Peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Mengawasi Maraknya Pelayanan Financial Technology (Fintech) di Indonesia

Elvira Fitriyani Pakpahan1, Jessica2, Corris Winar3, Andriaman4

1Fakultas Hukum Universitas Prima Indonesia, E-mail: [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Prima Indonesia, E-mail: [email protected]

3Fakultas Hukum Universitas Prima Indonesia, Email: [email protected]

4Fakultas Hukum Universitas Prima Indonesia, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Abstract

Masuk: 1 Agustus 2020 Diterima: 26 September 2020 Terbit: 30 September 2020

Keywords:

OJK Regulation; Financial Technology; Legal Protection

The purpose of this research is to give insights on how Fintech and the role of OJK in supervising the services of Fintech in Indonesia. The presence of Fintech in Indonesia greatly helps citizens in accessing and provide easiness in financial transactions. At the moment, Fintech provides several functions that are believed to develop rapidly and Fintech also provides services on electronic money, virtual account, aggregator, lending, crowdfunding and other online monetary transactions. Various businesses that are part of Fintech are startups and online businesses. Therefore, the government should provide legal protection in order to protect both parties, the business organizers and the possible customers. In this case, business organizers with legal Fintech development have potential that is related to consumer protection, stable financial system, economy, and payment methods. The method of the research that is used in conducting this journal is the applied law research method. This research is using normative law with the facts approach and Constitution approach. In this case, Bank Indonesia has issued the Bank Indonesia Regulation No. 18/40/PBI/2016 about the implementation of the payment transaction and the Bank Indonesia Regulation No. 19/12/PBI/2017 about the implementation of Financial Technology. Along with OJK Regulation No. 13/POJK.02/2018 about the innovation of digital money in the financial services sector as a provision that covers the supervision and stipulates financial technology (fintech) industry issued by Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Abstrak

Kata kunci:

Regulasi    OJK;    Finansial

Teknologi;       Perlindungan

Hukum

Corresponding Author:

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan pengetahuan bagaimana Fintech dan peran OJK dalam mengawasi maraknya pelayanan Fintech di Indonesia. Munculnya Fintech di Indonesia sangat membantu masyarakat untuk mengakses dan mempermudah transaksi keuangan. Saat ini, Fintech memiliki berbagai fungsi yang diyakini mampu berkembang cepat dan Fintech mampu melayani electronic money, virtual account, agregator, lending, crowdfunding dan transaksi keuangan online lainnya. Berbagai usaha yang termasuk dalam Fintech adalah bisnis startup dan bisnis online.

Elvira Fitriyani Pakpahan, Email:

[email protected] d


DOI:

10.24843/JMHU.2020.v09.i03. p08


Dengan demikian Pemerintah harus memberikan suatu bentuk perlindungan hukum baik itu dari segi penyelenggara bisnis maupun untuk masyarakat yang berperan sebagai nasabah. Dalam hal ini, Pelaksanaan bisnis yang dijalankan secara legalitas untuk pengembangan fintechnya memiliki potensi resiko yang berhubungan dengan perlindungan konsumen, stabilitas sistem keuangan dan ekonomi ,serta sistem pembayaran. Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan jurnal ini adalah metode hukum yuridis normatif. Dimana penelitian ini meneliti hukum secara normatif dengan menggunakan pendekatan fakta dan pendekatan Undang-Undang. Dalam Hal ini Bank Indonesia (BI) mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No 18/40/PBI/2016 dan Peraturan Bank Indonesia No 19/12/PBI/2017 serta Peraturan OJK No. 13/POJK.02/2018 sebagai bentu pengawasan dan pengaturan industri financial technology (fintech) yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

  • 1.    Pendahuluan

Saat ini, masyarakat memanfaatkan teknologi dan sistem informasi yang terus berinovasi, secara khusus teknologi dalam layanan keuangan untuk memenuhi beragam kebutuhan masyarakat termasuk akses layanan keuangan serta transaksinya. Selain itu, keberadaan perkembangan teknologi seperti financial technology mempermudah masyarakat untuk mengakses layanan keuangan.

Dalam bertransaksi, masyarakat terbantu dengan diterapkannya teknologi kedalam sistem layanan keuangan. Dengan demikian, financial teknologi dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang kesulitan dalam mengakses layanan keuangan.1

Layanan keuangan berbasis teknologi mempunyai berbagai kegunaan, yang diharapkan dapat berkembang pesat di era globalisasi ini. Sistem teknologi tersebut dapat melayani e-money, lending, virtual account (VA), dan berbagai transaksi online. Adapun sistem teknologi yang telah berjalan, beberapa diantaranya didirikan oleh perusahaan konvensional, namun tak sedikit yang berasal dari perusahaan rintisan atau startup.2

Munculnya sentuhan teknologi yang berada di tangan memberikan dampak positif terhadap sistem layanan keuangan yang sangat membantu masyarakat untuk mengakses dan mempermudah transaksi keuangan terlebih lagi masyarakat dapat menyusun dana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.3 Dengan adanya teknologi tersebut, maka masyarakat dapat dimana pun dan kapan pun saja melakukan transaksi sehingga tidak perlu datang dan mengantre ke bank.

Pemerintah berperan penting dalam memberikan perlindungan hukum baik terhadap perusahaan startup maupun bisnis online yang bergerak di sektor jasa layanan keuangan serta masyarakat yang menjadi nasabah.4

Faktor utama yang menjadi keberlangsungan Fintech adalah dari segi pengaturan dan pengawasannya. Dalam hal ini, Pelaksanaan bisnis yang dijalankan secara legalitas untuk pengembangan teknologi layanan keuangan mempunyai dampak yang langsung berkaitan dengan sistem pembayaran, stabilitas sistem keuangan serta ekonomi, dan perlindungan konsumen. Tujuan dari OJK yang mengatur dan mengawasi Fintech adalah untuk memperkecil resiko sehingga memberikan pertumbuhan yang baik dan stabil.5

Era globalisasi memiliki banyak dampak bagi kehidupan masyarakat berupa dampak positif dan dampak negatif, dimana perkembangan teknologi dan informasi dalam kehidupan sehari-hari semakin pesat, ditambah dengan keberadaan dan kemudahan dalam mengakses internet juga mendorong kemajuan masyarakat dalam bidang teknologi baik dalam mengakses informasi atau dalam berbagai kebutuhan dalam menjalankan sebuah bisnis yang berbasis online. Kegiatan belanja online menjadi dominasi di kalangan masyarakat yang diakibatkan oleh perkembangan di era globalisasi.6   Hal ini mendorong perusahaan-perusahaan startup untuk

mengembangkan teknologi sebagai pembayaran dari akibat kegiatan tersebut. Jenis-jenis pembayaran online yang diakibatkan dari kegiatan tersebut, yaitu:

  • a.    Peer To Peer Lending (P2P), merupakan kategori Fintech jenis P2P adalah menjembatani antara investor (lender) dengan peminjam (borrower) yang dipertemukan melalui satu online platform, dimana bunga dari hasil pinjaman tersebut akan diperoleh para investor sebagai keuntungannya. Contohnya, Kredivo, Asetku, Koin Works, serta platform online lainnya.

  • b.    E-Agrgregator / Market Aggregator, merupakan jenis Fintech yang menggunakan platform pembanding sebuah layanan produk (harga, fitur, dan benefit), dimana platform akan melakukan penyesuaian data finansial konsumen serta dapat dijadikan penentu dalam pengambilan keputusan. Contohnya Cekaja, Cermati, dan Kredit Gogo

  • c.    Clearing, Settlement, dan Payment merupakan pelayanan pembayaran online melalui uang elektronik/uang digital. Penyedia layanan dilakukan oleh Bank maupun non-bank. Jenis pembayaran online, ada E-money berbasis chip (Contoh: GazCard Mandiri, Nobu E-Money, BNI Tapcash) dan E-walet berbasis server (Contoh: OVO, GO-PAY, DANA). d. Manajemen Resiko dan Investasi, merupakan financial planner yang memberikan edukasi terkait resiko dan

model investasi yang cocok dengan kondisi finansial nasabah/konsumen (Contoh: Ngatur Duit, Finansialku, Jurnal, Dompet Sehat, Online-Pajak).7

Berdasarkan pada uraian di atas maka penulis akan membahas bagaimana pengaturan Financial Technology (Fintech) serta bagaimana peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam mengawasi maraknya pelayanan Financial Technology (Fintech). Penelitian sebelumnya membahas mengenai peran OJK dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen dan data konsumen yang digunakan dalam transaksi fintech.

  • 2.    Metode Penelitian

Dalam penulisan menggunakan metode hukum yuridis normatif. Dimana penelitian ini, meneliti hukum secara normatif dengan mengaitkan pendekatan fakta dan pendekatan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 dan PBI No.19/12/PBI/2017. Sumber hukum yang hendak diperoleh melalui bahan-bahan hukum sekunder yang telah diteliti sebelumnya dan berkaitan dengan penulisan jurnal ilmiah ini.8

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

Keberlangsungan layanan keuangan berbasis teknologi di Indonesia sangat memerlukan pengaturan dan pengawasan. Dalam pelaksanaan pengembangannya, legalitas dari bisnis yang dijalankan dalam layanan keuangan berbasis teknologi mempunyai potensi risiko yang secara langsung berkaitan terhadap perlindungan konsumen, stabilitas sistem keuangan, sistem pembayaran dan stabilitas ekonomi.9

BI dan OJK sedang gencar dalam memberikan dorongan agar pertumbuhan usaha jasa berbasis teknologi dalam layanan keuangan atau financial technology (fintech). Hal ini dilakukan agar dapat menjawab teknologi yang berkembang pesat. Hadirnya teknologi dalam layanan keuangan yang berbentuk aplikasi di gadget (smartphone, tablet, laptop, pc) berperan mendorong berkembangnya industri teknologi khususnya dalam layanan keuangan.10

Perkembangan perusahaan berbasis teknologi dalam layanan keuangan dalam belakangan ini di Indonesia sangatlah pesat dan sudah mempunyai berbagai regulasi. Namun pada kenyataannya usaha tersebut ternyata dinilai kurang tepat untuk menghadapi beragam persoalan resiko dan kemungkinan lain yang dapat terjadi pada perusahaan tersebut. Sekarang ini, ada 2 (dua) lembaga di Indonesia yang memiliki wewenang untuk mengatur perusahan teknologi dalam layanan keuangan yaitu Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hingga sampai sekarang ini, Bank Indonesia telah membuat sejumlah aturan yang berkaitan dengan layanan keuangan berbasis teknologi, yaitu:

  • (1)    Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016.

  • (2)    Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017.

  • (3)    Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/14/PADG/2017.

  • (4)    Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/15/PADG/2017.11 Teknologi Finansial dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017

mengatur tentang bagaimana penggunaan teknologi sistem keuangan yang

menciptakan teknologi, layanan, produk, dan/atau model bisnis baru yang dapat berdampak positif terhadap kestabilan moneter, sistem keuangan, kelancaran,

keandalan, efisiensi, dan keamanan sistem pembayaran. Penyelenggara layanan keuangan berbasis teknologi meliputi sistem pembayaran, pendukung pasar, manajemen investasi dan manajemen resiko, pinjaman, pembiayaan dan penyedia modal, dan jasa finansial lainnya.12

Hingga sekarang ini, regulasi telah mengatur 6 (enam) kegiatan teknologi berbasis layanan keuangan yang diatur dalam sistem pembayaran dan sistem jasa keuangan di Indonesia, yaitu:

  • 1)    E-money, mempunyai dasar hukum yang diatur pada PBI No. 11/12/PBI/2009 jo. PBI No. 16/8/PBI/2014 jo. PBI No. 18/17/PBI/2016 mengenai Uang Elektronik. Uang elektronik merupakan alat yang digunakan untuk membayar yang terdapat unsur-unsur: (a) Penerbit menerbitkan jumlah nilai uang yang telah disetorkan kepada penerbit oleh pemegang; (b) Media seperti chip atau server yang dapat menyimpan nilai uang secara elektronik; (c) Menjadi suatu alat bayar kepada penjual yang mana bukan merupakan penerbit uang elektronik; dan (d) Sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, pemegang yang menyetor nilai uang elektronik dan penerbit yang mengelola bukanlah simpanan.

  • 2)    E-Wallet, mempunyai dasar hukum yang diatur pada PBI No. 18/40/PBI/2016 mengenai Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. EWallet merupakan media elektronik yang mana dapat digunakan untuk menyimpan data pembayaran di dalam sebuah kartu atau uang elektronik yang digunakan sebagai alat pembayaran dan menampung dana.

  • 3)    Payment Gateway, mempunyai dasar hukum yang diatur pada PBI No. 18/40/PBI/2016 mengenai Penyelenggaraan Pemprosesan Transaksi Pembayaran. Payment Gateway merupakan suatu media elektronik dimana penjual dapat melakukan proses transaksi pembayaran menggunakan Propietary Channel, uang elektronik, dan/atau kartu.

  • 4)    Peer to Peer (P2P) Lending, mempuyai dasar hukum yang diatur dalam POJK No. 77/POJK.01/2016 mengenai Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Dimana jenis ini merupakan pengelola media jasa keuangan yang dipertemukan antara penerima pinjaman dan pemberi pinjaman dalam hal melangsungkan perjanjian pinjam meminjam secara langsung dengan mata uang rupiah dengan menggunakan internet melalui sistem elektronik (Aplikasi).

  • 5)    Marketplace Reksadana, mempunyai dasar hukum yang diatur dalam POJK No. 39/POJK.04/2014 mengenai Agen Penjual Efek Reksadana. Dimana jenis

ini (marketplace Reksadana) merupakan suatu kontrak kerjasama antara manajer investasi pengelola reksadana dengan pihak yang melakukan penjualan efek.

  • 6)    Marketplace Asuransi, mempunyai dasar hukum yang diatur pada POJK No. 69/POJK.05/2016 mengenai Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi. Perusahaan Pialang Asuransi merupakan sebuah industri yang melakukan jasa keperantaraan dalam hal menutup asuransi / asuransi syariah dan/atau jasa konsultasi serta melakukan penanganan mengenai penyelesaian klaim dengan dilakukan untuk dari atas nama tertanggung.

Peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dalam Mengawasi Maraknya Pelayanan Financial Technology (Fintech)

Berkaitan dengan otoritas yang memiliki wewenang dalam hal melakukan pengawasan terhadap perusahaan berbasis teknologi layanan keuangan adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Republik Indonesia. Menurut Pasal 5 UU Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 mengenai Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) yang mengatur “OJK berfungsi penyelenggara sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.”

UU OJK dibentuk dengan tujuan memberikan dampak tumbuhya perekonomian yang berkelanjutan dan stabil, maka dari itu dibutuhkan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang diselenggarakan dengan akuntabel, adil, transparan, dan adil serta mampu menciptakan sistem keuangan yang tumbuh secara stabil dan berkembang, mampu melindungi kepentingan masyarakat dan konsumen.13

OJK (Otoritas Jasa Keuangan) merupakan lembaga pengawas industri jasa keuangan. Tugas-tugasnya terdapat dalam Pasal 8 huruf i Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan yaitu menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Berdasarkan Pasal 9 huruf g dan huruf h Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan dan mencabut izin usaha; izin orang perseorangan; efektifnya pernyataan pendaftaran; surat tanda terdaftar; persetujuan melakukan kegiatan usaha; pengesahan; penetapan atau persetujuan pembubaran; dan penetapan lain sebagaimana dimaksud dalam peraturan Perundang-Undangan di sector jasa keuangan.

Dalam hal ini, OJK (Otoritas Jasa Keuangan) mempunyai kewenangan mengatur, mengawasi dan melindungi konsumen, yakni:

  • A.    Pengaturan

Tugas OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dalam pengaturan adalah menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang, peraturan Perundang-Undangan di sektor jasa keuangan, peraturan dan keputusan OJK (Otoritas Jasa Keuangan).

  • B.    Pengawasan

Tujuan dilakukannya pengelolaan dan pengawasan yaitu:

  • 1)    Perusahaan menjalankan rencana yang telah disepakati baik itu sistem, proses, maupun hasil yang tecapai

  • 2)    Mencegah terjadinya penyimpangan.

  • 3)    Meminimalisir penyimpangan yang dilakukan oleh karyawan.

  • 4)    Mempermudah pencegahan.

  • 5)    Pengawasan biaya.

  • 6)    Membantu mewujudkan tercapainya tujuan perusahaan.

  • C.    Perlindungan Konsumen dan Masyarakat

Terkait perlindungan konsumen dan masyarakat, Otoritas Jasa Keuangan memiliki wewenang untuk bertindak mencegah hal yang dapat merugikan konsumen dan masyarakat. Wujud perlindungannya adalah memohon memberhentikan sebagian/seluruh kegiatan yang mampu merugikan konsumen dan masyarakat kepada lembaga jasa keuangan.

Tahap Pengawasan terhadap perusahaan jasa keuangan yang Berbasis Teknologi tersebut adalah:

  • 1)    Meminta pencatatan ke tahap pendaftaran ke pengawas dan memastikan pengawas telah mencatatnya oleh perusahaan jasa keuangan berbasis teknologi tersebut.

  • 2)    Selanjutnya Pihak regulator akan menguji coba (Regulatory Sandbox) kelayakan pelayanan terhadap bisnis yang akan dijalankan. Regulatory Sandbox mempunyai dasar hukum yang pada peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13 /POJK.02/2018

mengenai inovasi keuangan digital di sektor jasa keuangan. Regulatory Sandbox adalah tahapan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dalam melakukan pengujian terhadap tata kelola, model bisnis, proses bisnis, dan instrument keuangan penyelenggara.

Penjelasan:

  • 1)    Pengelola dapat mendaftarkan teknologi finansialnya dan juga memberitahukan informasi terkait perusahaannya terhadap pihak yang mengawasi

  • 2)    Pihak yang mengawasi seperti Bank Indonesia meninjau kembali pelayanan, model bisnis, mekanisme teknologi, dan produk

  • 3)    Menyampaikan rencana bisnis kepada pihak yang mengawasi atau Bank Indonesia

  • 4)    Tim Panelis akan menentukan kepatutan bisnis yang telah disampaikan

  • 5)    Melaksanakan uji coba seperti dengan yang telah ditentukan

  • 6)    Apabila uji coba sukses akan dilanjutkan ke tahap perizinan.

  • 7)    Apabila gagal pada tahap uji coba maka usaha tersebut harus ditiadakan.14

  • 8)    Setelah uji coba berhasil dan dinyatakan layak, pihak regulator akan merekomendasikan tahap registrasi ke pengawas

  • 9)    Setelah terdaftar, pihak otoritas akan melakukan pemantauan dan meminta pelaporan terhadap usaha yang dijalankan secara berkelanjutan.

Perjanjian transaksi peminjaman uang berbasis online merupakan perjanjian dimana para pihak tidak perlu bertemu dan saling mengenal untuk melakukan kesepakatan karena pelaksanaan perjanjian antar para pihak dilakukan secara sistem online.

Penyelenggaraan layanan pinjam meminjam uang berbasis Teknologi Informasi ini lahir karena adanya permintaan dan penerimaan yang dibutuhkan oleh nasabah. Pelayanan yang dilakukan dalam peminjaman uang online dilakukan dengan:

  • a)    Penjualan berbasis online

Pada dasarnya, penjualan merupakan pernyataan penjual untuk berada dalam tali suatu perjanjian.15 Dalam melakukan penawaran secara online, produk atau jasa yang ingin ditawarkan secara online dapat memasarkan informasi tentang produk yang dijual kepada pelanggan. Yang dipasarkan merupakan layanan yang ditawarkan beserta beberapa spesifikasi barangnya. Dalam hal ini, tempat pada sebuah pusat perbelanjaan memasarkan jasa atau barang dagangan dalam sebuah toko untuk menarik minat pelanggan. Penjualan berbasis online, melalui media online memasarkan informasi jasa dan barang mereka dalam rupa iklan. Agar calon pembeli pada saat ingin membuat sebuah orderan, maka dapat melihat detail produk yang ingin dibeli sehingga perjanjian dapat dilakukan.16

  • b)    Penerimaan secara online

Penerimaan biasanya merupakan sebuah akhir dari sebuah perjanjian dan bersifat mutlak. Persetujuan dari isi suatu perjanjian penjualan dan penerimaan harus dikomunikasikan atau disampaikan kepada pihak yang memberikan penawaran.17 Tanpa dilakukan permintaan terhadap suatu penjualan, tidak akan terlahir sebuah perjanjian kontrak. Penerimaan biasa dilaksanakan dengan cara-cara yang telah ditentukan oleh pemberi penawaran. Penawaran dan permintaan dapat dilaksanakan secara lisan atau tulisan.

Cara komunikasi yang biasa dipakai untuk dapat terjadinya suatu kesepakatan atau kontrak adalah email, webpage, atau click wap. Cara komunikasi ini mudah digunakan dalam hal- hal tertentu jika terjadi kesulitan teknis mengenai internet.18 Econtract atau kontrak elektronik lahir ketika permintaan diajukan ke pihak investor dan disetujui permintaannya.

  • a.    E- contract

Berdasarkan UU Informasi Transaksi Elektronik, E-contact adalah kesepakatan yang dibuat oleh beberapa orang melalui sistem online. Sedangkan menurut Edmon Makarim dan Deliana, E-contract adalah sebuah ikatan hukum yang dilakukan dengan jaringan sistem informasi berbasis komputer dengan sistem komunikasi yang difasilitasi oleh komputer global internet.19 Asas hukum yang

mengatur keberadaan E-contract adalah perjanjian Indonesia yang diatur dalam Buku III KUH Perdata yang bersifat terbuka dan menganut asas kebebasan berkontrak.

  • b.    Awal terbentuknya E-contract

Pada umumnya, kontrak dibuat saat adanya permintaan dan berakhir menjadi sebuah kesepakatan antar kedua belah pihak. Berdasarkan prinsipnya econtract sama dengan perjanjian pada umumnya, tetapi perbedaanya dapat terlihat dari adanya kelengkapan yang digunakan untuk menghasilkan kontrak tersebut.

Sementara itu, hasil Analisa dapat diperoleh bila adanya penerimaan dalam penawaran yang dilakukan. Berdasarkan Santiago Cavanillas dan A. Martines Nadal, E-contract mempunyai beberapa jenis instrumen yang dipakai untuk membuat kontrak, melalui:20

  • a)    Telepon Genggam/ Ponsel / Electronik

  • b)    E-mail/Surel c) Website

Bagi klien baru yang ingin melakukan pinjaman online harus mendaftar atau mengisi form data diri yang telah disediakan oleh perusahaan yang akan meminjam uangnya. Biasanya setelah pengisian data telah lengkap, maka klien akan diminta untuk memverifikasi data. Biasanya berupa kode yang dikirimkan melalui email atau nomor telefon.

Interaksi Hukum Para Pihak

Interaksi hukum yang terjadi di dalam transaksi pinjam meminjam uang secara online karena adanya suatu perjanjian yang dilakukan. Di dalam pelaksanaan perjanjian tersebut tentunya melibatkan beberapa pihak, antara lain :

  • a.    Pihak Penyelenggara

Berdasarkan Pasal 1 Angka 6 POJK No. 77/POJK.01/2016 yang berbunyi : “Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Infromasi yang disebut Penyelenggara adalah badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi. ”Penyelenggara dalam pelaksanaan perjanjian ini berperam sebagai Lembaga Jasa Keuangan Lainnya yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau koperasi. Badan hukum yang menjadi penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis Teknologi Informasi tentunya wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada OJK. Kegiatan usaha penyelenggara diatur dalam Pasal 5 POJK Nomor 77/POJK.01/2016 yaitu mengelola menyediakan, dan mengoperasikan layanan pinjam meminjam uang berbasis Teknologi Informasi dari pihak pemberi pinjaman kepada pihak penerima pinjaman yang sumber dananya berasal dari pihak pemberi pinjaman.

Pihak Penyelenggara turut menyeleksi, menganalisis dan menyetujui aplikasi pinjaman yang diajukan penerima pinjaman agar menghasilkan pendanaan yang berkualitas untuk ditawarkan kepada para pendana. Sehingga penyelenggara menjadi Peer to Peer marketplaces yang merupakan suatu wadah yang

mempertemukan pihak yang membutuhkan dengan pihak yang bersedia untuk memberikan pinjaman.

  • b.    Penerima Pinjaman

Berdasarkan Pasal 1 Angka 7 POJK Nomor 77/POJK.01/2016: “Penerima adalah orang dan/atau badan hukum yang mempunyai utang karena perjanjian layanan pinjam meminjam uang berbasis Teknologi Informasi. ”Penerima pinjaman dana kemudian akan dipertemukan dengan pemberi pinjaman. Ketentuan penerima pinjaman menurut POJK Nomor 77/POJK.01/2016 adalah orang perseorangan yang berkewarganegaraan Indonesia (WNI) atau badan hukum di Indonesia. Ketentuan mengenai syarat-syarat penerima pinjaman merupakan kebijakan masing-masing penyelenggara.

  • c.    Pemberi pinjaman

Berdasarkan Pasal 1 Angka 8 POJK Nomor 77/POJK.01/2016: “Pemberi pinjaman adalah orang, badan hukum dan/atau badan usaha yang mempunyai piutang karena perjanjian layanan pinjam meminjam berbasis Teknologi Informasi. ”Ketentuan mengenai syarat-syarat untuk pemberi pinjaman merupakan kebijakan masing-masing penyelenggara.

Prosedur Pemeriksaan OJK terhadap Fintech diatur dalam POJK No. 77/POJK.01/2016 dan Pelaksanaan Pengawasan sekarang :

  • 1.    Pengaturan Pengawasan dalam POJK No. 77/POJK.01/2016 mengenai pengawasan OJK terhadap fintech dalam layanan pinjam meminjam uang berbasis Teknologi Informasi (P2P Lending). Pengawasan terhadap fintech P2P Lending atau pinjam meminjam uang online terbagi menjadi praoperasional usaha dan saat operasional usaha.

  • a.    Pra Operasional Usaha

Pada tahap ini, pihak penyelenggara layanan keuangan berbasis Teknologi Informasi akan mulai beroperasi. Tahap pra-operasioal dapat berupa pengurusan pendaftaran dan izin penyelenggaraan oleh pihak penyelenggara. Bagi penyelenggara yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas dapat didirikan dan dimiliki oleh warga negara Indonesia, warga Negara asing, badan hukum Indonesia atau badan hukum asing.

Saham kepemilikan penyelenggara warga negara asing atau badan hukum asing, secara langsung maupun tidak langsung hanya dapat paling banyak 85%. Dalam melakukan kegiatan, Penyelenggara wajib melakukan pendaftaran dan perizinan kepada OJK sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 7 POJK Nomor 77/POJK.01/2016. Pendaftaran Pengajuan permohonan paling lambat diajukan 6 (enam) bulan setelah POJK Nomor 77/POJK.01/2016 berlaku dan pihak penyelenggara wajib mengajukan pendaftaran ke OJK terlebih dahulu sebelum mengajukan perizinan.

Permohonan pendaftaran diajukan oleh Direksi kepada Kepala Eksekutif Pengawasan Perasuransian, Lembaga Pembiayaan, Dana Pensiun, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya dengan menggunakan formulir disertai dengan lampiran dokumen seperti yang diatur di dalam Pasal 8 ayat (3) POJK.

OJK akan mengkaji kembali permohonan registrasi yang diajukan penyelenggara layanan keuangan berbasis Teknologi Informasi kemudian

menetapkan persetujuan atas permohonan registrasi dalam masa waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya dokumen permohonan registrasi. Setelah 10 (sepuluh) hari kerja tersebut kemudian OJK akan memutuskan persetujuan registrasi dengan memberikan surat tanda bukti terdaftar. Setiap penyelenggara yang telah terdaftar di OJK diwajibkan untuk mengajukan permohonan izin sebagai penyelenggara dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal terdaftar di OJK.

Apabila dalam jangka waktu selama 1 (satu) tahun yang diberikan oleh OJK tersebut, penyelenggara yang telah mendapat surat tanda bukti terdaftar dan tidak menyampaikan permohonan perizinan, maka surat tanda bukti terdaftar sebagai penyelenggara menjadi batal dan tentunya penyelenggara tidak lagi terdaftar di OJK dan tidak dapat mengajukan kembali permohonan untuk pendaftaran kembali kepada OJK.

Syarat-syarat untuk pengajuan permohonan perizinan diatur di dalam Pasal 11 POJK Nomor 77/POJK.01/2016. Dengan jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya dokumen permohonan perizinan OJK akan memberikan pernyataan persetujuan atau penolakan atas permohonan perizinan. Selama 20 (dua puluh) hari tersebut, OJK akan meneliti kelengkapan dokumen dan menganalisa kelayakan dari rencana kerja yang didaftarkan.

Dalam proses memberikan izin tersebut sangat mungkin pihak OJK untuk melakukan wawancara terhadap pemilik dan/atau calon direksi dan memverifikasi secara langsung ke kantor permohonan izin. Wawancara diselenggarakan sebagai sarana fit and proper test terhadap calon direksi/komisaris penyelenggara. Wawancara tersebut juga berperan untuk memeriksa setoran modal tidak berasal dari pinjaman atas aktivitas illegal berupa pencucian uang (money laundering) dan kejahatan keuangan lainnya, tidak tercatat dalam daftar kredit macet, tidak pernah diberi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau perekonomian berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir dan tidak pernah dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap.

Di dalam tugas pengawasan tahap sebelum operasional berlangsung, diatur mengenai pengawasan OJK terhadap perubahan kepemilikan penyelenggara yang harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari OJK. Selain itu, apabila penyelenggara yang telah memperoleh izin dan menyatakan tidak mampu untuk meneruskan kegiatan operasionalnya, maka harus mengajukan permohonan pencabutan izin atas permohonannya sendiri kepada OJK dengan disertai alasan ketidakmampuan, dan rencana penyelesaian hak dan kewajiban penggunaan. Pencabutan izin tersebut paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal permohonan pencabutan.

  • b.    Saat Operasional usaha

Kegiatan penyelenggaraan layanan pinjam meminjam uang berbasis Teknologi Informasi baru dapat dimulai ketika telah mendapat izin dari OJK. Terdapat dua macam tipe pengawasan yang dilakukan oleh OJK saat operasional usaha

yaitu pengajuan laporan oleh perusahaan atau penyelenggara (self assessment system) dan pemeriksaan oleh OJK (officer supervitsory system). Tipe pengawasan pertama yaitu Self assessment system, berupa pengajuan laporan oleh perusahaan atau penyelenggara yang diatur di dalam POJK Nomor 77/POJK.01/2016 terdiri dari pengawasan terhadap keuangan dan kegiatan usaha, pelaksanaan terhadap pengawasan terhadap anggaran dasar yang dilaksanakan dengan cara laporan berkala. Pada tahap operasional usaha ini dimungkinkan ada penyelenggara yang sudah memulai kegiatan usahanya, terdaftar di OJK tetapi belum ada mengajukan izin penyelenggaraan kepada OJK.

Meskipun demikian , OJK tetap melakukan pengawasan dengan tipe self assessment system yakni dengan cara laporan berkala. Penyampaian laporan berkala pelaksanaan kegiatan usaha dilakukan setiap 3 (tiga) bulan untuk periode yang berakhir pada tangga 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember (4 Quartal). Laporan berkala setiap 3 (tiga) bulan disampaikan pada OJK paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak jatuh tempo tanggal pelaporan. Laporan berkala ini berjangka waktu 1 (satu) tahun hingga batas pengajuan izin penyelenggaraan berakhir.

Bagi penyelenggara yang telah memperoleh izin penyelenggaraan, wajib untuk menyampaikan laporan berkala secara elektronik kepada OJK yaitu laporan bulanan dan laporan tahunan seperti yang diatur di dalam Pasal 45 hingga Pasal 56 POJK Nomor 77/POJK.01/2016. Laporan bulanan tersebut disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja pada bulan berikutnya. Sementara laporan tahunan akan disampaikan kepada OJK untuk periode pelaporan 1 Januari sampai 31 Desember. Laporan tahunan tersebut terdiri dari keuangan dan laporan kegiatan laporan keuangan penyelenggaraan layanan pinjam meminjam uang berbasis Teknologi Informasi. Laporan tahunan yang disampaikan kepada OJK berbentuk fisik dan dokumen elektronik. Jangka waktu penyampaian laporan tersebut

paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah periode pelaporan berakhir.

Tipe pengawasan yang kedua adalah officer supervisory system, yakni dengan pemeriksaan berkala yang dilakukan oleh OJK. Pemeriksaan ini merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh OJK untuk mengumpulkan, mencari, mengolah, mengevaluasi data dan informasi mengenai kegiatan usaha layanan pinjam meminjam uang berbasis Teknologi Informasi.21 OJK tentunya akan melakukan pengawasan secara berkala yang bertujuan untuk memastikan bahwa laporan berkala yang disampaikan oleh penyelenggara sesuai dengan keadaan perusahaan yang sebenarnya. Selain pengawasan laporan berkala, OJK juga melakukan pemeriksaan untuk memperoleh keyakinan atas kebenaran laporan berkala serta menilai ketentuan terhadap kepatuhan yang berlaku.

Pemeriksaan OJK dilakukan setiap satu bulan sekali untuk memeriksa laporan bulanan yang disampaikan oleh penyelenggara bertujuan untuk melihat

kebenaran aspek substansi laporan berkala dan kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan dan jika diperlukan OJK dapat meminta informasi tambahan dan/atau data tambahan kepada penyelenggara. Sama hal nya dengan pemeriksaan terhadap laporan tahunan, dimana OJK akan dapat meminta informasi tambahan dan/atau data tambahan kepada penyelenggara. Selain pemeriksaan berkala, OJK juga dimungkinkan untuk melakukan pemeriksaan insidental jika berdasarkan hasil analisis atas laporan bulanan tersebut patut diduga adanya peyimpangan dari ketentuan yang berlaku. Selain itu pemeriksaan insidental dapat dilakukan apabila berdasarkan hasil penelitian atas keterangan yang di dapat OJK dari surat pengaduan patut diduga bahwa penyelenggaraan kegiatan usaha menyimpang salah satunya tidak memenuhi hak nasabah. Maka Pelaksanaan pemeriksaan insidental ini juga dapat berupa pemeriksaan terhadap rekam jejak audit guna keperluan pengawasan, penyelesaian sengketa, verifikasi, pengujian dan pemeriksaan lainnya. Bentuk pengawasan lain yang dilakukan oleh OJK adalah pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan usaha dengan mengatur beberapa ketentuan larangan di dalam Pasal 43 POJK Nomor 77/POJK.01/2016.

  • 2.    Pelaksanaan Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Financial Technology Saat Ini

Pada akhir tahun 2016, OJK telah mengeluarkan POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Peraturan ini menjadi pelaksanaan dasar kegiatan usaha P2P Lending atau pinjam meminjam online yang merupakan salah satu jenis fintech, termasuk di dalamnya pengaturan mengenai pengawasan yang dilakukan oleh OJK terhadap berjalannya penyelenggaraan kegiatan usaha tersebut. Penyelenggaraan Fintech P2P Lending dalam POJK di atas dikelompokkan sebagai lembaga jasa keuangan lainnya yang masuk dalam ranah pengawasan sektor Industri Keuangan Non Bank (IKNB).

Sebagai lembaga jasa keuangannya lainnya, tentu pelaksanaan fintech P2P Lending tentunya akan diawasi oleh OJK sebagai otoritas yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap mikroprudensial di Indonesia. Perbedaan secara umum pengawasan terhadap fintech yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan OJK yakni BI menangani fintech yang masuk kedalam kategori sistem pembayaran, termasuk di dalamnya tentunya perusahaan-perusahaan yang menyediakan jasa payment gateway, remittance, e-wallet, switching, dan lainnya. Sedangkan OJK menangani fintech diantaranya yang bergerak di bidang P2P lending/financing, insurance, dan sebagainya. Jenis kegiatan usaha pendukung atau enable fintech. Berdasarkan hasil penelitian terhadap pelaksanaan pengawasan oleh OJK saat ini, Muhammad Mufid, Kepala Bagian Pengawasan Lembaga Pembiayaan 3 OJK, menyatakan bahwa saat ini pengawasan yang dilakukan oleh OJK terhadap kegiatan penyelenggaraan fintech P2P Lending atau pinjam meminjam online saat ini hanya pada tahap praoperasional usaha. Fokus utama OJK pasca diundangkannya POJK Nomor 77/POJK.01/2016 adalah pengajuan pendaftaran dan perizinan bagi perusahaan yang bergerak dalam bidang layanan pinjam meminjam uang atau P2P Lending sebagai bagian dari pengawasan tahap praoperasional usaha. Alasan lain melatarbelakangi belum berjalannya pengawasan secara penuh adalah belum adanya departemen dibawah OJK yang secara khusus menangani fintech sebagaimana BI

Fintech Office dibawah Bank Indonesia. Saat ini OJK sedang mendesain struktur organisasinya dalam rangka pengembangan (inkubator dan akselerator) dan pengawasan fintech (kajian internal). Hal ini dimaksudkan untuk menemukan formulasi yang tepat terkait dengan pelaksanaan pengaturan serta pengawasan terhadap fintech di Indonesia agar selaras dengan tujuan pembangunan yang ingin dicapai dalam bidang ekonomi. Terkait dengan hal ini, Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) terus mendorong pembentukan departemen fintech di OJK agar dapat menyelesaikan persoalan-persoalan fintech, khususnya P2P lending, tentunya sebagai tindak lanjut dan komitmen regulator pasca diterbitkannya POJK 77/POJK.01/2016.

Setiap pelanggar yang melanggar peraturan hukum yang ada, dapat dikenakan sanksi agar kepastian hukum dapat terwujud untuk para pihak. Hukum yang ada harus disesuaikan dengan asas-asas keadilan yang berlaku di dalam masyarakat. Dalam menegakkan hukum, unsur-unsur yang mesti diperhatikan: Kepastian hukum (Rechtssicherheit), Kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan Keadilan (Gerechtigkeit).

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diatur dalam Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011, meliputi tentang : kejelasan tujuan; kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan. Di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut wajib menggunakan asas yang baik agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat

Apabila dalam pelaksanaan kegiatan usaha, penyelenggara Peer to Peer Landing terbukti melakukan pelanggaran, penyelenggara dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului peringatan tertulis sanksi administratif yang diatur dalam Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 Pasal 47 ayat (2) LPMUBTI.22

Dalam pelaksanaan pengawasan OJK menggunakan mekanisme Regulatory Sandbox memiliki beberapa persyaratan yaitu : 1. Otoritas Jasa Keuangan menetapkan penyelenggara untuk di uji coba 2. Penyelenggara memenuhi paling sedikit:

  • a.    Tercatat sebagai inovasi keuangan digital di Otoritas Jasa Keuangan atau berdasarkan surat permohonan yang diajukan.

  • b.    Merupakan bisnis model yang baru.

  • c.    Memiliki skala usaha dengan cakupan pasar yang luas.

  • d.    Terdaftar di asosiasi penyelenggara.23

4. Kesimpulan

Di Indonesia, saat ini, terdapat dua lembaga yang memiliki kuasa dalam mengawasi, mengatur dan mengembangkan fintech, antara lain Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Penerapan fintech di Indonesia diatur dalam beberapa regulasi resmi dari pemerintah dari Bank Indonesia sendiri, melalui PBI No.19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan

Teknologi Finansial, Bank Indonesia mengatur mengenai kewajiban pendaftaran di Bank Indonesia bagi Penyelenggara Teknologi Finansial yang melakukan kegiatan sistem pembayaran. Kewajiban pendaftaran tersebut dikecualikan bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia dan bagi Penyelenggara Teknologi Finansial yang berada dibawah kewenangan otoritas lain. Regulasi yang dibuat pemerintah ini diharapkan agar para penyedia maupun pengguna fintech bisa melakukan berbagai aktivitas finansial dengan lebih nyaman dan aman dalam hal pengolahan data juga informasi pribadi.

Daftar Pustaka

Buku

Bambang Sunggono. (2010). Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Pers

Tutik, Titik Triwulan. (2006). Pengantar Hukum Perdata di Indonesia. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher

Jurnal

Ariati, N. K., & Suarbha, I. W. (2016). Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Melakukan Transaksi Online. Kertha Semaya, 4(02).

Bimo, W. A., & Tiyansyah, A. (2019). Peran Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi Pinjaman Berbasis Teknologi Informasi (Fintech Lending). Moneter: Jurnal Keuangan           dan           Perbankan,            7(1),           16-33.

http://dx.doi.org/10.32832/moneter.v7i1.2515

Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, Suatu Kompilasi Kajian di dalam Kontrak Elektronik (E-Contract) dalam Sistem Hukum Indonesia, Rosa Agustina, Gloria Juris, 8(1).

Fitriadi, M., & Subanar, S. D. (2017). Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan terhadap Perusahaan Modal Ventura Asing dalam Melakukan Pembiayaan Secara Langsung di Indonesia. Jurnal Penelitian Hukum Gadjah Mada, 1(2), 77-86.

Hariyani, I. (2018). Perlindungan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Jasa PM-Tekfin. Jurnal Legislasi Indonesia, 14(3), 345-358.

Khrisnantara, I. G. N. P. W., & Sukranatha, A. K. (2019). Pengaturan Tentang Sanksi Administratif Bagi Penyelenggara Layanan Aplikasi Fintech. Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum, 7(11), 1-17.

Rahma, T. I. F. (2018). Persepsi Masyarakat Kota Medan Terhadap Penggunaan Financial Technology. AT-TAWASSUTH: Jurnal Ekonomi Islam, 3(1), 184-203. http://dx.doi.org/10.30821/ajei.v3i1.1704

Rahmayani, N. (2018). Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen Terkait Pengawasan Perusahaan Berbasis Financial Technology di Indonesia. Pagaruyuang Law Journal, 2(1), 24-41.

Rizal, M., Maulina, E., & Kostini, N. (2019). Fintech Sebagai Salah Satu Solusi

Pembiayaan Bagi UMKM. AdBispreneur: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Administrasi      Bisnis      dan      Kewirausahaan,      3(2),      89-100.

https://doi.org/10.24198/adbispreneur.v3i2.17836

Pradita, Ni Kadek Puspa, dan I Wayan Suardana. (2019). Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Pengguna Layanan Fintech (Financial Technology). Kertha Semaya, 7(2).

Sitompul, M. G. (2019). Urgensi Legalitas Financial Technology (Fintech): Peer To Peer (P2P) Lending Di Indonesia. Jurnal Yuridis   Unaja,   1(2),   68-79.

https://doi.org/10.35141/jyu.v1i2.428

Wijartama, P. G., & Ibrahim, R. (2018). Cara-Cara Penagihan Utang Dalam Perspektif Hukum Perdata. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 4(2), 1-16.

Zusrony, E. (2020). Analisis Persepsi Pengguna Aplikasi Payment Berbasis Fintech Menggunakan Technology Acceptance Model (TAM). Jurnal Teknologi Informasi dan Komunikasi, 11(1), 49-54.

Website

Nofie Iman, “Mengenal E-Commerce”,diakses pada www.hasan-uad.com/mengenal-ecommerce

Peraturan Perundangan

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, bagian “Menimbang”.

574