Eksistensi Tri Hita Karana dalam Pembentukan Peraturan Hukum di Bali (Prespektif Filsafat Ilmu)
on

1Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: herpinhadat@gmail.com
Info Artikel
Masuk: 7 Januari 2020
Diterima: 30 Mei 2020
Terbit: 31 Mei 2020
Keywords:
Existence; Tri Hita Karana;
Law; Science Phylosophy
Kata kunci:
Eksistensi; Tri Hita Karana;
Hukum; Filsafat Ilmu
Corresponding Author:
Herpin Hadat, E-mail: herpinhadat@gmail.com
DOI:
10.24843/JMHU.2020.v09.i01.
p09
Abstract
The existence of positive law in force in the province of Bali is influenced by the philosophy of Tri Hita Karana. This can occur because of the alignment between the values of life contained in Balinese society with various forms of rules that apply in general. Based on this background, it is then examined in connection with the existence of the tri hita karana philosophy as a guideline when establishing regulations and laws in the Province of Bali, which are reviewed from the perspective of the philosophy of science. This study aims to determine the existence and nature of the philosophy of tri hita karana as a guideline for establishing rules and laws in the Province of Bali both ontologically, epistemologically and axiologically. The implementation of research activities is carried out with a normative legal approach through the analysis of several legal concepts derived from various laws and regulations. From the results of the study, obtained information that there is the existence of the philosophy of tri hita karana in setting regulations and laws in the province of Bali in terms of the perspective of the philosophy of science provides a clear picture that the nature of the law born from the needs and feelings of the community in the local or customary scope can give a very big influence on the formation and validity of positive law itself to answer the legal problems faced by the community in their lives.
Abstrak
Keberadaan dari hukum positif yang berlaku di provinsi Bali pada dasarnya dipengaruhi oleh falsafah Tri Hita Karana. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya penyelarasan antara nilai kehidupan yang terdapat dalam masyarakat Bali dengan berbagai bentuk aturan yang berlaku secara umum. Berdasarkan latar belakang tersebut kemudian dikaji terkait eksistensi falsafah tri hita karana sebagai pedoman saat menetapkan peraturan dan undang-undang di Provinsi Bali yang ditinjuau dari prespektif filsafat ilmu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui eksistensi dan hakekat falsafah tri hita karana sebagai pedoman menetapkan peraturan dan undang-undang di Provinsi Bali baik secara ontologi, epistemologi dan aksiologi. Pada pelaksanaan kegiatan dari penelitian dilakukan dengan pendekatan hukum yang bersifat normatif melalui kegiatan analisis kepada beberapa konsep hukum yang berasal dari berbagai aturan mengenai perundang-undangan. Dari hasil penelitian, didapatkan informasi bahwa terdapat adanya eksistensi falsafah tri hita karana dalam menetapkan peraturan dan undang-undang di
provinsi Bali ditinjau dari prespektif filsafat ilmu memberikan gambaran yang jelas bahwa pada hakekatnya hukum yang lahir dari kebutuhan dan perasaan masyarakat dalam lingkup lokal atau adat dapat memberikan pengaruh yang sangat besar kepada pembentukan dan keberlakuan hukum positif itu sendiri guna menjawab permasalahan hukum yang dihadapi masyarakat dalam kehidupannya.
Perjalanan mengenai sejarah dan tahap perkembangan dari hukum nasional yang berlaku di Indonesia, pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa nilai dan aturan yang sebelumnya sudah ada dan berlaku dalam kehidupan dari masyarakat lokal. Walaupun, pada masa kolonial eksistensi nilai atau aturan yang difungsikan sebagai hukum yang mengintegrasi organisasi masyarakat hukum adat diingkari dengan berbagai kebijakan pemerintah kolonial yang lebih mengarah kepada konsep peraturan hukum positif tertulis semata.1 Namun, dalam perkembangannya saat ini eksistensi nilai dan aturan yang hidup dalam masyarakat dalam lingkup adat atau lokal telah menjadi isi dan jiwa dalam tatanan hukum nasional.2
Secara implisit, dalam konstitusi berdasarkan ketentuan dari UUD NRI 1945 pada Pasal 18 B dan ayatnya yang ke-2, mengakui eksistensi mengenai hukum adat dan aturan pada UUD NRI 1945. Maka berdasarkan ketentuan tersebut, mencerminkan negara telah menjamin dan memberikan penghormatan serta mengakui nilai-nilai adat yang terdapat pada masyarakat. Salah satu contohnya adalah keberadaan dan eksistensi dari falsafah mengenai tri hita karana yang secara tidak langsung menjadi dasar aturan yang diterapkan dan berlau pada kesatuan masyarakat dari desa pakraman serta telah diakui karena falsafah tersebut telah menjadi jiwa dan isi yang terdapat saat pembentukan peraturan dan undang-undang pada provinsi Bali.
Secara etimologi falsafah mengenai tri hita karana memiliki makna yang berarti tiga serta dari kata hita yang memiliki makna rasa bahagia atau kebahagiaan serta kata karana yang memiliki makna sebab.3 Sehingga dapat dikatakan, falsafah mengenai tri hita karana adalah bentuk dari tiga hubungan yang dapat berjalan secara harmonis dan menimbulkan rasa bahagia atau kebahagiaan.4 Falsafah tersebut berasal dari ajaran Hindu yang membahas mengenai kondisi keseimbangan hidup yang terdapat dalam kehidupan yang berasal dari hubungan harmonis sesama manusia dan dengan penciptaNya.5 Falsafah tersebut juga menjadi dasar pembentukan dan penetapan dari
beberapa aturan yang terdapat dan berlaku pada desa adat, seperti awig-awig yang diikuti dan dipatuhi oleh setiap organisasi dan masyarakat adat Bali.6
Dari Perda Bali nomor 4 tahun 2019 dan nomor 3 tahun 2003, diketahui bahwa desa adat atau desa pakraman merupakan sebuah perkumpulan adat yang memiliki ikatan secara turun menurun kepada kahyangan tiga sehingga sikap dan cara hidup masyarakatnya masih menggunakan prinsip dan tradisi umat hindu yang berasal dari provinsi Bali. Dari kedua Perda tersebut juga diketahui bahwa desa adat atau desa pakraman memiliki hak dalam mengurus rumah tangga dan berbagai kekayaan yang terdapat pada wilayahnya sendiri serta kewenangan yang berkaitan dengan pembentukan dan pemberlakuan awig-awig kepada krama desa adat, krama tamiu, dan tamiu.
Awig-awig merupakan sebuah pedoman dalam menerapkan Tri Hita Karana yang mana aturan dibuat oleh dan untuk kerama desa atau kerama banjar desa pakraman.7 Namun, pada perkembangannya saat ini falsafah tri hita karana yang sarat dengan nilai harmonis 8, tidak hanya diterapkan dalam lingkup Desa Pakraman namun dalam lingkup yang lebih luas yaitu dalam konteks pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya di Provinsi Bali baik pada pembentukan peraturan dan undang-undang pada tingkat provinsi maupun tingkat kota/kabupaten di Provinsi Bali.
Beranjak dari latar belakang tersebut di atas, menarik kemudian dikaji mengenai bagaimanakah eksistensi falsafah tri hita karana dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Provinsi Bali ditinjau dari prespektif filsafat ilmu?
Penelitian ini merupakan karya ilmiah orisinal yang berbeda dengan penelitian yang ada sebelumnya. Adapun karya ilmiah yang terkait dengan karya ilmiah penulis yang berjudul “Eksistensi Tri Hita Karana dalam Pembentukan Peraturan Hukum di Provinsi Bali (Perspektif Filsafat Ilmu)”, yaitu penelitian dari Adharinalti pada tahun 2012 yang membahas mengenai pengaruh yang berasal dari eksistensi hukum adat kepada penyelenggaraan pemerintahan desa yang berada pada provinsi Bali. 9 Kemudian terdapat juga penelitian yang dilakukan Anak Agung Istri Ari Atu Dewi pada tahun 2014 yang membahas mengenai eksistensi yang berasal dari otonomi desa pakraman kepada tata hukum nasional dalam perspektif pluralisme hukum.10 Dari penjelasan sebelumnya, penelitian yang dibuat oleh penulis berisi dan membahas secara mendalam tentang eksistensi mengenai falsafah tri hita karana dalam pembentukan produk hukum (baik lingkup provinsi maupun kabupaten/kota) di Provinsi Bali yang ditinjau dari filsafat ilmu yaitu secara ontologi, aksiologi dan epistemologi yang berbeda dengan pembahasan yang dilakukan oleh dua penulis karya ilmiah sebelumnya yang secara konsep membahas mengenai pluralisme yang berkaitan dengan eksistensi hukum adat dalam penyelenggaraan desa adat atau pakraman.
Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan pendekatan hukum bersifat normatif. Cara pendekatan tersebut dilakukan melalui penggunaan sistem hukum yang meliputi peraturan perundang-undangan, asas-asas, putusan pengadilan, kaidah, perjanjian, norma serta doktrin kepada sebuah sistem yang berasal dari norma.11 I Made Pasek Diantha mengemukakan metode penelitian hukum secara normatif adalah metode yang meneliti aturan hukum pada perspektif internal yang objek penelitiannya ialah norma hukum.12 Pada penelitian ini juga digunakan pendekatan secara konseptual (conseptual approach) melalui penggunaan aturan perundang-undangan (statute approach), meliputi bahan hukum dengan jenis primer yang berasal dari UUD 1945 dan Perda Bali serta bahan hukum jenis sekunder yang berasal dari kumpulan beberapa literatur yang sesuai dengan isi topik yang dibahas, baik literatur-literatur hukum (buku-buku hukum (textbook) yang ditulis para ahli yang berpengaruh (de hersender leer), pendapat para sarjana, maupun literatur non hukum dan artikel atau berita yang diperoleh via internet serta jurnal-jurnal ilmiah, dan bahan hukum tertier yang berasal dari kamus-kamus hukum.
Kata filsafat berasal dari kata philisophia dan merupakan bahasa Yunani berasal yang memiliki arti cinta dan kebijaksanaan. 13 Dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab memiliki arti cinta kearifan. 14 Sedangkan dari The Liang Gie ketahui filsafat ilmu merupakan bentuk keseluruhan dari pemikiran yang berkaitan dengan dasar dari sebuah ilmu dan hubungan ilmu tersebut dengan kehidupan manusia.15
Lebih lanjut The Liang Gie mengemukakan bahwa ilmu bukan hanya dipahami sebagai ilmu ataupun untuk mengetahui analisis dan metode terhadap ilmu-ilmu lainnya, namun filsafat ilmu dapat dipahami lebih yaitu sebagai suatu usaha seseorang guna mengkaji persoalan-persoalan yang muncul melalui perenungan mendalam untuk dapat mengetahui duduk permasalahannya secara mendasar, sehingga dapat dimanfaatkan guna kepentingan kehidupan manusia. 16 Manusia yang merupakan sumber filsafat baik secara akal maupun kalbunya yang sehat, selanjutnya dengan usaha keras mencari kebenaran hingga mendapatkan kebenaran tersebut. 17 Pada proses mencari kebenaran ini dimulai dari tahap dimana manusia berspekulasi dengan pemikirannya (know) hingga kemudian menjadi hasil pikiran kemudian pada akhirnya menjadi sebuah ilmu pengetahuan (science) salah satunya adalah hukum.18 Jujun S. Suriasumantri menyatakan tiap-tiap pengetahuan memiliki tiga komponen yang menjadi objek kajian filsafat ilmu, yang merupakan tiang yang menyangga tubuh dari
pengetahuan yang disusun. 19 Komponen tersebut antara lain adalah komponen ontologi, epistemologi dan aksiologi.20 Falsafah tri hita karana yang merupakan hasil pemikiran yang mendalam berdasarkan ajaran agama Hindu di Provinsi Bali yang awalnya hanya diberlakukan pada lingkup lokal dalam perkembangannya saat ini sudah diadopsi dalam pembentukan hukum positif yang berlaku di Provinsi Bali. Sehingga, berdasarkan pemahaman filsafat ilmu, tri hita karana menjadi salah satu nilai yang penting guna menjawab permasalahan yang secara mendasar diatur oleh hukum dan mempengaruhi kehidupan masyarakat di Provinsi Bali.
-
a) Tri Hita Karana ditinjau dari Aspek Ontologi
Ontologi pada tatarannya berbicara mengenai hakikat.21 Ontologi yang mempelajari tentang segala sesuatu yang ada, yang mana kemudian dalam ontologi ini terdapat dua bagian penting, yaitu metafisika secara umum dan metafisika secara khusus yang dijelaskan sebagai berikut:
-
1) Membahas permasalahan hakikat yang ada secara umum yaitu di antaranya apa itu ada, eksistensi atau keberadaan itu (umum);
-
2) Membahas secara khusus hakikat yang ada pada tiga bagian penting, yaitu teologi (Tuhan), antropologi (manusia), dan kosmologi (alam semesta).22
Sehingga, pada aspek ontologi terkait eksistensi falsafah tri hita karana pertanyaan penting yang harus dijawab adalah apa hakekat falsafah tri hita karana dalam pembentukan hukum positif di Provinsi Bali?
Hukum menurut Abdul Manan adalah keseluruhan aturan yang menguasai perbuatan dan tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat,23 yang melihat dari sisi terbentuknya hukum dibagi menjadi hukum tertulis dan tidak tertulis.24 Pada intinya kedua bentuk hukum tersebut memiliki fungsi sebagai tolak ukur atau parameter tingkah laku yang wajib ditaati semua orang dalam melakukan sesuatu tindakan (standard of conduct). Selain itu juga memiliki fungsi sebagai sarana atau alat yang dapat memperbaiki perilaku dari masyarakat menjadi lebih baik, dan hukum juga berfungsi sebagai alat kontrol sosial yang mampu mengontrol tingkah laku dan perbuatan manusia, serta hukum harus berfungsi untuk menciptakan dan menjadi pendorong perubahan dalam masyarakat dengan cara memperlancar proses interaksi guna menciptakan perubahan pada hidup bermasyarakat.25
Berjalannya fungsi hukum sebagaimana disebutkan di atas mengharuskan hukum tidak berjalan statis melainkan selalu harus dinamis sesuai dengan perkembangan
dinamika dalam masyarakat.26 Theory of legislation yang dikemukakan Jeremy Bentham yang menekankan bahwa hukum harus bermanfaat dan sesuai dengan kepentingan masyarakat sehingga hukum tersebut akan memperbesar kebahagiaan individu yang membentuk masyarakat tersebut.27 Sehingga, falsafah tri hita karana yang menjiwai dan hidup dalam kesatuan masyarakat adat Bali mempunyai peran yang penting guna bersinergi dengan peraturan hukum positif yang berlaku di Provinsi Bali untuk menciptakan fungsi hukum tersebut. Secara ontologi atau hakikatnya, falsafah tri hita karana memberikan pemahaman bahwa guna mencapai fungsi hukum dan guna menilai keberlakuannya di masyarakat maka suatu aturan hukum positif haruslah memiliki nilai yang dijiwai oleh nilai yang berlaku di dalam masyarakat itu sendiri (bersumber dari kebutuhan masyarakat).
Sejalan dengan pendapat tersebut Jeremy Bentham pada aliran hukum alam mengambarkan bahwa diadopsinya nilai tri hita karana dalam menetapkan peraturan dan undang-undang di Provinsi Bali pada hakekatnya haruslah dipandang sesuai dengan kepentingan alam yaitu kebahagiaan sehingga tolak ukur dari pada peraturan perundang-undangan tersebut terletak pada moral. 28 Adapun beberapa Peraturan perundangan-undangan di Provinsi Bali yang mengadopsi nilai harmonis dari falsafah mengenai tri hita karana:
-
1) Perda Bali Nomor 16 tahun 2009 yang membahas mengenai pemanfaatan tata ruangan yang berlandasakan pada budaya Bali.
-
2) Ketentuan menimbang huruf a pada Peraturan Walikota Denpasar di Provinsi Bali Nomor 36 Tahun 2018 yang terkait dalam terciptanya kota yang berwawasan budaya dalam hal ini budaya bersih dan lingkungan yang bersih secara berkesinambungan maka diperlukan peran serta masyarakat dan pihak lainnya untuk meningkatkan dan menjaga keselestarian lingkungan.
-
3) Ketentuan dari Pasal 2 yang terdapat pada Perda Bali Nomor 2 tahun 2012 memberikan penjelasan terkait dengan “cara dan aturan pelaksanaan kegiatan pariwisata budaya di Bali sesuai dengan asas manfaat, keseimbangan, kekeluargaan dan kelestarian secara berkelanjutan yang terdapat pada tri hita karana serta beberapa nilai yang berasal dari ajaran Hindu”.
Eksistensi tri hita karana berdasarkan pada pandangan ajaran hukum alam terhadap hukum positif juga terletak pada empat fungsi, yaitu:
-
1) Fungsi Regulatif.
Falsafah tri hita karana menjadi dasar pembentukan aturan.
-
2) Fungsi Komplementer.
Falsafah tri hita karana dapat melengkapi aspek batin dan kejiwaan daripada suatu produk hukum.
-
3) Fungsi Korektif.
Falsafah tri hita karana dapat menjadi tolak ukur untuk mengevalusi keefektifan atau keterbatasan dari suatu produk hukum.
-
4) Fungsi Pemberian Sanski.
Falsafah tri hita karana dapat menunjukkan dasar penerapan sanksi.29
Dengan kata lain, sebagaimana telah disampaikan di atas, hukum positif memerlukan hukum yang hidup atau berlaku dalam masyarakat untuk mendapatkan validasi yang lebih fundamental dan final.30 Sehingga, hakikat dari tri hita karana sebagai pedoman kehidupan yang berasal dari hubungan harmonis sesama manusia, hubungan dari manusia dengan lingkungan dan penciptaNya menjadi sebuah gambaran yang memberikan pemahaman yang dapat divalidasai sebagai suatu yang fundamental dan final karena pada dasarnya falsafah tri hita karana mampu menjawab segala persoalan kehidupan dalam masyarakat melalui keberlakuan aturan hukum positif yang dalam keberlakuannya akan mengikat masyarakat secara moral.
-
b) Tri Hita Karana ditinjau dari Aspek Epistemologi dan Aksiologi
Cabang dari filsafat ilmu yang memperdalam mengenai awal mula dan sumber dari ilmu pengetahuan disebut dengan Epistemologi. 31 Epistemologi juga fokus menjelaskan hakikat dari pengetahuan yang berhubungan dengan sumber, konsep, jenis pengetahuan, kriteria pengetahuan dan lainnya.32
Aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum. Bramel membagi aksiologi menjadi beberapa bagian, yaitu bagian pertama merupakan tindakan moral yang berkaitan dengan disiplin khusus yang terlihat melalui sikap atau tindakan dari seseorang dimana hal tersebut pada akhirnya membentuk etika, kemudian bagian kedua merupakan ekspresi seseorang kepada keindahan, yang pada akhirnya menjadi awal mula dari seni atau estetika, dan ketiga socio political life yang melahirkan filsafat sosio-politik.33 Sehingga, aksiologi yaitu teori tentang nilai-nilai ketiga aspek ini, yakni moral (etika), keindahan (estetika) dan sosial politik, dimana bagian aksiologi yang membahas penilaian manusia dari sudut baik atau buruk dikaji dalam etika, sedangkan bagian aksiologi yang membahas penilaian manusia dari sudut pandang indah atau tidak indah dibahas dalam estetika.34 Falsafah tri hita karana sebagai norma/hukum dijiwai oleh nilai-nilai ajaran Agama Hindu yang menggambarkan semangat dari suatu jiwa bangsa yang bersumber dari adat istiadat dan kepercayaan masyarakat di Bali. Menurut Volkgeist theory yang dikemukakan oleh Von Savigny maka suatu sistem hukum merupakan semangat suatu bangsa yang mana hukum tersebut merupakan bagian dari masyarakat yang dibangun dan ditemukan dalam jiwa masyarakat,35 yang menurut Von Savigny konsep hukum ini terdiri dari beberapa prinsip, yaitu:
-
a. Hukum ditemukan, tidak dibuat.
-
b. Hukum berasal dari perasaan rakyat.
-
c. Hukum hadir sebagai ekspresi jiwa suatu bangsa.
-
d. Hukum merupakan produk dari bangsa yang genius.36
Sejalan dengan pendapat tersebut, Eugen Ehrlich dengan living law theory mengemukakan bahwa hukum itu tidak hanya semata-mata hanya mengenai isi aturannya saja namun lebih kepada hukum yang berlaku dan sejalan dengan kehidupan dalam bermasyarakat. 37 Secara epistemologi dapat dipahami bahwa falsafah tri hita karana dijiwai oleh nilai yang bersumber dari ajaran Hindu yang memberikan penjelasan mengenai sikap hidup yang harmonis dan seimbang, dan secara aksiologi falsafah tri hita karana dapat dijiwai sebagai suatu nilai yang memberikan kebahagiaan pada hubungan sesama manusia dan manusia dengan penciptaNya, serta dapat melestarikan kondisi alam dan menyayangi lingkungan melalui pengorbanan suci (yadnya), sehingga apabila nilai ini diadopsi dalam hukum positif diyakini dapat memberikan perbaikan moral yang terdapat dalam masyarakat.
Falsafah tri hita karana sebagai nilai yang hidup dan berkembang pada masyarakat adat Bali erat kaitannya dengan perkembangan ajaran adat dan Agama Hindu dari masyarakat asli Bali, yang kemudian dipositifkan melalui pembentukan aturan hukum sehingga eksistensi tri hita karana sebagai falsafah yang menjiwai terbentuknya hukum di Bali mempunyai hubungan erat dengan adat istiadat dan kepercayaan masyarakat di Bali mampu menjawab perubahan gejala yang berkembang pada masyarakat di Bali saat ini. Tri hita karana menjadi suatu aturan penyeimbang yang kuat terhadap ancaman disintegrasi dalam masyarakat akibat adanya benturan kepentingan-kepentingan. Falsafah tri hita karana sebagai substansi hukum diharapkan mampu meningkatkan kepatutan masyarakat terhadap hukum karena wajib secara moral bukan semata-mata karena tri hita karana dipositifkan ke dalam aturan hukum yag merupakan perintah penguasa sehingga masyarakat mematuhi hukum bukan dengan paksaan namun secara sukarela karena moral. Selain itu, diharapkan dengan diberlakukannya falsafah tri hita karana pada suatu produk hukum positif dapat menjadikan masyarakat lebih baik secara moral.
Eksistensi falsafah tri hita karana saat menetapkan peraturan dan undang-undang pada Provinsi Bali ditinjau dari prespektif filsafat ilmu memberikan gambaran yang jelas bahwa pada hakekatnya hukum yang lahir dari kebutuhan dan perasaan masyarakat dalam lingkup lokal atau adat dapat memberikan pengaruh yang sangat besar kepada pembentukan hukum positif itu sendiri guna menjawab permasalahan hukum yang dihadapi masyarakat dalam kehidupannya. Selain itu, dengan diberlakukannya falsafah tri hita karana saat menetapkan peraturan dan undang-undang pada Provinsi Bali memberikan keyakinan bahwa sesungguhnya masyarakat akan mampu menaati dan melaksanakan hukum secara sukarela karena adanya kewajiban secara moral bukan dengan paksaan semata. Adanya konstitusi yang memberikan pengakuan
terhadap hukum adat telah memberikan kedudukan dan tempat tersendiri bagi semangat dalam menciptakan negara yang mampu menyejahterakan masyarakatnya.
Daftar Pustaka
Buku
Diantha, I.M.P, (2017). Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum. Jakarta: Prenada Media Group.
Manan, Abdul. (2009). Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Jakarta: Kencana.
Nasution, M.S.A. (2016). Hukum dalam Pendekatan Filsafat, Jakarta: Prenadamedia Group.
Salim, H. S., & Nurbani, E. S. (2014). Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Disertasi dan Tesis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Susanto, A. (2015). Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Jurnal
Abadi, T. W. (2016). Aksiologi: Antara Etika, Moral, dan Estetika. KANAL: Jurnal Ilmu Komunikasi, 4(2), 187-204.https://doi.org/10.21070/kanal.v4i2.1452.
Adharinalti, A. (2012). Eksistensi Hukum Adat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Di Bali. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 1(3), 409418.
Dewi, A. A. I. A. A. (2014). Eksistensi Otonomi Desa Pakraman dalam Perspektif Pluralisme Hukum. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 3(3). https://doi.org/10.24843/JMHU.2014.v03.i03.p13.
Maladi, Y. (2010). Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 22(3), 450-464. https://doi.org/10.22146/jmh.16235.
Nur, Muhammad. (2014). Rekonstruksi Epistemologi Politik: Dari Humanistik ke Profetik. Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, 48 (1).
http://dx.doi.org/10.14421/asy-syir'ah.2014.%25x.
Ramly, F. (2014). Kontribusi Pemikiran Islam Kontemporer Bagi Pengembangan Filsafat Ilmu-Ilmu Keislaman. Ar Raniry: International Journal of Islamic Studies, 1(2), 221-236. http://dx.doi.org/10.20859/jar.v1i2.13.
Sudantra, I.K. (2008). Pengaturan Penduduk Pendatang dalam Awig-Awig Desa Pakraman. Jurnal Piramida, 4 (1).
Suhardin, Yohanes. (2007). Peranan Hukum dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat. Jurnal Pro Justitia, 25 (3)., 270-282.
Usman, A. H. (2015). Kesadaran Hukum masyarakat dan Pemerintah sebagai Faktor Tegaknya Negara Hukum di Indonesia. Jurnal Wawasan Yuridika, 30(1), 26-53. http://dx.doi.org/10.25072/jwy.v30i1.74.
Wastika, D. N. (2005). Penerapan konsep tri hita karana dalam perencanaan perumahan di Bali. Jurnal Permukiman Natah, 3(2), 62-105.
Internet
InputBali. (2015). Sejarah dan Penerapan Tri Hita Karana Yang Tidak Boleh Dilupakan.
Sumber dari http://inputbali.com/budaya-bali/sejarah-dan-penerapan-tri-hita-karana-yang-tidak-boleh-dilupakan, diakses 19 Juni 2019.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Lembaran Negara Republik Indoensia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009 – 2029, Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2009 Nomor 16, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 15.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali, Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2012 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 2.
Peraturan Walikota Denpasar Provinsi Bali Nomor 36 Tahun 2018 tentang
Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik, Berita Daerah Kota Denpasar Tahun 2018 Nomor 36.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2019 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 4.
141
Discussion and feedback