Kepastian Hukum Usaha Mikro Kecil dan Menengah Dalam Pola Kemitraan Sebagai Penerima Waralaba

I Made Bagus Suardana1, I Wayan Wiryawan2

  • 1    BSA Law Office Denpasar Bali, E-mail: bsa.recht@gmail.com

  • 2    Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: wayan_wiryawan@unud.ac.id / wayan_wiryawan@yahoo.com

    Info Artikel

    Masuk: 11 Juli 2020

    Diterima: 24 September 2020

    Terbit: 30 September 2020

    Keywords:

    Legal Certainty; Partnership

    Patterns; Franchise


    Kata kunci:

    Kepastian Hukum; Pola

    Kemitraan; Waralaba

    Corresponding Author: I

    Made Bagus Suardana, E-mail: bsa.recht@gmail.com

    DOI:

    10.24843/JMHU.2020.v09.i03.

    p07


Abstract

The legal certainty for micro, small and medium enterprises in a partnership scheme is as a franchisee. Economic growth is so fast and advanced that many regulations by the central government and regional governments issue policies that cannot be implemented and result in no guarantee of legal certainty for the community. The purpose of this paper is to review the regulation of the minister of trade regarding franchising in 2019 related to legal certainty for micro, small and medium enterprises in the framework of a franchise business. The method used in this paper is a normative legal research method by analyzing the provisions of statutory regulations. The results of this study explain that based on the principle of lex superior derogate legi inferiori, the law with a higher position removes the laws that are under it, namely in the MSME partnership pattern in the franchise business, it should still use the rules in Government Regulation No. 17 of 2013 concerning the Implementation of Law Number 20 of 2008 concerning Micro, Small and Medium Enterprises.

Abstrak

Kepastian hukum usaha mikro, kecil dan menengah dalam pola kemitraan adalah sebagai penerima waralaba. Pertumbuhan ekonomi yang demikian cepat dan maju, menyebabkan banyak regulasi oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah menerbitkan kebijakan–kebijakan yang belum dapat dilaksanakan dan berakibat tidak adanya jaminan kepastian hukum yang berkeadilan bagi masyarakat. Tujuan dari penulisan ini, untuk mengkaji peraturan menteri perdagangan tentang waralaba tahun 2019 terkait kepastian hukum bagi usaha mikro, kecil dan menengah dalam rangka bisnis waralaba. Metode yang digunakan dalam tulisan ini metode penelitian hukum normatif dengan menganalisa dari ketentuan peraturan perundang– undangan. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa berdasarkan asas lex superior derogate legi inferiori mengakibatkan hukum yang kedudukannya lebih tinggi menghapus hukum yang ada di bawahnya yaitu dalam pola kemitraan UMKM dalam bisnis waralaba sudah seharusnya tetap menggunakan aturan dalam Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro,

Kecil dan Menengah.

  • 1.    Pendahuluan

Franchise atau dikenal dengan kata waralaba di Indonesia merupakan salah satu jenis pengembangan usaha yang menjanjikan untuk memberikan keuntungan dalam penanaman modal langsung. Istilah franchise tidak dikenal dalam kepustakaan hukum Indonesia, karena lembaga franchise ini sejak awal memang tidak terdapat dalam budaya atau tradisi bisnis masyarakat Indonesia. 1 Pertumbuhan ekonomi yang demikian cepat dan maju, menyebabkan banyak regulasi oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah menerbitkan kebijakan – kebijakan yang belum dapat dilaksanakan dan berakibat tidak adanya jaminan kepastian hukum yang berkeadilan bagi masyarakat. Kebijakan – kebijakan yang dituangkan dalam peraturan perundang – undangan yang berkenaan untuk perlindungan berbagai pihak tersebut, dengan mengoreksi industrialisasi yang diberikan tidak selalu kebaikan kepada semua golongan masyarakat. Bila dikaitkan dengan dunia usaha ini dapat diartikan sebagai kebebasan untuk menjual suatu produk atau jasa layanan, karena hanya dengan melalui sistem usaha waralaba menjadikan penanam modal asing dapat melakukan kegiatan usaha yang memberikan pengembalian modal dengan singkat dan telah mendapatkan keuntungan.

Keterkaitan usaha besar dengan usaha kecil, bukan berdasarkan atas belas kasihan, tetapi menjadi suatu keharusan dalam negara demokrasi Pancasila berasaskan kekeluargaan.2 Pemerintah dalam hal ini sebagai penyelenggara negara yang memiliki tujuan untuk kemakmuran rakyatnya mempunyai tanggung jawab dalam membuat kebijakan – kebijakan dan regulasi yang tidak merugikan kepentingan penanaman modal asing waralaba, tetapi pada satu pihak harus memperhatikan kepentingan nasional yang harus menggiatkan dan usaha mikro, kecil, menengah atau UMKM dikembangkan agar turut serta meningkatkan kesejahteraannya dengan melakukan kegiatan usaha melalui waralaba tersebut. UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM yang selanjutnya akan ditulis dengan UU UMKM merupakan jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi pelaku UMKM. Dengan semakin berkembangnya waralaba, agar tidak memberikan dampak yang negatif dalam persaingan usaha dan keadilan telah diatur beberapa ketentuan mengenai pembatasan jumlah kepemilikan maupun zonasi pendirian kegiatan usaha waralaba. Berbagai kebijakan pernah dikeluarkan oleh kementerian perdagangan mengenai waralaba dengan memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan UMKM, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dengan diberlakukannya Permendag No. 71 Tahun 2019 yang selanjutnya ditulis dengan Permendag Waralaba 2019, menggantikan Permendag No. 53 Tahun 2012,

Permendag No.68 Tahun 2012 dan Permendag No.58 Tahun 2014 yang mengatur tentang “penyelenggaraan waralaba, waralaba untuk jenis usaha toko modern serta tentang pengembangan kemitraan dalam waralaba untuk jenis usaha jasa makanan dan minuman, pengaturan pembatasan kepemilikan waralaba pun dihapus.”3 Dalam Permendag Waralaba 2019 seluruh ketentuan mengenai waralaba yang dulunya terpisah digabungkan menjadi satu, dimana terdapat norma yang bertentangan dengan PP No. 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan UU UMKM yang selanjutnya akan ditulis dengan PP UMKM mengenai Pola Kemitraan, bahwa waralaba dapat dilakukan melalui pola kemitraan. Ketentuan tentang Kemitraan masih berdasarkan landasan yuridis PP No. 44 Tahun 1997 yang selanjutnya akan ditulis dengan PP Kemitraan. Permendag Waralaba 2019 tidak memberikan kewajiban bagi pelaku usaha besar memberikan kepada UMKM sebagai penerima waralaba dengan pola kemitraan seperti pada regulasi sebelumnya. Permendag ini sangat jelas keberpihakannya pada pelaku usaha besar tidak pada pelaku UMKM, dalam memberikan peluang untuk melakukan kegiatan usaha waralaba. Adanya norma yang bertentangan itu, perlu dilakukan penelitian mengenai pola kemitraan usaha dan kepastian hukum pola kemitraan sistem waralaba bagi UMKM.

Penelitian terdahulu yang menulis tentang waralaba diantaranya: Indira Hastuti fokus penelitiannya mengenai konsep dan bentuk usaha franchise atau waralaba di Indonesia. Hasil kajiannya bahwa konsep franchise di Indonesia dikaitkan dengan bentuk kemitraan usaha dan bentuk franchise dalam praktek dikenal dengan waralaba format bisnis (bussines format franchise), waralaba produk (product franchise) dan bussines opportunity venture. 4 Dalam penelitian yang lebih khusus, Arief Wisnu Wardana mengkaji model ekonomi kerakyatan dalam pengembangan waralaba sebagai pola kemitraan berdasarkan asas efisiensi berkeadilan, dimana hasil penelitiannya bahwa ada tiga sifat yang terkait dalam kemitraan UMK dengan waralaba yakni kesetaraan atau keseimbangan antara UMK dengan waralaba.Maksud dan tujuan kesetaraan atau keseimbangan antara semua pihak memiliki kedudukan sama sebagai pelaku usaha, demi terwujudnya iklim usaha adil dan kondusif serta berdaya saing. 5 Walaupun ada persamaan yaitu sama – sama mengkaji mengenai waralaba dengan pola kemitraan, namun fokus dari kajian berbeda. Penulisan ini, fokus kepada waralaba dengan pola kemitraan bagi UMKM dengan tujuan bahwa Permendag Warabala 2019 tidak mengusahakan dan mengutamakan UMKM sebagai penerima waralaba. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis pengaturan terkait pola kemitraan UMKM akibat adanya konflik norma antara Permendag No. 71 Tahun 2019 dengan PP No. 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan UU UMKM

ISSN: 1978-1520

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dijadikan bahan kajian atau bahan penelitian lebih lanjut serta sebagai tambahan pengetahuan mengenai pola kemitraan terhadap UMKM dalam melakukan pengembangan usaha yang berkaitan dengan waralaba. Kemudian, diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman dan dasar pelaksanaan kemitraan pelaku UMKM dengan pengembangan usaha melalui waralaba agar mengetahui hak dan kewajiban pemberi maupun penerima waralaba berdasarkan ketentuan – ketentuan dan asas – asas yang berlaku terhadap UMKM.

  • 2.    Metode Penelitian

Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, berawal dengan diberlakukannya Permendag Waralaba 2019 yang menimbulkan norma bertentangan dengan norma peraturan perundang – undangan mengenai pola kemitraan dalam waralaba bagi UMKM.6 Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan peraturan perundang – undangan (the statute approach). Menelaah semua peraturan perundang – undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum terhadap kepastian hukum UMKM sebagai penerima waralaba melalui pola kemitraan yang sedang ditangani dengan pendekatan peraturan perundang – undangan (the statute approach). Bahan hukum primer yang dipergunakan dalan penulisan ini yaitu UU UMKM, PP Kemitraan, PP UMKM dan Permendag Waralaba 2019.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1.    Kerjasama Dalam Pola Kemitraan Usaha

Mengutip yang disebutkan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa “kelebihan dari hukum perundang – undangan adalah dalam segi kepastiannya.” Pembuatan hukum dengan sistematis oleh lembaga – lembaga yang khusus untuk itu dimana dalam perumusannya menggunakan teknik – teknik terpelihara dan dikembangkan secara baik untuk menjamin kepastian hukum. Inti dari kesemuanya adalah dipakainya bentuk pengaturannya secara tertulis, yaitu jus scriptum.7 Menurut Gustav Radbruch “ada 3 (tiga) tujuan ideal hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.” Kepastian hukum itu dengan pemberlakuan prinsip – prinsip pola kemitraan yang diwajibkan oleh UU UMKM, PP Kemitraan dan PP UMKM. Saling membutuhkan, mempercayai, memperkuat dan diuntungkan merupakan prinsip kemitraan yang wajib dilakukan. Untuk melakukan kemitraan dengan UMKM, dalam melakukan kerjasama wajib bentuk akta otentik dituangkan dalam melalui perjanjian kemitraan usaha. Kegiatan kerjasama usaha antara UMKM dengan Usaha Besar melalui perjanjian kemitraan untuk memantapkan struktur perekonomian nasional agar dapat lebih berkembang. 8 Perjanjian Kemitraan yang dijadikan sebagai landasan yuridis untuk menjalankan kegiatan ekonomi dengan pasangan usahanya dalam melakukan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil harus berasaskan UU UMKM untuk

kepastian hukum agar Usaha Menengah dan Usaha Besar tidak dimiliki atau dikuasai Usaha Mikro atau Usaha Kecil.9

Pola kemitraan disesuaikan dengan sifat atau usaha yang akan dikerjasamakan, merupakan bentuk atau sistem yang akan dilakukan dalam kemitraan usaha mikro kecil dengan usaha menengah dan atau usaha besar.10 Kemitraan antar UMKM dan kemitraan antara UMKM dan Usaha Besar melalui dengan memberikan ketrampilan di bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia dan teknologi.Sangat jelas bahwa pemerintah Indonesia perhatian diberikan yang cukup besar dengan ikut serta secara langsung untuk memberikan perlindungan kepada UMKM dengan menempatkan posisi pemerintah memegang kendali untuk mengatur dalam melaksanakan kemitraan dengan usaha besar yang diliputi usaha nasional milik negara atau swasta, usaha patungan, dan usaha asing yang kegiatan ekonomi dilakukan di Indonesia.Dalam fungsinya sebagai perlindungan Usaha Mikro dan Usaha Kecil, UU UMKM dan PP UMKM sebagai peraturan pelaksanaannya sudah mengatur dan memberikan kepastian hukum yang memuat kenyataan normatif bagi pengembangan iklim yang kondusif, dalam melaksanakan pola – pola kemitraan yang diamanatkan oleh UU UMKM untuk menciptakan efisiensi dan keadilan bagi dunia usaha dengan memberikan kedudukan yang setara. Pemerintah juga menegaskan dengan pengertian iklim usaha adalah “kondisi yang diupayakan pemerintah dan pemerintah daerah untuk memberdayakan UMKM secara sinergis melalui penetapan berbagai peraturan perundang – undangan dan kebijakan di berbagai aspek kehidupan ekonomi agar UMKM memperoleh pemihakan, kepastian, kesempatan, perlindungan dan dukungan berusaha yang seluas – luasnya.”

Kemitraan merupakan “salah satu aspek yang digunakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam menetapkan peraturan perundang – undangan dan kebijakan untuk menumbuhkan iklim usaha. Kemitraan antar UMKM, antara UMKM dan Usaha Besar perlu diwujudkan.” Pelaksanaan transaksi usaha antar UMKM, antara UMKM dan Usaha Besar yang saling menguntungkan perlu didorong. Untuk meningkatkan posisi tawar UMKM perlu dikembangkan kerjasama. Dengan terbentuknya struktur pasar didorong yang persaingan usaha dijamin yang sehat dan melindungi konsumen ditumbuh kembangkan dengan baik. Menghindari kelompok tertentu atau orang perorang yang merugikan UMKM dengan cara melakukan pencegahan agar tidak terjadi penguasaan pasar dan pemusatan usaha. Inilah tujuan dari aspek kemitraan yang diatur dalam UU UMKM pada Pasal 11.

PP Kemitraan mengutamakan pelaku usaha kecil dan menengah sebagai pelaku kehidupan ekonomi untuk mempercepat perwujudan perekonoman bangsa dan negara, walaupun UU UMKM baru diberlakukan mulai tahun 2008 tetapi keberpihakan pada pelaku usaha kecil dalam peraturan perundang - undangan sudah dicantumkan pada PP Kemitraan. Dalam PP Kemitraan ini sangat jelas peluang

ISSN: 1978-1520

kemitraan diberikan seluas – luasnya kepada UMKM oleh Pemerintah dan dunia usaha dalam rangka keterikatan usaha. Pola – pola yang diselenggarakan sesuai dengan sifat dan tujuan usaha yang dimitrakan.”” Dalam PP Kemitraan memang pelaku usaha diberikan kebebasan untuk memilih perjanjian kemitraan yang akan dibuat, dapat berupa akta dibawah tangan atau akta Notariil. Berbeda halnya dengan ketentuan dalam UU UMKM yang mewajibkan perjanjian kerjasama dibuat dalam akta otentik atau akta notariil. Apabila mengacu pada PP Kemitraan ketika terjadi perselisihan yang berakhir pada badan peradilan, pelaku usaha mikro atau kecil tidak akan memiliki kekuatan pembuktian sempurna dalam perjanjian kerjasama berupa akta dibawah tangan.

Menurut Salim H.S., “akta yang dibuat dihadapan dan di muka pejabat yang berwenang seperti notaris, camat, PPAT dan lain – lain itu merupakan akta dalam bentuk akta notariel.”11 Jenis perjanjian inilah merupakan alat bukti sempurna bagi para pihak yang bersangkutan maupun pihak ketiga,apabila terjadi perselisihan dengan upaya hukum melalui badan peradilan. Kemudian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan dilaporkan ke pihak yang mengawasi kemitraan tersebut. Prinsip dasar kemandirian serta tidak menyebabkan ketergantungan UMKM terhadap Usaha Besar dalam perjanjian kemitraantidak boleh bertentangan dengan kedua hal tersebut. Setiap UMKM yang melakukan kemitraan dituangkan dalam perjanjian kemitraan yang dibuat secara tertulis dalam Bahasa Indonesia, dalam hal salah satu pihak merupakan orang atau badan hukum asing, dibuat dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing perjanjiannya. Hal – hal yang dicantumkan dalam perjanjian kemitraan yaitu kegiatan usaha; hak dan kewajiban masing – masing pihak; bentuk pengembangan; jangka waktu; dan penyelesaian perselisihan. Usaha besar dan usaha menengah mempunyai hak untuk kinerja diketahui kemitraan Usaha Kecil mitra binaannya.12

Keunggulan yang diberikan untuk melindungi keberlangsungan usaha kecil dalam menjalin kemitraan, usaha kecil dimiliki hak untuk pembinaan dan pengembangan diperoleh dari usaha besar dan usaha menengah mitranya dalam satu aspek atau lebih tentang pemasaran, sumber daya manusia, permodalan, manajemen dan teknologi.Pada UU UMKM, sangat jelas bahwa pemerintah Indonesia memberikan perhatian yang cukup besar dengan ikut serta secara langsung memberikan perlindungan kepada UMKM dengan menempatkan posisi pemerintah memegang kendali untuk mengatur dalam melaksanakan kemitraan dengan usaha besar yang meliputi usaha nasional milik negara atau swasta, usaha patungan, dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia. Dalam fungsinya sebagai perlindungan UU UMKM dan PP sebagai peraturan pelaksanaannya sudah mengatur dan memberikan kepastian hukum yang memuat kenyataan normatif bagi pengembangan iklim yang kondusif, dalam melaksanakan pola – pola kemitraan yang diamanatkan oleh konstitusi negara

untuk menciptakan efisiensi dan keadilan bagi dunia usaha dengan memberikan kedudukan yang setara.

  • 3.2.    Pola Kemitraan Melalui Sistem Waralaba

Mencantumkan pola kemitraan melalui waralaba dalam UU UMKM merupakan “salah satu usaha pemerintah untuk meningkatkan pembinaan terutama agar UMKM tumbuh dalam bidang usaha waralaba nasional yang andal untuk mampu bersaing dalam dan luar negeri, dalam memasarkan produk dalam negeri.” Waralaba dapat menciptakan suatu transformasi teknologi yang dimanfaatkan dapat secara optimal oleh dunia usaha nasional.

Diberlakukannya Permendag Waralaba 2019, memberikan semangat yang buruk bagi UMKM dalam meningkatkan usahanya melalui sistem waralaba dengan pola kemitraan. Aturan tentang kemitraan untuk melakukan waralaba tidak secara tegas dicantumkan pada Permendag Waralaba 2019, seperti Permendag yang telah dicabut yaitu Permendag No.53 Tahun 2012. Permendag Waralaba 2019 ini tidak mencerminkan sebagai peraturan mengenai waralaba agar dapat dijadikan sebagai payung perlindungan hukum bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagai penerima waralaba dalam menjalankan pola kemitraan yang melibatkan Usaha Besar.

Sejak diberlakukannya PP No.42 Tahun 2007 tentang Waralaba, “definisi waralaba diartikan sebagai hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/ atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/ atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba, definisi inilah yang berlaku baku secara yuridis formal di Indonesia.”13 Pola kemitraan melalui sistem waralaba dapat terwujud apabila terdapat: “ada penawaran dari pemberi waralaba suatu paket usaha, dimana penerima waralaba adalah pemilik unit usaha, memiliki kerjasama antara penerima waralaba dan pemberi waralaba dalam pengelolaan unit usaha, dibuktikan dengan adanya kontrak tertulis yang mengatur kerjasama antara pemberi waralaba dan penerima waralaba.”14

Sistem waralaba yang diterapkan secara utuh sesuai dengan peraturan – peraturan waralaba, dapat mewujudkan asas kemandirian yaitu “dengan melakukan pemberdayaan terhadap UMKM yang tetap menjaga dan mengedepankan potensi, kemampuan dan kemandirian UMKM.” PP tentang Waralaba yang menjadi dasar hukum bagi usaha waralaba di Indonesia mewajibkan untuk membuat perjanjian waralaba.15 Dengan memberikan kepercayaan secara mutlak menjalankan sistem waralaba bukan hanya sebagai pemasok barang dan/ atau jasa, dapat membantu

ISSN: 1978-1520

proses peningkatan kemandirian UMKM agar mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan mendapatkan keuntungan sebagai Penerima Waralaba.16

Sistem Waralaba dalam bentuk format bisnis yang tidak hanya merek dagang dan logo ditawarkan, tetapi juga sistem yang utuh dan komprehensif ditawarkan mengenai tata cara bisnis dijalankan termasuk didalamnya pelatihan dan konsultasi usaha dalam hal pemasaran, penjualan, pengelolaan stok, akunting, personalia, pemeliharaan dan bisnis dikembangkan.17 Salah satu kriteria dalam PP Tentang Waralaba pada Pasal 3 huruf c, “waralaba harus memenuhi kriteria dengan memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/ atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis.” Pola kemitraan dengan sistem waralaba ini, adalah sesuai dengan asas pemberdayaan UMKM yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah dalam kesatuan ekonomi nasional yang disebut sebagai asas keseimbangan kemajuan yang merupakan asas UMKM dalam menjalankan usaha melalui pola kemitraan maupun yang dijalankan secara mandiri.

Prinsip – prinsip dalam pola kemitraan memiliki keterkaitan dengan pola hubungan dalam waralaba. Prinsip yang melandasi kerjasama dalam waralaba merupakan prinsip yang sama dengan menjalankan pola kemitraan. Untuk mengembangkan UMKM berbagai macam cara dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah. Pelaksanaan pola kemitraan yang berkembang, pada umumnya Pelaku Usaha Besar memberikan permodalan untuk UMKM agar mampu melakukan kegiatan usaha serta menjadi mandiri tanpa bantuan dari pelaku usaha besar dalam kurun waktu tertentu.18 Prinsip – prinsip tersebut adalah “merupakan sebagai penerapan terhadap asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui pemberdayaan UMKM yang dilakukan secara berkesinambungan sehingga terbentuk perekonomian yang tangguh dan mandiri yang disebut sebagai asas berkelanjutan.” Penerapan asas berkelanjutan sangat tepat dalam menjalankan pola kemitraan sistem waralaba, karena pada prinsipnya waralaba merupakan lisensi.

Selain berhubungan dengan UU UMKM, pola kemitraan dalam sistem waralaba ini berkaitan dengan peraturan perundang - undangan mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksanaan kerjasama dalam sistem waralaba. Sebelum UMKM melakukan pola kemitraan dengan sistem waralaba, dibutuhkan pengetahuan yang menyeluruh mengenai mekanisme kerja yang diwaralabakan untuk memenuhi persyaratan sebagai penerima waralaba, yaitu sebagai berikut: “studi kelayakan bisnis waralaba perlu dilakukan sebagai langkah awal apakah bisnis yang ditekuninya sebagai terutama produk – produknya layak untuk diwaralabakan. Penguasaan potensi dan peluang pasar sangat perlu dimiliki

oleh pelaku UMKM yang akan mewaralabakan  bisnisnya.” Mempelajari dan

memahami ketentuan yang terkait dengan sistem waralaba sehingga usahanya bukan lagi menjual produk tetapi sudah menjual metode dan yang menjadi hak atas

kekayaan intelektual menyangkut reputasi merek. Kesiapan sumber daya manusia yang meliputi “aspek kepemimpinan, kemampuan komunikasi dan orientasi pelayanan yang kuat.” Suatu UMKM pengawasan dalam melakukan jaringan usaha dapat dikendalikan secara teratur dan sistematis berdasarkan Standar Operasional Prosedur atau SOP. UU UMKM sangat memperhatikan pentingnya pola kemitraan dalam pelaksanaan sistem waralaba dengan melakukan upaya – upaya penataan usaha untuk memberikan dukungan penuh terhadap sistem waralaba dengan pola kemitraan yang berbasis UMKM.

Pola Kemitraan ini untuk ditumbuhkan dan dimajukan sistem waralaba yang kredibilitas ditumbuhkan, kemampuan diferensiasi produk dan jasa yang manajemennya tertata secara baik. Pemberdayaan UMKM tidak cukup bila sekedar membantu untuk kelangsungan usaha secara sementara, tetapi sebaliknya membantu kelangsungan UMKM lepas dari subsistence level dan menuju tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi. Penguasaan pasar dan pemusatan usaha agar tidak merugikan UMKM harus dicegah, pelaku Usaha Besar tidak diperbolehkan dikuasai UMKM sebagai mitra usahanya dalam hubungan kemitraan dilaksanakan yang masih berlangsung. 19 Kepastian dan perlindungan hukum terhadap UMKM dalam melaksanakan sistem waralaba menjadi perhatian cukup besar oleh Pemerintah sebelumnya yang mempunyai kewenangan dalam hal membuat peraturan – peraturan mengenai Waralaba. Tanpa kepastian hukum, UMKM akan mengalami keresahan pada saat menjalankan sistem waralaba dengan pelaku usaha besar yang memiliki modal usaha melebihi dari modal mereka sebagai mitra usaha. Dalam Penjelasan UU UMKM dijelaskan bahwa “Usaha Mikro, Kecil dan Menengah adalah salah satu pilar utama ekonomi nasional yang harus memperoleh kesempatan utama, dukungan, perlindungan dan pengembangan seluas – luasnya sebagai wujud keberpihakan yang tegas kepada kelompok usaha ekonomi rakyat, tanpa mengabaikan peranan Usaha Besar dan Badan Usaha Milik Negara.”

Praktek yang berkembang pesat dewasa ini adalah bukan kemitraan antara usaha besar dengan UMKM, tetapi antara sesama usaha kecil dengan mikro serta menengah dengan kecil dan mikro. Contohnya seperti Kentucky Fried Chicken (KFC), McDonadls, dan lain sebagainya. Para pengusaha yang menjalin kemitraan, tidak menyebut dirinya waralaba, padahal bila diperhatikan dalam prakteknya serupa, yaitu ada yang mengijinkan penggunaan hak khusus saja atau sistem bisnis dan atau penjualan produk jadi. Dalam Permendag Waralaba 2019 di Bab V Pasal 18 lebih mengutamakan penggunaan produk dalam negeri daripada pelaku UMKM sebagai penerima waralaba atau pemasok barang menjadi cerminan dalam Permendag Waralaba 2019 ini. Seperti penulisan diawal ini, bahwa Permendag Waralaba 2019 keberpihakan lebih pada pelaku usaha besar dimana pada lampiran II terkait dengan

materi atau klausula perjanjian waralaba angka 6 mengenai wilayah usaha, yaitu “batasan wilayah untuk mengembangkan bisnis waralaba yang dapat diberikan oleh Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan kepada Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan yaitu wilayah cakupan kegiatan usaha cukup luas seperti Sumatra, Jawa, dan Bali atau di seluruh wilayah Indonesia.” Ini berarti apabila kita dari sisi permodalam UMKM tidak akan mampu untuk mengembangkan kegiatan usaha agar dapat berjalan di wilayah seluas satu provinsi atau kepulauan. Di masa yang akan datang penguasaan atau pemusatan usaha waralaba akan terpusat pada satu orang atau satu pelaku usaha besar, sangat jelas bertentangan dengan UU UMKM. Pelaku UMKM tidak akan mampu bersaing dengan pelaku usaha besar, dinilai dari segi permodalan dengan cakupan wilayah yang sangat luas sebagai penerima waralaba maupun penerima waralaba lanjutan. Permendag Waralaba 2019 jauh berbeda dengan ketentuan – ketentuan mengenai waralaba sebelumnya, tidak memberikan pelaku UMKM kepastian hukum sebagai penerima waralaba maupun penerima waralaba lanjutan. Pelaku usaha besar tidak dibatasi untuk memiliki gerai waralaba dan dapat menguasai wilayah kepemilikan waralaba yang cukup luas, dimana pelaku UMKM sudah pasti tidak mampu untuk memenuhi persyaratan dari pemberi waralab dengan ketentuan luas wilayah tersebut.

Terkait konflik norma dalam pola kemitraan UMKM dalam bisnis waralaba yang termuat dalam PP No. 17 Tahun 2013 dengan Permendag Waralaba 2019 menimbulkan konflik dalam kepastian hukum terkait pola kemitraan UMKM dalam bisnis waralaba. Berdasarkan Teori stufanbau Kelsen digunakan untuk mendeteksi lapisan hukum dan tingkatannya dalam rangka menyusun ketertiban hukum berdasarkan kekuatan mengikatnya. Hal ini menjadi sangat penting dalam menata sistem hukum terutama bagi negara hukum. Kelsen berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan dimana suatu norma yang rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Hierarki dalam tata susunan perundang-undangan tidak saja dapat dibedakan dan di integrasikan dalam konteks jenisnya tetapi juga melibatkan institusional sebagai konsekuensi responsibility atas pembentukan hukumnya. Berdasarkan teori stufanbau kelsen ini, oleh muridnya Hans Nawiasky mempertajam pandangan tentang jenjang tata norma tersebut yakni staatsfundamentalnorm, staatsgrundgesetz, formellgesetz sampai pada verordnung und autonomesatzung. 20 Serta berdasarkan asas lex superior derogate legi inferiori menjelaskan bahwa dalam konflik norma terkait pola kemitraan UMKM dalam bisnis waralaba maka digunakan aturan dalam PP No. 17 Tahun 2013 yang merupakan aturan yang lebih tinggi kedudukan hukumnya.

  • 4.    Kesimpulan

Keberlakuan UU UMKM dan peraturan pelaksanaannya mengutamakan UMKM untuk melakukan kerjasama dengan pola kemitraan, dengan mendorong terbentuknya struktur pasar yang menjamin persaingan usaha yang sehat dan melindungi konsumen ditumbuh kembangkan dengan baik. Menghindari kelompok tertentu atau

orang perorang yang merugikan UMKM dengan cara melakukan pencegahan agar tidak terjadi penguasaan pasar dan pemusatan usaha. Permendag Waralaba 2019 tidak memihak dan mengutamakan kepentingan pelaku UMKM melalui pola kemitraan dengan waralaba, lebih mengutamakan penggunaan produk daripada mengutamakan dan mendorong pelaku UMKM sebagai penerima waralaba. Tidak adanya pembatasan kepemilikan gerai bagi penerima waralaba, lain halnya dengan ketentuan tentang waralaba sebelumnya.

Terkait konflik norma dalam pola kemitraan UMKM dalam bisnis waralaba yang termuat dalam PP No. 17 Tahun 2013 dengan Permendag Waralaba 2019 menimbulkan konflik dalam kepastian hukum terkait pola kemitraan UMKM dalam bisnis waralaba. Berdasarkan Teori stufanbau Kelsen digunakan untuk mendeteksi lapisan hukum dan tingkatannya. Serta berdasarkan asas lex superior derogate legi inferiori menjelaskan bahwa dalam konflik norma terkait pola kemitraan UMKM dalam bisnis waralaba maka digunakan aturan dalam PP No. 17 Tahun 2013 yang merupakan aturan yang lebih tinggi kedudukan hukumnya.

Daftar Pustaka

Buku

Ali, Zainuddin. (2009). Metode Penelitian Hukum.Jakarta: Sinar Grafika.

H.S. Salim. (2006). Perkembangan Hukum Kontrak di luar KUH perdata Buku Satu.Jakarta: Raja Grafindo Persada.

H.S. Salim. (2011). Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak).Jakarta: Sinar Grafika

Raharjo, Satjipto.( 2012). Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Saidin. H.OK. (2010). Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property

Rights).Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Jurnal

Ahmadi, A. (2013). Implikasi Amandemen UUD 1945 Terhadap Pergeseran Kekuasaan Kehakiman. Al-Izzah: Jurnal Hasil-Hasil Penelitian, 8(2), 1-23.

Aidi, Z., & Farida, H. (2019). Perlindungan Hukum Para Pihak Dalam Perjanjian Waralaba  Makanan.JCH  (Jurnal Cendekia Hukum), 4(2),  207-230. doi:

http://doi.org/10.33760/jch.v4i2.119

Choirunnisa, N. (2019). Perlindungan Hukum bagi Pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah Melalui Perjanjian Kemitraan Antara Carrefour dan Pemasoknya.Jurist-Diction, 2(3),                  1083-1102.                  doi:

http://dx.doi.org/10.20473/jd.v2i3.14374

Dahayu, C. S., & Budhisulistyawati, A. Tinjauan Yuridis Tentang Pelaksanaan

Perjanjian Kerjasama Kemitraan (Studi Kasus di Brownies Cinta Cabang Sragen). Jurnal Privat Law, 8(1).

Habibie, R. A. (2019). Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Kemitraan Bagi Hasil Dari       Lahan       Plasma       Sawit.Jurisdictie, 10(1),       109-127.

doi : http://dx.doi.org/10.18860/j.v10i1.6689.

Harnoko, A. Y., & Ratnawati, I. Y. (2015). Asas Proporsional dalam Perjanjian

Waralaba     (Franchise).Jurnal     Hukum     Bisnis, 1(1).     1-17.     doi:

https://doi.org/10.33121/hukumbisnis.v1i1.54

Hastuti, Indira (2006). Aspek Hukum Perjanjian Waralaba (Franchise).Jurnal Ilmiah Hukum Dan Dinamika Masyarakatl. 4    (1).    .27-38. doi :

http://dx.doi.org/10.36356/hdm.v4i1.359.

Imanullah, M. N. (2011).  Urgensi  Pengaturan waralaba dalam Undang-

Undang.Yustisia        Jurnal        Hukum, 1(2).         11-28.         doi:

https://doi.org/10.20961/yustisia.v1i2.10620.

Katrinasari, B., & Hadi, H. (2017). Tinjauan Hukum Terhadap Wanprestasi Royalty Rahasia Dagang Dalam Perjanjian Waralaba.Jurnal Privat Law, 5(1), 85-94.

Kogin, K. (2013). Aspek Hukum Kontrak Waralaba pada Kegiatan Usaha Jasa

Makanan dan Minuman.CALYPTRA, 2(2), 1-19.

Kotimah, E. K., & Santoso, L. (2018). Urgensi Tanda Tangan dan Materai dalam Memberikan Kepastian Hukum terhadap Kontrak Waralaba (Franchise).Halu Oleo Law Review, 1(1), 43-63.

Massie, M. T. (2020). Kontrak Usaha Waralaba Dalam Praktik Bisnis Konvensional Di Kota Manado.Lex Administratum, 7(4).

Maulidiana, L. (2014). Bisnis Waralaba Dalam Perspektif Hukum Kontrak.Pranata Hukum, 9(1).

Priyono, E. A. (2018). Aspek Keadilan Dalam Kontrak Bisnis Di Indonesia (Kajian Pada Perjanjian       Waralaba).Law       Reform, 14(1),        15-28.doi:

https://doi.org/10.14710/lr.v14i1.20233

Rahma, E. (2014). Kedudukan Tidak Seimbang Pada Perjanjian Waralaba Berkaitan Dengan Pemenuhan Kondisi Wanprestasi.Law Reform, 10(1), 16-30.doi:

https://doi.org/10.14710/lr.v10i1.12454

Rahmawan, M. I., Aminah, A., & Ispriyarso, B. Penerapan Asas Proporsionalitas Dalam     Perjanjian     Waralaba.Notarius, 12(2),     909-923.     doi:

https://doi.org/10.14710/nts.v12i2.29135.

Santoso, L. (2017). Urgensi Tanda Tangan Dan Materai Dalam Memberikan Kepastian Hukum Terhadap Kontrak Waralaba (Franchise).Syariah: Jurnal Hukum dan Pemikiran, 16(2), 115-126. doi: http://dx.doi.org/10.18592/sy.v16i2.1024.

Wardhana, A.W. (2019). Pengembangan Waralaba Sebagai Pola Kemitraan Berasaskan Efisiensi Berkeadilan Dan Sistem Ekonomi Kerakyatan Menurut Pasal 33 Ayat (4) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Jurnal Hukum Doctrinal. 4 (1).

Wibowo, A. (2019). Penyelesaian Wanprestasi Dalam Perjanjian Antara Pemberi Dan Penerima Waralaba Dalam Praktik Pengadilan.Lex Privatum, 7(3). 53-61

Widodo, S. (2017). Karakteristik Yuridis Perjanjian Waralaba.Kosmik Hukum, 16(1). 6473. doi: 10.30595/kosmikhukum.v16i1.1305.

558