JURNAL

PENGATURAN PENGHENTIAN PEMAKAIAN INDIKASI GEOGRAFIS PADA MEREK TERDAFTAR

OLEH PIHAK LAIN YANG TIDAK BERHAK (STUDI KOMPARATIF BEBERAPA NEGARA)

I GEDE AGUS KURNIAWAN

NIM. 1190561038

E-mail : igedeaguskurniawan@yahoo.com

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2013

ABSTRACT

TRIPs requires members to arrange to any intellectual property rights in accordance with the conditions of each country, so that each state set the Geographical Indication (GI) varies. The different settings are potential conflicts between TRIPs member countries. So the research problem of this thesis is: How IG arrangements relating to cessation of the use of the registered mark is associated with a state's territory IG TRIPs Agreement? and legal actions for users How IG to a dispute between members of the TRIPs?

Research using normative legal research methods approach: Statue Approach, Conceptual Approach, Comparative Approach, and Analytical Approach. Analysis of legal materials is done by descriptive analysis.

The results showed that each WTO member countries set different. For example, the United States set up through the Trademark Law, Regulation & Legal ATF habits, countries under the European Union set up the European Community Regulation (EEC No.2081/92), Vietnam: Intellectual Property Law (Law No.50-2005-QH11), and others. In general, countries that determine protection through a first to file system. The use of registered GIs in the same marks or identical, Singapore set specifically in the Geographical Indications Act 44 of 1998, the Indonesian Though not set in isolation, but more specifically set in Trademark Law Article 56 (8) PP. 51 of 2007, Article 27 (1) and (2) termination of the use of signs to be discontinued within 2 years after the IG registered. The results also showed a lot of disputes going on in the field of IG Efforts settlement can be reached through WTO mechanisms if the parties to a dispute between the State by State with DSU procedures, WIPO mechanism is used if the dispute between the individual and the individual (state) with WAC procedures. National mechanisms such as in Indonesia through a lawsuit at the Commercial Court (Pengadilan Niaga).

Keywords: Geographical Indications, termination marks, use the registered mark, the Dispute Settlement Understanding, the WIPO Arbitration and Mediation Center.

I . PENDAHULUAN

  • 1.    Latar Belakang Masalah

Pada awal diberlakukannya ketentuan-ketentuan HKI di Indonesia yang merupakan harmonisasi dari konsep perlindungan HKI berdasarkan TRIPs Agreement masih terjadi perdebatan. Banyak masyarakat yang menolak keberadaannya, karena anggapan bahwa rezim hukum HKI sangat bertentangan dengan budaya Indonesia yang bersifat komunal. Sejalan dengan konsep komunal, mengemuka pandangan yang menyatakan bahwa harmonisasi hukum yang terkait dengan HKI ini sarat dengan muatan yang individual.

Pengimplementasian tatanan hukum yang berbeda pada suatu wilayah seperti Indonesia yang memiliki corak hukum komunal dalam konteks perlindungan HKI memang tidak mudah. Dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan penyesuaian atau penerimaan oleh masyarakat atas harmonisasi konsep HKI dari komunal ke individual. Setelah masyarakat sadar dengan kemampuan kreatifitas masyarakat Indonesia dan berkelimpahannya kekayaan alam serta yang terkait dengan kekayaan intelektual lambat laun masyarakat merasakan perlunya memahami dan pada akhirnya memproteksi atau memberikan perlindungan atas karya-karya cipta, kekayaan folklor, kekayaan alam, budaya dan termasuk memahami bahwa geografis yang mereka miliki juga mendapat suatu perlindungan dalam konteks HKI, terutama jika geografis tersebut digunakan sebagai suatu penciri dalam

suatu produk barang. Penggunaan geografis sebagai suatu tanda pembeda dalam dimensi HKI mendapat perlindungan di bawah lingkup “Indikasi Geografis” (selanjutnya disebut IG).

Dalam era liberalisasi perdagangan internasional di bidang barang dan jasa, termasuk HKI didalamnya, semakin lama akan memunculkan potensi sengketa. Gelombang sengketa di bidang HKI juga akan menyusul secara besar-besaran. Masyarakat maupun pemerintah harus memahami dan melakukan suatu perlindungan untuk kepentingan ekonomis dan non ekonomis. Potensi Indonesia untuk HKI sangat besar. Kemauan memahami dan melindungi serta kemampuan masyarakat Indonesia dalam mengelola HKI sangat diperlukan dan memerlukan perhatian khusus dan serius. Banyak kasus yang telah terjadi dapat dijadikan pembelajaran bagi Indonesia untuk belajar lebih terkait kreatifitas dalam kekayaan intelektual, khususnya yang berkaitan dengan Merek dan IG.

Key Coffee Co. sebuah perusahaan Jepang pada tahun 1976 telah mendaftarkan merek kopi “Toraja” di Jepang. Hal ini dilakukan karena pihak perusahaan ini menganggap kopi dengan merek Toraja semakin lama semakin terkenal karena harmonisasi antara multi dimensi rasa dan aroma herbalnya sehingga sangat diminati oleh beberapa negara. Pihak pendaftar merasa telah ikut andil memberikan teknologi (transfer of knowledge) dalam pengolahan biji kopi Toraja sehingga menjadi terkenal di Jepang dan beberapa

negara. Konsekuensi atas didaftrakannya merek Toraja ini adalah menutup kemungkinan pihak lain termasuk Indonesia untuk menjual produk kopi dengan nama merek yang sama ke Jepang dan negara lainnya. Disamping itu pihak Key Coffee melarang pihak Indonesia (pengusaha di Toraja) bekerja sama dengan pihak lain.

Pendaftaran kopi dengan Merek “Toraja” oleh Key Coffee serta kasus lainnya patut dicermati sebagai suatu pembelajaran bahwa masyarakat Indonesia penting untuk lebih memahami perlindungan HKI. Kasus diatas mengingatkan bahwa masih banyak harta kekayaan milik Indonesia khususnya HKI yang patut dilindungi, termasuk didalamnya yang menyangkut perlindungan IG.

Perlindungan IG di Indonesia diatur dalam ketentuan pengaturan Merek, yaitu Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dalam undang-undang ini disebutkan suatu persyaratan adanya pendaftaran terlebih dahulu atas IG sebagaimana halnya pengaturan Merek Dagang. Definisi Indikasi Geografis tertuang dalam Undang-undang Merek tersebut dalam pasal 56 (1) yaitu Indikasi Geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2007 tentang IG diterbitkan oleh

pemerintah sebagai bentuk pelaksanaan dari ketentuan Pasal 56 ayat (9) Undang-undang Merek yang megatur tentang tata cara pendaftaran IG. Di dalam Peraturan Pemerintah ini diatur pula mengenai pemakai terdahulu IG, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Merek dalam Bab X Pasal 27.

Dalam ayat (1) Pasal 27 PP No. 51 Tahun 2007 menyebutkan bahwa jika saat indikasi geografis tersebut didaftar telah ada tanda yang sama dengan indikasi geografis terdaftar dipakai oleh pihak lain yang tidak berhak, maka pemakaian atas tanda tersebut harus dihentikan pemakaiannya setelah 2 (dua) tahun sejak tanda dimaksud terdaftar sebagai ndikasi geografis.

Selanjutnya dalam pasal (2) PP tersebut menyebutkan bahwa jika tanda tersebut telah didaftar sebagai merek sebelumnya, masih tetap dimungkinkan pemakaian atas tanda IG tersebut dengan syarat pemakai merek tersebut menyatakan kebenaran mengenai tempat asal barang dan menjamin bahwa pemakaian merek dimaksud tidak akan menyesatkan IG terdaftar.

IG ini TRIPs telah mengaturnya pada Section 3 Article 22-24. 1 Untuk memastikan adanya perlindungan terhadap IG di negara-negara anggota perjanjian TRIPs ini adalah setiap negara anggota diharuskan untuk menyediakan legal means atau cara-cara atau upaya hukum untuk melindungi IG dalam hukum nasional

mereka.2 Tiap-tiap negara mengatur IG berbeda-beda yakni ada yang mengatur IG ini tidak terpisah dengan Merek dan ada negara yang mengatur tersendiri antara merek dan Indikasi Gegrafis itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh kebebasan yang diberikan oleh TRIPs yang memberikan kepada setiap anggotanya untuk memilih cara-cara atau upaya hukum sesuai kondisi dari masing-masing negara anggota asalkan memenuhi “Prinsip Standar Minimum” yang ditentukan TRIPs. ‘Kekaburan norma’ yang ada pada Perjanjian TRIPs ini membuat upaya-upaya yang dilakukan oleh negara–negara anggota berbeda-beda satu dengan yang lainnya.

Untuk mengetahui pengaturan IG di tiap-tiap negara, apakah di negara-negara maju sudah mengatur IG sebagaimana yang diharuskan oleh Perjanjian TRIPs     ? Jika telah diatur, apakah

terdapat keseragaman pengaturannya ? Pengaturan berbeda antara satu negara dengan negara lainnya merupakan potensi sengketa antar negara-negara anggota TRIPs.

  • 2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

Bagaimanakah pengaturan Indikasi Geografis berkaitan dengan penghentian pemakaian merek terdaftar yang berhubungan dengan Indikasi Geografis suatu wilayah negara anggota TRIPs Agreement ?

  • II.    METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normative dengan pendekatan : the Statue Approach, the Conceptual Approach, the Comparative Approach dan the Analytical Approach.

Analisis bahan hukum dilakukan dengan deskriptif analisis.

  • III.    HASIL DAN PEMBAHASAN

Keikutsertaan Indonesia dalam kesepakatan-kesepakatan Internasional, seperti AFTA (ASEAN Free Trade Area), APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) serta WTO (World Trade Organization) telah membawa Indonesia ke pergaulan perekonomian yang lebih tinggi lagi di tinggkat internasional. Hal ini secara langsung menunjukkan perekonomian kita yang terbuka dan membuka peluang-peluang serta tantangan yang lebih besar bagi para industriawan kita. Persaingan sudah barang tentu tidak dapat dihindarkan. Sehingga dituntut usaha keras dan kreatifitas para pengusaha pada khususnya serta masyarakat Indonesia pada umumnya. Ke depannya produk-produk kita harus semakin berkualitas dan mempunyai nilai tambah yang tinggi, yang setara dengan produk-produk internasional. Hal ini menurut Christophe Bellmann dan Graham Dutfield, banyak tantangan yang harus dihadapi bagi negara-negara berkembang untuk melakukan desisgning dan mengimplementasikan kebijakan HKI dalam tingakt nasional dan Internasional.3

Persaingan dalam perekonomian dalam dunia internasional ini menuntut Indonesia untuk secara terus

menerus meningkatkan usahanya dalam menghasilkan produk-produk yang berdaya saing tinggi baik dari segi kualitas maupun teknologi. Dalam hal tersebut, pemerintah Indonesia telah banyak menunjukkan kemampuannya dalam mendukung persaingan ini. Salah satunya adalah pemerintah telah serius membantu para pengusaha dan masyarakat dalam pengembangan hak kekayaan intelektual. Hak kekayaan intelektual ini merupakan suatu hal yang sangat penting disadari keberadaannya dalam meningkatkan kualitas dan daya

saing kita di dunia perdagangan internasional. Indonesia perlu mengelola hak kekayaan intelektualnya secara modern dan mampu beraing mengungguli anggota-anggota ASEAN lainnya. Sangat diharapkan HKI akan

Undang-Undang menganjurkan pendaftaran, karena pendaftaran perlu dilakukan untuk

memudahkan pembuktian / kepastian hukum. Sertifikat pendaftaran bukan menjadi bukti kepemilikan yang sah tentang adanya HKI jika dapat dibuktikan sebaliknya.

Sedangkan Hak atas Kekayaan Industrial (Industrial Property Rights) perlindungan hukumnya disebut dengan “first to file system” atau Sistem Konstitutif, artinya pendaftar yang lebih dahulu diberikan perlindungan hukum atau sistem pendaftaran ini didasarkan pada pendaftaran

pertama. Di Indonesia, merek merupakan Industrial Property Rights didalam undang-undangnya mengatur IG.

Istilah IG atau Geographical Indications telah

mampu menjadi salah satu lokomotif yang banyak digunakan dalam beberapa kali negosiasi

menggerakkan perekonomian bangsa Indonesia.          antar negara-negara peserta WTO, sehingga pada

Indonesia telah mengundangkan beberapa perundang-undangan terkait Hak Kekayaan Intelektual, sebagai konsekuensi atas keikutsertaan Indonesia pada persetujuan TRIPs, mulai dari Perlindungan Varietas Tanaman, sampai dengan Hak Cipta.

Perlindungan Copyrights di satu sisi diberikan secara langsung tanpa harus memenuhi syarat apapun (Automatic Protection atau automatically protection system). Menurut Berne Convention perlindungan Copy Right tidak wajib untuk didaftar, sudah secara otomatis mendapat perlindungan begitu karya diwujudkan dalam

akhirnya disepakati dimasukkan dalam persetujuan TRIPs. Sebelum perjanjian TRIPs berhasil disepakati, istilah yang digunakan untuk IG ada beberapa macam. 4 Asal geografis dari barang-barang (geographical origin of goods) berdasarkan doktrin passing-off diterapkan di negara-negara common law. Di Amerika Serikat dan Inggris, asal geografis (geographical origin) dilindungi oleh merek kolektif (collective marks) dan certification marks. Sedangkan di negara-negara Civil Law, istilah yang digunakan adalah the appellation of origin. Geographical indications dimasukkan di dalam peresetujuan TRIPs diperuntukkan sebagai

karya nyata / expression work. Dalam hak cipta 4 tomi suryo utomo, 2010,Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global Sebuah Kajian  Kontemporer,Graha

tidak diwajibkan untuk didaftar, akan tetapi Ilmu,Yogyakarta, h.219


solusi atas berbagai hambatan dan kesulitan yang dialami dalam melindungi nama-nama produk (barang) dengan nama tempat dan atau istilah.

Di Indonesia perlindungan terhadap IG diatur dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dalam pasal 56 (1) diatur pengertian IG, yaitu :

“Indikasi geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.”

Pengertian IG tersebut diatas mengacu kepada pengertian IG yang tercantum dalam persetujuan TRIPs Article 22 (1). Menurut Tomi Suryo Utomo, bahwa kata “Indikasi” tidaklah harus merujuk suatu tempat saja, akan tetapi juga mencakup nama produk yang diasosiasikan dengan sebuah tempat.5 Pengertian IG juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis. Peraturan Pemerintah ini lahir untuk melaksanakan ketentuan Pasal 56 ayat (9) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Di dalam penjelasannya menjelaskan pengertian dari IG sebagai berikut :

“Indikasi-geografis merupakan suatu tanda yang tanpa disadari sudah lama ada dan secara tidak langsung dapat menunjukkan adanya kekhususan pada suatu barang yang dihasilkan dari daerah tertentu. Tanda dimaksud selanjutnya

dapat digunakan untuk menunjukkan asal suatu barang, baik yang berupa hasil pertanian, bahan pangan, hasil kerajinan tangan, atau barang lainnya, termasuk bahan mentah dan/atau hasil olahan, baik yang berasal dari hasil pertanian maupun yang berasal dari hasil tambang.”

IG ini digunakan dalam hubungannya terhadap:

  • a)    adanya kekhususan suatu barang (produk barang) dari daerah tertentu,

  • b)    adanya suatu kualitas, reputasi dan karakteristik barang,

  • c)    adanya kondisi   geografis dan kondisi

(keterampilan)                   masyarakat

tempat/wilayah/daerah asal barang.

Berdasarkan pengertian tersebut diatas IG jelas

tidak sama dengan merek, meskipun diatur di dalam undang-undang yang sama yaitu UU Nomor

  • 5 Tahun 2001. Dalam Pasal 1 Undang-undang

tentang Merek menyebutkan :

“Merek adalah suatu tanda berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam perdagangan barang dan jasa.”

Secara independen IG diatur dalam TRIPs Part

II Section 3, terdiri dari 3 Article (pasal) yaitu Article 22 (4 ayat), Article 23 (4 ayat) dan Article

24  (9 ayat). Dalam Article 22  (1) TRIPs,

menyebutkan pengertian IG sebagai berikut :

“… indications which identify a good as originating in the territory of a Member, or a region or locality in that territory, where a given quality, reputation or other characteristic of the good is essentially attributable to its geographical origin.”

Berdasarkan persetujuan ini IG adalah indikasi yang menandakan bahwa suatu barang berasal dari suatu wilayah negara anggota. Kualitas dan reputasi serta karakter khusus lain dari barang tersebut sangat ditentukan atau berkaitan dengan asal geografis atau faktor geografisnya.

Sebagai rezim HKI, IG banyak memproteksi produk-produk pertanian. Misalnya Kopi Arabika Kintamani dari daerah Kontamani Bali, minuman anggur Champagne dari daerah Champagne di Perancis, anggur merah Coonawarra dai daerah Coonawarra di Australia Selatan. Secara sekilas produk IG tergantung kepada tanah. 6 Namun demikian yang dilindungi bukan saja yang berhubungan dengan tanah, tetapi dapat juga aspek-aspek yang berhubungan dengan yang berasal dari unsur alam bukan tanah. Faktor lingkungan alam dapat juga dipandang sebagai suatu kesatuan alamiah yang dapat juga mencakup faktor manusia yang tidak terpisahkan dengan lingkungannya. Seperti yang tercantum dalam hukum merek di Indonesia. Dalam TRIPs tidak secara spesifik menyebutkan hal ini, sehingga aspek lingkungan dapat ditafsirkan secara luas.

Perjalanan sejarah telah menunjukkan bahwa pengakuan rezim IG ini memberikan implikasi terhadap perbedaan sarana system perlindungan hukum diantara negara anggota WTO. Mereka berpegang teguh pada perlindungan secara tersendiri terhadap suatu karakteristik barang/produk yang dimiliki oleh suatu daerah/wilayah melalui pengaturan tersendiri IG,

dan sekaligus berupaya diakuinya IG sebagai salah satu rezim HKI, termasuk pemberian perlindungan yang istimewa terhadap produk wines dan spirits.7

Perjanjian TRIPs memberikan perlindungan terhadap IG dalam dua tingkat, yakni :

  • I.    Didasarkan kepada Article 22 (2) butir a dan b Perjanjian TRIPs, yang mewajibkan negara-negara anggota untuk mencegah penggunaan Indikasi Geografis yang salah dan berpotensi menyesatkan masyarakat.

  • II.    Didasarkan kepada Article 23 (1),(2),(3) dan (4) Perjanjian TRIPs yang bertajuk perlindungan tambahan bagi Indikasi Geografis.8

Pada tingkatan yang pertama, dikenal juga dalam Perjanjian TRIPs pengaturan tentang persaingan tidak sehat. Sedangkan pada perlindungan tingkat kedua, melarang dengan sangat pemakaian IG, produk-produk selain yang dihasilkan oleh si pemegang hak. Meskipun dilakukan dengan cara yang jujur dan menyebutkan asal dari produk tersebut, dengan ada penyisipan kata-kata “gaya”, “bentuk’,”tipe” dan sebagainya. Dalam hal ini konsumen dan produsen juga     mendapatkan perlindungan.

Produsen akan terhindarkan dari adanya pihak lain yang mendompleng reputasinya demi keuntungan pribadi pendompleng sendiri.

Pada negara-negara berkembang terdapat adanya kecenderungan untuk mengatur secara tidak tersendiri dari perlindungan IG. Beberapa

negara justru mengatur perlindungannya dalam suatu perlindungan kolektif dan bahkan ada yang menggabungkan dalam perlindungan passing off.

Pengaturan terkait IG sangat beragam di berbagai negara. Amerika Serikat mengatur dalam UU Merek, Peraturan ATF & Hukum Kebiasaan; Uni Eropa berdasarkan Peraturan Komunitas Eropa (EEC No.2081/92); Australia mengatur melalui The Wine dan Brandy Australia Act 1980 (AWBC), Trade Practice Act 1995, UU Merek 1995; India dalam The Act of Geographical Indications of Goods (Registration & Protection)No. 48 Year 1999, Singapura : Geographical Indications Act 44 of 1998, Trade Marks Act (Cap. 332, 2005 Rev. Ed.), Indonesia: UU Merek,Vietnam : Intellectual Property Law (Law No. 50-2005-QH11), Latvia: Law on Trademarks and Indications of Geographical Origin 8 February2007,Ghana : Trade Marks Act, 2004 (Act 664) - Geographical Indications Act2003 (Act 659) --Act on Protection against Unfair Competition No. 589 of 2000.

Perjanjian TRIPs tidak mengatur secara jelas mengenai pengaturan system pendaftaran dalam perlindungan IG. Ketentuan TRIPs Article 22 ayat (2) menyatakan bahwa :

In respect of geographical indications, members shall provide the legal means for interested parties to prevent.

  • a.    The use of any means in the designation or presentation of good that indicates or suggests that the good in question originates in a geographical area other than the true place of origin in a manner

which misleads the public as to the geographical origin of the good;

  • b.    Any use which constitutes an act of unfair competition within the meaning of Article 10bis of the Paris Convention (1967).

Dari ketentuan ini beberapa negara anggota WTO memberikan suatu implementasi yang berbeda satu dengan yang lain. Mereka terikat dengan Perjanjian TRIPs tersebut, akan tetapi tidak dengan tegas disebutkan bentuk perlindungannya. Seiring dengan hal tersebut Bernard O’Connor mengemukakan, “ The TRIPs Agreement does not specify the legal means to protect geographical indications. It is left to individual WTO members of determine the most appropriate method. This provision constitutes “ a negative right” or right to prevent, rather than “a positive right” such as a right to authorize 9 use.”

IG dalam TRIPs mewajibkan agar negara-negara anggota mennyediakan legal means atau cara-cara hukum dalam memberikan perlindungan terhadap IG. Dengan demikian terdapat adanya peluang dari negara-negara anggota untuk mengatur perlindungan IG dalam hukum nasional yang dianggap sesuai dengan situasi dan kondisi dari negara-negara anggota tersebut.

Secara tegas dalam ketentuan TRIPs tersebut diatas, bahwa TRIPs menganut Sistem Perlindungan Negatif (Negative Protection System). Beberapa menganut system ini dengan tidak melakukan pendaftaran terhadap perlindungan IG. Hal ini dianut oleh negara-

  • 9 Bernard O’Connor,2007,The Law of Geographical Indications,Cameron May,London,h.55

negara seperti Latvia, Vietnam, Singapura dan India. Indonesia sendiri mewajibkan adanya pendaftaran terlebih dahulu atas Indikasi Geogrsfis bagi pihak-pihak yang berkepentingan di daerah.

Dengan kata lain, negara-negara anggota TRIPs ada yang mengatur perlindungan IG secara passive atau negative atau non registration protection system.10 Seiring dengan berjalannya waktu, definisi dan perlindungan terhadap IG mengalami perkembangan. Beberapa negara memakai perlindungan dengan mengacu The WIPO Model Law 11 Tidak adanya suatu kewajiban kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk melakukukan pendaftaran barang yang berpotensi IG. Perlindungan juga dapat diberikan secara otomatis atau passive protection dengan tanpa adanya pendaftaran. Seperti halnya di Singapura tidak mensyaratkan adanya pendaftaran atas IG. The 1998 Geographical Indications Act 12 memberikan perlindungan kepada pemilik IG secara otomatis seperti halnya perlindungan kepada hak cipta atau copyrights.

Bagi negara-negara yang melakukan pendaftaran terlebih dahulu atau mensyaratkan adanya system pendaftaran (stelsel konstitutif) disebut menganut positive/registration protection

system. Susana Perez Ferreras 13 mengemukakan bahwa “TRIPs is free chice, so community chice for the protection of GIs is : A registration system of GIs (beyond TRIPs and in the Community territory); A positiveprotection (not a negative one as TRIPs which is provide the legal means to the right holders before Courts); Enforcement: right holders and/or administrative authorities ; …

Indonesia berdasarkan pasal 56 ayat (2) UU Merek menganut system pendaftaran positive protection system, yang mensyaratkan IG terlebih dahulu didaftarkan, dalam hal ini dilakukan secara kolektif atau kelembagaan, bukan perseorangan. Artinya kepemilikannyapun bersifat kolektif-komunal.

Dalam sistem HKI yang positif atau aktif atau positive/registration protection system, pihak-pihak yang berkepentingan akan menikmati perlindungan hukum jika pihak-pihak teresbut telah mengajukan pendaftaran terhadap IG. Sedangkan sebaliknya, dalam passive atau negative atau non registration protection system pihak-pihak (interested party) tidak perlu melakukan pendaftaran, karena secara otomatis IG mendapat perlindungan.

Dalam perjanjian TRIPs yang dapat dilindungi ‘goods atau goodʼ, akan tetapi untuk ‘service’ para drafter dari TRIPs tidak mencantumkannya. Secara umum diatur pemakaian IG tidak terbatas

pada produk-produk yang berhubungan dengan hasil pertanian saja. Akan tetapi meluas pada produk industri dan kerajinan tangan seperti halnya di India, The Czech Republic,Thailand, Rusia dan Turki. 14 Sebagai contoh nama-nama produk-produk industri yang didaftar ‘Kanchipuram Silks dan Kolhapuri Chappal di India, Thai Silk di Thailand dan Erzincan Copper Handicrafts di Turki.

Dari 167 negara WTO yang melindungi IG sebagai bentuk kekayaan intelektual, 111 negara termasuk 27 negara Uni Eropa memiliki sistem hukum     tertentu. Ada 56 negara yang

menggunakan sistem merek. negara-negara ini memanfaatkan tanda sertifikasi, merek kolektif atau merek dagang untuk melindungi IG.15

Secara garis besar terdapat dua kubu yang berpendapat terkait dengan eksistensi IG dan Merek itu sendiri.

Kubu pertama, menyatakan bahwa IG yang mempunyai perlindungan lebih atas merek. Artinya IG lebih diutamakan daripada merek. Meskipun merek tersebut telah terdaftar lebih dahulu namun setelah muncul IG terdaftar yang sama dengan merek, maka keberadaan IG terdaftar ini mengancam keberadaan merek. Merek yang telah terdaftar lebih dahulu bahkan masih dipakai

dan memiliki itikad baik harus dilakukan penghentian dalam dua tahun semenjak IG tersebut mendapat perlindungan.

Sedangkan kubu kedua, memandang bahwa merek dan IG semuanya sama-sama kuat atau keduanya dapat eksis. Menurut Frank Z. Hellwig, hal ini terkait dengan prinsip “first in time, first in right” yang mengacu pada prinsip “priority and exclusivity16, dengan kata lain apakah merek atau IG yang lebih dahulu, maka yang tanda yang terdahulu yang paling berhak. Dua prinsip ini sangat dikenal dikalangan hukum merek.

17

Dari sisi lain Burkhart Goebel Lovells 17 berpendapat dalam situasi konflik seperti ini, INTA (International Trademark Association) memilih A Madrid Type System yang mengedepankan prinsip-prinsip territoriality, priority and exclusivity. Lebih lanjut Burkhart mengemukakan bahwa “Through facilitating GI protection through a legally binding mechanism, a ʻMadrid-type systemʼ would ensure that trademark owners and users of prior generic terms can enforce their legal positions through the national court and PTO systems.”

TRIPs Agreement memberikan suatu upaya bagi pemakai IG yang tanda IG terebut dipakai atau sama/mirip dengan merek terdaftar (terdahulu), yaitu dengan mengajukan pembatalan atau penghentian pemakaian atas tanda IG tersebut pada

merek terdaftar. Hal ini telah diatur dalam

perjanjian TRIPs Article 22 (3), bahwa :

A Member shall, ex officio if its legislation so permits or at the request of an interested party,refuse or invalidate the registration of a trademark which contains or consists of a geographical indication with respect to goods not originating in the territory indicated, if use of the indication in the trademark for such goods in that Member is of such a nature as to mislead the 18

public as to the true place of origin.”18

Merek yang telah didaftar harus dibatalkan atau dihentikan pemakaiannya, apabila merek tersebut mengandung tanda IG, dan terbukti bahwa merek tersebut bukan berasal dari daerah pendaftar. Pemakaian tanda pada merek terdaftar seperti ini akan menyebabkan terjadinya kebingungan terhadap konsumen atau masyarakat.

Prinsip “first in time, first in right” yang menghargai pihak yang pertama mendapatkan hak, dianut pula dalam TRIPs Agreement yaitu Article 24 (5) yang mengakui Merek terdaftar dengan itikad baik yang persis atau sama dengan Indikasi Geografsi keberadaannya tidak terancam oleh IG yang dilindungi di negara asalnya. 19

Lebih rinci ketentuan tersebut menyebutkan, bahwa :

“Where a trademark has been applied for or registered in good faith, or where rights to a trademark have been acquired through use in good faith either:

  • (a)    before the date of application of these provisions in that Member as defined in Part VI; or

  • (b)    before the geographical indication is protected in its country of origin; measures adopted to implement this Section shall not prejudice eligibility for or the validity of the registration of a trademark, or the right to use a trademark, on the basis that such a trademark is identical with, or similar to, a geographical indication.”

Dalam hal ini TRIPs mempunyai standar yang tidak jelas apabila dibandingkan dengan Article sebelumnya dalam TRIPs yakni Article 22 (3) yang jelas-jelas mengatur bahwa IG lebih diutamakan daripada merek.

Indonesia setelah enam tahun memiliki pengaturan IG dalam Undang-undang Merek, sebagai bentuk pelaksanaan tentang tata cara pendaftaran IG dikeluarkan PP No. 57 tahun 2007 tentang IG.

Dalam Pasal 56 ayat (8) dalam Undang-undang Merek, telah diatur tentang pemakaian tanda IG, bahwa apabila sebelum atau pada saat dimohonkan pendaftaran sebagai indikasi-geografis, suatu tanda dipakai dengan itikad baik oleh pihak lain yang tidak berhak mendaftar menurut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pihak yang beriktikad baik tersebut tetap dapat menggunakan tanda tersebut untuk jangka waktu 2 (dua) tahun

dengan alasan bahwa merek tersebut sama persis atau mirip dengan Indikasi Geografis terkait”


terhitung sejak tanda tersebut terdaftar sebagai indikasi-geografis.

Dalam ayat (1) Pasal 27 PP No. 51 Tahun 2007 menyebutkan bahwa jika saat IG tersebut didaftar telah ada tanda yang sama dengan IG terdaftar dipakai oleh pihak lain yang tidak berhak, maka pemakaian atas tanda tersebut harus dihentikan pemakaiannya setelah 2 (dua) tahun sejak tanda dimaksud terdaftar sebagai IG.

Selanjutnya dalam ayat (2) Pasal 27 PP tersebut menyebutkan bahwa jika tanda tersebut telah didaftar sebagai merek sebelumnya, masih tetap dimungkinkan pemakaian atas tanda IG tersebut pemakaian tanda sebagai merek dengan itikad baik oleh pihak lain yang tidak berhak menggunakan Indikasi-geografis dengan syarat pemakai merek tersebut menyatakan kebenaran mengenai tempat asal barang dan menjamin bahwa pemakaian merek dimaksud tidak akan menyesatkan Indikasi-geografis terdaftar.

Tentang pemakaian tanda IG ini, dalam Undang-undang Merek hanya diatur satu ayat yaitu pada ayat (8) Pasal 56 yang hanya menyangkut hal pemakaian tanda sebelum atau pada saat pemohon yang berhak memohonkan pendaftaran sebagai indikasi-geografis, suatu tanda dipakai dengan itikad baik oleh pihak lain yang tidak berhak mendaftar, pihak yang beritikad baik tersebut tetap dapat menggunakan tanda tersebut untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanda tersebut terdaftar sebagai indikasi-geografis.

Jadi jika pemakai tanda IG dengan itikad baik oleh pihak lain, pemakai yang beritikad baik tersebut masih dapat menggunakan 2 (dua) tahun sejak didaftarkannya IG tersebut. Namun di dalam PP tentang IG, diatur mengenai pemakaian IG ini dalam 2 (dua) ayat. Bab X Pasal 27 PP No.5/2007, seperti 2 ayat yang disebutkan diatas, yakni pada ayat (1) menyebutkan hal yang sama dengan pasal 56 ayat (8) UU Merek. Dalam ayat (2) menyebutkan perlindungan terhadap pemegang merek terdahulu, meskipun si pemakai tidak berhak dalam penggunaan IG tersebut, akan tetapi dengan adanya :

  • 1.    suatu itikad baik

  • 2.    menyatakan kebenaran mengenai tempat asal barang; dan

  • 3.    menjamin bahwa pemakaian merek dimaksud tidak akan menyesatkan IG terdaftar;

maka masih tetap dimungkinkan pemakaian atas tanda IG tersebut.

Tampaknya kehadiran PP ini yang menambahkan satu ayat tentang pemakaian IG pada pihak lain yang tidak berhak, memberikan suatu eksistensi bagi pemakai merek terdahulu yang mempunyai itikad baik dan syarat-syarat lain. Artinya tidak ada penghentian terhadap pemakaian tanda IG seperti yang diatur pada ayat (1) Pasal 27 PP No. 51 / 2007 tersebut. Jadi IG terdaftar dan Merek terdaftar (pemakai tanda IG) untuk barang sejenis atau yang sama, mempunyai kedudukan yang sama atau sama- sama eksis.

Kehadiran dari tambahan satu ayat dari Pasal 27 PP No. 51 / 2007 justru melemahkan tingkat

perlindungan bagi IG di Indonesia. TRIPs juga menganut hal sama tentang tumpang tindih ini, yaitu TRIPs juga penganut prinsip “yang paling dulu, yang paling berhak”.

Hal ini akan menjadi titik lemah dari perlindungan IG Indonesia. Sampai saat ini hanya terhitung belasan IG Indonesia terdaftar di Ditjen HKI. Padahal masih banyak sekali kekayaan Indonesia yang mempunyai potensi IG yang belum didaftarkan. Semuanya itu merupakan sumber yang dapat meningkatkan perekonomian Indonesia di masa mendatang.

Dengan perlindungan yang semacam ini akan membuat pihak-pihak yang tidak berhak untuk memakai tanda IG tersebut dan mendaftarkannya dengan perlindungan merek, selanjutnya menyatakan kebenaran asal barang dan tidak ada penyesatan tentang IG. Persyaratan terakhir ini sangat mudah dilakukan oleh pihak-pihak yang mencari keuntungan dari pengaturan ini.

Dari hal diatas, para pihak yang mengetahui potensi barang atau produk tertentu akan berpotensi didaftarkan IG, mereka akan memakai kesempatan waktu yang ada untuk mendaftarkan barang atau produk yang potensial tersebut untuk mendaftarkannya sebagai merek sebelum tanda IG tersebut didaftarkan oleh pemakai yang berhak. Sebaliknya kesempatan mereka tidak akan pernah ada jika mendaftarkan tanda IG tersebut setelah didaftarkan sebagai IG terdaftar.

Misalnya, potensi IG mengenai “Garam Amed Karangasem-Bali”, karena saat ini belum terdaftar

IG tersebut maka oleh pengusaha atau siapa saja yang memanfaatkan hal ini akan mendaftarkan merek dari Garam Amed Karangasem ini. Dengan tujuan agar nanti suatu saat oleh pihak berwenang IG ini didaftarkan, merek dengan tanda yang sama telah terdaftar terlebih dahulu diakui keberadaaannya bersama-sama dengan IG terdaftar.

Australia melalui undang-undang merek 1995 (Cth) memberikan perlindungannya terhadap IG khususnya melalui pasal 41 ayat (6). Dalam undang-undang ini diatur kemungkinan diperluasnya perlindungan merek hingga bisa mencakup IG. Dalam IG ini dipersyaratkan memiliki “an adaptation to distinguish acquired trough use”. Jika IG ini telah mempunyai daya adaptasi dalam pemakaiannya sehingga memiliki daya pembeda, barulah IG ini diberikan perlindungan oleh Australia. Dengan kata lain, bahwa IG diberikan perlindungan oleh pihak Australia apabila sudah dikenal oleh masyarakat Australia secara umum dan telah eksis di Australia. Tidak cukup produk tersebut sudah terkenal di negara asal atau di negara-negara di luar Australia.

Terhadap produk yang telah terdaftar dalam perlindungan IG di Indonesia (misalnya), dan telah menjadi terkenal di Indonesia dan negara tetangga Singapura dan Malaysia, tidak bisa serta merta bisa didaftarkan di Australia. Produk ini harus eksis terlebih dahulu dan dikenal oleh masyarakat Australia. Apabila terdapat merek terdaftar di Australia yang memakai tanda Indikasi Geeografis yang ada

Indonesia, tidak bisa produk Indonesia yang mendapat perlindungan IG yang sama dengan merek tersebut untuk serta merta menghentikan pemakaiannya. Jika kasus seperti ini terjadi maka tentunya harus lewat negosiasi atau merujuk kepada Article-Article TRIPs yaitu Article 22 ayat (3) dan Article 25 ayat (5).

Amerika Serikat melalui undang-undang merek memberikan perlindungan bagi IG dibawah rezim Sertifikat Merek. Pasal 1 (a) dalam undang-undang ini mensyaratkan untuk menerangkan secara spesifik dalam sertifikat tentang kondisi-kondisi yang dijamin dan adanya kontrol yang diakui atas produk tersebut, serta adanya persyaratan hubungan atau kaitan antara produk dengan tempat asal produk. Karena adanya suatu perlindungan hukum dalam hukum kebiasaan Amerika Serikat yaitu hukum kebiasaan Anglo Saxon Amerika Serikat, yang memungkinkan Indikasi yang belum didaftarkan atau belum memiliki Sertifikat Merek mendapat perlindungan di Amerika Serikat. Produk yang mengandung indikasi dan tidak terdaftar, asalkan dalam proses pengadilan bisa dibuktikan bahwa produk tersebut memiliki reputasi di Amerika Serikat, maka perlindungan bisa diberikan atas produk yang bersangkutan. Sebagai contoh kasus terhadap hal tersebut adalah brendi Cognac dari Perancis mendapat perlindungan berdasarkan Keputusan Institute National Des Appellations v Brown-Forman

Corp.,47 US PQ2d 1875 (TTAB 1998).20 Apabila produk IG Indonesia masuk pasar Amerika Serikat dan belum terdaftar di Amerika serikat, maka hukum di Amerika Serikat memberikan perlindungan apabila dapat membuktikan reputasi dan asal produk tersebut di pengadilan.

India mengatur perlindungan IG dalam Undang-undang yang disebut The Act of Geographical Indications of Goods (Registration & Protection)No. 48 Year 1999 atau dikenal juga sebagai The Act of Geographical Indications of Goods (Registration & Protection) 2002 GSR 176 (E). Di dalam pasal 26 ayat (1) undang-undang tersebut mengatur koeksistensi IG dan merek. Merek yang telah terlebih dahulu didaftar yang mempunyai tanda IG yang sama sebelum IG terdaftar oleh undang-undang ini merek yang telah didaftar (eksis) dan dengan niat baik ini dianggap valid. Meskipun tanda yang digunakan persis sama (identik) antara merek dan IG.

Barang-barang IG yang berasal dari luar negeri India bukan angggota perjanjian TRIPs, diakui sebagai Indikasi Sumber. Jika barang berasal dari negara anggota akan diperlakukan sama dengan barang dari dalam negerinya.

  • IV. SIMPULAN & SARAN

Dari pembahasan sebelumnya dapat dikemukakan simpulan dan saran sebagai berikut:

  • 1.    Simpulan

Pengaturan IG berkaitan dengan penghentian pemakaian merek terdaftar yang berhubungan dengan IG dalam TRIPs Agremeent Section 3 tentang Geographical Indications Article 22 ayat (3) tentang pembatalan terhadap tanda yang sama dengan IG dan Article 24 ayat (5) mengatur merek terdaftar dengan itikad baik masih tetap eksis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiap-tiap negara anggota WTO mengaturnya berbeda satu dengan yang lainnya. PenggunaanIG dalam Merek terdaftar yang sama atau identik, Singapura mengatur secara khusus dalam Geographical Indications Act 44 of 1998. Meskipun Indonesia tidak mengatur secara tersendiri, namun lebih secara rinci agar UU Merek pasal 56 ayat (8) PP No. 51 Tahun 2007, pasal 27 ayat (1) dan (2) mengatur penghentian penggunaan tanda agar dihentikan dalam 2 tahun setelah IG terdaftar.

  • 2.    Saran

Diharapkan ke depannya Indonesia mengatur IG secara tersendiri agarlebih melindungi dan bermanfaat     sebanyak-banyaknya     bagi

masyarakat Indonesia. Pengaturan IG Singapura kiranya dapat dijadikan model.

DAFTAR BACAAN

BUKU

Bernard O’Connor,2007,The Law of Geographical         Indications,Cameron

May,London

Christophe Bellmann , Graham Dutfield & Melendez-Ortiz, 2003, Trading in Knowledge : Development Perspectives on TRIPS, Trade and Sustainability, International Centre for Trade and Sustainable Development (ICTSD), Earthscan, London,

F. Scott Kieff and Ralph Nack, 2008, International, United States and European Intellectual Property Selected Source Material 2007-2008, Aspen Publisher, USA

Miranda Risang Ayu, 2006, Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual Indikasi Geografis, Alumni, Bandung

Suyud Margono,2003, Hukum & Perlindungan Hak Cipta, Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta

Tomi Suryo Utomo,  2010,Hak  Kekayaan

Intelektual (HKI) di Era Global Sebuah Kajian Kontemporer,Graha Ilmu,Yogyakarta

Susana Perez Ferreras, 2003, Geographical Indications and Tademarks:Harmony of Conflict, Makalah dalam WIPO Seminar on The Protection of Trademarks and Geographical Indications,17-19 Maret 2003, Beirut-Republic of Lebanon

D. Giovannucci, T. Josling, W. Kerr, B. O'Connor and M. Yeung, 2009,Guide to Geographical Indications:  Linking Products and their

Origins,International Trade Centre, Geneva

JURNAL

Dev S. Gangjee ,2011, Demerara Sugar: A Bitter Pill to Swallow?, Intellectual Property Journal, 24 IPJ-CAN 1www.westlaw.com diakses 20 April 2013

Model Law for developing countries on Appellation of Origin and Geographical Indications,1975, PJ/91/2,Januari 1975,WIPO Publicaion Geneva, www.westlaw.com diakses 20 April 2013

INTERNET

Article 1 (c), of the Geographical Indications of Goods Act, 1999, N48,Th Gazette of India,Extraordinary Part  II,  December

20,1999,N 61, http://clea.wipo.int.

Frank Z. Hellwig,2003, The Prior Trademark Right Takes Precedence over the Later GI, Jurnal INTA 125 th Anniversary Special Report of Geographical Indications www.inta.org

Burkhart Goebel Lovells,2003,Positions on GI: Territoriality, Priority and Exclusivity, Jurnal INTA 125 th Anniversary Special Report of Geographical Indication

Geographical Indications Act,1998,N   44,

http://clea.wipo.int diakses 20 Mei 2013

18