Pengaturan Pengawasan Peraturan Daerah oleh Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
on
Pjrnalmagisterhukumudayana
(UDAYANA MAGISTER LAW JOURNAL)
Vol. 8 No. 4 Desember 2019
E-ISSN: 2502-3101 P-ISSN: 2302-528x
http: //ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

Pengaturan Pengawasan Peraturan Daerah oleh Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
I Putu Indra Prasetya Wiguna1, Ni Luh Gede Astariyani2
1Law Office Arjaya Umi Martina & Partners, E-mail: indraprasetyawigunaiputu@gmail.com 2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: luh_astariyani@unud.ac.id
Info Artikel
Masuk: 4 Oktober 2019
Diterima: 27 Desember 2019
Terbit: 31 Desember 2019
Keywords:
Supervision; Regional Regulation;
Regional Representative Council.
Kata kunci:
Pengawasan; Peraturan Daerah;
Dewan Perwakilan Daerah.
DOI:
10.24843/JMHU.2019.v08.i04.p08
Abstract
Supervision of regional regulations is a new authority possessed by the Regional Representative Council. The purpose of writing this article is to examine the implications of regional regulation oversight arrangements by the Regional Representative Council. This article uses a normative legal research method with a statue approach, a legal concept analysis approach, and a historical approach. The results of the study show that the implications of regional regulation oversight by the Regional Representative Council as Article 249 paragraph (1), letter j, Law number 2 of 2018, namely: cause legal uncertainty due to unclear regulation; raises legal problems if related to article 31 of Law number 3 of 2009, article 245 of Law number 9 of 2015, articles 15 and 16 of Law number 6 of 2014; and raises the problem of constitutionality.
Abstrak
Pengawasan terhadap peraturan daerah merupakan wewenang baru yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Daerah. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji implikasi pengaturan pengawasan peraturan daerah oleh Dewan Perwakilan Daerah. Artikel ini memakai metode penelitian hukum normative sebagai jenis penelitian, yang dikaji melalui pendekatan perundang-undangan, analisis konsep hukum, dan juga sejarah. Hasil studi menunjukkan bahwa Implikasi pengaturan pengawasan peraturan daerah oleh Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana tertuang pada Pasal 249 ayat (1), huruf j, Undang-Undang nomor 2 tahun 2018, yakni: menimbulkan ketidakpastian hukum karena pengaturannya yang tidak jelas; menimbulkan masalah hukum apabila dikaitkan dengan pasal 31 Undang-Undang nomor 3 tahun 2009, pasal 245 Undang-Undang nomor 9 tahun2015, pasal 15 dan 16 undang-undang no. 6 tahun 2014; serta menimbulkan problem konstitusionalitas.
sedangkan DPD RI sebagai penyalur aspirasi daerah, daerah yang dimaksud yakni tiap-tiap Provinsi.1
DPD RI sebagai dasar pembentukanya yang pada prinsipnya sebagai lembaga perwakilan untuk menyuarakan aspirasi daerah dipusat. Alasan yang mendasari pembentukan DPD RI yaitu semangat agar menyuarakan aspirasi didaerah ketingkat pusat, agar kepentingan daerah mampu diakomodir.2
Landasan konstitusional DPD tercantum pada Pasal 22 C UUD 1945 yang kemudian merujuk pada landasan konstitusional tersebut, maka DPD dapat dipahami sebagai lembaga negara yang mewakili daerah dan dipilih dengan cara demokratis dalam bentuk pemilihan umum bersamaan dengan lembaga legislatif lainnya, yakni DPR serta DPRD. DPD memiliki seperangkat kewenangan yang tetulis dalam pasal 22 D UUD 1945.
Berdasarkan kewenangan yang terdapat dalam UUD 1945, DPD mempunyai kewenangan secara konstitusional yang dimana bermakna bahwa DPD harus melaksanakan tugas dan kewenangan sebaik-baiknya demi kemajuan daerah yang nantinya akan diperjuangkan oleh daerah itu sendiri yang direpresentasikan oleh anggota-anggota DPD terpilih nantinya. Kemudian penjabaran kewenangan tentang DPD diatur dengan Undang-Undang (Selanjutnya disingkat UU) yang menjadi penjabaran daripada Pasal 22D UUD 1945 tersebut. Undang-undang yang dimaksud adalah UU 2/2018 yang telah diperbaharui dua kali pada tahun 2018. UU 2/2018 tersebut banyak menuai kontroversi, hal tersebut dilihat dari seringnya gugatan “judicial review” ke Mahkamah Konstitusi (Selanjutnya disingkat MK) dari tahun 2014 hingga sekarang terkait pasal-pasal yang terdapat pada UU 2/2018.
Terkait wewenang DPD RI pada UU 2/2018, hal tersebut diatur pada Pasal 249. UU 2/2018 tersebut menambah wewenang baru kepada DPD RI, yang sebelumnya tidak diatur pada perubahan sebelumnya. Wewenang baru tersebut yaitu terdapat pada Pasal 249 ayat (1) huruf j, yang menyatakan bahwa DPD memiliki tugas dan wewenang melakukan evaluasi serta pemantauan rancangan peraturan daerah (Selanjutnya disingkat Raperda) dan juga peraturan daerah (Selanjutnya disingkat Perda).
Wewenang DPD RI dalam melaksanakan evaluasi dan juga pemantauan Raperda serta Perda tersebut sangat luas serta tidak menimbulkan akibat hukum yang mengikat sehingga terindikasi tidak mencerminkan ketidakpastian hukum karena norma yang tidak jelas dan multitafsir. Peraturan Per-UUan yang baik baiknya dibuat melalui cara yang sederhana, jelas, tegas, serta konsisten, sehingga mudah dipahami serta dilaksanakan. Apabila hal tersebut sudah dilakukan, maka niscaya kepastian hukum dapat terwujud.3
Permasalahan yang dijabarkan diatas merupakan permasalahan yang layak untuk diangkat menjadi tulisan dalam bentuk jurnal dengan judul “IMPLIKASI PENGATURAN PENGAWASAN PERATURAN DAERAH OLEH DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA.” Permasalahan dirumuskan dengan, bagaimana pengaturan pengawasan Perda oleh DPD dan apakah implikasi pengaturan pengawasan Perda oleh DPD tersebut. Adapun artikel ini bertujuan untuk mengkaji implikasi pengaturan pengawasan Perda oleh DPD.
Judul dan pembahasan pada artikel ini merupakan karya ilmiah yang memiliki unsur pembaharuan, sehingga tidak ada unsur plagiat didalamnya. Namun, sebagai perbandingan dan menumbuhkan semangat anti plagiat, maka akan disandingkan tulisan sebelumnya yang sekiranya menyerupai tulisan ini, yaitu:
-
1) Jurnal oleh Winata, M. R., Putri, M. C., & Aditya, Z. F, pada tahun 2018, dengan judul: “Legal historis kewenangan pengujian dan pembatalan Perda serta implikasinya terhadap kemudahan berusaha”. Permasalahan yang diangkat adalah legal historis pengaturan kewenangan pembatalan dan pengujian Perda dalam konstitusi dan UU, serta implikasi perkembangan kewenangan pembatalan serta pengujian terhadap kemudahan berusaha.4
-
2) Jurnal oleh Yanti, H., pada tahun 2017, dengan judul: Peran gubernur sebagai wakil pemerintahan pusat dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemda berdasarkan UU 32/2004.” Permasalahan yang dibahas yaitu peran gubernur sebagi wakil pemerintah pusat di daerah dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerinthan kabupaten/kota, serta hal-hal yang mempengaruhi lemahnya peran gubernur sebagai wakil pemerintah psat dalam melakukan pengawasan terhadap pemerinthan kabupaten/kota.5
Dari jurnal yang terdahulu pernah dibuat dan kemudian dilakukan pembandingan, maka dapat dipastikan tulisan ini memiliki unsur pembaharuan untuk dunia pendidikan ilmu hukum di Indonesia, dan tidak ada tindakan plagiat didalam penulisan ini.
-
2. Metode Penelitian
Penelitian hukum normatif merupakan jenis penelitian yang digunakan pada artikel ini. Dalam penelitian hukum normatif, peraturan per-UUan menjadi sumber bahan hukum yang utama dalam melakukan penelitian ini, atau dapat dikatakan law in
books. 6 Selanjutnya penulis menggunakan pendekatan per-UUan, analisis konsep hukum, serta pendekatan sejarah untuk mengkaji artikel ini.
Lembaga Negara yang disebut DPD merupakan lembaga yang menggantikan Utusan Golongan (Selanjutnya disingkat UG) dan Utusan Daerah (Selanjutnya disingkat UD) di MPR melalui amandemen ke-3 UUD 1945 (2001), yang pada amandemen ke-4 disempurnakan oleh MPR yang bersidang pada saat itu (2002). 7 Kehadiran DPD memberikan warna baru pada lembaga perwakilan di Indonesia yang dulunya tidak pernah merasakan serta menampakan apa sebenarnya perwakilan tersebut. 8 Wewenang DPD tertuang pada pada 22D UUD 1945 dimana berdasarkan
kewenangan yang diatur pada UUD 1945, itu berarti DPD memiliki kewenangan secara konstitusional yang dimana bermakna bahwa DPD harus melaksanakan tugas dan kewenangan sebaik-baiknya demi kemajuan daerah yang nantinya akan diperjuangkan oleh daerah itu sendiri yang direpresentasikan oleh anggota-anggota DPD terpilih nantinya. Berdasarkan itu juga dapat ditarik kesimpulan bahwa DPD memiliki fungsi legislasi, pertimbangan, dan pengawasan yang dimana sifat daripada fungsi itu terbatas, keterbatasan itu terdapat pada bidang-bidang terntu saja yang menjadi kewenangan DPD yaitu menyangkut aspirasi yang membawa nama daerah.9 Yang Penjabaran lebih lanjut daripada kewenangan DPD diformulasikan pada Pasal 249 ayat (1) UU 2/2018. Berdasarkan pengaturan diatas, DPD mempunyai kewenangan konstitusional berdasarkan UUD NRI 1945 dan kewenangan berdasarkan UU 2/2018.
Membentuk suatu Perda merupakan suatu wewenang yang membuktikan kemandirian suatu daerah, baik dalam wewenang yang berasal dari Undang-undang langsung atau atribusi maupun delegasi. Diperlukan suatu mekanisme dalam pengawasan terhadap daerah dalam kewenangannya membentuk Perda, pengawasan ini semata mata hanya untuk menjaga agar apa yang menjadi kewenangan daerah tersebut sesuai dengan apa yang di cita-citakan secara yuridis, sosial, maupun filosofis. Kewenangan itu juga perlu di awasi agar penyimpangan-penyimpangan yang terjadi mampu di kendalikan, karena apabila ada penyimpangan maka akibatnya akan terasa di masyarakat daerah itu sendiri, karena Perda tersebut akan mengatur masyarakat di daerah.
Menurut Bagir Manan, terkait dengan pengawasan terhadap pemerintahan otonomi terdapat dua model pengawasan, yakni pengawasan represif dan juga preventif.10
Pada prinsipnya, model pengawasan preventif dilakukan terhadap Perda yang mengatur sejumlah materi-materi tertentu yang ditetapkan sebelumnya melalui peraturan Per-UUan, artinya pengawasan ini bermakna sebelum atau pra dibentuknya peraturan Per-UUan.11 Sedangkan pengawasan represif dilaksanakan terhadap semua Perda yang dianggap bertentangan dengan peraturan Per-UUan yang lebih tinggi tingkatannya atau bertentangan dengan kepentingan umum, sebaliknya ini bermakna pasca ataupun setelah terjadinya masalah.
Pengawasan terhadap Perda di Indoneisa berdasarkan konstitusinya dilakukan oleh Mahkamah Agung (selanjutnya disingkat MA), Mendagri, Gubernur, dan yang terbaru dalah DPD RI. Wewenang MA melakukan pengawasan terhadap dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang kemudian diatur juga pada Pasal 31 UU MA. Sedangkan Mengenai wewenang Mendagri dan Gubernur dalam mengevaluasi rancangan Perda terdapat pada Pasal 245 UU Pemda.
Selain terdapat pada Pasal 245 UU Pemda, wewenang Gubernur dalam pengawasan terhadap Perda juga terdapat pada Pasal 17 ayat (1) UU Desa, yang pada intinya menyatakan bahwa Perda pada tingkat kabupaten/kota yang materi muatannya berkaitan dengan perubahan status desa atau kelurahan harus mendapat nomor registrasi dari Gubernur dan Kode Desa dari Menteri.
Pada Pasal 249 Perubahan kedua UU MD3, terdapat wewenang baru kepada DPD RI terkait dengan pengawasan terhadap Perda, yang sebelumnya tidak diatur pada perubahan sebelumnya. Wewenang baru tersebut yaitu mengevaluasi dan melakukan pemantauan terhadap Perda.
Apabila dikaitkan dengan model pengawasan yang telah dijelaskan sebelumnya, kewenangan MA terhadap peraturan daerah tersebut termasuk pengawasan represif, karena berakibat hukum pada pembatalan atau menyatakan tidak sah suatu Perda apabila ada ketidak sesuaian dengan peraturan Per-UUan yang diatasnya.
Mengenai pengawasan yang menjadi wewenang Mendagri serta Gubernur terhadap Perda, termasuk kedalam model pengawasan preventif, karena Mendagri dan Gubernur dapat memberikan pengesahan atau menolak suatu pengesahan Raperda. Namun wewenang Mendagri dan Gubernur tersebut terbatas, dalam arti Mendagri hanya dapat melakukan evaluasi terhadap Raperda serta Perda yang mengatur materi muatan tertentu saja, sebagaimana diatur pada Pasal 245 UU Pemda.
Selanjutnya mengenai wewenang pengawasan Perda yang dilakukan oleh DPD yang diformulasikan pada Pasal 249 ayat (1) huruf j. UU 2/2018, menurut penulis masih terdapat ketidakjelasan termasuk klasifikasi model pengawasan yang mana, dikarenakan wewenang DPD tersebut tidak menimbulkan akibat hukum baik melakukan pengesahan (menolak/tidak menolak) Raperda, maupun melakukan pembatalan terhadap Perda, sehingga penulis beranggapan bahwa pengaturan
pengawasan oleh DPD tersebut tidak mencerminkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena norma yang tidak jelas dan multitafsir.
Evaluasi serta Pemantauan suatu Raperda maupun Perda itu sendiri merupakan wewenang yang dimiliki oleh DPD secara atribusi, dapat dimaknai sebagai bentuk/upaya pengawasan DPD terhadap Raperda dan Perda. Tetapi, sebagaimana kita ketahui bahwa, selama ini pengawasan dalam Raperda dan Perda yang pernah ada atau kita kenal di Indonesia hanya excecutive review dan juga judicial review. Oleh karena itu penulis dapat penulis maknai bahwa wewenang DPD tersebut adalah model pengawasan terhadap Perda baru yang terdapat di Indonesia. Apakah kewenangan DPD RI ini dapat dikatakan sebagai model pengawasan legislative review pada Perda? karena yang selama ini yang kita kenal istilah legislative review hanya terdapat pada tataran UU, yakni pengawasan DPR maupun DPD terhadap UU dan RUU.
Pada dasarnya, DPD dibentuk dengan cita-cita menjadi lembaga yang merepresentasikan aspirasi rakyat di daerah yang dimaksud daerah adalah daerah provinsi.12 Selain itu, latar belakang dibentuknya DPD RI, bertujuan mewujudkan sistem bikameral dalam parlemen Indonesia yang notabene sebelum perubahan UUD 1945 masih menitikberatkan pada keberadaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Secara kelembagaan pasca perubahan konstitusi dan penerapan pemisahan kekuasaan serta checks and balances, MPR tidak lagi berkedudukan menjadi institusi negara yng tertinggi, sehingga derajatnya sama dengan lembaga lainnya bersama-sama dengan DPR. 13
DPD diatur pada pasal 22C UUD NRI 1945, merujuk pada pengaturan tersebut, maka DPD merupakan lembaga negara yang mewakili daerah dan dipilih dengan cara pemilihan umum (selanjutnya disingkat Pemilu) bersama lembaga legislatif lainnya, yaitu DPR dan DPRD. Terkait kewenangannya, DPD diatur dalam Pasal 22D UUD 1945. Penjabaran lebih lanjut mengenai DPD dapat dilihat pada UU 2/2018. Ketentuan Pasal 249 ayat (1) ditambahkan satu huruf, yaitu huruf “j.” sehingga Pasal 249 yaitu Wewenang DPD dalam melakukan evaluasi serta pemantauan Perda serta Raperda, yang menurut penulis merupakan wewenang yang tidak mencerminkan ketidakpastian hukum karena pengaturannya yang tidak jelas. Ketidakjelasan pengaturan yang penulis maksud yakni penulis lihat dari segi:
-
1. Materi muatan Perda maupun Raperda yang bisa dilakukan pemantauan dan evaluasi oleh DPD ;
-
2. Proses atau prosedur evaluasi serta pemantauan Perda maupun Raperda oleh DPD ;
-
3. Akibat hukum yang ditimbulkan dari hasil evaluasi serta pemantauan Perda maupun Raperda oleh DPD ;
-
4. Tidak adanya pengaturan teknis dalam bentuk peraturan dalam menjalankan
wewenang evaluasi serta pemantauan Perda maupun Raperda oleh DPD.
Selanjutnya apabila penulis kaitkan dengan ketentuan pada beberapa peraturan yang lainnya (selain UU 2/2018), terdapat potensi menimbulkan permasalahan hukum dan konstitusionalitas. Adapun beberapa peraturan Per-UUan yang penulis maksud dapat berpotensi menimbulkan masalah hukum apabila dikaitkan dengan wewenang DPD tersebut, yakni:
-
1. Pasal 245 UU Pemda, yaitu pasal yang memuat mengenai wewenang Gubernur dan Mendagri dalam mengevaluasi Raperda;
-
2. Pasal 31 UU MA, yaitu Pasal yang memuat mengenai wewenang MA dalam pengujian Per-UUan dibawah UU terhadap UU;
-
3. Pasal 15 dan 16 UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disingkat UU Desa), yaitu Pasal yang memuat mengenai wewenang Gubernur dalam melakukan evaluasi dan persetujuan terhadap Raperda.
Selain itu, dari segi teknis, wewenang DPD tersebut juga dapat berpotensi menimbulkan kebingungan oleh Penyelenggara Pemerintahan Daerah dalam hal ini Gubernur, Walikota, Bupati, maupun DPRD dalam membentuk Perda, karena sejatinya pengaturan mengenai prosedur pembentukan Perda baik tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota telah diatur pada UU Pemda dan juga pada Permendagri 120/2018. Kebingungan yang dimaksud penulis disini adalah kebingungan penyelenggara Pemerintahan Daerah apabila hasil evaluasi serta pemantauan Perda maupun Raperda dari DPD bebeda dengan hasil evaluasi dari Gubernur maupun Mendagri, hasil evaluasi yang mana yang harus diikuti? karena selama ini, evaluator dari Raperda dan Perda yang penulis ketahui yaitu Mendagri dan Gubernur.
Selain hal sebagaimana yang penulis uraikan diatas, pengaturan pengawasan Perda oleh DPD ini juga dapat menimbulkan problem konstitusionalitas, problem konstitusionalitas yang dimaksud adalah bertentangan dengan UUD 1945, tidak hanya terkait dengan apa yang tersurat, namun juga yang tersirat. Secara garis besar, potensi problem konstitusionalitas terkait kewenangan evaluasi serta pemantauan Raperda maupun Perda oleh DPD , yakni:
-
1. Tidak sesuai dengan original intent atau pembentukan pembentukan DPD sebagai penyalur keanekaragaman aspirasi daerah, yang para pembentuk UUD 1945 salurkan saat rapat dibentuknya DPD.
-
2. Tidak sesuai dengan Pasal 22 D UUD 1945, yakni terkait makna dari wewenang DPD RI itu sendiri dalam konstitusi yang sejatinya merupakan lembaga pembentuk dan pengawasan UU, bukanlah Raperda dan Perda.
-
3. Bertentangan dengan pasal 24 A ayat (1) UUD 1945, terkait wewenang pengujian Per-UUan dibawah UU oleh MA.
-
4. Tidak sejalan terhadap prinsip otonomi daerah yang tertulis dalam Pasal 18 UUD 1945 dalam artian bahwa wewenang DPD dalam evaluasi serta pemantauan Perda maupun Raperda berpotensi menciderai kemandirian daerah dalam membentuk peraturan.
Wewenang evaluasi serta pemantauan Perda maupun Raperda yang dimiliki DPD menurut penulis merupakan wewenang yang terkesan dipaksakan dalam pembuatannya. Hal tersebut mengingat bahwa kewenangan DPD ini tidak terdapat
pada Naskah Akademik UU 2/2018. Dalam Naskah Akademik, secara garis besar, jangkauan dan pengaturan mengenai UU 2/2018 diarahkan untuk mengatur dan melakukan perubahan pengaturan terhadap kepemimpinan MPR dan DPR yng lebih porposional dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan presidensial yang lebih efektif. Namun, dalam risalah resmi rapat paripurna DPR ke-17 (Senin, 12 Februari 2018), wewenang DPD dalam evaluasi serta pemantauan Perda maupun Raperda ditambahkan, dan kemudian disahkan dalam UU 2/2018. dan baru
dicetuskan pada saat rapat pembahasan. Jadi menurut penulis, belum ada pengkajian yang lebih mendalam dalam membentuk wewenang baru ini, sehingga sulit untuk diterapkan. Menurut penulis, bahwa apabila para pemangku pembentuk UU menginginkan DPD menjadi lembaga yang berwibawa, sebaiknya perlu dilakukan pengkajian dan pemikiran lebih mendalam dalam membentuk wewenang baru dalam DPD, agar tidak terkesan wewenang baru DPD pada UU 2/2018 hanya sebagai penghibur bagi DPD yang kita ketahui bersama merupakan lembaga yang wewenangnya cukup lemah dibandingkan dengan lembaga legislatif lainnya, yaitu DPR.
Berdasarkan analisis dan pemaparan penulis diatas, dapat penulis rangkum bahwa implikasi pengaturan pengawasan Perda oleh DPD sebagaimana tertulis pada Pasal 249 ayat (1) huruf j. UU 2/2018, yakni:
-
1. Menimbulkan ketidakpastian hukum karena pengaturannya yang tidak jelas;
-
2. Menimbulkan masalah hukum apabila dikaitkan dengan Pasal 31 UU MA, Pasal 245 UU Pemda, Pasal 15 dan 16 UU Desa; dan
-
3. Menimbulkan problem konstitusionalitas.
-
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas, adapun kesimpulan dalam artikel ini yaitu DPD mempunyai kewenangan konstitusional dan kewenangan dalam UU. Ketentuan kewenangan konstitusional DPD diatur pada Pasal 22 D ayat (1), (2), serta (3) UUD 1945, selanjutnya pengaturan kewenangan DPD dijabarkan pada Pasal 249 ayat (1) UU 2/2018. Wewenang DPD dalam melakukan pengawasan terhadap Perda maupun Raperda yang tertulis pada UU 2/2018, menimbulkan ketidakjelasan termasuk klasifikasi model pengawasan yang mana karena wewenang DPD tersebut tidak menimbulkan akibat hukum baik melakukan pengesahan (menolak/tidak menolak) Raperda, maupun melakukan pembatalan terhadap Perda, sehingga penulis beranggapan bahwa pengaturan pengawasan oleh DPD RI tersebut tidak mencerminkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena norma yang tidak jelas dan multitafsir. Implikasi pengaturan pengawasan Perda oleh DPD sebagaimana tertuang pada padal 249 ayat (1) huruf j UU 2/2018, yakni: menimbulkan ketidakpastian hukum karena pengaturannya yang tidak jelas; menimbulkan masalah hukum apabila dikaitkan dengan Pasal 31 UU MA, Pasal 245 UU Pemda, Pasal 15 dan 16 UU Desa; serta menimbulkan problem konstitusionalitas.
Daftar Pustaka
Buku
Amirudin dan Asikin, Z. (2012). Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Manan, B. (2001). Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi Hukum (PSH), Fakultas Hukum UII.
Sekretariat Jenderal MPR RI. (2012). Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
Jurnal Ilmiah
Akbarrudin, A. (2013). Pelaksanaan Fungsi Legislasi DPR RI dan DPD RI Pasca Amandemen UUD 1945. Pandecta: Research Law Journal, 8(1). DOI: https://doi.org/10.15294/pandecta.v8i1.2352
Manan, F. (2015). Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia. CosmoGov: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 1(1), 48-61. DOI: https://doi.org/10.24198/cosmogov.v1i1.11860
Nirahua, S.E. (2011). Kedudukan dan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Ius Quia Iustum Law Journal, 18(4), pp.585603., URL: https://doi.org/10.20885/iustum.vol18.iss4.art6
Putuhena, M.I.F. (2013). Politik Hukum Perundang-undangan: Mempertegas
Reformasi Legislasi yang Progresif. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 2(3), pp.375-395, URL:
http://rechtsvinding.bphn.go.id/ejournal/index.php/jrv/article/view/66
Rahayu, D. P. (2015). Pengawasan Preventif Sebagai Kontrol Pusat Terhadap Daerah Di Era Reformasi. Padjadjaran Journal of Law, 2(3), 444-462. DOI:
https://doi.org/10.22304/pjih.v2n3.a2
Setiawati, N. K. R. S., & Aryani, N. M. (2011). Kewenangan DPD Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Kertha
Negara. URL:
https://ojs.unud.ac.id/index.php/Kerthanegara/article/view/8067
Setiyaningsih, Y., Utomo, S. and Harsasto, P. (2017) Analisis Kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Journal of Politic and Government Studies, 6(2), pp.31-40. URL:
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jpgs/article/view/15862
Winata, M. R., Putri, M. C., & Aditya, Z. F. (2018). Legal Historis Kewenangan Pengujian Dan Pembatalan Peraturan Daerah Serta Implikasinya Terhadap Kemudahan Berusaha. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 7(3), 335-352, URL:
https://rechtsvinding.bphn.go.id/ejournal/index.php/jrv/article/view/266
Yanti, H. (2017). Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat Dalam Melaksanakan Pembinaan Dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Berdasarkan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004. Jurnal Lex Specialis, (16), 74-84., URL:
http://jih.unbari.ac.id/index.php/LEX_SPECIALIST/article/view/71
Disertasi
Astariyani, N.L.G. (2018). Delegasi Pengaturan Kepada Peraturan Gubernur Menjamin Kemnafaatan dan Keadilan. Disertasi. Denpasar: Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Udayana.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3 ; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7 ; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58 ; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29 ; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6137).
548
Discussion and feedback