JURNAL

RETHINKING

KETENTUAN PERSENTASE SEBAGAI SYARAT

PENCALONAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

DI INDONESIA

I GUSTI NGURAH AGUNG SAYOGA RADITYA NIM. 1190561045

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

2013

RETHINKING KETENTUAN PERSENTASE SEBAGAI SYARAT

PENCALONAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DI INDONESIA

Oleh

I GUSTI NGURAH AGUNG SAYOGA RADITYA

Percentage provisions have a substantial part in the electoral law reform, especially for mathematical formulation. This research, that uses normative legal research method, showed that a legitimacy of percentage provision for candidacy requirement in President and Vice President Election is based on the legal authority of The House of Representatives. The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia and most constitutions of other countries are not setting up a rigid formal requirement, like a minimum percentage, for presidential candidacy.

A legal term has an important position in the making of law. A convention that uses “presidential threshold” as a term should be justified within a legal theoritical framework. Meanwhile, the perpetual discussion to create presidential system of government can works effectively, with a good support from the House of Representative, has always been a spirit but also a debatable material in every political acts in Indonesia. Legal formulation that used in Law No. 42-2008 must be viewed comprehensive so that justice and fairness in this political institutionalization process can be realized.

Keywords : Percentage provision, Presidential Election, Presidential Threshold, Presidential System of Government.

BAB 1 PENDAHULUAN

  • I.   PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Sejak    pemilihan    umum

diselenggarakan secara    langsung

sebagaimana amanat prinsip kedaulatan rakyat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, penormaan yang menggunakan persentase angka menempati kedudukan yang sentral dalam reformasi sistem pemilihan umum di Indonesia. Sistem pemilu merupakan penyaluran suara untuk memilih partai atau kandidat dengan salah satu variabel kunci adalah formulasi matematis pemilu.1 Pemilu sebagai prosedur pelembagaan politik menggunakan persentase sebagai formulasi matematis seperti misalnya dalam hal mekanisme kalkulasi alokasi suara dan kursi. Ketentuan-ketentuan yang menggunakan persentase dalam pemilu secara intensif mengalami regenerasi dalam perundang-undangan sebagai upaya konsolidasi sistem pemilihan umum.

Di dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (selanjutnya disebut pemilihan Presiden), persentase digunakan tidak hanya dalam hal menentukan pasangan yang terpilih, namun juga digunakan sebagai prasyarat dalam pencalonannya. Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menentukan bahwa pasangan calon Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan, yakni memperoleh kursi minimal 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilihan Presiden. Adapun ketentuan tersebut menggantikan Pasal 101 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang berlaku sebelumnya pada pemilu tahun 2004 dengan mensyaratkan perolehan kursi DPR minimal 3% (tiga persen) atau perolehan suara sah nasional sebesar 5% (lima persen). Persentase ambang batas tersebut menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi bagi partai politik atau gabungan partai

politik agar dapat mengusulkan calon dalam pemilihan Presiden.

Ketentuan persentase syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden tersebut menimbulkan suatu problematika pertentangan norma (conflict of norm). Apabila meninjau ketentuan dalam UUD 1945, Pasal 6A ayat (2) hanya sebatas menentukan perihal pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang tercatat sebagai peserta pemilu legislatif dan secara gramatikal tidak ditentukan secara formal adanya prasyarat persentase yang harus dipenuhi. Pengaturan persentase syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 menimbulkan kesan adanya konflik norma secara vertikal dikarenakan pasal tersebut memperluas syarat pengajuan calon dari apa yang telah ditentukan dalam UUD 1945.

Terkait dengan permasalahan tersebut, Mahkamah Konstitusi pada dasarnya telah menegaskan justifikasi ketentuan persentase syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, dimana Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 menolak pengujian terhadap Pasal 9 UU

No. 42 Tahun 2008. Mahkamah melegitimasi konstitusionalias ketentuan persentase syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden atas dasar delegasi kekuasaan yang diberikan oleh UUD 1945 kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur setiap ketentuan dalam undang-undang pemilu sepanjang tidak melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.2 Namun sebagai hal yang patut untuk dicermati bahwa terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan Mahkamah tersebut, dimana UUD 1945 sesungguhnya dianggap tidak memberikan kekuasaan untuk mengatur lebih lanjut syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, serta perihal pemilu legislatif dan pemilu Presiden yang seharusnya diselenggarakan dalam waktu yang bersamaan.3 Silang

pendapat tersebut seakan memperlihatkan bahwa ketentuan persentase syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan Presiden masih menempatkan sejumlah permasalahan sistemik yang belum terselesaikan.

Kemudian terkait dengan adanya tarik ulur wacana revisi UU No. 42 Tahun 2008, substansi persentase syarat pencalonan yang akan diatur menjadi salah satu penyebab berlarutnya perumusan undang-undang yang dilakukan. Partai politik dengan segenap bargaining position yang dimilikinya berusaha untuk menegaskan politik hukum individunya.4 Persentase syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden pada akhirnya akan selalu memperlihatkan adanya resistensi, baik bagi warga negara dalam rangka mempertahankan hak dan kepentingan politiknya, maupun perbedaan-perbedaan pandangan hukum di antara Hakim Mahkamah Konstitusi sendiri. Berdasarkan hal-hal tersebut, penulis berpendapat bahwa ketentuan persentase ambang syarat pencalonan

Presiden dan Wakil Presiden menyisakan sejumlah permasalahan yang elementer, sehingga konstruksi ulang secara teoritis agar mendapatkan pemahaman yang komprehensif menjadi penting untuk dilakukan.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah, maka rumusan masalah yang dapat disusun adalah sebagai berikut :

  • 1.    Bagaimanakah       legitimasi

ketentuan persentase syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam penciptaan hukum yang demokratis di Indonesia?

  • 1.3.    Tujuan

Tujuan      penelitian      ini

diklasifikasikan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum penelitian ini adalah dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan terutama hukum tata negara dan politik hukum perundang-undangan. Sementara tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan pemahaman komprehensif perihal ketentuan persentase syarat pencalonan pemilu Presiden dari perspektif teori hukum

  • II.    METODE PENELITIAN

Penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif (normative legal research) yang mengkaji hukum tertulis dari aspek asas hukum, sistematik hukum, sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, dan sejarah hukum.5 Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, analisis konsep hukum, dan pendekatan perbandingan. Adapun bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan Putusan Mahkamah Konstitusi, bahan hukum sekunder berupa liteatur hukum, dan bahan hukum tersier menggunakan kamus Black’s Law, Kamus Bahasa Inggris, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

pencalonan dalam pemilihan Presiden.6 Istilah Presidential berasal dari kata President, dimana Kamus Black Law memberikan definisi yaitu kepala eksekutif dari suatu bangsa khususnya pada pemerintahan yang berbentuk demokrasi.7 Sementara threshold yang berasal dari Bahasa Inggris memiliki arti ambang pintu atau ambang batas,8 dimana Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefiniskan ambang batas sebagai tingkatan batas yang masih dapat diterima atau ditoleransi.9 Adapun undang-undang pemilihan Presiden Indonesia tidak menegaskan terminologi presidential threshold secara eksplisit sebagai bahasa hukum, namun hal tersebut telah dianggap sebagai suatu kebiasaan umum dalam pemilihan Presiden Republik Indonesia.

  • III.    HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Tinjauan Ulang Nomenklatur

Presidential Threshold

Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 sering dikorelasikan dengan istilah presidential     threshold     sebagai

terminologi ketentuan persentase syarat

Penggunaan istilah threshold, dalam hal ini presidential threshold, untuk mendeskripsikan persentase sebagai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden menimbulkan kerancuan. Secara teoritis, threshold merupakan tingkat minimal dukungan yang harus diperoleh agar dapat menempatkan perwakilan dan pada umumnya dikembangkan pada negara-negara yang menggunakan sistem pemilu perwakilan proporsional (proportional representation).10 Penggunaan istilah threshold dalam hal persentase syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden menjadi rancu dikarenakan ketentuan tersebut tidak memenuhi dua kriteria yang ditentukan tersebut, yakni :

  • 1.    Persentase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 UU No.

42 Tahun 2008 tidak ditujukan sebagai ambang batas yang harus dipenuhi untuk menentukan siapa Pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

  • 2.    Sistem pemilihan Presiden di Indonesia tidak menggunakan sistem perwakilan proportional, melainkan              sistem

pluralitas/mayoritas.11

Perihal kriteria yang pertama, bahwasanya persentase sebesar 20% (dua puluh persen) jumlah perolehan kursi DPR atau 25% (dua puluh lima persen) jumlah perolehan suara sah nasional adalah ditujukan untuk menentukan syarat kontestasi, bukan sebagai syarat keterpilihan. Persentase yang ditegaskan sebagai syarat kontestasi tidak serta merta menjadikannya sebagai ambang batas atau threshold. Sama halnya dengan kebijakan afirmatif 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik sebagai syarat partai politik dalam pendaftaran menjadi calon peserta pemilu (vide

Pasal 15 huruf d UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD). Pemberlakuan ambang batas atau threshold secara konsekuen yang ditujukan sebagai syarat keterpilihan adalah sebagaimana yang diterapkan dalam Pasal 208 UU No. 8 Tahun 2012 dimana Partai politik dapat menempatkan calonnya dalam kelembagaan DPR-RI apabila memenuhi persentase 3,5%.

Apabila konsisten dengan terminologi threshold, maka sesungguhnya ketentuan dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 juncto Pasal 159 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008 yang dapat disebut sebagai presidential threshold. Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 jo Pasal 159 ayat (1) menentukan ambang batas lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah perolehan suara dalam pemilihan Presiden yang harus dipenuhi agar dapat ditetapkan sebagai pasangan calon yang terpilih. Ambang batas formal tersebut menjadi tingkat dukungan minimal yang harus dipenuhi oleh pasangan calon agar dapat ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Sebagai perbandingan, Pasal 97 Konstitusi Argentina (Section 97 Constitution of the Argentine Nation) juga menentukan secara formal besaran

ambang batas perolehan suara pemilihan Presiden yakni lebih dari 50% yang harus dipenuhi oleh pasangan calon dalam suara pertama (first ballot) agar dapat ditetapkan sebagai pasangan terpilih. Meskipun demikian terdapat pula negara yang tidak menentukan persentase angka formal seperti dalam Pasal 77 ayat (2) Konstitusi Republik Federal Brazil (Article 77 Paragraph 22 Constitution of the Federative Republic of Brazil) yang hanya merumuskan perolehan suara mayoritas absolut dalam pemilihan Presiden.

Kemudian perihal kriteria kedua, agar persentase pemilu dapat diterjemahkan sebagai threshold adalah ketentuan tersebut digunakan dalam sistem perwakilan proporsional. Andrew Reynolds memaparkan bahwa ambang batas yang secara formal diatur dan dipaksakan secara hukum berdasarkan konstitusi atau ketentuan perundang-undangan digunakan untuk membatasi sistem perwakilan proporsional.12 Dalam hal ini, sistem pemilihan legislatif yang menggunakan sistem perwakilan proporsional adalah berbeda dengan sistem pemilihan kepala eksekutif yang mencari suara mayoritas. Pemilihan Presiden

ditentukan dalam Pasal 159 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 42 Tahun 2008 menggunakan                sistem

pluralitas/mayoritas dengan varian 13 sistem dua putaran (two round system) dikombinasikan dengan syarat disribusi persebaran suara berdasarkan Pasal 159 ayat (4) dan ayat (5) UU No. 42 Tahun 2008.14

Tracy Quinlan berpendapat bahwa adanya ambang batas dalam pemilu merupakan sebagai suatu aturan yang bersifat eksklusif bagi sistem

perwakilan proporsional dan sistem campuran, sementara sistem mayoritas tidak termasuk di dalamnya.15 Ambang batas digunakan untuk mengurangi fragmentasi aspirasi yang ada dalam sistem perwakilan proporsional, sementara rezim dalam pemilihan Presiden adalah mencari suara terbanyak dengan prinsip pemenang memenangkannya             secara

keseluruhan.Penggunaan terminologi threshold menjadi tidak sesuai dengan sistem yang digunakan dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Penggunaan terminologi yang tidak tepat dapat menimbulkan kesesetan dalam penafsirannya. Jumly Asshiddiqie   memaparkan bahwa

penggunaan istilah yang sama sekali bertentangan   dengan pengetahuan

umum harus dihindarkan dalam perumusan suatu undang-undang.16 Istilah presidential threshold yang digunakan selama ini dalam sistem pemilu Indonesia memiliki konsekuensi

normatif yang berbeda dengan penggunaan terminologi threshold pada umumnya. Terminologi threshold harus digunakan secara tepat dalam rangka menjaga esensi pembangunan hukum pemilu yang konsekuen.

  • 3.2.    Legitimasi Persentase Syarat Pencalonan        Pemilihan

Presiden dan Wakil Presiden Pertentangan norma yang terjadi perihal pengaturan persentase syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden seyogyanya telah ditegaskan konstitusionalitasnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008. Persentase syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden timbul sebagai bagian dari ius constituendum yang diwujudkan oleh pembentuk undang-undang dengan dasar adanya penyerahan kekuasaan oleh UUD 1945 untuk mengatur lebih lanjut ketentuan tata cara pemilihan Presiden sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

Kedudukan UU No. 42 Tahun 2008 dalam tata peraturan perundang-undangan Indonesia didasarkan pada ketentuan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945

sebagai norma superior.17 Jimly Asshiddiqie memaparkan hal tersebut sebagai delegated legislation yang menimbulkan proses penyerahan kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan (power of rule-making).18 Apabila merujuk ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang adalah berisi pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945. Oleh karena itu, DPR-RI memegang kekuasaan untuk menentukan substansi hukum perihal mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden dalam undang-undang, termasuk setiap syarat-syarat kontestasinya sepanjang konstitusional.

Adapun secara teoritis Hans Kelsen memaparkan perihal mekanisme derogasi dalam menyelesaikan permasalahan norma yang saling bertentangan. Derogasi dilakukan apabila terdapat norma-norma yang saling berkonflik antara yang satu dengan yang lainnya, dimana konflik tersebut terjadi jika dalam menerapkan

norma yang satu, maka norma yang lainnya terlanggar.19 Dalam hal ini UUD 1945 tidak mengatur secara detil perihal persyaratan persentase syarat pencalonan, namun UU organis yang mengatur lebih lanjut mengatur syarat kontestasi tambahan tersebut yang mengikat setiap partai politik atau gabungan partai politik. Kelsen berpendapat bahwa norma yang mengalami konflik membutuhkan proses derogasi yang didasarkan pada tindakan kemauan dari pihak yang mempunyai otoritas hukum.20 Adapun pihak yang yang mempunyai kapasitas hukum disini adalah DPR sebagai lembaga yang menerima penyerahaan kekuasaan untuk mengatur substansi undang-undang pemilu lebih lanjut sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 95. Selain itu Mahkamah Konstitusi sebagai pihak yang memegang kekuasaan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 juga telah menegaskan konstitusionalitasnya, sehingga memperlihatkan adanya kesepahaman dari pihak-pihak yang mempunyai otoritas hukum.

Pada dasarnya UUD 1945 memang tidak bermaksud untuk menjadi suatu bentuk peraturan perundang-undangan yang bersifat kaku. Penjelasan UUD 1945 angka IV pada hakikatnya menggambarkan politik hukum dari the founding fathers yang menginginkan UUD 1945 tidak menjadi penghalang bagi perkembangan dan dinamika kebutuhan hukum masyarakat dengan secara gegabah memberikan bentuk yang pasti atas pengaturannya. Pada hakikatnya setiap konstitusi yang berlaku di setiap negara hanya menentukan syarat kontenstasi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara sumir tanpa disertai adanya persentase yang ditegaskan secara formal, sehingga diharapkan dapat mengikuti setiap perkembangan dan kebutuhan yang ada. Sebagai contoh dalam Bab 7 Bagian 2 Konstitusi Republik Filipina Tahun 1987 (Article VII Section 2 The 1987 Constitution of the Republic of the Philippines) hanya mengatur syarat-syarat umum agar dapat dipilih sebagai Presiden, yakni perihal berkewarganegaraan Filipina sejak kelahirannya, terdaftar sebagai pemilih, mampu membaca dan menulis, syarat umur sekurangnya 40 tahun, dan

bertempat tinggal sekurangnya 10 tahun di Filipina. Sementara dalam Pasal 77 ayat (2) Konstitusi Brazil menegaskan bahwa calon Presiden harus didaftarkan oleh Partai Politik dalam mengikuti pemilihan Presiden, namun tanpa disertai adanya ketentuan persentase dukungan di legislatif secara spesifik.

Apabila menilik lebih dalam, bahwa secara filosofis UUD 1945 menanamkan hal yang paling penting dalam pemerintahan adalah kesatuan semangat dari penyelenggara negaranya.21 Suatu aturan hukum dibentuk umumnya memiliki dasar teleologis sebagai tujuan atau maksud dari suatu peraturan perundang-undangan dibentuk.22 Paradigma penyelenggaraan negara di era reformasi berusaha mengharmoniskan bagaimana kekuasaan legislatif dan eksekutif dapat berjalan dengan efektif. Setidaknya hal tersebut terlihat dalam Penjelasan Umum tiga undang-undang politik Indonesia (UU No. 42 Tahun 2008, UU No. 8 Tahun 2012, dan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Partai Politik) dimana secara teleologis

keseluruhannya     merasionalisasikan

semangat untuk menciptakan sistem presidensial yang efektif dengan memperoleh basis dukungan yang mumpuni pada lembaga legislatif dalam rangka check and balances.

  • 3.3.    Persentase Syarat Pencalonan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Yang Demokratis Penyelenggaraan pemilu yang tidak demokratis sepanjang era Orde Baru      merefleksikan      harapan

pembangunan hukum yang responsif pada era reformasi, terutama dalam pemilihan kepala pemerintahan. Triwahyuningsih memaparkan bahwa mekanisme pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang demokratis ditentukan oleh dua prosedur. Pertama, kontestasi yang adil dengan diimbangi dengan kesempatan yang sama dan sarana yang relatif seimbang. Kedua, partispasi publik terkait dengan hak warga negara untuk memilih calon tersebut.23 Hal ini juga sejalan dengan pendapat Yudi Latif memaparkan bahwa demokrasi permusyawaratan sebagaimana yang menjadi esensi dari

Demokrasi Pancasila membutuhkan empat prasyarat, yaitu berdasar pada asas rasionalitas dan keadilan, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, berorientasi jauh ke depan, dan bersifat imparsial dengan melibatkan semua pihak.24 Segenap elemen tersebut mendeskripsikan bahwa unsur keadilan dan unsur partisipatif menjadi kristalisasi cita hukum yang harus tertanam dalam setiap ketentuan perundang-undangan pemilihan umum.

Dalam rangka memenuhi aspek keadilan, ketentuan Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 pada dasarnya berusaha menentukan persyaratan yang sama untuk setiap subyek hukum yang terikat. Kontestasi yang adil ditunjukkan bahwa sebelum pemilihan umum presiden diselenggarakan, semua partai politik atau gabungan partai politik terikat kepada persyaratan yang sama, yakni 20% jumlah perolehan kursi atau 25% jumlah perolehan suara sah. Apabila mengacu pada teori justice as fairness dari John Rawls dimana keadilan yang fair terwujud dengan memberikan aturan menguntungkan bagi pihak yang berada pada posisi

lemah, adanya formulasi dua jenis persentase dan frase “gabungan partai politik” dalam pengaturannya berusaha untuk memaktubkan teori keadilan tersebut.25 Dua jenis persentase diberlakukan untuk membuka peluang bagi partai politik yang tidak mendapatkan kursi di lembaga legislatif akibat pengaturan ambang batas formal pemilu DPR, sehingga dapat menggunakan ketentuan persentase perolehan suara. Kemudian perihal frase “gabungan partai politik” mengupayakan terwujudnya keadilan yang imparsial dengan memberikan peluang yang relatif sama bagi setiap partai politik, termasuk bagi partai politik dengan perolehan suara dan kursi yang minim untuk terlibat dan dapat menyalurkan aspirasi dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Perihal apakah nanti aspirasi mereka terpilih atau tidak tergantung dari bagaimana konfigurasi politik yang terjadi dikarenakan penyelenggaraan pemilu pada dasarnya merupakan suatu kompetisi.

Perihal rasionalitas besaran persentase yang diatur dimana telah terjadi     peningkatan     persentase

dibandingkan pada penyelenggaran pemilihan Presiden tahun 2004, hal ini sangat bergantung dari bagaimana konsensus yang terjadi dalam lembaga perwakilan dalam merumuskan undang-undang pemilihan Presiden. Namun pada hakikatnya, adanya ketentuan persentase syarat pencalonan presiden yang didasarkan atas perolehan suara atau kursi pada pemilu legislatif merupakan     rasionalisasi     untuk

menghindari terpilihnya    kepala

eksekutif yang minim dukungan dari legislatif. Hal tersebut juga menjadi dasar pertimbangan bahwa apabila pemilu legislatif dan eksekutif dilaksanakan secara serentak dan persentase syarat pencalonan presiden menjadi tidak berlaku, maka akan mengakibatkan kerumitan-kerumitan baik dari segi teknis maupun kencenderungan untuk menghasilkan 26 pemilu dengan kualitas yang rendah 26

Rasionalitas tersebut dapat diejawantahkan dalam hal pengaturan yang bersifat futuristik, dimana pengaturan      persentase      syarat

pencalonan presiden tidak hanya terkait dengan bagaimana proses kompetisi politik itu sendiri, melainkan juga mempertimbangkan jalannya pemerintahan kedepannya pasca Presiden terpilih ditetapkan. Sejarah mengajarkan bahwa Presiden yang tidak diusung oleh partai politik yang memperoleh suara mayoritas akan kesulitan menjalankan pemerintahan, sebagaimana yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden K.H. Abdurahman Wahid. Scott Mainwaring memaparkan sebuah tesis bahwa sistem presidensial yang disertai sistem multipartai dalam lembaga perwakilannya menyebabkan terjadinya instabilitas dalam pemerintahan. Sistem multipartai, baik yang diterapkan pada sistem presidensial atau sistem parlementer, membutuhkan adanya koalisi partai politik, namun hal tersebut disadari lebih sulit untuk dilaksanakan pada sistem presidensial.27 Tiga argumentasi yang dibangun adalah sebagai berikut :

  • 1.    Penentuan kabinet pada sistem presidensial            menjadi

kewenangan Presiden dan bukan ditentukan oleh parlemen seperti pada sistem parlementer. Walaupun Presiden dapat membuat         kesepakatan

sebelumnya dengan partai-partai yang mendukungnya, namun kesepakatan tersebut tidak mengikat dengan tegas.

  • 2.    Komitmen individu legislator untuk mendukung kesepakatan yang telah dinegosiasikan oleh pimpinan partai politik kurang dapat dijamin dalam sistem presidensial.

  • 3.    Dorongan yang kuat untuk memecah koalisi cenderung lebih besar terjadi pada sistem presidensial terutama menjelang pemilihan umum.28

Kondisi ini memperlihatkan bahwa Presiden yang tidak berasal dari partai pemenang pemilu legislatif, atau setidaknya mendapatkan dukungan yang cukup dari partai politik dalam lembaga perwakilan akan menyebabkan terjadinya               ketidakstabilan

pemerintahan. Adnan Buyung Nasution menegaskan adanya deadlock yang

terjadi merupakan sebagai suatu akibat pemilihan langsung dalam penentuan legislatif dan eksekutif sehingga menimbulkan legitimasi yang sama kuat diantara keduanya. Akibatnya, kesulitan akan terjadi apabila partai politik pendukung Presiden tidak menguasai mayoritas suara dalam lembaga perwakilan.29 Adapun tujuan diaturnya persentase pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dikarenakan faktor efektivitas sistem pemerintahan presidensil Indonesia berkorelasi dengan jumlah fragmentasi partai politik yang ada dalam lembaga perwakilan, sehingga ketentuan tersebut dibutuhkan agar dapat mengukur besaran dukungan yang dimiliki oleh Presiden terpilih dalam lembaga legislatif.

  • IV. PENUTUP

Berdasarkan pembahasan tersebut di aas, maka pada bagian dapat dikemukakan simpulan dan saran dari penulus sebagai berikut :

  • 4.1.    Simpulan

Ketentuan persentase syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam

Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 merupakan kewenangan dari DPR-RI untuk mengaturnya berdasarkan penyerahan kewenangan dari UUD 1945 yang bersifat tidak kaku dan pada dasarnya setiap kontitusi tidak mengatur syarat kontestasi secara lebih spesifik. Ketentuan persentase syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden berusaha mengupayakan keadilan dapat terwujud secara imparsial dengan formulasi bahasa hukumnya dan dapat menjadi pengaturan yang bersifat futuristik. Adapun penggunaan istilah presidential threshold dalam konteks persentase syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden adalah tidak tepat.

  • 4.2.    Saran

Diharapkan penggunaan suatu istilah hukum digunakan secara konsekuen untuk menghindari adanya kerancuan dalam pemaknaannya. Selain itu kedepannya diperlukan kajian yang lebih mendalam perihal parameter yang dapat digunakan dalam menentukan persentase syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang digunakan agar dapat menjadi ketentuan hukum yang berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajawali Press, Jakarta.

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, 1999, Pokok-Pokok Flisafat Hukum-Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia (Edisi Revisi), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Kelsen, Hans, 2011, Hukum dan Logika (Teks asli “Hans Kelsen Essays in Legal and Moral Philosophy” Terjemahan B Arief Sidharta), PT. Alumni, Bandung.

Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna – Historisitas,  Rasionalitas,  dan

Aktualitas    Pancasila.    PT.

Gramedia    Pustaka   Utama,

Jakarta.

Mainwaring,       Scott,       2003,

“Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination“, dalam The Democracy SourceBook - edited by Robert Dahl, Ian Shapiro, and Jose´ Antonio Cheibub, The MIT Press, London.

Marijan, Kacung, 2010. Sistem Politik Indonesia,           Konsolidasi

Demokrasi Pasca – Orde Baru. Kencana. Jakarta.

Nasution, Adnan Buyung, Pikiran & Gagasan           Demokrasi

Konstitusional, Kompas, Jakarta.

Pamungkas, Sigit, 2009, Perihal Pemilu, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Jurusan

Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, Yogyakarta.

Reynlods, Andrews, et  al,  2005,

Electoral System Design : The New    International    IDEA

Handbook, International IDEA, Stockholm.

Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif – Suatu Tinjauan Singkat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Thaib, Dahlan, et.al, 2011, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta.

Tricahyo, Ibnu, 2009, Reformasi Pemilu – Menuju Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal, In-TRANS Publishing, Malang

Triwahyuningsih, 2001, Pemilihan Presiden   Langsung Dalam

Kerangka  Negara Demokrasi

Indonesia, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta

KAMUS

Black, Henry Campbell, 1968, Black’s Law Dictionary - Definitions of the Terms and Phrases of American     and     English

Jurisprudence, Ancient and Modern    (Revised Fourth

Edition),West Publishing Co, St. Paul Minn.

Departemen Pendidikan Nasional, 2011, Kamus Besar Bahasa Indonesia – Pusat Bahasa (Edisi Keempat), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Echols, John M., dan Hassan Shadily, 1995. Kamus Inggris Indonesia (An           English-Indonesia

Dictionary).   PT. Gramedia,

Jakarta.

INTERNET

Revisi UU No 42 Kental Kepentingan diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com/node/242350 tanggal 22 Juli 2013.

Tracy Quinlan, 2004, "Leveling The Playing     Field:     Electoral

Thresholds       and       the

Representation of Women," dalam Res Publica - Journal of Undergraduate Research: Vol. 9, diakses                       dari

http://digitalcommons.iwu.edu/cg i/viewcontent.cgi?article=1060&c ontext=respublica diakses tanggal 1 Mei 2013, Illinois Wesleyan University, Illinois.

Biodata Penulis :

I Gusti Ngurah Agung Sayoga Raditya, SH, Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum     (Konsentrasi     Hukum

Pemerintahan) Pascasarjana Universitas Udayana. Bertempat tinggal di Jalan Kertaneragara IX/4 Ubung Kaja Denpasar, 80116. Penulis saat ini bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas     Hukum     Universitas

Mahendradatta. Penulis apat dihubungi melalui email : [email protected] atau melalui telepon 08873498707

15