Perang Rusia-Ukraina dan Ancaman terhadap Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Rusia
on

Perang Rusia-Ukraina dan Ancaman terhadap Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Rusia
Kent Revelino Chandra1, I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja2
1Fakultas Hukum Universitas Udayana, [email protected]
2Fakultas Hukum Universitas Udayana, [email protected]
Info Artikel
Masuk: 22 September 2022 Diterima: 27 Juli 2023 Terbit: 29 Juli 2023
Keywords:
Human Rights; Freedom of Opinion and Expression;
Restriction; ICCPR; and International Law.
Kata kunci:
Hak Asasi Manusia; Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi;
Pembatasan; ICCPR; dan Hukum Internasional
Corresponding Author:
Kent Revelino Chandra [email protected]
DOI:
10.24843/JMHU.2023.v12.i0
2.p12
Abstract
The objective of this research is to explore the regulation of freedom of opinion and expression under international law and its implementation within the context of Russia's national law, particularly in relation to the Russia-Ukraine war. The study aims to examine and analyze the justifiability of the current restrictions imposed by Russia under international law and whether they align with the established criteria. According to General Comment No. 34, freedom of opinion should not be subject to limitations during an emergency, whereas freedom of expression may be restricted under specific conditions outlined in the Siracusa principles. These conditions encompass the requirement for restrictions to be based on clear and accessible laws, serving legitimate purposes, and implementing measures that are proportionate to protect the relevant interests. Through normative legal research methods utilizing statutory, case, and factual analysis, along with a conceptual/analytical approach, this paper concludes that freedom of opinion and expression are safeguarded and their limitations are determined as outlined in the ICCPR. As a result, Russia's actions in curbing freedom of expression do not align with the principles of international law.
Abstrak
Penulisan ini memiliki tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan kebebasan berpendapat dan berekspresi berdasarkan hukum international serta bagaimana pengaturannya dalam hukum nasional Rusia di tengah perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina. Tulisan ini berupaya mengidentifikasi dan menganalisis ketepatan pembatasan hak berpendapat di Rusia menurut hukum internasional. General Comment Nomor 34 menyatakan bahwa kebebasan berpendapat adalah salah satu elemen, yang tidak akan pernah bisa dibatasi walau dalam keadaan darurat sekalipun. Hal ini kemudian berbeda dengan kebebasan berekspresi yang dapat di batasi apabila memenuhi secara komulatif syarat dari prinsip-prinsip siracusa, yaitu: Pertama, pembatasan wajib berdasarkan hukum yang dapat diakses dan tidak kabur. Kedua, pembatasan wajib memiliki tujuan yang sah. Ketiga, pemerintah wajib menetapkan pembatasan dimana merupakan limitasi yang serendah mungkin untuk melindungi kepentingan yang ada. Metode penelitian hukum normatif digunakan dalam penyusunan penulisan ini, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, kasus, dan fakta, serta pendekatan konseptual/analitis. Tulisan ini
menemukan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi telah dilindungi dan ditentukan batasan-batasannya dalam ICCPR. Dengan demikian, tindakan Russia dalam membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah tidak sesuai dengan kaidah hukum internasional yang berlaku.
-
I. Pendahuluan
Ukraina dan Federasi Rusia ("Rusia") adalah dua negara berdaulat di wilayah timur benua Eropa, 1 meskipun sebelumnya keduanya merupakan bagian dari Uni Soviet. 2 Hubungan antara kedua negara ini telah mengalami berbagai pasang surut. Pada tahun 2014, hubungan mereka memanas karena Rusia mengambil tindakan aneksasi terhadap Krimea, yang secara ilegal melanggar integritas teritorial Ukraina. 3 Tindakan ini menimbulkan ketegangan dan konflik di antara mereka.
Setelah aneksasi, Ukraina meningkatkan kerjasamanya dengan North Atlantic Treaty Organization (NATO), 4 yang mengarah pada kemungkinan keanggotaan Ukraina di aliansi tersebut. 5 Hal ini menyebabkan ketegangan lebih lanjut dalam hubungan Ukraina dengan Rusia.6 Meskipun terjadi upaya diplomasi dari pihak Rusia, namun respon positif tidak terjadi dan ketegangan semakin meningkat.
Pada tanggal 24 Februari 2022, situasi mencapai titik kritis ketika Rusia melancarkan invasi ke Ukraina. 7 Tindakan ini menciptakan situasi konflik dan perang, serta berdampak pada bencana kemanusiaan yang sedang berlangsung. Kejadian ini adalah suatu hal yang seharusnya hanya terdapat dalam buku sejarah, namun sayangnya terjadi di dunia nyata dengan dampak yang sangat nyata bagi kedua negara dan masyarakat internasional.
Tindakan yang dilakukan oleh Russia bukanlah tanpa sebab, Rusia berargumentasi bahwa invasi terhadap Ukraina terjustifikasi atas beberapa alasan. Pertama, sebagai tanggapan atas pertanyaan “hidup atau mati” yang menurut Vladimir Putin selaku
presiden Russia saat ini, sebagai akibat dari perluasan aliansi NATO yang menggerakkan infrastruktur militernya semakin dekat ke perbatasan Rusia. 8 Klaim dibuat oleh Russia bahwa tindakannya merupakan bentuk dari hak pertahanan diri (self-defense),9 yang merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh negara dalam menghadapi suatu ancaman.10 Kedua, adanya permintaan pemimpin Republik Rakyat Luhanks dan Donestsk untuk memberikan dukungan militer sesuai dengan perjanjian kerja sama bilateral yang disepakati sebagai salah satu bentuk pengakuan kedua negara itu. 11 Ditambah, tuduhan presiden Russia sebagai delapan tahun intimidasi dan genosida oleh pemerintah Ukraina. 12 Alasan di atas digunakan oleh Russia untuk memberikan legitimasi, mengakibatkan keputusan untuk meluncurkan apa yang disebut “Special Military Operation” pun dilakukan dimana hal ini sesuai juga dengan Treaty of Friendship, Cooperation and Mutual Assistance yang ditandatangani bersama dengan Republik Rakyat Luhansk dan Donetsk13 dan Pasal 51 Piagam PBB yang mengizinkan Collective Self-Defence14 dengan tujuan untuk “demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina.”15 Apapun alasannya, operasi ini mengakibatkan banyak korban jiwa dimana yang terus bertambah seiring berjalannya invasi.
Hal ini diperburuk dengan Rusia memulai kampanye informasinya untuk menggambarkan “Special Military Operation”sebagai tindakan yang sah, menunjukkan pandangannya yang kuat bahwa tindakan itu dibenarkan. 16 Rusia sebagian besar mengabaikan laporan pelanggaran hukum humaniter internasional oleh pasukannya atau berusaha mengalihkan perhatian dari ini dengan informasi yang salah dan disinformasi propaganda. 17 Dapat dilihat pula dimana Russia melaksanakan rencana strategis untuk mengontrol informasi terkait perang, yaitu dengan: Pertama, melakukan penangkapan kepada pengunjuk rasa anti-perang dengan jumlah penangkapan hampir
10.000 lebih orang.18 Kedua, melakukan propaganda melalui sekolah dimana salah satu kegiatan dan pembelajaran dilaksanakan sesuai buku pedoman yang telah melalui sensor pemerintah dimana menjustifikasi invasi yang dilakukan Russia. seperti dalam narasi media yang disetujui, mereka tidak diperbolehkan untuk menyebut kampanye militer yang sedang berlangsung sebagai perang atau invasi, tetapi sebagai “operasi khusus”.19 Ketiga, mengamandemen peraturan dengan tujuan untuk membatasi hak atas kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul secara damai.20
Melihat pembungkaman kebebasan berpendapat secara sistematis serta dugaan kuat pelanggaran terhadap hak asasi manusia (“HAM”) yang terjadi di Russia, penulis memandang perlu adanya penulisan berkenaan dengan topik tersebut. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan perlindungan kebebasan berpendapat berdasarkan hukum international serta praktiknya dalam hukum nasional Russia.
Berdasarkan studi kepustakaan yang dilakukan, tidak ditemukan penulisan dengan tema atau judul yang sama. Tetapi, ada beberapa penulisan yang berkaitan, diantaranya Jurnal dengan judul “Pembatasan Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat Menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights” yang ditulis oleh Afrizal Razqi dengan tujuan untuk mengetahui akibat hukum pembatasan berekspresi dan berpendapat serta mengetahui pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat menurut ICCPR. Berikutnya, penulisan “Pengaturan Kebebasan Berekspresi melalui Media Digital menurut Hukum Internasional dan Penerapannya di Indonesia” oleh Mikel Kelvin, yang memiliki tujuan untuk menilik lebih lanjut tentang kebebasan berpendapat di media digital berdasarkan hukum international dan pengaplikasiannya di Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa penulisan ini berbeda dengan penelitian terdahulu, dimana akan difokuskan pada kasus terkini tindakan negara Russia untuk membatasi kebebasan berpendapat dan apakah tindakan yang diambil sudah sesuai atau sebenarnya melanggar kaidah Hukum Internasional yang mengatur tentang kebebasan berpendapat.
-
2. Metode Penelitian
Metode penelitian hukum normatif digunakan oleh penulis dengan fokus pada hukum internasional yang relevan terkait masalah yang dibahas. 21 Dalam menganalisis permasalahan yang ada, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual (analytical conceptual approach). Penulisan juga akan didasarkan pada instrumen hukum internasional yang relevan, misalnya konvensi internasional, deklarasi, dokumen, serta resolusi yang diadopsi oleh organisasi atau lembaga internasional sebagai dasar hukum utama. Keputusan pengadilan internasional dan
praktik (negara) akan digunakan sebagai dasar hukum sekunder. Bahan dan sumber/sumber yang digunakan dalam penulisan ini akan didasarkan pada buku teks, jurnal, situs online, serta berita yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan yang kemudian hasil kajiannya dideskripsikan secara sistematis.
-
3. Hasil dan Pembahasan
Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan bagian yang sangat penting dan diperlukan untuk perkembangan seseorang ataupun masyarakat mana pun. 22 Kebebasan berpendapat bertaut dengan kebebasan berekspresi dimana kebebasan berekspresi menyediakan sarana untuk pertukaran dan pengembangan pendapat. 23 Perlindungan hak kebebasan ini pun diseriusi dengan dicantumkannya pasal perlindungan kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam Kovenan Internasional dikenal dengan International Covenant on Civil and Political Right (“ICCPR”).24 ICCPR adalah perjanjian yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (“PBB”) yang paling komprehensif dan memiliki kedudukan yang kuat dalam mengakui hak-hak sipil dan politik.25 Perjanjian ini telah menghasilkan sebagian besar dari yurisprudensi di bidang perlindungan hak-hak sipil dan politik.26 ICCPR sendiri telah memiliki lebih dari 173 negara pihak (party) saat penulisan ini dibuat, 27 mengakibatkan negara yang telah menjadi negara pihak harus memenuhi kewajibannya dalam melindungi hak-hak yang termasuk di dalam ICCPR.28
Berdasarkan definisi Negara pihak dalam Konvensi Wina 1969, dapat diartikan sebagai negara yang telah menyetujui untuk mengikatkan diri pada perjanjian dan karenanya perjanjian tersebut berlaku.29 Konsep ini juga ditegaskan dalam Konvensi Wina 1986, di mana istilah "party" merujuk pada negara atau organisasi internasional yang telah menyetujui untuk terikat oleh perjanjian dan karenanya perjanjian tersebut berlaku.30 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa negara pihak adalah negara yang secara
sukarela memilih untuk mengikatkan diri pada ketentuan yang diatur dalam perjanjian internasional tersebut.
Berbeda dengan negara yang bukan pihak (third state) dari suatu perjanjian internasional. Berdasarkan Konvensi Wina, 31 sebuah perjanjian internasional tidak memberikan kewajiban ataupun hak kepada negara yang bukan merupakan pihak dari perjanjian sebelum adanya persetujuan dari negara tersebut.32 Hal ini dikenal dengan prinsip “pacta tertiis nec nocent nec prosunt” dan merupakan salah satu prinsip yang sangat penting.33
Sumber hukum internasional tidak hanya terbatas pada perjanjian saja, salah satu sumbernya adalah kebiasaan hukum internasional (Customary International Law), yang merujuk pada kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum. 34 Kebiasaan hukum internasional memiliki dua syarat yang harus dipenuhi: 35 Pertama, kebiasaan atau norma tersebut dipraktikkan secara luas, berkesinambungan, dan konsisten oleh negara-negara. Kedua, kebiasaan atau norma tersebut dianggap sebagai suatu keharusan atau kewajiban hukum.
Dalam pengaturan HAM, termasuk ICCPR yang telah disetujui oleh hampir 95 persen negara anggota PBB, secara tidak langsung mengikat negara-negara tersebut untuk melindungi kebebasan berpendapat sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ICCPR. Selain itu, negara-negara yang bukan pihak dalam kovenan tersebut juga mengakui hak-hak yang diatur dalam Pasal 19, seperti yang tercermin dalam bahan-bahan Tinjauan Universal Berkala (the Universal Periodic Review).36 Tinjauan Berkala Universal merupakan proses unik yang melibatkan peninjauan berkala terhadap catatan HAM dari semua 198 Negara Anggota PBB.37
Tidak dapat dipungkiri bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi telah menjadi prinsip yang diterima secara universal dan diakui sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional.38 Oleh karena itu, setiap negara memiliki tanggung jawab dan hak untuk
melindungi kebebasan berpendapat dan berekspresi berdasarkan mekanisme hukum kebiasaan internasional39 atau melalui perjanjian internasional. 40
Prinsip kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan fondasi penting dalam memastikan HAM dan partisipasi aktif warga negara dalam berbagai diskusi dan isu-isu publik. Dalam konteks hukum internasional, prinsip ini telah diterapkan secara luas untuk melindungi kebebasan individu dalam menyampaikan gagasan, pendapat, dan ekspresi mereka tanpa rasa takut atau pembatasan yang tidak adil. Melalui mekanisme hukum kebiasaan internasional dan perjanjian internasional, negara-negara dapat bekerja sama untuk memastikan bahwa HAM, termasuk kebebasan berpendapat dan berekspresi, dihormati dan dijunjung tinggi di tingkat global. Dengan demikian, kebebasan berpendapat dan berekspresi dapat menjadi dasar bagi masyarakat yang inklusif, terbuka, dan demokratis di seluruh dunia.
ICCPR dalam Pasal 19 mengatur tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi serta limitasi yang dapat di berlakukan. Pasal 19 ICCPR sendiri berbunyi sebagai berikut41:
“1. Everyone shall have the right to hold opinions without interference.
-
2. Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice.
-
3. The exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided by law and are necessary:
-
a. For respect of the rights or reputations of others;
-
b. For the protection of national security or of public order (ordre public), or of public health or morals.”
Pasal 19 (1) ICCPR merupakan ketentuan yang mengatur perlindungan terhadap kebebasan berpendapat tanpa campur tangan dari pihak manapun, dan hak ini tidak dapat dikecualikan atau dibatasi oleh siapapun. 42 Hak ini memastikan bahwa seseorang memiliki kebebasan untuk mengubah pendapatnya kapan pun dan dengan alasan apa pun yang mereka pilih, sebagai bentuk perlindungan terhadap kebebasan berpendapat.43
Pasal ini melarang segala upaya untuk memaksa seseorang agar berpendapat atau tidak berpendapat, karena hal ini juga dianggap sebagai pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat yang dijamin oleh ICCPR.44 Oleh karena itu, hak ini sangat penting untuk
memastikan setiap individu dapat menyuarakan pendapat mereka tanpa rasa takut atau tekanan dari pihak lain.
Dengan demikian, Pasal 19 (1) ICCPR berfungsi sebagai landasan kuat yang melindungi dan memastikan kebebasan berpendapat sebagai salah satu HAM yang fundamental, dan negara-negara diharapkan untuk menghormati dan memenuhi kewajiban mereka dalam menjaga dan melindungi hak ini dalam sistem hukum nasional dan internasional.
Seperti kebebasan sebelumnya, kebebasan berekspresi juga harus dijaga dan dilindungi oleh setiap negara yang menjadi pihak dalam ICCPR. Hak ini mencakup hak untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dalam segala bentuk tanpa batasan tertentu, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 19 (2) ICCPR.45 Selain itu, hak ini mencakup kemampuan untuk mengungkapkan dan menerima setiap bentuk ekspresi yang dapat disampaikan kepada orang lain, termasuk dalam konteks ketentuan yang diatur dalam Pasal 19 (3) dan Pasal 20.46
Kebebasan berekspresi ini meliputi segala bentuk ekspresi, bahkan termasuk yang mungkin dianggap ofensif.47 Penting untuk memastikan bahwa hak ini tetap dihormati dan dilindungi tanpa diskriminasi, sehingga setiap individu memiliki kebebasan untuk menyatakan pendapat dan ide-ide mereka tanpa rasa takut atau represi dari pemerintah atau pihak lain.
Walaupun demikian Hukum internasional mengakui bahwa kebebasan berekspresi dapat dibatasi dalam parameter yang ditentukan secara ketat.48 Setiap tindakan yang berusaha membatasi hak harus memenuhi kriteria berikut agar diperbolehkan: Pertama, pembatasan tersebut diatur oleh hukum (provided by law). 49 Kedua, diperlukan (necessary) 50 untuk mengejar tujuan yang sah (legitimate aim). 51 Pembatasan yang dibenarkan dengan menghormati reputasi orang lain (reputations of others), ketertiban umum (public order), keamanan nasional (national security), kesehatan masyarakat dan moral masyarakat (public health and public morals).52 Ketiga, proposional (proportionate) untuk mencapai tujuan tersebut. Berdasarkan penjabaran sebelumnya kebebasan berpendapat benar dapat dibatasi, tetapi apabila syarat pembatasan tersebut terpenuhi secara komulatif.53
Pada tanggal 18 Maret tahun 1968 Russia menandatangani dan lima tahun kemudian ICCPR diratifikasi pada 16 Oktober 1973. 54 Berdasarkan hal ini maka timbulah kewajiban bagi Russia untuk melindungi kebebasan yang diatur dalam ICCPR, terkhususnya kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Saat Rusia terus melakukan perang agresi terhadap Ukraina, mereka juga berperang di "rumah" dengan melawan mereka yang mengkritik perang dan kejahatan perang yang dilakukan oleh pasukan Rusia. Untuk membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi di Russia, pemerintah Russia telah mengeluarkan Undang-Undang sebagai salah satu strategi untuk membenarkan pembatasan tersebut.55 Dampak dari langkah ini sangat mengkhawatirkan:
Pertama, ratusan orang ditangkap karena melakukan demonstrasi damai menentang perang, dan lusinan orang di Russia menghadapi ancaman penahanan selama waktu yang sangat lama, hampir sepuluh tahun atau lebih, hanya karena berbagi apa yang dianggap oleh pihak berwenang sebagai "informasi palsu tentang Angkatan Bersenjata".56
Kedua, kebebasan pers terancam. Media independen dipaksa untuk tutup, lebih dari 150 wartawan lokal dikabarkan telah pergi ke pengasingan, dan akses ke sumber berita luar negeri, seperti CNN, Radio Free Europe, Radio Liberty, serta platform media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram telah diblokir.57 Semua ini menghambat akses informasi dan pembatasan media menjadi tantangan serius bagi kebebasan berekspresi. Terutama di era digital ini, internet menjadi sarana utama untuk menyampaikan pandangan dan opini.58
Ketiga, terdapat upaya propaganda dan disinformasi mengenai invasi Russia melalui media massa pemerintah dan kurikulum sekolah. 59 Tujuannya adalah untuk
mempengaruhi opini masyarakat di dalam negeri agar mendukung tindakan-tindakan pemerintah dan menciptakan persepsi yang sesuai dengan narasi yang diinginkan oleh pihak berwenang.
Semua tindakan tersebut mengindikasikan adanya serangan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi di Russia, yang berdampak pada pembatasan HAM dan ketidakadilan dalam masyarakat. Hal ini mengancam demokrasi dan kebebasan individu untuk menyuarakan pendapat, serta memberikan pemandangan yang sangat mengkhawatirkan bagi hak-hak manusia di negara tersebut.
Undang-undang baru dengan cepat disahkan pada 4 Maret 2022, hanya dalam satu hari, oleh kedua kamar parlemen Rusia dan ditandatangani oleh Presiden Putin, memperkenalkan amandemen KUHP (the Criminal Code/ CC, УК) dan Kode Pelanggaran Administratif (the Code on Administrative Offences/ CAO, КоАП) secara serius membatasi hak atas kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul secara damai. 60 Inisiatif legislatif ini dikejar dalam situasi darurat terkait invasi Rusia ke Ukraina dan berpotensi berdampak luas serta merusak HAM di Rusia, tidak hanya selama konflik bersenjata tetapi juga di luar konteks tersebut. Beberapa peraturan yang diajukan dalam inisiatif ini adalah sebagai berikut:
-
a. “Informasi Salah” berhubungan dengan Angkatan Bersenjata Russia
Pasal 207.3 KUHP yang baru ditambahkan menghukum “penyebaran publik atas informasi palsu yang disengaja tentang penggunaan Angkatan Bersenjata Rusia,” 61 dengan hukuman mulai dari denda besar hingga penjara hingga tiga tahun. Mereka yang diduga menyebarkan informasi palsu tersebut menggunakan “posisi resmi” mereka atau sebagai bagian dari kelompok terorganisir atau disertai dengan “pembuatan bukti buatan untuk penuntutan;” atau “dipandu oleh keserakahan, atau dimotivasi oleh kebencian atau kebencian politik, ideologis, ras, etnis atau agama atau kebencian terhadap suatu kelompok sosial” dapat menghadapi hukuman lima hingga sepuluh tahun penjara. Dalam hal "akibat berat" hukumannya adalah penjara 10 hingga 15 tahun dengan larangan menjalankan profesi atau kegiatan tertentu hingga 5 tahun. Hukum pidana Rusia tidak berisi daftar lengkap tentang apa yang merupakan "konsekuensi serius" dan tergantung pada kejahatan tertentu, penegak hukum dan pengadilan telah menafsirkannya untuk memasukkan kerugian finansial yang signifikan dan cedera tubuh atau kematian. Oleh karena itu, apa yang mungkin merupakan konsekuensi serius dari penyebaran informasi palsu yang dituduhkan, pada dasarnya merupakan kebijaksanaan penuntut.
-
b. Tindakan Publik “Mendiskreditkan” Angkatan Bersenjata Rusia
Amandemen terhadap undang-undang memperkenalkan pasal baru dalam KUHP Rusia (pasal 280.3) dan Kode Pelanggaran Administratif (pasal 20.3.3), yang menjadikan "tindakan publik yang bertujuan mendiskreditkan" Angkatan Bersenjata Rusia sebagai ilegal. 62 Ini termasuk seruan publik untuk menarik angkatan bersenjata atau menghentikan pertempuran. Pelanggaran di bawah hukum administrasi dan pidana hampir sama, di mana pelanggar pertama kali akan
dikenakan sanksi di bawah hukum administrasi dengan denda maksimum 50.000 rubel (sekitar US$ 450) untuk individu atau 500.000 rubel (sekitar $4.500) untuk badan hukum. Jika seseorang memiliki setidaknya satu hukuman administratif sebelumnya atas tuduhan yang sama dalam satu tahun, mereka dapat dihadapkan pada KUHP dan menghadapi hukuman penjara hingga tiga tahun.
-
c. Menyerukan Sanksi
Sejumlah ketentuan baru telah ditambahkan sebagai pelanggaran administratif dan pidana bagi warga negara Rusia atau badan hukum Rusia yang meminta sanksi terhadap Rusia, warga negaranya, atau badan hukum Rusia. Ketentuan baru ini terdapat dalam Pasal 20.3.4 Kode Pelanggaran Administratif, yang melarang memberikan seruan kepada negara asing, entitas mereka, atau organisasi atau serikat antar pemerintah, untuk memberlakukan atau menerapkan sanksi politik atau ekonomi terhadap Rusia. Hukumannya serupa dengan "pendiskreditan" Angkatan Bersenjata, dengan denda maksimum 50.000 rubel (sekitar US$ 450) untuk individu dan 500.000 rubel (sekitar $4.500) untuk badan hukum. Tindak pidana terkait, yang diatur dalam Pasal 284.2, ditujukan bagi "pelanggar berulang," yaitu warga negara Rusia yang telah dihukum dalam satu tahun terakhir atas tuduhan yang sama terkait pelanggaran administratif. Hukumannya mencakup denda dan hingga tiga tahun penjara.63
Tindakan Russia tersebut tidak sesuai dengan menyalahi aturan ICCPR Pasal 19 dan kriteria yang telah ditetapkan Pasal 19 (3) ICCPR, yaitu sebagai berikut:
-
a. Diatur oleh hukum (Provided by Law)
Hukum yang dibuat oleh negara harus cukup jelas dan tepat, sehingga individu dapat dengan mudah memahami dan mengatur perilaku mereka sesuai dengan ketentuan hukum tersebut. Selain itu, hukum tersebut harus memberikan panduan yang memadai kepada pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan aturan ini, sehingga mereka dapat memastikan batasan-batasan yang seharusnya ada terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan secara legal.64
Norma-norma hukum ini juga harus dapat diakses dengan mudah oleh publik, sehingga semua orang dapat mengetahui hak dan kewajiban mereka terkait dengan kebebasan berpendapat dan berekspresi sesuai dengan standar yang ditetapkan dalam ICCPR. 65 Artinya, hukum tidak boleh menimbulkan diskriminasi atau membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi berdasarkan kriteria tertentu, seperti suku, agama, ras, jenis kelamin, atau pandangan politik. 66
Dengan demikian, hukum yang jelas, tepat, dan dapat diakses oleh publik merupakan prasyarat penting dalam melindungi dan menghormati kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagaimana diakui oleh ICCPR. Negara-negara harus memastikan bahwa peraturan-peraturan yang dibuat menghormati HAM dan tidak membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi secara semena-mena, sehingga masyarakat dapat berpartisipasi secara aktif dalam diskusi publik dan mewujudkan masyarakat yang demokratis dan inklusif.
Terakhir, undang-undang harus mencakup ketentuan perlindungan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, termasuk dengan adanya mekanisme tinjauan yudisial yang efektif dan dilakukan oleh pengadilan yang independen.67 Tujuan dari mekanisme tinjauan yudisial ini adalah untuk memastikan bahwa setiap pembatasan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi yang diterapkan oleh pemerintah dilakukan secara adil, sesuai dengan hukum, dan tidak semena-mena.
Mekanisme tinjauan yudisial ini sangat penting dalam melindungi hak-hak individu untuk berpendapat dan berekspresi secara bebas, sebagaimana dijamin oleh prinsip-prinsip HAM yang diakui secara internasional, termasuk dalam ICCPR. Pengadilan yang independen memiliki peran krusial dalam memastikan bahwa pemerintah tidak menyalahgunakan kekuasaannya untuk membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta untuk menegakkan prinsip-prinsip keadilan dan keadilan dalam kasus-kasus yang melibatkan hak-hak tersebut.
Dengan adanya mekanisme tinjauan yudisial yang efektif dan independen, diharapkan bahwa setiap pembatasan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi yang diterapkan oleh pemerintah akan diuji secara ketat dan berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Ini akan mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak berwenang dan memastikan bahwa hak-hak individu untuk berpendapat dan berekspresi tetap dihormati dan dilindungi secara adil dan setara.
Hukum nasional yang diberlakukan oleh Rusia untuk membenarkan pembatasan tersebut tidak sesuai dengan aturan ICCPR. Pertama, hukum ini digunakan untuk membungkam pembelaan HAM, jurnalisme, dan perwakilan masyarakat, 68 dengan mengkriminalisasi berbagai ekspresi dan opini kritis terhadap otoritas Rusia, tindakan mereka, dan kebijakan mereka. 69
Kedua, jenis ekspresi yang dilarang dan kriteria pelanggaran yang diatur dalam hukum tersebut sangat kabur dan tidak jelas. Hukum ini tidak memberikan definisi yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan "informasi palsu" atau kriteria apa pun untuk menilainya. 70 Akibatnya, fakta-fakta yang sebenarnya dapat dianggap sebagai "informasi palsu" hanya karena bertentangan dengan narasi resmi pemerintah Rusia, dan menyebutkan fakta-fakta ini dapat menjadi pelanggaran pidana yang serius. 71
Ketiga, sanksi hukuman yang diberlakukan sangat berlebihan dan dapat berlaku secara retrospektif. 72 Hal ini dapat menyebabkan orang-orang dihukum dengan tindakan yang pada saat itu mungkin tidak dianggap sebagai pelanggaran hukum. Selain itu, sanksi
yang diberlakukan dapat menjadi cara untuk menakut-nakuti dan mengancam warga negara agar tidak berani menyuarakan pendapat yang berbeda dengan pemerintah.
Keempat, pengadilan yang mengadili kasus-kasus terkait hukum tersebut dapat dianggap tidak independen dan berpihak pada pemerintah. 73 Hal ini dapat mempengaruhi objektivitas dan keadilan dalam proses pengadilan, sehingga hak-hak individu untuk berpendapat dan berekspresi tidak dapat dijamin dengan adil.
Secara keseluruhan, hukum nasional yang diberlakukan untuk membenarkan pembatasan tersebut telah menyalahi prinsip-prinsip ICCPR, termasuk hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran atas pelanggaran HAM dan perlunya penegakan hukum yang sesuai dengan standar internasional yang diakui untuk melindungi kebebasan berpendapat dan berekspresi secara adil dan setara.
Dalam konteks keseluruhan, terlihat dengan sangat jelas bahwa peraturan ini memiliki motif tersembunyi, 74 yaitu untuk menekan pluralisme politik dan perbedaan pendapat. Tujuannya hanya untuk menghalangi perlindungan publik atau jurnalisme kritis, yang menyebabkan dampak yang sudah terlihat sejauh ini.75 Hal ini sangat bertentangan dengan Pasal 19 ICCPR yang melindungi semua jenis ekspresi, termasuk yang mungkin menyinggung atau salah. 76 Perlindungan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi yang seharusnya diakui dan dihormati oleh negara pihak sekarang menjadi terbatas dan terancam di Rusia akibat peraturan yang diberlakukan. Peraturan ini seharusnya diawasi dan dievaluasi dengan cermat untuk memastikan kepatuhannya dengan prinsip-prinsip HAM yang diakui secara internasional. Jika tidak, hal ini dapat menimbulkan dampak yang serius bagi kebebasan masyarakat sipil dan integritas demokrasi di negara tersebut.
-
c. Propotional (Proportionate)
Uji proporsionalitas memiliki peran penting dalam memastikan bahwa tindakan yang diambil oleh suatu negara untuk membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi memenuhi kriteria tertentu. Uji ini melibatkan beberapa aspek yang harus dipertimbangkan agar tindakan tersebut sesuai dengan prinsip HAM dan tidak melanggar kebebasan individu. Pertama, tindakan tersebut tidak boleh menghalangi diskusi publik yang penting dalam mempengaruhi kehidupan masyarakat. 77 Artinya, hak untuk berpendapat dan berekspresi harus dijaga agar masyarakat tetap dapat berpartisipasi secara aktif dalam berbagai perbincangan dan memberikan masukan terhadap isu-isu penting. Kedua, tindakan tersebut harus tepat dalam mencapai tujuan perlindungannya.78 Pemerintah harus memastikan bahwa batasan yang diberlakukan sepadan dengan alasan dan tujuan tertentu untuk melindungi kepentingan umum dan
hak-hak orang lain. Ketiga, tindakan tersebut harus merupakan langkah paling tidak mengganggu (less intrusive measure) yang memungkinkan untuk mencapai tujuan perlindungan tersebut.79 Ini berarti negara harus mencari cara yang paling efektif dan proporsional untuk mengatasi masalah atau ancaman tanpa mengorbankan hak kebebasan individu secara berlebihan. Keempat, suatu negara harus menunjukkan hubungan yang jelas dan langsung antara ekspresi yang dibatasi dan ancaman yang ada.80 Artinya, tindakan pembatasan harus didukung oleh bukti dan penjelasan yang meyakinkan untuk menunjukkan bahwa ekspresi yang dibatasi benar-benar berdampak negatif atau berbahaya. Dengan melakukan uji proporsionalitas ini, suatu negara dapat memastikan bahwa kebijakan yang diambil untuk membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah sesuai dengan prinsip HAM dan memberikan perlindungan yang seimbang antara hak individu dan kepentingan umum.
Melihat pada sanksi yang diberlakukan oleh Rusia, dapat disimpulkan hal tersebut tidak termasuk dalam bentuk yang paling tidak mengganggu, karena dapat mengakibatkan hukuman penjara atau denda yang terlalu berat.81 Sanksi ini berpotensi membahayakan kebebasan berekspresi dalam masyarakat demokratis karena dapat menghambat kritik dan menghilangkan ruang bagi masyarakat untuk berbicara terbuka. 82 Selain itu, hukuman semacam itu dapat menyebabkan masyarakat enggan untuk mengekspresikan pendapat mereka dalam konteks masyarakat itu sendiri. 83 Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, pemerintah dan pengadilan tidak dapat menjelaskan hubungan yang jelas antara ekspresi dan ancaman yang ada.
Ada berbagai praktik yang digunakan oleh negara-negara untuk mengatasi informasi yang salah, seperti kontra-narasi, 84 salah satu upaya yang dilakukan dimana menguatkan fakta-fakta yang dapat secara proaktif melawan informasi yang salah.85 Langkah-langkah ini membantu dalam menghadapi dan melawan penyebaran informasi yang tidak akurat atau menyesatkan. Selain itu, masih banyak lagi cara efektif untuk memberantas missinformasi dan melindungi kebebasan berekspresi. 86
Upaya-upaya ini bertujuan untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam menjaga kebebasan berekspresi dan mencegah penyebaran informasi yang salah atau manipulatif. Namun, perlu ditekankan bahwa cara-cara yang digunakan harus tetap sesuai dengan prinsip-prinsip HAM dan kebebasan berpendapat.
Di sisi lain, Russia telah menerapkan langkah-langkah yang lebih intrusif dalam menghadapi informasi yang dianggap salah atau mengancam penguasaan.87 Salah satu contoh adalah penangkapan dan pemenjaraan orang-orang yang dianggap menyebarkan informasi yang dianggap tidak sesuai dengan narasi pemerintah atau merugikan kepentingan negara. Pendekatan semacam ini menunjukkan tingkat intrusi yang lebih tinggi dalam upaya mereka untuk mengendalikan informasi dan mengontrol ekspresi.
Dampak dari berlakunya peraturan ini adalah sebagai berikut: Pertama, belasan orang telah dipenjara karena menyebarkan "informasi yang salah" menurut pemerintah Russia.88 Hal ini menjadikan orang ragu untuk mengungkapkan pendapatnya karena takut menghadapi sanksi atau tindakan represif dari pemerintah. Kondisi ini jelas bertentangan dengan perlindungan hak kebebasan berpendapat yang seharusnya diakui dan dihormati.89
Kedua, media independen di Russia dipaksa untuk ditutup dan media sosial diblokir. Hal ini menyebabkan pemerintah menjadi satu-satunya sumber informasi yang dominan, dan tidak ada lagi check and balance dari media independen yang dapat menyediakan informasi yang netral dan kritis. Keberadaan media independen sangat penting dalam menjamin keragaman informasi dan memastikan bahwa individu dapat memiliki akses ke berbagai perspektif dan pandangan. Tanpa adanya media independen, individu dapat terpengaruh oleh narasi yang didominasi pemerintah, yang berpotensi melanggar kebebasan berpendapat mereka.90
Dengan demikian, dampak dari peraturan ini adalah pembatasan berat terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi di Russia. Penangkapan orang karena menyebarkan informasi "salah" menciptakan ketakutan dan pembatasan dalam menyuarakan pandangan yang berbeda, sementara penutupan media independen mengurangi pluralisme informasi dan menciptakan dominasi narasi dari pihak pemerintah. Dalam konteks ini, penting bagi negara-negara untuk selalu menghormati hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat sebagai fondasi demokrasi yang kuat dan berkelanjutan.
-
4. Kesimpulan
Kebebasan berpendapat dan berekspresi satu dari sekian HAM yang harus dilindungi. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak tersebut, sebagaimana kewajiban internasional timbul akibat suatu perjanjian internasional ataupun kebiasaan hukum internasional. Berdasarkan Hukum Internasional sendiri, perlindungan hak berpendapat dan berekspresi dianggap sebagai kebiasaan hukum international serta telah termuat dalam perjanjian international yaitu ICCPR pada pasal 19. Hak ini hadir dengan limitasinya yang telah diatur berdasarkan ICCPR dan General Comment No. 34. Intrument hukum ini menyatakan kebebasan berpendapat tidak akan pernah diperlukan untuk dibatas selama keadaan darurat. Berbeda dengan kebebasan berekspresi yang bisa di batasi apabila memenuhi secara komulatif syarat dari prinsip-prinsip siracusa, yaitu: Pertama, pembatasan wajib berdasarkan hukum yang dapat diakses dan tidak kabur. Kedua, pembatasan wajib memiliki tujuan yang sah. Ketiga, pemerintah wajib menetapkan pembatasan dimana merupakan limitasi yang serendah mungkin untuk melindungi kepentingan yang ada.
Semenjak invasi yang dilakukan oleh Russia terhadap Ukraina, Russia telah menyesahkan aturan baru yang dimana bertujuan untuk mengatasi “Informasi Salah” berhubungan dengan Angkatan Bersenjata Russia, Tindakan Publik “Mendiskreditkan” Angkatan Bersenjata Rusia, dan Menyerukan sanksi. Peraturan terbaru ini ternyata memiliki dampak negative yang sangat besar terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi di Russia. Russia berargumentasi bahwa tindakan ini penting untuk dilakukan, nyatanya limitasi terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi ini tidak sesuai dengan syarat yang diatur oleh hukum internasional. Peraturan Russia tidak memenuhi kriteria, yaitu: hukum nasional tidak memenuhi kriteria disediakan oleh hukum, penting untuk mencapai tujuan yang dimaksud, dan sanksi yang diberikan bukanlah yang propotional. Kesimpulannya Russia telah menyalahi aturan internasional tentang perlindungan kebebasan berpendapat dan berekspresi dengan di berlakukannya peraturan nasional tersebut.
Daftar Pustaka
“Security Council, 77th Year: 8974th Meeting, Wednesday, 23 February 2022, New York.” United Nations, February 23, 2022.
Abid Hussain. “Johannesburg Principles on National Security, Freedom of Expression and Access to Information.” United Nations, March 22, 1996. E/CN.4/1996/39.
Ahmet Yildirim v. Turkey, App. no. 3111/10 (The European Court of Human Rights 2012).
Aljazeera. “‘Smells of Genocide’: How Putin Justifies Russia’s War in Ukraine,” March 9, 2022. https://www.aljazeera.com/news/2022/3/9/smells-of-genocide-how-putin-justifies-russias-war-in-ukraine.
Aljazeera. “Do Not Call Ukraine Invasion a ‘War’, Russia Tells Media, Schools,” March 2, 2022. https://www.aljazeera.com/news/2022/3/2/do-not-call-ukraine-
invasion-a-war-russia-tells-media-schools.
Amnesty International. “Russia: Former Journalist Sentenced to 22 Years in Prison on Trumped-up Treason Charges,” September 5, 2022.
Amnesty International. (2022). Russia: Authorities Deploy New Criminal Laws to Silence Critisism of Russia’s War in Ukraine. Amnesty International Public Statement. EUR 46/5988/2022.
https://www.amnesty.org/en/documents/eur46/5988/2022/en/.
Ballantyne, Davidson and McIntyre v. Canada, CCPR/C/40/D/359/1989 and 385/1989 (Human Rights Committee 1990).
BBC. “Protests across Russia See Thousands Detained,” March 6, 2022.
https://www.bbc.com/news/world-europe-60640204.
C. F. G. Sunarjati Hartono. Beberapa Masalah Transnasional Dalam Penanaman Modal Asing Di Indonesia. Bandung: Bina Cipta, 1972.
Carme Colomina, Héctor Sánchez Margalef, and Richard Youngs. The Impact of Disinformation on Democratic Processes and Human Rights in The World. Brussels: European Union, 2021.
Cindawati. (2018). Kaedah-Kaedah Hukum Kebiasaan Internasional Yang Berlaku Dalam Kontrak Bisnis Internasioal. SOLUSI 16(1), 37–51.
https://doi.org/10.36546/solusi.v16i1.94.
Dananjaya, I Komang, and Nyoman Satyayudha Dhananjaya. (2022). The Legality of Russia’s Special Military Operation Against Ukraine from International Law Perspective. Kertha Patrika 44(1), 44–61.
https://doi.org/10.24843/KP.2022.v44.i01.p.03.
Dasha Litvinova, “Russia Convicts Ex-Police Officer over Ukraine War Criticism,” AP News, April 25, 2023, https://apnews.com/article/russia-ukraine-war-criticism-crackdown-prison-c94e1482679795d9bb652c661b5b8ab2.
Eliza Mackintosh. “What Does Putin Want in Ukraine? The Conflict Explained.” CNN, February 28, 2022. https://edition.cnn.com/2022/02/24/europe/ukraine-
russia-conflict-explainer-2-cmd-intl/index.html.
Frank La Rue. “Report of the Special Rapporteur on the Promotion and Protection of the Right to Freedom of Opinion and Expression.” United Nations, May 16, 2011. A/HRC/17/27. https://doi.org/10.1163/2210-7975_HRD-9970-2016149.
Gillian Triggs. International Law and Australian Sovereignty in Antarctica. Sydney: Legal Book, 1986.
Hafid Adim Pradana dan Ubaidah Adielah. (2022). Strategi Konfrontatif Rusia Melalui Kebijakan Operasi Militer Khusus ke Ukraina. Sospol: Jurnal Sosial Politik 8(2) 10.22219/jurnalsospol.v8i2.23258.
Haryanto, Alexander. “Fakta-Fakta Negara Ukraina: Profil, Sejarah & Konflik Dengan Rusia.” Tirto.Id, February 2022. https://tirto.id/fakta-fakta-negara-ukraina-
profil-sejarah-konflik-dengan-rusia-go95.
Huala Adolf. Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Human Rights Watch. “Russia Criminalizes Independent War Reporting, Anti-War Protests,” March 7, 2022. https://www.hrw.org/news/2022/03/07/russia-
criminalizes-independent-war-reporting-anti-war-protests.
Irene Khan. “Disinformation and Freedom of Opinion and Expression.” United Nations, April 13, 2021. A/HRC/47/25.
Jaona v. Madagascar, CCPR/C/24/D/132/1982 (Human Rights Committee 1985).
Joseph, Sarah, and Melissa Castan. The International Covenant on Civil and Political Rights: Cases, Materials, and Commentary. Third edition. Oxford, United Kingdom: Oxford University Press, 2013.
Kang v. Republic of Korea, CCPR/C/78/D/878/1999 (Human Rights Committee 2003).
Kate Jones. (2021). Protecting Political Discourse from Online Manipulation: The International Human Rights Law Framework. European Human Rights Law Review, (1), 68–79. https://search.informit.org/doi/10.3316/agispt.20210428045703.
Kayleen Devlin and Maria Korenyuk. “Ukraine War: History Is Rewritten for Children in Occupied Areas,” August 31, 2022. https://www.bbc.com/news/world-62577314.
Leonid Zdrestov v. Belarus, CCPR/C/128/D/2391/2014 (Human Rights Committee 2020).
Lopes Gomes Da Silva V. Portugal, App. No. 37698/97 (The European Court of Human Rights 2000).
Malcolm Ross v. Canada, CCPR/C/70/D/736/1997 (Human Rights Committee 2000).
Marc Weller. (2022). Russia’s Recognition of the ‘Separatist Republics’ in Ukraine Was Manifestly Unlawful. EJIL: Talk. https://www.ejiltalk.org/russias-recognition-of-the-separatist-republics-in-ukraine-was-manifestly-unlawful/.
Marko Milanovic. (2022). What Is Russia’s Legal Justification for Using Force against
Ukraine?. EJIL: Talk. https://www.ejiltalk.org/what-is-russias-legal-
justification-for-using-force-against-ukraine/.
Mdzinarshvili, Mdzinarshvili, and Siti Sa’atun. (2022). The Review of International Law on the Causes of the Russia-Ukraine Conflict. International Journal of Law
Reconstruction 6(1), 75. https://doi.org/10.26532/ijlr.v6i1.20490.
Michael N. Schmitt. (2022). Russia’s ‘Special Military Operation’ and the (Claimed) Right of Self-Defense. Leiber Institute. https://lieber.westpoint.edu/author/michaels/.
Military and Paramilitary Activities in and Against Nicaragua, (Nicaragua v. United States of America), Merits, Judgment, I.C.J. Reports 1986.
Natalia Prilutskaya. (2022). Russian Federation: End Censorship on Voices against the War.
Amnesty International Public Statement. EUR 46/5345/2022.
https://www.amnesty.org/en/documents/eur46/5345/2022/en/.
Navalnyy v. Russia (No.2), App. no. 43734/14 (The European Court of Human Rights 2019).
Niko Vorobyov, “Activists, Everyday Russians and a Soldier Punished for War Talk,” Aljazeera, March 24, 2023,
North Atlantic Treaty Organization. “Relations with Ukraine,” 2022. https://www.nato.int/cps/en/natohq/topics_37750.htm.
Paul Kirby. “Why Did Russia Invade Ukraine and Has Putin’s War Failed?” CNN, November 16, 2022. https://www.bbc.com/news/world-europe-56720589.
Rachel Briggs and Sebastien Feve. Policy Briefing: Countering the Appeal of Extremism Online. Institute for Strategic Dialogue, 2014.
Robert Faurisson v. France, CCPR/C/58/D/550/1993 (Human Rights Committee 1996). Sam Schechner, Yuliya Chernova, and Keach Hagey. “Russia’s Independent Media, Battling for Survival, Defies Kremlin Crackdown,” May 3, 2022.
Samuel Pitchford. “Russian Recognition Of Donetsk And Luhansk: Legal Analysis.” Human Rights Pulse, March 2, 2022.
Schabas, William A. The Customary International Law of Human Rights. 1st ed. Oxford University Press, 2021. https://doi.org/10.1093/oso/9780192845696.001.0001.
Shin v. Republic of Korea, CCPR/C/80/D/926/2000 (Human Rights Committee 2004).
Siti Krisma Wanti, “Upaya Dan Tantangan Perlindungan Hak Kebebasan Berekspresi Di Indonesia Menindaklanjuti Rekomendasi Universal Periodic Review” (Malang, Jawa Timur, Universitas Muhammadiyah Malang, 2022).
Soerjono Soekanto and Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat Jakarta: Rajawali Pers, 2015.
Stoll v. Switzerland, App. no, 69698/01 (The European Court of Human Rights 2007).
Tarlach McGonagle and Yvonne Donders, eds. The United Nations and Freedom of Expression and Information. Cambridge: Cambridge University Press, 2015.
UN General Assembly. “International Covenant on Civil and Political Rights.” United Nations, December 16, 1966. 999 UNTS 171.
UN Human Rights Committee (HRC). “General Comment No. 31 [80], The Nature of the General Legal Obligation Imposed on States Parties to the Covenant.” United Nations, May 26, 2004. CCPR/C/21/Rev.1/Add.13.
UN Treaty Body Database. “Ratification Status for CCPR - International Covenant on Civil and Political Rights,” 2022.
https://tbinternet.ohchr.org/_layouts/15/TreatyBodyExternal/Treaty.aspx?Tr eaty=CCPR&Lang=en.
UN. General Assembly (68th sess.: 2013-2014). “Territorial Integrity of Ukraine:
Resolution / Adopted by the General Assembly,” April 1, 2014. A/RES/68/262. https://digitallibrary.un.org/record/767883?ln=en.
UNHRC. “Report of the United Nations High Commissioner for Human Rights on the Expert Workshops on the Prohibition of Incitement to National, Racial or Religious Hatred.” United Nations, January 11, 2013. A/HRC/22/17/ADD.4.
United Nation Human Rights. “STATUS OF RATIFICATION INTERACTIVE DASHBOARD,” 2022. https://indicators.ohchr.org.
United Nations Human Rights Treaty Bodies. “UN Treaty Body Database,” 2022. https://tbinternet.ohchr.org/_layouts/15/TreatyBodyExternal/Treaty.aspx?C ountryID=144&Lang=EN.
United Nations Human Rights. “Russia: UN Experts Condemn Civil Society Shutdown,” July 13, 2022. https://www.ohchr.org/en/press-releases/2022/07/russia-un-experts-condemn-civil-society-shutdown.
United Nations. “Charter of the United Nations.” United Nations, October 24, 1945. 1 UNTS XVI.
Velichkin v. Belarus, CCPR/C/85/D/1022/2001 (Human Rights Committee 2005).
Yelena Korshunov. “The Art of Brainwashing: Russia’s Mass Media’s Successful Project.” US Renew News, August 30, 2022.
https://www.usrenewnews.org/2022/08/30/the-art-of-brainwashing-russias-mass-medias-successful-project/.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
421
Discussion and feedback