Analisis Terhadap Kendala Perlindungan Konsumen oleh Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Terhadap Sertifikasi Label Halal Produk


Sailendra Wangsa1, Sri Walny Rahayu2, M. Jafar3


1Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, E-mail: salendrawangsa@gmail.com 2Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, E-mail: ayoe_armans@unsyiah.ac.id 3Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, E-mail: mjafar@unsyiah.ac.id


Info Artikel

Masuk: 25 Maret 2019

Diterima: 8 Agustus 2019

Terbit: 31 Desember 2019


Keywords:

Halal Labels; Ulama Consultative

Assembly; Halal Products;

Consumer Protection; Halal

Certification


Kata kunci:

Label Halal; Majelis

Permusyawaratan Ulama; Produk Halal; Perlindungan Konsumen;

Sertifikasi Halal


Corresponding Author:

Sailendra Wangsa, E-mail: salendrawangsa@gmail.com


DOI:

10.24843/JMHU.2019.v08.i04.p04


Abstract

Aceh as a Province that implements Islamic Sharia is required so that every product circulating to be certified halal before being consumed by the public. The task was given to the Aceh Ulama Consultative Assembly through the Institute for the Assessment of Food, Medicine and Cosmetics Aceh Ulama Consultative Assembly (LPPOM MPU) Aceh. In fact in 2017 the discovery of the same noodle products traded in the city of Banda Aceh and not halal certified. This study discusses to explain and analyze the causes of ineffective consumer protection by the Aceh Ulama Consultative Assembly on Samyang Noodle Product Halal Certification Certification. This research is an empirical juridical legal research using a legal sociology approach and a qualitative analysis approach using an inductive mindset. Based on the results of research that prove the obstacles-which cause less effective  consumer  protection by the Aceh Ulama

Consultative Assembly on the certification of halal labels for Samyang noodles are that the Aceh Government has not issued a Governor Regulation which is a derivative of Qanun Number 8 of 2016 concerning the Halal Product Guarantee System. And the socialization of the Qanun has not been communicated to the wider community and business people Abstrak

Aceh sebagai Provinsi yang melaksanakan syariat Islam diwajibkan agar setiap produk yang beredar untuk disertifikasi halal sebelum dikonsumsi oleh masyarakat. Tugas tersebut diberikan kepada Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh melalui LPPOM MPU Aceh.. Kenyataanya pada tahun 2017 ditemukannya produk mie samyang yang diperdagangkan di Kota Banda Aceh serta tidak bersertifikasi halal. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis hambatan yang menyebabkan kurang efektifnya perlindungan konsumen oleh Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Terhadap Sertifikasi Label Halal Produk mie Samyang. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis empiris dengan menggunakan pendekatan sosiologi hukum dan pendekatan analisis secara kualitatif menggunakan kerangka pikir induktif. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa hambatan-hambatan yang menyebabkan


kurang efektifnya perlindungan konsumen oleh Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh terhadap sertifikasi label halal produk mie Samyang yaitu, Pemerintah Aceh belum mengeluarkan Peraturan Gubernur yang merupakan turunan dari Qanun Nomor 8 Tahun 2016 tentang Sistem Jaminan Produk Halal. Dan belum tersosialisasinya Qanun tersebut kepada masyarakat luas dan para pelaku usaha.

  • 1.    Pendahuluan

Dalam tata hukum positif Indonesia, pengertian “konsumen” yang merupakan pengertian hukum tertulis dapat jumpai dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).1 Berbagai kerugian yang terjadi pada konsumen di Indonesia tidaklah jarang terjadi selama beberapa tahun belakangan ini, hal yang terjadi adalah sejumlah peristiwa penting yang menyangkut keamanan dan keselamatan konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa.2 Dalam upaya pemenuhan kehidupan manusia, terbentuk suatu ikatan yang saling bertalian antara penyuplai kebutuhan dengan pemakai kebutuhan. Keterkaitan tersebut diantaranya yaitu hubungan antara konsumen dengan produsen dalam aktivitas jual beli atau mekanisme produksi dan konsumsi.

Dalam istilah lain, produsen sering juga disebut dengan sebagai pelaku usaha yang mana dalam kegiatan usahanya memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari besar modal yang dimiliki. Dewasa ini konsumen juga sering disebut dengan istilah pemakai barang tau jasa yang diproduksi oleh pelaku usaha, dengan cara menyerahkan sejumlah uang untuk mendapatkan produk tersebut. Produsen merupakan pihak yang memproduksi barang atau jasa yang diantaranya baik itu berwujud maupun tidak berwujud, yang mana merupakan berupa barang atau jasa yang dapat mengakibatkan terjalinnya hubungan atau kepentingan diantara produsen dan konsumen maupun sebaliknya.

Hal yang dibuktikan secara langsung melalui penelitian yang dilakukan oleh Tri Susanto, yang diterbitkan pada Buletin Canopy yang dipublikasi oleh Ikatan Mahasiswa Peternakan Universitas Brawijaya Malang pada tahun 1989, ditemukan fakta bahwa dalam produk susu, makanan ringan dan makanan lainnya, yang mana bahwasanya produk-produk tersebut mengandung gelatin, shortening dan lechitin serta lemak yang bersumber dari babi.3

Pemakaian teknologi yang makin baik, di satu sisi memungkinkan produsen mampu membuat produk beraneka macam jenis, bentuk, kegunaan, maupun kualitasnya. Sehingga pemenuhan kebutuhan konsumen dapat terpenuhi lebih luas, lengkap, cepat, dan menjangkau bagian terbesar lapisan masyarakat. Akan tetapi, di sisi lain penggunaan teknologi memungkinkan dihasilkannya produk yang tidak sesuai

dengan persyaratan keamanan dam keselamatan pemakai sehingga menimbulkan kerugian kepada konsumen.4

Berkaitan dengan agar tercapainya kualitas mutu dan sertifikasi sebaik mungkin dalam pemanfaatan teknologi modern seperti yang telah diuraikan, sehingga pemerintah harus lebih berkontribusi, menyesuaikan dan mengecek pelaksanaan regulasi yang ada.5 Campur tangan pemerintah terhadap pembinaan pelaksanaan perlindungan konsumen yang di dasarkan pada kepentingan yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945, dimana keterlibatan negara dimaksudkan untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyat.6

Diantara berbagai cara yang dilakukan untuk menjadikan negara kesejahteraan (welfare staat) yang merupakan cerminan dari negara hukum yaitu dengan cara melihat berbagai kepentingan masyarakat Republik Indonesia, dimana mempunyai berbagai karakteristik perbedaan terhadap bangsa lain. Dalam kehidupan sehari-hari, dogma Islam sangat berpengaruh di Negara Indonesia yang dimanifestasikan masyarakat dalam keseharian, serta tidak mengenyampingkan terhadap berbagai kepentingan masyarakat non muslim.7

Setiap agama pada hakikatnya memiliki ketentuan khusus yang mengatur tentang makanan, begitu juga khususnya dengan agama islam.8 Satu diantara bagian dari kehidupan di terdapat dalam aturan dan nilai-nilai Islam, yaitu dengan diimplementasikannya Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan produk halal (UU JPH). Meskipun Undang-Undang tersebut sudah diimplementasikan namun belum sepenuhnya memberikan perlindungan secara hukum kepada konsumen muslim dari produk yang halal. Hal tersebut diakibatkan oleh aturan hukum tersebut belum bisa diterapkan secara efektif, sehingga butuh waktu selama 5 tahun sejak awal pengesahan yaitu pada tahun 2014. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 66 UU JPH yang menyebutkan, Undang-Undang yang telah awal berlaku sebelum berlakunya Undang-Undang ini maka akan tetap diberlakukan selama tidak bertentangan dengan UU JPH.

Undang-Undang tersebut dimaksudkan sebagai landasan hukum serta batu pijakan dengan tujuan untuk memberikan proteksi kepada konsumen muslim, akibat ketidakjelasan saat menggunakan berbagai produk yang dapat berupa barang atau jasa yang berdasarkan ketentuan dalam hukum Islam.9 Sebagai gambaran, pada tahun 2013 lalu Indonesia mengimpor daging sapi yang berasal dari negara tetangga yaitu Australia dan Selandia Baru. Selain dari pada itu, juga diimpor makanan olahan

seperti yogurt, cokelat, makanan ringan dan lain-lain yang mana sebagai pemasok barang-barang itu semua didominasi oleh Nestle, Unilever, Carrefour, dan sebagainya.10

Pemerintah sudah melakukan tindakan positif terhadap pentingnya sertifikasi halal yang dituangkan melalui beberapa instrumen hukum. 11 Provinsi Aceh sebagai daerah yang menjalankan syariat Islam, dimana memiliki Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh yang berperan sangat penting dalam menjamin halalnya setiap produk yang berada di Provinsi Aceh, sebagai suatu lembaga MPU Aceh diatur dalam Qanun khusus yang memuat fungsi dan tugas serta wewenang dalam menjalankan perannya.

Keberadaan LPPOM MPU Aceh yaitu sebagai badan yang bersifat mandiri yang diberikan tugas khusus, dalam hal keselamatan produk makanan bagi umat Islam dari ancaman zat-zat berbahaya. Secara susunan kelembagaan, kedudukan lembaga ini telah dibentuk pada tingkat pusat yaitu LPPOM MUI (Majelis Ulama Indonesia) ataupun pada tingkat daerah, yang mana di Provinsi Aceh disebut LPPOM MPU Aceh. Adanya kendala yang dialami dalam hal proses mewujudkan proses sertifikasi halal secara menyeluruh, yaitu dibutuhkan adanya para ahli dan bantuan laboratorium yang berguna untuk melakukan proses hukum.

Oleh sebab itu berdampak pada kedudukan LPPOM MPU Aceh yang hanya ada pada tingkat provinsi saja. Melalui LPPOM MPU Aceh, MPU Aceh memiliki tugas khusus yaitu melabelisasi dan mengawasi kehalalan produk yang dijual kepada masyarakat oleh pelaku usaha. Tupoksi LPPOM MPU Aceh melakukan pengkajian dan pemeriksaan dari tinjauan sains terhadap produk yang akan disertifikasi12 sangat didukung, dimana Pemerintah Aceh telah membuat aturan yaitu Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2016 tentang Sistem Jaminan Produk Halal yang menyatakan tugas dari LPPOM MPU Aceh.

Dalam Pasal 12 Qanun tentang Sistem Jaminan Produk Halal. Dijabarkan berbagai tugas dari LPPOM MPU Aceh yang menyangkut masalah melakukan tahapan registrasi, sertifikasi dan pemberian label halal terhadap produk yang sudah memenuhi kriteria, melaksanakan pelatihan terhadap pelaku usaha dalam rangka mengembangkan penyelenggaraan sistem jaminan produk halal, sosialisasi dalam rangka upaya penyadaran terhadap pentingnya produk halal kepada konsumen dan pelaku usaha, upaya pembinaan kepada golongan masyarakat dan pelaku usaha terhadap pelaksanaan jaminan produk halal, menstimulasi lembaga maupun instansi lain untuk juga dapat berperan dalam menggiatkan penggunaan produk halal serta membangun sistem jaringan teknologi informasi yang berbasiskan informasi produk halal yang mudah dan akurat sehingga dapat diakses oleh masyarakat luas.

Berkenaan dengan kinerja dan efektivitas penegakan dan pelaksanaan hukum perlindungan konsumen tentu berpengaruh oleh konfigurasi yang melahirkannya, karena UUPK merupakan produk politik yang membawa pada perubahan pelaksanaan perlindungan konsumen.13 Banyaknya pangan yang tersebar di masyarakat tanpa mengindahkan ketentuan tentang pencantuman label halal dinilai sudah meresahkan.14

Dalam praktiknya, kehadiran LPPOM MPU Aceh bahwasanya belum memberikan kepastian akan kenyamanan dalam hal mengkonsumsi produk makanan untuk masyarakat Aceh, khususnya Kota Banda Aceh di bidang pengawasan terhadap proses pembuatan produk makanan. Hal tersebut disebabkan oleh beredarnya produk mie instan impor yang diperjualbelikan di Provinsi Aceh serta mengandung unsur haram berupa DNA babi, produk tersebut bernama mie samyang. Saat diteliti petugas, pada kemasan mie samyang sama sekali tidak terdapat label halal yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kecuali hanya terdapat tulisan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia.15

Dalam hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Faiyadh Musaddaq, menyatakan bahwa LPPOM MPU Aceh telah melaksanakan berbagai macam bentuk sosialisasi untuk mendorong pelaku usaha agar memiliki sertifikasi halal, seperti yang telah dijelaskan oleh sekretaris LPPOM bahwa pihaknya telah melaksanakan penyuluhan tentang sertifikasi halal ke beberapa daerah di provinsi Aceh. Tetapi, tugas dan langkah-langkah sebagaimana yang sudah dilakukan masih belum menunjukkan hasil maksimal atau dengan kata lain belum menyebar ke seluruh daerah-daerah yang ada di Aceh.

Bahkan, untuk wilayah yang menjadi objek penelitian yaitu Kota Banda Aceh yang merupakan pusat Kota dan sudah pasti tidak jauh dari kantor MPU Aceh masih saja belum seluruhnya teratasi. Hal ini terbukti dari 4 responden yang peneliti wawancarai namun hanya 1 responden yang memiliki sertifikasi halal pada produknya. Ini disebabkan karena sebagian besar pelaku usaha tidak mengerti tentang maksud dan manfaat sertifikasi halal bagi usahanya, hambatan-hambatan yang dihadapi oleh MPU Aceh dalam mendorong pelaku usaha agar memiliki sertifikasi halal pada produknya diantaranya pola pikir dan sikap pelaku pasar di Aceh baik itu produsen maupun konsumen yang sangat apatis dan apriori terhadap dengan labelisasi halal pada produk apapun yang mereka konsumsi.16

Menurut ketentuan yang berlaku, sertifikat halal merupakan syarat untuk mencantumkan label halal yang merupakan kewenangan dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI)

berdasarkan SK Kep-018/MUI/1989 tanggal 6 Januari 1989.17 Berdasarkan konsep halal memiliki segi-segi yang bersifat universal, misalnya mengenai aspek kesehatan, keamanan, dan kualitas pangan, dimana semua hal itu sangat diperlukan bagi konsumen, melainkan tidak hanya bagi kaum muslim tetapi juga seluruh umat manusia secara menyeluruh.18

Berdasarkan peristiwa serta fakta hukum yang terjadi, membuat serta menarik minat untuk mengkaji lebih lanjut terhadap faktor-faktor yang melatarbelakangi beredarnya produk mie samyang yang mengandung unsur haram, Lebih dari itu untuk menemukan titik permasalahan yang mendasari terhadap tanggung jawab LPPOM MPU Aceh yang dalam hal ini sebagai instansi resmi Pemerintah Aceh, yang memiliki kewenangan untuk mengontrol setiap produk yang beredar di Provinsi Aceh khususnya Kota banda aceh, agar sesuai dengan aturan hokum yang berlaku.

  • 2.    Metode Penelitian.

Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis empiris dengan menggunakan pendekatan sosiologi hukum dan pendekatan analisis secara kualitatif.19 Sumber data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, yang diperoleh dari penelitian lapangan dengan menggunakan kerangka pikir induktif, selain penggunaan data sekunder atau kepustakaan. Data primer dilakukan dengan cara wawancara mendalam dengan responden dan informan untuk mengetahui, mendapatkan penjelasan konkrit terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian, data sekunder dilakukan terhadap data dan bahan non hukum yang dapat berupa laporan penelitian dan jurnal-jurnal non hukum sepanjang mempunyai hubungan dengan topik penulisan dan sudah teruji secara ilmiah.20 Analisis data dalam penelitian ini menggunakan sifat analisis preskriptif untuk memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang telah dilakukan.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan.

    • 3.1    Hambatan Yang Menyebabkan Kurang Efektifnya Perlindungan Konsumen Oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Terhadap Sertifikasi Label Halal Produk Mie Samyang.

Sistem jaminan produk halal diharapkan dapat menjadi standar baru dalam bidang produksi produk makanan maupun minuman bagi pelaku usaha, selain itu. Pemerintah dalam hal ini terus menggiatkan pelaksanaan sertifikasi halal agar terwujudnya kehidupan yang lebih Islami di Provinsi Aceh. Melalui LPPOM MPU Aceh pemerintah terus memastikan agar pelaku usaha terus menyediakan produk

yang melalui proses sertifikasi halal, hal ini bertujuan untuk memastikan adanya proteksi terhadap keamanan, serta adanya perlindungan hukum yang diberikan untuk masyarakat pada saat mengkonsumsi dan memakai produk yang sudah terjamin halal serta higienis, demi terwujudnya kesehatan jasmani dan rohani.

Berkenaan dengan tentang pengawasan dan penataan produk, merupakan kewenangan dari Pemerintah Aceh sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2016, yang menyebutkan bahwa “Pemerintah Aceh bertanggung jawab dalam penataan dan pengawasan sistem jaminan produk halal”. Namun, kewenangan tersebut dilimpahkan oleh Pemerintah Aceh Kepada LPPOM MPU Aceh seperti yang dimuat dalam Pasal 10 Qanun sistem jaminan produk halal, yang menyatakan bahwa pengaturan dan pengawasan terhadap produk halal sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 5 dilaksanakan oleh LPPOM MPU Aceh, yang merupakan badan khusus dari MPU Aceh yang bersifat permanen.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Sekretaris LPPOM MPU Aceh, mengatakan bahwa MPU Aceh memiliki lembaga yang berwenang untuk mensertifikasi halal produk yang masuk ke Banda Aceh, dimana kewenangan tersebut diberikan kepada LPPOM MPU Aceh, sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Qanun sistem jaminan produk halal, yang mana tugas dan kewenangan LPPOM MPU Aceh tercantum dalam Pasal 12, 13 dan 14 Qanun sistem jaminan produk halal.21

LPPOM MPU Aceh mengatakan bahwa, ketidakefektifan perlindungan konsumen tersebut disebabkan permasalahan terhadap regulasi dan sarana serta prasarana yang sangat mendasar serta menyeluruh. Maka dari itu, dibutuhkan mekanisme kontrol yang baik serta akurat dimulai sejak proses awal produksi sampai produk tersebut dikonsumsi oleh masyarakat luas. LPPOM MPU Aceh dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya, sebagai lembaga yang bertindak untuk mensertifikasi label halal produk yang masuk ke Provinsi Aceh belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, dimana adanya hambatan yang menjadi penyebab belum efektifnya perlindungan konsumen oleh MPU Aceh terhadap sertifikasi label halal produk mie samyang diantaranya :

  • 3.1.1    Belum Adanya Regulasi (Peraturan Gubernur) Terhadap Pembentukan Tim Terpadu.

Pemerintah Aceh telah membentuk aturan hukum yang dapat melindungi masyarakat dari produk-produk yang tidak halal, yaitu melalui Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2016 tentang Sistem Jaminan Produk Halal, dimana pada Qanun itu telah memberikan kewenangan kepada LPPOM MPU Aceh untuk melakukan pengawasan serta tindakan yang dapat dilakukan bilamana terdapat produk yang masuk ke Kota Banda Aceh tidak bersertifikasi halal. LPPOM MPU Aceh belum memiliki regulasi/aturan untuk melakukan pengawasan dan penindakan terhadap produk yang tidak bersertifikasi halal.

Dalam Pasal 10 ayat (2) Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2016 tentang Sistem Jaminan Produk Halal, dimana “LPPOM MPU Aceh dapat melakukan penataan, pengawasan setiap saat secara terencana dan sistematis”. Selanjutnya dalam ayat (3) dijelaskan

bahwa “LPPOM MPU Aceh dalam melakukan penataan dan pengawasan dapat melibatkan tim terpadu sebagaimana diatur dalam ayat (4) yang diantaranya melibatkan Satuan Kerja Pemerintah Aceh yang diantaranya unsur dinas yang menyangkut masalah makanan seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Pertanian, Dinas Kesehatan serta Dinas Kelautan Dan Perikanan, BPOM.

Selain itu, dapat melibatkan unsur dinas yang menaungi masalah syariat islam yaitu Dinas Syariat Islam, Satpol PP dan Wilayatul Hisbah (WH), Kantor Wilayah Kementerian Agama Aceh. Selanjutnya dapat mengikusertakan aparat penegak hukum yang terdiri dari Kejaksaan Tinggi Aceh, Kepolisian Daerah Aceh dan Kanwil Kemenkumham Aceh. Tim terpadu tersebut dapat dikatakan sebagai mitra kerja dari LPPOM MPU Aceh, dalam melakukan penataan dan pengawasan produk yang tidak bersertifikasi halal. Selain itu, tim terpadu tersebut seperti yang dijelaskan dalam Pasal 10 ayat (6) dalam melaksanakan tugasnya dapat melibatkan lembaga pemerintah maupun non pemerintah.

Tim terpadu pada LPPOM MPU Aceh yang bertugas untuk melaksanakan penataan dan pengawasan tidak pernah terbentuk hingga saat ini melalui Peraturan Gubernur, sehingga LPPOM MPU Aceh belum bisa bekerja secara maksimal untuk melindungi konsumen di Kota Banda Aceh. Masalah yang dihadapi oleh LPPOM MPU Aceh dalam hal pengawasan dan penataan produk, sebagai upaya perlindungan konsumen yaitu belum diaturnya tupoksi yang terkait hal-hal yang menyangkut kewenangan, tugas dan fungsi serta keanggotaan tim terpadu yang bertugas untuk melaksanakan pengawasan dan penataan.

Ketentuan mengenai itu semua seharusnya diatur melalui Peraturan Gubernur sebagaimana bunyi Pasal 10 ayat (5) Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa dalam hal pengaturan tentang kewenangan, tugas dan fungsi dari tim terpadu tersebut akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Gubernur. Qanun Sistem Jaminan Produk Halal merupakan produk legislatif bersama eksekutif yang masi baru, sehingga masih perlu sosialisasi untuk dapat berlaku secara efektif, begitu juga dengan tim-tim pengawas yang harus dibentuk berdasarkan amanat dari Qanun tersebut.

Selama ini, untuk hal pengawasan semua dilakukan oleh dinas terkait seperti Disperindag Aceh atau BPOM Aceh, LPPOM MPU Aceh hanya bertugas untuk mensertifikasi halal produk. Sejak Qanun tersebut disahkan pada tahun 2016 hingga sekarang, LPPOM MPU Aceh telah meminta agar dikeluarkan aturan turunan dari Qanun tersebut yang berupa Peraturan Gubernur. Sehingga LPPOM MPU Aceh dapat melaksanakan tugas, fungsi serta wewenangnya dalam hal penataan dan pengawasan produk yang tidak bersertifikasi halal, akan tetapi dari pihak Pemerintah Aceh belum menerbitkan Peraturan Gubernur tersebut.22

  • 3.1.2    Kurangnya Sosialisasi Terhadap Qanun Sistem Jaminan Produk Halal.

Qanun tersebut merupakan produk hukum yang masih baru keberadaannya, sejak awal diundangkan dalam Lembaran Daerah Provinsi Aceh sejak Desember 2016 yang lalu. Sehingga agar semua orang dapat mengetahui dan menerapkan segala yang diatur dalam Qanun tersebut, sehingga memerlukan waktu dan sosialisasi oleh

Pemerintah Aceh melalui LPPOM MPU Aceh. Menyangkut tentang sistem jaminan produk halal, LPPOM MPU Aceh merupakan perpanjangan tangan dari Pemerintah Aceh untuk mensosialisasikan segala hal yang berkenaan dengan produk halal sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 12 huruf (c) Qanun Sistem Jaminan Produk Halal, yang menyatakan “LPPOM MPU Aceh bertugas melaksanakan penyuluhan dan pemberitahuan terhadap produk halal kepada masyarakat dan pelaku usaha”.

Selain itu, LPPOM MPU Aceh dihadapkan pada belum tersosialisasi Qanun tersebut kepada masyarakat luas dan para pelaku usaha, sehingga banyak yang belum mengetahui tentang adanya Qanun tersebut. Selama ini masih banyak pelaku usaha khususnya industri kecil yang belum mengetahui dan mengerti tentang isi dan tujuan Qanun tersebut. Sekretaris LPPOM MPU Aceh mengatakan bahwa belum disosialisasikan Qanun tersebut, menjadikan proses sertifikasi halal sebagai suatu hal yang bersifat “sukarela”. Sehingga bagi yang menginginkan produknya disertifikasi halal dapat mengajukan ke LPPOM MPU Aceh, melainkan bukan menjadi hal yang merupakan kesadaran bagi pelaku usaha agar mendaftarkan produk untuk disertifikasi halal.23

Berdasarkan rumusan sejumlah regulasi tersebut, jelas sekali bahwa kewenangan LPPOM MPU Aceh dalam melaksanakan sertifikasi halal, sejatinya adalah menjalankan kewenangan Pemerintah Aceh untuk penyelenggaraan sistem jaminan produk halal, dimana kewenangan tersebut sesungguhnya melekat pada Pemerintah Aceh. Dalam perspektif hukum, pelimpahan kewenangan dengan model seperti ini disebut dengan mandat, dimana wewenang tetap berada di tangan Pemerintah Aceh (mandans), sedangkan LPPOM MPU Aceh (mandataris) hanya melaksanakan secara atas nama saja, dan tanggung jawab tetap di tangan Pemerintah Aceh.

Dalam kasus yang terjadi dimana PT.Koin Bumi sebagai pihak yang melakukan pelanggaran sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, tidak ada sanksi dalam bentuk ganti kerugian kepada konsumen yang terapkan. Dimana sudah selayaknya konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha mendapatkan ganti kerugian dari produk yang tidak bersertifikasi halal sebagai berikut :

Tabel 1.1. Nama–Nama Produk Mie Samyang Yang Mengandung Unsur Haram.

No

Nama Dagang

Nama Produk

Nomor Pendaftaran BPOM RI

Importir

1

Samyang

Mi Instan U-Dong

ML 231509497014

PT. Koin Bumi

2

Nongshim

Mi    Instan    Shin

Ramyun Black

ML 231509052014

PT. Koin Bumi

3

Samyang

Mi   Instan   Rasa

Kimchi

ML 231509448014

PT. Koin Bumi

4

Ottogi

Mi Instan Yeul Ramen

ML 231509284014

PT. Koin Bumi

Sumber : www.pom.go.id.

Pemenuhan terhadap kerugian yang dialami oleh konsumen telah diatur dalam Pasal 19 ayat (1) UUPK, bentuk ganti kerugian bisa dalam bentuk pengembalian uang atau mengganti dengan barang dan/atau jasa yang sama nilainya, atau biaya perawatan

dan/atau pemberian dana santunan sesuai dengan aturan hukum. Menurut hukum tentang product liability konsumen yang dirugikan dan akan menuntut ganti kerugian pada prinsipnya diharuskan untuk memperlihatkan 3 (tiga) hal, diantaranya produk dalam keadaan cacat pada saat diterima dari produsen, cacatnya produk tersebut dapat mengakibatkan kerugian materil atau inmateril, adanya kerugian yang dapat diperlihatkan.

Selanjutnya dalam Pasal 19 ayat (3) UUPK menjelaskan bahwa ganti kerugian dilakukan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari terhitung setelah tanggal transaksi. Mengenai ketentuan yang diatur dalam ayat (1) dan (2), tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat menunjukkan bahwa kesalahan itu adalah kesalahan konsumen seperti yang diatur pada ayat (5).

Kelemahan juga terdapat pada Pasal 19 ayat (3) UUPK, bilamana ketentuan pada Pasal ini tetap digunakan sebagai landasan ganti kerugian, maka konsumen yang mengkonsumsi barang pada hari ke 8 (delapan) setelah membeli barang dari pelaku usaha maka tidak akan mendapatkan kompensasi berupa ganti kerugian dari pelaku usaha, walaupun secara tegas dan jelas konsumen tersebut telah mengalami kerugian.

UUPK juga secara tegas memuat prinsip ganti kerugian subjektif terbatas dan prinsip tanggung gugat berdasarkan kesalahan dengan pembuktian terbalik, namun demikian, UUPK masih memiliki kekurangan-kekurangan, karena mengatur ketentuan yang secara prinsipil bersifat kontradiktif, yaitu di satu pihak menutup kemungkinan bagi produsen untuk mengalihkan tanggung gugatnya kepada konsumen, akan tetapi di pihak lain tetap memungkinkan untuk diperjanjikan batas waktu pertanggunggugatan.

Penulis berpendapat meskipun UUPK masih terdapat kekurangan, namun secara umum semakin membebani produsen untuk bertanggung gugat terhadap kerugian yang dialami oleh konsumen, sehingga untuk mengantisipasi kemungkinan tanggung gugatnya kepada konsumen, produsen juga dapat melakukan perjanjian asuransi dengan perusahaan asuransi tertentu. Namun, dalam prakteknya tidak semua risiko yang ditanggung oleh pihak produsen dapat diasuransikan, dan perusahaan asuransi ragu-ragu atau tidak mampu mengasuransikan risiko tanggung jawab produk. Karena beberapa karakteristik khusus dari risiko tanggung jawab produk yang memberatkan perusahaan asuransi, yaitu bersifat jangka panjang (long tail risk), sulit diprediksi (unpredictable), bahkan tak ada batas akhir (open ended).

UUPK sejatinya diharapkan dapat menjadi pelindung bagi konsumen yang memuat aturan-aturan hukum tentang perlindungan konsumen yang berupa payung bagi Perundang-Undangan lainnya yang menyangkut konsumen, sekaligus mengintegrasikan Perundang-Undangan itu sehingga memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen. Oleh karena itu, agar UUPK dapat memberikan proteksi secara maksimal kepada konsumen, maka seharusnya Pasal 19 ayat (3) menentukan bahwa tenggang waktu pemberian ganti rugi kepada konsumen adalah 7 (tujuh) hari setelah terjadi kerugian, dan bukan 7 (tujuh) hari setelah transaksi seperti yang diatur saat ini.

Menjawab kebutuhan hukum yang berkembang dalam masyarakat sudah seharusnya pemerintah untuk memenuhinya. Pemerintah sebagai regulator, berfungsi membentuk

Peraturan Perundang-Undangan sebagai alat penjamin kepastian hukum untuk mengatur, mengontrol dan mengawasi terciptanya keseimbangan kepentingan antara pelaku usaha dan konsumen. Legislatif bersama eksekutif harus berupaya optimal dalam pembaharuan hukum, bukan sebaliknya membuat Undang-Undang dilatarbelakangi oleh kepentingan politik sesaat berjangka pendek tanpa memikirkan akibat serius yang mungkin ditimbulkan di masa yang akan datang.

Hal ini dimaksudkan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan sosial berupa keadilan sosial bagi seluruh rakyat, dengan mewujudkan kebebasan untuk memenuhi masing-masing kebutuhan dengan keteraturan dari adanya kepastian hukum, yang memberikan apa yang menjadi hak dengan tidak mengurangi hak yang lain dari pelaku usaha dan konsumen. Memaknai akan pentingnya perlindungan konsumen secara tidak langsung telah menciptakan pola berbagai aspek antara satu dan lainnya yang mana memiliki hubungan dan saling mempengaruhi antara konsumen, pengusaha dan pemerintah.

Menurut isi UUPK yang termuat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 tentang asas dan tujuan dari perlindungan konsumen, oleh karena itu yang menjadi prinsip pemberlakuan UUPK adalah memastikan adanya proteksi hukum kepada konsumen dari kegiatan-kegiatan pelaku usaha yang mencederai hak konsumen. Dalam paragraf kesembilan penjelasan umum UUPK, dimuat dengan mengarah pada filosofi pembangunan nasional yang telah dirancang sejak awal bahwa pembangunan hukum yang menjamin adanya perlindungan terhadap konsumen, yang mana merupakan perwujudan dari membangun masyarakat Indonesia yang secara menyeluruh serta berpijak pada falsafah negara Indonesia.

Pembentukan UUPK dilandaskan pada besarnya kepentingan konsumen terhadap berang-barang konsumsi yang sepadan dengan alat pemuas kebutuhan. Perbedaan ini mengakibatkan terjadinya ketidaksesuaian posisi tawar diantara para pihak yaitu pelaku usaha dan konsumen, yang dalam realitanya konsumen berada pada posisi tawar terendah sebagai bahan aktivitas usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha demi meraih keuntungan yang banyak dengan cara mengabaikan hak konsumen.

Setiap warga negara telah dijamin terhadap adanya kepastian hukum yang termuat dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, kepastian hukum tersebut diantaranya adalah hak terhadap perlindungan, adanya pengakuan, serta adanya kepastian hukum yang adil demi terwujudnya masyarakat yang aman dan tenteram. Selain itu, dalam Pasal tersebut terdapat nilai-nilai yang mencerminkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan, sehingga apabila uraikan berdasarkan isi Pasal tersebut adalah sebagai berikut :

  • 1.    Setiap Orang Berhak.

Dalam UUPK, berdasarkan penggalan kata “setiap orang berhak”. Yang mana dalam UUPK penggalan kata tersebut dianalogikan sebagai konsumen, itu disebabkan karena yang menjadi substansi objeknya adalah dari segi pandangan konsumen.

  • 2.    Pengakuan.

Pengakuan dalam substansi UUPK adalah pengakuan atas konsumen itu sendiri, baik dalam hal hak maupun kewajibannya yang termuat dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UUPK.

  • 3.    Jaminan.

Pemberian jaminan yang diatur dalam UUPK tercantum dalam Pasal 4 huruf h UUPK diantaranya “Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya”. Berdasarkan itu pemberian ganti kerugian merupakan suatu hal yang sudah selayaknya diperoleh oleh konsumen, maka dari itu UUPK telah menjamin hak konsumen.

  • 4.    Perlindungan.

Adanya perlindungan disini dapat diterjemahkan dari pasal 4 huruf a UUPK yang berbunyi “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”. Oleh sebab itu, dari sisi konsumen mempunyai hak untuk terlindungi dalam menggunakan barang dan jasa.

  • 5.    Kepastian Hukum Yang Adil.

Hukum dapat definisikan sebagai pemisah tentang hal yang wajar atau tidaknya di lakukan, dan pembatas berguna untuk melindungi hak dan kewajiban para pihak. Bila dipelajari lebih khusus dalam pasal 4 dan Pasal 5 UUPK.

  • 6.    Perlakuan Yang Sama di Depan Hukum.

Asas negara hukum yaitu serangkaian yang merupakan satu kesatuan utuh dan tidak dapat dipisahkan karena saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Dalam UUPK, mengenai kedudukan sama di depan hukum dapat diartikan tentang keseimbangan kewenangan yang sama rata antara konsumen dan pelaku usaha. Runut pada asas dan tujuan UUPK, menempatkan asas keseimbangan yang sama rata dan sama tupoksi diantara kedua belah pihak, dengan tujuan terwujudnya perlakuan yang adil depan hukum seperti yang diharapkan oleh Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.

Berdasarkan teori kepastian hukum dari sejumlah ketentuan dan regulasi yang telah dibuat oleh Pemerintah Aceh mengenai sistem jaminan produk halal, tidak memberikan kepastian hukum yang merupakan dari tujuan dari hukum itu sendiri. kepastian hukum itu sendiri seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa. Pelaksanaan peraturan pelindungan konsumen menjadi hal penting dalam rangka memberikan kepastian hukum dengan cara pemberian hukuman, pemberian hukuman. Sudah sepantasnya menjadi keharusan apabila pelanggaran itu sudah sedemikian rupa agar tidak terulang lagi serta pihak lain tidak mengulanginya lagi.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Qanun tentang Sistem Jaminan Produk Halal tidak berjalan secara efektif sehingga hak-hak konsumen menjadi terabaikan oleh tindakan pelaku usaha yang menjual produk tidak bersertifikasi halal, seharusnya Qanun tersebut dapat berperan demi terciptanya kepastian hukum dalam perlindungan konsumen bilamana ada hak-hak konsumen yang terabaikan.

Seharusnya, Pemerintah Aceh bertanggung jawab terhadap kewenangan yang diberikan kepada MPU Aceh, karena itu merupakan kewenangan Pemerintah Aceh. Di sinilah berawal muncul terjadinya masalah koordinasi (coordination problems) antara mandan (Pemerintah Aceh) dengan mandataris (MPU Aceh). Koordinasi yang dimaksud yaitu Pemerintah Aceh selaku penanggung jawab sistem jaminan produk halal,

semestinya berkoordinasi dengan pihak MPU Aceh terhadap hal apa saja yang diperlukan dalam menyelenggarakan sistem jaminan produk halal. Ataupun sebaliknya, MPU Aceh dapat melaporkan hasil pelaksanaan sistem jaminan produk halal secara berkala. Sehingga dari dua hal tersebut dapat saling mengevaluasi.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Qanun tentang Sistem Jaminan Produk Halal tidak berjalan secara efektif sehingga hak-hak konsumen menjadi terabaikan oleh tindakan pelaku usaha yang menjual produk tidak bersertifikasi halal, seharusnya Qanun tersebut dapat berperan demi terciptanya kepastian hukum dalam perlindungan konsumen bilamana ada hak-hak konsumen yang terabaikan.

  • 4.    Kesimpulan.

Hambatan yang menyebabkan kurang efektifnya perlindungan konsumen oleh MPU Aceh terhadap sertifikasi label halal produk mie samyang diantaranya Pemerintah Aceh belum mengeluarkan Peraturan Gubernur yang merupakan turunan dari Qanun Jaminan Produk Halal, yang mana Peraturan Gubernur itu nantinya akan membentuk tim terpadu yang bertugas untuk membantu MPU dalam melaksanakan sistem jaminan produk halal. Dan belum tersosialisasikannya Qanun tersebut kepada masyarakat luas dan para pelaku usaha, sehingga banyak yang belum mengetahui tentang adanya Qanun tersebut.

Daftar Pustaka

Buku

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. (2004). Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada

Aulia Murthiah. (2018). Hukum Perlindungan Konsumen Dimensi Hukum Positif dan Ekonomi Syariah, Yogyakarta: Pustaka Baru Press

Janus Sidabalok. (2014). Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

Fajar Mukti & Yulianto Achmad. (2010) Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Shidarta. (2004). Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia

Yusuf Shofie. (2003). Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

Jurnal

Agus, P. A. (2017). Kedudukan sertifikasi halal dalam sistem hukum nasional sebagai upaya perlindungan konsumen dalam hukum Islam. AMWALUNA: Jurnal Ekonomi       dan        Keuangan        Syariah,        1(1),        150-165.

https://doi.org/10.29313/amwaluna.v1i1.2172

Burlian, P. (2014). Reformulasi Yuridis Pengaturan Produk Pangan Halal Bagi Konsumen Muslim Di Indonesia. AHKAM-Jurnal Ilmu Syariah, 14(01), 43-52.

Chairunnisyah, S. (2017). Peran Majelis Ulama Indonesia Dalam Menerbitkan Sertifikat Halal Pada Produk Makanan Dan Kosmetika. EduTech: Jurnal Ilmu Pendidikan dan Ilmu Sosial, 3(2). 149-165. https://doi.org/10.30596/et.v3i2.1251

Hakim, A. L. (2015). Dissecting the Contents of Law in Indonesia on Halal Product Assurance. Indon. L. Rev., 5, 88. http://dx.doi.org/10.15742/ilrev.v5n1.135

Hasan, K. S. (2014). Kepastian hukum sertifikasi dan labelisasi halal produk pangan. Jurnal Dinamika Hukum, 14(2), 227-238.

Hidayat, A. S., & Siradj, M. (2015). Sertifikasi halal dan sertifikasi non halal pada produk pangan industri. AHKAM:   Jurnal Ilmu   Syariah,   15(2).

http://doi.org/10.15408/ajis.v15i2.2864

Musaddaq, F. (2017). Pandangan Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Terhadap Sertifikasi Halal Produk Home Industry di Kota Banda Aceh. Journal of Islamic Business Law, 1(2).

Muslimah, S. (2012). Label Halal pada Produk Pangan Kemasan dalam Perspektif Perlindungan Konsumen Muslim. Yustisia Jurnal  Hukum,  1(2).  86-97.

https://doi.org/10.20961/yustisia.v1i2.10630

Prabowo, S., & Rahman, A. A. (2016, July). Sertifikasi halal sektor industri pengolahan hasil pertanian. In Forum Penelitian Agro Ekonomi 34(1).   57-70.

http://dx.doi.org/10.21082/fae.v34n1.2016.57-70

Sofyan Hasan, K. N. (2015). Pengawasan dan Penegakan Hukum terhadap Sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk Pangan. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 22(2).

Syafrida, S. (2016). Sertifikat Halal Pada Produk Makanan Dan Minuman Memberi Perlindungan Dan Kepastian Hukum Hak-Hak Konsumen Muslim. ADIL: Jurnal Hukum, 7(2), 159-174. https://doi.org/10.33476/ajl.v7i2.353

Website

Serambinews.com. (2017). Mi Samyang di Nagan Disita. Diakses pada https://aceh.tribunnews.com/2017/06/21/mi-samyang-di-nagan-disita

Indopos.co.id. (2017). Ada Mi Babi, BPOM Lalai. Diakses pada https://indopos.co.id/read/2017/06/18/101974/ada-mi-babi-bpom-lalai/

Peraturan Perundang-Undangan.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295.

Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2016 tentang Sistem Jaminan Produk Halal. Lembaran Aceh Tahun 2016 Nomor 11.

493