PENARIKAN BARANG YANG MENJADI OBYEK SEWA BELI

DALAM HAL PEMBELI SEWA WANPRESTASI

PUTU SUMIASI

ABSTRACT

The article entitled The Withdrawal of the Leasing Object in the event of Customer’ s Default in Payment. The main issue discussed is that whether the withdrawal of the leasing object is acceptable by the law in the event of customer’ s default in payment.

The research in this paper is classified as a Normative Legal research, which is based on primary and secondary legal materials. The approach taken was the statutory and the analytical conceptual approach.

The research results indicate that with the withdrawal of leasing object in a lease agreement by the creditor according to law (under the provisions of Article 1338 of Indonesian Civil Code) can be justified and lawful. The agreement of waiving the provisions of article 1266 of paragraph 2 of Indonesian Civil Code binding on the partie based on the principle of freedom of contract.

Keywords: Withdrawal of leasing goods, Leasing, Default.

PENDAHULUAN

Dengan perkembangan

Bangsa Indonesia yang sangat komplek dan dipengaruhi oleh arus globalisasi serta bersifat multidimensi tidak terlepas dari tujuan pembangunan nasional bangsa Indonesia yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang merata , meteriil dan spiritual berdasarkan Pancasila yang sejalan dengan tujuan bangsa Indonesia yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 serta segala usaha harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, dalam mencapai tujuan tersebut bangsa Indonesia melaksanakan pembangunan yang tidak terlepas dari pengaruh arus globalisasi

Di era globalisasi ini pertumbuhan ekonomi demikian meningkat yang akhirnya akan mengakibatkan tingginya persaingan dalam dunia bisnis. Kegiatan bisnis itu sendiri selalu berkaitan dengan bidang ekonomi.

Adanya peningkatan daya saing global perekonomian nasional secara keseluruhan tidak terlepas dari peran serta para pelaku ekonomi baik dari segi perorangan maupun kelompok yang mempunyai

tujuan untuk memperoleh keuntungan. Para pelaku ekonomi sangat beraneka ragam dan bervariasi dalam menentukan eksistensinya maupun dalam kedudukan institusinya. Kegiatan atau aktivitas dibidang ekonomi yang melibatkan para pelaku ekonomi Kegiatan dibidang ekonomi tersebut dilakukan tidak saja melibatkan orang perorangan, tetapi juga melibatkan perusahaan, termasuk pemerintah, baik langsung maupun tidak langsung saling bersaing dalam memasarkan barang.

Perekonomian nasional

digerakkan oleh para pelaku ekonomi, yang salah satunya hanya untuk memperoleh keuntungan.1 Peran serta para pelaku ekonomi melakukan kegiatan ekonomi dengan berbagai macam cara dan menggunakan bentuk usaha yang bervariasi dengan berbagai macam transaksi.

Menurut Sadono Sukirno, di dunia ini terdapat berjuta-juta manusia dan setiap orang

melakukan kegiatan ekonomi yang berbeda satu dengan yang lainnya, dan tidak mungkin menyebutkan kegiatan mereka satu persatu. Pelaku ekonomi dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu rumah tangga, perusahaan, dan pemerintah.2

Suatu hal yang pasti, perkembangan di bidang ekonomi telah mendorong munculnya berbagai macam transaksi yang bermotif ekonomi yang melibatkan para pelaku ekonomi baik orang perorangan maupun badan usaha (perusahaan).

Berkaitan dengan kegiatan ekonomi, dalam konteks sistem ekonomi, pada dasarnya ada tiga kegiatan yang menjadi karakter sistem ekonomi, yaitu produksi, distribusi, dan konsumsi. Adapun arti dan makna dari kegiatan dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut :

  • 1.    Produksi, merupakan suatu kegiatan yang   dilakukan

untuk menambah nilai guna suatu benda            atau

menciptakan benda baru

sehingga lebih bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan , kegiatan menambah guna suatu benda tanpa mengubah bentuknya dapat dikatakan produk jasa , sedangkan kegiatan menambah daya guna suatu benda dengan mengubah sifat dan bentuknya        dinamakan

produksi barang. Produksi dapat diartikan pula sebagai upaya manusia menciptakan kekayaan dengan cara memanfaatkan sumber alam. Kegiatan produksi adalah kegiatan membuat dan menghasilkan produk barang dan/atau jasa.     Dalam

produksi ada empat faktor penting, yaitu faktor alam, tenaga kerja, modal dan manajemen.

  • 2.    Distribusi           merupakan

kegiatan merupakan kegiatan ekonomi pemasaran yang berusaha memperlancar dan mempermudah penyampaian barang dan jasa dari produsen kepada konsumen sehingga penggunaannya sesuai dengan yang diperlukan, lebih lanjut distribusi          merupakan

kegiatan produksi, yakni produk yang dihasilkan dari kegiatan produksi itu kemudian disebarkan dan

dipindah tangankan dari satu pihak ke pihak lainnya. Mekanisme yang digunakan dalam distribusi ialah dengan cara pertukaran antara hasil produksi dengan alat tukar (uang).3

  • 3.    Konsumsi, berarti mengambil manfaat atau menggunakan barang-barang dari hasil produksi. Kegiatan ekonomi pada hakekatnya adalah kegiatan penyeimbang dari kegiatan produksi, artinya kegiatan produksi tidak akan mengandung arti apa-apa bagi kehidupan ekonomi manusia, jika tidak diikuti dengan kegiatan konsumsi, sebab pada hakekatnya kegiatan produksi dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi, sebab konsumsi        merupakan

kurangnya atau habisnya daya suatu benda atau jasa

untuk memenuhi kebutuhan atau kepuasan seseorang.

Kegiatan ekonomi yang menyangkut produksi, distribusi dan konsumsi sebagaimana dimaksud juga berkaitan dengan transaksi dibidang sewa beli yang dasar transaksinya adalah perjanjian, dimana pembeli sewa dapat memiliki barang dengan pembayarannya secara angsuran dengan jangka waktu tertentu.

Hasil produksi yang didistribusikan atau dibawa kepasaran sudah barang tentu guna memenuhi kepentingan konsumsi. Guna memperoleh atau mendapatkan hasil produksi tersebut, maka ada konsumen (pembeli) yang mampu membelinya secara tunai dan ada pula yang hanya mampu memperoleh hasil produksi tersebut dengan membeli yang pembayarannya dicicil/diangsur secara berkala.

Kegiatan ekonomi pada umumnya dilakukan oleh pelaku-pelaku ekonomi baik orang perorangan yang menjalankan perusahaan maupun badan-badan usaha baik yang berbadan hukum maupun yang tidak

berbadan hukum.4 Selain itu, kegiatan ekonomi juga ditandai dengan adanya berbagai transaksi dibidang perdagangan (jual beli) barang dan atau jasa dengan tujuan memperoleh keuntungan.

Perkembangan perekonomian di Indonesia diikuti pula oleh perkembangan berbagai bentuk transaksi, misalnya ; sewa guna usaha (leasing), jual beli angsuran, maupun sewa beli. Hal ini terjadi karena konsumen atau pembeli memiliki dana terbatas.5

Perjanjian sewa beli di indonesia cukup berkembang dapat dilihat dalam keseharian kehidupan masyarakat, masyarakat lebih antusias memenuhi kebutuhan sekundernya yaitu dengan cara mudah hanya memenuhi berupa persyaratan seperti kartu identitas

saja berupa KTP saja sudah langsung mendapatkan barang yang diinginkan hal ini yang membuat perjanjian sewa beli cepat berkembang, akan tetapi dengan berkembangan yang cepat pula tidak dibarengi dengan perangkat peraturan perundang-undangan yang cukup memadai kurangnya aturan-aturan yang tegas mengenai perjanjian sewa beli, kurangnya pengawasan terhadap para calon pembeli dalam hal calon pembeli membeli barang dengan cara mengkredit atau mencicil seperti contoh yang telah dilakukan oleh beberapa bank-bank di indonesia ketika mereka akan mengadakan perjanjian pinjam meminjam uang terlebih dahulu pihak bank sendiri memberikan berupa surat pernyataan kepada calon debitur apakah calon debitur tersebut sudah pernah mengadakan perjanjian pinjam meminjam uang kepada bank lain atau belum disinilah perlunya pengawasan terhadap masyarakat yang akan membeli barang dengan cara mencicil agar nantinya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan misalnya terjadinya ketidakjujuran dari pihak pembeli

atau yang disebut dengan wanprestasi yang mengakibatkan kerugian dari pihak penjual barang, dengan adanya ketidakjujuran dari pembeli (wanprestasi ) maka yang menjadi persoalannya adalah benda yang menjadi obyek dalam perjanjian tersebut.

Sebagaimana juga dibenarkan oleh Sri Gambir Melati Hatta dalam hasil penelitian bahwa pada umumnya persoalan dalam perjanjian sewa beli timbul apabila terjadi penarikan barang yang menjadi obyek perjanjian ketika pembeli wanprestasi.6 Penarikan menurut undang-undang akan memerlukan waktu yang relative lama, karena harus melalui perintah Hakim. Guna menghindari hal itu, agar lebih efisien, sering pihak penjual menempuh jalan pintas dengan melakukan penarikan secara langsung, bahkan sering menggunakan orang yang bertindak sebagai debt collector untuk menarik barang obyek perjanjian dari tangan pihak pembeli. Walaupun hal itu

dicantumkan dalam perjanjian, dapat diidentifikasi sebagai praktek perampasan, mengingat belum adanya peraturan hukum yang khusus mengatur sewa beli, maka pengaturan hak dan kewajiban pihak-pihak diatur dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak sendiri. Syarat-syarat dalam perjanjian lebih banyak didominasi oleh kepentingan penjual dengan mengabaikan hak-hak pembeli.

Sewa Beli berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80 tanggal 1 Pebruari 1980 tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli (here purchase), jual beli dengan angsuran (credit sale) dan sewa (renting), diberikan pengertian Sewa Beli sebagai berikut :

Sewa Beli (here purchase) adalah jual beli barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli yang dengan pelunasan atas harga barang yang telah disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut baru beralih

dari penjual kepada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual.

Pranata sewa beli merupakan pranata hukum perjanjian yang perkembangannya didasarkan pada azas kebebasan berkontrak sebagai azas pokok dari hukum perjanjian yang diatur dalam pasal 1338 KUH Perdata (BW). Berdasarkan azas ini para pihak diperkenankan membuat suatu perjanjian sesuai dengan pilihan bebas masing-masing dan setiap orang mempunyai kebebasan untuk membuat kontrak / perjanjian dengan siapa saja yang dikehendaki.7

Menurut M. Yahya Harahap, sewa beli adalah jual beli dimana penjual menyerahkan barang secara nyata (feitelijk) kepada pembeli. Akan tetapi penyerahan nyata tidak dibarengi dengan penyerahan hak milik. Hak milik baru nanti belakangan diserahkan, yakni pada saat

pembayaran angsuran termyn terakhir dilakukan pembeli.8 Lebih lanjut pendapat dari Wirjono Prodjodikoro bahwa sewa beli adalah “ Pokoknya persetujuan dinamakan sewa menyewa barang, dengan akibat bahwa si penerima tidak menjadi pemilik, melainkan pemakai belaka. Baru kalau uang sewa telah dibayar berjumlah harga yang sama dengan harga pembelian, si penyewa beralih menjadi pembeli, yaitu barangnya menjadi pemiliknya.9

Sebagaimana telah dikemukakan di atas yang menjadi fokus permasalahan adalah penarikan barang yang menjadi objek sewa beli, apakah kreditur berhak menarik barang yang menjadi objek sewa beli dalam hal debitur wanprestasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui / menganalisa aspek legal dari penarikan barang yang

menjadi objek sewa beli dalam hal debitur wanprestasi

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan         kebenaran

berdasarkan logika kelimuan dari sisi normatif.10 Bahan hukum yang dipergunakan terdiri dari bahan hukum primer serta bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.11 Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu meliputi; buku-buku, literatur, artikel, makalah dan bahan-bahan

tertulis lainnya dari para ahli hukum. Dalam penulisan ini bahan hukum primer yang dikaji terdiri dari KUH Perdata UU perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999,         Pendekatan

terhadap permasalahan dilakukan dengan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (analitical conceptual approach).

HASIL DAN PEMBAHASAN Perjanjian Sewa Beli Sebagai Perjanjian Standar.

Bentuk pranata atau lembaga sewa beli sesungguhnya merupakan bentuk lain dari jual beli dengan cara kredit. Pranata sewa beli ini merupakan suatu terobosan dari pranata jual beli pada umumnya. Bila dilihat dari segi bentuknya, perjanjian sewa beli itu berbentuk perjanjian standar (perjanjian baku).

Perjanjian standar telah menjadi bagian dari praktek bisnis di indonesia. Banyak transaksi dibidang bisnis dituangkan dalam bentuk perjanjian standar. Perjanjian standar itu sendiri sebenarnya telah dikenal sejak jaman Yunani kuno. Dalam

perkembangannya menurut sebuah laporan dalam Harvard Law Review pada tahun 1971, 99 % perjanjian yang dibuat di Amerika Serikat berbentuk

perjanjian standar.12

Sesungguhnya dibuatnya perjanjian standar itu adalah untuk memberikan kemudahan

(kepraktisan) bagi para pihak yang bersangkutan.13 Suatu

perbuatan hukum yang dilakukan secara berulang-ulang yang kemungkinannya melibatkan banyak masyarakat lebih praktis dan efisien dibuatkan dalam

bentuk perjanjian standar.

Disatu sisi, bentuk perjanjian seperti itu sangat menguntungkan jika dilihat dari beberapa banyak waktu, tenaga dan biaya yang dapat dihemat. Akan tetapi disisi lain, bentuk perjanjian seperti itu tentu saja menempatkan pihak yang tidak ikut membuat klausul-klausul di dalam perjanjian itu sebagai pihak yang banyak diragukan. Pihak yang tidak ikut membuat umumnya menurut saja

terhadap isi perjanjian yang disodorkan kepadanya.14

Perlu diterangkan bahwa pihak yang mempergunakan secara teratur perjanjian standar biasanya tidak mengharapkan para pelanggarnya untuk memahami atau bahkan

membaca syarat-syarat atau klausulnya. Bahkan terdapat pembakuan (standarisasi) untuk meniadakan tawar menawar

tentang rincian transaksi individual, yang jumlahnya banyak, tidak ekonomis dan tidak praktis. Kontrak-kontrak / perjanjian-perjanjian standar telah dipakai di seluruh dunia, khususnya Amerika.15

Mariam Darus

Badrulzaman mengemukakan bahwa standard contract merupakan perjanjian yang telah dibakukan, serta memiliki cirri-ciri,

yaitu:

  • 1.    Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisinya ekonominya kuat;

  • 2.    Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut dalam menentukan isi perjanjian;

  • 3.    Terdorong oleh kebutuhan debitur terpaksa menerima perjanjian tersebut;

  • 4.    Bentuknya tertentu (tertulis);

  • 5.    Dipersiapkan secara massal dan kolektif.16

Penggunaan perjanjian standar itu boleh dikatakan sudah bersifat universal, hampir di berbagai negara di dunia sudah umum dipergunakan, tidak terkecuali Indonesia. Menyikapi fenomena tersebut tentu saja dipandang perlu untuk mengantisipasi          berbagai

persoalan hukum yang muncul berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan perjanjian standar itu, termasuk perjanjian standar sewa beli.

Wanprestasi Dalam Perjanjian Sewa

Suatu perjanjian yang merupakan peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain, atau dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu , Wanprestasi atau yang dalam dunia bisnis dikenal

dengan breach of contract adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.17

Menurut Wirjono Prodjodikoro, wanprestasi berarti ketiadaan suatu prestasi. Beliau mengkaitkan masalah wanprestasi dengan prestasi perjanjian, sehingga mengartikan wanprestasi sebagai ketiadaan pelaksanaan janji.18

Begitu juga Yahya Harahap, memberikan pengertian wanprestasi yaitu pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada

  • 17    Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Azas Proposionlitas dalam Kontrak Komerial, Laks Bang Mediatama, Yogyakarta.

  • 18    Wirjono Prodjodikoro I, Op.Cit, hal. 44

waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya, sehingga debitur yang wanprestasi bila ia telah lalai, terlambat dari jadwal waktu pelaksanaan prestasi yang ditentukan, atau melaksanakan prestasi, tetapi tidak menurut sepatutnya atau selayaknya.19

Sedangkan Abdulkadir Muhammad menyebutkan wanprestasi adalah tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang.20

Untuk menentukan apabila seorang debitur itu bersalah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan

bagaimana seorang debitur itu dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi.

Abdulkadir


Muhammad


membedakan       wanprestasi

menjadi tiga yaitu :

  • 1.    Debitur tidak memenuhi

prestasi sama sekali, artinya

debitur tidak memenuhi

kewajiban yang telah disanggupinya untuk dipenuhi dalam suatu perjanjian, atau tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan undang-undang dalam perikatan yang timbul karena undang-undang.

  • 2.    Debitur memenuhi prestasi,

tetapi tidak baik atau keliru. Disini debitur melaksanakan

atau memenuhi apa yang diperjanjikan atau apa yang ditentukan oleh undang-undang,      tetapi      tidak

sebagaimana mestinya menurut kualitas yang ditentukan dalam perjanjian atau menurut kualitas yang ditetapkan undang-undang.

  • 3.    Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya. Disini debitur memenuhi prestasi tetapi terlambat waktu yang ditetapkan dalam perjanjian tidak dipenuhi.

Sedangkan R. Subekti, menyebutkan        wanspretasi

seorang debitur dapat berupa empat macam :

  • a.    Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

  • b.    Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan (tidak sempurna).

  • c.    Melakukan apa      yang

dijanjikannya, tetapi terlambat.

  • d.    Melakukan    sesuatu    yang

menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. 21

Wanprestasi bisa juga terjadi pada perjanjian sewa beli, dimana pihak pembeli sewa tidak melaksanakan pembayaran kewajiban sewa yang telah disepakati dalam perjanjian terhadap penjual sewa. Keadaan seperti itu dapat menimbulkan berbagai akibat hukum. Suatu tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak menuntut ganti rugi dari pihak yang dirugikan kepada pihak yang melakukan wanprestasi.

Penarikan Barang yang menjadi Objek Sewa Beli dalam hal Pembeli Sewa Wanprestasi

Salah satu akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian sewa beli adalah dimana barang

yang menjadi objek sewa beli akan ditarik oleh penjual sewa, sudah menjadi fakta yang tidak bisa dibantah apabila pembeli sewa tidak memenuhi kewajibannya membayar angsuran / cicilan harga sewa yang telah disepakati dalam perjanjian, maka barang yang menjadi objek sewa beli ini akan ditarik dari tangan pembeli sewa.

Penarikan barang objek sewa beli sesungguhnya merupakan alternatif terakhir setelah berbagai upaya dilakukan agar pembeli sewa mau melaksanakan kewajibannya secara sadar dan penuh tanggung jawab. Apabila segala upaya sudah dilakukan oleh penjual sewa tidak membuahkan hasil, barulah dilakukan langkah terakhir berupa penarikan barang yang menjadi objek sewa beli tersebut.

Dalam perjanjian sewa beli hak milik atas barang masih berada pada penjual sewa sebelum harga dilunasi pembeli sewa, dengan demikian penjual sewa berhak menarik kembali barang tersebut dari penguasaan pembeli sewa, jika pembeli sewa

wanprestasi dalam melakukan cicilan pembayaran harga.22

Dari segi perjanjian, yaitu perjanjian sewa beli yang dibuat oleh para pihak, ada sarjana yang berpendapat, bahwa adanya penarikan barang yang menjadi objek sewa beli oleh penjual sewa dalam hal pembeli sewa wanprestasi tidak dapat dibenarkan oleh hukum, karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat 1 huruf d Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Ketentuan Pasal mana menegaskan :

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukkan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen dan atau perjanjian apabila menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan

sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Dengan berlakunya Undang-undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999, disebutkan dalam Pasal 18 ayat i huruf d, bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang menyatakan bahwa pelaku usaha berhak mengambil tindakan sepihak atas barang yang dibeli konsumen secara angsuran. Klausul seperti itu, menurut ketentuan Pasal 18 ayat 3 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 adalah batal demi hukum.

Seperti telah dikemukakan pada uraian sebelumnya bahwa perjanjian sewa beli antara penjual sewa sebagai pelaku usaha dan pembeli sewa sebagai konsumen dibuat dalam bentuk kontrak / perjanjian standard yang dibuat dan didesain oleh penjual sewa.

Dalam perjanjian tersebut dicantumkan suatu klausul bahwa para pihak melepaskan ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata, sebingga akibat hukumnya penjual sewa dapat menarik kembali barangnya tanpa melalui Putusan Hakim, karena dengan

adanya atau terjadinya wanprestasi Perjanjian Sewa beli dianggap batal demi hukum.

Penarikan barang sewa beli menurut hemat penulis tidak dapat dibenarkan menurut hukum karena :

1. bertentangan dengan Pasal 18 huruf d yang menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara

angsuran.          Demikian

Undang-undang N0. 8 tahun

1999 tentang perlindungan

konsumen yang intinya pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau

mencantumkan klausula baku

pada setiap dokumen dan /

atau perjanjian apabila :

  • a.    Menyatakan        pengalihan

tanggung jawab pelaku usaha;

  • b.    Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak

penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

  • c.    Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan / atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

  • d.    Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara

angsuran;

  • e.    Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

  • f.    Memberikan hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;

  • g.    Menyatakan        tunduknya

konsumen kepada peraturan

yang berupa aturan baru,

tambahan, lanjutan dan /atau

pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku

usaha dalam masa konsumen

memanfaatkan jasa yang dibelinya;

  • h.    Menyatakan            bahwa

konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan           hak

tanggungan , hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

  • 2.    Pasal 1266 dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata yang intinya, syarat batal dianggap selalu dicantumkan          dalam

persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.

  • 3.    Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sebagaimana dikatakan bahwa inti dari Pasal 1338 adalah para pihak

dalam melakukan suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan ketertiban umum.

Mencermati pasal ini itu berarti dalam kontrak perjanjian sewa beli para pihak tidak boleh mengabaikan ketentuan pasal 1266 karena pasal tersebut merupakan ketentuan undang-undang. Dengan demikian perbuatan yang mengambil tindakan secara sepihak tidak dapat dibenarkan.

Persoalannya sekarang apakah tindakan penjual sewa menarik barang objek sewa beli tersebut dapat dibenarkan menurut hukum? Hal ini perlu mendapatkan kejelasan bila dilihat ketentuan Pasal 1338

KUH Perdata, bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang sepanjang tidak melanggar Undang-undang dan ketertiban umum. Pasal 1266

KUH Perdata, mempunyai kekuatan mengikat dan harus ditaati oleh para pihak. Dengan demikian, penarikan barang yang menjadi objek sewa beli tidak mendapat pembenaran bila dilihat pada ketentuan pasal 1338 KUH Perdata, bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para

pihak yang membuatnya, sehingga pencantuman klausul tersebut harus ditaati oleh para pihak.

Klausul melepaskan atau mengenyampingkan pasal 1266 KUH Perdata bagi kepentingan penjual sewa tidak dapat dibenarkan walaupun dengan pertimbangan faktor efisiensi baik dari segi waktu maupun biaya yang harus dikeluarkan oleh penjual sewa maka dalam hal ini harus ditempuh melalui putusan Hakim (Putusan Pengadilan)

Dengan adanya tindakan penarikan barang yang menjadi obyek perjanjian sewa beli oleh penjual sewa menurut hukum (berdasarkan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata) tidak dapat dibenarkan dan tidak dapat sah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian sebagaimana telah dipaparkan di atas, maka dapat diberikan kesimpulan sebagai berikut :

Kesimpulan

Tindakan penarikan barang yang menjadi obyek perjanjian sewa beli oleh penjual sewa

menurut hukum (berdasarkan ketentuan pasal 1338 KUH Perdata) tidak dapat dibenarkan dan karena bertentangan dengan undang-undang dan ketertiban umum. Perjanjian pelepasan ketentuan pasal 1266 KUH Perdata mengikat para pihak berdasarkan azas kebebasan berkontrak tidak dapat dibenarkan

Bila dicermati terhadap katakata klausula baku perjanjian sewa beli yang sudah dirumuskan sedemikian rupa tentunya tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Undang-undang dalam hal ini ketentuan pasal 18 Undang-undang N0. 8 tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen.

Saran-Saran

Didalam perjanjian sewa beli yang dibuat oleh penjual sewa, sebaiknya dikemudian hari tidak mencantumkan klausul yang mengenyampingkan atau melepaskan ketentuan pasal 1266 KUH Perdata

DAFTAR BACAAN

Abdulkadir Muhammad,Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan , PTCitra Adiyta Bakti, Bandung.

Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Azas Proposionlitas        dalam

Kontrak Komerial, Laks Bang           Mediatama,

Yogyakarta.

Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta.

Johanes Ibrahim & Lindawaty Sewu, 2004, Hukum Bisnis Dalam Perspektif Manusia Modern,     PT. Refika

Aditama, Bandung.

M. Yahya Harahap, 1982, Segi-Segi Hukum Perikatan, Alumni, Bandung.

Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Perjanjian Kredit Bank, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Cet. 3, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung.

Sadono Sukirno, 1985, Pengantar Teori Mikro Ekonomi, FE, Universitas       Indonesia,

Jakarta.

Soerjono Soekanto,         1985,

Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta.

Sri Gambir Melati Hatta, 1999, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak bernama : Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung, Alumni, Bandung.

Sri Redjeki Hartono, 2000, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Mandar Maju, Bandung.

Sriwati, 2000, Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Baku, Yuridika, Vol. III No. 2 Desember 2000.

Wirjono Prodjodikoro,    1965,

Penelitian Perdata tentang persetujuan Tertentu Tertentu, Sumur Bandung.

Artikel / Makalah / Jurnal

Abdullah, 2006, Peran Notaris

Dalam Pembuatan Kontrak Bisnis, Makalah yang disajikan dalam Workshop Pengembangan Unit Revenue Generating untuk Memacu      Peningkatan

Kualitas Akademik Melalui Program         Layanan

Kepakaran Legal Aspek Industri dan Sektor Usaha, Pada program Studi Hukum Bisnis, Fakultas Hukum

TFSDP, BATCH III,

Mariam Darus Badrulzaman, 1980,        Perlindungan

Terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut Perjanjian Baku, BPHN, Departemen Kehakiman, Jakarta.

Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Cet 3, Kencana Predana Media Group, Jakarta

Satjipto Rahardjo, 1988, Peranan dan Kedudukan Azas-azas Hukum Dalam Kerangka Hukum          Nasional,

(Makalah), Seminar dan Lokakarya, Universitas Diponegoro, Semarang.

Peraturan          Perundang-

Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek)

Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80 tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli, Jual Beli dengan Angsuran dan sewa.

18