Pengendalian Tindakan Land Clearing Oleh Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Menurut Hukum Positif di Indonesia
on

Pengendalian Tindakan Land Clearing Oleh Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Menurut Hukum Positif di Indonesia
Putu Ari Sagita1, I Gede Pasek Pramana2
1RAH The House of Legal Experts, E-mail: asagita131@gmail.com 2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: pasekpramana@gmail.com
Info Artikel
Masuk: 17 Januari 2021 Diterima: 12 Mei 2022
Terbit: 20 Juli 2022
Keywords:
Legal Protection, Land Burning, Local Wisdom
Kata kunci:
Perlindungan Hukum, Pembakaran Lahan, Kearifan Lokal
Corresponding Author:
Putu Ari Sagita, E-mail :
DOI:
10.24843/JMHU.2022.v11.i02.
p10.
Abstract
Land clearing action by customary law community units (hereinafter referred to as KMHA) always intersects with the concept of environmental protection and management. Even though the existence of the KMHA is clearly recognized by the constitution and its origins. The purpose of this paper is to identify and analyze the authority and limits of the KMHA authorities in context of land clearing. The method used in this article is the normative legal research by using the statute approach and the conceptual approach. Based on the analysis, it is known that the KMHA has the authority to carry out land clearing or clearing land by burning as stated in Article 61 paragraph 1 letter h of the PPLH Law, however, there are limitations that must be considered by KMHA in carrying out land clearing by burning. Neverthless, it can be done a maximum of 2 (two) hectares per family head as regulated in Article 4 paragraph 1 Regulation of the Minister of LHK No.10/2010.
Abstrak
Tindakan land clearing oleh kesatuan masyarakat hukum adat (selanjutnya disebut KMHA) senantiansa bersinggungan dengan konsep perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Padahal keberadaan KMHA jelas diakui oleh konstitusi beserta hak asal-usulnya. Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui dan menganlisis tentang kewenangan dan batasan kewenangan dari KMHA dalam konteks land clearing. Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah metode hukum normatif dengan turut menggunakan pendekatan Undang-Undang dan pendekatan Konseptual. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa KMHA berwenang untuk melakukan land clearing atau membuka lahan dengan cara membakar sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 61 ayat 1 huruf h UU PPLH, Namun demikian, ada batasan yang wajib diperhatikan oleh KMHA dalam melaksanakan land clearing melalui pembakaran lahanyakni dapat dilakukan pada lahan dengan luas maksimal 2 (dua) hektar per kepala keluarga sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 ayat 1 Permen LHK No.10/2010.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah cara dalam merealisasikan serta memajukan kehidupan dan mutu makhluk hidup.1 Mengelola lingkungan hidup, bagian terpenting yaitu dalam memperoleh haknya atas lingkungan hidup yang nyaman merupakan gambaran ideal dari turut sertanya masyarakat. Sumber dari kekayaan alam yang dimiliki manusia saat ini merupakan suatu unsur dalam tatanan lingkungan hidup yang telah menjadi suatu kebutuhan setiap aktivitas yang dilakukan dalam kehidupan manusia. 2 Dalam mengelola lingkungan hidup, keturutsertaan masyarakat sangat penting dikarenakan pengurus lingkungan dapat memperhitungkan secara efisien hanya pada masalah biologis dan teknis, tetapi kurang dalam menghadapi persoalan mengenai sosial dan politik dalam mengelola lingkungan. Untuk suatu ketertiban dalam pengelolaan dan perlindungan hidup untuk individu maupun kelompok, telah dibuatkan suatu aturan yang disepakati bersama secara nasional. Peraturan tersebut menjadi pedoman yang dikemas menjadi satu melalui undang-undang yang harus ditaati bersama.3
Pengambilan suatu keputusan maupun kebijakan memerlukan keturutsertaan masyarakat sebagai faktor penting yang dapat memperkuat perspektif sosial maupun politik dalam mengambil kebijakan. Kesejahteraan rakyat suatu negara sangat berkaitan dengan bagaimana kita dapat mengendalikan dan mengelola lingkungan hidup. Melalui pengendalian dan pengelolaan lingkungan hiduplah kesejahteraan rakyat suatu negara hendak diwujudkan. Pemerintah Indonesia dalam melindungi dan mengelola lingkungan hidup telah mengatur dalam sebuah Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah secara nasional mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Aturan-aturan itu dijabarkan pada peraturan daerah pada tingkat daerah. Sedangkan Peraturan Menteri yang menangani masalah dari bidang khusus untuk mengatur permasalahan yang khusus.
Pelestarian alam dan lingkungan masih hangat diperbincangkan manakala masih banyak isu-isu terhadap kerusakan dan perusakan alam yang menjadi kekhawatiran bersama. Pembakaran lahan, Erosi, banjir, gunung berapi, pemanasan global, hutan menggundul dan masih banyak lainnya menjadi gejala yang nampak jelas terlihat dan dirasakan. Kejadian-kejadian tersebut tentu akan mengancam tata kehidupan manusia pada masa mendatang dan tentu mengancam lingkungan. Pada dasarnya, ini menunjukan bahwa apa yang telah dimanfaatkan dan digunakan oleh manusia, mulai
muncul kekhawatiran atau keprihatinan terhadap nasib alam. Manusia perlu menyadari betapa pentingnya hal ini jika ditinjau kembali mengenai hal-hal yang berkaitan kepada alam. Hal tersebut dikarenakan sikap serta perbuatan manusia pada alam cenderung berubah menjadi kesewenangan ketika obsesi utama adalah semata-mata pertumbuhan.4
Gejala-gejala yang nampak jelas terlihat dan dirasakan tersebut diatas terjadi di seluruh dunia dan juga di Indonesia. Menonjolnya konsep pemanfaatan alam yang tidak ada habisnya dari segi ekonomi membuat rusaknya alam lingkungan menjadi suatu yang nyata. Alam dan lingkungan tidak diakrabi dan dikenali melainkan lebih dipandang dari sudut pandang ekonomi.
Menurut I Made Adi Permadi dalam artikelnya menyatakan bahwa “risiko kerusakan lingkungan hidup biasanya dipengaruhi oleh perkembangan pembangunan, teknologi, industrialisasi, dan pertumbuhan penduduk yang semakin pesat.”5 Tuhan dengan segala manifestasinya, menyempurnakan manusia dengan segala isi alam semesta, laut dan darat dengan isi-isinya, bulan, matahari, dan bintang-bintang yang telah memberi energi serta penerangan bagi umat manusia. Maka dari itu, sangatlah penting bagi manusia sebagai makhluk yang lebih sempurna dari makhluk hidup lainya wajib untuk melindungi, menjaga, dan melestarikan segala ciptaan Tuhan dalam hal ini lingkungan hidup, karena semua itu diperuntukan oleh manusia untuk memanfaatkan dengan cara yang bijak.
Marhaeni Ria Siombo dalam artikelnya menyatakan bahwa “saat manusia belum mengenal konsumerisme duniawi, seperti apa yang terdapat pada masyarakat tradisional di pedesaan, tumbuh nilai-nilai yang cukup bijaksana berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam”.6 Hampir seluruh wilayah Indonesia khususnya pada setiap masyarakat pedesaan terdapat suatu kearifan dalam berhubungan dengan alam. Pada mulanya religius magis, namun akhirnya menjadi suatu keterikatan bahwa alam memerlukan penjagaan serta pelestarian karena telah memberikan hidup.7
Pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang (selanjutnya disebut UU Ciptaker) yang melakukan beberapa perubahan terkait lingkungan hidup dalam hal kegiatan mengelola dan melindungi, terutama pada aspek kearifan lokal yang harus diperhatikan. Pasal 4 UU PPLH, berbunyi “perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi perencanaan; pemanfaatan; pengendalian; pemeliharaan; pengawasan, dan; penegakan hukum.” Dalam hal ini, aspek lingkungan hidup yang menjadi fokus bahasan mengenai kegiatan membuka lahan atau yang lebih dikenal dengan istilah land clearing. Land clearing merupakan cara untuk membuka lahan dengan melakukan pembersihan dan penyiapan lahan sebelum lahan tersebut digunakan untuk kepentingan lain seperti usaha perkebunan, pertanian,
pertambangan atau pun pembangunan infrastuktur. Adapun metode dalam pengelolaan dan pembukaan lahan yang digunakan ada dua yakni: (1). Teknik tebas bakar (slash and burn); (2). Mekanis, tanpa bakar (zero burn). Setiap aktivitas lingkungan seperti land clearing ini, pada umumnya memiliki kemungkinan terjadi pencemaran terhadap lingkungan. Menurut Natsir, Muhammad Natsir dan Andi Rachmad dalam tulisannya menyatakan bahwa “pencemaran lingkungan adalah kegiatan manusia atau proses alami yang menyebabkan terjadinya perubahan terhadap tatanan lingkungan, sehingga mutu kualitas lingkungan turun yang menyebabkan lingkungan tidak berfungsi kembali seperti biasanya.”8 Meski sudah diatur secara jelas dalam sebuah aturan dan manusia seharusnya bisa memanfaatkan lingkungan hidup secara bijaksana, namun masih saja ada hal-hal yang dapat merusak lingkungan hidup seperti pembakaran lahan oleh manusia atau masyarakat. Adapun data kebakaran lahan pada tahun 2020 menjadi catatan terburuk sepanjang dua dekade terakhir.9 Faktor yang menyebabkan terbakarnya hutan yaitu penyebab utamanya merupakan akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh manusia sedangkan faktor kejadian alam hanya sebagian kecil dari penyebab terbakarnya hutan.10
Bahwa melalui Pasal 18B ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”. Kegiatan land clearing dengan cara tradisional yakni membakar adalah hak tradisional masyarakat adat seperti yang disebutkan dalam peraturan yang hingga kini masih berlaku. Artinya, masyarakat adat dapat dikecualikan dalam hal kriminalisasi pembakaran lahan untuk proses berladang walaupun pembukaan lahan dengan cara membakar sering berpotensi menjadi kebakaran hutan, mengakibatkan kabut asap yang tidak hanya merugikan negara sendiri, tetapi juga negara-negara tetangga.11 Namun, di sisi lain menurut Rahma Mary yaitu Ketua Manajemen Pengetahuan YLBHI mengatakan bahwa kebanyakan yang di kriminalisasi adalah bagian dari masyarakat adat yang menjadi tertuduh atau diduga sebagai pelaku pembakaran hutan. Berdasarkan catatan YLBHI sebanyak 2 (dua) orang di kriminalisasi karena membakar lahan, sebanyak 27 (dua puluh tujuh) penduduk di Kab. Wahoni Sulteng dan enam orang peladang di Sintang Kalbar dikenai UU PPLH, Perkebunan dan KUHP. Secara tradisional agar dapat mencegah akibat yang luas terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan, adanya suatu kebiasaan berupa cara yang ramah
lingkungan dengan menyesuaikan pada kondisi alam setempat yang dilakukan oleh masyarakat adat.12
Seperti penelitian sebelumnya Ali Imran Nasution dan Taupiqqrrahman 13 dalam penulisan yang berjudul “Peran Kearifan Lokal Masyarakat Membuka Lahan dengan Cara Membakar sebagai Upaya Mencegah Kebakaran Hutan dan Lahan” dengan menggunakan metode penelitian normatif yang memberikan kesimpulan bahwa tindakan membakar lahan oleh masyarakat dalam proses pembukaan lahan diakui dan masih terjaga eksistensinya secara konstitusional dengan tetap diberlakukannya sanksi pidana adat apabila terdapat kepala keluarga yang tidak menaati tata cara membakar hutan yang diizinkan oleh undang-undang dan kesepakatan masyarakat adat. Kemudian, penelitian oleh Rico Septian Noor yang berjudul “Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Eksistensi Masyarakat Hukum Adat di Kalimantan Tengah” dengan kesimpulan bahwa sebelum Indonesia terbentuk, keberadaan masyarakat hukum adat telah ada. Hak-hak yang dimiliki kesatuan masyarakat hukum adat sebagai bagian dari HAM tidak elok apabila pemerintah hanya membuat regulasi tanpa melihat tataran implementasi sebagaimana teori Law Enforcement oleh Lawrence M Friedman. 14 Dalam penulisan artikel ini, yang membedakan dengan penulisan artikel tersebut ialah pada ranah yang ditulis dalam artikel ini. Penulisan artikel ini lebih membahas kepada teknis membuka lahan dengan cara membakar.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, adapun dari permasalahan yang dapat ditarik terdapat 2 (dua) rumusan masalah: 1). Bagaimanakah kewenangan kesatuan masyarakat hukum adat dalam tindakan land clearing menurut hukum positif di Indonesia? 2). Bagaimanakah batasan terkait tindakan land clearing oleh kesatuan masyarakat hukum adat menurut hukum positif di Indonesia? Adapun tujuan dari penulisan artikel ini yang pertama, untuk mengetahui kewenangan kesatuan masyarakat hukum adat dalam tindakan land clearing menurut hukum positif di Indonesia. Kedua, untuk mengetahui dan memahami batasan terkait tindakan land clearing oleh kesatuan masyarakat hukum adat menurut hukum positif di Indonesia.
Artikel disusun dengan digunakannya jenis penelitian yuridis normative, jenis penelitian ini dipilih karena fokus kajian berangkat dari kekosongan norma berkaitan dengan dibentuknya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 34 Tahun 2017 (untuk selanjutnya disebut Permen LHK 34/2017), namun tidak secara rinci mengatur sepenuhnya mengenai jangkauan hal-hal teknis praktis dalam pengelolaan lahan hutan dengan metode
pembakaran oleh masyarakat adat dan juga mengenai ketentuan yang belum jelas terkait kriteria cara membakar lahan hutan yang sangat berpotensi menjadi ancaman kriminalisasi masyarakat adat. Yuridis Normatif merupakan metode yang lebih mengutamakan pendekatan terhadap norma-norma hukum. Penelitian hukum normatif dapat difungsikan dalam memberikan argumentasi hukum dalam hal kekosongan, kekaburan, dan konflik norma. 15 Jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Undang-Undang dan pendekatan konseptual. Adapun sumber bahan hukum yang digunakan terdiri dari Undang-Undang, buku, jurnal, dan situs-situs online. Penulisan penelitian ini tentu menggunakan bahan-bahan hukum atau data yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Teknis analisis bahan hukum yang digunakan yaitu teknik analisis deskripsi, teknik interpretasi, dan Teknik sistematisasi.
-
3. Hasil Dan Pembahasan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (untuk selanjutnya disebut UU PPLH) merupakan Undang-Undang yang pada dasarnya sudah ada sebelum adanya UU Ciptaker. Kehadiran UU Ciptaker menjadi terobosan baru dalam dunia hukum di Indonesia karena membuat semua peraturan menjadi satu dan mampu mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru yang ada didalam UU PPLH maupun UU yang lainnya. Namun, tidak semua pengaturan yang ada didalam UU PPLH dirubah, dihapus maupun ditetapkan menjadi pengaturan yang baru. Mengenai hal tersebut, terkait dengan kearifan lokal tidak ada Pasal-pasal yang mengatur mengenai kearifan lokal dirubah, dihapus, atau ditetapkan pengaturan baru dalam UU PPLH. Masih ada beberapa pasal yang tetap merujuk pada UU PPLH, tidak semua pasal yang tercantum dalam UU PPLH dimuat didalam UU Ciptaker.
Konsep kearifan lokal memilik makna yang luas sebagai sebuah sistem tatanan hidup masyarakat adat dalam semua aspek kehidupan. Lebih lanjut, apabila dilihat secara spesifik merupakan siasat demi terpenuhinya keperluan dan mengatasi persoalan. Apabila dilihat secara lebih spesifik bahwa terdapat lima bagian konsep kearifan lokal yang dijabarkan oleh Keraf yaitu “kearifan lokal sebagai milik komunias dari hasil relasi dengan alam; Kearifan lokal adalah pengetahuan praktis; Kearifan lokal bersifat holistik; Kearifan lokal adalah standar moral komunitas, dan; Kearifan lokal adalah pengetahuan lokal dan bersifat partikular.”16
Lingkup aspek kehidupan dalam kelangsungan hubungan antara masyarakat adat dengan alam yang menyediakan sumber ditunjukkan oleh bagian-bagian kearifan lokal seperti diatas. Artinya, ada pesan penting dalam kelanjutan hubungan sumber daya yang terdapat pada alam dengan masyarakat adat, seperti contoh di Bali dikenal
dengan tradisi Tumpek Uduh yang dilaksanakan setiap 6 (enam) bulan sekali yang memiliki makna sebagai ungkapan rasa terima kasih terhadap sesama makhluk hidup dalam hal ini tumbuh-tumbuhan. Kemudian kearifan lokal di Papua tentang alam sebagai ibu yang artinya sangat bergantung terhadap alam, dan memiliki ritual religius magis terhadap alam, serta memiliki hubungan hukum (hak).
Pada kenyataannya, tindakan land clearing atau membuka lahan dalam masyarakat ada sudah kerap dilakukan. Hal tersebut dilakukan agar bibit yang ditanam mendapatkan ruang yang normal terhindar dari pengganggu baik berupa gulma, hama ataupun penyakit lainnya. Maka dari itu land clearing dengan membakar lahan sudah menjadi kebiasaan yang hidup di dalam masyarakat sarat dengan nilai sosial budaya dan spiritualis seperti di Kalimantan Tengah. Berladang tradisional dengan cara membakar lahan bagi masyarakat adat juga berperan penting dalam mepertahankan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan.17
Pasal 63 ayat 1 huruf t UU PPLH mengamanatkan agar dibentuk Peraturan Menteri sebagai pelaksana atas ketentuan tersebut yang kemudian pada tahun 2017 Permen LHK 34/2017 ditetapkan. Ketentuan tentang kearifan lokal di UU PPLH diatur mengenai lima bagian, pertama, disebutkan dalam Pasal 1 angka 30 bahwa “menjelaskan mengenai kearifan lokal yang mengatakan bahwa kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.” Kedua, pada Pasal 2 huruf l menyebutkan bahwa “mengatur kearifan lokal sebagai salah satu asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.” Ketiga, pada Pasal 7 ayat 2 huruf e dan g, jo. Pasal 10 ayat 2 huruf d dan e menyebutkan bahwa “mengatur kearifan lokal sebagai unsur penting ekoregion dan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH).” Keempat, pada Pasal 63 ayat 1 huruf t “mengatur bahwa dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah bertugas dan
berwenang menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terakit dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.”Kelima, pada Pasal 69 ayat (2) menyebutkan bhawa “mengatur secara serius terkait kearifan lokal pada wilayah/daerah masing-masing,”sedangkan bunyi pada Pasal 61 ayat 1 huruf h menyatakan bahwa “ialah setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara dibakar.” Berdasarkan penjelasan pasal-pasal tersebut, adapun prinsip dasar yang terkandung didalam UU PPLH yakni bahwa “negara mengemban kewajiban untuk memberikan pengakuan terhadap eksistensi masyarakat adat beserta kearifan lokalnya sebagai unsur dan asas fundamental dalam kegiatan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup disekitar masyarakat adat.”
Pengaturan kearifan lokal sebagaimana termuat dalam Permen LHK 34/2017 bahwa diatur mengenai 5 (lima) hal yaitu, pertama pada Pasal 1 angka 7 bahwa “penegasan masyarakat adat sebagai pengampu kearifan lokal di wilayah adat adalah Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat yang memegang hak ulayat atau hak tradisional dan memperoleh manfaat dari hak ulayat atau pengelolaan dalam bentuk
tanggung jawab moral, ekonomi, dan budaya.” Kedua, pada Pasal 7 huruf a dan b mengatur pengaturan jenis dan kriteria kearifan lokal yang berbunyi “nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat setempat; dan Pernyatan pengakuan masyarakat sekitar yang berbeda.” Ketiga, pada Pasal 4 huruf a sampai dengan f mengatur tentang ruang lingkup objek kearifan lokal. Keempat, pada Pasal 24 ayat 1 dan 2 mengatur tentang tentang akses pihak ketiga. Kelima, pada Pasal 9 sampai dengan Pasal 22 mengatur mengenai tata cara pengakuan kearifan lokal masyarakat adat.
Adapun pengaturan mengenai kearifan lokal yang termuat dalam Permen LHK 34/2017 bahwa bahwa “perlindungan hukum bagi pengampu dan memfasilitasi pengakses kearifan kokal lebh kepada perwujudan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam dan agar pengampu kearifan lokal mendapat pengakuan, perlindungan, dan memperoleh pembagian keuntungan yang adil dan seimbang dari pemanfaatan kearifan lokal dalam relevansi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.”
Menurut Teori keadilan yang merupakan salah satu bagian dari tiga nilai dasar hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch. Gustav Radbruch berusaha mengkombinasikan ketiga pandangan klasik (filsufis, normatif, dan empiris) menjadi satu pendekatan dengan masing-masing pendekatan dijadikan sebagai unsur pokok dan menjadi dasar pendekatan hukum oleh Gustav Radbruch.18 Keadilan (filosofis), kepastian hukum (juridis) dan kemanfaatan bagi masyarakat (sosiologis) yang kemudian dikenal sebagai tiga nilai dasar hukum. Keadilan berasal dari bahasa Arab yaitu aadilun yang dalam kamus besar bahasa indonesia dijelaskan memiliki arti sama berat, tidak berat sebelah, berpihak kepada yang benar berpegangan pada kebenaran, sepatutnya tidak sewenang-wenang. Artinya, pemerintah dalam menetapkan sebuah peraturan harus disesuaikan dengan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat agar memberi keadilan terhadap kewenangan masyarakat adat dalam melakukan tindakan land clearing. Hal tersebut juga meminimalisir tindakan sewenang-wenang pemerintah dalam membentuk sebuah peraturan.
-
3.2 Batasan Terkait Tindakan Land Clearing Oleh Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Menurut Hukum Positif di Indonesia
Merujuk pada pada penelitian yang dilakukan oleh Ali Imran Nasution dan Taupiqqrrahman dalam penulisan yang berjudul “Peran Kearifan Lokal Masyarakat Membuka Lahan dengan Cara Membakar sebagai Upaya Mencegah Kebakaran Hutan dan Lahan,” pada intinya menyatakan bahwa “membuka lahan dengan cara membakar masih eksis dan diakui secara konstitusional, serta diberlakukannya sanksi pidana adat apabila terdapat kepala keluarga yang menyimpangi atau melanggar tata cara membakar hutan.” Kemudian, penelitian oleh Rico Septian Noor yang berjudul “Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Eksistensi Masyarakat Hukum Adat di Kalimantan Tengah,” dengan kesimpulan bahwa “masyarakat hukum adat keberadaannya telah ada sebelum Indonesia terbentuk.” Bahwa sebagaimana teori Law
Enforcement oleh Lawrence M Friedman yang pada prinsipnya menyatakan bahwa “hak-hak yang dimiliki kesatuan masyarakat hukum adat sebagai bagian dari HAM tidak elok apabila pemerintah hanya membuat regulasi tanpa melihat tataran implementasi.” Hal ini selaras dengan amanat Pasal 18B ayat 2 UUD NRI Tahun 1945.
Dalam Pasal 69 ayat 2 UU PPLH menyatakan bahwa “masyarakat adat memiliki hak khusus dalam pembukaan lahan sebagaimana yang ada didalam ayat 1 huruf h mencermati secara serius kearifan lokal pada masing-masing daerah.” Kemudian, Pasal 61 ayat 1 huruf h berbunyi “setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara dibakar.” Artinya, masyarakat adat jika ingin membuka lahan untuk kepentingan masyarakat adat setempat tidak dapat di kriminalisasi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal tersebut.
Jika dikaitkan pada perlindungan hukum terhadap pembakaran lahan oleh masyarakat adat, masih banyak masyarakat adat yang dikriminalisasi akibat dari pembakaran lahan dan hutan yang besar. Artinya, perlindungan secara maksimal oleh masyarakat adat belum dapat diterapkan karena, pemerintah belum maksimal menciptakan suatu perlindungan hukum melalui sebuah peraturan hukum
Subjek hukum yang diberikan sifat perlindungan dalam bentuk perangkat hukum dapat diartikan sebagai perlindungan hukum baik dalam bentuk tertulis maupun tidak, memiliki sifat preventif maupun represif. Oleh sebab itu, pada prinsipnya konsep perlindungan hukum mengambarkan bagaimana fungsi hukum yang memberikan keadilan, kepastian, kemanfaatan, ketertiban, dan kedamaian bagi setiap orang.19
Hal ini tentu menjadi masukan bagi aparatur hukum untuk mendudukan sebuah masalah yang terjadi terkait pembakaran lahan yang berujung kriminalisasi. Hak-hak yang dimiliki khususnya hak-hak konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam konstitusi tidak dapat diperoleh oleh masyarakat adat sebagai akibat dari kriminalisasi atau tuduhan atas pembakaran lahan.20
Ketika pemerintah membuatkan suatu peraturan yang termuat dalam Permen LHK 34/2017 yang tidak secara rinci mengatur sepenuhnya mengenai jangkauan hal-hal teknis praktis dalam pengelolaan lahan hutan dengan metode pembakaran oleh masyarakat adat dan juga mengenai ketentuan yang belum jelas terkait kriteria cara membakar lahan hutan yang sangat berpotensi menjadi ancaman kriminalisasi masyarakat adat. Selanjutnya, mengenai status pengakuan kearifan lokal dalam aturan ini juga belum meletakkan kerangka dasar dan sistem pengelolaan lingkungan hidup yang tepat dan dibenarkan saat ini. Serta peraturan ini belum menegaskan tentang kearifan lokal sebagai dasar tata kelola dan cara mengelola lingkungan hidup yang sejatinya merupakan hal yang sangat prinsipil.
Hal tersebutlah yang membuat bahwasannya masyarakat sampai saat ini masih dikriminalilasi akibat adanya suatu pembakaran lahan. Tidak ada suatu pengaturan yang pasti karena adanya kekosongan norma di dalam Peraturan Pelaksana dari UU PPLH yaitu Permen LHK No. 34 Tahun 2017. Jika hal ini dikaitkan dengan beberapa teori dan asas yaitu teori pluralisme hukum lemah, teori perlindungan hukum dan teori kepastian hukum, serta asas perlindungan kearifan lokal maka dapat dijabarkan sebagai berikut:
Menurut Griffiths, bahwa “pluralisme hukum lemah adalah bentuk lain dari sentralisme hukum, hal tersebut dikarekanakan meskipun mengakui adanya pluralism hukum, namun hukum negara tetap dipandang sebagai superior, sementara hukum-hukum yang lain disatukan dalam hierarki di bawah hukum negara.”21 Dalam hal ini, kebiasaan yang hidup di dalam masyarakat seperti membuka lahan (land clearing) dengan cara membakar sudah menjadi tradisi dan telah diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang, namun tetap saja kriminalisasi terhadap masyarakat adat tetap dilakukan seperti kisah Abdullah alias Dul Ketam asal Desa Baturusa, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung yang dituduh telah melakukan pembakaran lahan dan hutan.22
Mengenai teori kepastian hukum, kepastian hukum ditunjukan dengan yang berhak menurut hukum, memperoleh haknya dan putusan tersebut dapat dilaksanakan. Utrecht dalam buku Riduan Syahrani berpendapat mengenai bahwa “kepastian hukum yang terdiri dari dua penafsiran, yaitu: 23 Pertama, Peraturan yang sifatnya umum menyebabkan pemahaman mengenai perbuatan yang dianggap sah dan tidak sah untuk dilakukan. Kedua, individu yang memiliki keamanan hukum atas ketidakadilan pemerintah terhadap individu diakibatkan oleh peraturan yang sifatnya umum tersebut membuat diketahuinya hal-hal apa saja yang dapat dibebankan oleh Negara kepada invidu tersebut.”
Kepastian hukum berkaitan erat dengan keadilan, tetapi tidak selalu suatu kepastian hukum menciptakan keadilan. Pada dasarnya terdapat berbagai sifat yang terdapat pada hukum itu sendiri, antara lain bahwa hukum itu umum, menyamaratakan, dan mengikat setiap orang. Sedangkan sifat keadilan sendiri adalah subjektif. Kepastian hukum berarti bahwa wajib hukumnya untuk memberikan kejelasan atas apa saja atau tindakan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat, sehingga tidak terjadinya multitafsir atas suatu aturan tersebut. Suatu negara manapun pasti mengidamkan bahwa adanya kepastian antara peraturan dan pelaksanaannya. Adanya 3 (tiga) tujuan hukum yakni Kepastian, Kemanfaatan, dan Keadilan memutuskan pada kepastian merupakan tujuan utama dari hukum. Tanpa adanya suatu kepastian, maka hukum akan menjadi goyah, jika hukum goyah maka hukum tidak akan menjadi suatu pedoman di masyarakat.
Kemudian, mengenai teori perlindungan hukum, bahwa sebagaimana dikutip dari artikel karya Ahmad Zaini disebutkan bahwa “teori perlindungan hukum merupakan perkembangan dari konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) yang menghendaki adanya unsur-unsur tertentu dalam penyelenggaraan sisitem ketatanegaraan.” 24 Pemberian batas dan tanggung jawab kepada masyarakat serta pemerintah adalah arah konsep perlindungan terhadap HAM.25 Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa “perlindungan hukum adalah upaya untuk mengorganisasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat supaya tidak terjadi tubrukan antar kepentingan dan dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.” 26 Bahwa cara mengorganisasinya dilakukan dengan pembatasan kepentingan tertentu dan memberikan kewenangan lainnya secara terukur pada pihak lain.27 Lebih lanjut pada penjelasan Pasal 2 huruf l mengenai asas perlindungan kearifan lokal dijelaskan bahwa “Asas Perlindungan dan Kearifan Lokal adalah bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.”Apabila dikaitkan dengan permasalahan masih adanya kriminalisasi masyarakat adat karena membuka lahan dengan cara dibakar, sesuai dengan teori kepastian hukum, baik dalam UU PPLH maupun peraturan pelaksana dalam Permen LHK 34/2017belum memberi suatu kepastian hukum. Sehingga, apabila peraturan ini masih diberlakukan secara terus menerus maka tidak ada aturan yang pasti mengenai diakuinya kearifan lokal atau tidak, mengingat bahwa sampai saat ini belum adanya kerangka dasar pengelolaan lingkungan hidup dan belum ditegaskannya diatur bagaimana konsep kearifan lokal sebagai landasan fundamental dan prinsipil tata Kelola dan perlindungan lingkungan. Berkaitan dengan batasan KMHA dalam melaksanakan pembakaran lahan dalam kegiatan land clearing sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 ayat 1 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan (untuk selanjutnya disebut Permen LHK No.10/2010) bahwa diperbolehkan sepanjang lahan tersebut berukuran maksimal 2 (dua) hektar untuk satu kepala keluarga.
Berdasarkan pemaparan diatas, menurut teori perlindungan hukum, masyarakat adat berhak mendapatkan perlindungan hukum terkait pembakaran lahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Satjipto Rahardjo yang menitik beratkan bahwa segala hak yang hukum berikan dapat dinikmati. Artinya, masyarakat adat memperoleh kenikmatan atas hak yang hukum berikan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 69 ayat 2 UU PPLH. Berikutnya, mengenai asas perlindungan kearifan lokal, asas ini juga memberikan sebuah perlindungan kepada masyarakat adat apabila melakukan
pembakaran guna membuka lahan sesuai dengan kearifan lokal masyarakat adat setempat.
Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa KMHA berwenang untuk melakukan land clearing atau membuka lahan dengan cara membakar sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 61 ayat 1 huruf h UU PPLH, Namun demikian, ada batasan yang wajib diperhatikan oleh KMHA dalam melaksanakan pembakaran lahan atau hutan untuk land clearing dapat dilaksanakan dengan ketentuan luas lahan maksimal 2 (dua) hektar untuk satu kepala keluarga sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 ayat 1 Permen LHK No.10/2010.
Daftar Pustaka
Apryani, Ni Wayan Ella. “Pembukaan Lahan Hutan Dalam Perspektif HAM: Studi Tentang Pembakaran Lahan Terkait Kearifan Lokal.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 7, no. 3 (n.d.): 359–74.
ari Permadi, I Made. “KEWENANGAN BADAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM PEMBERIAN SANKSI ADMINISTRATIF TERHADAP PELANGGARAN PENCEMARAN LINGKUNGAN.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 5, no. 4 (n.d.): 650–60.
Diantha, I Made Pasek, and M S SH. Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum. Jakarta: Prenada Media, 2016.
Gregorius, Junior B. “HAK ASASI MANUSIA (HAM) ATAS LINGKUNGAN HIDUP1 (Suatu Rekfleksi Sosio-Yuridis Atas Implementasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan).” Jurnal Hukum & Pembangunan 39, no. 3 (2009): 283–306.
Irianto, Sulistyowati. “Sejarah Dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum Dan Konsekuensi Metodologisnya.” Jurnal Hukum & Pembangunan 33, no. 4 (2017): 485–502.
Irwandi, Jumani, and B Ismail. “Upaya Penanggulangan Kebakaran Hutan Dan Lahan Di Desa Purwajaya Kecamatan Loa Janan Kabupaten Kutai Kertanegara Kalimantan Timur.” Agrifor: Jurnal Ilmu Pertanian Dan Kehutanan 15, no. 2 (2016): 201–10.
Jenerio, Rio, J.R.A Sandi, Marang, Sajarad Zakun, Kesiadi, D.N Hartono, A.N Waluyo, M.W Febiana, and Tri. Otaviani. “Perlindungan Peladang Tradisional Dilihat Dari Perda Pemprov Kalimantan Tengah No. 1 Tahun 2020 Tentang Pengendalian Kebakaran Lahan.” In Diskusi Webinar Peringatan Hari Tani 2020 Perda Dakarla #2”, edited by Kalimantan Tengah. Live Youtube Walhi, 2020.
Keraf, A. S. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas, 2006.
Maridi, Maridi. “Mengangkat Budaya Dan Kearifan Lokal Dalam Sistem Konservasi Tanah Dan Air.” In Proceeding Biology Education Conference: Biology, Science, Enviromental, and Learning, 12:20–39, 2015.
Mohammad Yamin. “Dituduh Jadi Pelaku Pembakaran Hutan, Warga Minta Perlindungan Ke Kapolri.” Sindonews.com, 2020.
Muslih, M., “Negara Hukum Indonesia Dalam Perspektif Teori Hukum Gustav Radbruch (Tiga Nilai Dasar Hukum)". Legalitas: Jurnal Hukum, no. 4, (2017): 130152.
Nasution, Ali Imran. “Peran Kearifan Lokal Masyarakat Membuka Lahan Dengan Cara Membakar Sebagai Upaya Mencegah Kebakaran Hutan Dan Lahan.” Esensi Hukum 2, no. 1 (2020): 1–14.
Natsir, Muhammad, and Andi Rachmad. “Penetapan Asas Kearifan Lokal Sebagai Kebijakan Pidana Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Di Aceh.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 4, no. 7 (2018): 468–89.
Nola, Luthvi Febryka. “UPAYA PELINDUNGAN HUKUM SECARA TERPADU BAGI TENAGA KERJA INDONESIA (TKI)(INTEGRATED LEGAL PROTECTION FOR MIGRANT WORKERS).” Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan 7, no. 1 (2017): 35–52.
Noor, Rico Septian. “Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Eksistensi Masyarakat Hukum Adat Di Kalimantan Tengah.” Morality: Jurnal Ilmu Hukum 4, no. 2 (2018): 115–31.
Pratama, Bayu. “Catatan 2020: Kebakaran Hutan Terburuk Sepanjang 18 Tahun.” Warta Ekonomi.co.id, 2020.
https://www.wartaekonomi.co.id/read304832/catatan-2020-kebakaran-hutan-terburuk-sepanjang-18-tahun.
Prianto, Eko, and Husnah Husnah. “Penambangan Timah Inkonvensional: Dampaknya Terhadap Kerusakkan Biodiversitas Perairan Umum Di Pulau Bangka.” BAWAL Widya Riset Perikanan Tangkap 2, no. 5 (2017): 193–98.
Raharjo, Satjipto. Ilmu Hukum, Bandung. PT Citra Aditya Bakti. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000.
Sharaningtyas, Yustina Niken. “Gugatan Warga Negara (Citizen Law Suit) Dan Justiciability Pemenuhan Hak Atas Lingkungan Hidup Yang Baik Dan Sehat.” Kertha Patrika 38, no. 1 (2016).
Siombo, Marhaeni Ria. “Kearifan Lokal Dalam Perspektif Hukum Lingkungan.” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 18, no. 3 (2011): 428–43.
Syahrani, Riduan. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti, 1999.
Syaufina, Lailan, and Fransisxo G S Tambunan. “Local Wisdom of Community in Land and Forest Fire Prevention (A Case Study of Local Community of Kasepuhan Ciptagelar, Sirnaresmi Village Cisolok Subdistrict, Sukabumi District, West Java Province).” Jurnal Silvikultur Tropika 4, no. 3 (2013).
Suflah, S. N. “Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal Dari Tindakan Pelanggaran Merek/Merek Tiruan Di Medan (Studi Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis),” Iuris Studia: Jurnal Kajian Hukum 3, no. 2 (2021): 634-643.
Widiadnyani, I Gusti Ayu, and Putu Tuni Cakabawa Landra. “Baku Mutu Lingkungan Sebagai Instrumen Pengendalian Lingkungan Hidup Kasus Galian C Di
Kabupaten Karangasem.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 9, no. 3 (2020): 535–46.
Zaini, Ahmad. “NEGARA HUKUM, DEMOKRASI, DAN HAM.” Al Qisthas: Jurnal Hukum Dan Politik Ketatanegaraan 11, no. 1 (2020): 13–48.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059)
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.34/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 801)
379
Discussion and feedback