Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana di Tingkat Penyidikan
on
Jurnalmagisterhukumudayana
(UDAYANA MAGISTER LAW JOURNAL)
Vol. 8 No. 4 Desember 2019 E-ISSN: 2502-3101 P-ISSN: 2302-528x http: //ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu
I Made Tambir1
1Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 17 Oktober 2019
Diterima: 29 Desember 2019
Terbit: 31 Desember 2019
Keywords:
Restorative justice; Criminal acts;
Investigation
Kata kunci:
Restorative justice; Tindak pidana;
Penyidikan
Corresponding Author:
I Made Tambir, E-mail: [email protected]
DOI:
10.24843/JMHU.2019.v08.i04.p09
Abstract
As the gateway to the criminal justice system, law enforcement that carried out by polri always influenced by social change factors. In accordance with the development of law today, polri required to be able to resolve criminal acts by prioritizing restorative justice approach. However it hasn’t been regulated in statutory. The research purposes to describe and analyze the settlement of criminal acts with restorative justice approach in investigation level at the present and the future. The research used normative legal research, using a statute approach, historical approach and comparative approach, using primary and secondary legal materials that collected by a systematic method and then analyzed by descriptive and interpretation techniques. The research show that polri has carried out several policies to answer the community expectations and demands in accordance with the development of law today by issuing several letters and regulations, namely Surat Kapolri No. Pol. B/3022/XII/2009/Sde Ops, ST Kabareskrim No. ST/110/V/2011, STR Kabareskrim No. STR/583/VIII/2012, Perkap 15/2013, Perkap 3/2015, SE Kapolri No. SE/7/VII/2018 and SE Kapolri No. SE/8/VII/2018. In perspective of “ius constituendum,” it is needed criminal law policy to regulate the settlement of criminal acts with restorative justice approach in investigation level, by carrying out a renewal of material criminal law, including the understanding of criminal acts, objectives and guidelins for criminal actions and also renewal of formal criminal law including updating KUHAP, Perkap 14/2012 and Perkap 3/2015.
Abstrak
Sebagai pintu gerbang sistem peradilan pidana, penegakan hukum yang dilakukan polri selalu dipengaruhi oleh faktor perubahan sosial. Dalam perkembangan hukum dewasa ini, polri dituntut mampu menyelesaikan tindak pidana dengan mengedepankan pendekatan restorative justice. Akan tetapi hal itu belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis pendekatan restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana di tingkat penyidikan pada saat ini dan pada masa yang akan datang. Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif, menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan historis,
pendekatan perbandingan dan pendekatan konsep, dengan menggunakan bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder yang dikumpulkan dengan metode sistematis yang selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif dan interpretasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa polri telah melakukan beberapa kebijakan untuk menjawab harapan dan tuntutan masyarakat sesuai dengan perkembangan hukum dewasa ini dengan menerbitkan beberapa surat dan peraturan, yaitu Surat Kapolri No. Pol. B/3022/XII/2009/Sde Ops, ST Kabareskrim No. ST/110/V/2011, STR Kabareskrim No. STR/583/VIII/2012, Perkap 15/2013, Perkap 3/2015, SE Kapolri No. SE/7/VII/2018 dan SE Kapolri No. SE/8/VII/2018. Dalam perspektif ius constituendum diperlukan kebijakan hukum pidana untuk mengatur penerapan konsep restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana di tingkat penyidikan, dengan melakukan pembaharuan hukum pidana materiil, mencakup pengertian tindak pidana, tujuan dan pedoman pemidanaan, serta melakukan pembaharuan hukum pidana formil, mencakup pembaharuan KUHAP, Perkap 14/2012 dan Perkap 3/2015.
Ketentuan tentang penyidikan diatur dalam Bab XIV KUHAP, terdiri dari dua bagian, yaitu penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan diatur dalam Pasal 102 sampai dengan pasal 105 dan Penyidikan diatur dalam Pasal 106 sampai dengan Pasal 136. Jika dikaitkan dengan ketentuan KUHAP yang mengatur tentang kewenangan dan tindakan penyelidik serta kewenangan penyidik, “serangkaian tindakan penyelidik dan penyidik” sebagaimana pengertian penyelidikan dan penyidikan tidak hanya tercantum dalam Bab XIV KUHAP saja, melainkan juga tercantum dalam bab dan pasal-pasal lain di dalam KUHAP. Wewenang, kewajiban penyidik dan ruang lingkup penyidikan, juga harus dilihat dari bab dan pasal-pasal lain dalam KUHAP. Polri kemudian berupaya untuk mengatur bab dan bagian yang tercecer dalam KUHAP tersebut agar menjadi lebih sistematis sebagaimana yang tertuang dalam Perkap 14/2012 tentang Manajemen Penyidikan dan tertuang dalam Perkabareskrim 3/2014 tentang SOP Penyidikan.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, secara garis besar dapat dikemukakan bahwa proses penyidikan dimulai setelah adanya laporan atau temuan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Laporan atau temuan ini ditindaklanjuti dengan penyelidikan, apakah ada tindak pidana atau tidak dalam peristiwa tersebut. Penyelidikan dihentikan jika tidak ada dugaan tindak pidana dalam peristiwa tersebut, demikian juga sebaliknya, penyelidikan dilanjutkan ke tahap penyidikan jika ada dugaan tindak pidana dalam peristiwa tersebut. Jika polri telah melakukan penyidikan, hal itu wajib diberitahukan kepada penuntut umum (kejaksaan/JPU). Dalam proses penyidikan, penyidik mempunyai wewenang untuk melakukan pemanggilan saksi, ahli dan tersangka, melakukan pemeriksaan saksi, ahli dan tersangka, melakukan penangkapan dan penahanan tersangka, melakukan penggeledahan badan dan penggeledahan rumah/bangunan, serta melakukan penyitaan barang bukti. Penyidik melakukan kegiatan tersebut dalam rangka mengumpulkan bukti yang nantinya akan dipakai sebagai bahan pembuktian di
pengadilan. Apabila proses penyidikan sudah dianggap cukup, penyidik melimpahkan berkas perkaranya kepada JPU (Tahap I). Tersangka dan barang bukti wajib diserahkan oleh penyidik kepada JPU jika berkas perkara telah dinyatakan lengkap (Tahap II). Ketika penyidik telah melakukan Tahap II, terjadi perpindahan kewenangan dan tanggung jawab dari penyidik kepada JPU. Penyidikan dihentikan apabila ternyata perkara tersebut tidak cukup bukti, bukan perkara pidana dan dihentikan demi hukum. Penghentian penyidikan dengan alasan demi hukum dilakukan karena tersangka meninggal dunia, pengaduan dicabut (khusus delik aduan), nebis in idem dan kadaluarsa. Penyidik wajib memberitahukan penghentian penyidikan ini kepada JPU, tersangka atau keluarganya.
Dalam kerangka sistem peradilan pidana (criminal justice system), proses yang dilakukan oleh polri tersebut merupakan proses atau tahapan sebelum persidangan (pre-trial processes). Proses ini dimulai dari suatu input, yang kemudian input tersebut diproses (process), lalu menghasilkan suatu output. Input suatu perkara ini dimulai dari laporan yang masuk kepada polri dan atau perkara yang ditemukan sendiri oleh polri. Proses yang dilakukan oleh polri akan menghasilkan output, apakah akan diselesaikan di kepolisian atau diajukan kepada JPU untuk diajukan ke persidangan. Jika perkara diajukan kepada JPU, output dari polri ini akan menjadi input bagi JPU. Demikian seterusnya, process dalam sistem peradilan pidana masih terus berlanjut, sampai ada suatu putusan inkracht dan sampai terpidana selesai menjalani hukumannya serta kembali ke masyarakat.
Proses yang cenderung mengedepankan sistem hukum formal tersebut telah melahirkan beberapa perkara yang telah mencederai rasa keadilan masyarakat, di antaranya adalah kasus Nenek Minah yang terbukti mencuri tiga buah kakao di Banyumas tahun 20091, kasus pencurian piring yang dilakukan oleh Nenek Rasmiah di Tangerang tahun 20102, kasus pencurian sandal yang dilakukan oleh AAL (15 tahun) seorang pelajar SMK 3 Palu, Sulawesi Tengah tahun 20113, kasus pencurian kayu milik Perhutani yang dilakukan oleh Nenek Asyani di Situbondo tahun 2015 4 , kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Muhammad Azwar Alias Raju (8 tahun) terhadap korban Armansyah (15 tahun) di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara tahun 20065 dan kasus peradilan Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga yang menceritakan pengalaman setelah ia mendapatkan pelayanan buruk dari Rumah Sakit OMNI Internasional melalui email ke media online dan tersebar di berbagai mailing list yang
kemudian diproses dengan Pasal 310 KUHP. 6 Dalam skala besar, formalitas penanganan perkara juga masih menyisakan konflik-konflik yang terjadi di masyarakat, di antaranya konflik yang berlatar belakang ekonomi, konflik yang berlatar belakang sosial budaya dan konflik yang berlatar belakang SARA. Konflik yang berlatar belakang ekonomi, misalnya konflik antara perusahaan pertambangan dan perkebunan dengan masyarakat lokal di Mesuji Lampung dan Palembang serta konflik antara karyawan dengan PT Freeport di Sape Bima NTB. Konflik yang berlatar belakang sosial budaya dan SARA misalnya benturan kebudayaan antara Dayak dengan Bugis dan Madura di Kalimantan, perkelahian antara warga Lampung dengan warga keturunan Bali, perkelahian antar warga di Sultra, perang suku di Papua, kasus Ahmadiyah dan Cikesik, serta konflik-konflik yang lain.7
Penanganan perkara-perkara tersebut di atas merupakan konsekuensi dari penerapan asas legalitas, yang telah menjadikan hukum pidana memiliki karakteristrik yang khas, yaitu terkait dengan sanksi, sehingga hukum pidana memiliki sifat yang keras dan kejam. 8 Orientasi sistem peradilan pidana terfokus pada tindak pidana (crime, straafbaarfeit) dan pelaku tindak pidana (criminal, dader).9 Mindset dari masing-masing komponen sistem peradilan pidana cenderung berpatokan pada aturan formal atau bersifat positivistik tanpa mau mempedulikan kemanfaatan dan rasa keadilan yang merupakan roh dari penegakan hukum pidana. Proses peradilan pidana lebih mencerminkan keadilan antara kepentingan negara melawan kepentingan pelaku. Dengan alasan legalitas, masing-masing komponen sistem peradilan pidana tidak mau mengambil resiko, sehingga penanganan perkara tersebut telah mencederai rasa keadilan masyarakat. Budiman Tanuredja, sebagaimana dikutip oleh Syamsul Fatoni bahkan menggambarkan betapa manusia yang lemah berhadapan dengan praktek penegakan hukum yang sekadar mencari kebenaran formal, bukan kebenaran substansial, dimana penegak hukum sangat fasih berbicara soal pasal dan punya sifat memanfaatkan mereka yang lemah. 10 Masing-masing komponen sistem peradilan pidana mengutamakan pencapaian target kerja sesuai dengan bidangnya, tanpa memiliki tujuan yang sama dan cenderung menunjukkan kinerja sistem yang tidak utuh.
Sifat positivistik dari penanganan perkara tersebut masih menyisakan masalah yang terjadi di dalam masyarakat. Inti dari penyebab permasalahan/konflik yang timbul tidak pernah selesai dengan tuntas. Sifat positivistik dari penanganan perkara tersebut juga mengakibatkan semua perkara bermuara pada pengadilan. Pidana pencabutan kemerdekaan (penjara/kurungan) adalah salah satu jenis sanksi pidana yang populer. Penerapan sanksi penjara ini pada akhirnya menyebabkan lembaga pemasyarakatan (lapas) menjadi kelebihan kapasitas (over capacitiy). Gerald Leinwald mengemukakan bahwa dengan seriusnya over kapasitas sebagian besar penjara (prisons) dan tempat penahanan (jail), pembinaan (correction) tidak lagi menjadi perhatian utama, tetapi lebih fokus pada pengamanan (security) dan keteraturan (order) sehingga membuat tiap
program rehabilitasi menjadi gagal. Over capacitiy lapas ini mengakibatkan berbagai persoalan, di antaranya kerusuhan, keributan, perkelahian dan sampai pada penyalahgunaan narkotika di kalangan narapidana.11 A. Josias Simon mengemukakan bahwa makin besar jumlah narapidana dalam lapas akan berperan meningkatkan pelanggaran-pelanggaran aturan dan penyimpangan terhukum.12
Kejenuhan yang terjadi dalam konteks teori dan praktek sistem peradilan pidana yang telah gagal menghadirkan rasa keadilan, telah mendorong para ahli untuk mencari alternatif lain, dimana keseimbangan kepentingan antara korban dan pelaku tindak pidana diberikan perhatian yang lebih besar. Korban dilibatkan secara langsung untuk menentukan bentuk-bentuk penyelesaian yang sesuai dengan kebutuhan asasinya. Konsep ini disebut dengan peradilan restoratif (restorative justice). Restorative justice memandang bahwa kejahatan tidak semata sebagai pelanggaran terhadap negara, melainkan menempatkan sebuah kejahatan sebagai suatu gejala yang menjadi bagian dari tindakan sosial. 13 Fokus penyelesaiannya tidak diarahkan untuk menghukum pelaku kejahatan, melainkan pada pulihnya hubungan-hubungan sosial dan keadilan masyarakat yang rusak akibat kejahatan. John Braithwaite, salah seorang tokoh terdepan dalam membela ide-ide restoratif, mengemukakan bahwa restorative justice sebagai arah baru antara justice dan welfare model serta antara retribution dan rehabilition. 14 Secara sederhana, restorative justice merupakan alternatif dalam sistem peradilan pidana dengan mengedepankan pendekatan integral antara pelaku dengan korban dan masyarakat sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat.15
Terkait dengan penyidikan, tidak ada satu pun ketentuan yang secara tersurat mengatur pendekatan restorative justice dalam menyelesaikan tindak pidana di tingkat penyidikan. KUHAP sebagai induk hukum pidana formil dan KUHP sebagai induk hukum pidana materiil, serta UU 2/2002 tentang Polri, Perkap 14/2012 tentang Manajemen Penyidikan dan Perkabareskrim 3/2014 tentang SOP Penyidikan mengatur bahwa hanya terdapat salah satu dari dua bentuk penyelesaian perkara (output) atas penyidikan yang dilakukan oleh polri, yaitu perkara tersebut dilimpahkan kepada JPU yang kemudian menjadi input bagi JPU, atau penanganan (penyidikan) perkara tersebut dihentikan. Pendekatan restorative justice tidak diatur sebagai salah satu alasan penghentian penyidikan. Di sisi lain, masyarakat berkembang begitu cepat, lebih cepat dari perkembangan perkembangan hukum itu sendiri. Dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan, polri selalu dipengaruhi oleh faktor perubahan sosial. Polri merupakan wajah penegakan hukum sehari-hari karena kinerja polri selalu berada di ruang publik. Kinerja polri selalu menjadi sorotan publik. Masyarakat
mengharapkan polri senantiasa mampu menghadirkan keadilan sejak penegakan hukum itu baru dimulai.
Kondisi yang demikian mengakibatkan polri terkesan ragu-ragu untuk menerapkan pendekatan restorative justice dalam penyidikan yang dilakukannya. Limitasi yang ketat mengenai bagaimana penyelidikan dan penyidikan tersebut dilakukan telah membayangi penyidik polri untuk cenderung bermain aman dengan tetap melakukan proses sesuai dengan hukum acara. Kecenderungan bermain aman ini dilakukan karena fungsi pengawasan (Propam) juga menterjemahkan ketentuan penyidikan secara tekstual. Tindakan-tindakan yang tidak diatur dalam ketentuan manajemen penyidikan tindak pidana tidak bisa diterima oleh Propam.
Berdasarkan uraian di atas, sangatlah relevan untuk dilakukan penelitian tentang pendekatan restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana di tingkat penyidikan. Permasalahan yang akan dibahas adalah penyelesaian tindak pidana dengan pendekatan restorative justice di tingkat penyidikan pada saat ini dan kebijakan hukum pidana dalam pengaturan pendekatan restorative justice di tingkat penyidikan pada masa yang akan datang. Pembahasan di tingkat penyidikan ini penting dilakukan karena proses penyelidikan dan penyidikan ini merupakan pintu masuk penanganan perkara dalam kerangka sistem peradilan pidana, sehingga sebisa mungkin keadilan bisa dirasakan oleh masyarakat sejak penanganan perkara pidana baru dimulai.
Tujuan penelitian ini adalah upaya penulis untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma science is a process guna mendapatkan gambaran secara lengkap mengenai penyelesaian tindak pidana dengan pendekatan restorative justice di tingkat penyidikan pada saat ini dan kebijakan hukum pidana dalam pengaturan pendekatan restorative justice di tingkat penyidikan pada masa yang akan datang, yang hasilnya diharapkan dapat memberi sumbangan positif dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bagi penyidik, sehingga tidak ada keragu-raguan untuk melakukan proses penyidikan dengan pendekatan restorative justice, guna memberikan rasa keadilan masyarakat.
Penelitian terdahulu yang berkaitan atau mendekati judul dan permasalahan yang diangkat yang mendukung penelitian ini, sebagai berikut:
-
1. Ni Luh Putu Andiyani, Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana Denpasar, tahun 2011, dengan judul: Restorative Justice sebagai Upaya Perlindungan terhadap Anak yang Bermasalah dengan Hukum.
-
2. Nofita Dwi Wahyuni, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, dengan judul: Penerapan Restorative Justice dalam Putusan Pengadilan sebagai Tujuan Pemidanaan (Studi Kasus terhadap Perkara yang telah Diselesaikan secara Adat, Analisa Putusan No. 21/PID.B/2009/PN.Srln dan No. 223/PID.B/2009/PN.Srln).
Perbedaan mendasar antara tulisan ini dengan kedua tulisan ilmiah tersebut di atas terletak pada obyek penelitian mengenai restorative justice, dimana penelitian yang pertama terkait dengan restorative justice yang dikaitkan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan penelitian yang kedua terkait dengan restorative justice dalam putusan pengadilan, sedangkan dalam tulisan ini, penulis akan mengkaji mengenai pengaturan pendekatan restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana di tingkat penyidikan pada saat ini dan pada masa yang akan datang.
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif (penelitian hukum dogmatik atau penelitian hukum teoritis atau dogmatic or theoretical law research, beranjak dari kekosongan norma yang mengatur penyelesaian tindak pidana dengan pendekatan konsep restorative justice di tingkat penyidikan, menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan historis (historical approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach), menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer berupa UUD 1945, KUHAP, KUHP, UU 2/2002 tentang Polri dan UU 11/2012 tentang SPPA, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku teks, kamus-kamus hukum dan jurnal-jurnal hukum. Tehnik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan metode sistematis, menggunakan kartu sebagai alat pencatat secara rinci dan sistimatis atas hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, selanjutnya dianalisis dengan tehnik deskriptif dan tehnik interpretasi.
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana di Tingkat Penyidikan pada Saat Ini
-
Restorative justice sebagai model pendekatan dalam upaya penyelesaian suatu perkara pidana muncul pada era tahun 1960-an. Pada pertengahan tahun 1970, asas-asas tentang restorative justice dengan segala bentuk partisipasinya seperti rekonsiliasi korban dan pelaku kejahatan telah diterapkan oleh kelompok kecil aktivis, personil sistem peradilan pidana dan beberapa ahli di Amerika Utara dan Eropa. Mereka masih melakukan gerakan secara tersebar. Secara keseluruhan mereka belum menampakkan dirinya sebagai gerakan reformasi yang terorganisir. Pada saat itu mereka tidak berfikir bahwa usaha mereka pada akhirnya akan berpengaruh secara luas dengan dampak internasional.
Pada tahun 1974, terjadi gerakan penerapan restorative justice di Kanada yang pada awalnya dilaksanakan sebagai tindakan alternatif dalam mengukum pelaku kriminal anak. Gerakan ini ditandai dengan hadirnya Victim Offender Reconciliation Program (VORP). Program ini menghasilkan tingkat kepuasan yang tinggi bagi korban dan pelaku, sehingga dalam perkembangannya menghasilkan program-program restorative justice eksperimental di Amerika Utara maupun di Eropa, misalnya VORP Amerika Serikat dan Inggris pada tahun 1978. New Zealand adalah negara pertama di dunia yang menerapkan restorative justice yang pada awalnya diterapkan terhadap kejahatan, disiplin dalam sekolah dan konflik antara warga dengan pemerintah yang kemudian berkembang pada peradilan umum yang dilaksanakan dengan Family Group Conference (FGC). Pada perkembangan selanjutnya, restorative justice juga diterapkan pada kejahatan-kejahatan yang berat. Irlandia Utara menerapkan restorative justice pada alternatif penyelesaian tindak pidana kekerasan. Eropa Timur menerapkan restorative justice dalam rangka reformasi pengadilan. Penerapan restorative justice di Afrika nampak dari revitalisasi praktek-praktek pribumi asli, peningkatan sanksi kerja sosial, dan respon nasional terhadap perang saudara dan genosida. Timur Tengah menerapkan restorative justice berawal dari proses penyelesaian konflik tradisional. Kawasan Asia lainnya menerapkan restorative justice terkait dengan peradilan anak, yang mengatur bahwa penyelesaian kasusnya dikecualikan dari proses peradilan. Mexico menerapkan restorative justice setelah Amandemen Konstitusi Pasal 20, yang
ISSN: 1978-1520 menegaskan bahwa hak-hak para korban diakui dan kebijakan pemidanaan ditinjau ulang. Harus diupayakan alternatif dari pemenjaraan dengan memperkenalkan mediasi korban dengan pelaku. Penjara hanya akan digunakan kepada narapidana yang menjalani hukuman yang berat saja. Belgia memperkenalkan lembaga mediasi mulai sejak tahun 1993, yang merupakan embrio dari proses restorative justice. Mediasi yang diawasi kejaksaan dan pengadilan tersebut ternyata berhasil sehingga pada akhirnya dimasukkan dalam Criminal Prosedure Code pada tahun 2005 yang mengatur bahwa tindak pidana yang ringan hingga terberat dapat diserahkan pada mediasi. Spanyol memperluas cakupan mediasi yang semula terbatas pada ganti kerugian sederhana diperluas dengan meningkatkan peranan korban dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Dalam undang-undang saat ini telah mengatur pelaku yang belum dewasa bertemu dengan korban melalui mediasi, untuk menyampaikan rasa penyesalan dan untuk mendapatkan kepastian besarnya ganti rugi bagi korban. Sri Lanka menerapkan restorative justice melalui Undang-Undang Mediasi pada tahun 1988 yang berlaku terhadap perkara-perkara ringan, misalnya penghinaan ringan, ucapan-ucapan berupa penodaan ringan dan beberapa tindak pidana dalam KUHP (Penal Code) yang harus didamaikan lebih dahulu oleh Dewan Mediasi. Apabila gagal, perkara boleh diserahkan pada pengadilan disertai dengan surat keterangan “gagal didamaikan” dari Dewan Mediasi. Thailand menerapkan restorative justice berawal dari perintah undang-undang, yaitu perkara anak-anak dengan ancaman pidana penjara di bawah 5 tahun yang harus diserahkan kepada pertemuan keluarga atau Family Community Group Conferencing (FCGC), yang dikenal dengan istilah “Keadilan demi keserasian masyarakat” (justice for social harmony). Fenomena penerapan restorative justice tersebut juga berkembang luas ke seluruh Amerika Serikat, Afrika, Korea dan Rusia, termasuk Dewan Eropa, Uni Eropa dan PBB.
Munculnya ide restorative justice ini sebagai kritik atas penerapan sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif dalam menyelesaikan konflik social. Restorative justice merupakan alternatif dalam sistem peradilan pidana dengan mengedepankan pendekatan integral antara pelaku dengan korban dan masyarakat sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat. 16 Menurut Van Ness, Daniel W. dan Karen Heetderks Strong, penekanan dalam restorative justice terletak pada memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh perilaku kriminal, yang dilakukan dengan mempertemukan kedua belah pihak untuk memutuskan cara yang terbaik dalam menyelesaikan kasus yang ada.17 Menurut John Braithwaite, tujuan utama restorative justice adalah perbaikan luka yang diakibatkan oleh perbuatan pelaku dan konsiliasi serta rekonsiliasi di kalangan korban, pelaku dan masyarakat. Cara-cara seperti itu akan melahirkan perasaan malu dan pertanggungjawaban personal serta keluarga atas perbuatan salah mereka untuk diperbaiki secara memadai.18 Menurut Ivo Aertsen, isu-isu penting dalam penyelesaian perkara pidana telah dijawab oleh restorative justice, yaitu; pertama, diberikannya kesempatan bagi korban (criminal justice system that disempowers individu), dimana hal
itu tidak diakomodir oleh sistem peradilan pidana; kedua, konflik antara pelaku dengan korban dan masyarakat (taking away the conflict from them) telah dihilangkan; ketiga, mengatasi perasaan ketidakberdayaan yang dialami sebagai akibat dari tindak pidana.19
Pada prinsipnya, restorative justice dapat digunakan pada setiap tahap sistem peradilan pidana dan akan dapat terlaksana dengan baik, apabila memenuhi syarat-syarat yaitu; pertama, pelaku harus mengaku atau menyatakan bersalah; kedua, pihak korban harus setuju bahwa tindak pidana diselesaikan di luar sistem peradilan pidana; ketiga, kepolisian atau kejaksaan sebagai institusi yang memiliki kewenangan diskresioner harus menyetujui pelaksanaan restorative justice; dan keempat, pelaksanaan penyelesaian di luar sistem peradilan pidana harus didukung oleh komunitas setempat.20
Dalam konteks Indonesia, pola-pola pendekatan restorative justice untuk menyelesaikan perkara pidana telah dipraktekkan di berbagai masyarakat tradisional (masyarakat adat) Indonesia. Masyarakat adat menempuh musyawarah untuk mencapai mufakat yang merupakan nilai terpenting dari restorative justice untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul. Konsep restorative justice sebenarnya telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang merupakan jiwa dan kepribadian (volkgeist) dari masyarakat Indonesia. Akan tetapi, pada saat penjajahan Belanda, hukum adat Indonesia disubordinasikan dengan hukum Eropa (Belanda). Setelah Indonesia merdeka, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat (hukum adat) secara tersirat telah termuat dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945, yaitu frase “melindungi segenap bangsa Indonesia” yang mengandung makna bahwa negara wajib melindungi segenap bangsa Indonesia, termasuk hukum adat yang merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang merupakan jiwa dan kepribadian (volkgeist) dari masyarakat Indonesia yang telah ada, tumbuh dan berkembang sebelum terbentuknya Negara Indonesia. Pasca amandemen, negara mengakui tentang eksistensi hukum adat, sebagaimana diatur dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945.
Kesadaran akan arti penting konsep restorative justice sebagai jiwa dan kepribadian (volkgeist) dari masyarakat Indonesia telah membuat pemerintah membuat terobosan-terobosan hukum, meskipun terobosan-terobosan hukum tersebut masih bersifat parsial. Hal ini dapat dilihat dengan pembentukan dan pemberlakuan Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pasal 1 ayat (3) UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951 mengatur tentang masih diakuinya kekuasaan hakim-hakim perdamaian desa, sedangkan Pasal 5 ayat (3) huruf b mengatur tentang suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukum yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukum pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diakui oleh pihak yang
ISSN: 1978-1520 terhukum, bilamana hukum adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas. Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman mengatur: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Pasal 103 huruf d UU Desa mengatur: “Penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah.”
Dalam bidang hukum pidana, KUHP yang berlaku saat ini merupakan warisan dari kolonial Belanda, yang memberlakukan asas legalitas dengan sangat ketat, sehingga pola-pola penyelesaian perkara pidana dengan musyawarah mufakat tidak dikenal dalam hukum pidana Indonesia. Konsep restorative justice yang menawarkan mekanisme yang lebih mengedepankan konsep perdamaian, konsep mediasi penal dan konsep rekonsiliasi, yang mengutamakan penyelesaian perkara dengan melibatkan partisipasi langsung pelaku, korban, aparat penegak hukum dan masyarakat21 bertentangan dengan sistem peradilan pidana yang berlaku saat ini. Oleh karenanya, dalam praktek penegakan hukum di Indonesia terutama hukum pidana masih menyisakan berbagai persoalan. Kemauan dan tujuan yang baik dalam melakukan penegakan hukum, sering kali menimbulkan akibat-akibat yang tidak diinginkan dalam pelaksanaannya, terutama terkait dengan rasa keadilan, sebagaimana contoh-contoh kasus di atas. Hal ini terjadi karena masalah penegakan hukum merupakan suatu masalah yang kompleks yang akan selalu menyisakan permasalahan lebih lanjut karena hal-hal tertentu. Bahkan menurut Bagir Manan, mengatakan bahwa penegakan hukum Indonesia “communis opinio doctorum” yang artinya bahwa tujuan yang diisyaratkan oleh undang-undang telah gagal dicapai dalam penegakan hukum.22
Restorative justice dalam hukum pidana baru diatur dalam UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan UU 11/2012 tentang SPPA. KUHP sebagai general rule hukum pidana materiil dan KUHAP sebagai general rule hukum pidana formil belum mengatur tentang pendekatan restorative justice dalam penegakan hukum pidana, baik di tingkat penyidikan, penuntutan maupun peradilan. Dalam prakteknya masing-masing aparat penegak hukum melakukan kebijakan-kebijakan yang bersifat internal, termasuk yang dilakukan oleh polri. Untuk melaksanakan proses penyelidikan dan penyidikan yang menjadi kewenangannya, polri berpatokan pada KUHAP sebagai general rule hukum formil. Sesuai dengan KUHAP, terdapat salah satu dari dua bentuk penyelesaian proses yang dilakukan oleh polri, yaitu:
-
1. Membuktikan tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka (menjadi input bagi komponen sistem peradilan pidana selanjutnya/jaksa penuntut umum); atau
-
2. Menghentikan penyidikan.
Dengan demikian, apabila polri berhasil mengumpulkan bukti-bukti yang menunjukkan terpenuhinya minimal dua alat bukti atas suatu tindak pidana yang diduga dilakukan oleh tersangka, polri harus melanjutkan perkara tersebut ke kejaksaan dan menjadi input bagi kejaksaan untuk proses selanjutnya sampai ke pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam hal demikian, tidak ada kewenangan polri untuk menghentikan penyidikan atas tindak pidana yang terjadi. Kewenangan polri untuk menghentikan penyidikan hanya karena berdasarkan alasan-alasan bukan tindak pidana; tidak cukup bukti; atau demi hukum. Polri tidak diberikan kewenangan untuk menghentikan perkara dengan alasan diselesaikan di luar pengadilan atau mengesampingkan perkara demi pertimbangan tertentu atau menyelesaikan perkara dengan pendekatan restorative justice.
Kondisi yang demikian telah membuat pimpinan polri melakukan langkah-langkah kebijakan internal yang didasari atas kesadaran akan arti penting konsep restorative justice sebagai jiwa dan kepribadian (volkgeist) dari masyarakat Indonesia dan dalam rangka mewujudkan rasa keadilan dalam masyarakat. Pimpinan polri berkomitmen, tidak akan ada lagi kasus-kasus yang mencederai rasa keadilan masyarakat. Sebagaimana pendapat Siswanto Sunarso, diperlukan sikap kepemimpinan aparat penegak hukum yang konsisten, memiliki komitmen dan selalu memiliki dorongan untuk memiliki sikap kompeten dalam penegakan hukum.23 Polri menyadari adanya ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap proses peradilan pidana dan menghendaki agar tindakan pelanggaran hukum tertentu dapat diselesaikan dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan keluarga pelaku serta melibatkan tokoh masyarakat setempat dengan memperhatikan dan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Tantangan inilah yang dijawab oleh polri dengan menjadikan musyawarah mufakat (pendekatan restorative justice) sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara pidana untuk menjawab ketidakpuasan masyarakat khususnya kepada polri.
Sebagai ujung tombak penegakan hukum pidana, sekaligus sebagai “penegak hukum jalanan”, masyarakat merasakan adil atau tidak adil penegakan hukum tersebut diawali dari proses yang dilakukan oleh polri. Oleh karenanya, sangat urgen bagi polri untuk menerapkan restorative justice dalam penyidikan perkara-perkara yang ditanganinya agar keadilan bisa dirasakan lebih awal yang pada akhirnya akan makin menumbuhkan kepercayaan dari masyarakat, sehingga lebih mudah mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Polri telah melakukan kebijakan-kebijakan internal guna mewujudkan keadilan lebih awal bagi masyarakat. Kebijakan-kebijakan tersebut berupa penerbitan beberapa surat, telegram, surat telegram dan peraturan kapolri, yaitu:
-
1. Surat Kapolri No. Pol.: B/3022/XII/2009/Sde Ops, tanggal 4 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus melalui Alternative Dispute Resolution/ADR.
-
2. Surat Telegram Kabareskrim Polri kepada Direktur Reskrimum, Direktur Reskrimsus dan Direktur Resnarkoba seluruh polda Nomor: ST/110/V/2011,
tanggal 18 Mei 2011 tentang Alternatif Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan.
-
3. Surat Telegram Rahasia Kabareskrim Polri kepada Direktur Reskrimum, Direktur Reskrimsus dan Direktur Resnarkoba seluruh polda Nomor: STR/583/VIII/2012, tanggal 18 Agustus 2012 tentang Penerapan Restorative Justice.
-
4. Perkap 15/2013 tentang Tata Cara Penanganan Laka Lantas.
-
5. Perkap 3/2015 tentang Pemolisian Masyarakat.
Pada perkembangan selanjutnya, sejak Kapolri dijabat oleh Jenderal Polisi Tito Karnavian, Kapolri memiliki program yang dikenal dengan Program PROMOTER, yang terdiri dari 11 (sebelas) Program Optimalisasi Aksi yang diaktualisasikan ke dalam 61 (enam puluh satu) Program Prioritas. Dalam salah satu Program Optimalisasi Aksi (Program IX; Penegakan Hukum yang Lebih Profesional dan Berkeadilan), terdapat salah satu Program Prioritas Menyelesaikan Perkara-Perkara yang Ringan Melalui Pendekatan Restorative Justice. Tindak lanjut dari Program Prioritas tersebut, Kapolri mengeluakan dua Surat Edaran (SE), yaitu:
-
1. SE Kapolri No. SE/7/VII/2018, tanggal 27 Juli 2018 tentang Penghentian Penyelidikan.
-
2. SE Kapolri No. SE/8/VII/2018, tanggal 27 Juli 2018 tentang Penerapan
Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana.
Dalam Surat Kapolri No. Pol.: B/3022/XII/2009/Sde Ops yang kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Telegram Kabareskrim Nomor: ST/110/V/2011, diatur bahwa salah satu bentuk pola penyelesaian masalah sosial adalah melalui jalur alternatif, antara lain melalui upaya menyelesaikan perkara di luar pengadilan dengan menerapkan konsep Alternative Dispute Resolution (ADR), yang diterapkan dengan prinsip-prinsip:
-
1. Mengutamakan musyawarah dan mufakat.
-
2. Mengutamakan musyawarah dan mufakat.
-
3. Menghargai kearifan lokal/budaya/adat, serta pranata sosial setempat.
-
4. Melibatkan pranata sosial yang ada di masyarakat seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, kepala desa, ketua RW, ketua RT, dan lain-lain.
-
5. Mengutamakan penerapan strategi Polmas (Community Policing).
-
6. Keputusan dalam penyelesaian perkara diserahkan kepada pihak yang berperkara (pelaku dan korban) dengan sanksi sosial/adat.
-
7. Pelaku tindak pidana bertanggung jawab dan memperbaiki serta mengganti kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan/kesalahannya.
-
8. Dalam penyelesaian tidak ada kepentingan/interest dari pihak lain seperti polri, tokoh masyarakat, dan sebagainya.
-
9. Memperhatikan azaz ultimum remidium.
Penyelesaian kasus dengan penerapan ADR dilakukan dengan syarat-syarat:
-
1. Tindak pidana yang diselesaikan adalah tindak pidana yang bersifat ringan atau tindak pidana yang merupakan delik aduan baik bersifat absolut/relatif.
-
2. Ada keinginan dari pihak-pihak yang berperkara (pelaku dan korban) untuk berdamai dan akibat dari permasalahan tersebut tidak menimbulkan dampak yang luas/negatif terhadap kehidupan masyarakat.
-
3. Harus dilaksanakan kegiatan yang bersifat rekonsiliasi dengan mempertemukan pihak yang berperkara serta melibatkan pranata sosial seperti tokoh-tokoh masyarakat setempat.
-
4. Dalam menyelesaikan perkara perlu memperhatikan faktor niat, usia, kondisi sosial ekonomi, tingkat kerugian yang ditimbulkan, hubungan keluarga/kekerabatan serta bukan merupakan perbuatan yang berulang (residivis).
-
5. Apabila perbuatan tersebut diawali dengan perjanjian/perikatan (mengarah ke perdata).
-
6. Pihak korban harus mencabut laporan/pengaduan.
-
7. Apabila terjadi ketidakpuasan para pihak yang berperkara setelah dilakukan di luar mekanisme pengadilan maka dilakukan penyelesaian sesuai prosedur hukum yang berlaku.
-
8. Apabila terjadi pengulangan tindak pidana yang dilakukan maka harus dilaksanakan proses hukum sesuai peraturan/hukum yang berlaku.
Ketika penerapan ADR ini berhasil, polri akan mengambil langkah-langkah untuk menyelesaikan perkara dengan mensyaratkan pelapor dan terlapor membuat surat pernyataan perdamaian dan mensyaratkan pelapor untuk mencabut laporan yang telah dibuatnya. Polri kemudian membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Tambahan para pihak yang terlibat dalam perkara tersebut, dimana dalam BAP tersebut, semua pihak mencabut semua keterangannya dan dengan pencabutan semua keterangan tersebut, polri melakukan pemeriksaan secara konfrontasi terhadap semua pihak yang terlibat dalam perkara tersebut. Selanjutnya penanganan terhadap perkara tersebut telah dihentikan.
-
3.1.2. Penerapan Restorative Justice
Kebijakan polri menerapkan ADR dalam hukum pidana tetap menimbulkan perdebatan, karena dari sisi dogmatik, kebijakan tersebut tidak berdasarkan atas hukum. Cara untuk menyelesaikan (menghentikan) perkara sudah diatur secara tegas dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP. Penyelesaian perkara dengan pendekatan ADR ini menyimpang dari ketentuan tersebut. Atas kondisi tersebut, dikeluarkan STR/583/VIII/2012, dengan pertimbangan bahwa penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan ADR tidak memiliki dasar hukum yang kuat. ADR baru dikenal dalam penyelesaian perkara-perkara perdata. STR tentang penerapan restorative justice ini didasari dengan mengacu pada kewenangan diskresi yang melekat pada polri.
Mengacu pada hukum acara mengenai penghentian penyidikan, penerapan restorative justice masih menimbulkan perdebatan di internal polri, terutama terkait dengan alasan penghentian perkara. Sebagian berpendapat bahwa alasan penghentian perkara adalah demi hukum dan sebagian lagi berpendapat bahwa penghentian penyidikan dengan menerapkan pendekatan restorative justice adalah penghentian perkara dengan alasan tidak cukup bukti karena pelapor, korban dan saksi-saksi telah mencabut laporannya dan atau telah mencabut seluruh keterangannya, sehingga perkara tersebut menjadi tidak cukup bukti.
Perkap ini memberikan ruang kepada polri guna menyelesaikan kasus kecelakaan lalu lintas ringan. Ruang ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 63, yaitu apabila para pihak yang terlibat kecelakaan lalu lintas akan menyelesaikan perkaranya di luar sidang pengadilan, maka ada kewajiban penggantian kerugian dalam kesepakatan perdamaian yang dituangkan dalam surat pernyataan perdamaian. Jika terjadi perdamaian, perkara wajib di register dan diselesaikan dengan acara singkat serta pernyataan perdamaian disimpan sebagai arsip. Penyelesaian perkara seperti ini dapat dilakukan sebelum dibuat Laporan Polisi.
Polri memberlakukan Perkap 3/2015 ini sebagai pedoman bagi anggota polri dalam melaksanakan kegiatan Pemolisian Masyarakat (Polmas) atau Community Policing guna membangun kemitraan dan kerja sama dengan mengikutsertakan masyarakat untuk menjaga keamanan dan ketertiban di lingkungannya demi terwujudnya kemitraan polri dan masyarakat yang didasarkan pada kesepakatan bersama untuk menangani masalah sosial yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat guna menciptakan rasa aman, tertib dan tenteram. Polmas merupakan bentuk pelibatan masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban sekaligus mencari solusi atas permasalahan yang timbul di masyarakat. Fungsi Polmas di antaranya adalah mengajak masyarakat melalui kemitraan dalam rangka pemeliharaan kamtibmas dan membantu masyarakat mengatasi masalah sosial di lingkungannya dalam rangka mencegah terjadinya gangguan kamtibmas. Strategi yang dilaksanakan oleh Polmas adalah melalui kerja sama dengan masyarakat atau komunitas dan pemecahan masalah. Tugas dari pengemban Polmas di antaranya adalah melaksanakan pembinaan masyarakat, deteksi dini, negosiasi/mediasi, identifikasi, dan mendokumentasi data komunitas di tempat penugasannya yang berkaitan dengan kondisi kamtibmas dan melaksanakan konsultasi dan diskusi dengan masyarakat atau komunitas di tempat penugasannya tentang pemecahan masalah kamtibmas. Dalam menjalankan tugasnya, pengemban Polmas diberikan wewenang di antaranya membantu menyelesaikan perselisihan warga atau komunitas dan bertindak menurut penilaiannya sendiri dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta kode etik profesi polri.
Melihat ketentuan-ketentuan mengenai fungsi, tugas dan kewenangan Polmas tersebut di atas, tidak ada satu pun ketentuan yang secara tegas mengatur bahwa petugas Polmas diberikan kewenangan untuk dapat menyelesaikan perkara-perkara yang timbul di masyarakat (terutama perkara-perkara yang ada unsur pidananya). Akan tetapi, jika melihat frase “menyelesaikan perselisihan warga; pemeliharaan kamtibmas; membantu masyarakat mengatasi masalah sosial; dan frase pemecahan masalah” yang kemudian dikaitkan dengan ketentuan Pasal 33 Perkap 3/2015 yang mengatur bahwa salah satu wewenang Forum Kemitraan Polri dan Masyarakat (FKPM) adalah turut serta menyelesaikan perkara ringan atau perselisihan antar warga yang dilakukan oleh petugas Polmas, secara tersirat telah menunjukkan bahwa petugas Polmas sebenarnya diberikan kewenangan untuk menyelesaikan perkara-perkara yang timbul di masyarakat (termasuk perkara-perkara yang ada unsur pidananya). Penyelesaian perkara dilakukan dalam rangka “menyelesaikan perselisihan warga, pemeliharaan kamtibmas, membantu masyarakat mengatasi masalah sosial, atau pemecahan
masalah.” Penyelesaian perkara dilakukan sebelum perkara tersebut dilaporkan dalam bentuk Laporan Polisi. Mekanisme musyawarah dengan memanfaatkan Polmas merupakan upaya pencegahan gangguan kamtibmas yang lebih mengutamakan proses identifikasi akar permasalahan, menganalisis, menetapkan prioritas tindakan, melakukan evaluasi dan evaluasi ulang atas efektivitas tindakan bersama masyarakat, bukan mencakup permasalahan sesaat. Jika permasalahan yang timbul dapat diselesaikan dengan mekanisme musyawarah mufakat, maka perkara tersebut selesai dan merupakan win-win solution bagi semua pihak, termasuk masyarakat dalam kaitan keamanan dan ketertiban masyarakat.
-
3.1.5. SE 7/2018 tentang Penghentian Penyelidikan dan SE 8/2018 tentang Penerapan Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Pidana
Kedua SE Kapolri tersebut diterbitkan dalam rangka memberikan kepastian hukum atas proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan, terutama proses yang diselesaikan dengan pendekatan restorative justice. Hal ini terlihat dalam salah satu pertimbangan penerbitan SE Kapolri tersebut, yaitu dalam rangka menjawab perkembangan kebutuhan hukum masyarakat serta memenuhi rasa keadilan semua pihak, polri selaku institusi yang diberikan kewenangan selaku penyelidik dan penyidik serta koordinator dan pengawas penyidikan tindak pidana, merasa perlu untuk merumuskan konsep baru dalam sistem penegakan hukum pidana yang mampu mengakomodir nilai-nilai keadilan dalam masyarakat sekaligus memberikan kepastian hukum, terutama kepastian proses. Syarat dan mekanisme penyelesaian perkara diatur dengan sangat ketat. Perkara-perkara tersebut tidak menimbulkan keresahan dan tidak ada penolakan masyarakat serta tidak berdampak konflik sosial dan tidak menimbulkan korban manusia, dimana tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat dan pelaku bukan resedivis. Dalam hal penanganan perkara telah sampai pada tahap penyelidikan, penyelesaian perkara hanya dapat dilakukan sebelum pengiriman SPDP.
Berdasarkan syarat dan mekanisme di atas, penyelesaian perkara di tingkat penyelidikan tidak akan mengalami banyak kendala dalam implementasinya, karena dalam proses tersebut belum melibatkan instansi/lembaga lain dalam kerangka sistem peradilan pidana, kecuali penasehat hukum. Dalam hal penanganan perkara telah sampai pada tahap penyidikan, alasan penghentian penyidikan akan sulit diterima oleh komponen sistem peradilan pidana yang lain karena sesuai dengan SE tersebut, penghentian penyidikan dilakukan dengan alasan karena diselesaikan dengan keadilan restoratif (restorative justice). Ketika alasan penghentian penyidikan dengan alasan “diselesaikan dengan pendekatan restorative justice” belum diakomodir oleh KUHAP, polri mengambil kesempatan penyelesaian perkara (penghentian penyidikan) dengan alasan diselesaikan dengan pendekatan restorative justice sebelum dilakukan pengiriman SPDP kepada penuntut umum, yang artinya polri hanya memiliki waktu kurang dari tujuh hari untuk melakukan hal tersebut. Melihat ketatnya syarat dan mekanisme penghentian penyidikan dengan alasan “diselesaikan dengan pendekatan restorative justice” sebagaimana diatur dalam SE Kapolri, maka pada tahap implementasinya akan cukup sulit untuk diterapkan.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa kebijakan polri tersebut di atas merupakan rangkaian dan dinamika upaya polri untuk mewujudkan hukum yang lebih berkeadilan. Ditinjau dan dianalisis dari sisi Teori Harmonisasi Hukum, kebijakan tersebut dilakukan dengan mencari keselarasan, kesesuaian, keserasian,
ISSN: 1978-1520 kecocokan dan keseimbangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Upaya atau proses ini untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan, keseimbangan diantara norma-norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan sebagai sistem hukum dalam satu kesatuan kerangka hukum nasional.24 Ditinjau dan dianalisis dari Konsep Tujuan Hukum Gustav Radbruch, kebijakan polri tersebut juga merupakan suatu upaya untuk membuat skala prioritas jika terjadi ketegangan di antara tiga nilai dasar hukum, yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Radbruch berpendapat bahwa tiga aspek hukum tersebut disusun dalam urutan struktural, yang dimulai dari keadilan, kepastian dan diakhiri dengan finalitas. Keadilan harus dipahami sebagai sesuatu yang prinsip dalam hukum, bahkan merupakan jantungnya hukum. Ketika hukum belum dapat memberikan kepastian karena adanya kekosongan norma, guna mewujudkan ketertiban, polri harus mengutamakan keadilan dan kemanfaatan, kemudian membuat kebijakan yang mencerminkan “kepastian yang berkeadilan” dan “manfaat yang berkeadilan” yang pada ujungnya akan mampu mewujudkan ketertiban.
M. Ali Zaidan berpendapat bahwa kepastian hukum harus diterjemahkan dengan keteraturan dan dipergunakan untuk kebaikan bersama, tetapi tetap menjadikan keadilan sebagai tujuan akhir dari hukum. Keteraturan merupakan prinsip dasar dalam hukum, kemaslahatan (kebaikan bersama) merupakan dimensi sosial norma hukum, di atas segalanya, keadilan (justice) merupakan tujuan akhir dari semua langkah penegakan hukum. 25 Karena sifat KUHAP yang sangat positivistik, polri harus memilih salah satu di antara “hukum” atau “ketertiban”. Berdasarkan kewenangan diskresi yang dimilikinya, polri lebih mengutamakan pilihan pada “ketertiban” dan mengabaikan “hukum”. Atas pertimbangan ketertiban, polri lebih mengedepankan aspek keadilan dan manfaat dengan memahami hukum dalam konteks yang lebih luas dan mengesampingkan kepastian hukum.
Teori Harmonisasi Hukum dan Konsep Tujuan Hukum Gustav Radbruch tersebut berkorelasi dengan kewenangan diskresi yang dimiliki oleh polri. Menurut Andi Hamzah, dalam melakukan praktek penegakan hukum, polisi senantiasa dihadapkan pada dua pilihan, yaitu penegakan hukum sebagaimana hukum acara yang diatur dalam KUHAP, atau tindakan yang menekankan pada moral pribadi dan kewajiban hukum untuk diberikannya perlindungan hukum kepada masyarakat (diskresi).26
Dalam menerapkan diskresi, polri tidak dapat menghindari adanya pertentangan dan pengabaian di antara peraturan perundang-undangan yang bersifat teknis, namun masih tetap dalam koridor kewenangan polri yang lebih luas, yaitu tidak bertentangan dengan tujuan untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Penafsiran-penafsiran semacam ini tentu tidak akan dimaknai sama oleh para penegak hukum, sehingga tetap saja legitimasi penghentian penyidikan dengan alasan “diselesaikan dengan pendekatan restorative justice” akan tetap menjadi perdebatan.
-
3.2. Kebijakan Hukum Pidana dalam Pengaturan Pendekatan Restorative Justice di Tingkat Penyidikan pada Masa yang Akan Datang
Sejak berdirinya Indonesia, para founding fathers Indonesia telah menetapkan bahwa Indonesia merupakan sebuah negara hukum. Hal itu terlihat pada Penjelasan Umum UUD 1945, yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan (machtsstaat). Rechtsstaat dalam Penjelasan Umum UUD 1945 tersebut bukan konsep rechtsstaat sebagaimana yang diterapkan dalam sistem hukum civil law, melainkan hanya istilah yang dipergunakan untuk menyebutkan konsep negara hukum secara umum. Pasca amandemen, penegasan tersebut tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Penegasan tersebut menjelaskan bahwa konsep negara hukum Indonesia bukanlah konsep negara hukum rechtsstaat maupun the rule of law, melainkan gabungan dari keduanya, yaitu negara hukum yang mempunyai ciri khas Indonesia yang menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara, yang disebut Negara Hukum Pancasila. Menurut I Dewa Gede Atmadja, ciri esensial Negara Hukum Pancasila adalah negara hukum yang berpangkal pada asas kekeluargaan, musyawarah mufakat dan perlindungan HAM dengan prinsip keseimbangan antara hak dan kewajiban serta fungsi hukum pengayoman.27
Dalam kerangka Konsep Negara Hukum Pancasila, pendekatan konsep restorative justice baru diakui secara tersirat dalam konstitusi dan baru diatur secara parsial dalam beberapa peraturan perundangan-undangan hukum pidana, di antaranya dalam UU SPPA dan UU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang telah mengakui adanya suatu cara “musyawarah mufakat” dalam penegakan hukum pidana. KUHP sebagai induk hukum materiil dan KUHAP sebagai induk hukum formil belum mengatur cara “musyawarah mufakat” yang merupakan nilai inti dari konsep restorative justice untuk menyelesaikan perkara pidana. Dalam perspektif ius constituendum, diperlukan kebijakan/politik hukum untuk mengatur penerapan konsep restorative justice dalam penegakan hukum pidana, baik di tingkat penyidikan, penuntutan dan peradilan.
Menurut Soedarto, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat dan kebijakan negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, sehingga apa yang terkandung dalam masyarakat dapat diekspresikan oleh peraturan-peraturan tersebut dan pada akhirnya apa yang dicita-citakan akan dapat tercapai. 28 Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, politik hukum adalah penerapan atau pelaksanaan kebijakan hukum (legal policy) oleh suatu pemerintahan negara tertentu, yang wilayah kerjanya meliputi konsistensi pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada; proses pembaruan dan pembuatan hukum yang diarahkan pada sikap kritis terhadap hukum yang berdimensi ius constitutum dan menciptakan hukum yang berdimensi ius constituendum; serta
ISSN: 1978-1520 penegasan fungsi lembaga serta pembinaan para penegak hukum dan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.29
Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa penanggulangan kejahatan adalah tujuan dari usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana tersebut, sehingga politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum, sehingga kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Dalam arti luas, kebijakan hukum pidana mencakup kebijakan di bidang hukum pidana materiil, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana. Selanjutnya Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa hakekat penanggulangan kejahatan melalui pembuatan undang-undang adalah bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare), sehingga politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Dengan demikian, dalam pengertian social policy juga tercakup di dalamnya social welfare policy dan social defence policy.30
Kondisi masyarakat Indonesia yang berkembang cepat seiring perkembangan dunia internasional serta kuatnya tuntutan akan keadilan dan kepastian hukum, menyebabkan beberapa masalah kejahatan tidak lagi dapat diatasi oleh KUHP dan KUHAP. Kondisi inilah yang mengakibatkan polri telah mengambil langkah-langkah kebijakan dalam melakukan penegakan hukum sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Polri harus tetap memperhatikan berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat, tidak hanya berdasarkan asas legalitas semata, akan tetapi juga mempertimbangkan asas legitimasi dalam bentuk kearifan lokal dan situasional. Dalam pandangan an sich normatif, eksistensi kebijakan-kebijakan polri tersebut masih dapat dipertanyakan legitimasinya. Kebijakan-kebijakan tersebut dianggap tidak selaras dengan peraturan di atasnya seperti KUHP dan KUHAP. Bahkan Andi Hamzah selaku Ketua Tim RUU KUHAP berpendapat bahwa sesuai dengan Pasal 1 KUHAP (Sv) Belanda, acara pidana dijalankan hanya menurut cara yang diatur oleh undang-undang, sehingga acara pidana tidak boleh diatur oleh suatu peraturan yang lebih rendah dari undang-undang dalam arti formil.31
Dalam persepktif ius constituendum, Konsep Negara Hukum dan Teori Kebijakan Hukum Pidana tersebut berkorelasi dengan Teori Hukum Progresif dari Satjipto Rahardjo dimana inti dari teori ini adalah bahwa hukum itu selalu dituntut progress atau maju dan berwawasan ke depan termasuk manusianya atau hukum untuk manusia bukan sebaliknya manusia untuk diperalat hukum. 32 Untuk kemajuan perkembangan hukum, manusia harus memiliki terobosan dalam menciptakan substansi hukum dan mengaplikasikan hukum itu sendiri serta memiliki progress
dalam mengatasi kekosongan norma, termasuk menggagas dan mewujudkan substansi hukum terkait dengan pendekatan restorative justice dalam menyelesaikan tindak pidada di tingkat penyidikan. Hukum ke depan harus menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Oleh karenanya, dalam perspektif ius constituendum perlu dilakukan pembaharuan/reformulasi dalam bidang hukum pidana materiil dan pembaharuan/reformulasi dalam bidang hukum pidana formil.
Dalam sejarahnya, KUHP sebagai induk hukum pidana materiil merupakan warisan pemerintahan Belanda. Setelah Indonesia merdeka, sistem hukum pidana yang ada merupakan “penerusan” dari tata hukum pemerintah kolonial Belanda, meskipun saat ini telah ditambah dengan embel-embel Hukum Pidana Indonesia. Prinsip yang dianut oleh KUHP (WvS) adalah kepastian hukum yang bersifat individualistik. KUHP saat ini telah tidak sesuai dengan perkembangan hukum yang terjadi. Kebijakan pembaharuan hukum pidana dengan membentuk KUHP yang baru pada hakekatnya bukan sekedar memperbaharui/mengganti rumusan pasal secara tekstual melainkan dibangunnya kembali ide dasar untuk menciptakan dan menegakkan konsistensi, keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum, dimana keseimbangan antara kepentingan nasional, kepentingan masyarakat dan kepentingan individu dalam NKRI dan UUD 1945 tetap dipertimbangkan secara komprehensif. Pembaharuan KUHP harus bersifat mendasar, menyeluruh dan sistemik, mencakup tiga permasalahan pokok hukum pidana, yaitu perumusan mengenai tindak pidana/criminal act; pertanggungjawaban pidana; serta pidana dan pemidanaan.
-
1. Tindak pidana.
KUHP saat ini belum memberikan batasan/pengertian tentang tindak pidana. KUHP saat ini memberlakukan asas legalitas yang sangat ketat, yaitu seseorang dikatakan telah melakukan tindak pidana apabila telah ada aturan yang mengatur sebelumnya. Asal legalitas dalam hukum pidana saat ini hanya berpatokan pada sifat melawan hukum secara formil. Selain bersifat melawan hukum secara formil, perlu dicantumkan bersifat melawan hukum secara materiil atau asas insiginficant (insiginficant principle) antara lain disebabkan pluralisme hukum di Indonesia dan sesuai dengan kondisi masyarakat.33
Rancangan KUHP (RKUHP) 2013 telah mengatur tentang pengertian tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2). RKUHP 2013 juga telah mengatur bahwa ketentuan asas legalitas tidak akan mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat, sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1). Ada perbedaan yang sangat mendasar antara RKUHP 2013 dengan KUHP yang berlaku saat ini, yaitu telah diaturnya pengertian yuridis tentang tindak pidana dan telah terjadi perluasan asas legalitas secara formil ke arah memberlakukan secara materiil, dengan memberikan sumber hukum tertulis sebagai
kriteria formil utama dari asas legalitas dan juga memberi tempat dan mengakui hukum tidak tertulis sebagai representasi hukum yang hidup dalam masyarakat.
-
2. Pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban pidana merupakan pasangan dari asas legalitas. Jika unsur melawan hukum formil/perbuatan melawan hukum secara positif terbukti, maka si pelaku tidak dapat dipidana. Demikian juga sebaliknya, jika unsur melawan hukum formil/perbuatan melawan hukum secara positif tidak terbukti, maka si pelaku tidak dapat dipidana, atau dikenal dengan asas “tiada pertanggungjawaban pidana tanpa sifat melawan hukum”. RKUHP 2013 telah mengatur bahwa tidak seorang pun dapat dipidana tanpa kesalahan, yang terdiri dari kemampuan bertanggung jawab, kesengajaan, kealpaan dan tidak ada alasan pemaaf, sebagaimana diatur dalam Pasal 37. Diaturnya kesalahan-kesalahan terkait dengan pertanggungjawaban pidana tersebut telah menunjukkan adanya keseimbangan kepentingan antara kepentingan individu dengan kepentingan umum, termasuk juga keseimbangan antara kepentingan pelaku, korban, saksi serta unsur subyektif dan obyektif pelaku, yang pada akhirnya yang pada akhirnya menunjukkan suatu keseimbangan antara asas legalitas dan keadilan. Pertanggungjawaban pidana tidak hanya didasarkan asas kesalahan sebagai representasi asas legalitas, tetapi juga menempatkan pertanggungjawaban pidana sebagai asas keadilan yang hidup, yaitu asas tiada pidana tanpa kesalahan dan tiada pidana tanpa melawan hukum materiil.
-
3. Pidana dan pemidanaan.
Pada dasarnya pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan negara kepada orang yang telah terbukti melakukan tindak pidana. Menurut Barda Nawawi Arief, apabila Indonesia akan menggunakan sarana pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan membentuk manusia Indonesia seutuhnya, harus dilakukan dengan pendekatan humanistik. Pendekatan humanistis dalam penggunaan sanksi pidana tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan kepada si pelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab, tetapi juga harus dapat membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan hidup bermasyarakat. 34 M. Ali Zaidan berpendapat bahwa penerapan hukum pidana dilakukan secara proporsional dengan mengindahkan sifat subsidairitas sanksi pidana. Sanksi pidana hendaklah dipandang sebagai usaha terakhir dalam hal alternatif lain tidak tersedia. Penggunaan sanksi sebagai ultimum remidium harus tetap dipertahankan, demi menjaga ketertiban masyarakat.35
Dalam KUHP saat ini tidak diatur mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan. Hal ini berdampak pada tidak jelasnya tujuan penjatuhan pidana. Dalam KUHP ke depan, tujuan pidana harus diarahkan pada perlindungan masyarakat dan pembinaan pelaku, termasuk lewat metode pemberdayaan yang memungkinkan pelaku benar-benar fungsional dan bermanfaat dalam masyarakat, modifikasi putusan pemidanaan yang telah berkekuatan tetap berdasarkan perbaikan si terpidana dan elastisitas
pemidanaan. 36 Dalam KUHP ke depan, harus juga diformulasikan pedoman pemidanaan. Pidana dan alternatif pidana apakah yang cocok untuk kasus-kasus tertentu karena politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.
Dalam RKUHP 2013 telah diatur ketentuan-ketentuan mengenai jenis pidana, tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 65, 54 dan 55. Ketentuan-ketentuan ini telah memberikan celah bagi hakim dan aparat penegak hukum untuk memilih pidana dan alternatif pidana yang akan dijatuhkan kepada pembuat tindak pidana, serta telah mengedepankan prinsip perlindungan kepada masyarakat, pemulihan keseimbangan masyarakat dan membebaskan rasa bersalah dari pelaku. Bahkan sesuai dengan ketentuan Pasal 71, apabila terdapat keadaan-keadaan tertentu, pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan. Terkait dengan penyelesaian tindak pidana dengan pendekatan restorative justice di tingkat penyidikan, dalam RKUHP 2013 terdapat satu rancangan pasal yang mengatur tentang gugurnya kewenangan penuntutan, yaitu diatur dalam Pasal 145. Salah satu hal yang dapat mengakibatkan gugurnya kewenangan penuntutan adalah “penyelesaian di luar proses”. Hal ini merupakan angin segar bagi polri dalam rangka menghadirkan keadilan dan kepastian hukum di masa yang akan datang. Hanya saja, rancangan ketentuan ini harus disertai dengan pembaharuan/reformulasi dalam hukum pidana formil, sebagaimana akan dibahas pada pembahasan selanjutnya.
Dalam perspektif ius constituendum, untuk memberikan ruang penyelesaian perkara dengan pendekatan restorative justice, termasuk di tingkat penyidikan, rancangan-rancangan terkait tiga hal pokok pembaharuan hukum pidana, yaitu tindak pidana; pertanggungjawaban pidana; pidana dan pemidanaan, yang terdapat dalam RKUHP 2013 hendaknya dapat dipertahankan.
Proses hukum dalam penanganan perkara pidana tidak dapat dilepaskan dari hukum pidana formil itu sendiri. Menurut Van Bemmelen, hukum acara pidana adalah kumpulan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur bagaimana cara Negara melalui perantaraan alat-alatnya untuk mencari kebenaran, menetapkan keputusan mengenai perbuatan yang didakwakan, bagaimana hakim harus memutuskan dan bagaimana keputusan itu dilaksanakan. 37 Dalam perspektif ius constituendum, pembahasan mengenai pembaharuan/reformulasi hukum pidana formil ini menyangkut tiga hal, yaitu pembaharuan/reformulasi KUHAP; pembaharuan/reformulasi Perkap tentang Manajemen Penyidikan; dan pembaharuan/reformulasi Perkap tentang Polmas.
-
1. Pembaharuan/reformulasi KUHAP.
Pembaharuan/reformulasi KUHAP terkait dengan alasan penghentian penyidikan. Dalam rumusan Pasal 109 ayat (2), penghentian penyidikan dapat dilakukan dengan alasan-alasan bukan tindak pidana, tidak cukup bukti dan demi hukum. Reformulasi
KUHAP terkait dengan “pengertian tindak pidana” dan “pengertian demi hukum”. Terkait dengan “pengertian tindak pidana”, selama ini tindak pidana dibatasi pada “pengertian tindak pidana dalam arti formil”. Ke depan, formulasi “pengertian tindak pidana” tidak hanya tindak pidana formil, tetapi juga materiil. Perluasan pengertian tindak pidana ini untuk menghapus (menegatifkan) sifat melawan hukum suatu perbuatan (formil) secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap formulasi tindak pidana sehingga berdampak pula pada alasan penghentian penyidikan. Frase “demi hukum” dalam KUHAP hanya terdapat dalam dua pasal, yaitu Pasal 46 ayat (1) huruf c dan Pasal 109 ayat (2). Frase “demi hukum” dalam ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf c merupakan alternatif dari frase “untuk kepentingan umum”, yang secara tersirat dapat ditafsirkan pula bahwa penghentian perkara dengan alasan “demi hukum” adalah suatu penghentian perkara “demi kepentingan umum”. Untuk menghindari perbedaan penafsiran, di masa yang akan datang, dalam KUHAP hendaknya mencantumkan pengertian dari frase “demi hukum” itu sendiri, yang salah satunya menentukan bahwa “demi hukum” tersebut sama dengan “demi kepentingan umum”.
Penghentian penyidikan dengan alasan “demi hukum” yang telah diselesaikan dengan pendekatan restorative justice juga dapat dilakukan ketika RKUHP 2013 telah diberlakukan, terutama terkait dengan ketentuan “gugurnya kewenangan penuntutan karena diselesaikan di luar proses” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 RKUHP 2013. Hanya saja masih diperlukan reformulasi terkait dengan teknis penghentian penyidikan dan hubungannya dengan kewenangan penuntutan yang dimiliki oleh jaksa penuntut umum. Teknis tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan acuan peraturan perundang-undangan yang telah diberlakukan sebelumnya, seperti UU SPPA dan UU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Dalam KUHAP di masa yang akan datang, penghentian penyidikan dengan pendekatan restorative justice dapat dilakukan dengan melaporkan pelaksanaannya kepada Kepala Kejaksaan Negeri untuk meminta persetujuan Ketua Pengadilan Negeri tempat terjadinya tindak pidana.
-
2. Pembaharuan/reformulasi Perkap 14/2012 tentang Manajemen Penyidikan.
Dalam Perkap Manajemen Penyidikan, ditentukan bahwa “demi hukum” yang tercantum sebagai salah satu alasan penghentian penyidikan, diartikan sebagai tersangka meninggal dunia, pengaduan dicabut, nebis in idem dan kadaluarsa. Mengacu pada ketentuan 46 ayat (1) huruf c KUHAP serta Pasal 16 dan 18 UU Polri serta ketentuan Pasal 145 RKUHP 2013, dalam formulasi Perkap Manajemen Penyidikan di masa yang akan datang hendaknya mencantumkan “demi kepentingan umum” dan “diselesaikan di luar proses” sebagai salah satu bagian dari alasan penghentian penyidikan “demi hukum”. Hanya saja alasan “demi hukum” yang “diselesaikan di luar proses” masih harus menunggu reformulasi KUHAP terkait teknis penghentian penyidikan dan hubungannya dengan jaksa penuntut umum terkait dengan kewenangan penuntutan yang dimilikinya. Di samping itu, dalam Perkap Manajemen Penyidikan di masa yang akan datang hendaknya juga mengatur tentang kategori kasus yang dapat diselesaikan dengan pendekatan konsep restorative justice dan syarat serta mekanisme penerapan restorative justice.
-
3. Pembaharuan/reformulasi Perkap 3/2015 tentang Pemolisian Masyarakat.
Dalam Perkap Polmas, salah satu hal yang diatur adalah penyelesaian masalah sosial yang difasilitasi oleh polri selaku pengendali sosial melalui mekanisme penyelesaian
di luar pengadilan (ADR). Hanya saja, Perkap Polmas belum mengatur secara tegas tentang kategori masalah sosial, terutama yang ada unsur pidana, yang dapat diselesaikan dengan mekanisme ADR. Oleh karena itu, pada masa yang akan datang perlu dilakukan reformulasi terhadap Perkap Polmas, di antaranya mengatur secara tegas tentang kategori masalah sosial, terutama yang ada unsur pidana, yang dapat diselesaikan dengan mekanisme ADR, termasuk mempertimbangkan kategori pelaku dan arti dari nilai kerugian bagi korban.
Penyelesaian tindak pidana dengan pendekatan restorative justice di tingkat penyidikan belum diatur dalam peraturan perundang-undangan, kecuali terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Dalam rangka menjawab harapan dan tuntutan masyarakat sesuai dengan perkembangan hukum dewasa ini, polri sebagai pintu gerbang sistem peradilan pidana telah melakukan beberapa kebijakan, dengan menerbitkan beberapa surat dan peraturan, yaitu Surat Kapolri No. Pol.: B/3022/XII/2009/Sde Ops, tanggal 4 Desember 2009; Surat Telegram Kabareskrim Polri kepada Direktur Reskrimum, Direktur Reskrimsus dan Direktur Resnarkoba seluruh polda No. ST/110/V/2011, tanggal 18 Mei 2011; Surat Telegram Rahasia Kabareskrim Polri No. STR/583/VIII/2012, tanggal 18 Agustus 2012; Perkap 15/2013; Perkap 3/2015; SE Kapolri No. SE/7/VII/2018, tanggal 27 Juli 2018; dan SE Kapolri No. SE/8/VII/2018, tanggal 27 Juli 2018.
Dalam perspektif ius constituendum, diperlukan kebijakan/politik hukum untuk mengatur penyelesaian tindak pidana dengan pendekatan konsep restorative justice di tingkat penyidikan, dengan cara melakukan pembaharuan/reformulasi dalam bidang hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Pembaharuan dalam bidang hukum pidana materiil dilakukan dengan pengaturan pengertian tindak pidana, tujuan dan pedoman pemidanaan. Pengertian tindak pidana diperluas, tidak hanya diartikan dalam arti formil, namun juga diartikan dalam arti materiil. Pengaturan tujuan dan pedoman pemidanaan diarahkan pada keadaan yang memungkinkan penyelesaian perkara di luar pengadilan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 145 RKUHP 2013. Pembaharuan hukum pidana formil dilakukan dengan pembaharuan KUHAP; pembaharuan Perkap 14/2012; dan pembaharuan Perkap 3/2015. Pembaharuan KUHAP terkait dengan “pengertian tindak pidana” dan “pengertian demi hukum”. Pembaharuan Perkap 14/2012 dilakukan dengan mencantumkan “demi kepentingan umum” dan “diselesaikan di luar proses” sebagai salah satu bagian dari alasan penghentian penyidikan “demi hukum”. Di samping itu Perkap 14/2012 hendaknya juga mengatur tentang kategori kasus yang dapat diselesaikan dengan pendekatan konsep restorative justice dan mengatur syarat serta mekanisme penerapan restorative justice. Pembaharuan Perkap 3/2015 terkait dengan pengaturan kategori masalah sosial, terutama yang ada unsur pidana, yang dapat diselesaikan dengan mekanisme ADR, termasuk mempertimbangkan kategori pelaku dan arti dari nilai kerugian bagi korban.
Daftar Pustaka
Buku
Arief, B. N. (2014). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Ed. II, Cet. VII, Jakarta: PrenadaMedia Group.
Faisal. (2010). Menerobos Positivisme Hukum. Yogyakarta: Rangkang Education.
Fatoni, S. (2016). Pembaharuan Sistem Pemidanaan, Perspektif Teoriti dan Pragmatis untuk Keadilan. Malang: Setara Press.
Surbakti, N. (2015). Peradilan Restoratif dalam Bingkai Empiri, Teori dan Kebijakan. Cet. I.
Yogyakarta: Genta Publishing.
Zaidan, M. Ali. (2015). Menuju Pembaharuan Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Jurnal
Arief, H. & Ambarsari, N. (2018). Penerapan Prinsip Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Al-’Adl, 10(2), 173-190.
http://dx.doi.org/10.31602/aa.v10i2.1362.
Artha, I. G. & Wiryawan, I. W. (2015). Pengendalian Peredaran Gelap Narkotika oleh Narapidana dari dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Jurnal), 4(3), 588-602.
https://doi.org/10.24843/JMHU.2015.v04.i03.
Bonnie, R., Syahrin, A., Marlina & Leviza, J. (2016). Peran Polri dalam
Mengimplementasikan Restorative Justice pada Penanganan Perkara Pidana (Studi di Polres Binjai). USU Law Journal, 4(4), 70-85.
Budoyo, S. (2014). Konsep Langkah Sistematik Harmonisasi Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jurnal Ilmiah CIVIS, 4(2), 607-622.
Candra, S. (2013). Restorative Justice: Suatu Tinjauan terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Jurnal Rechtsvinding, 2(2), 263-277.
Danielt, R. T. (2014). Penerapan Restorative Justice terhadap Tindak Pidana Anak Pencurian oleh Anak di Bawah Umur. Lex et Societatis, 2(6), 16-26.
Ekayanti, R. (2015). Perlindungan Hukum terhadap Justice Collaborator terkait Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Jurnal), 4(1), 138-149.
https://doi.org/10.24843/JMHU.2015.v04.i01.
Ernis, Y. (2016). Diversi dan Keadilan Restorative dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Anak di Indonesia. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, 10 (2), 163-174.
http://dx.doi.org/10.30641/kebijakan.2016.V10.163-174.
Harun, M. (2016). Reformulasi Kebijakan Hukum terhadap Penegakan Hukum Pidana Pemilu dalam Menjaga Kedaulatan Negara. Jurnal Rechtsvinding, 5(1), 101-116.
Kenedi, J. (2017). Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) dalam Negara Hukum Indonesia: Upaya Mensejahterakan Masyarakat (Social Welfare). Al-Imarah: Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, 2(1), 15-26.
Kristian & Tanuwijaya, C. (2015). Penyelesaian Perkara Pidana dengan Konsep Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu di Indonesia. Jurnal Hukum Mimbar Justitia, 1(2), 592-605.
https://doi.org/10.35194/jhmj.v1i2.42.
Nurwianti, A., Gunarto dan Wahyuningsih, S. E. (2017). Implementasi Restoratif/Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas yang Dilakukan oleh anak di Polres Rembang. Jurnal Hukum Khaira Ummah, 12(4), 705-716.
Putra, I K. C. (2017). Relevansi Konsep Negara Hukum Pancasila dengan Welfare State dalam Implementasinya dengan Pelayanan Publik di Indonesia. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Jurnal), 6(1), 1-12.
https://doi.org/10.24843/JMHU.2017.v06.i01.
Putuhena, M. I. F. (2013). Politik Hukum Perundang-Undangan: Mepertegas Reformasi Legislasi yang Progresif. Jurnal Rechtsvinding, 2(3), 375-395.
Prayitno, K. P. (2012). Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis Filosofis dalam Penegakan Hukum in Concreto. Jurnal Dinamika Hukum, 12(3), 407-420. http://dx.doi.org/10.20884/1.jdh.2012.12.3.116.
Rochaeti, N. (2015). Impelementasi Keadilan Restoratif dan Pluralisme Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Masalah-Masalah Hukum, 44 (2), 150160. 10.14710/mmh.44.2.2015.150-160
Suharyanti, N. P. N. (2015). Modus Penyelundupan Narkotika dan Upaya
Penanggulangannya di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Denpasar. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Jurnal), 4(1), 112-125.
https://doi.org/10.24843/JMHU.2015.v04.i01.
Sutrisni, N. K. (2015). Pengaturan Advokasi terhadap Hak-Hak Penyandang Disabilitas terhadap Diskriminasi di Bidang Penegakan Hukum. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Jurnal), 4(1), 101-111.
https://doi.org/10.24843/JMHU.2015.v04.i01.
Karya Ilmiah
Arief, B. N. (2010). Perumusan Pidana dalam Peraturan Perundang-Undangan sebagai Parameter Keadilan dalam Penjatuhan Pidana. Makalah dalam Lokakarya BPHN: Perkembangan Hukum Pidana dalam Undang-Undang di Luar KUHP dan Kebijakan Kodifikasi Hukum Pidana, Semarang.
Hamzah, A. (2008). Naskah Akademik RUU Rancangan Undang-Undang Nomor.....
Tahun ..... tentang hukum Acara Pidana, dalam Tim RUU KUHAP.
Tanya, B. L. (2009). Proyeksi Nilai-Nilai Pancasila sebagai Basis Pembaharuan Hukum Pidana, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional: Impementasi Ide-Ide Dasar Pancasila dalam Pembaharuan Hukum Pidana, diselenggarakan oleh FH-Universitas Trunojoyo, 19 November 2009.
Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 81).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana/KUHAP (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 3209).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 4151).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 4168).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5076).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 5332).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5495).
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) 2013.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonenesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas.
Internet
Detiknews. Menkumham: Kasus Nenek Minah Memalukan. Tersedia di
http://m.detik.com/news/berita/1245643/menkum-ham-kasus-nenek-minah-memalukan.
Tempo.co. Mencuri Piring, Nenek Rasmiah Dihukum 4 Bulan. Tersedia di http://metro.tempo.co/read/news/2012/01/31/064380693/mencuri-piring-nenek-rasmiah-dihukum-4-bulan.
Kompas.com. Kejamnya Keadilan “Sandal Jepit”.... Tersedia di
http://nasional.kompas.com/read/2012/01/06/09445281/Kejamnya.Keadilan.S andal.Jepit.
Kompas.com. Kapolri Berkomitmen Tidak Ada Lagi Kasus seperti Nenek Asyani. Tersedia di http://nasional.kompas.com/read/2015/04/24/06534291/Kapolri.Berkomitme n.Tidak.Ada.Lagi.Kasus.seperti.Nenek.Asyani.
574
Discussion and feedback