Karakteristik Akad Mukhabarah bil Mudharabah Pada Kemitraan Pertanian Tebu
on
Karakteristik Akad Mukhabarah bil Mudharabah pada Kemitraan Pertanian Tebu
Auliya Safira Putri1, Dyah Ochtorina Susanti2, Rahmadi Indra Tektona3
1Fakultas Hukum Universitas Jember, E-mail: [email protected]
2Fakultas Hukum Universitas Jember, E-mail: [email protected]
3Fakultas Hukum Universitas Jember, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 30 Maret 2023
Diterima: 27 Juli 2023 Terbit: 29 Juli 2023
Keywords: Mukhabarah; Mudharabah; Agricultural Partnership.
Kata kunci:
Mukhabarah; Mudharabah;
Kemitraan; Pertanian.
Corresponding Author:
Dyah Ochtorina Susanti, E-mail:
DOI:
10.24843/JMHU.2023.v12.i0
2.p09
Abstract
The presence of an imbalance in the partnership between sugar mills and sugarcane farmers under the agricultural land leasing system has an impact on national sugar productivity. This study was based on the speculative hypothesis that existing partnerships frequently harm sugarcane farmers. The goal of this study is to examine a type of partnership that occurs in sugar cane farming in Indonesia using a new method based on sharia economic law known as the mukharabah bil mudharabah contract. The research method employed in this study is normative-juridical, including statutory and conceptual methods. This research yielded findings in the form of a new concept that depicts the characteristics of sugarcane farmer partnerships based on the mukharabah bil mudharabah contract and provides policy input for the government regarding sugarcane farmer partnerships with financing institutions based on the mukharabah bil mudharabah contract. In relation to this, the researchers proposed the concept of a "mukharabah bil mudharabah" contract to replace the partnership concept that has been implemented thus far in the hope that it will not be detrimental to sugarcane farmers.
Abstrak
Adanya ketidakseimbangan pada kerja sama kemitraan di antara pabrik gula dan petani tebu yang dilakukan dengan sistem sewa lahan pertanian mempengaruhi produktivitas gula nasional. Penelitian ini dilakukan dengan dasar hipotesa sementara bahwa kemitraan yang ada saat ini sering kali merugikan petani tebu. Objek penelitian ini adalah bentuk kemitraan yang terjadi pada pertanian tebu di Indonesia dengan metode baru berdasarkan konsep hukum ekonomi syariah yang dikenal dengan nama akad mukharabah bil mudharabah. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Penelitian ini menghasilkan temuan berupa konsep baru yang menunjukkan karakteristik mengenai kemitraan petani tebu berdasar akad mukharabah bil mudharabah, dan masukan kebijakan bagi pemerintah terkait kemitraan petani tebu dengan lembaga pembiayaan dengan berdasar konsep akad mukharabah bil mudharabah. Terkait hal tersebut maka peneliti mengajukan konsep akad mukharabah bil mudharabah guna menggantikan konsep kemitraan yang selama ini dijalankan dengan harapan
tidak merugikan petani tebu.
-
I. Pendahuluan
Tanaman tebu merupakan bahan baku dalam produksi gula nasional, yang mana luas lahan pertanian tebu di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021 mencapai 449.008 hektare (ha). Berdasarkan luas tersebut, hasil produksi tebu yang didapatkan sebesar 2,35 juta ton.1 Jumlah produksi tebu secara otomatis mempengaruhi hasil produksi gula. Gula merupakan komoditas yang berperan penting dalam upaya ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat, bahkan pada forum negosiasi World Trade Organization (WTO), komoditas gula ditetapkan sebagai produk khusus bersama dengan produk pertanian lainnya, yakni beras, jagung dan kedelai. 2 Hal tersebut menunjukkan bahwa gula telah menjadi kebutuhan pokok sama halnya dengan hasil pertanian lainnya.
Produksi gula nasional dalam lima tahun terakhir rata-rata mencapai sekitar 2,2 juta ton per tahun. Pada tahun 2021 berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah produksi gula mencapai 2,42 juta ton. 3 Hasil produksi tersebut belum sebanding dengan kebutuhan konsumsi gula nasional yang mencapai hingga 6 juta ton dan diproyeksikan akan terus meningkat setiap tahunnya hingga diperkirakan mencapai 9,8 juta ton pada tahun 2030. 4 Terkait demikian, maka kebutuhan konsumsi gula nasional masih belum tercukupi, sehingga untuk mengatasi itu pemerintah melakukan impor gula dari beberapa negara lain. Banyaknya impor gula yang masuk tentunya mempengaruhi harga gula di dalam negeri dan hal tersebut berdampak pada para petani gula yang merasa dirugikan. Besaran impor gula yang mencapai rata-rata 3,5 juta ton lebih justru menguntungkan bagi petani negara asing. Pada tahun 2022 ini impor gula mentah mengalami peningkatan, hingga mencapai sebanyak 4,37 juta ton, dibanding pada tahun 2021 yang dialokasikan sebanyak 3,78 juta ton. 5 Hal ini berbanding terbalik dengan keadaan petani tebu di Indonesia, di mana dengan besarnya jumlah impor gula tersebut, mempengaruhi rendahnya harga gula nasional. Akibatnya, gairah petani untuk penanaman tebu menjadi menurun, sebab keuntungan yang di dapat tidak sebanding dengan nilai pokok yang dikeluarkan.
Sehubungan dengan penjelasan di atas, maka diperlukan suatu cara untuk mengatasi permasalahan para petani tebu dan meningkatkan produktivitas gula di Indonesia
agar dapat mencukupi kebutuhan konsumsi gula nasional. Selama ini praktik yang berkembang di masyarakat dalam hubungan kerja sama antara petani pemilik lahan pertanian tebu dan pabrik gula sering dilakukan dengan sistem sewa lahan pertanian untuk dikelola oleh pabrik gula. Padahal, hak sewa atas lahan petanian masuk dalam kategori hak-hak atas tanah yang bersifat sementara, yang diatur dalam Pasal 16 jo Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Artinya, hak sewa atas tanah pertanian akan segara dihapuskan karena dianggap bertentangan dengan Pasal 10 ayat (1) UUPA, yakni tidak boleh ada unsur pemerasan. Unsur pemerasan pada sistem sewa lahan pertanian ini diartikan dengan adanya ketidakadilan, sebab lebih didominasi oleh pabrik gula, di mana petani pemilik lahan hanya menerima hasil pembayaran sewa lahan, sedangkan hasil keuntungan yang diperoleh pabrik gula belum diketahui.6 Terkait demikian, meskipun pabrik gula memperoleh keuntungan yang besar, petani akan tetap memperoleh pembayaran sebesar kesepakatan di awal perjanjian sewa. Petani pemilik lahan juga tidak dilibatkan dalam proses pengurusan lahan. Akibatnya petani kurang produktif dan hanya memperoleh keuntungan dari biaya sewa lahan untuk pertanian tebu.
Bentuk kerja sama lainnya yang biasa digunakan dalam pertanian tebu selain sewa lahan, yaitu seperti Inti-Plasma dan Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA), sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 940/Kpts/OT.210/10/97 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, namun dalam kemitraan inti-plasma sering kali pabrik tebu sebagai inti memiliki posisi yang lebih dominan, selain itu dalam bentuk ini melibatkan kredit kepada pihak bank untuk membiayai petani dalam pengelolaan lahan tebu, sehingga menganut adanya sistem bunga bank dalam pengembalian biaya modal usaha. Sementara dalam kemitraan berdasarkan Kerjasama Operasioanal Agribisnis, petani tebu sebagai mitra sering kali memiliki posisi tawar yang rendah dibandingkan dengan Pabrik Gula. Sebagaimana contoh kasus berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Marda Sixmala, Made Antara dan I Ketut Suamba tentang kemitraan antara PG Rejo Agung Baru dengan petani tebu yang ada di wilayah Madiun. Kemitraan tersebut dilaksanakan dengan model kerjasama operasioanal agribisnis, dari hasil penelitian tersebut memaparkan bahwa petani tebu mengalami kendala seperti posisi tawar yang rendah dan keterlambatan pencairan modal pinjaman untuk pengelolaan lahan tebu.7
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka menurut penulis dalam hubungan kerja sama antara petani pemilik lahan dan pabrik gula dalam konsep sewa lahan pertanian, inti-plasma dan kerjasama operasional agribisnis kurang efektif. Hal ini disebabkan adanya ketidakseimbangan dalam hubungan kerja sama yang dilakukan, di mana petani lebih banyak dirugikan. Mengatasi hal tersebut, penulis tertarik untuk memberikan pemikiran mengenai konsep baru dalam kerja sama di sektor pertanian tebu melalui akad mukhabarah bil mudharabah. Akad ini merupakan penggabungan dari dua akad, yaitu akad mukhabarah dan akad mudharabah.
Akad mukhabarah adalah kerja sama dalam pemanfaatan lahan pertanian antara pemilik lahan pertanian (pemilik modal) dan penggarap (keterampilan dan keahlian) yang bibit tanamannya berasal dari penggarap, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak.8 Selanjutnya, definisi mengenai akad mudharabah yaitu perjanjian atas suatu jenis kemitraan, di mana pihak pertama (shohibul maal) menyediakan dana dan pihak kedua (mudharib) bertanggung jawab atas pengelolaan usaha, di mana keuntungan dari usaha dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati bersama pada awal perjanjian.9 Penggabungan kedua akad ini merupakan hal baru dalam ekonomi Islam, yang memerlukan analisis dan pemahaman terhadap unsur-unsur yang terkandung dalam akad tersebut.10 Terkait hal ini, isu hukum yang diangkat dalam artikel ini adalah “Apa penciri dari akad mukhabarah bil mudharabah pada kemitraan pertanian tebu?”
Selanjutnya, penelitian terdahulu sebagai bahan perbandingan untuk menunjukkan orisinalitas tehadap penelitian ini. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh M. Sholihun pada tahun 2023 dengan judul “Pengaruh Pembiayaan Ijarah Terhadap Produksi Tebu (Studi Kasus Petani Tebu Tergabung dalam Jabung BMR Al-Hijrah Kan Jabung Syari’ah). 11 Penelitin ini fokus membahas terkait pembiayaan ijarah dalam rangka meningkatkan hasil produksi tani tebu. Kedua, penelitian oleh Resna Trimerani dan Listiyani pada Tahun 2023 dengan judul “Kajian Pola Bagi Hasil antara Petani Tebu dengan Pabrik Gula di PG Madukismo” dengan fokus penelitian terhadap pola bagi hasil dan distribusi hasil pertanian tebu antara petani tebu dan Pabrik Gula Madukismo. 12 Adapun yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu penelitian ini fokus terhadap penemuan konsep kemitraan baru dalam pertanian tebu melalui penggabungan dua akad yaitu akad mukhabarah bil mudharabah, sehingga dapat ditemukan ciri khas berbeda dalam akad ini.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang menekankan pada norma hukum yang ada dan berlaku di masyarakat sebagai objek penelitiannya.13 Penelitian hukum normatif dikenal juga sebagai penelitian doktrinal yakni penelitian berbasis kepustakaan yang tujuannya adalah memberikan eksposisi yang bersifat sistematis terkait aturan hukum dibidang tertentu, menganalisis hubungan diantara satu aturan hukum dengan yang lainnya, serta dimungkinkan juga mencakup prediksi perkembangan dalam aturan-aturan hukum tertentu di masa
mendatang.14 Berkaitan dengan penelitian ini, penulis akan memberikan pemaparan dan penjalasan terkait isu hukum yang diteliti dengan melakukan analisis terhadap bahan hukum baik berupa asas, konsep, doktrin, teori dan aturan hukum guna memberikan konsep baru dalam bentuk akad mukhabarah bil mudharabah yang memiliki ciri khusus dalam kemitraan pertanian tebu. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 (dua) yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Pendekatan perundang-undangan pada penelitian ini digunakan untuk mengkaji seluruh aturan terkait dengan akad mukhabarah bil mudharabah pada kemitraan pertanian tebu. Selanjutnya, pendekatan konseptual digunakan untuk menelaah karakteristik serta konsep akad mukhabarah bil mudharabah dalam kemitraan pertanian tebu. Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan. Adapun bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer berupa asas dan norma hukum yang berlaku, bahan hukum sekunder dan bahan non-hukum15 yang memiliki relevansi dengan isu hukum yang sedang diteliti yaitu akad mukhabarah bil mudharabah pada kemitraan pertanian tebu.
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Akad Mukhabarah dan Akad Mudharabah sebagai Akad Kemitraan dalam Hukum Ekonomi Syariah
-
Perjanjian dalam hukum Islam disebut “akad”, yang asal katanya dari bahasa Arab, yaitu al-aqdu. Bentuk jamak dari akad disebut al-uquud artinya ikatan atau simpul tali. Akad atau perjanjian dapat didefinisikan sebagai hubungan kemitraan yang terbingkai berdasarkan nilai-nilai syariah. 16 Akad secara khusus mengacu pada kombinasi penawaran dan penerimaan antara pihak-pihak yang membuat kontrak yang merupakan kewajiban hukum pada mereka. 17 Akad mukhabarah adalah perjanjian kemitraan pertanian yang dikenal dalam hukum ekonomi syariah, yang mana kata al-mukhabarah asalnya yaitu al-khabar yang mempunyai arti tanah gembur/subur, sedangkan orang Irak menyebutnya sebagai al-qaraah.18 Mukhabarah merupakan model kerja sama antara pemilik lahan dan pengelola atau penggarap dengan kesepakatan bahwa hasil keuntungannya akan dibagi antara pemilik lahan dan pengelola berdasarkan kesepakatan bersama, sedangkan biaya dan bibit tanamannya berasal dari pengelola.19
Menurut ulama Hanabilah, mukhabarah adalah tindakan menyerahkan tanah kepada orang yang bercocok tanam atau mengelolanya, kemudian hasil tanamannya tersebut
dibagi antara pemilik tanah dan pengelola. 20 Mukhabarah sering kali diidentikkan dengan muzara’ah, keduanya hampir sama namun memiliki sedikit perbedaan yang mana dalam kerja sama berdasarkan muzara’ah, bibit tanaman berasal dari pemilik lahan. Adapun pada mukhabarah bibit tanaman berasal dari penggarap.21
Bagan 1.
Skema Akad Mukhabarah
Sumber: catatan pribadi, diolah, 2023
Mengacu bagan di atas, maka dapat dipahami bahwa kemitraan pertanian berdasarkan akad mukhabarah di sektor pertanian merupakan kerja sama pemanfaatan lahan pertanian di antara pemilik lahan (modal lahan untuk digarap) dan penggarap (keterampilan dan keahlian) yang bibit tanamannya berasal dari penggarap, dengan ketentuan perolehan keuntungan dari hasil panen sesuai nisbah yang disepakati di awal oleh pemilik lahan dan pengelola dengan ketentuan jangka waktu tertentu, biasanya musiman (menyesuaikan musim tanamannya).
Selanjutnya, mudharabah asal katanya yakni al-darb yang artinya berjalan atau memukul, definisi tersebut lebih tepatnya diartikan sebagai proses berjalan guna melaksanakan usahanya. Mudharabah juga dikenal dengan sebutan qirad yaitu bentuk perjanjian kerja sama antara kedua belah pihak (mudharib dan shohibul maal).22 Menurut Syafi’i Antonio, mudharabah adalah akad kerja sama dengan ketentuan bagi hasil terhadap keuntungan yang diperoleh sesuai kesepakatan di awal antara mudharib dan shohibul maal sehingga dapat mendorong perkembangan perekonomian Islam.23
Lebih jelas terkait akad mudharabah adalah perjanjian kemitraan antara pemilik dana (shahibul maal) dan pengelola usaha (mudharib). Pada umumnya shahibul maal sebagai pemberi modal memberikan 100% modal kepada mudharib, dengan jangka waktu
tertentu. Terkait demikian, apabila terdapat kerugian karena proses normal bukan karena kelalaian atau kecurangan dari pengelola, maka kerugian ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal. Sebaliknya apabila terdapat kelalaian atau kecurangan oleh pihak pengelola, maka pengelola yang bertanggung jawab penuh atas kerugian tersebut.24 Perolehan tinggi dan rendahnya pendapatan dari keuntungan bagi hasil tergantung pada pemaksimalan usaha yang dilakukan oleh pihak mudharib, dalam hal ini shohibul maal telah mempercayakan dananya untuk usaha yang dikelola guna memperoleh keuntungan maksimal.25
Akad mukhabarah sendiri belum diatur secara eksplisit pada tata urutan perundang-undangan di Indonesia, namun secara implisit akad mukhabarah disebutkan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 91/DSN-MUI/IV/2014 tentang Pembiayaan Sindikasi (Al-Tamwil Al-Mashrifi Al-Mujamma’). Meskipun tidak diatur secara eksplisit oleh tata urutan perundang-undangan di Indonesia, akad mukhabarah ini terlaksana. Hal tersebut sesuai dengan hadist yang menyatakan bahwa:
“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.” (HR. Muslim, No. 2363).
Berkenaan dengam demikian, kerja sama lahan pertanian berdasarkan sistem bagi hasil yang mirip dengan akad mukhabarah telah dipraktiknya sejak lama oleh masyarakat Indonesia. Kerja sama tersebut dikenal dengan beberapa istilah seperti “parohan sawah”, “paduon”, atau “patigoan”.26
Terkait akad mudharabah telah diatur secara jelas dalam aturan perundang-undangan, beberapa diantaranya yaitu terdapat dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh); Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 115/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Mudharabah; Pasal 231 sampai dengan Pasal 254 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES); serta terdapat pula dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Berkenaan dengan uraian di atas, akad mukhabarah dan akad mudharabah merupakan jenis akad kemitraan dalam hukum ekonomi syariah yang secara umum memiliki ketentuan bagi hasil berdasarkan nisbah yang disepakati oleh para pihak yang terkait. Kedua akad ini memiliki spesifikasi yang berbeda, di mana akad mukhabarah lebih khusus diterapkan dalam kemitraan dibidang pertanian, sedangkan mudharabah lebih kepada pemberian modal sebagai pembiayaan usaha secara umum. Terkait demikian, kedua akad tersebut dapat digabungkan menjadi satu akad selama pada penerapannya tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam dan ketentuan hukum ekonomi syariah.
Karakteristik menurut Thesaurus Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai kekhususan, keistimewaan, keunikan, atau ciri khas yang mana adalah pembeda antara satu hal dengan yang lainnya, sehingga akan lebih mudah untuk diingat melalui karakteristik yang dimiliki.27 Berkenaan dengan hal tersebut akad mukhabarah bil mudharabah yang merupakan penggabungan dari dua akad yaitu mukhabarah dan mudharabah tentunya memiliki karakteristik yang berbeda dengan akad-akad lainnya dalam hukum ekonomi syariah khususnya pada kemitraan di bidang pertanian tebu.
Kemitraan atau biasa disebut juga partnership adalah hubungan kerja sama guna mencapai tujuan bersama dengan dasar prinsip saling menguntungkan yang mana masing-masing pihak harus mendapatkan keuntungan bersama pada saat melaksanakan suatu kemitraan. 28 Hal ini selaras dengan pengertian kemitraan sebagaimana dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, yang menyebutkan bahwa: “Kemitraan adalah kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dengan Usaha Besar”. Lebih khusus di bidang pertanian dalam Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Pertanian Nomor 940/Kpts/OT.210/10/97 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian menyebutkan bahwa kemitraan usaha pertanian merupakan kerjasama yang dilaksanakan antara Perusahaan Mitra dengan kelompok mitra di bidang usaha pertanian.
Selanjutnya, dalam menjalin hubungan kemitraan guna mecapai tujuan bersama dan memperoleh keuntungan yang maksimal, maka harus menjaga dengan menerapkan prinsip kemitraan, yaitu dengan memperkuat komitmen antar mitra, 29 sebab terjalinnya kemitraan didasari adanya prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan.30 Terkait demikian, kemitraan pertanian tebu yang terjalin antara petani tebu dengan pabrik gula adalah upaya untuk memenuhi kapasitas giling dan mempermudah petani dalam memperoleh fasilitas dan mengelola pertanian.31
Penggunaan akad mukhabarah bil mudharabah dalam kemitraan di bidang pertanian tebu merupakan konsep baru yang tentunya memiliki karakteristik berbeda dengan model kemitraan lainnya. Berikut merupakan skema akad mukhabarah bil mudharabah dalam kemitraan pertanian tebu:
Bagan 2.
Mengacu pada bagan di atas, dapat dilihat bahwa dalam konsep kemitraan berdasarkan akad mukhabarah bil mudharabah pada pertanian tebu dilaksanakan menggunakan dua akad sekaligus yang telah digabungkan menjadi satu. 32 Terkait demikian, apabila diuraikan secara terpisah maka berdasarkan mukhabarah, petani sebagai pemilik lahan (rabbul maal) dan pabrik gula sebagai pengelola sekaligus penyedia bibit tebu (mukhabir), sedangkan dari sisi mudharabah pabrik gula sebagai penyedia bibit tebu sekaligus sebagai pemberi modal (shohibul maal) kepada petani (mudharib) untuk mengelola lahan pertanian.
Pada akad mukhabarah bil mudharabah pengelolaan lahan pertanian tidak hanya dibebankan pada satu pihak melainkan keduanya belah pihak terlibat dalam pengelolaan lahan pertanian tersebut. Terlibatnya kedua belah pihak pada pengelolaan lahan pertanian mengurangi timbulnya risiko salah satunya seperti kecurangan yang dilakukan salah satu pihak dalam pelaksanaan kemitraan. Selanjutnya, hasil panen dari pengelolaan lahan tebu akan diproses atau dikelola menjadi gula oleh pabrik
dengan melibatkan petani secara tidak langsung melakukan pengawasan terhadap proses pembuatan gula. Kemudian hasil penjualan gula tersebut akan dibagi keuntungannya dan didistribusikan kepada para pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati di awal perjanjian.
Berdasarkan uraian penjelasan di atas, maka untuk menemukan karakteristik dari penggabungan akad mukhabarah bil mudharabah secara lebih jelas dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1.
Perbedaan dan Persamaan Akad Mukhabarah, Akad Mudharabah, dan Akad Mukhabarah bil Mudharabah.
No. |
Keterangan |
Akad Mukhabarah |
Akad Mudharabah |
Akad Mukhabarah bil Mudharabah |
1. |
Subjek |
|
|
Pada akad yang pertama: Pemilik lahan sebagai pemberi modal (lahan pertanian) dan Pabrik gula sebagai pengelola. |
Pada akad kedua: Pabrik gula sebagai pemberi modal (dana dan bibit tanaman), dan petani tebu sebagai pengelola. | ||||
2. |
Objek |
Lahan Pertanian. |
Modal dan Keahlian |
Lahan Pertanian, Modal, Keahlian. |
3. |
Pelaksanaan |
Pemilik lahan menyerahkan lahannya untuk dikelola oleh penggarap dengan jangka waktu tersentu (biasanya musiman). Bibit tanaman berasal dari penggarap. |
Pemilik modal memberikan 100% modal kepada pengelola/ pengguna dana untuk menjalankan usahanya. |
Petani pemilik lahan (rabbul maal) menjadikan lahannya sebagai modal untuk dikelola dan ditanami tebu, dengan modal berupa dana (untuk bibit dan perawatan) dari Pabrik Gula sebagai shohibul maal sekaligus mukhabir yang mengelola hasil panen dari barang mentah menjadi barang jadi/siap jual (tebu menjadi gula). |
4. Keuntungan Prosentase |
Prosentase |
Keuntungan dan resiko |
keuntungan |
keuntungan |
dibagi berdasarkan peran |
dibagi |
dibagi |
masing-masing pihak. |
berdasarkan |
berdasarkan | |
nisbah yang telah |
nisbah yang |
Tidak terdapat bunga. |
disepakati di awal |
telah disepakati | |
perjanjian. |
di awal | |
perjanjian. Apabila terdapat kerugian maka akan ditanggung oleh pemberi modal, kecuali kerugian diakibatkan oleh | ||
kelalaian pihak pengelola. |
Sumber: Pribadi, diolah, 2023
Berdasarkan tabel di atas, dapat ditemukan 3 (tiga) karakteristik dari akad mukhabarah bil mudharabah, pertama yaitu hubungan hukum antara petani pemilik lahan dan pabrik gula dilakukan berdasarkan dua akad yang digabungkan menjadi satu, sehingga pada pelaksanaanya peran masing-masing pihak diikat berdasarkan dua akad, yaitu pada akad mukhabarah, petani sebagai rabbul maal menjadilan lahannya sebagai modal atau objek dikelola dan pabrik gula sebagai pengelola sekaligus penyedia bibit tebu (mukhabir). Selanjutnya pada akad mudharabah pabrik gula sebagai penyedia bibit tebu sekaligus sebagai pemberi modal untuk biaya perawatan (shohibul maal) dan petani (mudharib) sebagai pengelola lahan pertanian.
Karakteristik akad mukhabarah bil mudharabah, yang kedua yaitu adanya pembagian keuntungan dan risiko (profit and loss sharing). Perolehan keuntungan dan risiko akibat kerugian yang diderita menjadi tanggungan bersama kedua belah pihak.33 Adanya pembagian keuntungan dan kerugian dalam akad mukhabarah bil mudharabah akan memunculkan sikap kehati-hatian dan saling memperhatikan terhadap kemajuan dan kemunduran dalam proses pengelolaan pertanian tebu hingga diproduksi menjadi gula. Keuntungan dan kerugian tersebut akan dibagi secara adil berdasarkan nisbah yang telah disepakati oleh para pihak di awal perjanjian. Besaran nisbah ditentukan berdasarkan peran dan tanggung jawab masing-masing pihak dalam menjalankan kemitraan pertanian tebu.
Karakteristik ketiga yaitu tidak mengenal adanya suku bunga. Kemitraan konvensional yang melibat pihak perbankan identik dengan pemberian modal usaha dengan adanya bunga. Berbeda dengan hal tersebut, dalam penerapan akad mukhabarah bil mudharabah tidak terdapat bunga, di mana hubungan kemitraan yang terjalin
didasarkan pada prinsip saling tolong menolong dan saling melengkapi. Hal itu dilakukan untuk mencapai tujuan kesejahteraan bersama.
-
3.3. Kesesuaian Akad Mukhabarah bil Mudharabah Pada Kemitraan Pertanian Tebu dengan Maqashid Syariah
Pada pembentukan dan pemberlakuan hukum diperlukan nilai-nilai yang bisa dijadikan pijakan untuk mencapai tujuan dari pembentukan hukum itu sendiri. Maqashid syariah dalam hukum Islam dijadikan sebagai pedoman dan tujuan yang dikehendaki oleh syara’ dalam mensyariatkan hukum bagi kemaslahatan umat manusia. 34 Maqashid syariah berasal dari dua kata, pertama adalah maqashid yang merupakan bentuk jamak dari maqshad, qasd, maqshid atau qushud yakni devariasi dari kata qashada-yaqshudu artinya menuju suatu arah, tujuan, adil, dan tidak melampaui batas.35 Kedua, kata syariah yang artinya jalan menuju sumber kehidupan.36 Terkait demikian maqashid syariah didefinisikan sebagai tujuan yang hendak dituju atau dimaksud oleh syariah.37 Maqashid syariah sebagai teori yang menjadi landasan berpijak dalam menuju kebaikan tidak lepas dari adanya prinsip maslahah (manfaat). Kemaslahatan dapat dicapai dengan menerapkan hukum yang baik serta memberikan perlindungan kepada masyarakat.38
Menurut pendapat As-Syatibi, secara umum Maqashid Syariah dikategorikan menjadi dua, yaitu: (1) berkaitan dengan tujuan syariah (Tuhan) dan (2) berkaitan dengan tujuan para mukallaf (orang yang mampu bertindak hukum). Berkaitan dengan tujuan syariah (tujuan Tuhan) mengandung 4 aspek, yakni: a) kemaslahatan di dunia dan di akhirat; b) syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami; c) syariat sebagai hukum taklif yang harus dilakukan; serta d) syariah tujuannya adalah membawa manusia ke bawah naungan hukum.39 Sementara berkaitan dengan tujuan mukallaf, menurut As-Syatibi terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu kebutuhan dharuriyat (primer), hajiat (sekunder), dan tahsiniyat (tersier).40 Selanjutnya, Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa tujuan syariah memiliki makna yang berhubungan dengan asas manfaat meliputi 5 aspek, yaitu untuk melindungi agama ( hifz ad-din), melindungi jiwa ( hifz al-nafs),
melindungi akal (hifz al-aql), melindungi keturunan (hifz al-nasl), dan melindungi harta (hifz al-mal).41
Terkait demikian, tinjauan maqashid syariah dalam akad mukhabarah bil mudharabah ditujukan untuk mencapai kesejahteraan serta keadilan ekonomi secara menyeluruh. Hal ini juga sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan petani tebu dan menjaga sustainabilitas petani itu sendiri,42 sebab dalam model kemitraan antara petani pemilik lahan tebu dan pabrik gula dengan sistem sewa lahan cenderung merugikan petani. Akad mukhabarah bil mudharabah bertujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi petani dan pabrik gula sebagai mitra.
Sehubungan dengan hal itu, dapat dilihat kesesuaian antara akad mukhabarah bil mudharab dengan maqashid syariah dari 2 (dua) hal, yakni: pertama, memelihara akal (hifz al-aql), dalam hal ini termasuk dalam menjaga distribusi keuntungan dari hasil pengelolaan lahan pertanian tebu secara adil,43 pada akad mukhabarah bil mudharabah pembagian keuntungan dilaksanakan secara adil sesuai nisbah yang disepakati berdasarkan peran masing-masing pihak di awal perjanjian. Kedua, memelihara harta (hifz al-mal) termasuk cara perolehan harta yang juga erat kaitannya dengan kegiatan muamalah etika bisnis, dalam hal ini penggunaan akad mukhabarah bil mudharabah dalam menjalin kemitraan pertanian tebu dapat dikatakan sebagai penerapan akad syariah sebagaimana dianjurkan dalam Islam.
Berdasarkan uraian pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa akad mukhabarah bil mudharabah merupakan akad kemitraan dalam pertanian berdasarkan prinsip-prinsip syariah, yang memiliki ciri khas yaitu: pertama, merupakan penggabungan dari dua akad, yakni akad mukhabarah dan akad mudharabah yang dilaksanakan dalam satu perjanjian, dalam hal ini melibatkan pihak petani pemilik lahan dan Pabrik Gula. Kedua, pembagian margin keuntungan dan kerugian ditanggung bersama oleh para pihak sesuai dengan peran masing-masing, yang besaran persentasenya ditentukan sesuai dengan nisbah yang disepakati di awal perjanjian. Ketiga, tidak mengenal adanya suku bunga (riba). Terkait demikian, konsep akad mukhabarah bil mudharabah apabila diterapkan dalam kemitraan pertanian tebu telah sesuai dengan maqashid syariah sebagai tujuan hukum Islam, yaitu sebagai upaya melindungi akal (hifz al-aql) dan melindungi harta (hifz al-mal).
Daftar Pustaka
Akhmad Jufri, Sahri, dan Moh Huzaini. “Mukhabarah dan Dampaknya terhadap Kesejahteraan Petani di Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah.” Journal
of Economics and Business 8, no. 1 (31 Maret 2022): 60–82.
https://doi.org/10.29303/ekonobis.v8i1.93.
Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. 6. Jakarta: Gema Insani, 2011.
Bahri, Syaiful. “Pengaruh Pembiayaan Murabahah, Mudharabah, Dan Musyarakah Terhadap Profitabilitas.” JAS (Jurnal Akuntansi Syariah) 6, no. 1 (23 Juni 2022): 15–27. https://doi.org/10.46367/jas.v6i1.502.
Busthomi, Achmad Otong, Edy Setyawan, dan Iin Parlina. “Akad Muzara’ah Pertanian Padi dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syariah.” Al-Mustashfa: Jurnal Penelitian Hukum Ekonomi Syariah 3, no. 2 (26 Desember 2018): 268.
https://doi.org/10.24235/jm.v3i2.3683.
Diantha, I Made Pasek. Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum. Jakarta: Prenada Media Grup, 2017.
Efendi, Aan, Dyah Ochtorina Susanti, dan Rahmadi Indra Tektona. Penelitian Hukum Doktrinal. Yogyakarta: LaksBang Justitia, 2019.
El, Iqbal Maulana, Masyhuri Masyhuri, dan Indah Yuliana. “The Effect of Mudharabah and Musyarakah Financing on Profitability of Islamic Banks in Indonesia.” Indonesian Interdisciplinary Journal of Sharia Economics (IIJSE) 5, no. 1 (19 Februari 2022): 225–34. https://doi.org/10.31538/iijse.v5i1.1969.
Fatimah, Siti. “Proses Kemitraan Antara Industri Kecil Dengan Pengrajin Shuttlecock Di Desa Sumengko Kecamatan Sukomoro Kabupaten Nganjuk.” UNEJ eProceeding, 2019.
Fawahan, Lian, dan Ita Marianingsih Purnasari. “Konsep Mudharabah Dalam Mendukung UMKM Di Masa Pandemi Covid-19.” Al-Intaj: Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah 8, no. 1 (28 Maret 2022): 71.
https://doi.org/10.29300/aij.v8i1.5116.
Ghazaly, Abdul Rahman, Gufron Ihsan, dan Sapiudin Shidiq. Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana, 2010.
Gholo, Abdallah Ishaq, Arieff Salleh Rosman, dan Akram Ali Jouda. “Applicability of Electronic Administrative Contract: Analysis from Islamic (Law) Shari’ah Perspective.” International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences 1, no. 1 (2022).
Hakim, Muhammad Lutfi. “Pergeseran Paradigma Maqashid Syariah dari Klasik sampai Kontemporer.” Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam 10, no. 1 (2016): 1– 16. https://doi.org/10.24090/mnh.v10i1.913.
Harahap, Sofyan S., Wiroso Wiroso, dan Muhammad Yusuf. Akuntansi Perbankan Syariah. Jakarta: LPFE Usakti, 2010.
Hasibuan, Hamka Husein. “Pemikiran Maqasid Syariah Jasser Auda.” Aqlam: Journal of Islam and Plurality 4, no. 17200010102 (2017): 1–21.
Karnadi, Alif. “Produksi Gula Tebu Indonesia Capai 2,42 Juta Ton pada 2021.” Dataindonesia.id, 2022. https://dataindonesia.id/sektor-riil/detail/produksi-gula-tebu-indonesia-capai-242-juta-ton-pada-2021.
Khasanah, Dyah Uswatun. “Pola Kemitraan Pemerintah Daerah dengan Kelompok Sadar Wisata Pandawa Dieng Kulon dalam Pengembangan Pariwisata.” Journal of Politic and Government Studies, 08, no. 4 (2019): 341–50.
Kurniawan, Agung, dan Hamsah Hudafi. “Konsep Maqashid Syariah Imam Asy-Syatibi Dalam Kitab Al-Muwafaqat,” t.t.
Larasati, Ami Retno, dan Triana Dewi Hapsari. “Kemitraan Petani Tebu Rakyat Mitra Kredit dengan PG. Semboro di Kabupaten Jember.” JSEP (Journal of Social and Agricultural Economics) 13, no. 1 (31 Maret 2020): 16.
https://doi.org/10.19184/jsep.v13i1.16506.
Madjid, St. Salehah. “Prinsip-prinsip (Asas-asas) Muamalah.” Jurnal Hukum Ekonomi Syariah 2, no. 1 (16 Desember 2018): 14–28. https://doi.org/10.26618/j-
hes.v2i1.1353.
Mardani, Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana, 2016.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2017.
Maulana, Haris. “Makna Akuntansi Pembiayaan bagi Petani Tebu.” Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB 4, no. 2 (2016): 1–36.
Pangestu, M Dimas Aji, Pudjo Suharso, dan Wiwin Hartanto. “Implementasi Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) sebagai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan PT. Telekomunikasi Kandatel Jember.” Jurnal Pendidikan Ekonomi: Jurnal Ilmu Pendidikan, Ilmu Ekonomi, dan Ilmu Sosial 16, no. 2 (2022): 267–80. https://doi.org/10.19184/jpe.v16i2.25741.
Priyatno, Prima Dwi. “Fiat Money VS Dinar-Dirham Fungsi Uang dalam Kacamata Maqashid Syariah.” Syiar Iqtishadi: Journal of Islamic Economics, Finance and Banking 4, no. 1 (19 Mei 2020): 39. https://doi.org/10.35448/jiec.v4i1.8180.
Priyatno, Prima Dwi, Lili Puspita Sari, dan Isti Nuzulul Atiah. “Penerapan Maqashid Syariah pada Mekanisme Asuransi Syariah.” Journal of Islamic Economics and Finance Studies 1, no. 1 (12 Agustus 2020): 1.
https://doi.org/10.47700/jiefes.v1i1.1927.
Riza, Muhammad. “Maqashid Syariah dalam Penerapan Pajak Kharaj Pada Masa Umar bin Khattab RA.” Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam 2, no. 2 (25 Agustus 2017). https://doi.org/10.32505/jebis.v2i2.181.
Rizaty, Monica Ayu. “Luas Perkebunan Tebu Indonesia Capai 449.008 Ha pada 2021.” Dataindonesia.id, 2022. https://dataindonesia.id/sektor-riil/detail/luas-perkebunan-tebu-indonesia-capai-449008-ha-pada-2021.
Rozalinda. Fikih Ekonomi Syariah: Prinsip dan Implementasinya pada Sektor Keuangan Syariah. Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Rusdi, Herawati, Wiwin Priana Primandhana, dan Mohammad Wahed. “Analisis Faktor yang Mempengaruhi Impor Gula Di Indonesia.” Jurnal Health Sains 2, no. 8 (23 Agustus 2021): 1461–79. https://doi.org/10.46799/jsa.v2i8.285.
Shoimah, Siti Nur, dan Dyah Ochtirina Susanti. “Karakteristik Akad Mudharabah Pada Penyimpanan Dana Nasabah di Bank Syariah.” Risalah Hukum 16, no. 1 (2020): 1–15. https://doi.org/10.30872/risalah.v16i1.220.
Sholihun, M. “Pengaruh Pembiayaan Ijarah Terhadap Produksi Tebu (Studi Kasus Petani Tebu Tergabung dalam Jabung BMR Al-Hijrah KAN Jabung Syari’ah).” An-Nisbah: Jurnal Perbankan Syariah 4, no. 1 (2023): 72–90.
Siswadi, Siswadi. “Pemerataan Perekonomian Umat (Petani) Melalui Praktik
Mukhabarah dalam Perspektif Ekonomi Islam.” Jurnal Umum Qura XII, no. 2 (2018): 75–83.
Sixmala, Marda. “Peran Kemitraan Agribisnis Petani Tebu dengan PG Rejo Agung Baru Madiun Jawa Timur.” Jurnal Agribisnis dan Agrowisata 8, no. 3 (2019): 311– 20.
Srisusilawati, Popon, dan Nanik Eprianti. “Penerapan Prinsip Keadilan dalam Akad Mudharabah di Lembaga Keuangan Syariah.” Law and Justice 2, no. 1 (21 Juni 2017): 12–23. https://doi.org/10.23917/laj.v2i1.4333.
Sulistiani, Siska Lis. “Analisis Maqashid Syariah Dalam Pengembangan Hukum Industri Halal di Indonesia.” Law and Justice 3, no. 2 (27 Januari 2019): 91–97. https://doi.org/10.23917/laj.v3i2.7223.
Susanti, Dyah. “Muzara’ah dengan Sistem Murabahah sebagai Upaya Menstabilkan Harga Kedelai di Masa Pandemi Covid-19.” Arena Hukum 14, no. 3 (31
Desember 2021): 587–603.
https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2021.01403.9.
Trimerani, Resna, dan Listiyani Listiyani. “Kajian Pola Bagi Hasil Antara Petani Tebu Dengan Pabrik Gula di PG. Madukismo.” Magister Agribisnis 23, no. 1 (1 Januari 2023). https://ejournal.uniska-
kediri.ac.id/index.php/agribisnis/article/view/3215.
Widhi, Fajar. “Kebutuhan Gula Nasional di 2030 Bisa Capai 9,8 Juta Ton.” investor.id, 2022. https://investor.id/business/279343/kebutuhan-gula-nasional-di-2030-
bisa-capai-98-juta-ton.
Wuryasti, Fetry. “Perlu Peningkatan Peran Swasta untuk Efektivitas Impor Gula,” 2022. https://mediaindonesia.com/ekonomi/476739/perlu-peningkatan-
peran-swasta-untuk-efektivitas-impor-gula.
Yana Putri, Sirly Deska. “Implementasi Ijarah (Sewa dalam Islam) Pada Lahan Pertanian dalam Meningkatkan Pendapatan Petani Padi di Desa Pebenaan Kec.Keritang Kab.Indragiri Hilir.” Al-Muqayyad: Jurnal Ekonomi Syariah 3, no. 1 (6 Januari 2020): 90–105. https://doi.org/10.46963/jam.v3i1.156.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 940/Kpts/OT.210/10/97 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian.
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh).
363
Discussion and feedback