Kebijakan Hukum Match Fixing Pada Sepak Bola Indonesia: Studi Perbandingan Australia dan Jerman

Vicko Taniady1, Dina Tsalist Wildana2, Reni Putri Anggraeni3, Novi Wahyu Riwayanti4

1Fakultas Hukum Universitas Jember, E-mail: 190710101184@mail.unej.ac.id

2Fakultas Hukum Universitas Jember, E-mail: dinawildana@unej.ac.id

3Fakultas Hukum Universitas Jember, E-mail: reniputri2305@gmail.com

4Fakultas Hukum Universitas Jember, E-mail: noviriwayanti580@gmail.com

Info Artikel

Masuk: 27 Februari 2021

Diterima: 21 Mei 2022

Terbit: 20 Juli 2022

Keywords:

Match fixing; Indonesian Legal Policy; Australian Legal Policy; German Legal Policy


Kata kunci:

Match fixing; Kebijakan

Hukum Indonesia; Kebijakan

Hukum Australia; Kebijakan

Hukum Jerman

Corresponding Author:

Vicko Taniady, E-mail:

190710101184@mail.unej.ac.id


Abstract

Match fixing often colors football in various worlds, including Indonesia. Match fixing is motivated by bribery transactions. This study will explain the match fixing arrangements in various countries, particularly in Indonesia, Australia, and Germany, to provide and build an ius constituendum in the future, especially related to legal subjects, criminal acts, and punishments. The research method in this paper is normative law with a normative and legislative approach and a match fixing policy on comparative law in Indonesia, Australia, and Germany. This study shows that match fixing regulations in Indonesia are still relatively weak, which increases match fixing actions. This can be seen from the regulation of the Criminal Code, which still does not comprehensively regulate the proper legal subjects, and the weakness of the sentences imposed. If you look at the country of Australia, the country has a special regulation to regulate matchfixing called the National Match-Fixing Policy in Sport which was passed in 2011. On the other hand, Germany was an initially prosperous country with score-fixing; the syndicate was able to deal with match-fixing issues with amendments. German Penal Code and Co-founded against match-fixing – a game does not fix program focused on preventive measures, workshops, rules and regulations, ombudsman, and monitoring. By looking at the policies taken by Australia and Germany, it should be a guideline for Indonesia in eradicating the crime of match-fixing.

Abstrak

Match fixing sebagai tindakan pengaturan skor kerap mewarnai olahraga sepak bola diberbagai dunia termasuk di Indonesia. Match fixing dilatarbelakangi oleh transaksi suap. Penelitian ini akan menjelaskan pengaturan match fixing diberbagai negara terkhusus di Indonesia, Australia dan Jerman dalam rangka memberikan dan membangun ius constituendum ke depan khususnya terkait subyek hukum, tindak pidana dan pemidanaan. Metode penelitian dalam penulisan ini adalah hukum normatif dengan menggunakan hukum normatif dan pendekatan peraturan perundang-undangan dan comparative

DOI:

10.24843/JMHU.2022.v11.i02. p08.


law kebijakan match fixing di Indonesia, Australia dan Jerman. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa pengaturan tindakan match fixing di Indonesia masih tergolong lemah, yang mengakibatkan semakin meningkatnya tindakan match fixing. Hal tersebut terbukti dari pengaturan Undang-Undang Tindak Pidana Suap yang masih belum mengatur secara komprehensif subjek hukum yang jelas, dan lemahnya hukuman yang dijatuhkan. Apabila melihat negara Australia, negara tersebut memiliki regulasi khusus untuk menangani match fixing yang bernama National Policy on Match Fixing in Sport yang disahkan pada tahun 2011. Di sisi lain, Jerman sebagai negara yang awalnya marak dengan sindikat match fixing mampu menghadapi masalah match fixing dengan amandemen The Germany Criminal Code serta membentuk program Together against match fixing – don’t fix the game yang berfokus pada tindakan pencegahan, workshop, rules and regulation, ombudsman and monitoring. Dengan melihat kebijakan yang diambil oleh Australia dan Jerman, sudah seyogyanya menjadi pedoman bagi Indonesia dalam memberantas tindak pidana match fixing.

  • I.    Pendahuluan

Dinamika perjalanan cabang olahraga sepak bola yang tidak pernah mengalami fase kemunduran seringkali diwarnai oleh maraknya kasus match fixing 1 yang dilatarbelakangi oleh tindakan suap. 2 Pembicaraan terkait pengaturan skor semakin massif terjadi di Indonesia sehingga perlu adanya tindak lanjut dari stakeholder terkait hal tersebut.3 Seiring dengan hiruk-pikuknya dinamika pertandingan sepak bola, jarang sekali terdapat kajian terkait regulasi hukumnya. Padahal jika menilik lebih dalam, di dalam arena pertandingan kerap diwarnai oleh aksi korporasi di dalam memainkan skor. 4 Pengaturan terkait pengaturan skor dan mafia dalam sepak bola pun kerap

diperbincangkan. Namun demikian, kasus tersebut hingga saat ini tidak ada penyelesaian secara konkrit, namun malah berujung pada maraknya kasus korporasi pada ranah sepak bola yang mengambang dan tanpa adanya penyelesaian.

Kompetisi sepak bola dunia maupun Indonesia, nyatanya telah disusupi oleh kejahatan terorganisir oleh pemangku kebijakan dalam arena pertandingan yang kerap kali melakukan manipulasi skor pertandingan. 5 Pengaturan dan manipulasi skor pertandingan merupakan suatu kejahatan global yang merugikan banyak pihak. Di Australia, kasus match fixing telah mencapai angka 2000 pada tahun 2005 sebelum dikeluarkannya Undang-Undang yang mengatur match fixing di Australia yakni National Policy on Match Fixing in Sport yang disahkan pada tahun 2011. Pengaturan khusus mengenai match fixing juga dilakukan di negara bagian Australia yakni New South Wales yakni regulasi New South Wales Crimes Act 1900 No. 40.6 Selain Australia, Negara Jerman pun pernah mengalami krisis atas kasus match fixing yang pernah terjadi di negara tersebut. Bahkan, pada tahun 2012, Jerman dinobatkan sebagai negara dengan peringkat ke-10 negara terkorup di sepakbola.7 Dengan melihat, maraknya tindakan match-fixing, pemerintah Jerman melakukan amandemen The Germany Criminal Code dengan penambahan pasal 265 terkait dengan tindakan match fixing.8

Di Indonesia kasus match fixing dapat dilihat dari beberapa kasus misalnya yang menjerat ketua PSSI Djoko Triyono yang melakukan pengerusakan barang bukti pada kasus match fixing, Mafia wasit liga Indonesia pada tahun 1998, Gol bunuh diri yang dilakukan oleh Mursyid effendi ke gawang Thailand di Piala Tiger 1998 yang berimbas pada kalahnya timnas Indonesia 2-3 atas Thailand.9 Selain itu, kasus Johan Ibo yang berusaha melakukan penyuapan pada pemain Pusmania Borneo FC (PBFC) pada tahun 2015, serta suap yang dilakukan terhadap wasit pada gelaran liga Indonesia VI.10 Pada

Kode Disiplin PSSI,” Prosiding Ilmu Hukum 3, no. 1   (2017):   31–35,

https://doi.org/10.29313/.v0i0.5444. h. 32

2018 pun diketahui dari 250 kasus match fixing di Indonesia, hanya 42% kasus yang mampu di deteksi polisi.11

Keterkaitan tindakan suap dan match fixing di ranah sepak bola sudah sudah bukanlah menjadi hal yang baru. Buruknya sistem pencatatan dan tidak terkodifikasinya suatu regulasi di Indonesia, menyebabkan sulitnya pengentasan permasalahan kejahatan pada dunia olahraga. Urgensi hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap (Undang-Undang Tindak Pidana Suap). Dalam pemberantasan suap, menjadi hal yang terlupakan ketika banyak pihak yang tidak mengetahui terkait regulasi ini. Problematik kejahatan pada dunia sepak bola Indonesia kerap kali menggunakan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi) sebagai acuannya merupakan hal yang tidak relevan dalam pengentasan permasalahan ini.12 Sehingga, apabila dianalisis dalam Undang-Undang Tindak Pidana Suap, tidak menyebutkan secara eksplisit dengan penjabaran subjek hukum. Pengaturan yang tertuang hanya menyatakan frasa “barangsiapa” yang sepintas dapat disimpulkan bahwa hanya subjek hukum perorangan yang dapat dijatuhi hukuman pidana. Hal tersebut dapat dilihat dalam tindak pidana suap terkait subjek hukum yang diakomir yakni suatu klub atau siapapun yang masuk dalam anggota internal klub baik itu pemilik klub, pengurus, manager, pelatih, hingga pemain. Sehingga, kebutuhan hukum terhadap subjek hukum korporasi perlu untuk diatur lebih lanjut. Selain itu, Undang-Undang Tindak Pidana Suap memiliki sanksi pidana yang sedikit dengan rentan 3-5 tahun penjara. Oleh karena itu, penelitian terkait problematika hukum match fixing sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Penelitian yang berkaitan dengan match fixing sejatinya telah dilakukan beberapa kali sebelumnya, seperti: Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Achmad Subandi dan Yana Indawati dengan judul penelitian “Tindak Pidana Suap dan Pengaturan Skor (Match Fixing) dalam Pertandingan Sepak Bola di Indonesia”. 13 Pada penelitian ini menunjukkan, banyaknya motif suap pengaturan skor di Indonesia sehingga perlu adanya tindakan hukum yang lebih tegas untuk mengatasi hal tersebut. Penelitian ini juga menyatakan bahwa hukuman yang diberikan dalam kasus suap pengaturan skor

hanya sebatas penegakan hukum disiplin oleh internal PSSI; Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Johanna Peurala dengan judul penelitian “Match-manipulation in football-the challenges faced in Finland”.14 Penelitian ini mengungkapkan, selama beberapa tahun terakhir semakin maraknya kasus match fixing di Finlandia. Penelitian ini menganalisis manipulasi pertandingan dalam sepok bola berdasarkan KUHP Finlandia; dan Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Alexzander Rinaldy dan Dian Adriawan Daeng Tawang dengan judul penelitian “Kriminalisasi Match Fixing dalam Pertandingan Sepak Bola di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap. 15 Penelitian ini mengungkapkan bahwa beberapa kasus match fixing di ranah olahraga sepak bola tidak berlanjut pada ranah pidana. Penelitian ini juga menyatakan bahwa adanya kesalahan penafsiran terkait penggunaan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sebagai regulasi match fixing. Penelitian ini juga menginginkan adanya terobosan dan penemuan hukum yang baru untuk mengatasi hal tersebut.

Mengingat penelitian yang berkaitan dengan match fixing telah dilakukan beberapa kali, serta berangkat dari belum terselesaikannya problematika kasus match fixing pada sepak bola Indonesia, oleh karenanya penelitian ini berfokus pada dua rumusan masalah yakni: Pertama, Siapakah subjek hukum match fixing yang diatur dalam kebijakan hukum di Indonesia, Australia Dan Jerman? dan kedua, Bagaimana criminal policy terkait perbuatan match fixing di Indonesia, Australia dan Jerman?

  • 2.    Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah hukum-normatif dan pendekatan peraturan undang-undang serta comparative law. Pendekatan peraturan perundang-undangan dilakukan untuk menganalisis peraturan 16 mengenai tindakan match fixing dalam ranah sepakbola di Indonesia. Selanjut, pendekatan comparative law dilakukan untuk mengkaji pengaturan match fixing di Australia dan Jerman. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang meliputi undang-undang, konvensi internasional, buku, jurnal, artikel online, dan lainnya yang relevan dengan kajian yang dibahas. Untuk mengolah data sekunder tersebut, penulis menggunakan teknik studi pustaka.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Subjek Hukum Tindakan Match Fixing di Indonesia, Australia dan Jerman

      • 3.1.1.    Indonesia

Terjadinya kasus match fixing yang di latar belakangi oleh tindakan suap dalam penyelesaiannya seringkali menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,

merupakan sebuah pedoman yang salah untuk mengatasi kasus terkait. 17 Undang-Undang Tindak Pidana Suap, seyogyanya dapat menjadi payung hukum dan pijakan dalam menangani kasus suap di Indonesia. Namun, pada Undang-Undang Tindak Pidana Suap tidak menjelaskan terkait subjek hukum secara konkrit. Sejatinya, Subjek hukum merupakan hal yang sangat fundamental karena berkaitan dengan pebuatan hukum.18

Padahal, pada Undang-Undang Tindak Pidana Suap, tidak menyebutkan secara eksplisit dengan penjabaran subjek hukum. Pada Undang-Undang Tindak Pidana Suap, hanya menyebutkan kata “Barang siapa...” dalam mewakili subjek hukum yang dapat di jerat dengan Undang-Undang ini. Tentunya hal tersebut akan menimbulkan makna yang kabur dan ketidakjelasan dalam penentuan subjek hukum tindakan suap pada kasus match fixing. Jika menilik pada KUHP, yang dimaksud daripada “Barang siapa” hanya di fokuskan pada perseorangan (naturalijk person) dan tidak dijelaskan kepada pelaku korporasi.19 Pada dasarnya subjek hukum terdiri dari perorangan dan badan hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam perbuatan hukum. Sedangkan jika menilik pada Undang-Undang Darurat Ekonomi Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (selanjutnya disebut Undang-Undang No. 7 Tahun 1955) yang jauh sebelum Undang-Undang Tindak Pidana Suap disahkan, telah mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana yakni tertuang di Pasal 15 Ayat 2. Telah dicantumkannya korporasi sebagai subjek hukum pada Undang-Undang No. 7 Tahun 1955, namun pada Undang-Undang Tindak Pidana Suap tidak diatur secara jelas. Tentunya hal ini dapat dikatakan bahwa kehadiran Undang-Undang Tindak Pidana Suap tidak efektif dalam mengakomodir makna pelaku dalam hal perorangan dan korporasi.20

Match fixing yang dilatarbelakangi oleh kasus suap, erat kaitannya dengan Undang-Undang Tindak Pidana Suap. Hal ini diakibatkan karena Kasus match fixing dilatarbelakangi oleh tindakan suap yang tidak hanya dilakukan oleh perorangan namun juga korporasi. Sehingga kata yang menjelaskan subjek hukum pada Undang-Undang Tindak Pidana Suap harus lah dipertegas dan diperjelas. Karena hukum pidana haruslah berdasarkan pada (lex scipta) dan bebas dari penganalogian (lex scripta). 21 Dengan hadirnya makna yang kabur dari pengertian subjek hukum menurut Undang-Undang Tindak Pidana Suap ini, maka tidak dapat diterapkan pada pelaku kejahatan match fixing yang dilakukan secara korporasi. Selain itu, jika tetap diterapkan pada kasus

match fixing secara korporasi, maka sangat tidak sejalan dengan ketentuan lex scipta dan lex scripta.

Sejatinya, ketentuan subjek hukum dalam tindak pidana manipulasi skor ketentuan ini telah termaktub pada Pasal 73 ayat 2 Kode Disiplin PSSI 2018 yang menjelaskan tentang subjek hukum yaitu “Siapapun yang berkonspirasi mengubah hasil pertandingan yang berlawanan dengan etik keolahragaan dan asas sportivitas dengan cara apapun....”. Pasal 73 Ayat 3 pun menjelaskan tentang subjek hukum yakni “Pemain yang ikut serta melakukan konspirasi mengubah hasil pertandingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas dijatuhi...”. Pasal 73 Ayat 4 yang menjelaskan subjek hukum yakni “Ofisial atau pengurus yang melakukan atau ikut serta melakukan konspirasi mengubah hasil pertandingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas, dijatuhi sanksi ”. dan Pasal 73 Ayat 5 yang menjelaskan subjek hukum yakni “Klub atau badan yang terbukti secara sistematis melakukan konspirasi mengubah hasil pertandingan.”

Namun, Pada dasarnya penerapan dalam penegakan tindak pidana manipulasi skor pada permainan sepak bola dengan berpedoman pada Kode Disiplin tidaklah mempunyai kekuatan yang seperti halnya pada Undang-Undang. Hal ini dikarenakan bahwa kode disiplin hanya mengikat ke dalam, yakni mengikat bagi para oknum di dalam suatu organisasi tersebut. Selain itu, jika menilik pada hierarki perundang-undangan, kode disiplin tidak masuk kedalam hierarki yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Sehingga, dibutuhkan regulasi sebagai pedoman dalam penenegakan suatu tindak pidana khususnya match fixing. Dengan melihat keberadaan Undang- Undang Tindak Pidana Suap namun dalam penjelasan terkait pelaku masih tergolong belum mengakomodir secara keseluruhan, maka sangat diperlukannya reformulasi regulasi terhadap Undang-Undang tersebut. Reformulasi regulasi tersebut dapat terlebih dahulu memberikan penjelasan makna pelaku baik perorangan maupun korporasi yang diatur dalam Undang-Undang tersebut. Maraknya kasus match fixing di Indonesia, maka dalam Penegakannya haruslah diperkuat dengan berpedoman pada Undang-Undang dan tidak hanya sebatas Kode Disiplin PSSI.

  • 3.1.2.    Australia

Australia merupakan negara yang sangat mengharamkan tindakan match fixing dalam dunia sepak bola. Sebagai wujud peperangan menghadapi tindakan match fixing, Australia mengeneluarkan National Policy on Match-Ficing in Sport. Pada regulasi tersebut mengikat 2 subjek hukum sesuai dengan konstitusi Australia yakni orang dan badan hukum. 22 Adapun regulasi yang mengikat orang dalam regulasi ini terletak dalam Pasal 1 yang meliputi lawan, tim, agen olahraga, staf pendukung, wasit dan osifial serta staf setempat yang melakukan tindakan pengaturan skor dengan sengaja, kinerja yang buruk dengan disengaja, melakukan kesalahan penerapan aturan yang dilakukan dengan sengaja, menganggu jalannya pertandingan yang dilakukan oleh staf setempat dengan sengaja, dan melakukan penyebaran informasi penting kepada

seseorang. Pengaturan mengenai badan hukum tidak tertuang pada undang-undang tersebut, melainkan pengaturan badan hukum diatur dalam United Nations Convention Against Corruption Pasal 15a yang menyatakan “The promise, offering or giving, to a public official, directly or indi- rectly, of an undue advantage, for the official himself or herself or another person or entity, in order that the official act or refrain from acting in the exercise of his or her official duties. Sehingga dapat disimpulkan bahwa apabila seseorang dengan sengaja melakukan tindakan perjanjian, penawaran secara langsung maupun tidak langsung baik melalui perorangan maupun badan hukum yang melakukan kesewang-wenangan dalam jabatannya akan dipidana.

Negara bagian Australia, New South Wales, kembali mengeluarkan regulasi khusus guna mengatur negara bagian yang bernama New South Wales Crimes Act 1900 No. 40 mencakup orang dan badan hukum. Berdasarkan subjek hukum orang dalam New South Wales Crimes Act 1900 No. 40 mencakup masyarakat, perusahaan atau korporasi. Lebih luas, pemain, pemilik club olahraga, manager, wasit, badan olahraga, perusahaan, dan orang ketiga diluar pertandingan yang menyebarkan informasi pertandingan merupakan subjek hukum dari pengaturan match fixing.23

  • 3.1.3.    Jerman

Jerman merupakan negara tersukses dalam kancah olahraga sepak bola dunia.24 Sebagai negara yang dahulunya mengalami problematik mengenai match fixing, Jerman melakukan perombakan besar di bawah pemerintahan Woldgang Schauble, dengan merevisi the German Criminal Code dan memasukkan tindak pidana kecurangan dalam olahraga sebagai wujud keseriusan Jerman membasmi tindakan match fixing.

Pengaturan tindakan match fixing melalui the German Criminal Code tertuang dalam 265c dan 265d. Pengaturan tersebut mencakup perorangan maupun badan hukum sebagai subjek hukum. Berdasarkan subjek hukum perorangan dalam the German Criminal Code pasal 265c dan 265d mencakup atlet, pelatih, wasit, juri, dan siapapun yang menawarkan dan memberikan. Pengikatan regulasi terkait badan hukum juga dikenal di negara Jerman. Badan hukum di Jerman biasanya diwakili oleh seorang dewan. Berdasarkan German Civil Code Section 31, berbunyi “The association is liable for the damage to a third party that the board, a member of the board or another constitutionally appointed representative causes through an act committed by it or him in carrying out the business with which it or he is entrusted, where the act gives rise to a liability in damages. Dapat disimpulkan bahwa apabila dewan tersebut melakukan tindakan untuk kepentingan asosiasi/badan hukum yang menyebabkan pihak ketiga mengalami kerugian, maka asosiasi/badan hukum tersebut harus bertanggungjawab. 25 Hal tersebut kembali ditekankan dalam regulasi match fixing, dimana pada Pasal 265c dan 265d terdapat frasa kata “Menawarkan dan Memberikan sesuatu”. Tindakan tersebut tentunya dimungkinkan

dilakukan oleh badan hukum, karena konstitusi Jerman telah mengatur 2 subjek hukum yakni, orang dan badan hukum.26

  • 3.2.    Criminal Policy Terhadap Tindakan Match Fixing di Indonesia, Australia dan Jerman

    • 3.2.1.    Indonesia

Tindakan match fixing adalah perbuatan yang dilakukan secara sengaja oleh pihak tertentu yang bersifat melawan hukum yang betujuan untuk mengambil keuntungan untuk diri sendiri maupun kelompok. Suatu perbuatan pidana tentunya harus diselesaikan dengan peraturan yang berlaku, seperti KUHP, undang-undang khusus lainnya maupun keputusan hakim. 27 Namun, upaya pemberantasan match fixing di Indonesia belum memiliki peraturan yang secara khusus menangani hal tersebut. 28 Tindakan match fixing di Indonesia erat kaitannya dengan Undang-Undang Tindak Pidana Suap.29 Adapun sanksi terkait tindakan suap tertuang

Adapun sanksi dari tindak pidana suap dapat dilihat dari Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Suap. Pada Pasal 2 menyebutkan barangsiapa yang memberi maupun menjanjikan sesuatu terhadap seseorang agar melakukan tindakan yang bertentangan terhadap kewenangan dan kewajibannya, dipidana karena memberi suap selama lima tahun penjara serta denda sebanyak Rp15.000.000. Lebih lanjut, dalam Pasal 3 juga menyebutkan barangsiapa yang memperoleh sesuatu atau janji dari seseorang agar melakukan tindakan yang bertentangan terhadap kewenangan dan kewajibannya, dipidana karena menerima suap selama tiga tahun penjara dan denda Rp15.000.000.

Kedua pasal tersebut mampu menjadi dasar hukum, sehingga mampu untuk menjerat para pelaku match fixing dalam dunia sepak bola. Hal tersebut dilandaskan pada frasa “Kewenangan atau Kewajibannya”, yang mana kalimat tersebut melekat dengan ketentuan kode etik dan profesi yang ditetapkan oleh lembaga tertentu. Ketentuan kode etik yang mengikat pemain, ofisial dan lainnya yang ditetapkan oleh PSSI maupun FIFA. Apabila kita mengkaji lebih dalam ke 2 pasal tersebut, Undang-Undang Tindak Pidana Suap hanya diindikatorkan dengan “Memberi dan Menerima”. Padahal apabila kita mengacu perbuatan match fixing tidak hanya sekedar penerima maupun pemberi suap, namun masih banyak tindakan lainnya yang mengacu pada perbuatan match fixing seperti, pihak yang memfasilitasi pelaku, perantara, penyebaran informasi internal yang sangat penting dan sebagainya yang seyogyanya harus diatur juga dalam Undang-Undang Tindak Pidana Suap sebagai regulasi tindakan match fixing. Di sisi lain,

meningkatnya kasus match fixing dan bertambahnya modus-modus baru30, perlu adanya urgensi peningkatan sanksi hukuman dalam Undang-Undang Tindak Pidana Suap sebagai ujung tombak regulasi tindakan match fixing. Hal tersebut dikarenakan, hukuman yang dijatuhkan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Suap hanyalah sanksi penjara selama 3 tahun bagi penerima dan sanksi penjara 5 tahun bagi pemberi. Padahal tindakan match fixing memiliki level yang hampir sama dengan tindakan korupsi yang ditetapkan organisasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai extraordinary crime.

  • 3.2.2.    Australia

Pada Juni 2011, National Policy on Match Fixing in Sport telah disahkan oleh persemakmuran, negara bagian dan pemerintah wilayah sebagai wujud mengatasi masalah match fixing di Australia.31 Adapun konteks dari kebijakan nasional ini yang termaktub dalam match fixing adalah tindakan memanipulasi hasil pertandingan, baik yang dilakukan oleh lawan, tim, agen olahrga, staf pendukung, wasit, ofisial dan staf setempat. Terkait dengan match fixing, kebijakan hukum nasional Australia telah mengharamkankan tindakan tersebut, bahkan pelanggarnya diancama hukum penjara selama sepuluh tahun, apabila melakukan salah satu dari tindakan dibawah ini:32

  • 1.    Engage in behaviour that impairs or impairs the outcome of a bet;

  • 2.   Facilitating the damaging or impairing the outcome of the bet;

  • 3.   Concealing such conduct, agreement or arrangement; and

  • 4.    Using corrupt information for betting purposes.

New South Wales (NSW) sebagai negara bagian Australia yang telah mengimplementasikan regulasi spesifik terkait dengan tindakan match fixing pada Agustus 2012.33 Regulasi tersebut terkenal dengan NSW Crimes Act 1900 No. 40. Regulasi baru tersebut kemudian diikuti oleh Victoria, Queensland dan Australia Selatan. Namun, regulasi NSW Crimes Act 1900 tidak diikuti oleh Australia Barat dan Tasmania. Peraturan mengenai match fixing dalam NSW Crimes Act 1900 tertuang dalam Part 4ACA Cheating and Gambling, Crimes Act 1900- Division 1 Preliminary dalam Pasal 193H Corrupting betting outcome of event. Pasal ini menjerat bagi barangsiapa yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan standar integritas dan membuat kesepakatan baik

antara 2 orang atau lebih yang dimana bertujuan untuk merusak hasil dari suatu pertandingan.

Peraturan mengenai sanksi juga diatur dalam Part 4ACA Cheating and Gambling, Crimes Act 1900- Division 2 Offences juga diatur di dalam pasal 193N- 193Q. Pada pasal 193N, apabila seseorang terlibat dalam tindakan yang merusak hasil pertandingan dengan maksud untuk memperoleh keuntungan finansial akan dipidana selama 10 tahun. Selanjutnya dalam Pasal 193O menyatakan bahwa apabila seseorang memfasilitasi perilaku yang merusak hasil pertandingan untuk memperoleh keuntungan finansial dengan taruhan apapun akan dipidana selama 10 tahun. Pasal 193 P juga menyatakan apabila seseorang menyembunyikan tentang perilaku yang merusak hasil pertandingan akan dijatuhi selama 10 tahun. Pada pasal 193Q juga menyebutkan apabila seseorang memiliki informasi mengenai sesuatu hal yang berkaitan dengan kerahasiaan pertandingan dan menyebarluaskan kepada orang lain maka akan dipidana selama 10 tahun

Pada tahun 2013, kasus match fixing terjadi di Australia yang melibatkan seorang bek Reiss Noel dan kipper Joe Wooley. keduanya merupakan warga negara Inggris yang melakukan perjalanan ke Australia sebagai pemain sepak bola pada tahun 2013. Pada saat pertandingan berlangsung, Noel mengatakan “Don’t Save it´ kepada kiper Wooley, yang mengakibatkan skor hasil pertandingan 4-0 pada semi- professional Victorian Premier League. Mereka menerima bayaran 2.000 AUD sebagai biaya kehidupan dan tambahan 3.000 AUD untuk setiap pertandingan. Tindakan match fixing tersebut dipimpin oleh Segaran Gsubramaniam yang merupakan warga negara Malaysia. Gsubramaniam mendapatkan hukuman 10 tahun penjara, Noel dan Wooley mendapatkan hukuman 10 tahun penjaran ditambah dengan denda $2.000 untuk Noel dan $1.200 untuk Wooley.34

  • 3.2.3.    Jerman

Pada bulan April 2017, Jerman mengubah Pasal 265 KUHP Jerman dan mulai memberlakukannya sebagai upaya pemberantasan match fixing.35 Pasal 265 the German Criminal Code, ditetapkan sebagai dasar hukum match-fixing dan menjadikannya pelanggaran bagi seseorang. Pada Pasal 265c mengemukakan bahwa siapapun dalam kapasitasnya sebagai seorang atlet maupun pelatih yang dijanjikan atau menerima keuntungan bagi dirinya sendiri melalui pihak ketiga akan dijatuhkan tiga tahun hukuman penjara atau denda. Sedangkan juri, wasit, ofisial yang dijanjikan atau menerima keuntungan untuk diri sendiri melalui pihak ketiga akan dijatuhkan hukuman selama 3 tahun atau denda dan siapun yang menjanjikan dan memberikan keuntungan untuk menyuruh seseorang melakukan tindakan yang melanggar hukum dalam pertandingan sepak bola, akan dikenakan dengan hukuman yang sama. Pada Pasal 265d mengemukakan mengenai manipulasi kompetisi olahraga professional yang berlaku sama dan sesuai dalam Pasal 265c. Pasal tersebut bertujuan untuk melindungi integritas dan kredibilitas olahraga publik. Selain pasal 265, terdapat juga pasal 263 yang

mengatur mengenai sanksi match fixing. Pasal tersebut menyatakan bahwa barang siapa dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan materi yang melanggar hukum terhadap individu maupun pihak ketiga yang menyalahgunakan kekuasannya dan posisinya dapat dipidana dengan berat dari enam bulan sampai sepuluh tahun.

Disamping itu, dalam peraturan masing-masing, terdapat program khusus yang didirikan berfokus untuk mendidik dan melatih pemangku kepentingan yang terlibat dalam match-fixing. Program tersebut dikenal dengan istilah “Together against match fixing don’t fix the game programme”. Program tersebut sepenuhnya diberlakukan pada tahun 2018 dengan amendemen Disciplinary Code of the German Football League.36 Dalam amandemen tersebut anggota pemain Bundesliga pertama dan kedua diwajibkan untuk mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Together against match fixing don’t fix the game programme yang berfokus pada tindakan pencegahan, workshop, rules and regulation, ombudsman and monitoring.37

  • 4.    Kesimpulan

    4.1.    Kesimpulan

Tindakan match fixing bukanlah sesuatu yang baru dalam pertandingan sepak bola dunia terkhusus di Indonesia. Banyaknya kasus-kasus tindakan match fixing menyebabkan prestasi sepak bola di Indonesia semakin melemah baik skala nasional maupun internasional. Di sisi lain, perilaku match fixing yang dilatarbelakangi oleh transaksi suap, berakibat mosi tidak percaya dari masyarakat kepada stakeholder pertandingan terkait. Dalam meminta pertanggungjawaban pidana terkait match fixing, hanya diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Suap. Namun demikian, terkait subjek hukum yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Suap masih bersifat subjek hukum perorangan. Padahal dalam perkembangannya, korporasi telah memasuki kejahatan match fixing. Jika dianalisis di Australia melalui National Policy on Match-Ficing in Sport, telah diatur dua subjek hukum yakni perorangan dan korporasi. Hal yang senada juga diatur oleh Jerman dalam the German Criminal Code yang tertuang dalam 265c dan 265d.

Selain itu, terkait sanksi pidana yang didapatkan oleh pelaku match fixing di Indonesia juga sangat ringan. Jika dianalisis dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Suap, sanksi pidana hanyalah 3-5 tahun dengan denda Rp15.000.000. Padahal, tindakan match fixing memiliki level yang hampir sama dengan tindakan korupsi. Jika dianalisis di Australia dalam Part 4ACA Cheating and Gambling, Crimes Act 1900- Division 2 Offences, sanksi pidana yang dijatuhkan adalah 10 tahun. Jika dianalisis di Jerman pada Pasal 265c the German Criminal Code, sanksi pidana yang diterima minimal 3 tahun. Namun demikian, Jerman memiliki program preventif dalam pencegahan match fixing yang diatur dalam Together against match fixing don’t fix the game programme.

  • 4.2.    Rekomendasi

Melihat problematika yang dihadapi terkait match fixing, penulis melalui penelitian ini mengajukan beberapa rekomendasi dalam rangka mengatasi kasus match fixing di

Indonesia. Pertama, perlu adanya urgensi untuk melakukan reformulasi regulasi terkait Undang-Undang Tindak Pidana Suap terkait sanksi yang diberikan. Mengingat saat ini Undang-Undang tersebut tidak banyak diketahui masyarakat Indonesia yang berujung pada kesalahan penerapan regulasi yakni berpatokan pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi bagi para pelaku suap yang tidak relevan dengan pengakomodiran kasus terkait. Di sisi lain, hukuman yang dijatuhkan juga terkesan sangat ringan serta munculnya modus-modus baru terkait match fixing; Kedua, perlu adanya regulasi khusus yang mengatur tindakan match fixing di Indonesia. Hal ini berkaca dengan kebijakan Australia dan Jerman yang mampu mengeluarkan regulasi khusus. Sehingga dengan hadirnya regulasi khusus mengenai match fixing mampu untuk menekan angka tindakan match fixing dan tidak terjadi lagi alasan kekosongan hukum.

Ketiga, perlunya konsolidasi secara masif antara para penegak hukum dan stakeholder dalam pertandingan sepak bola untuk mempertegas komitmen dalam memberantas kasus match fixing pada pertandingan sepak bola Indonesia; Keempat, perlu adanya langkah preventif tindakan match fixing melalui program yang dapat berkaca dengan kebijakan Jerman yang melakukan program Together against match fixing don’t fix the game programme yang berfokus pada tindakan pencegahan, workshop, rules and regulation, ombudsman and monitoring. Dengan adanya tindakan preventif dalam menanggulangi kasus match fixing dapat memutuskan kebudayaan pengaturan skor di Indonesia.

Daftar Pustaka

Ali. “FIFA: Sepakbola Telah Disusupi Kejahatan Terorganisir.” HukumOnline.com, 2013.       https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5270ce5840661/fifa--

sepakbola-telah-disusupi-kejahatan-terorganisir/.

Amirullah. “Korporasi dalam Perspektif Subyek Hukum Pidana.” Al-Daulah 2, no. 2 (2012): 139–60. https://doi.org/10.15642/ad.2012.2.2.139-160.

Effendi, Jonaedi, dan Johnny Ibrahim. Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Cetakan ke. Jakarta: Kencana, 2020.

Engelhard, Alexander. “The Sports Law Review - Edition 5 GERMANY.” The Law Reviews, 2019. https://thelawreviews.co.uk/edition/the-sports-law-review-edition-5/1211683/germany.

Glenniza, Dex. “Peran Polisi dan Media dalam Memberantas Match-Fixing,” 2018. https://www.panditfootball.com/Cerita/212430/DGA/181219/Peran-Polisi-Dan-Media-Dalam-Memberantas-Match-Fixing.

Haberfeld, M.R., dan Dale Sheehan. Match-Fixing in International Sports Existing Processes, Law Enforcement, and Prevention Strategies. Match-Fixing in International Sports. Switzerland: Springer, 2013.

Hallmann, Kirstin, Severin Moritzer, Marc Orlainsky, Korneliya Naydenova, dan Fredy Fürst. Matchfixing and legal systems. An analysis of selected legal systems in Europe and worldwide with special emphasis on disciplinary and criminal consequences for corruption in sport and matchfixing. German: German Sport University Cologne Institute, 2019.

Ismail, Akhmad Irfan, dan Chepi Ali Firman. “Penegakan Hukum dalam Pertandingan

Sepakbola terhadap Match Fixing (Pengaturan Skor) dikaitkan dengan Hukum Positif dan Kode Disiplin PSSI.” Prosiding Ilmu Hukum 3, no. 1 (2017): 31–35. https://doi.org/10.29313/.v0i0.5444.

Kristiyanto, Eko Noer. “Pengaturan Skor Sepak Bola dan Ketidakmampuan Penegak Hukum.” Jurnal Rechtsvinding Online, 2015, 1–3.

Lastra, Reynald, Peter Bell, dan Christine Bond. “Sports betting and the integrity of Australian sport: Athletes’ and non-athletes’ perceptions of betting-motivated corruption in sport.” International Journal of Law, Crime and Justice 52, no. December (2018): 185–98. https://doi.org/10.1016/j.ijlcj.2017.11.005.

LLP, Noer. “Criminal Liability of Companies.” Lex Mundi Publication, 2008.

Lu, Ming. “Analysis of the Main Causes of the Successful Development of German Football and Its Enlightenment to China.” Atlantis Press 172 (2017): 605–8.

https://doi.org/10.2991/icemaess-17.2017.131.

McArdle, David. From Boot Money to Bosman: Football, Society and The Law. United Kingdom: Cavendish Publishing Limited, 2000.

Nettleton, Jamie. “Australia: match-fixing criminal offences – guilty pleas to football match-fixing              charges.”              Lexology,              2013.

https://www.lexology.com/library/detail.aspx?g=ea9047a9-a43a-4e3e-b5da-efefa84ec024&filterId=d994291e-398e-4113-8e05-f67bb46e6e4a.

Nurroni, Andi. “Kasus Johan Ibo, Polisi Tunggu Keterangan dari Okto Maniani.” Republika.co.id,      2015.      https://republika.co.id/berita/sepakbola/liga-

indonesia/15/04/14/nmsrsb-kasus-johan-ibo-polisi-tunggu-keterangan-dari-okto-maniani.

O’donnell, Erin L.TalbotJones, dan Julia Talbot Jones. “Creating legal rights for rivers: lessons from Australia, New Zealand, and India.” Ecology and Society 23, no. 1 (2018). https://doi.org/10.5751/ES-09854-230107.

Oktobrian, Dwiki. “Kriminalisasi dalam Tindak Pidana terhadap Penetapan Hasil Pemilihan Umum.” Jurnal Kajian Pembaruan Hukum 2, no. 1 (2022): 397–424.

https://doi.org/10.19184/jkph.v2i1.26674.

Peurala, Johanna. “Match-manipulation in football - The challenges faced in Finland.” International Sports Law Journal 13, no. 3–4    (2013):    268–86.

https://doi.org/10.1007/s40318-013-0027-z.

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Refina Aditama, 2003.

Purnayuda, Sukma Teja. “Kepentingan IndonesIa dalam Penanganan Red Notice Interpol Pho Hoch Keng.” Journal of International Relations 1, no. 3 (2015): 35–40. https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jihi/article/view/9420.

Rachman, Syaiful. “Dua Modus Digunakan Mafia Bola di Indonesia.” Suara.com, 2019. https://www.suara.com/bola/2019/01/24/182949/dua-modus-digunakan-mafia-bola-di-indonesia.

Rahmawati, Nur Ainiyah. “Hukum Pidana Indonesia: Ultimum Remedium Atau Primum Remedium.” Recidive (Jurnal Hukum Pidana dan Penanggulangan Kejahatan) 2, no. 1 (2013): 39–44.

Rinaldy, Alexzander, dan Dian Andriawan Daeng Tawang. “Kriminalisasi Match Fixing dalam Pertandingan Sepak Bola di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.” Jurnal Hukum Adigama 1, no. 1 (2018): 1–25. https://doi.org/10.24912/adigama.v1i1.2204.

Subandi, Achmad, dan Yana Indawati. “Tindak Pidana Suap Pengaturan Skor (Match Fixing) dalam Pertandingan Sepak Bola di Indonesia.” Simposium Hukum Indonesia 1, no. 1 (2019): 45–53. http://journal.trunojoyo.ac.id/shi.

Tak, Minhyeok, Michael Patrick Sam, dan Steven J Jackson. “The problems and causes of match-fixing: are legal sports betting regimes to blame?” Journal of Criminological Research, Policy and Practice 4, no. 1   (2018):   73–87.

https://doi.org/10.1108/JCRPP-01-2018-00060006.

Thorpe, David. “The Efficacy (and otherwise) of the ‘New’ Sport Anti-Corruption Legislation in Australia.” Victoria University Law and Justice Journal 4, no. 1 (2014): 102–16. https://doi.org/10.15209/vulj.v4i1.55.

Tirtana, Arief. “3 Kasus Pengaturan Skor yang sempat menghebohkan Sepak Bola Indonesia.”                        Indosport.com,2018.

https://www.indosport.com/sepakbola/20181120/3-kasus-pengaturan-skor-yang-sempat-hebohkan-sepak-bola-indonesia/suap-liga-indonesia-vi-1999-2000.

TribunNews.com. “4 Kasus Pengaturan Skor di Sepak Bola Indonesia: Libatkan Mantan      Pemain,      Wasit      Hingga      Timnas,”2018.

https://makassar.tribunnews.com/2018/11/29/4-kasus-pengaturan-skor-di-sepak-bola-indonesia-libatkan-mantan-pemain-wasit-hingga-timnas?page=4.

Ulhaq, Agam Dliya. “Olahraga dan Politik Studi Kasus Peran Pemerintah dalam Konflik Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI).” Universitas Islam Negeri Syarif                Hidayatullah                Jakarta,2013.

http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/24243.

Utama, Abraham. “Kasus pengaturan skor sepak bola Indonesia: ‘Penjudi menyogok dari manajer hingga pemain.’” BBC News Indonesia, 2018. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46388037.

Utama, I Wayan Suarsa Putra, dan I Wayan Novy Purwanto. “Match Fixing di Dunia Sepak Bola Indonesia; Pendekatan Pidana.” Kertha Negara 8, no. 4 (2020): 1–15. https://ojs.unud.ac.id/index.php/Kerthanegara/article/view/59298.

Yosia, Ario. “6 Skandal yang Mencoreng Sepak Bola Indonesia.” Liputan6.com, 2020. https://www.liputan6.com/bola/read/4233053/6-skandal-yang-mencoreng-sepak-bola-indonesia.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Darurat Ekonomi Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

National Policy on Match Fixing in Sport

New South Wales Crimes Act 1900 No. 40

The Germany Criminal Code

350