Adat Kejawen Ngalor-Ngetan Sebagai Alasan Adhalnya Wali Ditinjau dari Perspektif ‘Urf dalam Hukum Islam
on

Adat Kejawen Ngalor-Ngetan Sebagai Alasan Adhalnya Wali Ditinjau dari Perspektif ‘Urf dalam Hukum Islam
Candra Ulfatun Nisa1, Hari Sutra Disemadi2, Ani Purwanti3
1Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, E-mail: candraulfatun@gmail.com
2Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, E-mail: haridisemadi@gmail.com
3Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, E-mail: ani_purwanti81@yahoo.com
Info Artikel
Masuk: 29 Desember 2019
Diterima: 27 Pebruari 2010
Terbit: 31 Mei 2020
Abstract
Keywords:
Marriage; Wali Adhal;
Perspective ‘Urf; Ngalor-
Ngetan
Wali is one important element in marriage because marriages are not valid without a wali. Sometimes wali behaves adultery or refuses to become wali for the customary reasons of Ngalor-Ngetan Kejawen. Adat Kejawen Ngalor-Ngetan is abstinence from marriage when the bride-to-be is residing in the west of the bridegroom or vice versa. This custom is not easily separated from daily life, especially in marriage in Grobogan Regency, Purwodadi, Central Java. Islamic law regulates adat as well as recognizing adat as the source of law which is referred to as ‘Urf. This study aims to determine the view of the guardian is due to the customary reasons Kejawen Ngalor-Ngetan in terms of 'Urf in Islamic law. The method used is a doctrinal approach, with descriptive research specifications. This study uses data collection techniques based on secondary data. The results showed that the adat Kejawen Ngalor-Ngetan belonged to ‘Urf Fasid, which was rejected by Islamic law because it was contrary to Dalil Syara’ and was not acceptable to common sense. The custom of Kejawen Ngalor-Ngetan can not be categorized as the ‘Urf which can be used as a source of law. Its existence in principle and its implementation does not contain an element of benefit, instead, it contains a destructive element that leads to ugliness and damage because it is obstructing and complicating marital procedures.
Kata kunci:
Perkawinan; Wali Adhal;
Perspektif ‘Urf; Ngalor-Ngetan
Corresponding Author:
Candra Ulfatun Nisa, E-mail: candraulfatun@gmail.com
DOI:
10.24843/JMHU.2020.v09.i01. p11
Abstrak
Wali merupakan salah satu unsur penting dalam suatu perkawinan, karena perkawinan tidak sah tanpa adanya wali. Adakalanya wali bersikap adhal atau menolak untuk menjadi wali dengan alasan adat Kejawen Ngalor-Ngetan. Adat Kejawen Ngalor-Ngetan adalah pantangan perkawinan ketika calon mempelai wanita bertempat tinggal di sebelah barat dari calon mempelai pria ataupun sebaliknya. Adat ini tidak mudah dipisahkan dari kehidupan sehari-sehari khususnya dalam perkawinan di Kabupaten Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah. Hukum Islam mengatur mengenai adat sekaligus mengakui adat sebagai sumber hukum yang disebut dengan istilah ‘Urf. Penelitian ini memiliki tujuan mengetahui pandangan waliadhal karena alasan adat Kejawen Ngalor-Ngetan ditinjau dari ‘Urf dalam hukum Islam. Metode pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan doktrinal, dengan spesifikasi penelitian deskriptif. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data yang didasarkan pada data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adat Kejawen Ngalor-Ngetan termasuk ke dalam ‘Urf Fasid yang secara keseluruhannya ditolak hukum Islam karena bertentangan dengan Dalil Syara’ dan tidak dapat diterima oleh akal sehat. Adat Kejawen Ngalor-Ngetan tidak dapat dikategorikan sebagai ‘urf yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum. Keberadaannya secara prinsip maupun pelaksanaannya tidak mengandung unsur kemanfaataan, justru mengandung unsur merusak yang membawa kepada keburukan dan kerusakan karena sifatnya menghalangi dan mempersulit prosedur perkawinan.
Manusia pada dasarnya mempunyai naluri untuk hidup berpasangan-pasangan dengan manusia lain. Sudah merupakan kodrat alam bahwa seorang wanita dan seorang pria atau 2 (dua) manusia dengan perbedaan jenis kelamin, mempunyai daya tarik-menarik antara manusia yang satu dengan manusia lain untuk menjalani hidup berdampingan.1 Maka dari itu, untuk dapat hidup bersama, dapat diwujudkan dengan dilaksanakannya perkawinan.
Sebagai manusia yang merupakan makhluk-Nya, membutuhkan “perkawinan” yang merupakan bagian dari sunnatullah. Bagi manusia, hidup bersama dalam ikatan perkawinan menjadi hal yang penting karena perkawinan sendiri bertujuan untuk mendapatkan keseimbangan dalam hidup baik secara psikologis, secara biologis, ataupun secara sosial. Atas hal tersebut Allah SWT menjadikan perkawinan sebagai pilihan bagi makhluk-Nya untuk melanjutkan keturunannya dan melestarikan kehidupannya.2
UU No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan) merupakan unifikasi hukum yang mengatur tentang perkawinan di Indonesia. Bagi masyarakat yang beragama Islam, perkawinannya diatur pula di dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (kemudian disebut Kompilasi Hukum Islam). Berdasarkan Pasal 1 UU Perkawinan Tahun 2019 merumuskan bahwa perkawinan merupakan sebuah ikatan lahir bathin antara pria sebagai suami dengan wanita sebagai istri yang bertujuan membentuk suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berkaitan dengan definisi perkawinan di atas tersebut, ikatan perkawinan antara suami dan istri tidak hanya mencakup ikatan lahir ataupun ikatan bathin saja, melainkan benar-benar harus terpenuhi ikatan keduanya, sehingga perkawinan termasuk ke dalam sebuah perbuatan hukum dan juga merupakan perbuatan keagamaan. Perkawinan dikatakan sebagai perbuatan hukum karena menimbulkan akibat hukum yang mengikat kedua pihak yakni berupa hak dan kewajiban, sehingga
perkawinan harusnya dilakukan secara sah (memiliki kekuatan hukum). Mengenai sahnya suatu perkawinan diatur dalam rumusan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan Tahun 2019, yakni apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing pihak yang akan melaksanakan perkawinan. Hal inilah yang menjadi dasar dikatakannya perkawinan sebagai salah satu perbuatan keagamaan, karena dalam pelaksanaan perkawinan sering dihubungkan dengan ajaran dari masing-masing agama serta kepercayaan mengenai aturan pelaksanaan perkawinan.3
Aturan mengenai pelaksanaan perkawinan pada dasarnya beragam, tidak hanya antar agama satu dengan yang lainnya saja, tetapi antar adat masyarakat satu dengan lainnya pun beragam. Hal ini disebabkan karena adanya pengalaman hidup masyarakat adat sejak dahulu yang hingga saat ini masih terus diselaraskan dengan kepercayaan dan keyakinan masyarakat khususnya agama Islam. Perkembangan Islam di suatu masyarakat akan berakulturasi dengan adat daerah tersebut.4 Salah satunya adalah adat Jawa yang kemudian memunculkan istilah Islam Jawa atau Islam kejawen. Islam Jawa atau Islam kejawen hadir di kehidupan budaya adat Jawa yang tidak terpisahkan dengan agama Islam dan terus berkembang dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa termasuk aspek perkawinan.
Masyarakat Kabupaten Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah, masih mempercayai Islam kejawen seperti salah satunya yakni pantangan perkawinan adat kejawen yakni ngalor-ngetan. Adat ngalor-ngetan merupakan budaya setempat atau budaya lokal dari masyarakat Kabupaten Grobogan. Ngalor-ngetan adalah pantangan perkawinan yang didasarkan pada lokasi atau arah rumah. Keberadaan adat kejawen tersebut secara turun-temurun dilestarikan dan masih diakui hingga saat ini oleh sebagian masyarakat Jawa. Dalam perspektif agama Islam, adat ngalor-ngetan tidak diakui sebagai kriteria yang menghalangi perkawinan. Berdasarkan data perkara, sepanjang tahun 2019, Pengadilan Agama Purwodadi telah menerima dan telah memutus 6 (enam) perkara wali adhal dengan alasan ngalor-ngetan yaitu pada nomor: 85/Pdt.P/2019/PA.Pwd, 96/Pdt.P/2019/PA.Pwd, 147/Pdt.P/2019/PA.Pwd, 166/Pdt.P/2019/PA.Pwd, 227/Pdt.P/2019/PA.Pwd dan 237/Pdt.P/2019/PA.Pwd.5 Wali adhal yang dimaksud adalah wali nikah yang menolak (enggan) menjadi wali dengan alasan adat kejawen ngalor-ngetan. Terjadinya wali adhal bukan merupakan hal yang aneh, karena pada dasarnya pasti ada perselisihan atau perbedaan pendapat antara calon mempelai wanita dengan walinya, baik itu dari segi pandangan, jalan pikiran maupun kebijaksanaan antara keduanya yang sulit untuk dipertemukan.6Hal inilah yang selalu
menjadi problematika dalam melakukan suatu perkawinan karena wali nikah mempunyai kedudukan yang sangat penting.7
Adhalnya wali nikah menjadi suatu masalah karena mempersulit prosedur perkawinan yang akan dilaksanakan. Mengingat sahnya perkawinan wajib memenuhi seluruh syarat dan rukun perkawinan yang sudah ditentukan dalam Kompilasi Hukum Islam yakni pada Pasal 14, yang menyatakan untuk dilaksanakannya perkawinan, harus ada calon suami, calon istri, walinikah, 2 (dua) orangsaksi, ijab dan kabul. Dijadikannya wali nikah sebagai salah satu rukun perkawinan dimaksudkan untuk melindungi kepentingan mempelai wanita sekaligus melindungi integritas moralnya serta adanya wali nikah menjadikan terciptanya atau terwujudnya perkawinan yang sah (resmi).8 Maka dari itu, perkawinan yang dilakukan oleh sepasang calon suami dan calon istri tanpa menghadirkan wali nikah, bagi calon mempelai wanita akan menjadi batal demi hukum.
Mengingat penelitian mengenai wali adhal telah beberapa kali dilakukan sebelumnya seperti: 1) Penelitian yang dilakukan oleh Sylvana Amelia Fauzi di tahun 2016, penelitian ini berfokus pada penyelesaian perkara wali adhal yang disebabkan karena wali nikah tidak menyukai calon suami dari anak perempuannya sekaligus kaitannya dengan keabsahan perkawinannya;92) Penelitian yang dilakukan oleh Moh. Mursyid Asyari di tahun 2016, penelitian ini berfokus pada pertimbangan hakim dalam menolak permohonan wali adhal dengan alasan pengingkaran anak, padahal pemohon merupakan anak yang sah dari wali pemohon, serta pemohon juga tidak pernah mengajukan gugatan pengingkaran terhadap pemohon sebagai anak ke Pengadilan. Berdasarkan hal tersebut, Pengadilan Agama Bojonegoro seharusnya menerima dan menetapkan adhalnya wali Pemohon;10dan 3) penelitian yang dilakukan oleh Ani Krismiati, Hilma Syita El Asith dan Lutvi Anisa di tahun 2019, penelitian ini berfokus pada alasan adhalnya wali adalah karena maraknya pergaulan bebas remaja saat ini, sehingga orang tua menjadi cemas dan pada akhirnya memiliki pandangan sendiri untuk memilihkan jodoh yang tepat dan sesuai untuk anak-anaknya, maka pilihan anak-anak mereka dalam memilih jodohnya sendiri seringkali ditolak, tidak mendapat restu.11
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka terdapat perbedaan yang menjadi fokus penelitian saat ini. Walaupun tema yang diambil memiliki keterkaitan yakni tentang wali adhal, namun penelitian ini lebih menekankan pada alasan adhalnya wali karena adat kejawen mengenai pantangan perkawinan arah rumah ngalor-ngetan dilihat dari perspektif ‘urf dalam hukum Islam. Maka dapat dirumuskan permasalahan yang perlu dikaji, yaitu bagaimana pandangan mengenai
adhalnya wali karena alasan adat kejawen ngalor-ngetan ditinjau dari‘urf dalam hukum Islam?. Tujuan penelitian ini merupakan cerminan terhadap permasalahan tersebut, maka dari itu tujuan yang ingin dicapai yakni untuk mengetahui pandangan mengenai adhalnya wali karena alasan adat kejawen ngalor-ngetan ditinjau dari‘urf dalam hukum Islam.
Penulisan ini adalah hasil penelitian dengan menggunakan metode yang sifatnya doktrinal, yaitu metode penelitian hukum normative dengan spesifikasi penelitian deskriptif.12 Metode ini, lebih mengedepankan data sekunder sebagai data utamanya yaitu, bahan hukum primer berupa UU Perkawinan tahun 2019 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), bahan hukum sekunder berupa buku-buku yang terkait, dan bahan hukum tersier berupa jurnal penelitian hukum dan artikel ilmiah lainnya. Data sekunder tersebut dikumpulkan melalui teknik studi kepustakaan dan dikelompokkan sesuai jenis bahan hukum.13
Penelitian ini dituangkan dalam tulisan dengan menggunakan metode penulisan kualitatif. Metode kualitiatif ini menguraikan data-data ke dalam bentuk kalimatkalimat menjadi sebuah paragraph yang teratur, logis, runtun (sistematis), tidak tumpang tindih dan efektif. Kemudian diambil kesimpulan secara deduktif sebagai jawaban mengenai adat kejawen ngalor-ngetan sebagai alasan adhalnya wali ditinjau dari perspektif ‘urf dalam hukum Islam.
Pelaksanaan perkawinan di setiap daerah berbeda-beda. Bahkan tidak sedikit masyarakat yang masih menggunakan adat kebiasaan setempat dalam melaksanakan perkawinannya. Hal ini bertujuan untuk menghormati budaya leluhur yang masih dilestarikan secara turun-temurun. Bagi masyarakat, merayakan upacara perkawinan dengan menggunakan adat setempat dapat mendatangkan keberuntungan.14 Misalnya, hubungan suami-istri di masa depan akan langgeng, terhindar dari malapetaka dan penyakit, rejeki yang lancar dan hidupnya akan sejahtera.
Meskipun adat upacara perkawinan pada setiap daerah-daerah di Indonesia berbeda, perkawinan hanya akan dianggap resmi atau sah jika perkawinan tersebut sudah memenuhi seluruh persyaratan dan rukun suatu perkawinan. Mengenai sahnya perkawinan dalam hal ini apabila diimplementasikan berdasarkan hukum agama serta kepercayaannya masing-masing sesuai yang telah dirumuskan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan Tahun 2019. Begitupun bagi yang beragama Islam, untuk sahnya perkawinan maka kedua calon mempelai wajib memenuhi persyaratan serta rukun perkawinan yang telah diatur dalam hukum Islam. Rukun dalam perkawinan
merupakan hakekat yang wajib atau harus ada dalam pelaksanaan perkawinan, kemudian apabila salah satu rukun tidak terpenuhi maka perkawinan tidak dapat dilanjutkan pelaksanaannya.15 Sedangkan syarat perkawinan merupakan sesuatu yang wajib ada meskipun syarat perkawinan bukan merupakan hakekat dari perkawinan yang apabila salah satu syaratnya tidak terpenuhi maka perkawinan tidak sah.16
Berdasarkan tata hukum Perkawinan di Indonesia, khususnya bagi yang beragama Islam, sangat mewajibkan adanya wali nikah calon mempelai wanita. Hal tersebut telah diatur pada Pasal 19 – 23 Kompilasi Hukum Islam dan pada Pasal 18 Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah. Kewajiban dihadirkannya wali nikah calon mempelai wanita dalam perkawinan pada hakekatnya merupakan kesepakatan mayoritas ulama’ (kecuali madzhab Hanafi), sehingga konsekuensi dari tidak dihadirkannya wali nikah calon mempelai wanita pada perkawinan mengakibatkan perkawinan tersebut menjadi tidak sah. 17
Indonesia dalam hal wali menganut madzhab Syafi’i yang ditetapkan dalam pada Pasal 21 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, sebagai urutannya adalah sebagai berikut: a. Ayah; b. Kakek dan seterusnya ke-atas dari garis laki-laki; c. Saudara laki-laki; d. Saudara laki-laki seayah; e. Kemenakan laki-laki kandung; f. Kemenakan laki-laki; g. Paman kandung; h. Paman seayah; i. Saudara sepupu laki-laki kandung; j. Saudara sepupu laki-laki seayah; k. Sultan/hakim; dan l. Orang yang ditunjuk oleh mempelai yang bersangkutan. Selain itu, seorang wali nikah calon mempelai wanita pun harus memenuhi syarat yang diatur pada ketentuan Pasal 20 ayat(1) Kompilasi Hukum Islam yakni, wali nikah calon mempelai wanita haruslah seorang laki-laki dewasa (baligh) yang beragama Islam dan berakal.
Dewasa ini faktanya, wali nikah calon mempelai wanita seringkali menjadi penghalang untuk dilaksanakannya perkawinan. Penghalang dalam hal ini mempunyai arti bahwa wali nikah tersebut menolak atau enggan menjadi wali nikah dengan bermacam-macam alasan. Inilah yang disebut dengan istilah wali adhal, artinya enggan atau menolak. Seorang wali nikah dapat dikatakan adhal (menolak atau enggan) mengawinkan anaknya atau seorang wanita yang berada dibawah perwaliannya itu apabila: pertama, wali nikah calon mempelai wanita tidak mau mengawinkannya dengan calon mempelai pria, padahal calon mempelai wanita menerima lamaran calon mempelai pria; dan kedua, wali nikah calon mempelai wanita ingin mengawinkannya dengan pria pilihannya, sedangkan calon mempelai wanita yang bersangkutan tidak menginginkannya dan meminta wali nikahnya agar mengawinkan dengan pria pilihan yang sepadan dengannya.18
Alasan keengganan wali dalam mengawinkan calon mempelai wanita dan calon mempelai pria pada dasarnya dapat dilihat dari 2 (dua) alasan, yakni alasan syar’i dan tidak syar’i. Alasan syar’i merupakan alasan yang digunakan wali nikah calon mempelai wanita yang dibenarkan oleh ketentuan hukum Islam atau hukum syara’. Contohnya, wanita yang sudah dalam pinangan, berbeda agama, atau mempunyai cacat tubuh yang nantinya akan menghalangi kewajibannya sebagai suami dan
sebagainya. Atas dasar alasan syar’i tersebut, keputusan wali nikah calon mempelai wanita wajib atau harus ditaati serta hak kewaliannya tidak berpindah ke wali hakim.19
Kemudian alasan yang kedua yaitu adalah alasan tidak syar’i. alasan tidak syar’I merupakan alasan yang diberikan oleh wali nikah calon mempelai wanita yang sama sekali tidak dibenarkan oleh hukum Islam atau hukum syara’. Contohnya adalah calon mempelai pria berbeda suku, miskin, tidak bekerja sebagai pengusaha atau pegawai negeri sipil, atau bahkan karena alasan adat mengenai larangan perkawinan yang berlaku di masyarakat dan lain sebagainya. Alasan-alasan tersebut merupakan contoh alasan yang dikeluarkan oleh wali nikah yang tidak ada dasarnya dalam pandangan.20
Mengenai kebiasaan yang berlaku di masyarakat Indonesia, dalam mengadakan perkawinan, masyarakat sering menggunakan adat dalam upacara perkawinan tersebut, ada pula beberapa yang terkait yang menjadi suatu larangan perkawinan berdasarkan adat itu sendiri yang sampai saat ini masih diyakini. UU Perkawinan di Indonesia dan Kompilasi Hukum Indonesia yang khusus diberlakukan bagi yang beragama Islam telah mengatur mengenai larangan perkawinan. Larangan-larangan perkawinan tersebut umumnya tidak bertentangan atau telah sesuai dengan hukum adat yang berlaku dan hidup di berbagai daerah di Indonesia. Tetapi, kenyataannya masih banyak suatu hal berlainan yang disebabkan adanya pengaruh struktur masyarakat adat yang unilateral, baik berdasarkan garis patrinial maupun berdasarkan garis matrilineal bahkan juga pada masyarakat yang bilateral di pedalaman. Istilah larangan dalam hukum adat antara lain, “pamali”, “tulah”, “sumbang”, “pantang” dan lain sebagainya yang digunakan untuk menyebut segala hal (perbuatan) yang dipantangkan atau dilarang menurut adat atau kepercayaan pada suatu daerah tertentu sebelum melaksanakan perkawinan.21 Salah satu pantangan perkawinan yang dikenal yakni ngalor-ngetan.
Ngalor-ngetan merupakan istilah dari bahasa Jawa yang apabila diartikan dalam kata menurut bahasa Indonesia yakni, ngalor yang asal katanya dari lor berarti utara sedangkan ngetan berasal dari kata wetan yang berarti timur. Sehingga ngalor-ngetan berarti utara-timur. Istilah tersebut merupakan adat kejawen yang masih dipercaya sebagian masyarakat Jawa yaitu mengenai sebuah pantangan perkawinan berdasarkan lokasi atau arah rumah (ngalor-ngetan). Pantangan lokasi atau arah rumah yang dimaksud adalah larangan untuk melaksanakan perkawinan apabila posisi rumah calon mempelai wanita atau tempat tinggal calon mempelai wanita berada persis di sebelah barat calon mempelai pria ataupun sebaliknya. Lebih jelasnya, antara posisi rumah tempat tinggal calon mempelai wanita dengan posisi rumah tempat tinggal calon mempelai pria membentuk sudut siku-siku yang apabila ditarik secara garis lurus, perkawinan itu dimulai dari arah selatan yang kemudian menuju ke arah utara lalu menuju ke timur (ngalor-ngetan). Alasan adat kejawen ngalor-ngetan inilah yang masih sering dijadikan alasan untuk wali nikah bersikap adhal. Ngalor-ngetan masih dipercaya masyarakat Jawa khususnya di Kabupaten Grobogan, Purwodadi yang sempat penulis singgung dalam pendahuluan di atas.
Adat kejawen ngalor-ngetan ini tidak diketahui secara pasti asal usulnya, namun hal tersebut masih dianggap sebagai hukum. Masyarakat setempat masih mempercayai atas dasar banyaknya peristiwa-peristiwa buruk yang secara kebetulan muncul setelah melakukan perkawinan ngalor-ngetan. Masyarakat dalam hal ini acuannya pada ilmu hafalan yang disebut dengan istilah ilmu titen yang direnungkan, diyakini, dipelajari dan dilaksanakan dengan mengacu pada peristiwa buruk yang secara kebetulan terjadi apabila melanggar adat ngalor-ngetan. 22 Disebut ilmu titen karena unsur
pembentukannya adalah kebiasaan yang sejak lama sudah dilakukan dari zaman nenek moyang secara terus-menerus hingga saat ini. Atas dasar inilah sebagian masyarakat Jawa khususnya di Kabupaten Grobogan, Purwodadi melarang adanya perkawinan karena posisi rumah antara calon mempelai wanita dengan calon mempelai pria ngalor-ngetan.
Masyarakat mempercayai jika calon mempelai wanita tetap memaksakan adanya pelaksanaan perkawinan, nantinya akan mengalami kesulitan dan meyakini akan terjadinya hal-hal buruk sebagai akibat dari pelaksanaan perkawinan tersebut, seperti nantinya kehidupan rumah tangga akan tidak harmonis, munculnya bencana besar bahkan anggota keluarga baik dari pihak suami maupun istri akan mengalami kematian. Sebaliknya, apabila mentaati adat ngalor-ngetanakan memberikan kebahagiaan atau keselamatan. Adat kejawen ngalor-ngetan tidak membatasi arah wilayahnya, karena arah perkawinan ngalor-ngetan sudah ditetapkan mutlak terlarang dan tidak dapat dilanggar bagaimanapun caranya, sehingga perkawinan antara calon mempelai wanita dan calon mempelai pria tetap tidak dapat dilaksanakan apabila perkawinan itu mengarah ke ngalor-ngetan.
Sebenarnya, dalam kehidupan masyarakat masih banyak jenis adat yang masih dipertahankan, karena suatu adat dinilai sebagai hal yang paling penting di tengah keseharian hidup masyarakat. Adat menjadi hal yang paling berpengaruh dalam mencapai kemaslahatan manusia di dalam perkembangannya. Adat berfungsi sebagai petunjuk dalam berperilaku serta memberikan suatu identitas khusus yang dapat membedakan antara individu atau kelompok yang satu dengan individu atau kelompok lainnya. Adat juga dapat menjadi hal yang menyulitkan apabila tidak sesuai dengan ketentuan yang ada baik itu berupa ketentuan hukum maupun ketentuan agama yang saat ini diberlakukan.23 Menurut hukum Islam, syarat untuk diterimanya dan dilaksanakannya suatu adat haruslah sesuai dengan yang secara tegas nampak dimaksudkan dalam nash, baik yang terkandung dalam dalil Al-Qur’an maupun Hadist. Maka dari itu, hukum Islam dalam menentukan suatu hukum, selalu berupaya mempertimbangkan keadaan-keadaan tertentu. Hukum Islam terkesan bersifat kaku apabila tidak mempertimbangkan eksistensi adat atau kebiasaan yang ada. Itulah yang menjadi alasan bahwa Islam di Indonesia, dalam perkembangan dan perjalanannya selalu berdampingan dengan adat sebagai suatu hal yang dinilai sangat penting.24 Mengingat adat dalam kehidupan masyarakat selalu berubah-ubah dan mengalami perkembangan berdasarkan keadaan masyarakat itu sendiri yang sesuai dengan zaman, dan juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial, pendidikan dan politik.
Agama Islam hakikatnya merupakan agama yang bersifat akomodatif, oleh karena itu dalam perkembangannya, Islam selalu berupaya untuk mempersiapkan segala hal dalam pemenuhan kebutuhannya melalui adat sebagai salah satu sumber dalam pembentukan hukumnya.25
Apabila ditelusuri lebih dalam, terdapat perbedaan antara kepercayaan syariat dalam agama Islam dengan kepercayaan kejawen dalam masyarakat (adat kepercayaan Jawa). Hukum Islam tidak pernah mengenal pantangan perkawinan (ngalor-ngetan). Adat kejawen ngalor-ngetan dapat dikatakan termasuk dalam mitos yang masih dipercaya namun belum terbukti kebenarannya. Istilah mitos dapat diartikan sebagai sesuatu yang dapat berbentuk sebuah keyakinan, dongeng atau asal mula suatu hal mengenai pantangan yang tidak boleh dilanggar. Apabila dilanggar, akan pamali atau kualat (dosa).26 Adat yang sifatnya masih sangat tradisional merupakan alasan mitos masih diakui eksistensinya. Mengingat, mitos awalnya bermula dari cerita orang ke orang secara lisan melalui perbincangan atau pembicaraan yang semakin lama mengalami perkembangan, yang diterima begitu saja dan dipercaya secara turun-temurun tanpa dilakukan penelitian terlebih dahulu. 27 Mitos ini pun tidak mudah untuk dipisahkan dari kehidupan sehari-hari hingga saat ini, bahkan beberapa masyarakat yang memercayai mitos ini beragama Islam. Adat sebagai suatu perbuatan yang dilakukan berulang-ulang kali dan terus-menerus di tengah masyarakat, merupakan salah satu bagian dari hukum Islam, diatur melalui ‘urf.
Pada dasarnya, ‘urf merupakan bentuk hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya melalui interaksi sosial antara mereka, yang dalam hal ini dilakukan secara berulang kali dan terus-menerus di tengah masyarakat. 28 ‘Urf yang dimaksud merupakan perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, yang bentuknya dapat berupa perkataan maupun sikap perilaku, yang sifatnya universal menyeluruh atau umum maupun yang sifatnya spesifik atau khusus.29
Mayoritas ulama’ ushul fiqh telah sepakat mengenai ‘urf. ‘Urf diartikan sebagai kebiasaan atau adat, karena pemberlakuannya sudah sejak dahulu dan berulang kali secara terus-menerus seolah-olah adat tersebut adalah sebuah hukum yang aturannya secara tegas tertulis dan ada sanksi apabila melanggarnya.30Hal ini dikarenakan karena adat memiliki konsekuensi sanksi apabila melanggarnya (sebagai hukum) dan tidak secara tegas tertulis (sebagai adat kebiasaan). Sekalipun demikian, keduanya tetap memiliki perbedaan, yakni ‘urf diartikan sebagai suatu kebiasaan yang terus-menerus dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang awal mulanya berasal dari pemikiran kreatif masyarakat setempat sebagai upaya dalam proses pembentukan nilai elemen budayanya. ‘Urf berfokus pada pengulangan yang objeknya tertuju pada sisi pelakunya, sehingga nilai yang positif maupun nilai yang negatif dari suatu kebiasaan
tersebut, bukanlah hal yang dianggap penting, sepanjang kebiasaan itu dilakukan secara bersama-sama dan terus-menerus termasuk dalam kategori ‘urf. Sedangkan adat diartikan sebagai kebiasaan umum berupa pekerjaan yang dilakukan oleh pribadi atau kelompok.31
Selain adat, antara ‘urf dan ijma’pun dinilai memiliki persamaan dalam hal adanya sanksi apabila melanggar. Perbedaannya, dalam ijma’ masyarakat melakukan suatu hal karena para mujtahid telah menyepakati sehingga harus ditetapkan hukumnya, sedangkan ‘urf merupakan suatu hal yang dianggap atau dipandang baik untuk kemudian disepakati bersama dan dilaksanakan secara terus-menerus yang dalam perkembangannya menjadi suatu kebiasaan, sehingga seakan-akan berlaku hukum tidak tertulis bagi beberapa masyarakat tersebut.32
Mayoritas Ulama’ushul fiqh telah sepakat membedakan ‘urf dalam 3 (tiga) jenis bagian,33pertama, yang apabila ditinjau dari segi obyeknya ‘urf terbagi atas: 1.‘Urf lafdzi/qauliyah, artinya ‘urf berupa kebiasaan yang terus-menerus dilakukan oleh sekelompok masyarakat menyangkut perkataan atau pengucapan suatu tertentu;34 2.’Urf amali/fi’liyah, artinya ‘urf berupa perbuatan, perilaku atau tingkah laku yang terus-menerus dilakukan. 35 Kedua, ditinjau dari ruang lingkup berlaku atau cakupannya ‘urf terbagi atas: 1. ‘Urf secara menyeluruh (‘urf amm), artinya ‘urf yang dilakukan semua orang dan berlaku di mana pun, tidak terbatas pada apapun dan tidak menyangkut hal tertentu36 2.‘Urf secara spesifik (‘urf khas), artinya ‘urf yang dilakukan oleh sebagian masyarakat atau sekelompok masyarakat terbatas dalam beberapa tempat, waktu dan situasi kondisi yang spesifik.37 Ketiga, ditinjau dari segi keabsahan dalam hal penerimaan atau penolakan ‘urf, terbagi dalam: 1. ‘Urf shahih, artinya ‘urf yang sifatnya mengalami penerimaan, hal tersebut diakui dan dibenarkan karena telah sesuai dengan hukum syara’ yang ada. ‘Urf yang dimaksud merupakan segala kebiasaan yang terus-menerus dilakukan oleh masyarakat setempat yang mana tidak berlawanan dengan nash baik dalil Al-Qur’an atau Hadist, tidak menghilangkan kemanfaatan dan tidak pula mendatangkan keburukan;38 2.‘Urf fasid, artinya ‘urf yang sifatnya mengalami penolakan, hal tersebut tidak dapat dibenarkan dan tidak diakui sebagai sesuatu yang baik, karena berlawanan dengan hukum syara’, baik dalil Al-Qur’an maupun Hadits, serta berlawanan dengan konsep dasar dalam agama Islam.39
Berdasarkan macam-macam ‘urf tersebut, dapat diketahui apabila dilihat dari segi obyeknya pantangan perkawinan berdasarkan adat kejawen ngalor-ngetan merupakan suatu ’urf amali/fi’liyah. Hal ini disebabkan karena adat kejawen ngalor-ngetan merupakan suatu kebiasaan berupa perbuatan, perilaku atau tingkah laku. Perbuatan yang dimaksud merupakan sebuah kebiasaan berdasarkan ilmu titen yang pada awalnya direnungkan, kemudian diyakini, dipelajari, disepakati bersama sekaligus
diterapkan dari zaman nenek moyang terdahulu dan masih berlanjut hingga saat ini oleh masyarakat, khususnya di Kabupaten Grobogan, Purwodadi.
Dilihat dari segi cakupannya, pantangan adat kejawen ngalor-ngetan termasuk dalam ‘urf secara spesifik atau ‘urf khusus, karena kebiasaan ini berlaku terbatas yang hanya dilakukan oleh sebagian masyarakat atau sekelompok masyarakat saja, serta pemberlakuannya pada suatu daerah tertentu secara spesifik. Adat kejawen ngalor-ngetan hanya dilaksanakan oleh masyarakat Kabupaten Grobogan, Purwodadi dan sekitarnya saja, tidak berlaku secara luas bagi mayoritas masyarakat Indonesia. Tidak semua masyarakat Indonesia memercayai mitos ini. Selain itu, adat kejawen ngalor-ngetan hanya berlaku dalam hal perkawinan saja, tidak berlaku dalam aspek kehidupan sehari-hari yang lainnya.
Selanjutnya, apabila dilihat dari segi keabsahan dalam hal penerimaan atau penolakan ‘urf, adat kejawen ngalor-ngetan termasuk ke dalam ’urf fasid, karena adat kejawen ngalor-ngetan merupakan ‘urf yang sifatnya mengalami penolakan, tidak diakui sebagai sesuatu yang baik dan tidak dapat dibenarkan oleh akal sehat. Penolakannya didasarkan pada pendekatan rasionalitas atau agama Islam. Adat kejawen ngalor-ngetan hanya didasarkan pada pandangan yang bersifat mitos yang mengesampingkan ajaran Islam dan lebih mengutamakan adat istiadat (kebiasaan). Tidak ada dasar yang menguatkannya baik itu konsep dasar dalam agama Islam, maupun yang secara tegas nampak dimaksudkan dalam nash, baik yang terkandung dalam dalil Al-Qur’an maupun Hadist sehingga dinilai berlawanan dengan hukum Islam atau hukum syara’.40 Hal ini dikhawatirkan akan menjadikan kekufuran akibat mempercayai kekuatan lain yang mengatur kehidupan manusia. Mengingat kedua dasar hukum Islam tersebut tidak mengenal tentang adanya larangan perkawinan berdasarkan kepercayaan masyarakat. Larangan perkawinan berdasarkan adat kejawen ngalor-ngetan ini justru secara otomatis dapat mempersulit pasangan calon mempelai wanita dan calon mempelai pria dalam melangsungkan prosedur perkawinannya. Apalagi jika ternyata antara calon mempelai wanita dan calon mempelai pria telah memenuhi seluruh persyaratan serta rukun perkawinan, namun terhalang dikarenakan walinya adhal dengan alasan adat kejawen ngalor-ngetan. Sehingga, adat ngalor-ngetan merusak nilai kemanfaatan yang ada.
Sejalan dengan itu, Salih Awad memberikan definisi bahwa ‘urf merupakan sesuatu yang menetap dalam jiwa manusia berdasarkan pandangan yang masuk akal, diakui dan dapat dibenarkan oleh pikiran dan watak yang sehat, tidak berlawanan dengan hukum syara’ serta berulang kali dan terus-menerus dilaksanakan oleh sebagian masyarakat atau sekelompok masyarakat.41 Abdullah bin Ahmad pun mendefinisikan ‘urf sebagai bentuk kebiasaan yang bertempat pada kehidupan manusia dalam waktu yang lama, yang didasarkan pada pandangan yang masuk akal, diakui, diterima dan dibenarkan oleh pikiran serta watak yang baik dan normal.42
Sehubungan dengan pendapat ulama’ mengenai definisi ‘urf di atas, apabila dicocokkan dengan adat kejawen ngalor-ngetan, bahwa adat kejawen ini sebenarnya dikategorikan sebagai ‘urf yang mengalami penolakan sehingga tidak diakui dan tidak
dibenarkan apabila dijadikan sebagai dasar sumber hukum. Adat kejawen ngalor-ngetan memang sudah dilakukan secara terus-menerus oleh masyarakat Kabupaten Grobogan, Purwodadi namun pada kenyataannya adat kejawen ini tidak sesuai dengan dalil Al-Qur’an maupun Hadits, bahkan dalam konsep dasar hukum agama Islam. Keburukan dan malapetaka yang timbul karena dilanggarnya adat kejawen ngalor-ngetan merupakan suatu kebetulan dan mitos yang tidak masuk akal dan tidak bisa diterima oleh pikiran sehat yang baik dan normal.43
Islam pada dasarnya memang mengakui adanya hukum adat. Menurut jumhur ulama’ fiqh, menjadikan hukum adat sebagai dasar dalam menetapkan hukum adalah hal yang sah dilakukan, meskipun hanya beberapa kategori adat saja yang dapat dilegitimasi dan diakui untuk dapat dijadikan sebagai sumber hukum.44 Sehingga, untuk dapat digunakannya adat sebagai dasar sumber hukum dalam menentukan suatu aturan hukum, ada persyaratan yang wajib terpenuhi, pertama, adat tersebut harus berlandaskan dan sesuai dengan ketetapan yang secara tegas nampak dimaksudkan dalam nash, baik itu ditetapkan dalam dalil Al-Qur’an maupun Hadist.45 Jelasnya, hal ini bertujuan untuk mewujudkan adanya ‘urf yang shahih berdasarkan keabsahannya. Seperti yang telah dijelaskan di atas, apabila ‘urf tersebut jauh dari yang ada dalam ketetapan nash dalam prinsip hukum syara’, baik itu yang telah ditetapkan dalam dalil Al-Qur’an maupun Hadist, sudah dapat dipastikan termasuk ‘urf fasid yang tidak dapat dilegitimasi dan diakui untuk dapat dijadikan sebagai dasar sumber hukum dalam menentukan suatu aturan hukum. Adat kejawen ngalor-ngetan merupakan tradisi yang masih diyakini, yang apabila tetap dilaksanakan akan mendatangkan keburukan. Padahal Islam mengatur perkawinan secara mudah dan sederhana, yakni seseorang boleh melaksanakan perkawinan dengan siapa pun asalkan telah terpenuhinya seluruh persyaratan perkawinan baik itu syarat yang bersifat subjektif maupun objektif, terpenuhinya rukun dalam perkawinan yang telah diatur serta tidak ada larangan/penghalang untuk melaksanakan perkawinan, baik itu yang bersifat abadi maupun yang bersifat sementara. Dengan demikian jelas, bahwa adat kejawen ngalor-ngetan ini bertentangan dengan nash.
Kedua, ‘urf harus berlaku secara terus-menerus sebagai suatu komponen yang dalam pemberlakuannya diketahui dan telah diakui oleh sekelompok masyarakat setempat.46 Adat kejawen ngalor-ngetan ini sudah berlangsung lama sejak zaman nenek moyang dan masih tetap diakui hingga saat ini oleh mayoritas masyarakat Kabupaten Grobogan, Purwodadi dan juga dilakukan dengan penuh kesadaran.
Ketiga, ‘urf harus bersifat non-retroaktif. Ditetapkannya ‘Urf sebagai pedoman atau acuan dalam menentukan suatu aturan hukum apabila keberadaan dan pemberlakuan ‘urf sudah sejak lama diakui, tidak merupakan sesuatu yang baru. Sehingga, dapat dikatakan keberadaan dan pemberlakuan ‘urf haruslah lebih dahulu ada dibandingkan dengan adanya ketentuan mengenai aturan hukum, sebaliknya apabila ‘urf yang dimaksud merupakan suatu hal yang baru ada atau baru muncul, maka tidak dapat diperhitungkan.47
Keempat, ‘urf haruslah merupakan perbuatan yang tidak berlawanan dengan logika manusia atau sifatnya harus masuk akal dan sesuai dengan pikiran yang baik dan normal, serta mengandung nilai kemanfaatan.48 Berdasarkan persyaratan yang ada ini, menandakan bahwasanya adat sebagai sumber menentukan suatu aturan hukum tidak mungkin merupakan sesuatu yang merugikan dan membawa pada keburukan. Adat kejawen ngalor-ngetan dibangun atas dasar alasan yang sifatnya hanya mitos saja, yang apabila melanggar akan mengalami suatu hal yang buruk seperti ketidakharmonisan dalam keluarga, sering memperoleh musibah. Padahal semuaorang yang tidak melanggar adat kejawen ngalor-ngetan pun pasti akan tetap mengalami ujian dan cobaan hidup dari Allah SWT apabila dikehendaki-Nya. Sehingga sangat jelas bahwa mengenai larangan/penghalang perkawinan adat kejawen ngalor-ngetan tersebut berlawanan dengan logika manusia atau tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan pikiran yang baik dan normal. Persyaratan mengenai ‘urf telah melakukan berbagai macam pertimbangan, salah satunya dengan melihat nilai kemanfaatan yang terkandung di dalamnya.
Berdasarkan empat syarat diatas, adat kejawen ngalor-ngetan hanya memenuhi 1 (satu) syarat saja, yakni bahwa adat kejawen ngalor-ngetan tersebut pada dasarnya memang merupakan suatu kegiatan yang biasa dilakukan berulang kali secara terus-menerus sejak dahulu kala hingga saat ini dan dinilai sebagai suatu komponen yang dalam pemberlakuannya diketahui dan telah diakui oleh sekelompok masyarakat Kabupaten Grobogan, Purwodadi. Selanjutnya, tidak sesederhana dan semudah begitu saja. Adat kejawen ngalor-ngetan yang sudah berlangsung sejak lama dan dilakukan secara terus-menerus pun harus diseleksi kembali apabila akan dijadikan sebagai dasarsumber hukum dalam menentukan suatu aturan hukum.
Seleksi untuk menentukan suatu aturan hukum yang dilakukan terhadap adat tersebut tetap harus mengutamakan muatan nilai kemanfaatan, sehingga tidak hanya mengikuti saja tanpa memperoleh manfaat apapun mengenai adat tersebut. Nantinya mengenai hasil dari seleksi terhadap yang dilakukan tersebut, dapat dibedakan dalam 4(empat) kategori, yakni pertama, suatu adat yang sudah ada sejak dahulu, secara isi (substansi) dan pelaksanaan (prosedur) harus mempunyai unsur yang bermanfaat. Artinya, unsur manfaat harus benar-benar ada dan tidak ada sama sekali unsur merugikan atau apabila dipertimbangkan, unsur manfaat haruslah lebih mendominasi dari unsur meruginya, sehingga adat yang dimaksud dalam hal ini dapat mengalami pengakuan dan penerimaan secara keseluruhan di dalam hukum Islam.49
Kedua, adat yang sudah ada sejak dahulu, pada prinsipnya dilihat dari isi (substansi) mempunyai unsur yang bermanfaat, tetapi apabila dilihat dari pelaksanaan (prosedur) oleh hukum Islam, dinilai tidak membawa kebaikan. Artinya, dari segi isi (substansi) bisa saja adat ini mengalami penerimaan di dalam hukum Islam, namun harus diadakannya perubahan dalam pelaksanaan (prosedur) agar ada penyesuaian dengan kenyataan yang terjadi di tengah masyarakat dengan tetap berdasarkan agama.50
Ketiga, adat yang sudah ada sejak dahulu, pada prinsip isi (substansi) sekaligus pelaksanaan (prosedur) hanya terkandung unsur buruk yaitu unsur mafsadat
(kerusakan), yang artinya satu-satunya yang terkandung dalam adat tersebut hanya unsur kerusakan, tidak mempunyai kemanfaatan sama sekali, atau sebenarnya mengandung unsur yang mempunyai manfaat namun ternyata unsur kerusakannya lebih mendominasi dibanding unsur kemanfaatannya. Kategori adat yang termasuk dalam bentuk ini baik isi (substansi) maupun pelaksanaan (prosedur) sudah pasti mengalami penolakan secara tegas sepenuhnya oleh hukum Islam.51
Keempat, adat yang sudah berlangsung sejak lama ini diakui dan diterima oleh sekelompok masyarakat atau sebagian masyarakat karena baik dalam isi (substansi) maupun pelaksanaan (prosedur) sama sekali tidak berisi unsur mafsadat (kerusakan) dan sebenarnya telah sesuai dengan yang ada dalam aturan hukum syara’, akan tetapi keberadaan bentuk adat ini belum secara langsung maupun tidak langsung dimasukkan ke dalam syara’. Bentuk adat atau ‘urf yang seperti ini masih menjadi suatu hal yang diperdebatkan antara pro dan kontra bagi sebagian ulama’ dan adat yang dimaksud masih dalam jumlah yang besar.52
Apabila diperhatikan, adat kejawen ngalor-ngetan yang hingga saatini masih diyakini dan dilaksanakan masyarakat Kabupaten Grobogan, Purwodadi cenderung masuk dalam kategori ketiga yang pada prinsip isi (substansi) sekaligus pelaksanaan (prosedur) hanya terkandung unsur buruk yaitu unsur mafsadat (kerusakan), yang berarti adat tersebut hanya mengandung unsur kerusakan yang buruk saja dan tidak ada unsur kemanfaatannya sama sekali atau sangat sedikit nilai kemanfaatannya. Adat kejawen ngalor-ngetan tidak sesuai dengan konsep nilai maslahah, tidak mendatangkan kemanfaatan, justru mengandung keburukan dalam hal menghalangi dan mempersulit prosedur perkawinan. Mengingat konsep perkawinan adalah membawa pada kemanfaatan dan kebahagiaan yang bernilai ibadah yang sangat disesalkan apabila tidak dapat terlaksana dengan baik dan lancar.
Dikatakan sebagai hal yang menghalangi dan mempersulit prosedur perkawinan karena saat ini, alasan adat kejawen ngalor-ngetan masih seringkali digunakan sebagai alasan untuk wali bersikap adhal. Pada kenyataannya antara calon mempelai wanita dan calon mempelai pria telah memenuhi semua rukun dan persyaratan perkawinan, tidak ada halangan/larangan untuk melaksanakan perkawinan menurut syara' (agama) serta sudah dianggap mampu bertanggungjawab baik secara lahir maupun bathin untuk melaksanakan kewajiban berumah tangga, namun karena tidak adanya wali, calon mempelai wanita dan calon mempelai pria tidak dapat melaksanakan perkawinan dengan segera. Hal ini justru bisa saja membawa pada keburukan yakni dikhawatirkan mendekati perbuatan zina akibat perkawinannya dihalangi.
Adat kejawen ngalor-ngetan sangat bertentangan dengan nash, baik yang terkandung dalam dalil Al-Qur’an maupun Hadist. Mengingat, di dalam agama Islam, secara mutlak Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber hukum utama umat Islam untuk mengatur tingkah laku manusia. Sumber hukum lainnya yang diakui selain Al-Qur’an dan Hadits, yakni ijma’ yang merupakan kesepakatan hukum para ulama’, qiyas, maslahah-mursalah, dan ‘urf. Apabila suatu problematika tidak ditemukan mengenai ketentuan hukumnya di dalam dalil Al-Qur’an maupun Hadits, maka seseorang harus merujuk pada ijma’, qiyas, maslahah-mursalah ataupun ‘urf, tetapi jika masih tidak ada, maka seseorang tersebut harus berijtihad untuk menemukan hukum dari masalah
tersebut, tentunya tidak keluar dari kaidah-kaidah hukum Islam.53 Dapat dikatakan, adat kejawen ngalor-ngetan merupakan suatu budaya lokal dari Kabupaten Grobogan yang pengaturannya sama sekali tidak terdapat dalam Al-Qur’an, Hadits maupun kesepakatan-kesepakatan hukum para ulama’. Sehingga, adat kejawen ngalor-ngetan merupakan budaya yang tidak sejalan dengan agama Islam.
Adat kejawen ngalor-ngetan adalah sesuatu yang tidak diatur dan ditentukan secara tegas dalam dalil Al-Qur’an, Hadits, ijma’ ataupun qiyas, dan termasuk ‘urf yang fasid, Jelas bahwa adat kejawen ngalor-ngetan secara keseluruhannya ditolak dalam hukum Islam, sehingga adat seperti ini sudah pasti mengalami penolakan dan tidak dapat dijadikan sebagai dasar sumber hukum dalam menetapkan suatu aturan hukum sehingga tidak perlu dilaksanakan oleh masyarakat sebagai umat Islam. Hal yang harus diingat, apabila ‘urf (adat) mengalami perbenturan dengan hukum syara’, maka yang didahulukan adalah hukum syara’. Mengenai adhalnya wali karena alasan adat kejawen ngalor-ngetan harus diabaikan karena merupakan alasan yang tidak syar’i, apalagi dalam hal ini apabila dilihat dari konsep kemanfaatannya, keberadaan adat tersebut secara substansi dan pelaksanaannya benar-benar tidak memiliki manfaat sama sekali, justru membawa kepada keburukan dan kerusakan.
Adat kejawen ngalor-ngetan yang hingga saat ini masih diyakini dan dilaksanakan oleh mayoritas masyarakat Kabupaten Grobogan, Purwodadi, termasuk ke dalam ‘urf fasid yang secara keseluruhannya ditolak oleh hukum Islam. Hukum Islam tidak mengenal adanya larangan perkawinan berdasarkan arah lokasi rumah seperti ngalor-ngetan. Tidak ada dasar yang menguatkannya baik itu berdasarkan nash Al-Qur’an atau Hadist, ijma’ maupun qiyas sehingga dinilai bertentangan dengan dalil syara’, bersifat tidak baik dan tidak dapat diterima oleh akal sehat. Adat kejawen ngalor-ngetan tidak dapat dikategorikan sebagai ‘urf yang dapat dijadikan sebagaisumber hukum dalam menetapkan suatu aturan hukum. Keberadaan adat kejawen ngalor-ngetan baik itu secara prinsip maupun pelaksanaannya benar-benar tidak memiliki kemanfaataan sama sekali, justru mengandung unsur mafsadat (merusak) yang membawa kepada keburukan dan kerusakan karena sifatnya menghalangi dan mempersulit prosedur perkawinan antara calon mempelai wanita dan calon mempelai pria, sehingga mengenai alasan adhalnya wali karena alasan adat kejawen ngalor-ngetan tidak sejalan atau tidak sesuai dengan perspektif agama Islam.
Daftar Pustaka
Buku
Alhamdani, H. S. A. (1989) Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), Jakarta: Pustaka Amani.
Departemen Agama RI. (2003). Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Jakarta: Dirjen Bimas Islam & Urusan Haji.
Hadikusuma, H. (2007). Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju.
Jumantoro, T. & Amin, S. M. (2009). Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Amzah.
Prodjodikoro, W. (1981). Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung: Vorvink-Hoeve.
Qardhawi, Y. (1996). Keluwesan dan Keluasan Syari’at Islam Menghadapi Perubahan Zaman, terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Saksono, I. G. & Dwiyanto, D. (2012). Faham Keselamatan Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Ampera Utama.
Sanusi, A. & Sohari. (2015). Ushul Fiqh, Jakarta: Rajawali Pers.
Tihami, H.M.A. & Sahrani, S. (2009). Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers.
Zahrah, M. A. (1994). Ushul Fiqih Cetakan Pertama. Jakarta: PT PustakaFirdaus.
Jurnal
Ahmad, K.B. (2011). Contemporary Islamic Thought in Indonesia and Malay World: Islam Liberal, Islam Hadhari, and Islam Progresif, Journal of Indonesian Islam, 5(1), 91-129. 10.15642/JIIS.2011.5.1.91-129
Aripin, M. (2016). Eksistensi ‘Urf Dalam Kompilasi Hukum Islam, Al-Maqasid, 2(1), 207-219.
Asyari, M. M. (2016). Penetapan Pengadilan Agama Bojonegoro Tentang Penolakan Permohonan Wali Adhal Karena Pengingkaran Anak, Journal Of Islamic Family Law, 6(2), 475-501. doi.org/10.15642/alhukama.2016.6.2.474-501
Disemadi, H. S., & Roisah, K. (2019). Kebijakan Model Bisnis Bank Wakaf Mikro Sebagai Solusi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat. Law Reform, 15(2), 177-194. doi.org/10.14710/lr.v15i2.26176
Disemadi, H. S., & Roisah, K. (2019). Urgency of the Contempt of Court
Criminalization Policy to Overcome Harassment Againts the Status and Dignity of Courts. Brawijaya Law Journal, 6(2), 224-233.
dx.doi.org/10.21776/ub.blj.2019.006.02.07
Fahrullah, A. F. (2017). Urgensi Kaidah Al ‘Urf Dalam Menerapkan Hukum Syara’, Al-Bayyinah: Journal of Islamic Law, 7(2), 13-26. dx.doi.org/10.35673/al-
bayyinah.v2i2.48
Fauzi, S. A. (2016). Penyelesaian Sengketa Wali Adhal dan Kaitannya Dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Terhadap Penetapan No.
215/Pdt.P/2011/P.A.Jakarta Selatan), Premise Law Jurnal, 3(5), 1-17.
Harisudin, M. N. (2016). ’Urf Sebagai Sumber Hukum Islam (Fiqh) Nusantara, Al-Fikr: Jurnal Pemikiran Islam, 20(1), 66-86.
Irmawati, W. (2013). Makna Simbolik Upacara Siraman Pengantin Adat Jawa, Walisongo, 21(2), 309-330. dx.doi.org/10.21580/ws.21.2.247
Islami, I. (2017). Perkawinan Di Bawah Tangan (Kawin Sirri) Dan Akibat Hukumnya, Adil: Jurnal Hukum, 8(1), 69-89. doi.org/10.0.130.196/ajl.v8i1.454
Krismiati, A., Asith, H. S. E., & Anisa, L. (2019). Fenomena Penolakan Seorang Wali Untuk Menikahkan Anaknya (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Klaten), Academica Journal of Multidisciplinary Studies, 3(2), 175-188.
Mustakimah. (2014). Akulturasi Islam Dengan Budaya Lokal Dalam Tradisi
Molonthalo Di Gorontalo, Jurnal Diskursus Islam, 2(2), 289-307.
doi.org/10.24252/jdi.v2i2
Qoharuddin, M. A. (2018). Kedudukan Wali Adhal Dalam Perkawinan, Jurnal El-Faqih, 4(2), 99-122.
Santoso, B. (2006). Bahasa Dan Identitas Budaya, Sabda: Jurnal Kajian Kebudayaan, 1(1), 44-49. doi.org/10.14710/sabda.1.1.44-49
Setiyawan, A. (2012). Budaya Lokal Dalam Perspektif Agama: Legitimasi Hukum Adat (‘Urf) Dalam Islam, Esensia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 13(2), 203-221. doi.org/10.14421/esensia.v13i2.738
Sucipto. (2015). ‘Urf Sebagai Metode Dan Sumber Penemuan Hukum Islam, Asas, 7(1), 25-40. doi.org/10.24042/asas.v7i1.1376
Susanto, Edy. & Karimullah. (2016). Islam Nusantara: Islam Khas dan Akomodasi terhadap Budaya Lokal, Al-Ulum, 16(1), 56-80. doi.org/10.30603/au.v16i1.27
Wekk, I. S. Islam Dan Adat: Tinjauan Akulturasi Budaya Dan Agama Dalam Masyarakat Bugis, Analisis, 13(1), 27-56. doi.org/10.24042/ajsk.v13i1.641
Zainuddin, F. (2015). Konsep IslamTentang Adat: Telaah Adat Dan Urf Sebagai Sumber Hukum Islam, Jurnal Lisan Al-Hal, 9(2), 389-406.
Online/World Wide Web:
Pengadilan Agama Purwodadi. (2019) Implementasi Pasal 5 Ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 dalam Permohonan Wali Adhol (Pantangan Menikah Ngalor-ngetan). http://www.pa-purwodadi.go.id/index.php/26-halaman-depan/artikel/365-implementasi-pasal-5-ayat-1-uu-no-48-tahun-2009-dalam-permohonan-wali-adhol-pantangan-menikah-ngalor-ngetan, Diakses 22 Desember 2019.
169
Discussion and feedback