Pengaturan Tentang Saksi Keluarga Pada Perkara Perceraian Akibat Perselisihan Secara Terus-Menerus
on
Pengaturan Tentang Saksi Keluarga Pada Perkara Perceraian Akibat Perselisihan Secara Terus-Menerus
Ida Ayu Tri Astuti Purwasari1, I Ketut Mertha2
1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 15 Desember 2021
Diterima: 8 Juli 2022
Terbit: 28 September 2022
Keywords:
Divorce, Witness, Family
Kata kunci:
Perceraian; saksi; keluarga.
Corresponding Author: Ida Ayu Tri Astuti Purwasari, e-mail:
DOI:
10.24843/JMHU.2022.v11.i03. p09.
Abstract
This study aims to find out and briefly about the Arrangement of Family Witnesses in Divorce Cases Due to Continuous Disputes. This study uses normative legal methods. The arrangement of family witnesses in providing information in divorce cases due to continuous disputes, namely a conflict of norms between Article 22 paragraph (2) of the Marriage Regulation and Article 1910 of the Civil Code. Based on the principle of lex superior derogat legi inferiori in resolving the problem of conflicting norms between Article 22 paragraph (2) of the Marriage Regulation and Article 1910 of the Civil Code, the basis will be Article 1910 of the Civil Code, which determines that the family is considered incompetent in giving testimony in case. The legal consequences of divorce in Indonesia on property during marriage, if you pay attention to the explanation of Article 37 officially do not provide positive legal uniformity on how to divide joint property in the event of a divorce. Furthermore, the way of dividing joint property in the provisions of the law and submitting it to the law that lives in the community where the divorce and household are located. If we return to the explanation of Article 37, then the regulation has shown a description of how to divide joint property, namely "Divided the distribution based on religious law if the religious law is a living legal awareness in regulating divorce procedures.
Abstrak
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan memahami Pengaturan Tentang Saksi Keluarga Pada Perkara Perceraian Akibat Perselisihan Secara Terus Menerus. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif. Telah terjadi konflik norma pada pengaturan saksi keluarga dalam memberikan keterangan atau kesaksian pada proses perkara perceraian akibat perselisihan secara terus menerus yaitu, antara Pasal 22 ayat (2) PP Perkawinan dengan Pasal 1910 KUHPerdata. Betapa pentingnya kesaksian dari para saksi bagi suatu perkara, sehingga harus tercipta suatu kepastian hukum terkait hal tersebut. Berdasarkan Asas Preferensi Hukum, khususnya Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori, Pasal 1910 KUHPerdata dijadikan dasar atau sebagai pedoman dan acuan, dimana Pasal 1910 KUHPerdata menentukan bahwa keluarga dianggap tidak cakap dalam memberikan kesaksianya dalam perkara perceraian, dalam makna lain bahwa keluarga dilarang untuk bersaksi dalam perkara perceraian yang memiliki hubungan sedarah dengan pihak yang berperkara. Akibat hukum daripada perceraian di Indonesia
terhadap harta benda selama perkawinan, apabila merujuk pada Pasal 37 UU Perkawinan memang tidak ditemukan keseragaman hukum positif tentang bagaimana pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian. Maka, pembagian harta bersama setelah perceraian akan berpedoman dengan hukum yang hidup dan tumbuh di lingkungan masyarakat dimana perceraian dan rumah tangga tersebut berada. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dari penjelasan Pasal 37 UU yang pada intinya menyatakan bahwa, harta benda bersama setelah adanya perceraian, pembagiannya berpedoman pada aturan hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian.
Perkawinan merupakan suatu ikatan sakral yang dimiliki oleh sepasang manusia dengan tunjuan membentuk keluarga (rumah tangga) dan mengikatkan diri satu sama lain secara lahir bathin sebagai sepasang suami isteri. Karena pada dasarnya manusia makhluk sosial yang tidak dapat hidup seorang diri. Perkawinan terjadi secara kodrati ialah dikarenakan antara laki-laki dan perempuan telah tumbuh perasaan atau rasa cinta dan kasih sayang tulus satu diantara keduanya.
Pada kobdratnya, manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki akal dan budi, tentunya menempatkan perkawinan pada posisi penting yang dilakukan secara terus menerus guna untuk mempertahankan keturunan guna memperoleh ketenangan dalam hidupnya, perkawinan juga dipandang sebagai suatu budaya dalam perkembangan kehidupan manusia. 1 Sehingga di dalam tujuan yang lebih luas, perkawinan juga bertujuan unuk membentuk dan meneruskan suatu generasi penerus bangsa dan negara ini, sehingga kehidupan berkesinambungan suatu negara dapat tetap berlangsung.2
Pengertian perkawinan secara resmi berdasarkan hukum telah diatur pada Pasal 1 Undang-Uundang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) yang menentukan bahwa:
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Berdasarkan pengertiann tersebut sudah selayaknya suatu perkawinan dilakukan secara hati-hati dan sebagaimana mestinya, mengingat suatu perkawinan dilakukan berdasarkan dan dilandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini menjadikan suatu perkawinan menjadi begitu bersifat sakral, luhur serta sarat akan nilai-nilai
filosofis. Bahkan perkawinan dikatakan bersifat sakral, luhur serta sarat nilai-nilai filosofis, karena suatu perkawinan disertai juga dengan rangkaian upacara keagamaan dalam prosesnya.3 Dengan demikian maka sangat perlu untuk menjaga keutuhan perkawinan (rumah tangga) tersebut agar tidak sampai mengalami percerraian.
Suatu perkawinan tidaklah luput daripada yang namanya permasalahan, tergantung daripada besar kecilnya perkara yang terjadi pada perkawinan (rumah tangga) terssebut. Pada kasus tertentu permasalahan dalam rumah tangga mampu menyebabkan perkawinan itu bermasalah dan berujung pada perceraian. Sebagaimana telah diatur pada Pasal 38 UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinann dapat putus karena suatu perceraian.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan suatu perceraian dapat terjadi. Bedasarkan Pasal 39 UU Perceraian, perceraian itu dapat disebabkan karena beberapa hal seperti: pertama, suami dan/atau isteri tidak lagi dapat memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami maupun sebagai seorang isteri dalam berumah tangga, kedua, suami dan/atau isteri tanpa alasan yang jelas dan sah serta izin selama 2 (dua) tahun berturut-turut meningalkan pasangannya, ketiga, suami dan/atau isteri berdasarkan putusan hakim di pidana penjara selama 5 (lima) tahun atau lebih selama masih dalam ikatan perkawinan, keempat, suami dan/atau isteri melakukan penganiayaan kepada salah satunya, kelima, diantara suami dan isteri telah terjadi perselisihan (pertengkaran) dan percekcokan yang mengakibatkan tidak dapat dipertahankannya rumah tangga. Pada proses perceraian, gugatan perceraian harus melalui mekanisme litigasi yang dimana pembuktianya memerlukan paling sedikit 2 (dua) orang saksi. Terjadi konflik norma antara Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata dengan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaann UU Perkawinan dalam memandang keluarga sedarah dalam memberikan kesaksianya dalam perkara perceraian tersebut.
Konflik norma tersebut dapat dilihat pada Pasal 1910 KUHPerdata dengan Pasal 22 Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (yang selanjutnya disebut PP tentang Perkawinan), Pasal 1910 KUHPerdata memiliki konsep bahwa keluarga sedarah tidak dapat menjadi saksi dalam perkara perdata, sedangkan Pasal 22 PP Perkawinan mewajibkan keluarga sedarah untuk memberikan keteranganya sebagai saksi di muka persidangan.
Konflik norma pada pengaturan tentang saksi keluarga pada perkara perceraian ini akan mengakibatkan suatu ketidakpastian hukum ditengah-tengah masyarakat yang hendak melakukan perceraian, yang akan merugikan masyarakat karena begitu pentingnya saksi dalam proses pembuktian dalam suatu persidangan. Sehingga relevan untuk diangkat menjadi tulisan dengan judul “Pengaturan Tentang Saksi Keluarga Pada Perkara Perceraian Akibat Perselisihan Secara Terus-Menerus” Dilatarbelakangi permasalahan yang telah dijabarkan diatas maka dengan itu dirumuskanlah suatu rumusan masalah, antara lain:
-
3 A.A. Istri Ari Atu Dewi I Ketut Sudantra, Ni Nyoman Sukerti, “Pengaturan Perkawinan Pada Gelahang Dalam Awig-Awig Desaa Pekraman,” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal)
-
1) Bagaimana pengaturan saksi keluarga dalam memberikan keterangan pada perkara perceraian akibat perselisihan secara terus menerus?
-
2) Bagaimana akibat hukum daripada perceraian di Indonesia terhadap harta benda selama perkawinan?
Adapun tujuan daripada tulisan ini yaitu untuk mengetahui, mengkaji serta menganalisis mengenai pengaturan tentang saksi keluarga pada perkara perceraian akibat perselisihan terus menerus.
Tulisan ini menggunakan state of art guna membuktikan bahwa tulisan ini orisinal dan asli, tanpa unsur plagiat yang disengaja. Adapaun tulisan yang serupa yang lebih dulu terpublikasikan diberbagai macam jurnal di Indonesia, antara lain:
-
1) Jurnal ilmiah yang dibuat oleh Linda Azizah pada tahun 2012 pada jurnal hukum Al-Adalah Universitas Raden Intan Lampung, dengan judul “Analisis Perceraian, Dalam Kompilasi Hukum Islam”. Permasalahan yang diangkat adalah Perceraiaan Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 116 J Undang-Undang Perkawinan.4
-
2) Jurnal ilmiah dengan penulis atas nama Zakki Adlhiyati pada tahun 2018 pada jurnal hukum acara perdata ADHAPER dengan judul “Paradoks Kewajiban Bersaksi Pada Ketentuan Hukum Acara Perdata”. Permasalahan yang diangkat yaitu konsep kewajiban pada teori hukum dan paradoks ketentuan bersaksi sebagai sebuah kewajiban hukum.5
Dapat diperhatikan jurnal yang terdahulu tidak ada yang sama persis dengan tulisan penelitian jurnal ilmiah ini, karena memiliki pembahasan dan permasalahan yang berbeda. Pada penelitian yang dibuat oleh Linda Azizah pada tahun 2012 pada jurnal hukum Al-Adalah Universitas Raden Intan Lampung, dengan judul “Analisis Perceraian, Dalam Kompilasi Hukum Islam”. Mengangkat permasalahan terkait kerceraian dalam kompilasi hukum Islam saja, sedangkan penulis membahas terkait percerain dalam hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Selanjutnya pada penelitian yang ditulis oleh Zakki Adlhiyati pada tahun 2018 pada jurnal hukum acara perdata ADHAPER dengan judul “Paradoks Kewajiban Bersaksi Pada Ketentuan Hukum Acara Perdata membahasa tentang kewajiban bersaksi dalam hukum acara perdata pada perkara perdata. Permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini berada dalam lingkup saksi keluarga pada perkara perceraian berdasarkan Undang-Undang Perkawinan namun dalam KUHPer tidak menghendaki adanya saksi keluarga dalam persidangan. Sehingga tulisan ini menjadi orisinal dan tidak ada upaya-upaya dalam melakukan plagiat.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang oleh Soetandyo Wignyosoebroto disebut sebagai penelitian doktrinal. 6 Penelitian hukum normatif ialah penelitian yang berfokus pada pengkajian bahan-bahan hukum yang berasal dari peraturan perundanng-unndangan terkait dan literatur hukum yang memiliki kaitan dengan permaasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.7
Penelitian ini menggunakan pendekatan konsep hukum dan pendekatan perundang-undangan. Penelitian ini akan dibahas dengan menggunakan teori-teori hukum yang umum dan relevan untuk penyelesaian masalah terkait dengan dibantu oleh peraturan yang ada guna menemukan titik tolak konflik normanya, sehingga dengan dibantu dengan pendekatan tersebut diharapkan dapat menyelesaikan isu hukum dan mencapai suatu kebenaran.8
Sumber bahan hukum yang digunakan ada 2 (dua), yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang utama serta mengikat seperti peraturan perundang-undangan yang ada dalam tulisan ilmiah ini yang menggunakan UU Perkawinan dan PP tentang Perkawinan. Sedangkan bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang ada dan digunakan untuk mendukung bahan hukum primer yang dapat berupa buku-buku, jurnal ilmiah maupun ensiklopedia terkait, dalam hal ini tulisan ilmiah ini menggunakan buku-buku dan jurnal ilmiah yang ada kaitanya dengan hukum perkawinan maupun perkawinan beda agama.9
-
3. Hasil Dan Pembahasan
-
3.1 Pengaturan Saksi Keluarga Dalam Memberikan Keterangan Pada Perkara Perceraian Akibat Perselisihan Terus Menerus
-
Indonesia dalam menjalankan hukum keluarga yang salah satunya merupakan perkawinan. Perkawinan memiliki tujuan yang luruh dan filosofis yaitu untuk menciptakan dan hubungan dalam mengarungi bahtera rumah tangga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana pengertian daripada perkawinan itu berdasarkan hukum sesuai isi Pasal 1 UU Perkawinan, yang menyebutkan pengertian perkawinan adalah: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
UU Perkawinann yang menjadi dasar hukum suatu perkawinan di Indonesia juga menjamin seseorang apabila tidak merasakan kebahagiaan dalam hubungan
perkawinanya, maka seseorang tersebut dapat melakukan perceraian, hal tersebut dikarena tujuan filosofis daripada suatu perkawinan tidak dapat tercapai.
Perceraian dalam UU Perkawinan merupakan salah satu dari beberapa alasan-alasan putusnya suatu perkawinan. Secara lengkap alasan putusnya suatu perkawinan diatur sedemikian rupa didalam ketentuan Pasal 38 UU Perkawiinan yang menyebutkan dan menentukan jika suatu perkawinan dapat berakhir karena beberapa hal:
-
a. Kematian;
-
b. Perceraian;
-
c. Atas keputusan pengadilan;
Prosedur perceraian ditentukan dan disebutkan pada Pasal 39 UU Perkawinan yang menentukan bahwa:
-
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
-
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
-
(3) Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Artinya perceraian tidak dapat dilakuan secara sewenang-wenang atau asal-asalan oleh pihak-pihak yang berperkara, karena perceraian harus dilakukan dengan mengajukan gugatan kepada pengadilan terlebih dahulu. Perceraian harus memiliki alasan atau penyebab yang cukup guna membuktikan bahwa perkawinan tersebut memang tidak menghasilkan kehidupan yang rukun dan bahagia bagi pasangan suami isteri yang bersangkutan. Tidak kalah pentingnya bahwa suatu perceraian dapat dilakukan apabila kedua belah pihak yaitu suami dan isteri telah terlibat perselisihan secara terus-menerus sehingga sudah tidak dapat lagi untuk didamaikan oleh pihak manapun.
Guna menindaklanjuti apa yang tertuang dalam Passal 39 ayat (3) UU Perkawinan, pengaturan mengenai perceraian diatur lebih lanjut dalam suatu aturan pelaksana, yaitu PP tentang Perkawinan. Perceraian dapat dilakukan dengan alasan-alasan yang diatur sedemikian rupa pada ketentuaan Pasal 19 dari PP tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa:
-
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
-
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
-
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
-
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
-
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
-
f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Salah satu diantara alasan-alasan perceraian yang ada, yang telah dipaparkan diatas tersebut, yang menjadi topik dalam pembahasan penulisan jurnal ini secara khusus adalah Pasal 19 huruf f PP Perkawinan, yaitu alasan perceraian karena terjadinya perselisihan dan pertengkaran secara terus-menerus yang menyebabkan tidak adanya harapan akan hidup rukun lagi bagi pasangan suami isteri yang bersangkutan telah terikat dalam ikatan perkawinan sebelumnya.
Pada Dasarnya suatu proses perceraiian harus diputuskan melalui pengadilan negeri (pengadilan tingkat I) dengan cara mengajukan gugatan perceraian terlebih dahulu ke pengadilan negeri, gugatan perceraian tersebut harus berisikan dengan alasan-alasan perceraian, salah satunya adalah percekcokan (perselisihan) dan pertengkaran secara terus menerus. Gugatan tersebut kemudian didaftarkan ke Pengadilan dimana tempat kediaman Tergugat. Gugatan perceraian dapat diterima oleh Pengadilaan Negeri apabila telah cukup jelas mengenai sebab atau alasan diajukannya gugatan perceraian tersebut serta terdapat bukti-bukti yang menunjukan telah terjadinya pertengkaran yang terus menerus tanpa dapat didamaikan yang sehingga gugatan perceraian layak untuk diajukan, termasuk juga dengan saksi-saksi yang mendukung dalil gugatan perceraian tersebut diajukan ke pengadilan negeri.
Terdapat hal menarik mengenai para saksi yang dapat menjadi saksi dalam perkara perdata, khususnya kasus perceraian yang diajukan dengan alasan pertengkaran yang terjadi secara terus-menerus tersebut. Menurut Pasal 22 ayat (2) PP tentang Perkawinan menentukan bahwa:
“Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami-isteri itu”.
Artinya dalam suatu perkara perdata perceraian yang memuat alasan mengenai perselisihan dan pertengkaran secara terus-menerus yang menjadi dasar gugatan, dapat dan diperbolehkan untuk menghadirkan pihak keluarga sebagai saksi dalam perkara tersebut.
Pengaturan mengenai diperbolehkannya pihak keluarga untuk didengar sebagai saksi dalam perkara perdata, khususnya perkara perceraian, yang diatur dan ditentukan sesuai ketentuan Pasal 22 ayat (2) PP tentang Perkawinan ini, bertentangan dengan Pasal 1910 KUHPerdata yang pada prinsipnya menentukan dan menyebutkan bahwa, Anggota keluarga sedarah dan semenda salah satu pihak dalam garis Iurus, dianggap tidak cakap untuk menjadi saksi; begitu pula suami atau isterinya, sekalipun setelah perceraian. Artinya menurut Pasal 1910 KUHPerdata keluarga dianggap tidak cakap menjadi saksi dalam perkara perdata perceraian tersebut. Sehingga ada pertentangan norma antara Pasal 22 ayat (2) PP tentang Perkawinan dengan Pasal 1910 KUH Perdata.
Pertentangan norma tersebut haruslah diselesaikan karena saksi sangat berperan penting untuk memberikan kesaksian dalam suatu persidangan. Kesaksian merupakan kepastian berupa suatu keterangan yang diberikan dihadapan majelis hakim di muka persidangan mengenai peristiwa atau keadaan yang disengketakan dengan cara penyampaian secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak yang berperkara, yang dipanggil di persidangan.10 Melihat pengertian yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo tersebut dapat terlihat jelas betapa pentingnya kesaksian bagi suatu perkara, sehingga harus tercipta suatu kepastian hukum terkait hal yang diperkarakan atau menjadi masalah. Hans Kelsen menjelaskan bahwa konflik norma adalah:
Ein Konflikt zwischen zwei Normen liegt vor, wenn das, was die eine als gesollt setzt, mit dem, was die andere als gesollt setzt, unvereinbar ist, und daher die Befolgung oder Anwendung der einen Norm notwendiger oder moeglicherweise die Verletzung der anderen involviert11
Artinya Konflik dapat terjadi diantara dua norma hukum apabila diantara apa yang diperintahkan dalam suatu keetentuan suatu norma hukum dengan apa yang diperintahkkan dalam ketenntuan norma hukum lainnyaa tidak kompattibel/tidak sesuai sehingga mematuhi atau melaksanakan salah satu norma tersebut niscaya akan atau mungkin menyebabkan pelanggaran terhadap norma lainnya.
Cara untuk dapat menyelesaikan suatu pertentangan norma hukum atau sering dikenal dengan konflik norma (conflict of norm) antara hierarki peraturan perundang-undangan yang berbeda, adalah dengan mengaitkan konflik norma yang ada tersebut pada asas preferensi hukum. Asas preferensi hukum terdiri dari 3 (tiga) asas yang terdiri dari: Lex Specialis Derogat Legi Generalis, Lex Superior Derogat Legi Inferiori dan Lex Posteriori Derogat Legi Priori.
Mengenai pertentangan atau konflik norma antara Pasal 22 ayat (2) PP tentang Perkawinan dengan Pasal 1910 KUHPerdata apabila dikaitkan dengan asas preferensi hukum, khususnya asas lex superior derogat legi inferiori yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa hukum yang lebih tinggi mengalahkan hukum yang lebih rendah khierarkinya atau the higher rule prevails over the lower. 12 Maka, yang akan menjadi dasar atau pedoman terkait pengaturan saksi keluarga pada perkara perceraian akibat perselisihan secara terus menerus adalah Pasal 1910 KUHPerdata, yang menentukan bahwa keluarga dianggap tidak cakap dalam memberikan kesaksianya dalam perkara perdata khususnya perkara perceraian, dalam makna lain bahwa, keluarga dilarang untuk bersaksi dalam perkara perceraian yang mermiliki hubungan sedarah dengan pihak yang berperkara.
Suami isteri telah terikat pada suatu perkawinan dan telah hidup bersama dalam bahtera rumahtangga, tidak menutup kemungkinan bagi suami isteri tersebut mengalami perselisiahan secara terus-menerus yang menyebabkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga dan berujung pada perceraian Hubungan suami isteri terputus jika terjadi perceraian. Pasal 38 UU Perkawinan menyatakan bahwa, perkawinan dapat putus karena beberapa alasan antara lain, kemaatian, perceraian dan putusan pengadilan. Akibat hukum daripada suatu perceraian berdasarkan ketentuan yang ada pada UU Perkawinan, antara lain, mengenai status pernikahan, kedudukan anak dan terkait harta benda yang diperoleh oleh suami isteri selama perkawinan. 13 Akibat hukum adalah suatu dampak yang ditimbulkan oleh hukum, terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum.14
Terkait dengan harta yang diperoleh selama perkawinan yang sering disebut dengan harta bersama (harta gono-gini) setelah putusnya hubungan perkawinan diantara suami isteri berdasarkan putusan pengadilan ialah merupakan hal yang sangat penting untuk dijamin, sebab hal tersebut berkaitan dengan kelangsungan kehidupan kedua belah pihak, khususnya bagi pihak isteri setelah berpisah dengan suami sebelum ataupun tidak sama sekali pihak mantan isteri akan melakukan perkawianan selanjutnya. Hal ini dapat dilihat dari Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) tertanggal 09 Oktober 1968 Nomor 89 k/Sip/ 1969 yang menyebutkan bahwa:
“Selama seorang janda tidak kawin lagi dan selama hidupnya harta benda bersama yang dipegang olehnya tidak dapat dibagikan guna menjamin kehidupannya”.
Hal yang menjadi pertimbangan pada putusan mahkamah agung tersebut ialah guna menjamin pemenuhan kebutuhan seorang mantan istri atau janda dari perceraian yang terjadi sebelumnya, agar pada masa transisi setelah perceraian tersebut dapat terjamin hidupnya, dengan atau tanpa menikah lagi setelah perceraian tersebut. Pembagian Harta Benda bersama pada saat perkawinan sebagai akibat hukum dari berakhirnya perkawinan karena terjadinya perceraian diantara pasangan suami isteri telah dimuat dan diatur sedemikian rupa pada Pasal 37 UU Perkawinan yang menyebutkan bahwa: “Bila perkawinan putus karena perceraian hidup, maka pembagian harta benda bersama diatur menurut hukum masing-masing”.
Artinya, jika alasan perceraian karena adanya perselisihan yang terjadi secara terus-menerus, dapat dikatakan bahwa perceraian tersebut termasuk kedalam perceraian hidup, sehingga pembagian harta bersama harus tunduk pada ketentuan Pasal 37 UU Perkawinan. Selain itu pula, apabila dicermati secara seksama Pasal 37 UU Perkawinan juga tidak memberikan keseragaman pemahaman yang jelas dan tegas tentang dengan apa yang dimaksud dengan pembagian harta bersama jika terjadi perceraian.
Selanjutnya, mengenai tata cara pembagian harta bersama dalam ketentuan UU Perkawinan, hanya disebutkan bahwa apabila terjadi perceraian diantara pasangan suami istteri, maka akan berpedoman kepada hukum yang hidup and berkembang dalam lingkungan masyarakat dimana perceraian dan rumah tangga berada dengan kata lain adanya peran serta hukum adat. Apabila merujuk kembali pada penjelasan Pasal 37 UU disebutkan bahwa, “Dibagi pembagian berdasarkan hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian”. Berdasarkan pada Penjelasan Pasal 37 UU Perkawinan tersebut, dapat diketahui jika yang dimaksud dengan kata “hukum masing-masing” dalam Pasal 37 UU Perkawinan adalah berdasarkan ketentuan hukum agama, adat, dan hukum lainnya.
M. Yahya Harahap mengemukakan pendapatnya terkait harta bersama, yaitu:
-
a. Harta bersama terpisah dari harta pribadi masing- masing;
-
b. Harta pribadi tetap menjadi milik pribadi dan dikuasai sepenuhnya oleh pemiliknya (suami atau istri);
-
c. Harta bersama tetap menjadi harta bersama suami istri terpisah sepenuhnya dari harta pribadi.
-
d. Harta bersama terwujud sejak tanggal perkawinan dilangsungkan: Sejak itu dengan sendirinya terbentuk harta bersama tanpa mempersoalkan siapa yang mencari Juga tanpa mempersoalkan atas nama siapa terdaftar;
-
e. Hutang untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama;
-
f. Dalam perkawinan poligami, wujud harta bersama terpisah antara suami dengan masing- masing istri;
-
g. Apabila perkawinan terjadi kematian ataupun perceraian hidup maka: Harta bersama dibagi dua, Masing- masing mendapat setengah bagian;
-
h. Apabila cerai mati bagiannya menjadi tirkah;
-
i. Sita marital atas harta bersama di luar gugat cerai.
Terdapat Konflik norma antara Pasal 22 ayat (2) PP tentang perkwinan dengan Pasal 1910 KUHPerdata mengenai pengaturan tentang saksi keluarga dalam memberikan keterangan pada perkara perceraian akibat adanya perselisiahan secara terus menerus, terkait hal tersebut dapat digunakan asas lex superior derogat legi inferiori yang akan menjadi dasar atau pedoman yaitu digunakan Pasal 1910 KUHPerdata. Keluarga dilarang untuk bersaksi dalam perkara perceraian yang mermiliki hubungan sedarah dengan pihak yang berperkara. Akibat hukum daripada perceraian di Indonesia terhadap harta benda selama perkawinan sesuai dengan penjelasan Pasal 37 UU Perkawinan, yang pada intinya menyebutkan bahwa, harta bersama setelah adanya perceraian dibagi dengan cara atau metode pembagian yang didasarkan pada ketentuan hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaran hukum yang hidup dan tumbuh di masyarakat dalam mengatur tata cara perceraian.
Daftar Pustaka
Adlhiyati, Zakki. “Paradoks Kewajiban Bersaksi Pada Ketentuan Hukum Acara Perdata.” Adhaper: Jurnal Hukum Acara Perdata 4, no. 2 (2019): 129–44.
https://doi.org/https://doi.org/10.36913/jhaper.v4i2.82.
Azizah, Linda. “Analisis Perceraian Dalam Kompilasi Hukum Islam.” Al-’Adalah 10, no. 2 (2012): 415–22.
Chandranegara, Ibnu Sina. “Bentuk-Bentuk Perampingan Dan Harmonisasi Regulasi.” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 26, no. 3 (2019): 435–57.
https://doi.org/https://doi.org/10.20885/iustum.vol26.iss3.art1.
I Gede Arya Kusuma. “Analisis Pasal 4 Ayat (2) Huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Terkait Poligami.” Acta Comitas, Jurnal Hukum Kenotariatan 5, no. 1 (2020): 69–78.
https://doi.org/https://doi.org/10.24843/AC.2020.v05.i01.p06.
I Ketut Sudantra, Ni Nyoman Sukerti, A.A. Istri Ari Atu Dewi. “Pengaturan Perkawinan Pada Gelahang Dalam Awig-Awig Desaa Pekraman.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 4, no. 575–587 (2015): 580.
Irfani, Nurfaqih. “Asas Lex Superior, Lex Specialis, Dan Lex Pesterior: Pemaknaan, Problematika, Dan Penggunaannya Dalam Penalaran Dan Argumentasi Hukum.” Jurnal Legislasi Indonesia 17, no. 3 (2020): 305–25.
https://doi.org/https://doi.org/10.54629/jli.v17i3.711.
Ni Luh Putu Mike Wijayanti S. “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Istri Dalam Perkawinan Poligani Melalui Perjanjian Perkawinan.” Acta Comitas, Jurnal Hukum Kenotariatan 3, no. 2 (2018): 291–300.
https://doi.org/https://doi.org/10.24843/AC.2018.v03.i02.p06.
Ningsih, Natalia, I Made Arya Utama, and I Made Sarjana. “Kekuatan Mengikat Akta Notariil Perjanjian Perkawinan Terkait Harta Bersama Yang Dibuat Pasca Pencatatan Perkawinan.” Acta Comitas, Jurnal Hukum Kenotariatan 2, no. 1 (2017): 12–26. https://doi.org/https://doi.org/10.24843/AC.2017.v02.i01.p02.
Nur Asiah. “Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Perkawinan Dan Hukum Islam.” Jurnal Hukum Samudra Keadilan 10, no. 2 (2015): 204–14.
Rodliyah, Nunung. “Akibat Hukum Perceraian Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.” Keadilan Progresif 5, no. 1 (2014): h. 127.
Sukerti, Ni Nyoman, and I Gst Ayu Agung Ariani. “Budaya Hukum Masyarakat Adat Bali Terhadap Eksistensi Perkawinan Beda Wangsa.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 7, no. 4 (2018): 516–28.
https://doi.org/https://doi.org/10.24843/jmhu.2018.v07.i04.p07.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 186, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6401).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
611
Discussion and feedback