaian Perairan Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan sebagai Lahan Budidaya Rumput Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Jurnal Pasir Laut Vol 3(1).
Asni A. 2015. Analisis Produksi Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii)
Berdasarkan Musim dan Jarak Lokasi Budidaya di Perairan Kabupaten
Bantaeng. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Muslim Indonesia. Makasar. Hal 37
Barrington K, Chopin T, Robinson S. 2009. Integrated Multi-trophic
Aquaculture (IMTA) in marine temperate waters. Integrated mariculture: a global review. FAO Fisheries and Aquaculture Technical Paper. No.
529. Rome, FAO: 7-46.
Budiyani FE, K. Suwartimah, Sunaryo. 2012. Pengaruh Penambahan
Nitrogen dengan Konsentrasi yang Berbeda terhadap Laju Pertumbuhan
Rumput Laut Caulerpa racemosa var. unifera. Journal of Marine Research Vol 1 (1) : 10-18.
Damar A, Wardiatno Y, Yuli N, Nyoman MNN, Unggul A. 1992. Studi Kemungkinan Budidaya Algae Laut Gracilaria lichenoides di Tambak di Perairan Pantai Selatan Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat. Institusi Pertanian Bogor.
Departemen Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tengah. 2007. Grand Strategi Pengembangan Budidaya Rumput Laut di Sulawesi Tengah.
Palu
Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. 2008. Petunjuk teknis budidaya rumput laut Eucheuma spp. DKP RI, Ditjenkanbud. Jakarta. Hal 41
Eti F, Dwi SW, Ilalqisny I. 2014. Studi Komunitas Rumput Laut Pada Berbagai Substrat di Perairan Pantai Permisian Kabupaten Cilacap. Jurnal Scripta Biologica Vol (1) : 55-60.
Effendy IJ. 2000. Study on Early Developmental Stages of Donkey Ear Abalon (H. Asinina) [Thesis]. Philippines. Institute of Aquaculture.
College of Fisheries. University of Philippines in the Visayas. Miag-ao, Iloio. Philippines. 146 hal.
Fikri M, Rejeki S, Widowati LL. 2015. Produksi dan Kualitas Rumput Laut (Eucheuma cottonii) dengan Kedalaman Berbeda di Perairan Bulu Kabupaten Jepara. Journal of Aquaculture Management and Technology Vol 4(2):67-74.
Ginting ES, Rejeki S, Susilowati T. 2015. Pengaruh Perendaman Pupuk Organik Cair Dengan Dosis yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Rumput Laut (Caulerpa lentillifera). Journal of Aquaculture Management and Technology Vol 4 (4) : 82-87.
Guo H, Yao J, Sun Z and Duan D. 2014. Effect of Temperature, Irradiance on the Growth of the Green Alga Caulerpa lentillifera (Bryopsidophyceae, Chlorophyta). Journal of Applied Phycology Vol 27(2) : 879-885.
Kamlasi. 2008. Kajian Ekologis dan Biologi Untuk Pengembangan Budidaya
Rumput Laut K.alvarezii di Kecamatan Kupang Barat Kabupaten
Kupang NTT [Tesis]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institusi Pertanian Bogor. 120 hal.
Kutir M, Simbik M. 2018. Pengelolaan Budidaya Rumput Laut. Hasil
Wawancara. Pantai Geger, Nusa Dua, Bali.
Krismaningrum E. 2007. Pengaruh Perbedaan Pola Tanam Terhadap Pertumbuhan Rumput Laut Eucheuma cottonii di Pantai Geger Nusa Dua, Provinsi Bali [skripsi]. Bali : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana. 1-36 hal.
Latif I. 2008. Pengaruh Pemberian Pupuk Terhadap Pertumbuhan, Produksi dan Kandungan Karagenan Runput Laut Kappaphycus striatum.
http://www.unhas.com. 20/01/2009. 2 hal.
Luning K. 1990. Sea Weeds Their Environment, Biogeography, and Ecophysiology. A Wiley Interscience Publication, John Wiley and Sons, Inc.
Luthfiyana N, Nurjanah, Nurilmala M, Anwar E. Hidayat T. 2016. Rasio bubur rumput laut Eucheuma cottonii dan Sargassum sp. sebagai formula krim tabir surya. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 19(3): 183-195
Marisca N. 2013. Aklimatisasi Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Hasil Kultur Jaringan Dengan Kepadatan Yang Berbeda Dalam Akuarium di Rumah Kaca [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 73 hal.
Mondoringin L, Tiwa RB, Salindeho I. 2013. Pertumbuhan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii pada Perbedaan Kedalaman dan Berat Awal di Perairan Talengen Kabupaten Kepulauan Sangihe. Laporan Penelitian. Sulawesi Utara.
Mudeng JD, Kolopita MEF, Rahman A. 2015. Kondisi Lingkungan Perairan Pada Lahan Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii di Desa Jayakarsa Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal Budidaya Perairan Vol 3: 1-15
Munoz J, Fotedar R. 2009. Epiphytism of Glacilaria cliftonii (Withell, Millar & Kraft) from Western Australia. Journal of Applied Phycplogy. DOI 10.1007/s10811-009-9469
Musa N, Wei LS. 2008. Bacteria Attached on Cultured Seaweed Gracilaria changii at Mangabang Telipot, Terengganu. Academic Journal of Plant Sciences 1 (1): pp. 01-04
Nurdiana, Kasim M, Yusuf S. 2016. Studi tentang Komposisi Jenis dan Keanekaragaman Makroepifit pada Budidaya Rumput Laut di Perairan Darawa Kecamatan Kaledupa Selatan Kabupaten Wakatobi. Jurnal Manajemen Sumber Daya Perairan Vol 1(2) : 195-200.
Patty SI, Arfah H, Abdul MS. 2015. Zat Hara (Fosfat,Nitrat), Oksigen Terlampir dan pH Kaitannya dengan Kesuburan di Perairan Jikumerasa, Pulau Buru. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis Vol. 1 No. 1 : 8 hal.
Prabowo AY. 2007. Budidaya Rumput Laut. http://teknis-budidaya.blogspot.com. Diakses tanggal 10 Jjuli 2018.
Pratomo H, Sulistyowati L. 2001. Studi Karakter Fisika Kimia Perairan Pulau Kelapa untuk Penetuan Lokasi Budidaya Rumput Laut. Universitas Terbuka. Lembaga Pusat Studi Penelitian Indonesia.
Rismawati. 2012. Studi Laju Pengeringan Semi-Refined Carrageenan (src) Yang Diproduksi Dari Rumput Laut Eucheuma cottonii Dengan Metode Pemanasan Konvensional dan Pemanasan OHMIC [skripsi]. Makassar : Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin. 85-92 hal
Rusdi I, B. Susanto, R. Rahmawati, S. Ismi, HT. Yudha, R. Septory. 2009. Perbaikan Kualitas induk dan larva-juvenil abalon (Haliotis squamata) Melalui Pengelolaan Lingkungan . Laporan teknis BBRPBL-Gondol, Bali 35 hlm.
Setjanata S. 1983. Perkembangan Penerapan Pola Tanam dan Pola Usahatani dalam Usaha Intensifikasi (Proyek Bimas). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor, p : 105-110.
Sukti AN, Effendy Jl; Sarita AH. 2016. Perbandingan Pertumbuhan dan Sintasan Populasi Abalon Yang Dipelihara Bersama Sponge dan Rumput Laut. Sulawesi Tenggara. hal 1-8.
Susanto AB. 2005. Metode Lepas Dasar dengan Model Cidaun pada Budidaya Eucheuma spinosum (Linnaeus) Agardh. Ilmu Kelautan Vol 10(3):158-164.
Valderrama D, J. Cai, N. Hishamunda, and N. Ridler. 2013. Social and economic dimensions of carrageenan seaweed farming. Fisheries and Aquaculture Technical Paper. No. 580. FAO. Rome
Váradi L. 2012. Newly discovered form of aquaculture: Integrated Multitrophic Aquaculture (IMTA). NACEE Workshop on some specific issues of freshwater aquaculture (pp. 1-20). Rétimajor: Hungarian Aquaculture Association.
Waluyo, Yonvitner, Riani E, Arifin T. 2016. Daya Dukung Perairan Untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii di Kabupaten Luwu dan Kota Palopo, Teluk Bone, Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis Vol 8(2) : 469-492.
Yudiastuti. 2017. Laju Pertumbuhan Rumput Laut Eucheuma cottonii melalui budidaya IMTA (Integrated Multi Trophic Aquaculture) di Pantai Geger, Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali [skripsi]. Bali : Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana. 85 hlm
16
Discussion and feedback