Perolehan Tanah oleh Bank Tanah Melalui Pembelian

Luh Dita Yanti1, I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk: 27 Januari 2022

Diterima: 28 Juni 2022

Terbit: 20 Juli 2022

Keywords:

Land Bank; Land Ownership Rights; Land Acquisition; Management Rights


Kata kunci:

Bank Tanah; Hak Milik atas Tanah; Perolehan Tanah; Hak

Pengelolaan

Corresponding Author:

Luh Dita Yanti, E-mail :

[email protected]

DOI:

10.24843/JMHU.2022.v11.i02. p09.


Abstract

The goals of this research is to analyze the function of the Land Bank as a land management institute in Indonesia and the legal consequences of land acquisition by the Land Bank through purchases. The Land Bank as an institution authorized to manage land has one function to acquire land, one of which is through the purchase process. However, the purchase was not explained further, causing uncertainty regarding the land rights that can be purchased because according to law, the state cannot have Ownership Rights on Land. This research is a normative legal research using a conceptual approach and a statute approach. This research indicate that the functions of the land bank are regulated in Article 3 of PP 64/2021, namely planning, land acquisition, procurement, management, utilization, and distribution of land. This function is carried out by the Land Bank on the basis of the Management Right which is delegated as the implementation of the state's right to control the Land. The land acquisition function carried out by the Land Bank, based on PP 64/2021 can be carried out through the Purchase method. The legal consequences of land acquisition through the purchase are limited by the Management Rights it owns, that above the Management Rights can only be attached with the with Use Rights, Building Use Rights, and Cultivation Rights, so the Ownership Rights cannot be attached or owned by the Land Bank.

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis fungsi Bank Tanah sebagai lembaga pengelolaan tanah di Indonesia serta akibat hukum dari perolehan tanah yang dilakukan Bank Tanah melalui pembelian. Bank Tanah sebagai lembaga yang diberi kewenangan untuk mengelola tanah memiliki salah satu fungsi untuk memperoleh tanah yang salah satunya adalah dengan proses pembelian. Namun, pembelian tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut sehingga menimbulkan ketidakjelasan terkait hak atas tanah yang dapat dilakukan pembelian karena menurut hukum, negara tidak dapat memiliki Hak Milik atas Tanah. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan konsep dan pendekatan perundang-undangan. Penelitian ini menunjukkan bahwa fungsi Bank tanah diatur dalam Pasal 3 PP 64/2021 yaitu perencanaan, perolehan tanah, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan,

pendistribusian tanah. Fungsi tersebut dijalankan oleh Bank Tanah atas dasar Hak Pengelolaan yang dilimpahkan sebagai implementasi hak menguasai negara atas Tanah. Fungsi perolehan tanah yang dijalankan Bank Tanah, berdasarkan PP 64/2021 dapat dilakukan melalui cara Pembelian. Akibat hukum perolehan tanah melalui pembelian tersebut adalah terbatasi oleh Hak Pengelolaan yang dimilikinya bahwa diatas Hak Pengelolaan tersebut hanya dapat dilekatkan Hak Pakai, Hak Guna Bangunan, dan Hak Guna Usaha, sehingga Hak Milik tidak dapat dilekatkan atau dimiliki Bank Tanah.

  • I.    Pendahuluan

Negara Indonesia ialah suatu negara kepulauan dengan wilayah daratan yang cukup luas, sehingga keberadaan tanah menjadi suatu aset yang penting karena memiliki nilai sosial juga nilai kemanfaatan yang tinggi. Tanah dikatakan dapat menjadi sumber untuk memenuhi kebutuhan manusia dikarenakan segala aktifitas manusia dilakukan di atas tanah serta bahan-bahan makanan atau pangan sebagai kebutuhan pokok diperoleh dengan memanfaatkan tanah. 1 Dalam konstitusi negara lndonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (kemudian akan dsebut UUD NRI 1945) yaitu pada Pasal 33 ayat (3) yang menentukan negara memegang kekuasaan terhadap bumi, air, bumi, dan juga seluruh kekayaan alam yang sebesar-besarnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Sebagai landasan dalam tatanan hukum di Indonesia, melalui UUD NRI 1945 negara ditempatkan sebagai pemangku kewajiban dalam penguasaan permukaan bumi yaitu tanah serta kekayaan alam yang ada didalam tanah tersebut untuk kesejahteraan masyarakat. 2 Maka dari itu, negara memiliki tanggung jawab terhadap kemanfaatan tanah agar dapat digunakan untuk kepentingan rakyat Indonesia. Amanat dari ketentuan UUD NRI 1945 tersebut, dalam pelaksanaannya diwujudkan dengan dilahirkannya Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (untuk seterusnya akan disebut UUPA). Dengan lahirnya aturan khusus keagrariaan ini, maka terdapat pengukuhan yang lebih jelas mengenai kewajiban negara dalam penguasaan tanah yakni termuat di Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi negara sebagai organisasi tertinggi masyarakat adalah pemegang kekuasaan atas bumi, air, ruang angkasa serta menguasai seluruh sumber daya alam di Indonesia. Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan memberikan penafsiran terkait pasal tersebut di atas yang menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia dibentuk dengan mengharapkan membawa cita-cita dan tujuan bangsa yaitu memajukan kesejahteraan umum dan melindungi segenap tanah air Indonesia. 3 Berdasarkan ketentuan tersebutlah, lahir suatu hak menguasai negara yang merupakan dasar bagi negara untuk mengendalikan serta mengarahkan pengelolaan berbagai manfaat dari bumi termasuk

dalam hal ini adalah tanah dapat mewujudkan kehidupan masyarakat yang makmur dan sejahtera. Sehingga, dalam hal ini penguasaan negara terhadap tanah diwujudkan dalam bentuk hak menguasai negara dan bukan menjadi pemilik atas tanah dalam bentuk Hak Milik.4 Hal ini dikarenakan telah disebutkan dalam UUPA bahwa hanya Warga Negara Indonesia (WNI) dan juga badan hukmm khusus yang telah ditentukan negara melalui undang-undang yang behak akan kepemilikan Hak Milik atas tanah.

Afifah Kusumadara sesuai hasil penelitiannya menyebutkan dalam menjalankan kewajibannya berkaitan dengan hak menguasai negara terhadap tanah, negara mengelola dan memanfaatkan tanah tersebut dapat melakukan pengadaan tanah dengan tujuan untuk menyediakan tanah yang nantinya dimanfaatkan untuk melaksanakan pembangunan yang akan berdampak pada meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.5 Kebutuhan tanah dalam melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum setiap harinya semakin meningkat, namun meningkatnya kebutuhan tanah tersebut tidak diimbangi dengan ketersediaan tanah yang ada. 6 Ketersediaan tanah yang cenderung tetap tetapi pertumbuhan penduduk yang mendorong pembangunan semakin meningkat menyebabkan tanah menjadi objek yang penting untuk dikelola dan direncanakan pemanfaatannya dengan tepat agar tetap memberikan kemakmuran bagi rakyat sesuai dengan yang telah diamanatkan oleh UUD NRI 1945.

Pada tanggal 2 November 2020, pemerintah Indonesia mengesahkan suatu undang-undang yaitu Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 (untuk seterusnya disebut dengan UUCK) yang dalam pembentukannya telah mengubah serta melahirkan aturan-aturan baru yang dianggap akan mendukung perkembangan kehidupan bermasyarakat di Indonesia, tidak terkecuali urusan pertanahan yang menjadi hal yang riskan untuk diatur melalui undang-undang ini. Dalam UUCK tidak dilakukan perubahan atau penggantian ketentuan-ketentuan dalam UUPA, namun terdapat beberapa aturan baru yang seperti menjadi angin segar bagi bidang pertanahan di Indonesia. Hal ini dikarenakan pada UUCK menyatakan terbentuknya Bank Tanah sebagai suatu Lembaga atau badan negara yang melakukan suatu fungsi pengelolaan tanah. Ketentuan dibentuknya Bank Tanah ini dapat dilihat dalam Bagian ke-empat Pasal 125 UUCK yang menyatakan bahwa negara dalam hal ini berkedudukan sebagai pemerintah pusat melakukan pembentukan suatu badan yang disebut bank tanah. Badan Bank Tanah menurut penelitian Ganindha Ranitya ini kemudian akan menjadi suatu badan khusus yang melakukan pengelolaan tanah, sesuai dengan yang dijelaskan pada ayat (2) dalam pasal tersebut. Pembentukan Bank Tanah sebagai lembaga negara yang mengurus pengadaan tanah merupakan hal yang penting untuk mengelola dan

menghindari adanya ketimpangan ketersediaan tanah untuk melaksanakan upaya pembangunan oleh pemerintah.7

Kewenangan pengelolaan tanah ini sesungguhnya adalah kewenangan utama yang dimiliki oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Dalam Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2020 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang pada Pasal 4 menyatakan bahwa Kementerian Agraria dan Tata Ruang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agrarian/pertanahan dan tata ruang untuk membantu presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Kemudian dalam Pasal 5 dinyatakan pula terkait fungsi dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang yakni :

  • a.    perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang tata ruang, survei dan pemetaan pertanahan dan ruang, penetapan hak dan pendaftaran tanah, penataan agraria, pengadaan tanah dan pengembangan pertanahan, pengendalian dan penertiban tanah dan ruang, serta penanganan sengketa dan konflik pertanahan;

  • b.    koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang;

  • c.    pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Agraria dan Tata Ruang;

  • d.    pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang;

  • e.    pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Agraria dan Tata Ruang di daerah; dan

  • f.    pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

Berdasarkan tugas dan fungsi yang dimiliki oleh Kementerian Agrarua dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional tersebut hanya sebagai land regulator. Sehingga pembentukan Bank Tanah melalui UUCK diberikan suatu kewenangan pengelolaan tanah dengan ruang lingkup tugas dan fungsi mengkhusus yaitu sebagai land keeper dan land manager. 8 Tugas dan fungsi Bank Tanah dalam hal ini akan mendukung pemanfaatan tanah bagi kepentingan umum, sosial, pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, dan Reforma Agraria.

Ketentuan khusus mengenai Bank Tanah ini terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah (selanjutnya akan disebut PP 64/2021) dalam Pasal 1 angka (1) menjelaskan bahwa Badan Bank yaitu merupakan suatu badan khusus yang bersifat sui generis dan berbentuk badan hukum yang pembentukannya dilakukan oleh pemerintah pusat, bank tanah ini memiliki suatu kewenangan untuk

mengelola tanah. Sebagai aturan pelaksana dari UUCK khususnya berkaitan dengan pembentukan Bank Tanah, melalui Peraturan Pemerintah ini dijelaskan secara terperinci mengenai kelembagaan serta kewenangan dan fungsi-fungsi yang akan dilaksanakan oleh Bank Tanah dalam mengelola pertanahan di Indonesia. Dalam PP 64/2021, disebutkan secara tegas mengenai fungsi-fungsi yang dijalankan Bank Tanah. Fungsi-fungsi tersebut salah satunya adalah mengenai perolehan tanah yang dilakukan oleh Bank Tanah. Sebagai salah satu fungsi Bank Tanah yang termuat di PP 64/2021, Bank Tanah dinyatakan dapat memperoleh tanah yang bersumber dari penetapan negara ataupun dari pihak lain. Kemudian dalam ketentuan selanjutnya mengatur mengenai proses perolehan tanah yang berasal dari pihak lain yaitu pada Pasal 8 ayat (2) huruf (a) bahwa salah satu proses yang dapat dilakukan Bank tanah dalam memperoleh tanah adalah melalui Pembelian.

Pada umumnya, proses jual beli tanah dilakukan dengan maksud untuk mengalihkan hak atas tanah yang diperjual belikan. 9 Namun ketika Bank Tanah melakukan pembelian atas tanah yang dilekati Hak Milik, maka secara otomatis nantinya dari pembelian tersebut kepemilikan hak atas tanah akan beralih menjadi milik Bank Tanah. Hal inilah yang tidak sejalan dengan ketentuan dalam UUPA, bahwa negara hanya memiliki hak untuk menguasai tanah dan penguasaan tersebut bukanlah dalam bentuk Hak Milik. Tanah-tanah yang dikelola dan diperoleh oleh Bank Tanah diberikan suatu Hak Pengelolaan yang merupakan implementasi dari hak menguasai negara atas tanah. Bank Tanah itu sendiri merupakan perpanjangan tangan dari negara untuk menjalankan pengelolaan khususnya dalam bidang pertanahan untuk pembangunan berkaitan dengan kepentingan umum.10 Sehingga apabila ditelaah dari perspektif UUPA yang menyatakan bahwa negara tidak diberikan hak atas kepemilikan tanah dalam bentuk Hak Milik, tetapi hanya memiliki hak menguasai negara yang diimplementasikan menjadi Hak Pengelolaan maka seharusnya badan-badan hukum yang dibentuk negara pun tidak dapat memiliki hak milik, begitu pula dengan Bank Tanah.

Kajian dalam penelitian ini berbeda apabila dibandingkan dengan penelitian-penelitian yang terdahulu yang mengkaji tentang topik yang sama yaitu mengenai Bank Tanah. Terdapat suatu penelitian oleh Dixon Sanjaya dan Benny Djaja tahun 2021 dengan judul “Pengaturan Bank Tanah Dalam Undang-Undang Cipta Kerja Dan Implikasi Keberadaan Bank Tanah Terhadap Hukum Pertanahan Di Indonesia” 11 yang lebih mengkaji tentang keberadaan Bank Tanah dalam UUCK serta implementasinya dalam hukum pertanahan di Indonesia, dan juga membahas lebih kepada fungsi Bank Tanah sebagai badan hukum yang menjalankan fungsi pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Selain itu, dalam artikel yang disusun oleh Nila Trisna dan Ilka Sandela tahun

2021 mengenai “Eksistensi Bank Tanah Dalam Hukum Agraria Di Indonesia”.12 Dalam penelitian tersebut membahas mengenai landasan filosofis dan yuridis dibentuknya lembaga Bank Tanah serta pengaturannya dalam UUCK, dalam penelitian tersebut tidak mengacu kepada PP 64/2021 tentang Bank Tanah dikarenakan masih merupakan rancangan dan belum disahkan.

Berdasarkan hal tersebut, dalam penelitian ini terdapat pembahasan topik yang sama yaitu mengenai lembaga Bank Tanah sebagai lembaga baru yang dibentuk pemerintah melalui UUCK namun terdapat perbedaan yaitu dalam penelitian ini lebih mengkaji kepada 2 (dua) pokok permasalahan yaitu berkaitan dengan fungsi Bank Tanah khususnya berkaitan dengan perolehan tanah serta akibat hukum apa yang akan ditimbulkan ketika Bank Tanah memperoleh tanah dari pihak lain dengan proses pembelian. Kedua permasalahan tersebut akan dianalisis dan dikaji berdasarkan UUCK dan PP 64/2021 tentang Bank Tanah.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian yuridis normatif yang mengunakan pendekatan-pendekatan secara konseptual dan pendekatan perundang-undangan (conceptual approach and statute approach). Diterapkannya penelitian yuridis normatif dalam penelitian ini dikarenakan adanya suatu kekaburan norma mengenai pengaturan Bank Tanah sebagai lembaga baru yang dibentuk pemerintah khususnya dalam hal menjalankan fungsi perolehan tanah melalui pembelian. Sehingga berkaitan dengan hal tersebut, teknik studi dokumen dipergunakan untuk mengkaji bahan-bahan kepustakaan secara sistematis yang dalam hal ini bahan-bahan hukum yang menjadi penunjang penelitian ini berupa bahan hukumprimer seperti peraturan perundang-undangan serta bahan hukum sekunder baik berupa teks-teks hukum dan internet yang memiliki kaitan dengan pokok permasalahan yang akan dikaji. Bahan-bahan hukum tersebut dianalisis dengan menggunakan analisis bahan hukum kualitatif.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    3.1    Fungsi Badan Bank Tanah Sebagai Lembaga Pengelolaan Tanah

Bank Tanah ialah suatu lembaga baru yang dibentuk oleh negara sebagai suatu lembaga yang khusus memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan tanah.13 Lembaga ini dibentuk berdasarkan Pasal 125 ayat (1) dalam UUCK yang dimana ketentuan pasal tersebut menyebutkan terkait pembentukan bank tanah yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Kemudian dalam ayat (2) pada pasal tersebut disebutkan pula terkait kelembagaan bank tanah sebagai badan khusus yang melakukan pengelolaan atas tanah. Sebagai keberlanjutan dari ketentuan pada UUCK tersebut, disahkanlah suatu aturan pelaksana khusus mengenai Badan Bank Tanah yaitu PP 64/2021. Dalam Pasal 1

angka (1) PP 64/2021 dijabarkan pengertian dari Bank Tanah ialah suatu badan hukum yang pembentukannya dilakukan oleh pemerintah dan berkedudukan sebagai badan khusus dengan sifat yang sui generis serta berwenang untuk melakukan pengelolaan tanah.

Berdasarkan teori kewenangan dan sumber-sumber kewenangan oleh Indroharto yang menyatakan bahwa kewenangan itu diperoleh melalui 3 (tiga) sumber yaitu Atribusi, Delegasi, dan Mandat. 14 Kewenangan Atribusi adalah kewenangan yang diberikan langsung oleh peraturan perundang-undangan, sedangkan kewenangan delegasi kewenangan mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan dari organ pemerintahan lainnya. Dalam hal ini, kewenangan pengelolaan tanah yang dimiliki oleh Bank Tanah merupakan kewenangan atribusi yaitu diberikan langsung oleh peraturan perundang-undangan yaitu melalui PP 64/2021 tentang Bank Tanah bahwa pengelolaan tanah yang dijalankan oleh Bank Tanah adalah menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan untuk kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, dan reforma agraria.

Bank Tanah merupakan lembaga yang melengkapi tugas dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dengan penambahan kewenangan sebagai land manager. Sehingga dalam pelaksanaan kewenangannya tersebut tetap memiliki keterkaitan dengan tugas dan fungsi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peran dari Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam struktur kelembagaan Bank Tanah yang mempengaruhi pertanggungjawaban Bank Tanah langsung kepada Presiden. Pertanggungjawaban pelaksanaan kewenangan Bank Tanah langsung kepada Presiden ini diatur dalam PP 64/2021 tentang Bank Tanah yakni pada Pasal 2 ayat (3) yang menyatakan bahwa Bank Tanah bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui Komite. Adapun Komite dalam struktur kelembagaan Bank Tanah adalah terdiri dari Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional sebagai ketua merangkap anggota, Menteri Keuangan sebagai anggota, dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebagai anggota (sesuai Pasal 32 PP 64/2021 tentang Bank Tanah).

Sesungguhnya terbentuknya Bank Tanah ini membawa tujuan agar memastikan adanya tanah yang tersedia demi kepentingan umum dan sosial, terwujudnya ekonomi yang merata, meningkatkan kualitas pembangunan nasional, menjalankan konsolidasi lahan, dan untuk memaksimalkan reforma agraria. Maka dari itu, adanya pengaturan menyangkut Bank Tanah ini diharapkan dapat mengakomodir keperluan negara dalam hal memenuhi kebutuhan masyarakat atas tanah seperti untuk pembangunan proyek

strategis nasional berupa infrastruktur yang bersangkutan dengan kepentingan umum, seperti jalan tol, waduk, dan lain sebagainya.15

Bank Tanah dalam menjalankan kewenangan khususnya untuk mengelola tanah didasari dengan Hak Pengelolaan yang dilimpahkan kepadanya.16 Pelimpahan tersebut mengacu pada Pasal 129 ayat (1) UUCK yang menegaskan bahwa Bank Tanah diberikan Hak Pengelolaan dalam mengelola tanah. Menurut beberapa ahli, Hak Pengelolaan diartikan sama dengan hak menguasai negara terhadap tanah, namun terdapat juga pendapat lain yang menyatakan bahwa hak pengelolaan adalah sama halnya dengan hak atas tanah.17 Hak Pengelolaan berdasarkan Pasal 1 angka (3) dalam PP 64/2021 dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, Dan Pendaftaran Tanah (kemudian disebut PP 18/2021) sebagai salah satu aturan pelaksana dari diundangkannya UUCK menyatakan pengertian dari Hak Pengelolaan yaitu hak yang berasal dari hak menguasai yang dimiliki oleh negara yang dimana kewenangan dalam pelaksanaan haknya tersebut diberikan atau dilimpahkan kepada pemegang Hak Pengelolaan. Pelimpahan Hak Pengelolaan tersebut diatur melalui PP 18/2021 yakni dalam Pasal 5 ayat (1) yang menentukan terkait Tanah Negara, dilimpahkan Hak Pengelolaan kepada instansi-instansi pemerintah baik daerah maupun pusat, kepada BUMN dan BUMD, Bank Tanah, serta badan hukum-badan hukum lainnya yang ditentukan oleh pemerintah.

Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut, Bank Tanah adalah salah satu lembaga atau badan negara yang dilimpahkan Hak Pengelolaan. Hak Pengelolaan sebagai implementasi dari hak menguasai negara yang dimiliki oleh Bank Tanah ini selanjutnya menjadi dasar dalam fungsi-fungsi dan tugas yang dijalankan oleh Bank Tanah antara lain telah disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) PP 64/2021 yaitu fungsi Perencanaan, Perolehan Tanah, Pengadaan Tanah, Pengelolaan Tanah, Pemanfaatan Tanah, dan Pendistribusian Tanah.

Fungsi yamg dimiliki oleh Bank Tanah sebagai lembaga negara yang menjalankan kewenangan untuk mengelola tanah diwujudkan dalam tugas-tugas yang diemban oleh Bank Tanah. Dalam Pasal 3 ayat (2) PP 64/2021 menjelaskan terkait tugas dari masing-masing fungsi yang dijalankan oleh Bank Tanah yaitu melaksanakan tugas untuk melakukan perencanaan kegiatan baik jangka panjang, menengah, maupun perencanaan tahunan. Selain itu, dinyatakan pula bahwa Bank Tanah dapat melakukan perolehan tanah yang bersumber dari tanah yang ditetapkan pemerintah ataupun yang sumbernya dari pihak lain. Demi kepentingan umum, Bank Tanah dapat melakukan fungsi pengadaan tanah untuk kegiatan pembangunan. Kemudian dalam hal

menjalankan fungsinya yang berkaitan dengan pengelolaan tanah, Bank Tanah melakukan kegiatan-kegiatan mulai dari pengembangan sampai dengan pengendalian tanah, tidak terkecuali tugas pemeliharaan dan pengamanan tanah. Bank Tanah dapat melakukan pemanfaattan tanah yang dilakukan melalui kerja sama bersama pihak lain, serta mendistribusikan tanah dengan menyediakan ataupun membagikan tanah yang dimana dilakukan untuk menjalankan fungsinya dalam hal Pemanfaatan Tanah dan Pendistribusian Tanah.

Penerapan Bank Tanah di Indonesia memiliki suatu urgensi bahwa Bank Tanah dapat menjadi instrument khusus yang mendorong pengembangan tanah dan pembangunan secara efisien serta efektif dengan cara mengendalikan pengadaan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah dalam melaksanakan pembangunan.18 Bank Tanah menjadi jawaban atas permasalahan kompleks terkait pengadaan tanah, seperti penyediaan stok tanah bagi pemerintah yang diperlukan untuk pembangunan di waktu mendatang, meminimalisir anggaran/dana pemerintah, dan mengurangi terjadinya permasalahan dalam proses pembebasan lahan yang sebelumnya sering terjadi. 19 Hal ini berkaitan dengan fungsi Bank Tanah dalam hal perolehan tanah untuk menyediakan lahan bagi pembangunan. Fungsi ini memberikan Bank Tanah kewenangan untuk memperoleh tanah guna dilakukan pengelolaan karena pada dasarnya konsep Bank Tanah itu sendiri adalah menghimpun tanah yang kemudian tanah-tanah yang telah dihimpun tersebut akan didistribusikan, dikembangkan serta dialokasikan sesuai dengan rencana penggunaannya dikemudian hari.20

  • 3.2    Akibat Hukum Perolehan Tanah oleh Bank Tanah dengan cara Pembelian

Setiap fungsi yang tertuang pada Pasal 3 ayat (2) PP 64/2021 dijalankan oleh Bank Tanah dengan tujuan untuk menjamin ketersediaan tanah guna menjalankan pembangunan bagi keperluan umum. Maka, dapat dikatakan bahwa pembentukan Bank Tanah sebagai perpanjangan tangan negara dalam melakukan kewenangannya untuk mengelola tanah adalah sejalan dengan yang telah diamanatkan oleh konstitusi negara yaitu yang tertera pada UUD NRI 1945 yang menentukan bahwa negara menguasai tanah adalah demi dan untuk kemakmuran rakyat.

Bank Tanah selaku lembaga pengelolaan tanah yang dilimpahkan kewenangan khusus untuk mengelola tanah sangat erat kaitannya dengan salah satu fungsi yang dijalankannya yakni fungsi Perolehan Tanah. Dalam Pasal 6 PP 64/2021 menyebutkan bahwa Bank Tanah dapat memperoleh tanah yang ditetapkan oleh pemerintah, serta dapat pula memperoleh tanah dari pihak lain. Tanah-tanah bekas hak, tanah timbul, tanah terlantar, tanah pulau-pulau kecil, tanah hasil reklamasi, tanah pelepasan bekas kawasan hutan, tanah bekas tambang, tanah yang terimbas kebijakan pemerintah terkait perubahan tata ruang, dan tanah tak bertuan merupakan tanah-tanah hasil penetapan

pemerintah yang dalam Pasal 7 PP 64/2021 dinyatakan bahwa Bank Tanah dapat memperoleh tanah yang berasal dari tanah-tanah yang telah disebutkan tersebut.

Kemudian ketentuan perolehan tanah oleh Bank Tanah yang berasal dari pihak lain terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) PP 64/2021 bahwa terkait tanah dari pihak lain yang dimaksud adalah yang bersumber dari tanah pemerintah baik pusat ataupun daerah, BUMN, BUMD, Badan usaha, dan Badan Hukum, serta dapat pula berasal dari masyarakat. Selanjutnya mekanisme perolehan tanah yang bersumber dari pihak lain yang telah disebutkan dalam Pasal 8 ayat (2) tersebut dapat melalui beberapa cara, yaitu:

  • a.    Pembelian

  • b. Hibah, sumbangan dan sejenisnya

  • c.    Tukar-menukar

  • d.    Pelepasan hak

  • e.    Perolehan hak lain yang dilakukan secara sah

Berdasarkan ketentuan tersebut, Bank Tanah dalam memperoleh tanah yang berasal dari pihak lain dapat melalui proses Pembelian. Pembelian tanah guna melaksanakan fungsi perolehan tanah tersebut adalah untuk menjadi persediaan tanah bagi Bank Tanah yang nantinya akan dilakukan pemanfaatan atas tanah-tanah yang diperoleh tersebut dengan cara melalui kerja sama pemanfaatan dengan pihak lain. Sesuai Pasal 14 ayat (2) PP 64/2021 tentang Bank Tanah disebutkan bahwa bentuk kerja sama pemanfaatan dengan pihak lain dapat berbentuk :

  • a.    Jual Beli;

  • b.    Sewa;

  • c.    Kerja sama usaha

  • d.    Hibah

  • e.    Tukar Menukar

  • f.    Bentuk lain yang disepakati dengan pihak lain.

Dalam ketentuan Penjelasan Pasal 14 ayat (2) mengenai jual beli yang dimaksud dalam hal ini adalah hasil kerja sama pemanfaatan tanah dari Bank Tanah kepada pihak lain yang diberikan hak atas tanah dan hak turunannya tanpa melepas atau mengurangi Hak Pengelolaan. Pihak lain dalam hal ini jika merujuk kepada PP 64/2021 adalah pihak-pihak yang disebutkan dalam perolehan tanah yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha dan Badan Hukum, serta masyarakat.

Proses pembelian yang dilakukan Bank Tanah untuk memperoleh tanah sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (2) PP 64/2021 tentang Bank Tanah, nantinya akan mengakibatkan lahirnya hak atas tanah yang diperoleh dari peralihan hak karena proses pembelian tersebut. Dalam UUPA, terdapat beberapa macam hak atas tanah seperti telah disebutkan dalam Pasal 16 meliputi Hak Milik, Hak Sewa, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, hak-hak yang lainnya dan juga termasuk hak-hak dengan sifat tidak tetap yang disebutkan pada Pasal 53 UUPA.

Tidak seluruhnya hak-hak yang telah disebutkan tersebut dapat dimiliki oleh Bank Tanah. Hal ini dikarenakan Bank Tanah dilimpahkan suatu Hak Pengelolaan sebagai perpanjangan tangan dari negara untuk melakukan pengelolaan atas tanah sesuai ketentuan Pasal 129 ayat (1) UUCK. Hak menguasai negara sebagai dasar adanya Hak Pengelolaan tersebut tidak menyatakan bahwa Negara dapat mempunyai kepemilikan tanah berupa Hak Milik, sehingga Bank Tanah sebagai badan yang dibentuk oleh negara pun tidak memiliki hak kepemilikan tersebut.21 Hal ini dikarenakan “menguasai” dan “memiliki” dalam Hak Atas Tanah memiliki pemaknaan yang berbeda. Hak Menguasai Negara atas tanah yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 berarti hak negara untuk mengatur dan mengelola tanah, bukan hak untuk memiliki tanah, yang kemudian pemaknaan dan pelaksanaan Hak Menguasai Negara tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA yaitu berdasarkan hak menguasai negara tersebut, negara memiliki kewenangan untuk :

  • a.    mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

  • b.    menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

  • c.    menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa;

Sedangkan pemaknaan kata “memiliki” dalam Hak Atas Tanah adalah mempunyai hak yang penuh atas tanah. Hak Milik sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA didefinisikan sebagai hak yang turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan Pasal 6 UUPA. Hak yang terkuat dan terpenuh yang dimaksud dalam pengertian tersebut bukan berarti hak milik merupakan hak yang bersifat mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat, melainkan untuk menunjukkan bahwa di antara hak-hak atas tanah lainnya, hak milik merupakan hak yang paling kuat dan paling penuh. Hak milik sebagai hak yang terkuat juga berarti hak tersebut tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan dari pihak lain. Kemudian hak milik dikatakan merupakan hak yang turun temurun karena hak milik dapat diwariskan oleh pemegang hak kepada ahli warisnya.

Hak Milik atas tanah ini tidak dapat serta merta dimiliki oleh suatu badan hukum.22 Pembatasan ini sebagaimana telah tertera dalam UUPA Pasal 21 ayat (1) dan (2) terkait hak milik atas tanah hanya berhak dimiliki WNI dan juga badan hukum yang telah ditentukan pemerintah namun terdapat syarat-syarat untuk itu.

Penunjukan badan hukum yang ditentukan oleh pemerintah yang dinyatakan dapat memiliki hak milik atas tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 (kemudian akan disingkat menjadi PP 38/1963) khususnya pada Pasal 1 bahwa ditentukan secara tegas badan hukum yang dapat mempunyai hak tanah adalah Bank

Negara dan dibentuk langsung oleh negara, Koprasi Pertanian yang berdiri sesuai peraturan perundang-undangan, badan-badan dalam bidang keagamaan yang telah ditetapkan oleh kementerian, serta badan-badan sosial yang juga didirikan dan ditetapkan langsung oleh kementerian. Berdasarkan hal tersebut, maka hanya badan hukum tertentu yang termasuk dalam pasal di atas yang berhak Hak Milik Atas Tanah. Meskipun berbentuk badan hukum, namun dikarenakan tidak termasuk ke dalam pasal tersebut sehingga dinyatakan tidak dapat memperoleh Hak Milik atas tanah. Maka dari itu, pembelian merujuk pada Pasal 8 ayat (2) huruf (a) PP 64/2021 tidak dapat diterapkan pada pembelian untuk mengalihkan Hak Milik atas Tanah. Hal tersebut didukung dengan adanya Pasal 129 ayat (1) UUCK yakni tentang Bank Tanah yang diberikan suatu Hak Pengelolaan oleh negara untuk melakukan pengelolaan tanah. Kemudian dalam ayat (2) dinyatakan bahwa tanah-tanah yang dikelola atas dasar Hak Pengelolaan tersebut, hanya dapat dilekatkan hak-hak tertentu yang bukan merupakan hak milik antarra lain hak pakai, hak guna bangunan, dan hak gunausaha. Sehingga, proses oleh Bank Tanah tersebut dapat diartikan sebagai pembelian untuk tanah yang hanya dilekati hak pakaii, hak guna bangunan, dan hak guna usaha karena hanya hak-hak tersebutlah yang dapat dilekatkan pada hak pengelolaan yng dimiliki oleh Bank Tanah.

Namun, frasa Pembelian dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a PP 64/2021 tidak menjelaskan berkaitan dengan mekanisme ataupun proses pembelian yang nantinya dilakukan oleh Bank Tanah sehingga terdapat suatu kekaburan atas penjelasan pasal tersebut, bahwa dimungkinkan adanya pembelian tanah yang dilekati Hak Milik atas Tanah yang menyebabkan adanya peralihan hak tersebut dari pihak lain khususnya dari masyarakat menjadi milik Bank Tanah.

Pemerintah membentuk Bank Tanah sebagai badan khusus yang berwenang untuk melakukan pengelolaan tanah, yang dimana kekayaan hasil kegiatan dari Badan Bank Tanah merupakan kekayaan dipisahkan, bukan dimasukkan ke dalam kekayaan negara.23 Hal ini berarti, Bank Tanah dalam bentuknya sebagai badan hukum seperti layaknya perseroan terbatas yang menjalankan fungsinya secara mandiri.24 Sehingga, dalam hal ini dapat ditarfsirkan bahwa mekanisme perolehan tanah melalui pembelian yang dilakukan oleh Bank Tanah dapat mengikuti mekanisme pembelian tanah yang selama ini dilakukan oleh perseroan terbatas yang secara ketentuannya dalam PP 38/1963 bukan merupakan baan hukum yang berhak memegang Hak Milik aktas tanah. Namun, tetap diperlukan suatu peraturan yang dapat menjelaskan secara lebih mendalam mengenai mekanisme pembelian tanah oleh Bank Tanah untuk memperoleh tanah guna menjalankan fungsinya sesuai yang diberikan oleh undang-undang dikarenakan kedudukan Bank Tanah yang merupakan badan khusus sehingga terdapat perbedaan dengan perseroan terbatas pada umumnya.

  • 4. Kesimpulan

Bank Tanah selaku badan hukum yang diberikan suatu kewenangan untuk mengelola tanah dapat menjalankan fungsi-fungsi sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) PP 64/2021 antrara lain fungsi Perncanaan, Perolehan, Pengadaan, Pengelolaan, Pemanfaatan, dan Pendistribuisian Tanah. Menyangkut tentang fungsi Perolehan Tanah yang dijalankannya, Bank Tanah diberikan kewenangan untuk memperoleh tanah guna dilakukan pengelolaan. Dalam Pasal 8 PP 64/2021 menyatakan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perolehan tanah oleh Bank Tanah yaitu dapat bersumber dari tanah pemerintah yang telah ditetapkan ataupun tanah dari pihak lain.

Perolehan tanah dari pihak lain yang dimaksudkan tersebut dapat dilakukan dengan cara yaitu Pembelian. Perolehan tanah oleh Bank Tanah dengan cara pembelian ini tidak dapat dilakukan dengan tujuan untuk mengalihkan hak milik. Hal ini dikarenakan Bank Tanah merupakan badan negara yang dianggap sebagai perpanjangan negara untuk mengelola tanah, seperti yang diketahui bahwa dalam UUPA, negara hanya memiliki hak menguasai atas tanah dan tidak diberikan suatu hak berupa Hak Milik sehingga Bank Tanah pun tidak dapat diberikan penguasaan berupa Hak milik atas tanah. Badan Bank Tanah juga bukanlah merupakan badan hukum yang dinyatakan dapat mempunyai Hak Milik sesuai dengan yang diatur dalam PP 38/1963. Akibat hukum perolehan tanah melalui pembelian tersebut dibatasi dengan Hak Pengelolaan yang dimilikinya. Hak Pengelolaan yang dimiliki oleh Bank Tanah membatasi hak-hak atas tanah yang dapat dilekatkan diatas Hak Pengelolaan tersebut yaitu Hak Pakai, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, sehingga dalam perolehan tanah melalui pembelian yang dilakukan oleh Bank Tanah adalah tidak bisa dialihkannya Hak Milik atas tanah melalui pembelian tersebut.

Daftar Pustaka

Al-Zahra, Fatimah. “Gagasan Pengaturan Bank Tanah Untuk Mewujudkan Pengelolaan Aset Tanah Negara Yang Berkeadilan.” Jurnal Ilmiah Administrasi Publik            3,            no.            2            (2017):            92–101.

https://doi.org/https://doi.org/10.21776/ub.jiap.2017.003.02.2.

Eldi. “Rekontruksi Hukum Pengaturan Bank Tanah Terhadap Kewenangan Kementerian ATR/BPN Dalam Meweujudkan Pengelolaan Aset Tanah Negara Untuk Kepentingan Umum Yang Berkeadilan Pasca Undang-Undang Cipta Kerja 2020.”    Media Bina Ilmiah    16,    no.    4    (2021):    6685–6706.

https://doi.org/10.33758/mbi.v16i4.1403.

Ganindha, Ranitya. “Urgensi Pembentukan Kelembagaan Bank Tanah Sebagai Alternatif Penyediaan Tanah Bagi Masyarakat Untuk Kepentingan Umum.” Arena Hukum          9,          no.          3          (2016):          442–62.

https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2016.00903.8.

Hutagulung, Arie Sukanti, and Markus Gunawan. Kewenangan Pemerintah Di Bidang Pertanahan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.

Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Cetakan ke. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993.

Kunu, Andi Bustamin Daeng. “Kedudukan Hak Menguasai Negara Atas Tanah.” Fiat Justitia     Jurnal     Ilmu     Hukum     6,     no.     1     (2012):     1–10.

https://doi.org/10.25041/fiatjustisia.v6no1.343.

Kusumadara, Afifah. “Perkembangan Hak Negara Atas Tanah: Hak Menguasai Atau Hak Memiliki?” Jurnal Media Hukum 20, no. 2  (2013):  262–76.

https://doi.org/10.18196/jmh.v20i2.267.

Limbong, Bernhard. Bank Tanah. Jakarta: Margaretha Pustaka, 2003.

Manueke, Pingkan Martina. “Jual Beli Tanah Yang Mempunyai Sertifikat Hak Atas Tanah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.” Lex Privatum 6, no. 5                                  (2018):                                  150–61.

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/issue/view/2094.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. “Menteri ATR/Kepala BPN: Bank Tanah Sebagai Land Manager Untuk Memberikan Kemakmuran             Kepada             Rakyat,”             2021.

https://ppid.atrbpn.go.id/bpn/content/details?key=menteri-atr%2Fkepala-bpn%3A-bank-tanah-sebagai-land-manager-untuk-memberikan-kemakmuran-kepada-rakyat.

Mochtar, Hairani. “Keberadaan Bank Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan.” Jurnal Cakrawala Hukum 18, no. 2  (2013):  127–35.

https://doi.org/10.26905/idjch.v18i2.1117.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. “Pembentukan Badan Bank Tanah, Upaya Kementerian ATR/BPN Menyediakan Tanah Untuk Kepentingan                       Umum,”                       2021.

https://www.atrbpn.go.id/?menu=baca&kd=BAqbJoEmLIrAGh/BFLmh1xNS5 OTmWVy2xhZrKllrcSqzhA93V9CSAvGTcsssS0KL.

Puspitasari, Kristijanindyati. “Bank Tanah Untuk Mewujudkan Ekonomi Berkeadilan.” Kementerian       Keuangan       Republik       Indonesia,       2021.

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13916/Bank-Tanah-untuk-Mewujudkan-Ekonomi-Berkeadilan.html.

Rohman, Zahrah Farhataeni, and Heru Sugiyono. “Tinjauan Yuridis Pemberian Hak Kepemilikan Atas Tanah Negara Kepada Perorangan Atau Badan Hukum.” National Conference on Law Studies (NCOLS) 2, no. 1  (2020):  581–98.

https://conference.upnvj.ac.id/index.php/ncols/article/view/1510/968.

Sanjaya, Dixon, and Benny Djaja. “Pengaturan Bank Tanah Dalam Undang-Undang Cipta Kerja Dan Implikasi Keberadaan Bank Tanah Terhadap Hukum Pertanahan Di Indonesia.” Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, Dan Seni 5, no. 2 (2021): 462– 74. https://doi.org/10.24912/jmishumsen.v5i2.11387.2021.

Santoso, Urip. Hukum Agraria Kajian Komprehensif. Cetakan ke. Jakarta: Kencana Prenada Group, 2012.

Trisna, Nila, and Ilka Sandela. “Eksistensi Bank Tanah Dalam Hukum Agraria Di Indonesia.” Jurnal Ius Civile: Refleksi Penegakan Hukum Dan Keadilan 5, no. 1 (2021):

187–201. https://doi.org/10.35308/jic.v5i1.3564.

Wardani, Widyarini Indriasti. “Harmonisasi Lembaga Bank Tanah Dengan Pengaturan Pengadaan Hak Atas Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.” Jurnal     Spektrum     Hukum     18,     no.     2     (2021):     1–14.

https://doi.org/10.35973/sh.v18i2.2476.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6683)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, Dan Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6630

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukkan Badan-Badan Hukum Yang Dapat mempunyai Hak Milik Atas Tanah (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 2555)

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2020 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang (Lembaran Negara Tahun 2020 Nomor 83)

365