JURNAL

KONSEP WANPRESTASI DALAM HUKUM PERJANJIAN DAN KONSEP UTANG DALAM HUKUM KEPAILITAN

(STUDI KOMPARATIF DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN DAN KEPAILITAN)

NYOMAN SAMUEL KURNIAWAN

NIM. 1190561006

E-mail: elkurnia@yahoo.com

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA 2013

ABSTRAK

Atas dasar anggapan wanprestasi sebagai utang, penyelesaian kasus wanprestasi dalam Hukum Perjanjian dengan menggunakan mekanisme hukum Kepailitan telah menjadi fenomena baru dalam dunia bsnis di Indonesia. Padahal tidak jarang pihak termohon pailit sengaja wanprestasi untuk membalas pihak lawan yang telah wanprestasi lebih dahulu (keadaan exceptio inadimpleti contractus). Sehingga permasalahan penelitian tesis ini adalah: Apakah konsep wanprestasi pada hukum perjanjian dapat sepenuhnya diaplikasikan ke dalam konsep utang pada hukum kepailitan?

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normative dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan komparatif dan pendekatan konseptual. Analisis bahan hukum dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang bersifat eksploratoris dengan teknik interpretatif, sistematis, evaluatif, konstruktif, maupun argumentatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua wanprestasi dapat dinyatakan sebagai utang dalam kepailitan, terkecuali apabila prestasi yang dimaksudkan merupakan prestasi dibidang kegiatan bisnis (utang dagang). Wanprestasi ditentukan dari adanya perjanjian, tanpa memperhitungkan apakah telah terjadi pertukaran hak dan kewajiban atau tidak, sedangkan konsep utang harus ditentukan dari telah terjadinya pertukaran antara hak dan kewajiban yang hanya terjadi sepihak (terhenti sepihak) walau tidak didahului perjanjian tertulis. Selain itu wanprestasi hanya dipertanggung jawabkan kepada kreditor yang telah membuat perjanjian saja, namun dalam hukum kepailitan, harus melihat dan penyelesaiannya akan melibatkan keseluruhan kreditor lainnya juga.

Kata Kunci : hukum perjanjian, Hukum Kepailitan, wanprestasi, utang, perjanjian timbal balik, exceptio inadimpleti contractus.

ABSTRACT

Based on the assumption default is debt, the settlement of default case in contract law by using mechanisms of the law of Bankruptcy’s has become a new phenomenon in Indonesian business world. Though it is not infrequently the defendant of bankruptcy intentionally default to reply the counterparty that had already been in default (exceptio inadimpleti contractus situation). So the research problem of this thesis is: Is the concept of default on the law of treaties can be fully applied to the concept of debt in bankruptcy law?

This research used normative legal research methods by using statue approach, case-based approach, comparative approach and the conceptual approach. Analysis of legal materials is done with a qualitative approach to the exploratory nature of interpretive techniques, systematic, evaluative, constructive and argumentative.

The results showed that not all defaults can be expressed as a debt in bankruptcy Law, except if the intended achievement is an achievement in the field of business activity (accounts payable). Default is determined from the agreement, regardless of whether there has been an exchange of rights and obligations or not, while the concept of debt has to be determined from the exchange between the rights and obligations which just happens sided (unilateral halt) though it is not preceded by a written agreement. Beside that, in contract law, tort only accountable to the creditors who have made a covenant only, but in bankruptcy law, the settlement will involve and affect a whole other creditors as well.

Keywords : contract law, bankruptcy law, breach of contract, default, Debt, reciprocal agreements, exceptio inadimpleti contractus.

  • I.    PENDAHULUAN

  • 1.    Latar Belakang Masalah

Ketentuan Pasal 1 angka (6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUKPKPU) mengartikan utang secara luas, sehingga utang bukan hanya yang timbul dari perjanjian pinjammeminjam uang saja.1 Hal ini menimbulkan kerancuan dalam penerapan hukum, diantaranya permasalahan wanprestasi yang seharusnya diselesaikan melalui mekanisme hukum perjanjian mulai dialihkan penyelesaiannya melalui mekanisme hukum kepailitan, karena wanprestasi dianggap sebagai utang dalam hukum kepailitan.

Wanprestasi adalah suatu keadaan menurut hukum perjanjian, dimana seseorang tidak melaksanakan prestasi sebagaimana yang telah diperjanjikan,2 dan bila terjadi wanprestasi, pasti terjadi pelanggaran

terhadap kepentingan hukum, suatu kepentingan yang diatur dan dilindungi oleh hukum.3 Mengingat wanprestasi hanya terjadi dalam hukum perjanjian, maka seharusnya permasalahan wanprestasi diselesaikan melalui mekanisme hukum perjanjian itu sendiri, mengingat sering kali permasalahan wanprestasi terjadi bukan semata-mata karena tindakan lalai dari salah satu pihak terhadap perjanjian, namun juga disengaja sebagai respon atas tindakan pihak lawan telah wanprestasi terlebih dahulu, khususnya dalam hal pelaksanaan perjanjian-perjanjian yang bersifat timbal balik.

Dalam perjanjian timbal balik, kedudukan para pihak sebagai kreditor dan debitor saling bergantian sesuai dengan klausul-klausul yang telah disepakati. Timbulnya kewajiban untuk melakukan suatu prestasi merupakan akibat dari telah terpenuhinya suatu hak atas prestasi yang menjadi syarat timbulnya kewajiban tersebut, sehingga dalam hal terjadi permasalahan wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian timbal

balik, apabila diselesaikan melalui mekanisme hukum perjanjian (perdata) maka pihak lawan (tergugat) dapat melakukan pembelaan dengan mengajukan eksepsi yaitu exceptio inadimpleti conctractus.

Pertimbangan terhadap akan diajukannya eksepsi tersebut oleh tergugat, menimbulkan pemikiran bahwa penyelesaian melalui mekanisme hukum perjanjian tidak akan mudah untuk dimenangkan oleh penggugat, sehingga dianggap akan lebih mudah untuk diselesaikan melalui mekanisme hukum kepailitan, dengan pertimbangan bahwa bila kedua persyaratan pengajuan permohonan pernyataan pailit telah terpenuhi, maka berdasarkan ketentuan Pasal 8 Ayat (4) UUKPKPU hakim wajib mengabulkan permohonan pernyataan pailit.

Apabila debitor yang solvent dinyatakan pailit hanya berdasarkan atas pemenuhan syarat formal tersebut, maka hal tersebut tidak tepat bagi penyelesaian permasalahan wanprestasi dalam perjanjian,4 bahkan dapat dianggap terjadi “error in treatment

terhadap permasalahan yang terjadi, karena hukum kepailitan cenderung tidak memperhatikan aspek-aspek dalam hukum perjanjian timbal balik, khususnya perikatan hak dan tanggung jawab para pihak dalam mewujudkan prestasi.

Ketentuan Pasal 1 angka (1) UUKPKPU yang menyatakan bahwa kepailitan sebagai sita umum atas keseluruhan harta debitor yang dinyatakan pailit, maka kepailitan merupakan peristiwa yang berat bagi debitor pailit, karena unsur hukum publiknya telah mengubah status hukumnya menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, termasuk mengambil alih hubungannya dengan keseluruhan kreditornya yang mungkin sebelumnya tidak bermasalah. Oleh karena itu seharusnya putusan pernyataan pailit hanya sebagai solusi terakhir (the last resort principle/ultimum remedium) bagi debitor yang memang seharusnya dinyatakan pailit saja, sehingga dianggap perlu untuk menyempurnakan ketentuan dalam UUKPKPU, khususnya mengenai pengertian utang

yang menjadi bagian persyaratan pengajuan permohonan pernyataan pailit. Seharusnya pengaturan dalam hukum kepailitan menegaskan bahwa kasus yang dapat diselesaikan melalui mekanisme hukum kepailitan hanya kasus tidak membayar yang dilatar belakangi kebangkrutan debitor, bukan karena dilatar belakangi sengketa atau selisih pendapat.

Berkenaan dengan uraian diatas, maka perlu kiranya dilakukan penelitian untuk mempertajam konsep utang dalam hukum kepailitan, agar tidak terbiaskan oleh konsep wanprestasi dalam hukum perjanjian yang tidak relevan dengan esensi dari kepailitan itu sendiri, sebagai salah salah satu upaya untuk menegaskan agar permasalahan hukum perjanjian tidak serta merta dengan mudah dapat dialihkan penyelesaiannya melalui mekanisme hukum kepailitan, khususnya dalam hal terjadi keadaan exceptio inadimpleti conctractus, karena justru hal inilah yang menjadi salah satu pertimbangan para kreditor untuk mengalihkan penyelesaian permasalahan wanprestasi debitornya melalui mekanisme hukum kepailitan.

Hingga saat ini, pengalihan penyelesaian permasalahan wanprestasi pada hukum perjanjian melalui mekanisme hukum kepailitan telah beberapa kali terjadi, diantaranya kasus kepailitan yang bermula dari sebuah perjanjian kerjasama namun ketika terjadi permasalahan wanprestasi, salah satu pihak justru mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap lawannya, dan berdasarkan pengertian utang pada UUKPKPU yang begitu luas, maka pihak termohon dinyatakan Pailit. Kasus wanprestasi yang seharusnya diselesaikan menurut hukum perjanjian (perdata) tersebut diselesaikan dengan mekanisme kepailitan yang mengabaikan exceptio inadimpleti conctractus sebagai unsur penting dalam kasus tersebut.

Hakim berpendapat dalam pertimbangan hukumnya, menimbang berdasarkan keterangan Ahli bahwa Kewajiban menyerahkan barang yang dapat dinilai dengan uang dapat dikategorikan sebagai utang menurut UUKPKPU; bahwa menurut ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata kewajiban dari salah satu pihak itu sudah terbit pada saat adanya kesepakatan tentang barang walaupun barangnya belum

diserahkan dan walaupun harganya belum dibayarkan itu sudah mengikat, dengan demikian pengertian utang ini telah terpenuhi, sehingga pada tanggal 14 September 2012, debitor yang berada dalam keadaan solvent dinyatakan pailit. Walau dalam tahap kasasi atas putusan pailit tersebut debitor tidak jadi Pailit, namun proses acara kepailitan yang telah berlangsung cukup mengganggu jalannya kegiatan usaha debitor, diantaranya mengenai persoalan tagihan jasa kurator.

Memperhatikan kasus yang bermula dari perjanjian kerjasama, namun akhirnya diselesaikan melalui mekanisme kepailitan dengan dasar mempersamakan wanprestasi dalam hukum perjanjian sebagai utang dalam hukum kepailitan, maka dilakukan penelitian dengan memperhatikan teori, asas dan ketentuan dari perspektif hukum perjanjian dan juga hukum kepailitan, untuk mempertajam konsep utang dalam hukum kepailitan, agar tidak terbiaskan oleh konsep wanprestasi dalam hukum perjanjian.

Selanjutnya akan dilakukan penelitian normatif yang berjudul: KONSEP WANPRESTASI DALAM HUKUM PERJANJIAN DAN

KONSEP UTANG DALAM HUKUM KEPAILITAN (STUDI KOMPARATIF DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN DAN KEPAILITAN).

  • 2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, dikemukakan rumusan masalah yang akan diteliti dan dibahas yaitu: Apakah konsep wanprestasi pada hukum perjanjian dapat sepenuhnya diaplikasikan ke dalam konsep utang pada hukum kepailitan?

  • II.    Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat deskriptif, menggunakan lebih dari satu pendekatan,5 yaitu statute approach, comparative approach dan conceptual approach.6

  • III.    HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang atau lebih.7 Dengan demikian, perjanjian menerbitkan suatu perikatan hak dan kewajiban antara para pihak dalam perjanjian,8 sehingga pihak yang tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati tersebut, dinyatakan wanprestasi.9 Dengan demikian, wanprestasi bermula dari adanya kesepakatan para pihak untuk membuat perjanjian, dengan sejumlah klausul yang mengandung sejumlah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari antara kedua belah pihak (dalam perjanjian timbal balik). Seluruh klausula tersebut disampaikan, dinegosiasikan dan akhirnya disusun secara seimbang berdasarkan kesepakatan bersama dari kedua belah pihak yang membuatnya. Dalam proses pembicaraan atau negosiasi pada saat penyusunan perjanjian masing-masing pihak mengajukan seperangkat hak yang diharapkan dari pihak lawan dengan menawarkan seperangkat kewajiban yang diitikadkan untuk diberikan kepada pihak lawan sebagai

kompensasi dari hak yang dimintakan tersebut. Pada sisi yang lain, salah pihak juga akan menawarkan sejumlah kewajiban agar dipenuhi oleh pihak lawan untuk mengimbangi sejumlah hak yang diminta oleh pihak lawan atau justru menawarkan sejumlah hak kepada pihak lawan sebagai kompensasi untuk mengimbangi sejumlah kewajiban yang nantinya diharapkan disepakati untuk dipenuhi pihak lawan. Artinya, dalam negosiasi, terjadi proses pemahaman dan penghargaan terhadap pihak lawan sehingga masing-masing dapat menemukan kata sepakat terhadap setiap hak dan kewajiban yang akan ditetapkan dalam perjanjian.10 Dalam perjanjian timbal balik yang baik, seharusnya terdapat keseimbangan antara bobot hak dan kewajiban yang disepakati oleh masing-masing pihak. Keseimbangan tersebut merupakan dasar dari kesediaan para pihak untuk menerima dan menyepakati setiap klausula hak dan kewajiban yang dalam istilah perjanjian dikenal sebagai

prestasi.      Setiap prestasi harus

dilaksanakan karena merupakan bagian yang     tak     terpisahkan     dari

keseimbangan tersebut.

Secara umum, wanprestasi dapat berupa:

  • 1.    Sama sekali tidak memenuhi prestasi yang dijanjikan;

  • 2.  melakukan     prestasi     yang

dijanjikan, tapi hanya sebagian;

  • 3.  melakukan     prestasi     yang

dijanjikan,     tapi     terlambat

memenuhinyai;

  • 4.    melakukan     prestasi     yang

dijanjikan, tapi keliru memenuhi prestasi (tidak sebagaimana mestinya)

  • 5.    melakukan apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan berdasarkan perjanjian.

Mengenai wanprestasi, O.W Holmes menyampaikan sebuah teori, yaitu bahwa ada kewajiban untuk menjaga suatu perjanjian sehingga jikalau mereka tidak menjaganya, maka harus bertanggung jawab membayar ganti rugi, atau sejumlah kompensasi. 11

  • 11 Oliver Wendell Holmes Jr., 2009, The Path of The Law, The Floating Press Limited, Auckland, New Zealand, h. 11.

Dalam ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata, dijelaskan bahwa jual-beli dianggap telah terjadi antara pihak penjual dan pembeli, segera setelah mereka bersepakat atas barang dan harganya, meskipun barangnya belum diserahkan dan harganya belum dibayar. Dengan demikian, kewajiban para pihak sudah terbit pada saat adanya kesepakatan walaupun belum dilaksanakan. Hal tersebut sudah mengikat, sesuai perjanjian yang disepakati, sehingga hakekat dari wanprestasi diukur dari perjanjian yang telah disepakatinya saja.

Mengenai pengaturan jual beli dalam ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata, ketentuan Pasal 1478 KUHPerdata mengatur bahwa si penjual tidak diwajibkan menyerahkan barang-barangnya, apabila si pembeli belum membayar harganya, sedangkan si penjual tidak mengizinkan penundaan pembayaran tersebut. Ketentuan ini menegaskan bahwa dalam hal pembeli belum melakukan pembayaran, maka belum timbul utang, sehingga penjual tidak diwajibkan menyerahkan barangnya. Ketentuan-ketentuan ini tidak dapat dipisahkan per bagiannya, karena merupakan satu

kesatuan sebagai norma dalam hukum perjanjian.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata, juga ditegaskan bahwa wanprestasi hanya dapat terjadi setelah terlebih dahulu terdapat perjanjian yang telah disepakati para pihak. Dari pemahaman ini, maka tanpa adanya perjanjian, tidak akan ada wanprestasi. Dalam perjanjian yang dibuat secara notariil ataupun telah melalui proses penyusunan secara benar oleh para ahli penyusun kontrak, pada umumnya telah dicantumkan ketentuan-ketentuan mengenai kemungkinan timbulnya wanprestasi, diantaranya mengenai jangka waktu (tenggang waktu), kapan salah satu pihak dinyatakan wanprestasi dan sanksi yang harus diterima apabila terjadi wanprestasi tersebut. Dengan demikian, maka jika dalam perjanjian itu telah ditentukan jangka waktu pemenuhan perjanjian dan pihak yang berkewajiban tidak juga memenuhi kewajibannya pada waktu tersebut, maka pihak tersebut telah wanprestasi.

Namun apabila dalam suatu perjanjian yang telah disepakati, ternyata tidak terdapat pengaturan tentang jangka waktu tertentu

mengenai kapan salah satu pihak dinyatakan wanprestasi atau perjanjian tidak menentukan batas waktu tertentu yang dijadikan patokan tentang wanprestasinya debitor, harus ada pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitor tersebut tentang kelalaiannya atau wanprestasi, melalui pemberitahuan secara resmi atau somasi.

Dengan demikian pada dasarnya konsep wanprestasi adalah suatu tindakan penyimpangan oleh pihak yang mengadakan perjanjian dalam keadaan yang tidak memaksa, dari apa yang sebelumnya telah diperjanjikan dan disepakati dalam perjanjian yang dapat berakibat pada timbulnya kerugian pada pihak lawan. Wanprestasi hanya dapat terjadi dalam proses pelaksanaan setelah sebuah perjanjian dinyatakan telah disepakati secara sah. Konsep wanprestasi ini diatur demi melindungi para pihak dalam perjanjian, khususnya pada saat pelaksanaan. Sebagai bagian dalam hukum perjanjian yang merupakan ranah hukum private, bukan hukum publik, seharusnya hukum yang ditetapkan dalam hal terjadinya wanprestasi cakupannya mengatur

keberadaan dan kepentingan para pihak pembuat perjanjian saja.

Mengenai konsep utang dalam kepailitan, maka sesungguhnya dalam hukum kepailitan, konsep utang sangat menentukan, oleh karena tanpa adanya utang, maka esensi dari kepailitan menjadi tidak ada, karena kepailitan merupakan pranata hukum untuk melakukan likuidasi harta kekayaan debitor guna membayar utang-12 utangnya kepada para kreditornya.12

Pengertian utang dalam ketentuan Pasal 1 angka (6) UUKPKPU yang sangat luas, dengan adanya kata "dapat dinyatakan dalam jumlah uang", memberi konsekuensi wanprestasi yang dapat dinyatakan dalam    jumlah    uang    dapat

dipertimbangkan sebagai utang dalam persyaratan pengajuan permohonan pernyataan pailit.      Oleh karena

berpotensi menimbulkan kerancuan dalam penyelesaian permasalahan hukumnya, maka konsep utang terkait hukum kepailitan perlu diperjelas dan dipertegas.

Pada prinsipnya utang timbul dari adanya sebuah perikatan, yang menimbulkan kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai balasan atas hak-hak yang telah diterimanya terlebih dahulu, dengan menganggap bahwa perutangan sebagai hubungan hukum sehingga oleh karenanya seseorang berhak mengharapkan suatu prestasi dari seseorang yang lain, bahkan dengan perantaraan hakim apabila 13 diperlukan.13

Menurut R. Setiawan, utang seyogianya diberi arti luas; baik dalam arti kewajiban membayar sejumlah uang tertentu yang timbul karena adanya perjanjian utang-piutang (dimana debitor menerima sejumlah uang tertentu dari kreditornya), maupun kewajiban pembayaran sejumlah uang tertentu yang timbul dari perjanjian atau kontrak lain yang menyebabkan debitor harus membayar sejumlah uang tertentu.14 Dengan perkataan lain, yang dimaksud dengan utang bukan hanya kewajiban untuk

membayar sejumlah uang tertentu yang disebabkan karena debitor telah menerima sejumlah uang tertentu karena perjanjian kredit, tetapi juga kewajiban membayar debitor yang timbul dari perjanjian-perjanjian. Tentunya pemahaman ini tidak dapat dipersalahkan, namun pemahaman yang demikian akan mengacaukan esensi dari konsep utang dalam hukum kepailitan. Dengan demikian untuk memahami utang secara tepat dalam konteks hukum kepailitan tidak cukup hanya berhenti kepada pemahaman umum tentang utang itu saja, namun harus dikaitkan dengan makna, fungsi dan dasar penempatannya dalam ruang besarnya yaitu hukum kepailitan.

Prestasi para pihak yang berhubungan erat dengan kemampuan phisik atau psikis seseorang untuk melakukan sesuatu atau memikirkan sesuatu sangat tidak relevan untuk dihubungkan ke dalam konsep utang dalam hukum kepailitan, karena manakala terjadi suatu keadaan karena seseorang mengalami keterbatasan yang demikian, misalnya karena mengalami cedera atau kelumpuhan atau cacat mental, tidak dapat digiring atau dipaksa untuk melakukan prestasi-

prestasinya yang tertunda dengan jalan penetapan kepailitan. Dengan demikian, konsep utang dalam hukum kepailitan harus diberikan penegasan ataupun pembatasan, agar tidak terjadi kerancuan atau kekeliruan dalam menerapkan hukumnya.

Apabila memperhatikan pengertian utang dalam UUKPKPU, maka frase "dapat dinyatakan dalam jumlah uang" dalam UU tersebut, menimbulkan multi tafsir sehingga memberikan jangkauan persepsi yang sangat luas sebagaimana konsep tentang utang itu sendiri telah sedemikian luasnya. Bias nilai-nilai yang akhirnya mengaburkan hakekat dari hukum kepailitan tersebut mengakibatkan penyelesaian dalam kasus bukan kepailitan dapat dibenturkan dan bahkan dibelokkan ke dalam penyelesaian menurut mekanisme kepailitan.

Menurut pandangan Profesor Radin15 dan menurut Robert L. Jordan16 terlihat secara jelas bahwa konsep utang yang timbul dalam hukum kepailitan sesungguhnya adalah “right to payment” atau hak kreditor

atas pembayaran yang harus dilindungi dari terjadinya kebangkrutan (bankruptcy) pihak debitor.

Berdasarkan kepada penekanan terhadap keadaan kebangkrutan debitor maka konsep utang dalam hukum kepailitan merujuk kepada terjadinya keadaan yang menyebabkan debitor tidak mampu membayar kewajibannya sehingga mengingat pihak kreditor lebih dari satu, perlu dilakukan pengaturan hukum agar hak-hak para kreditor untuk mendapatkan pembayaran dalam keadaan harta kekayaan debitor tidak mencukupi semua kewajibannya tetap mendapatkan perlindungan hukum yang sama dan adil. Dari keadaan tersebut, maka konsep utang yang dimaksudkan dalam hukum kepailitan mengacu kepada kewajiban dibidang bisnis atau setidak-tidaknya menyangkut perihal kekayaan harta benda dan terkait konsep ini dengan melandaskan pada ketidakmampuan debitor untuk membayar kewajibannya sehingga secara otomatis keadaan ini berdampak terhadap seluruh kewajibannya kepada semua kreditornya. Dalam hal ini, ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata melengkapi

ketentuan Pasal 1131 yang menyatakan bahwa benda-benda itu dibagi diantara mereka secara seimbang, menurut imbangan/perbandingan tagihan-tagihan mereka, kecuali bila mana diantara para kreditor mungkin terdapat alasan-alasan pendahuluan yang sah.

Kata tidak mampu memiliki pengertian yang berbeda dengan tidak mau. Kata tidak mampu merupakan sebuah keterangan atau gambaran terhadap keadaan (situasi) seseorang sedangkan tidak mau adalah pernyataan sikap atau kehendak seseorang. Dari sifatnya hukum kepailitan sebagai pranata untuk mengatur tentang proses pengembalian hak para kreditor untuk menerima pembayaran dari keadaan debitor yang mana harta kekayaan tidak mencukupi lagi, maka hukum kepailitan tidak bersifat menghukum pihak debitor, namun mengatur dengan menyertakan kekuatan hukum yang memaksa, agar dapat dilakukan satu upaya-upaya penyelesaian dari situasi para kreditor terancam tidak mendapatkan hak untuk pembayaran karena harta kekayaan debitor tidak mencukupi. Debitor juga dalam hal yang sama, yaitu untuk mendapatkan perlindungan hukum atas situasi yang

mana para kreditor memperebutkan atau berusaha mendapatkan pengembalian hak pembayaran dengan menggunakan cara-cara yang tidak baik, dapat juga secara sukarela mengajukan perrmohonan untuk dinyatakan pailit.

Selanjutnya, sebagaimana halnya telah dibahas sebelumnya mengenai pengaturan jual beli dalam ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata yang melandasi pemahaman terhadap hakekat bahwa wanprestasi semata-mata timbul dari pengingkaran apa yang telah diperjanjikan, maka dalam konsep utang dalam hukum kepailitan tentunya harusnya diberikan penegasan secara mendalam terkait perlunya penekanan terhadap telah terjadinya pertukaran antara hak dan kewajiban yang hanya terjadi sepihak, sebagai dasar pemahaman timbulnya utang dalam hukum kepailitan. Bahwa utang timbul karena si pembeli telah menyerahkan uangnya namun si penjual belum juga menyerahkan barang yang di jualnya tersebut, atau sebaliknya bahwa penjual telah menyerahkan barangnya kepada si pembeli, namun si pembeli belum juga menyerahkan uang pembelian barang

kepada si penjual. Mengacu pada ketentuan Pasal 1478 KUHPerdata yang mengatur bahwa si penjual tidak diwajibkan menyerahkan barang-barangnya, apabila si pembeli belum membayar harganya, sedangkan si penjual tidak mengizinkan penundaan pembayaran tersebut.

Dalam ketentuan ini terkandung dengan jelas konsep utang yang sebenarnya, yaitu bahwa kewajiban membalas hak pihak lawan menjadi timbul akibat dari telah diterimanya hak yang merupakan kewajiban dari pihak lawan. Dengan kata lain, bila pembeli belum melakukan pembayaran, maka belum timbul utang, sehingga si penjual tidak diwajibkan menyerahkan barang-barangnya.

Memperhatikan bahwa hukum kepailitan pada dasarnya bertujuan mengatur dan melindungi proses pengembalian hak-hak para kreditor akibat debitor mengalami kebangkrutan, maka hak-hak yang dimaksud tentu merupakan hak-hak yang timbul dari bidang hukum bisnis, karena hanya dalam dunia bisnis terjadi proses-proses hubungan baik melalui perjanjian tertulis atau secara lisan yang di dalamnya menempatkan pihak-

pihak sebagai kreditor dan debitor. Selain itu kebangkrutan yang dialami oleh pihak debitor pun terjadi dalam dunia bisnis. Sehingga dengan demikian, maka utang dalam hukum kepailitan merupakan kewajiban yang timbul dari adanya perikatan dibidang bisnis atau setidak-tidaknya dibidang harta kekayaan yang mana perihal utang ini dapat dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan pailit apabila debitor telah berada dalam keadaan tidak mampu membayar, sehingga secara otomatis akan mengakibatkan tidak semua utang para kreditor dapat di lunasi oleh debitor.

Konsep wanprestasi pada dasarnya timbul dalam ranah hukum perdata murni, berkenaan dengan kewajiban salah satu pihak terhadap pihak lainnya atau kewajiban antar pihak kepada satu sama lain pihak berdasarkan ketentuan-ketentuan yang lahir atas dasar kesepakatan kedua belah pihak. Suatu tindakan tidak melakukan prestasi tidak dapat serta merta dinyatakan sebagai wanprestasi, apabila tidak diatur tentang kriteria wanprestasi tersebut dalam perjanjian, atau diatur secara khusus dalam ketentuan KUHPerdata. Konsep

wanprestasi juga hanya menyangkut dan sekaligus diperuntukan guna menjaga kepentingan para pihak yang mengadakan perjanjian saja.

Sedangkan konsep utang pada hukum kepailitan adalah merupakan kewajiban yang timbul dari adanya perikatan dibidang bisnis atau setidak-tidaknya dibidang harta kekayaan yang mana perihal utang ini dapat dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan pailit apabila debitor telah berada dalam keadaan tidak mampu membayar, sehingga secara otomatis akan mengakibatkan tidak semua utang para kreditor dapat di lunasi oleh debitor. Konsep utang dalam hukum kepailitan, lebih mendekati konsep perlindungan menyeluruh bagi si debitor beserta seluruh kreditornya, dengan melibatkan unsur hukum publik yang juga mengatur pihak lain, sehingga peristiwa kepailitan seharusnya hanya terjadi dalam hal debitor telah berada dalam keadaan benar-benar gagal dalam menjalankan usahanya atau bangkrut, hingga tidak mampu lagi untuk menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada seluruh kreditornya, walaupun menggunakan seluruh harta kekayaannya sekalipun.

Perbedaan hukum acara penyelesaian antara gugatan wanprestasi akan berdampak sangat berbeda juga. Dalam Hukum acara Perdata, para pihak yang bersengketa secara aktif menyampaikan pendapatnya melalui eksepsi dan seterusnya. Tidak demikian halnya dengan hukum acara kepailitan yang cenderung merupakan agenda para majelis memeriksa kesesuaian fakta-fakta yang menjadi dasar permohonan diajukannya kepailitan, dan apabila dapat dibuktikan secara sederhana permohonan itu sudah benar, maka hakim wajib menetapkan debitor pailit. Karena esensi dari hukum kepailitan adalah perlindungan menyeluruh, maka debitor yang telah berada dalam keadaan tidak mampu membayar, juga dapat secara sukarela mengajukan permohonan agar dinyatakan Pailit, sehingga selanjutnya hukum acara kepailitan yang akan berlaku untuk melindunginya dari tekanan dan ancaman para kreditornya. Dalam hal inilah terletak perbedaan yang hakiki dari konsep wanprestasi dalam hukum perjanjian dan konsep utang dalam hukum kepailitan, sehingga dalam hukum acara perdata, gugatan

wanprestasi selalu diajukan oleh pihak kreditor kepada debitornya, dalam hal perjanjian timbal balik sekalipun, sedangkan dalam hukum Acara kepailitan, baik kreditor maupun debitor dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit.

Berdasarkan uraian pada kedua sub bab diatas, maka dapat disampaikan     bahwa     konsep

wanprestasi pada hukum perjanjian yang dapat diterapkan ke dalam konsep utang pada hukum kepailitan, adalah: 1.  Bahwa prestasi harus dilakukan,

demikian halnya utang  harus

dibayarkan.

  • 2.  Bahwa setiap kewajiban untuk

melakukan prestasi yang  telah

disepakati dalam perjanjian wajib

dipenuhi terkecuali telah  diatur

syarat-syarat ataupun pengecualian lain yang juga telah disepakati

Sedangkan Konsep wanprestasi Pada hukum perjanjian yang tidak dapat diterapkan ke dalam konsep utang pada hukum kepailitan, adalah: 1. Tidak semua prestasi yang gagal dilaksanakan dapat dinyatakan sebagai utang dalam kepailitan, terkecuali apabila prestasi yang dimaksudkan merupakan prestasi

dibidang kegiatan bisnis (utang dagang).

  • 2.    Bahwa wanprestasi ditentukan dari adanya     perjanjian,     tanpa

memperhitungkan apakah telah terjadi pertukaran hak dan kewajiban atau tidak, sedangkan konsep utang harus ditentukan dari telah terjadinya pertukaran antara hak dan kewajiban yang hanya terjadi sepihak (terhenti sepihak) walau tidak didahului perjanjian tertulis.

  • 3.  Bahwa wanprestasi    hanya

dipertanggungjawabkan   kepada

kreditor yang telah membuat perjanjian saja, namun dalam hukum kepailitan, harus melihat dan    penyelesaiannya    akan

melibatkan keseluruhan kreditor lainnya juga.

Dalam hal debitor tidak mau membayar utang tersebut, maka utang tersebut tidak dapat serta merta dijadikan sebagai dasar permohonan pernyataan pailit, mengingat bahwa hukum kepailitan seharusnya sebagai ultimum remedium dalam penyelesaian permasalahan utang dalam dunia bisnis, karena peristiwa kepailitan merupakan peristiwa hukum luar biasa

yang secara memaksa mengakibatkan berubahnya status hukum, khususnya kecakapan dalam mengelola usaha dan harta kekayaannya serta merubah hubungan hukum debitor pailit dengan seluruh kreditor-kreditornya, karena hubungan hukum selanjutnya akan di ambil alih oleh pihak kurator. Keadaan ini menjadi terkesan kontra produktf bahkan destruktif dan tidak adil manakala debitor tersebut ternyata hanya bermasalah tidak mau membayar utang terhadap satu atau dua kreditornya, atau dapat disebut sebagai permasalahan utang yang bersifat relative (bukan absolut), sementara terhadap sebagian besar kreditor lainnya tidak ada permasalahan apapun, karena terhadap mereka tersebut, debitor senantiasa memenuhi kewajiban-kewajibannya dengan baik. Demikian halnya bila dipandang dari sudut nilai nominal utang-utang yang tidak mau dibayarkan tersebut nilai sangat kecil dibandingkan utang-utang dari kreditor lain yang dibayarkan secara baik oleh debitor.

Dalam hal terjadi permasalahan utang yang bersifat relative yang mengakibatkan terganggunya hubungan debitor dengan satu atau dua

kreditor tertentu, karena terjadi selisih paham yang mengakibatkan debitor tidak mau membayar apa yang disebut sebagai utang tersebut kepada kreditor yang terlibat selisih paham tersebut, karena misalnya, pihak debitor menilai telah memiliki alasan yang kuat secara hukum untuk tidak membayar utang tersebut, maka langkah yang seharusnya dilakukan sesuai koridor hukum keperdataan adalah dilakukan gugatan wanprestasi agar selanjutnya dapat diberikan penegasan terhadap status utang yang hendak ditagihkan dan demikian hakim dapat memerintahkan debitor untuk membayar atau tidak perlu membayar. Keadaan ini akan sangat berbeda apabila secara absolut keadaan debitor tidak mampu lagi membayar seluruh utangnya, karena mengalami kebangkrutan sehingga seluruh asset dan kekayaanya pun tidak akan cukup untuk membayar keseluruhan utangnya, sehingga dalam hal inilah negara turut campur tangan mengatur melalui mekanisme hukum kepailitan, agar harta kekayaan debitor yang tidak cukup untuk membayar keseluruhan utang-utangnya karena telah mengalami kebangkrutan, dapat

dibagikan secara adil kepada pihak-pihak kreditor yang berhak sesuai ketentuan hukum kepailitan.

Berkenaan dengan unsur manfaat, keadilan dan tujuan yang terkandung dalam hukum, maka berkenaan dengan penerapan hukum itu sendiri seharusnya tetap memperhatikan essensi mendasar dari ketiga unsur tersebut. Penerapan hukum seharusnya melindungi hak-hak dan kewajiban setiap subjek hukum sehingga dalam hal satu hukum tertentu diterapkan, seharusnya hukum tersebut hanya berdampak efektif, memperbaiki, membenahi dan menghukum pihak-pihak yang bermasalah saja tanpa membentur atau mengganggu hak-hak dan kewajiban subjek hukum lain yang sebelumnya tidak mengalami permasalahan apapun. Sehingga dalam hal penyelesaian permasalahan wanprestasi dalam perjanjian yang hanya melibatkan para pihak yang membuat perjanjian, terkesan berlebihan apabila diterapkan hukum kepailitan. Bukanlah bagian dari kepailitan kalau ada yang lebih memiliki kompetensi dalam hal ini (lex spesialis-nya) yaitu proses gugatan wanprestasi.

  • IV. KESIMPULAN DAN SARAN

  • 1.    Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, maka dapat disimpulkan bahwa:

  • 1.    Konsep wanprestasi adalah suatu tindakan penyimpangan oleh pihak yang mengadakan perjanjian dalam keadaan yang tidak memaksa terhadap perjanjian yang telah disepakatinya sehingga berakibat pada timbulnya kerugian pada pihak lawan dalam perjanjian tersebut. Wanprestasi hanya dapat terjadi dalam proses pelaksanaan setelah     sebuah     perjanjian

dinyatakan telah disepakati secara sah. Sedangkan konsep utang yang dimaksudkan dalam hukum kepailitan menekan kepada telah terjadinya pertukaran antara hak dan kewajiban yang hanya terjadi sepihak dan mengacu kepada kewajiban dibidang bisnis atau setidak-tidaknya     menyangkut

perihal kekayaan harta benda dan terkait konsep ini dengan melandaskan              pada

ketidakmampuan debitor untuk membayar kewajibannya kepada semua kreditornya Berdasarkan

pembahasan, tidak semua konsep wanprestasi pada hukum perjanjian dapat diterapkan ke dalam konsep utang pada hukum kepailitan.

  • 2.    Saran

Berdasarkan pemaparan dalam tesis ini, akhirnya disampaikan beberapa saran sebagai berikut:

  • 1.    Berkenaan dengan biasnya pemahaman utang serta rancunya pengaturan terhadap debitor yang tidak mau membayar utang dan yang tidak mampu membayar utang dalam Undang-Undang Kepailitan (UUKPKPU), maka perlu kiranya dilakukan kajian secara mendalam dari berbagai aspek penerapannya dengan memperhatikan unsur tujuan, kepastian dan keadilan dari hukum kepailitan itu sendiri, agar segala masukan dari berbagai pihak dalam rangka penyempurnaan hal-hal tersebut dalam Undang-Undang Kepailitan dapat segera diwujudkan. Dengan demikian diharapkan dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi, hukum kepailitan dapat memilah dan memilih secara jelas perkara-

perkara mana saja yang harus diselesaikan melalui jalur hukum kepailitan, mana yang tidak dapat atau tidak tepat untuk diselesaikan melalui jalur hukum acara kepailitan dengan memperhatikan bahwa hukum kepailitan benar-benar sebagai Ultimum Remedium dalam permasalahan kebangkrutan.

  • 3.    Penerapan hukum seharusnya melindungi    hak-hak    dan

kewajiban setiap subjek hukum sehingga dalam hal satu hukum tertentu diterapkan, seharusnya hukum tersebut hanya berdampak efektif, memperbaiki, membenahi dan menghukum pihak-pihak yang bermasalah saja tanpa membentur atau mengganggu hak-hak dan kewajiban subjek hukum lain yang sebelumnya tidak mengalami permasalahan apapun.

DAFTAR BACAAN

Djaja S. Meliala, 2012, Hukum Perdata dalam Perspektif BW,  Nuansa

Aulia, Bandung.

Frans Satriyo Wicaksono, 2008, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kontrak, Visimedia, Jakarta.

  • J.    Satrio, 2012, wanprestasi Menurut KUHPerdata, Doktrin, dan

Yurispridensi, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang.

M. Hadi Shubhan, 2008, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Oliver Wendell Holmes Jr., 2009, The Path of The Law, The Floating Press Limited, Auckland, New Zealand.

P.N.H. Simanjuntak, 2009, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta.

Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Robert L. Jordan, et.al., 1999, Bankruptcy, Foundation Press, New York.

Rudhy A. Lontoh, et.al., 2001, Penyelesaian Utang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran   Utang,   Alumni,

Bandung.

Siti Anisah, 2008, Perlindungan Kepentingan kreditor dan Debitor Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia,      Total      Media,

Yogyakarta.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum         Perdata-Hukum

PerUtangan, Bagian A, Seksi Hukum     Perdata     UGM,

Yogyakarta.

Sutan Remy Sjahdeini, 2010, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.

20