Perlindungan Hukum Dan Pelestarian Tradisi Siat Yeh Banjar Teba Desa Adat Jimbaran
on
Perlindungan Hukum dan Pelestarian Tradisi Siat Yeh Desa Adat Jimbaran
Anak Agung Bagus Cahya Dwijanata 1, I Gede Pasek Pramana 2
-
1 Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail : [email protected]
-
2 Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail : [email protected]
Info Artikel
Masuk: 30 September 2022
Diterima : 27 Juli 2023
Terbit: 29 Juli 2023
Keywords:
Protection, Preservation, Siat yeh
Kata kunci:
Perlindungan Hukum, Pelestarian, Tradisi Siat Yeh
Corresponding Author:
Anak Agung Bagus Cahya
Dwijanata, E-mail : [email protected]
DOI:
10.24843/JMHU.2023.v12.i0
2.p14
Abstract
The purpose of this study was to identify and analyze the authority of the Jimbaran Traditional Village regarding efforts to protect the law and preserve the Siat Yeh tradition and efforts to protect the law and preserve the Siat Yeh tradition carried out by the Jimbaran Traditional Village. The type of research used in this article is empirical legal research which is carried out by examining the facts that occur in a problem. As well as using interviews as the main data. Based on the results of the research, the following conclusions can be formulated: Jimbaran Traditional Village has authority in legal protection and tradition preservation based on the provisions of the 1945 Constitution, the Culture Promotion Law, and the Regional Regulations on Traditional Villages in Bali; and With the authority that belongs to the Jimbaran Traditional Village to protect the law and preserve the Siat Yeh tradition in the form of making pararem banjars, taking an inventory of traditions through the cultural service, and invalidating them in inscriptions.
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis kewenangan Desa Adat Jimbaran terkait upaya perlindungan hukum dan pelestarian tradisi siat yeh dan upaya perlindungan hukum dan pelestarian tradisi siat yeh yang dilaksanakan oleh Desa Adat Jimbaran. Jenis penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah penelitian hukum empiris yang dilakukan dengan mengkaji suatu fakta-fakta yang terjadi dalam suatu masalah. Serta menggunakan wawancara sebagai data utama. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut : Desa Adat Jimbaran memiliki kewenangan dalam perlindungan hukum dan pelestarian tradisi berdasarkan ketentuan UUD 1945, UU Pemajuan Kebudayaan, dan Perda Desa Adat di Bali; dan Dengan kewenangan yang dimiliki Desa Adat Jimbaran melakukan perlindungan hukum dan pelestarian tradisi siat yeh dalam bentuk membuat pararem banjar, menginventaris tradisi melalui dinas kebudayaan, dan mencacatkan dalam prasasti.
Bali dikenal adanya desa adat yang setiap desanya memiliki ciri khas tersendiri. Setiap kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di Bali memiliki berbagai macam cara dalam mengatur kehidupan desanya. Budaya merupakan cara hidup yang dikembangkan oleh sebuah masyarakat guna memenuhi keperluan dasarnya untuk dapat bertahan hidup, meneruskan keturunan dan mengatur pengalaman sosialnya.1 Pelaksanaan kehidupan masyarakat hukum adat yang ada di Bali setiap desa adat memiliki aturan tersendiri untuk mengatur ketertiban wilayahnya, peraturan tersebut disebut dengan awig-awig. Awig-awig desa adat berisikan tentang peraturan-peraturan adat yang dimana setiap awig-awig yang ada di seluruh desa adat di Bali tidak sama karena awig-awig dibuat berdasarkan kondisi masyarakat setempat. Awig-awig desa di sebagian desa sangat mempengaruhi dalam pengelolaan dana desanya selain dari peraturan pemeritahan Pusat dan Daerah pengegolaan dana desa di Bali sedikit berbeda dengan desa adat lainnya.2 Dalam menjaga tradisi dan budaya tidak jarang setiap desa adat mengatur pelaksanaan tradisi budaya tersebut di awig-awig karena pelestarian tradisi budaya tersebut merupakan tanggung jawab masyarakat secara bersama-sama agar tidak tergilas oleh perkembangan jaman yang dimulai dari pikiran manusia yang diberi oleh Tuhan.3 Tradisi merupakan kebiasaan yang telah dilakukan sejak lama dan juga menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. Tradisi yang dilakukan secara terus menerus oleh masyarakat yang bersifat ajeg disebut juga dengan adat.4
Masyarakat hukum adat di Bali yang disebut dengan desa adat yang telah diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali yang selanjutnya disebut dengan Perda Desa Adat tahun 2019. Desa adat di Bali sesuai dengan Perda Desa Adat tahun 2019 merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak-hak tradisional, harta kekayaan sendiri, tradisi, tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun dalam ikatan tempat suci (kahyangan tiga atau kahyangan desa), tugas dan kewenangan serta hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Tugas dan wewenang desa adat dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri termasuk juga mengurus terkait tradisi, adat dan budaya agar tidak tergerus oleh jaman. Desa adat memiliki tanggung jawab penuh akan kewajiban melestarikan tradisi yang ada di desanya sesuai dengan tugas desa adat yang diatur dalam ketentuan Pasal 22 huruf d, dalam Perda Desa Adat tahun 2019.
Kewenangan desa adat dalam melakukan pengembangan tradisi, adat, dan budaya diatur dalam ketentuan Pasal 24 Huruf e Perda Desa Adat Tahun 2019. Desa Adat di Bali memiliki kelembagaan pemerintahan desa adat sesuai dengan Pasal 28 Ayat (2) Perda Desa Adat Tahun 2019 terdiri atas :
-
(a) Prajuru Desa Adat;
-
(b) Sabha Desa Adat;
-
(c) Kerta Desa Adat; dan
-
(d) Banjar Adat / Banjar Suka Duka atau sebutan lain.
Banjar adat yang merupakan salah satu lembaga pemerintahan di desa adat adalah representatif dari desa adat dalam lingkup yang lebih kecil. Tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh banjar adat sama dengan desa adat akan tetapi lingkupnya hanya pada wewidangan banjar adat. Fungsi dari banjar adat adalah menjadi perpanjangan tangan dari desa adat. Banjar adat juga dapat turut serta dalam pelestarian tradisi, adat dan budaya agar tidak tergerus oleh jaman karena banjar adat juga merupakan bagian dari desa adat. Banjar adat sebagai pelaksana dari kegiatan sosial dan keagamaan yang ada di desa adat di karenakan banjar adat dapat berinteraksi langsung dengan krama banjar adat. Pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan desa adat dilaksanakan oleh krama banjar adat yang artinya keputusan yang ada di desa adat merupakan hasil dari keputusan krama yang diambil dari hasil paruman karena desa adat sangat mengedepankan nilai gotong royong dan kebersamaan. Tradisi, adat, seni, dan budaya yang merupakan hasil dari dari kreativitas pikiran manusia dan tidak lahir begitu saja.5 Dengan begitu memelihara tradisi bukanlah sekedar memelihara “bentuk” tetapi lebih pada jiwa dan semangat atau nilai-nilai.6 Segala jenis tradisi, adat, seni, dan budaya wajib untuk dilindungi sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Penguatan Dan Pemajuan Kebudayaan Bali yang termuat dalam Pasal 1 Angka 16 menjelaskan penguatan adalah upaya internalisasi dan purifikasi objek penguatan dan pemajuan kebudayaan melalui pasupati, penghormatan, dan pemuliaan. Tradisi harus di lakukan penguatan dikarenakan merupakan suatu objek dalam upaya pemajuan kebudayaan.
Banjar adat sebagai representatif dari desa adat di Bali yang merupakan kesatuan masyarakat hukum adat dan diakui Negara dalam Pasal 18b Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 memiliki kewajiban dalam pelestarian tersebut. Berbagai macam tradisi yang ada di Indonesia dan khususnya di Bali yang perlu dilestarikan karena sebagai identitas budaya yang dihormati sesuai dengan Pasal 32 UUD 1945. Dewasa ini Desa Adat Jimbaran sedang fokus dalam perlindungan dan pelestarian siat yeh yang merupakan salah satu dari berbagai macam tradisi yang ada di Desa Adat Jimbaran. Pelestarian tradisi siat yeh yang dilaksanakan oleh Desa Adat Jimbaran berlandaskan oleh kesepakatan Sekaa Teruna Teruni Desa Adat Jimbaran baik dari warga Banjar Desa Adat Jimbaran, dan juga PKK Desa Adat Jimbaran. Kesepakatan dalam melakukan upaya pelestarian dan perlindungan tradisi siat yeh melalui paruman yang dilaksanakan oleh masing-masing elemen tersebut.
Berlatar pada permasalahan yang telah diuraikan tersebut, akan dikaji secara lebih lanjut melalui penulisan penelitian yang berjudul “Perlindungan Hukum Dan Pelestarian Tradisi Siat Yeh Desa Adat Jimbaran.” Dengan rincian rumusan masalah yaitu :
Bagaimanakah kewenangan Desa Adat Jimbaran terkait upaya perlindungan hukum dan pelestarian tradisi siat yeh ? dan Bagaimanakah bentuk upaya perlindungan hukum dan pelestarian tradisi siat yeh yang dilaksanakan oleh Desa Adat Jimbaran ? Tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis kewenangan Desa Adat Jimbaran terkait upaya perlindungan hukum dan pelestarian tradisi siat yeh dan upaya perlindungan hukum dan pelestarian tradisi siat yeh yang dilaksanakan oleh Desa Adat Jimbaran.
Perihal state of the art. Di dalam proses penyusunan penelitian ini, ditemui beberapa penelitian terdahulu yang membahas perlindungan hukum dan pelestarian tradisi Pertama penelitian dari Yenny Eta Widyanti dengan judul “Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Indonesia Dalam Sistem Yang Sui Generis”, dengan rumusan masalah yakni bagaimanakah pengaturan ekspresi budaya tradisonal dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Rancangan Undang-Undang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional ? dan bagaimanakah perlindungan ekspresi budaya tradisional dalam konvensi internasional ? 7 Kedua terdapat pula penelitian jurnal dari Ida Ayu Sukihana dengan judul “Karya Cipta Ekspresi Budaya Tradisional: Studi Empiris Perlindungan Tari Tradisional Bali di Kabupaten Bangli”, dengan rumusan masalah yakni bagaimanakah keberadaan dan implementasi Pasal 38 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta berkaitan dengan perlindungan karya seni pertunjukan tari tradisional di Kabupaten Bangli ? dan apakah faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan perlindungan karya cipta seni pertunjukan tari tradisional sebagai EBT di Kabupaten Bangli ?8 Membandingkan secara seksama kedua penelitian dari Yenny Eta Widyanti dan Ida Ayu Sukihana memiliki rumusan masalah serta topik pembahasan yang berbeda dengan tulisan ini. Dimana tulisan ini memfokuskan pada upaya perlindungan hukum dan pelestarian tradisi siat yeh yang dilaksanakan oleh Desa Adat Jimbaran Sehingga tulisan ini memiliki orisinalitas tersendiri dalam kajian penelitian hukum.
Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian hukum empiris. Penulisan ini menggunakan pendekatan faktual (the fact approach) yaitu suatu pendekatan dengan mengkaji suatu fakta-fakta yang terjadi dalam suatu masalah dan pendekatan analisis yaitu pendekatan ini dilakukan dengan mencari makna pada istilah-istilah hukum yang terdapat didalam perundang-undangan. Penelitian yang dilakukan merupakan suatu penelitian yang bersifat deskriptif untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Penulisan jurnal ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari lapangan sedangkan data sekunder adalah bahan hukum yang sudah terdokumentasi yang meliputi; (1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (4) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, selain itu digunakan pula buku-buku atau tulisan ilmiah lainnya yang bisa memberikan penjelasan permasalahan dalam tulisan ini. Pengumpulan data yang diperlukan dalam penulisan ini digunakan dengan teknik wawancara semi terstruktur. Teknik analisis yang digunakan yaitu deskripsi, interprestasi dan argumentasi.
-
3. Hasil dan Pembahasan
Tradisi merupakan bagian dari hak tradisional masyarakat hukum adat, dalam hal ini Tradisi siat yeh merupakan salah satu budaya dari masyarakat hukum adat yaitu Desa Adat Jimbaran. Secara peraturan perundang-undangan, ada beberapa ketentuan yang memberikan kewenangan terhadap Desa Adat Jimbaran untuk melakukan perlindungan hukum dan pelestarian tradisi siat yeh. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 18B UUD NRI 1945 ayat (2) “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” berdasarkan ketentuan tersebut selaku representasi dari Desa Adat Jimbaran diakui sebagai masyarakat hukum adat, dan tradisi siat yeh yang merupakan hak tradisional masyarakat Desa Adat Jimbaran. Selain itu dalam konstitusi diatur juga pada Pasal 28I UUD NRI 1945 ayat (3) menyatakan “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban” serta ayat (4) menyatakan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”
Ketentuan pada Pasal 28I UUD NRI 1945 ayat (3) dan (4) tersebut juga menjadi dasar hukum perlindungan tradisi siat yeh oleh Desa Adat Jimbaran selain sebagai hak tradisonal masyarakat, tradisi siat yeh juga termasuk identitas budaya di Desa Adat Jimbaran. Disamping itu pelestarian tradisi yang dilakukan oleh Desa Adat Jimbaran dilindungi oleh negara selaku hak asasi manusia yang bersifat komunal. Pasal 32 UUD NRI 1945 ayat (1) menyatakan “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya” dari ketentuan tersebut kewenangan Desa Adat Jimbaran diakui dalam pelestarian tradisi siat yeh. Selanjutnya dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2020 Pada Pasal 7 Ayat (1) menjelaskan “Objek Penguatan dan Pemajuan Kebudayan meliputi : a. kearifan lokal; b. ritus; c. benda sakral; d. pengetahuan tradisional; e. teknologi tradisional; f. pengobatan tradisional; g. tradisi; h. manuskrip; i. situs; j. adat istiadat; k. seni; l. arsitektur tradisional; m. bahasa dan aksara; n . permainan rakyat; o. olahraga tradisonal; p. kerajinan; q. desain; r. busana; dan s. boga.” Dalam Pasal 7 Ayat (1) ini tradisi siat yeh merupakan kategori tradisi serta adat istiadat yang ada di Desa Jimbaran.
Dari ketentuan tersebut maka tradisi siat yeh merupakan objek pemajuan kebudayaan yang harus dilestarikan oleh masyarakat dengan perlindungan dari pemerintah, terlebih lagi dengan kesadaran dan menjunjung tinggi nilai spiritual masyarakat hukum adat
yaitu Desa Adat Jimbaran sedang fokus untuk melakukan pelestarian tradisi siat yeh. Lebih spesifik lagi diatur di dalam Perda Desa Adat yang memberikan kewenangan kepada desa adat untuk melakukan pengembangan dan pelestarian nilai adat, agama, tradisi, seni dan budaya serta kearifan lokal yang dimuat dalam ketentuan Pasal 24 huruf e, terlebih lagi didalamnya mengatur terkait tugas dari Desa Adat dalam ketentuan Pasal 22 huruf d menyatakan “Tugas desa adat mewujudkan kasukretan sekala dan niskala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, meliputi: memajukan adat, agama, tradisi, seni dan budaya, serta kearifan lokal masyarakat desa adat” dalam pelestarian tradisi siat yeh sebagai representasi Desa Adat Jimbaran bertugas dan berwenang untuk melaksanakan pelestarian tradisi untuk menjaga kasukretan sekala dan niskala. Banjar adat dalam hal ini merupakan perpanjangan tangan dari Desa Adat yang mana di Desa Adat Jimbaran menurut I Gusti Made Rai Dirga selaku Bendesa Adat Jimbaran “Banjar Adat yang ada di Jimbaran ini merupakan kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan wilayah tempat tinggal atau lingkungan yang sama yang dipimpin oleh Kelihan Adat Banjar yang mana memiliki kewajiban untuk menjaga kesucian dan kelestarian Desa Adat Jimbaran dalam hal Parahyangan, Palemahan, Pawogan” (Wawancara pada Tanggal 29 April 2022) selanjutnya dijelaskan pula di Desa Adat Jimbaran yang berdampingan langsung dengan masyarakatnya adalah Banjar Adat yang berjumlah 13 Banjar Adat serta wewidangan Desa Adat yang cukup luas yang mengakibatkan di Jimbaran Banjar Adat merupakan perpanjangan tangan dari Desa Adat untuk melakukan control langsung terhadap masyarakatnya.
Kewenangan dari Desa Adat Jimbaran ini juga dapat dikategorikan sebagai otonomi yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat. Hak tradisional dari masyarakat hukum adat menjadi otonomi bagi masyarakat hukum adat tersebut. Pembagian otonomi masyarakat hukum adat meliputi :
-
(1) Kekuasaan membentuk hukumnya sendiri;
-
(2) Kekuasaan melaksanakan pemerintahan;
-
(3) Kekuasaan dalam melakukan pengamanan;
-
(4) Kekuasaan melakukan peradilan sendiri.9
Akan tetapi dalam lingkup Banjar Adat tidak dapat dilakukan kekuasaan untuk melakukan peradilan. Dengan pemaparan tersebut diatas maka dapat dinyatakan bahwasanya merupakan representasi dari Desa Adat Jimbaran yang memiliki Kewenangan untuk melakukan perlindungan hukum sepanjang tidak bertentangan dengan Awig-Awig Desa Adat dan juga ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
-
3.2 Bentuk Upaya Perlindungan Hukum dan Pelestarian Tradisi Siat Yeh Yang
Dilaksanakan Oleh Desa Adat Jimbaran
Sebutan bagi perlindungan hukum dalam Bahasa Inggris disebut dengan legal protection. Perlindungan hukum merupakan perlindungan yang diberikan oleh hukum atau dengan menggunakan sarana hukum sehingga dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum merupakan perlindungan yang diberikan berdasarkan dengan hukum dan
perundang-undangan.10 Satjipto Raharjo juga memliki pandangan terkait perlindungan hukum bahwa perlindungan hukum adalah pengayoman Hak Asasi Manusia agar masyarakat dapat menikmati hak yang diberikan oleh hukum.11
Perlindungan hukum kepada masyarakat hukum adat berikut juga hak-hak tradisionalnya, diperlukan praktik berhukum yang tidak hanya berpijak pada teks undang-undang saja. Akan tetapi harus berpijak pada konteks kebutuhan mendasar masyarakat hukum adat.12 Upaya perlindungan hukum terhadap sebuah tradisi atau warisan budaya tak benda tersebut memiliki tujuan agar tradisi atau warisan budaya tak benda tersebut tidak hilang tergerus oleh jaman dan modernisasi disamping adanya kepastian hukum dalam melindungi sebuah warisan budaya tak benda tersebut. Disamping itu upaya perlindungan tersebut dilakukan dengan harapan daerah setempat memiliki ciri tersendiri sesuai dengan tradisi atau warisan budaya tak benda yang ada di wilayahnya. Dalam perspektif Hak Cipta berdasarkan UUHC mengenai EBT telah diatur di dalam Pasal 38 Ayat (1) UUHC yang mengatur bahwa Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh negara.6 Apabila mencermati ketentuan tersebut bahwa Hak Cipta atas EBT ada pada Negara, dalam hal ini pemerintah pusat maupun daerah sebagai representasi Negara menguasai EBT tersebut. Lebih lanjut, mengenai perlindungan EBT, juga telah diatur dan ditegaskan kembali di dalam Pasal 39 UUHC. 8 Dalam hal jangka waktu perlindungan EBT yang merupakan salah satu objek dari Hak Cipta yang dilindungi tanpa batas waktu sebagaimana diatur dalam Pasal 60 UUHC.
Suatu budaya dan tradisi lahir karena adanya cipta rasa dan karsa manusia dalam suatu kelompok masyarakat, termasuk yang terjadi di Indonesia. Segala kreativitas itulah yang kemudian menghasilkan budaya dan tradisi sebagai bentuk karya-karya intelektual yang bernilai tinggi di tengah perkembangan dunia saat ini. Keadaan ini menjadi peluang terjadinya tindakan pengakuan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab akibat lemahnya perlindungan hukum oleh pemerintah.13 Meingingat kekayaan intelektual seperti budaya dan tradisi merupakan sebuah ekspresi budaya tradisional (selanjutnya disebut EBT)
Tradisi merupakan kebiasaan yang telah dilakukan sejak lama dan juga menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. Perlindungan terhadap keberlangsungan tradisi agar tetap dapat hidup merupakan tanggung jawab bersama oleh karena itu penting bila perlindungan terhadap suatu tradisi yang menjadi warisan budaya tersebut untuk dilaksanakan demi menjaga kekayaan alam yang dimiliki oleh masyarakat tetapi tidak merupakan suatu benda. Pelestarian tradisi juga dilakukan guna meningkatkan kualitas dari sebuah tradisi tersebut. Tradisi yang ditingkatkan kualitasnya akan berpengaruh kepada tingkat kebermanfaatan terhadap masyarakat dan juga
kedepannya akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat.14 Upaya pelestarian tradisi ini dilakukan memiliki tujuan untuk memberikan kesejahteraan terhadap masyarakat setempat. Bentuk upaya perlindungan hukum yang dilakukan oleh masyarakat Desa Adat Jimbaran dalam pelestarian tradisi siat yeh tersebut selain menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan juga menjalankan ketentuan dari awig-awig yang ada di Desa Adat Jimbaran maupun pararem atau pangelig-eling di Desa Adat Jimbaran. Selain hukum positif, di Indonesia juga berlaku hukum adat sesuai dengan teori pluralisme hukum yang dikemukankan oleh John Griffiths yaitu suatu bidang kehidupan sosial secara internal dapat membangkitkan aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan, sistem-sistem, tetapi di lain pihak juga rentan menjadi sasaran dari aturan-aturan dan kekuatan-kekuatan lain yang berasal dari eksternal yang mengitarinya.15
Hukum positif yang berlaku di Indonesia berdampingan dengan hukum adat daerah setempat dalam beberapa hal yang menurut Eugen Ehrlich hukum positif akan berjalan efektif apabila selaras dengan hukum adat atau hukum yang hidup di masyarakat yang sering disebut dengan living law.16 Begitu pula dalam pengaturan terkait perlindungan dan pelestarian suatu tradisi, hukum adat tentu dapat mengatur segala sesuatu yang menjadi gejala sosial di masyarakat termasuk juga tentang perlindungan dan pelestarian tradisi. Hal ini berkaitan dengan teori catur praja yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven karena masyarakat hukum adat memiliki otonomi dan juga dapat membuat hukumnya sendiri sesuai dengan kondisi dan perkembangan di masyarakat tersebut melalui awig-awig dan pararem sepanjang tidak bertetntangan dengan Pancasila dan UUD 1945.17 Pelaksanaan tradisi siat yeh yang dilakukan oleh anggota dari Sekaa Teruna Teruni di Desa Adat Jimbaran ini juga merupakan suatu bentuk perlindungan hukum selain terhadap tradisi siat yeh juga meningkatkan kesadaran hukum generasi muda di Desa Adat Jimbaran karena hal ini juga sudah tertuang dalam Awig-Awig Sekaa Teruna Teruni Bhakti Asih Pawos 21 Angka 2 “saluiring sane tan masurat ring awig-awig puniki kantun kemanggehan manut tata cara ketah memargi kadulurin antuk pararem” yang berarti “segala sesuatu yang tidak tercatat dalam awig-awig ini tetap dilaksanakan menurut tata cara pada umumnya diawali dengan pararem” berkaitan dengan itu, tradisi siat yeh yang baru di reaktualisasikan pada tahun 2018 tetapi masih diingat dan diupayakan untuk dilestarikan maka dari itu dibuatlah kesepakatan antara Sekaa Teruna Teruni, Krama Lanang dan Krama Istri (pararem banjar) untuk melaksanakan kegiatan tersebut dan melestarikan sehingga bisa menjadi ikon Desa Adat Jimbaran yang dilaksanakan oleh seluruh Banjar di Desa Jimbaran.
Perlindungan hukum yang tegas dan pasti di dalam UU Hak Cipta sebagai bentuk EBT. Bahwa EBT merupakan karya-karya yang tidak diketahui Penciptanya dan telah diwariskan secara turun temurun dalam suatu masyarakat pengembannya yaitu
masyarakat adat di suatu daerah. Serta perlindungan hukumnya juga belum mampu mengikuti perkembangan zaman, sehingga atas dasar tersebut dilakukan pengubahan beberapa aturan hukum yang mengatur tentang Hak Cipta dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UUHC). Walaupun demikian, sistem hukum saat ini yang mengatur tentang perlindungan Hak Cipta ata EBT belum mampu memberikan perlindungan yang memadai. Sebenarnya, syarat utama bagi perlindungan EBT adalah mengetahui harapan-harapan komunitas EBT. Penting untuk ditinjau isu-isu terkini tentang skema perlindungan yang memadai bagi EBT. Namun demikian, penelitian ini baru sampai tahap awal, yakni mengkaji historisitas dimasukkannya EBT ke dalam ranah hukum Hak Cipta dan makna konsep penguasaan Negara atas EBT selaku pemegang Hak Ciptanya.
Menurut I Wayan Eka Santa Purwitha selaku kelian adat Banjar Teba yang merupakan Banjar yang ada di Desa Adat Jimbaran, menyatakan bahwa tradisi siat yeh didasari oleh beberapa hukum adat yang ada di Banjar Teba maupun Desa Adat Jimbaran. Tradisi siat yeh berdasarkan pengeling-eling yaitu tradisi lama yang dilakukan oleh sebagian besar anak muda di Jimbaran pada saat ngembak geni dan dilakukan secara turun temurun, akan tetapi tidak ada dokumen tertulis terkait pelaksanaan kegiatan siat yeh di Desa Adat Jimbaran maupun Banjar Teba. Pengeling-eling di Desa Adat Jimbaran diartikan sebagai pengingat tetapi tidak tertulis dan tidak memiliki sanksi, sebagi contoh lain pengeling-eling yang ada di Desa Adat Jimbaran adalah masyarakat yang tinggal di wewidangan Desa Adat Jimbaran tidak diperkenankan memelihara kucit (Wawancara pada Tanggal 29 April 2022). Beranjak dari pengeling-eling tersebut, pemuda pemudi di Desat Adat Jimbaran ini menginisiasi untuk mereaktualisasi kegiatan yang dulu dilaksanakan serta merekrontruksi agar dapat menjadi atraksi budaya yang bisa menjadi ikon di Jimbaran, mengingat Jimbaran yang merupakan daerah pariwisata dan dikenal sebagai masyarakat pesisir tentu hal tersebut diajukan kepada tetua banjar hingga kepada prajuru desa adat. Hal ini disampaikan oleh pemuda yang menggagas kegiatan pada sangkepan sekaa teruna teruni yang dihadiri oleh anggota sekaa teruna teruni dan dengan sepakat sekaa teruna teruni di Desa Adat Jimbaran ingin melaksankan reaktualisasi dengan penamaan tradisi siat yeh.
Menurut I Gusti Made Rai Dirga selaku Bendesa Adat Jimbaran, di Jimbaran pararem Banjar di buat dan disepakati oleh anggota banjar tersebut, setiap kesepakatan yang digunakan dalam jangka panjang dapat disebut atau di jadikan pararem Banjar, karena pada hakekatnya pararem berasal dari kata rarem yang berartikan sepakat (Wawancara pada Tanggal 29 April 2022). Hal tersebut sesuai dengan Perda Desa Adat Tahun 2019 pada Pasal 1 Angka 30 yang menyatakan Pararem adalah aturan/keputusan Paruman Desa Adat sebagai pelaksanaan awig-awig atau mengatur hal-hal baru dan/atau menyelesaikan perkara adat/wicara di desa adat. Setelah pelaksanaan tradisi siat yeh menjadi pararem banjar lalu prajuru banjar, dan prajuru sekaa teruna teruni mengumumkan kembali kepada seluruh anggotanya bahwa tradisi siat yeh akan di tradisikan di Desa Adat Jimbaran dengan rekontruksi agar memiliki nilai estetika dan menjadi sebuah atraksi budaya yang bisa menjadi ikon di Desa Adat Jimbaran, hal itu disebut dengan paswara di Desa Adat Jimbaran. Tidak hanya berdasarkan kepada kesepakatan Banjar saja tetapi hal ini sudah disampaikan secara langsung pada Jro Bendesa Adat Jimbaran pada saat itu tahun 2018 dan secara penuh didukung kegiatannya, disamping itu pelaksanaan tradisi ini sebagai salah satu bentuk pelestarian dan perlindungan hukum karena tradisi ini dapat di catatkan pada Dinas Kebudayaan
Kabupaten Badung sebagai Warisan Budaya Tak Benda, hal tersebut sesuai dengan Awig-Awig Desa Adat Jimbaran Palet 5 Indik Druen Desa, Pawos 20 Angka (3) “Sakaluiring padruen desa patut wenten ilikitannyane” yang berarti “seluruh milik desa harus dicatatkan atau ada catatannya”.
Tradisi siat yeh merupakan milik desa meskipun dilaksanakan dan diinisiasi oleh pemuda pemudi di Desa Adat Jimbaran, oleh karena itu mengacu pada Awig-Awig Desa Adat Jimbaran maka tradisi tersebut harus dicatatkan baik secara peraturan perundang-undangan maupun hukum adat, salah satu bentuk pencatatan yang dilakukan oleh pemuda pemudi di Desa Adat Jimbaran adalah pembuatan prasasti tanggal pertama kali direaktualisasikan kembali tradisi siat yeh tersebut dan ditanda tangani oleh Bupati Badung serta melakukan pelaporan kepada Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung agar dapat dicatatkan sebagai warisan budaya tak benda yang ada di Kabupaten Badung. Upaya perlindungan hukum tradisi siat yeh menurut IGKG Yusa Arsana Putra selaku penggagas tradisi siat yeh sudah dilakukan pendaftaran kepada instansi terkait yaitu Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung untuk didaftarkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda pada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia, peraturan-peraturan tersebut diatas merupakan dasar hukum dalam pelaksanaan dan juga pelestarian tradisi siat yeh. Hal tersebut sesuai dengan konsep dasar perlindungan dan pelestaraian bahwa setiap tradisi harus dilindungi dan pelaksanaan pelestaraian tersebut memiliki dasar hukum dan juga tidak melanggar peraturan yang berlaku. (Wawancara pada Tanggal 29 April 2022).
Upaya perlindungan hukum yang dilakukan oleh Sekaa Teruna Teruni Desa Adat Jimbaran dengan cara melakukan konsultasi kepada Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung untuk dapat menginventarisasi tradisi siat yeh merupakan implementasi dari ketentuan yang ada dalam awig-awig Desa Adat Jimbaran yang pada intinya menyatakan bahwa segala sesuatu yang menjadi milik Desa Adat Jimbaran wajib untuk di catatkan, jadi budaya hukum dari generasi muda di Desa Adat jimbaran ini sudah mulai terlihat apabila dikaitkan dengan kegiatan pelestarian tradisi siat yeh dan perlindungan hukum tradisi siat yeh.
Kewenangan Desa Adat Jimbaran merujuk pada Pasal 18B UUD NRI 1945 ayat (2), Pasal 28I UUD NRI 1945 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 32 UUD NRI 1945 ayat (1), Pasal 5 UU Pemajuan Kebudayaan, Pasal 24 huruf e Perda Desa Adat di Bali, Pasal 22 huruf d Perda Desa Adat di Bali, serta Awig-Awig Desa Adat Jimbaran. Pada dasarnya dalam ketetuan-ketentuan yang ada tidak ada menjelaskan secara spesifik kewenangan yang dimiliki oleh Banjar, akan tetapi sebagai kelompok masyarakat yang juga perpanjangan tangan dari Desa Adat, Banjar Adat dapat dikategorikan sebagai representasi Desa Adat dengan lingkup yang lebih kecil. Mengenai kedudukan masyarakat hukum adat saat ini belum jelas dalam UUHC, sehingga penting untuk kedepannya diatur secara tersendiri mengenai perlindungan hukum EBT. Sehingga harus adanya peran penting masyarakat Desa Adat Jimbaran yang berperan positif melestarikan tradisinya dengan pengaturan khusus yang memberikan pemegang Hak Cipta atas EBT kepada masyarakat adatnya. Adapun perlindungan hukum dan pelestarian tradisi yang dilakukan adalah
implementasi dari ketentuan peraturan yang ada baik itu hukum positif Indonesia ataupun Awig-awig Desa Adat Jimbaran dengan cara melaksanakan kegiatan, melakukan inventarisasi serta mencatatkan dalam sebuah prasasti tanggal diawalinya reaktualisasi yang dilakukan oleh Sekaa Teruna Teruni di Desa Adat Jimbaran yang diresmikan oleh Bupati Kabupaten Badung.
Daftar Pustaka
Aditya, I. B. N. G., Parwata, A. G. O., & Jayantiari, I. G. A. M. R. “Implementasi Hak Dan Kewajiban Pengusaha Pendatang (Di Desa Pakraman Tengkulak Kaja Kecamatan Sukawati Kabupaten Gianyar)”. Kertha Semaya. 4 (2). (2017): p. 10.
Amelia, Mirza. “Eksistensi Tanah Pecatu Di Kabupaten Lombok Timur (Studi Kasus Di Desa Sukadana Kec. Terara Kab. Lombok Timur).” Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan. 3 (2). (2015): p. 316.
Apriani, Nabilah, and Nur Shofa Hanafiah. “Telaah Eksistensi Hukum Adat pada Hukum Positif Indonesia dalam Perspektif Aliran Sociological Jurisprudence.” Jurnal Hukum Lex Generalis. 3 (3). (2022): p. 236.
Denamar, Anak Agung Bagus Brabham. “Paruman Agung Desa Adat Jimbaran: Proses dan Kekuatan Hukum Penyelesaian Wicara Adat.” Kertha Desa. 1 (1). 2019: p. 13.
Dio Kusumayuda, P. I. “Tradisi Nyepeg Sampi Dalam Perspektif Hukum Dan Kebudayaan”. Journal Ilmu Hukum. 5 (6). (2016): p. 7.
Hidayat, Hengki Armez, Wimbrayardi Wimbrayardi, and Agung Dwi Putra. “Seni Tradisi Dan Kreativitas Dalam Kebudayaan Minangkabau.” Musikolastika: Jurnal Pertunjukan Dan Pendidikan Musik. 1 (2). (2019): p. 67.
Miharja, Deni. “Adat, Budaya dan Agama Lokal Studi Gerakan Ajeg Bali Agama Hindu Bali.” Kalam. 7 (1). (2013): p. 60.
Putri, Kadek Ayu Monica Pastika, et al. “Pengaruh Hukum Adat Atau Awig-Awig Terhadap Pengelolaan Dana Desa di Desa Banjar Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng Provinsi Bali.” Jurnal Ilmiah Akuntansi Dan Humanika. 8 (1). (2019): p. 13.
Prasta, M. “Pariwisata Berbasis Masyarakat Sebagai Pelestari Tradisi Di Desa Samiran”. Jurnal Kepariwisataan: Destinasi, Hospitalitas Dan Perjalanan, 5 (1).
(2021): p. 101.
Rachmanullah, Danu, Lindati Dwiatin, and Kasmawati Kasmawati. "Perlindungan Hukum Terhadap Eskpresi Budaya Tradisional Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014." Pactum Law Journal 1, No.04 (2018): 348-361.
Raharjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2014
Saidin, H.OK. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights). Jakarta: Rajawali Pers. 2015
Setiady, Tolib. Intisari Hukum Adat Indonesia dalam Kajian Kepustakaan. Bandung: ALFABETA. 2015
Surpha, I Wayan. Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Denpasar: PT. Offset BP. 2002
Suadnyana, Ida Bagus Putu Eka. “Desa Pakraman sebagai Lembaga Adat dan Lembaga Agama Bagi Kehidupan Masyarakat Hindu di Bali.” Dharma Duta. 18 (1). (2020): p. 23.
Sukihana, Ida Ayu, and I. Gede Agus Kurniawan. “Karya Cipta Ekspresi Budaya Tradisional: Studi Empiris Perlindungan Tari Tradisional Bali di Kabupaten Bangli.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal). 7 (1). (2018): p. 54.
Widyanti, Yenny Eta. “Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Indonesia Dalam Sistem Yang Sui Generis.” Arena Hukum. 13 (3). (2020): p. 392.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234)
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6055)
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2019 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 4)
Awig-Awig Desa Adat Jimbaran
Awig-Awig Sekaa Teruna Teruni Bhakti Asih
451
Discussion and feedback