Partai Politik Lokal Sebagai Upaya Perjuangan Identitas Politik di Aceh

Septi Nur Wijayanti 1, Kelik Iswandi2

1Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, E-mail: [email protected]

2Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada, E-mail : [email protected]

Info Artikel

Masuk: 5 Juli 2021

Diterima: 16 September 2022

Terbit: 28 September 2022

Keywords:

Local political party; Political identity; Aceh


Kata kunci:

Partai politik lokal; Identitas politik; Aceh

Corresponding Author:

Septi Nur Wijayanti, E-mail:

[email protected]

DOI:

10.24843/JMHU.2022.v11.i03.

p10.


Abstract

The purpose of this research is to elaborate the existence of local political parties in Aceh and to examine the role of local political parties in the struggle for political identity in Aceh. This article used library research and field study through interviews with several sources and respondents to sharpen the analysiss. The results the existence of local political parties in Aceh. The presence of local political parties changed the pattern of physical struggle into political struggle. The existence of local political parties is used as an effort to anticipate the disintegration that ex-combatants want to carry out. Political struggle through the cadre of local political parties in order to dominate the membership structure of the people's representatives. Therefore, formal legal mechanisms in maintaining the implementation of norms for the implementation of Islamic law through the formation of Qonun (Regional Regulations) which are spearheaded by members of the Council from local political parties. This is one of the efforts to preserve the existence of local communities based on special rules.

Abstrak

Tujuan penelitian yaitu untuk mengelaborasi keberadaan partai politik lokal di Aceh dan mengkaji peran partai politik lokal dalam upaya perjuangan identitas politik di Aceh. Metode penelitian menggunakan studi kepustakaan dan untuk mempertajam analisa dilakukan studi lapangan melalui wawancara dengan beberapa narasumber dan responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjuangan identitas politik dimulai sejak adanya perjanjian Helsinki yang memberikan dampak keberadaan partai politik lokal di Aceh. Kehadiran partai politik lokal mengubah pola perjuangan fisik menjadi perjuangan politis. Adanya partai politik lokal dijadikan sebagai salah satu upaya untuk mengantisipasi disintegrasi yang ingin dilakukan oleh para mantan kombatan. Perjuangan politis melalui pengkaderan partai politik lokal supaya dapat mendominasi struktur keanggotaan wakil rakyat. Sehingga melalui mekanisme legal formal dalam mempertahankan implementasi norma-norma pelaksanaan syari’at Islam melalui terbentuknya Qonun (Peraturan Daerah) yang dipelopori oleh anggota Dewan dari partai politik lokal. Hal ini merupakan salah satui upaya untuk

melestarikan eksistensi masyarakat lokal berdasarkan aturan khusus.

  • 1.    Pendahuluan

Pada tanggal 15 Agustus 2005, di Filandia diselenggarakan kesepakatan perdamaian antara pemerintah RI dengan perwakilan GAM 1 yang menghasilkan terbentuknya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Perjanjian tersebut disebut dengan Perjanjian Helsinki yang dianggap sebagai jalan pintas yang dilakukan oleh kedua belah pihak dalam mengatasi konflik yang telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) 2 . Melalui perundingan tersebut, dijadikan sebagai langkah awal mengubah peta politik demokrasi yang semula dilakukan dengan cara kekerasan berubah menjadi perjuangan politik. Salah satu isi dari perundingan tersebut bahwa untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat lokal maka dibentuklah partai politik lokal. Melalui partai politik lokal ini, mendukung perubahan pergerakan para mantan pejuang (kombatan) GAM dari perjuangan fisik menjadi perjuangan politis. Sejalan dengan hal tersebut, Axelroad berpendapat bahwa kedudukan partai politik adalah untuk memperoleh kekuasaan 3 . Pemerintah secara yuridis semakin menguatkan kelegalan berdirinya partai lokal di Aceh dengan mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal Aceh.

Partai politik lokal Aceh berjuang untuk mempertahankan eksistensi identitas politik islam dalam sistem pemerintahan Aceh. Hal tersebut sejalan dengan salah satu fungsi penting partai politik untuk rekrutmen politik guna mengisi jabatan-jabatan politik 4. Selain itu, Jimly Assiddiqie berpendapatan bahwa partai politik menjadi media dalam kegiatan bernegara 5 . Pergerakan politis tersebut dimulai sejak diselenggarakannya pilkada untuk memilih kepala daerah pada tanggal 11 Desember 2006 yang tersebar di 19 kabupaten/kota. Tanpa diduga, ternyata kader yang berasal dari mantan kombatan GAM dan Aktivis SIRA yaitu Irwandi-Nazar berhasil mendapatkan kepercayaan dari masyarakat Aceh. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Aceh mempunyai harapan

terhadap para mantan kombatan GAM untuk bisa tetap memperjuangkan nilai-nilai lokal melalui kepemimpinan di pemerintahan.

Tahap berikutnya melalui pemilu 2009 menghasilkan 60% komposisi partai lokal di keanggotaan Dewan. Akan tetapi, perolehan suara partai politik lokal Aceh mengalami penurunan pada pemilu 2014 hanya memperoleh suara 32% dan meningkat sedikit pada pemilu 2019 dengan 40%. Dari berbagai penelitian, dinamika perolehan suara partai lokal tersebut dikarenakan faktor program kerja dan figur politik. 6 Kepemimpinan figur politik sangat berpengaruh terhadap perilaku pemilih 7. Oleh karena itu, guna menguatkan partai politik dibutuhkan peranan partai politik dalam pemilihan umum.

Adanya fakta merosotnya perolehan suara partai politik lokal Aceh memunculkan suatu permasalahan berkaitan dengan eksistensinya dalam memperjuangkan identitas politik di Aceh. Oleh karena itu terdapat dua rumusan masalah yang diangkat dalam tulisan ini yaitu: (1) Bagaimanakah keberadaan partai politik lokal di Aceh? dan (2) Bagaimanakah peran partai politik lokal dalam upaya perjuangan identitas politik di Aceh? perlu dikaji sejauh mana kontribusi partai politik lokal dalam memperjuangkan identitas politik di Aceh sebagai tujuan dari penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh Apri Rotin Djusfi (2019) menjelaskan mengenai kontribusi partai politik lokal terhadap pemilih.8 Djusfi menekankan bahwa partai politik lokal harus mampu menawarkan program politik yang berfokus pada permasalahan-permasalahan aktual yang dialami pemilih.9 Akan tetapi, penelitian tersebut belum mengkaji mengenai kontribusi partai politik lokal terhadap identitas politik di Aceh. Hal inilah yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Sehingga perlunya penelaahan untuk mengupas partai politik lokal sebagai upaya perjuangan identitas politik di Aceh.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian yang digunakan melalui dua metode yaitu metode penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif dilakukan dengan meneliti dokumen hukum, regulasi, bahan-bahan pustaka atau data sekunder lainnya untuk menngungkap dan menemukan fakta-fakta yuridis partai politik dan legitimasi partai politik lokal. Guna memperkuat argumentasi dan data-data penelitian, penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh dari wawancara terhadap responden penelitian. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkap dan menemukan fakta-fakta mengenai partai politik lokal dan perannya dalam demokratisasi lokal, khususnya di Provinsi Aceh.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Keberadaan Partai Politik Lokal di Aceh

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (selanjutnya disebut UUPA) menjadi landasan hukum kehadiran partai lokal dalam tata hukum di Indonesia. Tentu saja hal tersebut mempengaruhi perkembangan demokrasi di negara kita. Keberadaan partai politik lokal di Aceh sangat jelas diatur dalam UUPA tersebut. Kehadiran partai politik lokal merupakan langkah perdamaian yang disepakati oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka untuk mengakhiri konflik. Perundingan tersebut difasilitasi oleh sebuah lembaga internasional yaitu Crisis Management Initiatif (CMI), yang dipimpin mantan Presiden Firlandia Martti Ahtisaari. Penyelesaian konflik tersebut dilakukan pada saat kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Diskusi perdamaian Helsinki diawali dengan melalui pembicaraan secara informal antara Pemerintah RI dengan perwakilan GAM yang diawali bulan Januari hingga Mei 2005, dan berlangsung dalam empat tahap perundingan. Yang pada akhirnya terjadilan kesepakatan dengan menandatangani sebuah Nota Kesepahaman (MoU) tepatnya tanggal 15 Agustus 2005.

Perjanjian Helsinki tersebut dibuka dengan adanya kesepakatan mengakhiri konflik antara Pemerintah RI dengan GAM:

“.......Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia. Para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh pasca Tsunami tanggal 26 Desember 2004 dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan. Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya. Nota Kesepahaman ini memerinci isi persetujuan yang dicapai dan prinsip-prinsip yang akan memandu proses transformasi ....”.10

Kutipan diatas merepresentaikan itikad baik dalam menyelesaikan konflik Aceh dengan damai. Perjanjian Helsinki ini merupakan proses perubahan transformasi politik secara fundamental, yang mengubah konflik penuh dengan kekerasan fisik berubah dalam demokratisasi politik. Dalam rangka memenuhi kesepakatan tersebut proses transformasi akan dilakukan sesuai dengan materi perjanjian antara lain: penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, untuk meningkatkan partisipasi politik melalui partai lokal, ekonomi, peraturan perundang-undangan, hak asasi manusia (HAM), hingga masalah amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat. Untuk mewujudkan tersebut, pemerintah menindaklanjuti Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal Aceh. Rakyat Aceh ditoleransi maksimal 18 bulan diperbolehkan mendirikan partai politik berbasis lokal.11 Senada disampaikan oleh Insan Ansari dalam tulisannya, bahwa perjanjian Helsinki melahirkan UUPA

Nomor 11 Tahun 2006, yang didalam bab XI mengatur tentang keberadaan partai politik lokal12.

Legalisasi kehadiran partai lokal di Aceh ditindaklanjuti oleh Pemerintah Aceh dengan membuat Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2007 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik dan Partai Politik Lokal sebagai bentuk kontribusi subsidi finansial kepada partai politik dan partai politik lokal. Selain itu untuk menyongsong pemilu 2009, diaturlah hal terkait peserta pemilu 2009 dengan mengesahkan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota. Adanya regulasi yang disahkan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, membuktikan bahwa eksistensi partai politik lokal diakui dalam sistem hukum di Indonesia. Dengan demikian, dalam sistem politik di Aceh terdiri dari partai politik atau yang sering disebut dengan partai nasional dan juga adanya partai politik lokal atau disebut dengan parlok.

Definisi partai politik dan partai politik lokal dalam UUPA terdapat dalam ketentuan yang berbeda. Pengertian partai politik secara umum direduksi dari Undang-Undang Partai Politik dicantumkan dalam Pasal 1 angka 13 UUPA bahwa partai politik adalah organisasi politik didirikan sekelompok Warga Negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum. Sedangkan pengertian partai politik lokal diatur dalam Pasal 1 angka 14 yang mendefinisikan sebagai organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan anggota DPRA/DPRK, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota. Ketentuan mengenai definisi partai politik lokal sejalan dengan amanah Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur kewenangan partai politik dalam pencalonan kandidat pemilihan umum 13. Hal tersebut selaras dengan fungsi utama partai politik dalam mencalonkan kandidat dalam pemilihan umum 14. Partai politik berperan dalam menumbuhkan partisipasi politik, memberikan informasi kepada pemilih, dan membangun komunitas dengan visi politik yang sama 15 . Secara tradisional, partisipasi politik dimaknai sebagai pelibatan warga negara dalam pemilihan umum 16. Partai politik secara demokrasi

kontemporer membutuhkan pers yang bagus untuk menarik pemilih 17. Selain itu, partai politik juga dapat menggunakan sosial media 18.

UUPA disahkan melalui dasar pertimbangan secara filosofis dan sosiologis yang melatarbelakanginya. Secara filosofis, berdasarkan UUD 1945 khusunya Pasal 18 Ayat (5) mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya adanya karakter khas sejarah perjuangan “Rakyat Serambi Mekah” ini yang mempunyai pertahanan dan kegigihan dalam sejarah ketatanegaraan yang berlandaskan syari’at islam sehingga menimbulkan kultur islam yang solid dijadikan sebagai faktor pertimbangan disahkannya UUPA ini. Kekuatan perjuangan tersebut merupakan faktor keberhasilan dalam mewujudkan kemerdekaan. Secara sosiologis, adanya pertimbangan bahwa kesejahteraan rakyat, keadilan, perlindungan hak asasi manusia, pelaksanaan pembangunan serta penyelenggaraan pemerintahan belum sepenuhnya terealisasi di Aceh sehingga perlunya diterapkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dikembangkan. Bahan pertimbangan sosiologis yang lebih penting yaitu tumbuhnya solidaritas rakyat pada saat terjadi bencana alam tsunami, agar bisa bangkit dan membangun potensi yang bisa dikembangkan.

Dapat dikatakan partai politik lokal merupakan organisasi yang mempunyai jaringan khusus dalam wilayah tertentu yang tidak melingkupi tingkat nasional, namun bisa berkompetisi secara nasional. Hal mendasar dalam partai politik lokal adalah ruang lingkupnya yang terbatas pada tingkat lokal, yang bersifat limitasi dalam suatu wilayah tertentu.

Sementara itu menurut J. Kristiadi, paling tidak terdapat 2 (dua) faktor penting terkait dengan munculnya partai politik lokal. Faktor yang pertama adanya kemajemukan masyarakat Indonesia tersebar di wilayah Indonesia mestinya memiliki alat politik yang bisa menopang kepentingan rakyat lokal. Hal ini yang belum bisa dipenuhi partai politik berskala nasional, karena tidak akan dapat menampung dan mengagregasikan kepentingan masyarakat di daerah yang beragam. Faktor kedua, adanya pilkada langsung, supaya bisa memilih calon pemimpin yang dikehendaki, diharap menjadi pengayom yang bisa mengakomodasi kepentingan mereka.19

Keberadaan partai lokal secara politik menguntungkan sekali. Mereka dapat mensejahterakan masyarakat lokalnya melalui partai lokal. Peluang bagi orang yang menginginkan perhatian lebih dari pemerintah pusat memiliki peluang. Meskipun terdapat perbedaan partai nasional dan partai lokal dari segi pengkaderan. Selain itu, dinamika antara partai lokal dan partai nasional terdapat pada tatanan ideologi

kepartaian. 20 Ideologi partai politik mempengaruhi integrasi kebijakan 21 . Partai nasional mempunyai program pengkaderan yang terstruktur sedangkan partai lokal tidak, hal ini dikarenakan partai lokal masih baru. Pengaturan teknis partai lokal secara umum sama dengan partai nasional tapi dari segi pencalonan terdapat keistimewaan bagi partai lokal. Partai lokal bisa mengajukan 120% lebih 20% dari partai nasional. Diatur dalam UU Keistimewaan Aceh dan Qonun. Tahun 2014 partai lokal dan partai nasional memiliki kuota yang sama 120%.22

Respon rakyat Aceh menyambut kehadiran partai politik lokal bisa dikatakan sangat antusias. Hal ini dibuktikan adanya 6 partai lokal yang lolos verifikasi pemilu 2009. Berkompetisi dengan partai nasional sebanyak 38 partai untuk memperebutkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (tingkat propinsi) sebanyak 69 dan 645 kursi untuk keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota dari 23 kabupaten/kota.

Dalam perkembangannya, dari kepersertaan pemilu 2009 hanya satu parpol yang bertahan yakni PA, terdapat 5% electoral threshold yang diatur dalam Qonun. Yang lain tidak mampu bertahan dan melewati ambang tersebut. Sehingga yang lain merupakan partai baru artinya partai lama yang di rekondisi. Lama kelamaan akan menuju ke arah yang sama, akan tetapi membutuhkan waktu yang lama. Karena PA berperan sangat penting untuk mempertahankan keistimewaan Aceh. Partai lokal non GAM mengalami tekanan. Jadi seluruh partai mengalami tekanan karena cita-cita besar menjadikan Aceh menjadi negara merdeka. Kalau GAM itu gerakan nasionalis bukan gerakan Islam. Di masa perang, GAM membantah dikaitkan dengan agenda Islam. Keistimewaan Aceh lahir sejak 1959 ketika pemberontakan Darul Islam yang perdamaiannya melalui UU Keistimewaan Aceh.23

Pada pemilu 2014 jumlah partai lokal yang lolos verifikasi KPU mengalami penurunan yaitu hanya ada 3 partai lokal yaitu Partai Aceh, Partai Nasional Aceh dan Partai Damai Aceh. Lima tahun kemudian pada pemilu 2019, terdapat kenaikan jumlah partai lokal yang lolos verifikasi sejumlah 4 yaitu Partai Aceh, Partai Daulat Aceh, Partai Nangroe Aceh serta partai SIRA.

Dinamika pergerakan jumlah partai politik lokal di Aceh dalam pemilu dipengaruhi oleh penurunan kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin dari partai lokal yang menimbulkan permasalahan muncul dalam perkembangannya, beberapa kepala daerah yang sudah kalah dari partai lokal seperti di Beuren. Tetapi di Aceh Utara partai lokal masih kuat. Ulama bukan bagian dari GAM. Tetapi GAM juga punya sayap ulama. PA, PNA, Partai Sira merupakan bagian dari GAM tetapi kalau PDA bukan merupakan bagian GAM. Persoalan yang dihadapi oleh partai lokal ialah beban sejarah lama tetapi mereka sangat penting bagi Aceh. Penting dalam hal seperti perjuangan otonomi khusus seluas-luasnya. Bagi orang Aceh ini menjadi dilema antara

memperkuat keistimewaan Aceh atau disisi lain mereka kecewa terhadap performa mereka di pemerintahan. Walaupun perolehan suara turun mereka tidak akan menjadi nomor 2 dan partai nasional tidak mungkin menjadi pemenang di Aceh. Sebab sejarah negosiator masa lalu. Yang paling banyak bersuara dan memertahankan ialah partai lokal. Ketika pada kasus gugatan ke MK yang paling banyak mempertahankan adalah partai lokal. Ini menjadi dilema karena disisi lain ia butuh performer untuk meningkatkan kesejahteraan. Secara individual sadar adanya kelemahan akan tetapi secara organisator tidak. Pada 2017 partai lokal bersifat terbuka, akan tetapi pada kenyataanya semakin tertutup. Tokoh non GAM, Ulama, akademisi dulu banyak yang masuk di PA. Orang sudah merasa bukan bagian dari partai. Rekrutemen bersifat tertutup, dulu banyak yang ditarik untuk diusung, sekarang semakin tertutup. Banyak yang berpindah dari partai lokal ke partai nasional. Situasi yang ada saat ini terdapat penurunan ideologi.

  • 3.2    Peran Partai Politik Lokal dalam Upaya Perjuangan Identitas Politik di Aceh

Peran partai politik dalam teorinya, merupakan media dalam melaksanakan fungsi-fungsi politik, semisal sosialisasi politik, rekrutmen politik, artikulasi dan agregasi kepentingan politik masyarakat. Terdapat dua sub sistem politik berdasarkan perspektif fungsional, yakni suprasruktur dan infraastruktur politik. Definisi infrastruktur politik (ISP) secara singkat yakni adanya dinamika organisasi sosial politik di luar organisasi negara yang menciptakan suasana kehidupan politik dalam masyarakat. Terdapat 5 komponen ISP yaitu, partai politik, tokoh politik, interest group, pressure group dan alat komunikasi politik. Sedangkan suasana kehidupan politik di lingkungan organisasi pemerintahan dalam menjalankan peran dan fungsinya disebut dengan suprastruktur politik (SSP). Selain itu, partai politik lokal yang diberikan kesempatan untuk duduk di pemerintahan memiliki peran dalam penyelenggaraan pemerintahan serta menciptakan good governance dalam penyelenggaraan otonomi dan partai politik dianggap sebagai perancang utama kebijakan publik 25.

Secara khusus mengenai asas, tujuan dan fungsi sebagai penggambaran kedudukan politik identitas dalam partai politik lokal di aceh, dicantumkan dalam Pasal 77 ayat (2) UUPA, yang menjelaskan bahwa partai politik lokal dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan aspirasi, agama, adat istiadat, dan filosofi kehidupan masyarakat Aceh. Dari ketentuan tersebut, bisa ditafsirkan terdapat pembolehan memasukkan kenakeragaman ciri khas kelokalan masyarakat Aceh. Perbedaan inilah yang menunjukkan identitas politik dari partai lokal masing-masing.

Berkaitan dengan polarisasi partai politik lokal dan partai politik nasional, untuk menengahi status identitas dan modernitas suatu partai politik maka harus disesuaikan dengan proses kehidupan negara. Bahwa, ikhtiar mencerminkan politik identitas lebih diperjuangkan melalui kebebasan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan melalui asas desentralisasi,dekonsentrasi dan tugas pembantuan, tidak hanya terbatas pada ideologi dan etnisitas. Dengan penggunaan asas-asas pemerintahan tersebut, diharapkan daerah bisa mengelola urusan rumah tangganya sendiri dengan memperhatikan batasan-batasan tercantum dalam konstitusi. Namun penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan asas-asas tersebut dalam

empirisnya menimbulkan penafsiran di tingkat lokal terutama kalangan atas dalam membela kepentingan kelompoknya, sehingga memberikan pengaruh munculnya ketidaksamaan kebijakan di masing-masing daerah. Kondisi tersebut didukung dengan pendapat Tarrow yang menyebutkan bahwa partai politik memiliki pengaruh dalam menentukan tekanan politik pada masyarakat 26 . Dari sinilah berdampak terhadap persoalan politik identitas yang timbul di kalangan elite lokal dalam memperjuangkan aspirasinya. Hal ini semestinya memperoleh apresiasi dari pemerintah, agar supaya mengeluarkan limitasi terhadap pergeraka elite lokal supaya mematuhi ideologi Pancasila. Dengan demikian pemerintah pusat akan lebih mudah melakukan kontrol terhadap partai. Karena pada hakikatnya ideologi politik memiliki peran penting dalam membentuk perilaku individu dan proses informasi 27. Kebenaran informasi dapat dipengaruhi oleh keyakinan politik 28.

Langkah awal sebagai upaya perjuangan identitas politik di Aceh dimulai pada tahun 2006 pada saat diselenggarakan untuk pertama kalinya pilkada secara langsung pasca terjadinya perundingan perdamaian Helsinki. Tanggal 11 Desember 2006 serentak dilaksanakan pilkada 19 Kabupaten/Kota. Beberapa hal yang membedakan penyelenggaraan pilkada di Aceh dengan daerah lain antara lain penyelenggara dilakukan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Nanggroe Aceh Darussalam. Selain itu, bahwa calon kandidat, pada waktu itu diperbolehkan berasal dari calon perseorangan. Bukti adanya perjuangan ini, terpilihlah pasangan idependen Irwandi-Nazar yang berlatar belakang para mantan kombatan GAM dan aktivis SIRA.

Pasca kemenangan partai GAM di pilkada 2006, pada tahun 2007, Pemerintah Indonesia mengatur lebih kongkrit terkait dengan pembentukan partai politik lokal melalui Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2007 tentang Partai Lokal di Aceh. Dampak dari adanya dikeluarkannya PP tersebut, menjelang pemilu 2009 terbentuklah 12 partai lokal, namun yang berhasil lolos verifikasi hanyalah 6 partai politik lokal. Partai-partai tersebut adalah Partai Aceh, Partai Rakyat Aceh, Partai Suara Independen Rakyat Aceh, Partai Aceh Aman Sejahtera, Partai Bersatu Atjeh, dan Partai Daulat Aceh.29 Kepercayaan masyarakat terhadap keikutsertaan partai lokal dalam pemilu 2009 mulai meningkat seiring dengan kenaikan yang cukup signifikan perolehan suara yang diperoleh terutama Partai Aceh (PA). Kader partai Aceh yang didominasi para mantan kombatan GAM berhasil menduduki 36 kursi DPRA dari 69 kursi yang diperebutkan.

Dinamika mobilitas partai lokal apabila diukur dari jumlah partai yang lolos verifikasi KPU dalam pemilu selanjutnya mengalami penurunan. Pemilu 2014, hanya 3 partai

lokal yang lolos menjadi peserta pemilu, yakni Partai Aceh, Partai Nasional Aceh dan Partai Damai Aceh. Lima tahun kemudian pada pemilu 2019, terdapat 4 partai lokal yang lolos verifikasi sekaligus mengikuti pemilu 2019 yaitu Partai Aceh, Partai Daulat Aceh, Partai Nangroe Aceh serta partai SIRA.

Selain dinamika pasang surut jumlah partai lokal sebagai peserta pemilu, perjuangan identitas politik lokal juga dipengaruhi adanya transformasi pergeseran para mantan kombatan GAM dari penuntutan kemerdekaan Aceh berubah menjadi kekuatan politik. Faktor hakiki dari petisi politik identitas gerakan ini adalah mengharapkan dapat mengimplementasikan nilai-nilai islam sesuai dengan ketentuannya dalam masyarakat Aceh. Hal ini terlihat dari beberapa aturan peraturan daerah (Qanun) yang didominasi dengan pemuatan nilai islam. Masyarakat lokal terutama mantan kombatan yang menghendaki adanya pengaturan secara khusus sesuai dengan ajaran islam, mengupayakannya melalui eksistensi partai lokal. Selain itu kehadirannya paling tidak bisa mematahkan keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI. Sebagai wadah yang bisa mewujudkan cita-cita tersebut dengan menggunakan sarana sistem politik di aceh, dan bukan melalui kekerasan senjata. Sebagai salah satu contoh adanya Bendera Aceh dan Lembaga Wali Nanggroe merupakan gambaran mewujudkan identitas politik partai aceh, meskipun masih menimbulkan polemik di kalangan masyarakat. Dengan demikian untuk meyakinkan bahwa kepentingan golongan elite bisa termodifikasi melalui politik identitas sehingga tidak hanya terbatas pada konsep ideologi, etnis dan agama.

Kontribusi perjuangan identitas partai lokal juga mendapat respon yang sangat baik dari Majelis Adat Aceh (MAA) dengan melihat banyaknya kader partai lokal yang menjadi anggota legislatif di DPRK maupun DPRA. Peranan partai lokal sangat bagus karena ketika duduk di legislatif banyak menyentuh masyarakat sehingga sangat penting keberadaannya. Konstribusi partai lokal sangat banyak berupa bantuan untuk fakir miskin, beasiswa untuk anak yatim dan hafiz. Banyak Qonun yang diperjuangkan oleh partai lokal seperti Qonun adat istiadat, lembaga adatm MoU peradilan adat, Pergub peyelesaian sengketa peradilan adat.30

Eksistensi partai lokal merupakan semangat mereka untuk survive sama dengan partai nasional, ketika bertahan di parlemen akan menaikkan gairah. Sejak adanya partai lokal sebagian besar padidarlemen di Kabupaten/Kota atau Provinsi dikuasai oleh partai lokal tetapi pelan-pelan terjadi penurunan dan diambil oleh partai nasional. Penurunan dikarenakan bergesernya masyarakat dari pemilih partai lokal ke partai nasional. Kepala daerah dari partai lokal tidak mejamin perolehan kursi partai lokal.31 Hal ini menunjukkan bahwa partai politik lokal harus melakukan strategi defensif, yakni mempertahankan loyalitas dari pemilih yang ada untuk semakin menguatkan eksistensinya di Aceh.32

Karakter partai lokal dengan partai nasional jauh berbeda, sistem pola rekrutmen dilihat dari sosiologi politik terdapat empat hal penting yakni komunikasi politik,

sosialisasi politik, partisipasi dan rekrutmen politik artinya jelas kalau partai nasional lebih unggul karena adanya SOP rekrutmen politik sedangkan partai lokal tidak ada SOP rekrutmen politik. Sehingga karena rekrutmen politik itu output yang dihasilkan tidak mampu maksimal misalnya dalam mengadu argumentasi perempuan harus terhambat adanya patriarki. Semestinya kaum perempuan memiliki kapabilitas dalam pembentukan kebijakan publik. Sebab kita tahu bahwa kualitas negara ditentukan dengan melibatkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam membentuk kebijakan publik. Bagaimana bisa dilibatkan seseorang jika kapabilitasnya tidak ada? Paradigma ini harus dirubah oleh partai lokal agar bisa bertahan di pemerintahan, paradigma bagaimana bisa meningkatkan kapabilitas dan dekat dengan masyarakat? Sebabnya mungkin terjadi sebagai akibat dari proses rekrutmen. Peran partai lokal dalam membentuk Qonun sangat berat. Contoh pembentukan Qonun perlindungan perempuan dan anak tidak disetujui oleh forum dalam sidang dikarenakan alasan tidak bernilai ekonomis.33

Pro dan kontra keberadaan partai lokal di Aceh merupakan suatu perdebatan yang masih terjadi sampai sekarang, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial daerah lain yang mengingikan hadirnya partai lokal di daeranya. Apabila ditelaah terdapat kelebihan Partai politik lokal yaitu sebagai berikut:

  • 1.    Eksistensi partai politik lokal dijadikan “kendaraan politik” oleh para mantan kombagan GAM yang telah menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hasil dari Memorandum of Unterstanding (MoU) di Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

  • 2.    Membangun kontribusi masyarakat Aceh melalui partai politik lokal sebagai sarana yang sangat berguna untuk mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi Indonesia.

  • 3.    Memperkuat hubungan pemerintah pusat dengan daerah dan sebagai penghubung masyarakat dengan elit-elit politik di Aceh.

  • 4.    Partai politik lokal menjadi sarana terakomodasinya partisipasi politik masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam berpolitik akan terciptanya hubungan yang baik antara pemimpin dengan masyarakatnya serta akan terbangun jembatan politik yang mewujudkan kebijakan berbasis aspirasi masyarakat.

  • 5.    Adanya Partai politik lokal dapat meredam kehendak membentuk pemerintahan sendiri. Melalui partai politik lokal masyarakat secara aktif dan terbuka dalam proses pemilihan pemimpinannya sehingga menghasilkan karakteristik kepemimpinan politik selera masyarakat.

  • 6.    Memperkuat partai politik lokal dalam melakukan rekrutmen politik yang berbasis masyarakat lokal. Dengan rekrutmen politik masyarakat lokal akan melahirkan legitimasi yang berbasis kedaerahan dan wilayahnya sehingga akan melahirkan kepemimpinan yang selektif dan efektif.

  • 7.    Partai politik lokal berdampingan dengan partai nasional diharapkan dapat berperan sebagai wadah sarana pendidikan politik

  • 8.    Melalui politik, dapat memanfaatkan dan mendayagunakan potensi lokal secara maksimal

  • 9.    Lahirnya partai lokal diharapkan dapat menjamin pembaharuan kepemimpinan politik di daerah yang berkesinambungan. Regenerasi kepemimpinan politik yang berkesinambunagn akan memberikan harapan bagi masyarakat untuk

memberikan aspirasi politik kedaerahannya yang lebih baik dan menciptakan pemerintahan yang baik.34

Selain kelebihan, terdapat beberapa kelemahan partai politik lokal, antara lain:

  • 1.    Arah dan mekanisme pengambilan kebijakan publik sulit dilakukan identifikasi, hal ini dikarenakan adanya perbedaan pandangan antara partai lokal satu dengan lainnya

  • 2.    Munculnya konflik internal antara pengurus dan anggota partai politik lokal disebabkan kurang demokratisnya manajemen organisasi

  • 3.    Belum memiliki mekanisme akuntabilitas yang baik

  • 4.    Terdapat pandangan yang berbeda dalam dalam organisasi partai politik lokal terutama pada saat melakukan penentuan politik, sehingga sering menimbulkan konflik di masyarakat

  • 5.    Partai politik lokal melakukan kritikan kepada pemerintah terutama yang tidak sesuai dengan kepentingan mereka

  • 6.    Keadilan yang diberikan kepada kader belum merata, hal ini disebabkan adanya persaingan yang diciptakan dalam satu partai35.

Untuk mempertahankan eksistensi partai lokal, menurut Dr. Rasyidin, Pendidikan politik harus diperhatikan baik pendidikan politik makro maupun mikro. Dalam partai nasional, jika ada caleg mau maju di briefing terlebih dahulu berkaitan dengan visi misi partai tetapi di partai lokal tidak. Terdapat sedo scate yakni orang-orang yang main di partai lokal merupakan kombatan atau pembangkang yang menjadi ketua partai politik lokal. Orang yang mengelola partai tidak memahami perpolitikan. Mereka berpandangan seperti itu karena kurangnya pendidikan politik. Adanya partai politik lokal seharusnya mewarnai tetapi ini tidak mewarnai.36

Lebih lanjut Dr. Rizwan menjelaskan bahwa partai lokal adalah kelanjutan dari perjuangan politik GAM. Masyarakat sangat dekat dengan isu-isu kemerdekaan. Walaupun Gubernur dan Bupati/Walikota dikuasai tetapi kalau parlemen belum dikuasi terasa tidak sempurna. Hal ini terbukti pada kemenangan tahun 2006 di bidang eksekutif (pilkada) kemudian di 2009 di bidang legislatif. Namun beberapa kelemahannya, Partai lokal adalah hasil perjuangan yang menjadi beban besar bagi PA dari sejarah masa lalu. Beban yang sangat berat ini tidak didukung oleh kapasitas legislator. Karena ini transisi dari perang gerilya dan politik. Perubahan perilaku pola hidup tokoh-tokoh GAM. Ini merupakan persoalan pada pengelolaan dana

pembangunan. Untuk mengelola tersebut, mereka memiliki organisasi transisi dari GAM ke PA yakni KPA (Komite Peralihan Aceh). Dimana dalam struktur KPA

tokohnya ada yang terlibat dalam struktur PA. Elit-elit GAM yang dulu menjabat

sebagai Panglima GAM menjabat sebagai struktural Partai Aceh ditingkat pusat.37 Dengan  demikian,  mereka memainkan  peran untuk menggunakan  dana

pembangunan untuk membangun rumah besar pribadi. KPA ini sebenarnya GAM dalam bentuk baru yang menghandle pemerintah. Namun seiring dengan

perkembangan waktu, para tokoh KPA ini berubah yang mengakibatkan masyarakat kecewa dengan kepribadian mereka (untuk kepentingan pribadi). Apalagi Kapasitas partai lokal tidak terupgrade. Akhirnya dengan kelompok sipil non GAM terjadi bentrokan. Gerakan sipil sudah mulai mengkritik Gubernur, Bupati, Walikota, DPRA yang mengakibatkan terjadinya penurunan dukungan terhadap PA. Namun menurut beliau Pemerintah pusat juga memiliki peran dalam hal ini. Ada beberapa kasus sebagian pembantaian tidak sepakat dengan perdamaian. Di pedalaman Aceh Utara cukup banyak pembantaian rugi tidak menyakinkan politik seperti cita-cita dari awal.38

Pernyataan tersebut didukung oleh salah satu anggota DPRA dari partai PKS, bahwa partai lokal merupakan salah satu bentuk keistimewaan , dan sangat penting tentunya sebagai cirikhas tetapi harus didukung oleh SDM yang kuat minimal mereka bersama sama dengan partai nasional mempertahankan apa maunya daerah untuk kemajuan daerah . Selain itu juga harus didukung pendidikannya.39

Sedangkan menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Dr. Yusrisal, kalau dari konsep dasarnya partai lokal dibutuhkan, namun permasalahannya terjadi pada kepengurusan partainya. Tapi dengan model yang ada selama ini sama saja tidak ada peningkatan. Jadi menurut beliau partai politik lokal masih dibutuhkan tapi konsepnya harus dirubah. Visinya harus dirubah, bagaimana pemberdayaan politik di Aceh. Partai lokal ini alergi dengan akademisi, kerja samanya parsial tidak jadi mitra. Makannya jadinya seperti ini. Penyusunan NA dibancakan siapa dekat dapat bahkan yang tidak punya kapasitas asal dia dekat dia bisa buat. Jadi kondisinya seperti itu.40

Secara teoritis, permasalahan partai politik lokal meliputi permasalahan keuangan, manajemen konflik internal, pengawasan partai, dan manajemen hubungan eksternal antara partai politik lokal dan partai politik nasional.41 Permasalahan-permasalahan tersebut sangat kompleks. Partai lokal harus terbuka dengan adanya kajian-kajian akademik untuk mengatasi problem yang muncul. Di samping itu, dinamika politik Indonesia yang berlangsung secara cepat membawa tantangan bagi partai politik lokal untuk bisa menjaga eksistensinya. Partai lokal juga harus melakukan pembenahan di tengah keterbatasan sumber daya manusia yang mereka miliki 42 . Pembenahan tersebut dapat melalui peningkatan kualitas, kapasitas, kapabilitas, dan integritas sumber daya manusia atau anggota partai politik lokal.43

4. Kesimpulan

Sesuai dengan uraian dan pembahasan sebelumnya, keberadaan partai lokal diharapkan akan membuka peluang membangun terwujudnya partisipasi politik masyarakat daerah dalam mengakomodasi kepentingan lokal. Kehadiran partai politik lokal mengubah pola perjuangan fisik menjadi perjuangan politis. Tuntutan politik identitas partai lokal di Aceh, agar bisa terealisasi pelaksanaan syariat islam secara kaffah di Aceh 44, melalui Qanun yang mendahulukan unsur keislaman. Melalui partai lokal, para mantan kombatan mengupayakan agar bisa mempertahankan kekhususan masyarakat lokal. Untuk menjaga eksistensi partai lokal di Aceh supaya dapat memperjuangkan identitas politiknya, maka sebaiknya partai politik lokal: Pertama, memiliki sumber daya manusia yang kuat sebagai faktor pendukung yang utama. Kedua, pendidikan politik harus diperhatikan baik pendidikan politik makro maupun mikro. Ketiga, dilakukannya restrukturisasi pengurus partai lokal serta konsolidasi kader sehingga bisa mewakili aspirasi masyarakat Aceh.

Daftar Pustaka

Abdurahman, Ali, and Bilal Dewansyah. “Asymmetric Decentralization and Peace Building: A Comparison of Aceh and Northern Ireland.” PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) 06, no. 02 (August 2019): 254–75. https://doi.org/10.22304/pjih.v6n2.a3.

Adi Syaputra, Muhammad Yusrizal. “Koalisi Partai Politik Di Kabinet: Antara Penguatan Lembaga Kepresidenan Atau Politik Balas Budi.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 9, no. 1 (May 2020): 111–31. https://doi.org/10.24843/JMHU.2020.v09.i01.p08.

Amdani, Yusi. “Implications of Criminal Law Deviation on Violence and Murder in Aceh from the Perspective of Helsinki Memorandum of Understanding.” PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) 5, no. 2 (2018): 331–48. https://doi.org/10.22304/pjih.v5n2.a7.

Andriyansyah, M Fahrudin. “Peran Partai Politik Lokal Dalam Penyelanggaraan Otonomi Khusus Di Aceh.” Yurispruden: Jurnal Fakultas Hukum Universitas Islam Malang 3, no. 1 (2020): 24–41.

Ansari, Muhammad Insa. “Partai Politik Lokal Dalam Tata Hukum Indonesia.” Tanjungpura Law Journal 1, no. 2 (2017): 219–36.

Anugerah, Dendy Sakti, M A Ubaidullah, and Iqbal Ahmady. “Strategi Pemenangan Partai Lokal Pada Pemilu Legislatif 2019 Di Kota Banda Aceh.” Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik 7, no. 1

(2022).

Armia, Muhammad Siddiq. “Hubungan Ideal Antara Partai Politik Nasional Dengan Partai Politik Lokal Dalam Pengisian Jabatan Publik.” JRP (Jurnal Review Politik) 7, no. 1 (2017): 126–46.

Bahrum, Syamsuddin. “Dinamika Partai Politik Lokal (Analisis Partai Aceh Dan Penerapan Syari’at Islam).” AL-LUBB: International Journal of Islamic Thought and Muslim Culture (IJITMC) 1, no. 1 (2016).

Budiyanto, Bambang. “Kewenangan Pimpinan Partai Politik Dalam Pengusulan Pemberhentian Anggota DPR Terkait Tindak Pidana Korupsi.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 5, no. 4 (August 2017): 694. https://doi.org/10.24843/JMHU.2016.v05.i04.p05.

Canzano, Antonello. “Political-Party Neo-Centralism in the Italian Local Context.” Advances in Applied Sociology 08, no. 07  (2018):  517–33.

https://doi.org/10.4236/aasoci.2018.87031.

Congge, Umar, and Saiful Deni. “Management Model of Political Party and Legislative Faction in Policy Formulation: Case Study in Local Parliament of Sinjai Regency, Indonesia.” Annals of the Romanian Society for Cell Biology 25, no. 4 (2021): 2644–58.

Djusfi, Apri Rotin. “Tinjauan Politik Hukum Hubungan Antara Partai Politik Lokal Dengan Konstituen Pemilih Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Partai Lokal Aceh.” Ius Civile: Refleksi Penegakan Hukum Dan Keadilan 3, no. 2 (2019).

Gao, Jingjing, and Benjamin J. Radford. “Death by Political Party: The Relationship between COVID 19 Deaths and Political Party Affiliation in the United States.” World Medical & Health Policy 13, no. 2 (June 2021): 224– 49. https://doi.org/10.1002/wmh3.435.

Gauja, Anika, and Karina Kosiara-Pedersen. “The Comparative Study of Political Party Organization: Changing Perspectives and Prospects.” Ephemera 21, no. 2 (2021): 19–52.

Grusell, Marie, and Lars Nord. “Not so Intimate Instagram: Images of Swedish Political Party Leaders in the 2018 National Election Campaign.” Journal of Political        Marketing,        November        2020,        1–16.

https://doi.org/10.1080/15377857.2020.1841709.

Gunawan, Gunawan, Arry Bainus, and Caroline Paskarina. “Strategi Koalisi Partai Politik Lokal Dan Partai Politik Nasional Dalam Pemenangan Pasangan Calon Kepala Daerah: Studi Kasus Kemenangan Pasangan Jamin Idham Dan Chalidin Pada Pemilihan Bupati Dan Wakil Bupati Kabupaten Nagan Raya Tahun 2017.” Politea: Jurnal Politik Islam 3, no. 1 (2020): 51–68.

Hannah, A Lee, Kevin Reuning, and Anne Whitesell. “The Party Replies: Examining Local Party Responsiveness to Prospective Campaign

Volunteers.” Political Research Quarterly 0, no. 0 (August 2022): 1–13. https://doi.org/10.1177/10659129221119751.

Koiranen, Ilkka, Aki Koivula, Arttu Saarinen, and Teo Keipi. “Ideological Motives, Digital Divides, and Political Polarization: How Do Political Party Preference and Values Correspond with the Political Use of Social Media?” Telematics     and     Informatics     46     (March     2020):     1–18.

https://doi.org/10.1016/j.tele.2019.101322.

Muttaqin, Ahmad. “Demokrasi Dan Sistem Kepartaian ‘Menimbang Partai Lokal Di Indonesia.’” AlQisthas; Jurnal Hukum Dan Politik 10, no. 1 (2019): 41–51.

Natter, Katharina, Mathias Czaika, and Hein de Haas. “Political Party Ideology and Immigration Policy Reform: An Empirical Enquiry.” Political Research Exchange      2,      no.       1       (January      2020):       1–26.

https://doi.org/10.1080/2474736X.2020.1735255.

Nur, Muhammad, Usman Usman, and Irwan Safwadi. “Dinamika Politik Partai Lokal Dan Nasional Pada Pemilukada Di Aceh, Tahun 2017.” Jurnal Humaniora: Jurnal Ilmu Sosial, Ekonomi Dan Hukum 2, no. 2 (2018): 140–49.

Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (2011).

Potluka, Oto, and Marybel Perez. “Do Candidates from Non-Profit Organisations Who Adopt Party Political Values Improve Their Chances of Electoral Success?” Policy & Politics 47, no. 1 (2019): 57–76.

Rasida, Asda. “Partai Politik Lokal Aceh Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.” Varia Justicia 12, no. 1 (2016): 1–14.

Schmid, Nicolas. “A Comparative and Dynamic Analysis of Political Party Positions on Energy Technologies.” Environmental Innovation and Societal Transitions           39           (June           2021):           206–28.

https://doi.org/10.1016/j.eist.2021.04.006.

Spanje, Joost van, and Rachid Azrout. “Tainted Love: How Stigmatization of a Political Party in News Media Reduces Its Electoral Support.” International Journal of Public Opinion Research 31, no. 2 (June 2019):  283–308.

https://doi.org/10.1093/ijpor/edy009.

Stevens, Hannah, and Nicholas A Palomares. “Constituents’ Inferences of Local Governments’ Goals and the Relationship Between Political Party and Belief in COVID-19 Misinformation: Cross-Sectional Survey of Twitter Followers of State Public Health Departments.” JMIR Infodemiology 2, no. 1 (February 2022): e29246. https://doi.org/10.2196/29246.

Syamsuddin, Syamsuddin. “Dinamika Partai Politik Lokal Studi Tentang Partai Aceh Pada Pemilu 2009 Di Kabupaten Aceh Timur.” Universitas Islam

Negeri Sumatera Utara, 2016.

Wangsa, Sailendra, Sri Walny Rahayu, and M. Jafar. “Analisis Terhadap Kendala Perlindungan Konsumen Oleh Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Terhadap Sertifikasi Label Halal Produk.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 8, no. 4 (December 2019): 480–93. https://doi.org/10.24843/JMHU.2019.v08.i04.p04.

Whitesell, Anne, Kevin Reuning, and A. Lee Hannah. “Local Political Party Presence Online.” Party Politics 0, no. 0 (February 2022):  1–12.

https://doi.org/10.1177/13540688211056617.

Wijayanti, Septi Nur. “Hasil Wawancara Dengan Anggota DPRKota Aceh Dari PKS, Dikky Saputra.” 2019.

Wijayanti, Septi Nur, and Kelik Iswandi. “Peran Organisasi Sayap Partai Politik Dalam Kaderisasi Partai Politik Di Indonesia.” SASI 27, no. 4 (December 2021): 475. https://doi.org/10.47268/sasi.v27i4.563.

Peraturan Perundang – Undangan

Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633)

Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal Aceh, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4711).

Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2007 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik dan Partai Politik Lokal

Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota. (Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2008 Nomor 03, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 13)

628