Putusan Mahkamah Agung Perlindungan Konsumen, Pasca Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
on
Putusan Mahkamah Agung Perlindungan Konsumen, Pasca Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
A Dwi Rachmanto1
1Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 21 Januari 2019
Diterima: 12 Juli 2020
Terbit: 31 Juli 2020
Keywords:
Consumer protection;
Consumer; Entrepreneur; BPSK
Kata kunci:
Perlindungan konsumen;
Konsumen; Pelaku Usaha; BPSK
Corresponding Author:
A Dwi Rachmanto, Email: [email protected]
DOI:
10.24843/JMHU.2020.v09.i02.
p.12
Abstract
The majority of civil case decisions specifically consumer protection are closely correlated with the financial services sector. Looking at and studying the verdicts of consumer protection cases contained in the Supreme Court (MA) website, it can be concluded that the consumer protection cases have increased significantly in the last 3 (three) years, between 2013 and 2017, especially after the enactment of Act Number 21 the Year 2011 concerning Financial Fervices Authority. This paper will analyze non-financial service case decisions, at least from the point of view of whether non-financial service case decisions are appropriately handled and understood by Supreme Court judges, BPSK Members, and by disputing parties based on Act Number 9 of 1999 Concerning Consumer Protection. The purpose of writing is to know what has been exactly done by BPSK and the judge and to analyze what is not appropriate normatively. The decision analysis is based on the classification of consumers, business actors, and the authority of the Consumer Dispute Settlement Agency (BPSK). This paper will analyze 14 non-financial services Supreme Court (MA) decisions in the span of time between 2013 and 2017, and use the normative juridical research method. From the results of the verdict research, it appears that the understanding of MA judges, BPSK members, and the parties to the dispute has not fully understood the understanding of consumers, business actors, and the authority of BPSK in handling cases.
Abstrak
Mayoritas putusan perkara perdata khusus perlindungan konsumen berkorelasi erat dengan bidang jasa keuangan. Melihat dan mempelajari putusan perkara perlindungan konsumen yang terdapat dalam laman Mahkamah Agung (MA) dapat disimpulkan bahwa perkara perlindungan konsumen mengalami peningkatan signifikan dalam kurun 3 (tiga) tahun terakhir, antara tahun 2013 sampai dengan tahun 2017, khususnya setelah berlakunya UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Tulisan ini akan menganalisis putusan perkara non jasa keuangan, setidaknya dari sudut pandang apakah putusan perkara non jasa keuangan telah tepat ditangani dan dipahami oleh hakim MA, Anggota BPSK dan oleh para pihak yang bersengketa berdasarkan UU Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Tujuan penulisan mengetahui apa yang telah tepat dilakukan oleh BPSK dan hakim serta menganalisis apa saja yang tidak tepat secara normatif.
Analisis putusan dilakukan berdasarkan klasifikasi konsumen, pelaku usaha, dan kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Tulisan ini akan menganalisis 14 putusan MA (MA) non jasa keuangan dalam rentang waktu antara tahun 2013 sampai dengan tahun 2017, dan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Dari hasil penelitian putusan nampak bahwa pemahaman hakim MA, Anggota BPSK dan para pihak yang bersengketa belum sepenuhnya memahami pengertian konsumen, pelaku usaha, dan kewenangan BPSK dalam menangani perkara.
-
1. Pendahuluan
Dari media online detik diinformasikan bahwa MA (MA) menganulir ratusan keputusan BPSK terkait sengketa konsumen. Salah satu sebab yang menjadi dasar bagi MA menganulir keputusan BPSK karena BPSK mengadili di luar kewenangan, yang dikuatkan atau tidak dikuatkan oleh putusan PN. Setidaknya antara bulan Mei sampai dengan September 2017, MA telah menganulir 127 keputusan BPSK.1
Melihat 772 putusan MA dalam lingkup perdata khusus, perlindungan konsumen2, sengketa yang terjadi antara pelaku usaha dengan konsumen pada umumnya dalam bidang asuransi, leasing, dan perbankan. Sengketa antara Sancho dengan Adira Finance merupakan salah satu contoh dari sengketa konsumen. Majelis kasasi yang menyelesaikan sengketa tersebut menilai sengketa tersebut bukanlah kasus sengketa konsumen, melainkan wanprestasi, karena itu, sengketa tersebut seharusnya diselesaikan di pengadilan umum.3 Sengketa konsumen lainnya, Safinah menggugat Bank Rakyat Indonesia (BRI). MA menyatakan bahwa sengketa antara Safinah dengan BRI bukan merupakan kewenangan BPSK, karena BPSK tidak berwenang mengadili sengketa kredit dengan jaminan hak tanggungan.4
Kasus berikutnya, adalah sengketa konsumen yang diselesaikan di BPSK antara Dermansyah Pane dengan PT Summit Oto Finance, sebab, pihak Summit Oto menarik sepeda motor dari tangan Dermansyah Pane akibat keterlambatan pembayaran angsuran. MA menganulir keputusan BPSK, karena menurut MA sengketa yang terjadi merupakan sengketa perdata biasa atau ingkar janji, bukan sengketa konsumen.5
Dari beberapa kasus tersebut di atas menimbulkan pertanyaan, sengketa konsumen seperti apa yang bisa diajukan kepada MA? Dari penelitian awal yang dilakukan oleh penulis, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, selanjutnya UUOJK, mengkonfirmasi salah satu penyebab tidak dikuatkannya keputusan BPSK di tingkat MA, yaitu masalah kewenangan. Yang dimaksud dengan masalah kewenangan di sini adalah BPSK tidak berwenang menangani masalah sengketa konsumen yang harusnya diselesaikan dalam ranah Peradilan Umum namun oleh BPSK masih diselesaikan berdasarkan UUPK.
Disamping persoalan yang berkorelasi erat dengan kewenangan BPSK, dalam kurun waktu tahun 2013 sampai dengan 2017, terdapat sengketa-sengketa konsumen yang tidak masuk dalam ranah sengketa OJK. Adapun sengketa-sengketa konsumen dimaksud adalah sebagai berikut:
Tabel 1: Putusan Sengketa Konsumen Non Jasa Keuangan Tahun 2013-2017
No |
Perkara |
Substansi Perkara |
Putusan MA |
1. |
Benny Gunawan vs Boedi Soesanto |
Jual Beli Tanah |
Nomor 135 PK/Pdt.Sus- BPSK/ 2013 |
2. |
H. Anwari vs Nurfatha Haryani |
Utang Piutang |
Nomor 10 K/Pdt.Sus/2013 |
3. |
PT Taman Malibu vs Prihatin & PT PLN |
Sumber/daya Listrik |
Nomor 53 PK/Pdt.Sus-BPSK/2013 |
4. |
Rahmat Dangdanggula vs Iwan Setiawan |
Jual Beli Tiket Pesawat |
Nomor 68 PK/Pdt.Sus-BPSK/2013 |
5. |
Ong Siauw Ling vs Eliawati dan suami Yoyo |
Tangga, Teralis |
Nomor 620 K/Pdt.Sus- BPSK/2013 |
6. |
PT Maxindo Internasional Nusantara Indah vs Sulistia Ratih |
Jual Beli Mobil Mini Cooper |
Nomor 265 K/Pdt.Sus- BPSK/2013 |
7. |
Yofither vs PT KIA |
Uang Muka Mobil KIA |
Nomor 678 K/Pdt.Sus- BPSK/2014 |
8. |
PT Lion Air Mentari vs Aripin Sianipar |
Hilang barang di pesawat |
Nomor 167 K/Pdt.Sus- BPSK/2014 |
9. |
PT Ratana Permata Mulia (Smart Parking) vs Awaludin |
Motor hilang |
Nomor 573 K/Pdt.Sus- BPSK/2014 |
10. |
PT PLN Batam vs Eliyas |
Pembebanan Biaya Administrasi kepada Konsumen |
Nomor 773 K/Pdt.Sus- BPSK/2015 |
11. |
Wahyo Sunaryo vs Akin Engkim |
Jual Beli Oli untuk Bis |
Nomor 291 K/Pdt.Sus- BPSK/2015 |
12. |
Mery Kurniaty vs PT Jaya Real Property TBK |
Jual Beli Rumah |
Nomor 930 K/Pdt.Sus- BPSK/2016 |
13. |
Qatar Airways vs Leo Mualdy |
Kehilangan barang di pesawat |
Nomor 117 PK/Pdt.Sus- BPSK/ 2017 |
14. |
PT Nusapala Parkir vs H Mudji Waluyo |
Barang di dalam mobil hilang pada saat parkir |
Nomor 458 K/Pdt.Sus- BPSK/2017 |
Sumber: Diolah penulis dari https://www.mahkamahagung.go.id/id
Dalam kurun waktu 2013 sampai dengan 2017 ditemukan 14 (empat belas) putusan MA yang tidak termasuk dalam ranah sengketa konsumen jasa keuangan. Hal ini berarti, mayoritas putusan MA antara tahun 2013 sampai dengan 2017 adalah
berkaitan dengan sengketa konsumen jasa keuangan, yang secara norma bukan merupakan kewenangan BPSK dalam menyelesaikan sengketa, sejak berlakunya UUOJK.
Data awal 14 (empat belas) putusan MA perdata khusus, perlindungan konsumen non jasa keuangan ini yang akan diteliti dan dianalisis oleh penulis berkaitan dengan apakah para pihak yang terlibat dalam sengketa konsumen merupakan pihak yang memang dapat diklasifikasikan sebagai pelaku usaha dan konsumen berdasarkan UUPK. Lebih lanjut akan dianalisis apakah memang sengketa konsumen yang diteliti memang merupakan kompetensi kewenangan BPSK. Hal lain, apakah putusan MA berkaitan dengan sengketa konsumen memang didasarkan pada pertimbangan yang tepat, yaitu UUPK.
Rasionalisasi rentang tahun putusan MA yang diteliti, yaitu 2013 sampai dengan 2017 didasarkan pada pertama, keberlakuan efektif UUOJK yang diundangkan pada tahun 2011, dan kedua, karena mayoritas putusan perdata khusus, perlindungan konsumen6 yang diajukan kepada MA berkorelasi erat dengan keberlakukan UUOJK7, dan hanya sebagian kecil dari putusan sengketa konsumen di MA yang dapat dianalisis berdasarkan UUPK, oleh sebab itu, penelitian ini oleh penulis akan dibatasi pada analisis 14 (empat belas) putusan MA non Jasa Keuangan dengan rentang waktu putusan dari tahun 2013 sampai dengan 2017.
Dari analisis atas 14 (empat belas) putusan MA non Jasa Keuangan diharapkan dapat memperoleh jawaban tentang apakah hakim MA, Anggota BPSK yang memutus perkara, dan para pihak yang bersengketa memahami batasan definisi konsumen, batasan pelaku usaha serta batasan kewenangan BPSK dalam menyelesaikan sengketa konsumen, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, disamping tentu akan secara simultan diketahui tentang kapan sengketa konsumen terjadi.
-
2. Metode Penelitian
Untuk menganalisis 14 (empat belas) putusan MA perdata khusus, perlindungan konsumen, non Jasa Keuangan, metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif/yuridis dogmatis. Metode penelitian yuridis normatif/yuridis dogmatis adalah menemukan kebenaran dalam suatu penelitian hukum dilakukan melalui cara berpikir deduktif, dan kriterium kebenaran koheren. Kebenaran dalam suatu penelitian sudah dinyatakan reliable tanpa harus melalui proses pengujian atau verifikasi.8
-
14 (empat belas) putusan MA perdata khusus, perlindungan konsumen, non Jasa Keuangan, maka 14 (empat belas) putusan MA perdata khusus, perlindungan konsumen, non Jasa Keuangan akan ditelaah berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, selanjutnya UUPK, dan teori-teori Hukum Perlindungan Konsumen.
Secara normatif pengertian Pelaku Usaha diatur dalam Pasal 1 butir 3 UUPK. Lebih lanjut pengertian pelaku usaha juga dijelaskan dalam penjelasan UUPK.
Dari rumusan pengertian pelaku usaha yang tertuang dalam Pasal 1 butir 3 UUPK dan penjelasan UUPK, pemahaman “kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi” adalah kegiatan mencari laba (profit) atau kegiatan mencari nafkah (livelihood) 9 . Bilamana hal ini dikorelasikan dengan apa yang disampaikan dalam penjelasan UUPK khususnya frasa “dan lain-lain” diberi makna memberikan perluasan terhadap subjek hukum pelaku usaha. Oleh karena itu, penggunaan frasa “dan lain-lain” pada penjelasan pengertian pelaku usaha secara yuridis dianggap terlalu luas10.
Dari pemahaman tentang pelaku usaha yang secara normatif terdapat dalam UUPK dan perluasan pengertian pelaku usaha akibat frasa “dan lain-lain” yang terdapat dalam penjelasan UUPK, serta dikorelasikan dengan makna mencari nafkah dan mencari laba, maka pengacara, dosen, notaris dapat diklasifikasikan sebagai pelaku usaha berdasarkan UUPK.
Konsumen sebagai sebuah istilah dari bahasa Inggris consumer yaitu secara harfiah diberi makna sebagai "seseorang atau sesuatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu" atau "sesuatu atau seseorang yang mengunakan suatu persediaan atau sejumlah barang", dan ada juga yang memberi makna “setiap orang yang menggunakan barang atau jasa"11. Pengertian konsumen diatur dalam Pasal 1, butir 2, UUPK, yang mempunyai makna bahwa konsumen yang dimaksud dalam Pasal 1, butir 2, UUPK adalah konsumen akhir.
Dari pengertian tentang konsumen berdasarkan UUPK, maka yang dimaksud konsumen akhir12 adalah selain tidak untuk diperdagangkan dan tidak untuk dijual kembali juga untuk digunakan, baik bagi kepentingan dirinya sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain.
Dalam Pasal 45 ayat (1) UUPK, menyatakan: “Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum”.
Pada dasarnya, semua konsumen yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada pelaku usaha. Di dalam UUPK terdapat pengaturan yang mengatur terkait pihak yang dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada pelaku usaha. Pengaturan tersebut terdapat di dalam Pasal 46 ayat (1) UUPK.
Apabila konsumen memilih untuk menyelesaikan sengketa konsumen melalui badan peradilan, maka konsumen dapat mengajukan gugatan ke peradilan umum. Mekanisme penyelesaian sengketa melalui peradilan dilakukan berdasarkan Hukum Acara Perdata yang diatur dalam HIR maupun RBg.
Selain penyelesaian sengketa melalui peradilan umum, para pihak yang bersengketa dimungkinan secara normatif menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan. Pada umumnya, penyelesaian sengketa melalui pengadilan memerlukan waktu yang lama dan biaya yang relatif mahal. Sedangkan dalam menghadapi sengketa di dalam dunia bisnis, diharapkan penyelesaian sengketanya berlangsung cepat dan murah. Tujuan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi serta tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
UUPK secara normatif menegaskan bahwa yang dapat menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan ialah BPSK. BPSK dibentuk oleh Pemerintah yang merupakan lembaga non-strukural yang dibentuk untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan. BPSK dalam menyelesaikan sengketa konsumen mempunyai tugas dan wewenang yang diatur di dalam Pasal 52 UUPK
Dalam UUPK, penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat dilakukan dalam berbagai cara mediasi atau konsiliasi atau arbitrase. Pengaturan lebih lanjut tentang tata cara penyelesaian sengketa konsumen diatur dalam Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang BPSK. Sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan didasarkan pada persetujuan para pihak yang bersengketa. Setiap konsumen yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa konsumen kepada BPSK baik secara tertulis maupun lisan melalui Sekretariat BPSK.
Mediasi dalam konteks sengketa konsumen diatur dalam Pasal 1 angka 10 Kepmenperindag 350/2001, yang diberi makna sebagai proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK sebagai penasehat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Mediasi merupakan cara penyelesaian yang fleksibel, tidak mengikat dan melibatkan pihak netral (mediator). Majelis BPSK sebagai mediator bersikap aktif. Mediator sebagai pihak yang membantu dan memudahkan para pihak yang bersengketa dalam melakukan negosiasi untuk mencapai kesepakatan. Mediator mempunyai peran sebagai penghubung komunikasi kedua belah pihak untuk mencapai pemahaman bersama. Sedangkan hasil penyelesaiannya didasarkan pada kesepakatan para pihak. Keuntungan penyelesaian
menggunakan mediasi adalah penyelesaiannya diarahkan kepada kerja sama, sehingga para pihak tidak perlu membela dan mempertahankan kebenarannya masing-masing.
Konsiliasi merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan lain yang dapat dipilih oleh satu pihak atau para pihak yang bersengketa dan diatur dalam Pasal 1 angka 9 Kepmenperindag 350/2001. Konsiliasi sebagai proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Penyelesaian melalui konsiliasi menghendaki pihak ketiga (konsiliator), yaitu BPSK. Dalam konsiliasi, BPSK bersikap pasif hanya berperan sebagai perantara para pihak yang bersengketa.
Pilihan cara penyelesaian sengketa lainnya adalah arbitrase. Penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase diatur dalam Pasal 1 angka 11 Kepmenperindag 350/2001. Dalam menyelesaikan sengketa konsumen melalui arbitrase, para pihak memilih arbitor dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota Majelis. Sedangkan arbitor yang dipilih oleh para pihak, memilih arbitor ketiga dari anggota BPSK yang berasal dari unsur Pemerintahan sebagai Ketua Majelis. Para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis BPSK dalam memutus sengketa konsumen yang terjadi. Pengaturan mengenai tata cara persidangan dengan cara arbitrase diatur dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 36 Kepmenperindag 350/2001.
Dalam rumusan Pasal 52 UUPK salah satu tugas dan wewenang dari BPSK ialah menjatuhkan putusan atas perkara sengketa konsumen dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima. Putusan yang dijatuhkan oleh BPSK mempunyai sifat yang final dan mengikat. Putusan final dan mengikat dapat diartikan bahwa terhadap putusan tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum. Akan tetapi, UUPK memberikan jalan untuk mengajukan upaya hukum atas putusan yang final dan mengikat itu. Dengan dikeluarkannya putusan oleh BPSK atas sengketa konsumen, pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dalam waktu paling lambat 7 hari kerja setelah putusan diterima. Apabila pelaku usaha tidak melaksanakan putusan dan tidak mengajukan keberatan atas putusan, BPSK menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik. Penyidik dapat melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan putusan BPSK dijadikan sebagai bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penyidikan.
Berikut bagan penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UUPK, yang salah satunya adalah penyelesaian sengketa melalui BPSK.
Gambar 1: Penyelesaian Sengketa Konsumen beradasarkan UUPK.
UU PK
I---------------------------------------------------------------------1
Sumber: Diolah penulis dari Kepmenperindag 350/MPP/KEP/2001
Bilamana sebuah gugatan sudah diajukan melalui BPSK, maka BPSK harus menindaklajuti, dan BPSK wajib memberikan putusan. Putusan tersebut berdasarkan Pasal 56 Ayat (2) UUPK bersifat final dan mengikat, dengan perkataan lain tidak dapat dilakukan banding dan kasasi. Akan tetapi berdasarkan Pasal 54 Ayat (3) UUPK terhadap putusan tersebut dapat di mintakan upaya hukum (keberatan) ke PN.
Gambar 2: Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui BPSK
Sumber: Johannes Gunawan, Catatan Kuliah Hukum Perlindungan Konsumen, FH Unpar, 2015
Lebih lanjut, peluang mengajukan keberatan atas putusan BPSK ke PN merupakan bentuk campur tangan lembaga peradilan umum atas penyelesaian sengketa melalui BPSK yang telah mendapat keputusan final. Hal ini berarti kekuatan putusan BPSK secara yuridis tergantung pada supremasi pengadilan sehingga tidak benar-benar final.13
-
3.4. Analisis Putusan MA Perdata Khusus Pelindungan Konsumen
3.4.1. Putusan MA atas Perkara Benny Gunawan vs Boedi Soesanto
Perkara Nomor 135 PK/Pdt.Sus-BPSK/2013 sengketa antara Benny Gunawan dengan Boedi Soesanto yang ditangani pada awalnya oleh BPSK Kota Jogyakarta.
Sengketa antara Benny Gunawan dengan Boedi Soesanto akibat jual beli tanah antara Benny Gunawan dengan Boedi Soesanto. Sengketa antara Benny Gunawan dengan Boedi Soesanto diselesaikan sampai dengan keluarnya putusan PK yang
memenangkan Boedi Soesanto, dimana dari putusan BPSK, putusan PN, putusan MA, sampai dengan putusan PK dimenangkan oleh Boedi Soesanto14.
Bilamana dianalisis berdasarkan UUPK khususnya analisis tentang para pihak, maka pihak Benny Gunawan dapat diklasifikasikan sebagai pelaku usaha berdasarkan UUPK, namun pihak Boedi Soesanto tidak dapat dipastikan sebagai konsumen berdasarkan UUPK, karena tanah dan bangunan yang dibangun di atas lahan tidak terinformasikan di dalam putusan, apakah pihak Boedi Soesanto akan menggunakan sebagai rumah tinggal bagi diri sendiri, atau akan dijual kembali, atau akan digunakan sebagai tempat usaha.
Bilamana dianalisis berdasarkan hubungan yang terjadi antara para pihak, yaitu antara Benny Gunawan dengan Boedi Soesanto, didasarkan pada sebuah perjanjian yang tunduk pada KUH.Perdata, karenanya sengketa jual beli tanah yang terjadi di antara keduanya adalah sengketa perdata yang menurut pendapat penulis seharusnya diselesaikan berdasarkan KUH.Perdata dan bukan berdasarkan UUPK. Hal yang menjadi dasar karena umumnya jual beli tanah dan perjanjian jual beli tanah disepakati melalui proses tawar menawar dan negosiasi di antara para pihak, begitu juga dengan kesepakatan antara Benny Gunawan dengan Boedi Soesato dilakukan melalui negosiasi dan bukan berdasarkan kontrak baku yang bentuk dan isi distandarisasi oleh pihak pelaku usaha.
Dari analisis atas para pihak dan dasar perjanjian, maka seharusnya penyelesaian sengketa tidak didasarkan pada UUPK, namun menggunakan KUH.Perdata, khususnya pasal-pasal yang berkorelasi erat dengan wanprestasi atau pasal-pasal Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Sengketa antara Benny Gunawan dengan Boedi Soesanto seharusnya tidak diterima oleh BPSK, karena terdapat masalah kewenangan di dalamnya dan secara normatif KUH.Perdata yang menjadi dasar utama untuk menyelesaikan sengketa antara Benny Gunawan dengan Boedi Soesanto, demikian juga proses yang dilalui melalui pengadilan seharusnya bertahap melalui PN, PT, dan MA.
Perkara Nomor 10 K/Pdt.Sus/2013 merupakan sengketa antara H. Anwari dalam hal ini Direktur Utama PT. PRIME MANAGEMENT INDONESIA dan Nurftha Haryani.
Kasus posisi singkat dari perkara Nomor 10 K/Pdt.Sus/2013, H. Anwari menyiapkan semua persyaratan admnistratif dan meminjamkan uang sebagai deposit untuk Nurfatha Haryani yang akan menempuh studi pada awalnya di Austria, namun karena tidak memenuhi syarat akhirnya akan menempuh studi di Jerman. Pinjaman uang sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) akan diangsur setiap bulannya, dengan tengat waktu paling lambat setiap tanggal 25 pada setiap bulannya. Namun dalam perjalanannya karena persyaratan administrasi yang disiapkan oleh H. Anwari tidak dapat dipenuhi, maka setelah total Rp. 55.000.000,- (lima puluh lima juta ruiah) dibayarkan oleh pihak Nurfatha Haryani, pihak Nurfatha Haryani tidak melanjutkan mengangsur seperti yang disepakati dalam perjanjian dan mengajukan persoalan
hukum kepada BPSK DKI. Putusan BPSK perkara perkara Nomor 10 K/Pdt.Sus/2013 dimenangkan oleh Nurfatha Haryani. Putusan PN Jakarta Timur menganulir putusan BPSK DKI, dan putusan MA menguatkan putusan PN Jakarta Timur15.
Analisis yang dapat disampaikan dalam kasus ini berkaitan dengan para pihak, bahwa pihak H. Anwari dapat diklasifikasikan sebagai pelaku usaha berdasarkan UUPK, dan Nurfatha Haryani dapat diklasifikasikan sebagai konsumen berdasarkan UUPK, namun yang menjadi dasar hubungan antara keduanya adalah perjanjian yang disepakati para pihak, seperti misalnya kesepakatan jumlah uang yang dipinjamkan oleh pihak H. Anwari, dan kesepakatan berapa kali tenor yang disepakati untuk membayar pinjaman yang diperoleh oleh Nurfatha Haryani, sehingga seharusnya sengketa yang terjadi bukan didasarkan pada UUPK namun didasarkan pada KUH.Perdata, dan diselesaikan melalui Peradilan Umum. Esensi masalah hukum antara H. Anwari dengan Nurfatha Haryani adalah wanprestasi yang dilakukan oleh Nurfatha Haryani.
Hal lain yang dapat dianalisis, seharusnya putusan BPSK DKI, yang memutuskan bahwa H. Anwari harus mengembalikan sejumlah uang yang telah dibayarkan oleh Nurfatha Haryani, disampaikan secara tertulis berdasarkan Pasal 41 ayat (1) Kemenperindag 350/2001, yaitu: Ketua BPSK memberitahukan putusan Majelis secara tertulis kepada alamat Konsumen dan Pelaku Usaha yang bersengketa, selambat-lambatnya dalam 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan dibacakan
Perkara dengan Nomor 53 PK/Pdt.Sus-BPSK/2013 melibatkan 3 (tiga) pihak, pertama PT Taman Malibu sebagai developer, Prihatin sebagai pihak konsumen pembeli rumah di sebuah komplek yang dibangun oleh PT Taman Malibu, dan PT PLN (Sumatera Utara) sebagai pihak yang turut tergugat.
Kasus posisi singkat dari sengketa yang terjadi, yaitu rumah yang sedang dibangun oleh PT Taman Malibu adalah rumah milik Prihatin yang telah dipasang listrik oleh PT Taman Malibu, namun pemasangan listrik yang dilakukan oleh PT Taman Malibu bukan merupakan pemasangan instalasi listrik yang sah yang dilakukan oleh PT PLN, sehingga pada saat PT PLN mengetahui telah terjadi pemasangan listrik secara tidak sah, kemudian PT PLN melakukan pemutusan atas instalasi listrik yang telah terpasang di rumah Prihatin. Lebih lanjut oleh PT PLN, Prihatin diwajibkan membayar biaya dan denda akibat pemasangan listrik yang tidak sah tersebut, namun Prihatin keberatan karena seluruh biaya pemasangan listrik telah diberikan kepada PT Taman Malibu, dan meminta PT Taman Malibu bertanggung jawab atas biaya dan denda yang harus dibayar oleh Prihatin kepada PT PLN. Selanjutnya Prihatin melaporkan persoalan yang terjadi kepada BPSK Kota Medan. Namun BPSK Kota Medan berpendapat persoalan yang terjadi bukan kewenangan BPSK, karena masuk klasifikasi tindak pidana umum. Berdasarkan pendapat BPSK Kota Medan tersebut, Prihatin melaporkan tindak pidana yang dilakukan oleh PT Taman Malibu kepada aparat kepolisian setempat. Putusan BPSK mewajibkan PT Taman Malibu memberikan
ganti rugi kepada Prihatin, dan putusan BPSK ini dikuatkan oleh putusan PN, Putusan MA, dan Putusan PK.16
Analisis kasus yang dapat diberikan berkaitan dengan sengketa antara PT Taman Malibu dengan Prihatin, dan PT Taman Malibu dengan PT PLN adalah masing-masing perkara dapat berdiri sendiri dan tidak digabungkan dalam satu buah sengketa konsumen. Prihatin di satu sisi dapat diklasifikasikan sebagai konsumen berdasarkan UUPK, dan PT Taman Malibu di sisi yang lain dapat diklasifikasikan sebagai pelaku usaha berdasarkan UUPK. Bilamana Prihatin merasa dirugikan oleh PT Taman Malibu, maka Prihatin dapat mengajukan persoalan yang terjadi kepada BPSK, untuk kemudian BPSK memanggil PT Taman Malibu, mengkonfirmasi persoalan yang berusaha menyelesaikan persoalan dengan pilihan metode, mediasi atau konsiliasi atau arbitrase. Hal ini dimungkinkan karena PT Taman Malibu melanggar perjanjian yang disepakati dalam membangun rumah milik Prihatin, mengadakan listrik dengan cara yang bertentangan dengan hukum. Bilamana para pihak tidak menyepakati cara yang akan ditempuh dalam menyelesaikan sengketa di BPSK, maka dapat ditempuh cara gugatan melalui peradilan umum.
Demikian halnya dengan hubungan antara Prihatin dengan PT PLN, bilamana terdapat sengketa di antara keduanya, maka dapat diselesaikan melalui BPSK atau melalui peradilan umum. Hubungan antara PT PLN dengan Prihatin adalah hubungan antara Pelaku Usaha dengan konsumen. PT PLN sebagai pelaku usaha, dan Prihatin sebagai konsumen. Seharusnya PT PLN menggali duduk persolan yang terjadi sehingga konsumen tidak dirugikan, karena kerugian yang terjadi dari pemasangan listrik ilegal adalah akibat yang dilakukan oleh PT Taman Malibu.
Perkara Nomor 68 PK/Pdt.Sus-BPSK/2013 merupakan perkara perdata khusus perlindungan konsumen antara Rahmat Dangdanggula yang merupakan Direktur Utama PT LANTASSINDO PRIMA WISATA dengan Iwan Setiawan.
Kasus posisi singkat yang menimbulkan sengketa di antara keduanya adalah akibat transaksi jual beli tiket antara PT LANTASSINDO PRIMA WISATA yang pada saat terjadi transaksi pihak Chyntia Citra menjadi wakil perusahaan (PT LANTASSINDO PRIMA WISATA) untuk melayani pembelian tiket Iwan Setiawan. Transaksi terjadi antara bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2011. Bulan Agustus 2011, tepatnya tanggal 12 Agustus 2011, Chyntia Citra dikeluarkan dari PT LANTASSINDO PRIMA WISATA. Transaksi antara Chyntia Citra yang merupakan wakil perusahaan PT LANTASSINDO PRIMA WISATA dengan Iwan Setiawan tidak dibukukan dalam keuangan dan sistem yang terdapat di dalam perusahaan PT LANTASSINDO PRIMA WISATA, sehingga pembayaran tunai dan transfer yang telah dilakukan oleh Iwan Setiawan dianggap tidak masuk dalam sistem perusahaan PT LANTASSINDO PRIMA WISATA, yang berakibat Iwan Setiawan tidak dapat memperoleh haknya. Lebih lanjut Iwan Setiawan mengajukan perkara ini kepada BPSK Kota Bogor. BPSK memutuskan
Rahmat Dangdanggula harus memberikan ganti rugi kepada Iwan Setiawan. Putusan BPSK dikuatkan oleh Putusan PN, Putusan MA dan Putusan PK.17
Bilamana perkara Nomor 68 PK/Pdt.Sus-BPSK/2013 dianalisis menggunakan UUPK, maka Rahmat Dangdanggula yang merupakan Direktur Utama PT LANTASSINDO PRIMA WISATA dapat diklasifikasikan sebagai pelaku usaha menurut UUPK, dan Iwan Setiawan dapat diklasifikasikan sebagai konsumen berdasarkan UUPK.
Sengketa perdata khusus, perlindungan konsumen antara Rahmat Dangdanggula yang merupakan Direktur Utama PT LANTASSINDO PRIMA WISATA dengan Iwan Setiawan secara normatif dapat diselesaikan melalui BPSK atau diselesaikan melalui peradilan umum.
Rahmat Dangdanggula secara normatif seharusnya bertanggungjawab tidak hanya berdasarkan UUPK tetapi juga berdasarkan Pasal 1367 ayat (1) dan ayat (3) KUH.Perdata.
Dari sudut pandang kewenangan menyelesaikan sengketa, dapat disimpulkan bahwa BPSK berwenang menyelesaikan sengketa perdata khusus, perlindungan konsumen antara Rahmat Dangdanggula dengan Iwan Setiawan, dan para pihak dapat memilih cara penyelesaian sengketa mediasi, konsiliasi, atau arbistrase. Bilamana para pihak tidak dapat menyepakati cara penyelesaian sengketa yang ada di BPSK, maka para pihak dapat mengajukan sengketa melalui peradilan umum.
Perkara Nomor 265 K/Pdt.Sus-BPSK/2013 merupakan sengketa antara Ong Siauw Ling sebagai pemesan tangga besi dan tralis jendela dengan Eliawati dan Yoyo suami Eliawati sebagai pihak yang menerima pesanan.
Kasus posisi singkat dari Perkara Nomor 265 K/Pdt.Sus-BPSK/2013 adalah kesepakatan antara pihak Ong Siauw Ling dengan pihak Eliawati dan Yoyo suami Eliawati, dimana pihak Ong Siauw Ling memesan tangga besi dan tralis jendela kepada Eliawati dan Yoyo suami Eliawati dengan sketsa disain dikerjakan oleh Eliawati dan disepakati oleh Ong Siauw Ling. Biaya pembuatan tangga besi dan tralis jendela disepakati Rp. 5.930.000,- (lima juta Sembilan ratus tiga puluh ribu rupiah) dan disepakati 50% (lima puluh persen) pembayaran dilakukan dimuka dan sisanya akan dibayarkan setelah pekerjaan selesai. Pada tanggal 24 Desember 2011 pembayaran sebesar Rp. 3.000.000,- langsung dilakukan oleh Ong Siauw Ling. Pada tanggal 27 Desember 2011 dilakukan pengerjaan tralis jendela di rumah Ong Siauw Ling, dan tanggal 31 Desember 2011 Eliawati meminta sisa pembayaran kepada Ong Siauw Ling, namun hanya dibayarkan Rp. 1.500.000,- dan diterima oleh Eliawati. Jumlah pembayaran tidak dipenuhi semuanya karena tangga besi tidak sesuai dengan yang dijanjikan dan minta diperbaiki terlebih dahulu oleh Ong Siauw Ling. Tanggal 4
Januari 2012 Eliawati datang ke tempat Ong Siauw Ling bersama 4 (empat) orang dan membongkar pekerjaan yang telah dikerjakan sebelumnya.18
Analisis yang dapat diberikan atas perkara Nomor 265 K/Pdt.Sus-BPSK/2013 merupakan kasus perdata murni jual beli. Perjanjian antara Eliawati dengan Ong Siauw Ling terjadi melalui proses mencari kata sepakat atas barang dan harga yang dikehendaki masing-masing pihak. Pihak Eliawati sepakat akan menyediakan tangga besi dan tralis jendela untuk Ong Siauw Ling, sementara Ong Siauw Ling sepakat akan membayar Rp. 5.930.000,- (lima juta sembilan ratus tiga puluh ribu rupiah) dalam beberapa termin, meliputi termin pertama uang muka sebesar 30% (tiga puluh persen) dan sisanya akan dibayarkan setelah pekerjaan selesai.
Walaupun pihak-pihak yang terlibat di dalamnya dapat diklasifikasikan sebagai pelaku usaha dan konsumen berdasarkan UUPK, namun karena perjanjian yang disepakati merupakan hasil kesepakatan bersama tentang barang dan harga, maka seharusnya perkara Nomor 265 K/Pdt.Sus-BPSK/2013 diselesaikan menurut KUH.Perdata dan bukan berdasarkan UUPK.
Perkara Nomor 265 K/Pdt.Sus-BPSK/2013 merupakan sengketa yang terjadi antara PT Maxindo Internasional Nusantara Indah dengan Sulistia Ratih.
Kasus posisi singkat sengketa antara antara PT Maxindo Internasional Nusantara Indah dengan Sulistia Ratih diakibatkan oleh jual beli mobi Mini Countryman Launch Edition (sejanjutnya MINI). Mobil MINI yang dibeli dengan sistem kredit dari Bank OCBC NISP oleh Sulistia Ratih pada saat digunakan dan dipacu dengan kecepatan tinggi tercium bau karet terbakar dan AC tidak mengeluarkan udara selama 15-20 detik. Apa yang dirasakan oleh Sulistia Ratih dilaporkan kepada PT Maxindo Internasional Nusantara Indah dan telah mendapatkan perhatian, penanganan, dan penjelasan atas apa yang terjadi, dimana dalam hal mobil masih dalam kondisi baru, adalah wajar bila terdapat reaksi pada bagian-bagian di engine compartement (tempat mesin) dalam keadaan mesin panas sedangkan dalam hal AC tidak mengeluarkan udara selama 15-20 detik merupakan kecanggihan unit untuk menjaga agar temperatur tetap terjaga. Setelah mobil ditangani oleh PT Maxindo Internasional Nusantara Indah kemudian pihak Sulistia Ratih menyampaikan persoalan yang terjadi ke BPSK DKI, karena menganggap terdapat cacat tersembunyi atas barang yang telah dibeli. Penanganan di BPSK DKI dijalankan dengan cara mediasi. Namun karena mediasi tidak mendapat titik temu, maka BPSK menyarankan para pihak untuk menempuh jalan arbitrase. Proses di PN Jakarta Timur sampai dengan putusan MA atas perkara perdata khusus, perlindungan konsumen Nomor 265 K/Pdt.Sus-BPSK/2013 dimenangkan oleh Sulistia Ratih.19
Analisis yang dapat diberikan atas perkara Nomor 265 K/Pdt.Sus-BPSK/2013 adalah dalam hal para pihak yang terlibat dalam sengketa, yaitu pihak PT Maxindo Internasional Nusantara Indah dapat diklasifikasikan sebagai pelaku usaha berdasarkan UUPK, dan Sulistia Ratih dapat diklasifikasikan sebagai konsumen berdasarkan UUPK.
Berikutnya yang dapat dianalisis adalah berhubungan dengan pilihan penyelesaian sengketa di BPSK yang dilakukan berdasarkan mediasi, dan karena tidak mencapai titik temu pada saat menggunakan mediasi, maka dilanjutkan dengan arbitrase atas saran BPSK. Hal ini bertentangan dengan Pasal 4, ayat 1, Kemenperindag 350/2001. Hal ini berarti, bilamana telah dipilih salah satu dari tiga cara menyelesaikan sengketa di BPSK, maka pilihan tersebut merupakan satu dan tidak dapat dipilih cara lain bilamana cara pertama yang telah dipilih oleh para pihak tidak dapat menyelesaikan sengketa. Dalam hal cara penyelesaian sengketa di BPSK telah dipilih dan dijalankan tidak dapat menyelesaikan sengketa, maka untuk menyelesaikan sengketa dapat diajukan melalui pengadilan.
Perkara dengan Nomor 678 K/Pdt.Sus-BPSK/2014 merupakan sengketa antara Yofither Lumban Tobing, sebagai pemesan mobil merek KIA, dan PT KIA sebagai pihak yang akan menyediakan mobil KIA.
Kasus posisi singkat dari Perkara dengan Nomor 678 K/Pdt.Sus-BPSK/2014, pihak Yofither Lumban Tobing hendak membeli salah satu jenis mobil merek KIA (tidak ada informasi spesifik tentang jenis mobil KIA yang dibeli dalam putusan Nomor 678 K/Pdt.Sus-BPSK/2014) kepada PT KIA. Pihak Yofither Lumban Tobing telah membayar uang tanda jadi sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) yang dibayarkan oleh Carolina Naibaho, dan lebih lanjut pihak Yofither Lumban Tobing telah menyerahkan uang muka sebesar Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta) untuk membeli mobil merek KIA, namun sampai dengan gugatan disampaikan belum diterima oleh pihak Yofither Lumban Tobing. Putusan BPSK memenangkan pihak Yofither Lumban Tobing. Putusan PN Bekasi memenangkan PT KIA, dan putusan MA menguatkan putusan PN Bekasi dengan memenangkan PT KIA. Dasar utama baik putusan PN Bekasi maupun MA atas perkara Nomor 678 K/Pdt.Sus-BPSK/2014 adalah perjanjian jual beli antara Yofither Lumban Tobing belum selesai dilaksanakan, dan BPSK Bekasi tidak mempunyai kewenangan dalam memutus sengketa dimaksud.20
Analisis yang dapat disampaikan atas perkara Nomor 678 K/Pdt.Sus-BPSK/2014, dalam hal para pihak yang terlibat sengketa, pihak PT KIA dapat diklasifikasikan sebagai pelaku usaha dalam kerangka UUPK, sedangkan pihak Yofither Lumban Tobing dapat diklasifikasikan sebagai konsumen berdasarkan UUPK, sekalipun pihak Yofither Lumban Tobing belum menerima mobil merek KIA yang dipesan, karena telah membayar uang tanda jadi sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan uang muka Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta rupiah). Persoalannya, tidak nampak dalam putusan perkara Nomor 678 K/Pdt.Sus-BPSK/2014, adalah mengapa pihak Yofither
Lumban Tobing mengajukan sengketa jual beli mobil merek KIA kepada BPSK, hingga MA? Apakah karena membatalkan proses jual beli ataukah telah lewat waktu yang dijanjikan pihak penjual untuk menyerahkan mobil yang dipesan oleh pihak Yofither Lumban Tobing. Informasi atas kedua pertanyaan menjadi penting karena akan memberikan dampak berbeda atas putusan sengketa yang terjadi.
Bilamana Yofither Lumban Tobing konteks sengketa dimaksudkan untuk membatalkan jual beli mobil merek KIA yag dipesan, maka tentu akan ada penalti atas uang yang telah dibayarkan dalam kerangka tanda jadi dan dalam kerangka uang muka. Namun bilamana sengketa disampaikan Yofither Lumban Tobing karena alasan ketidaktepatan waktu penyerahan pesanan mobil merek KIA kepada Yofither Lumban Tobing, maka dapat diklasifikasikan sebagai ingkar janji yang dilakukan oleh PT KIA.
Pertimbagan hakim dalam putusan PN dan MA bahwa BPSK tidak berwenang, menurut pendapat penulis tidak didasarkan pada dalil yang kuat, karena penyelesaian sengketa berdasarkan UUPK merupakan lex spesialis atas penyelesaian sengketa perdata berdasarkan KUH.Perdata, dan para pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan sengketa di BPSK.
Perkara Nomor 167 K/Pdt.Sus-BPSK/2014 merupakan sengketa antara PT Lion Air dengan Aripin Sianipar akibat barang-barang yang dibawa oleh Aripin Sianipar, yang disimpan dalam bagasi pesawat JT204 hilang. Adapun barang-barang bawaan yang milik Aripin Sianipar yang hilang adalah sebagai berikut: 2 (dua) unit HP Blackberry Type Dakota 9900 seharga Rp. 3.800.000,- (tiga juta delapan ratus) per buah,; 2 (dua) unit HP Satelit Type R 190 merek Ericson seharga Rp. 1.250.000,- (satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah) per buah; 1 (satu) unit Handy Cam merek Sony Type DCR-PJ 5 seharga Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) per buah; 1 (satu) unit Built Projektor Zoom seharga Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah); 1 (satu) unit Camera Sony ex 550 seharga Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah); 1 (satu) unit anti getar Type 18200 seharga Rp. 3.000.000,-(tiga juta rupiah); dan pakaian dinas serta baju lainnya sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah). Proses penyelesaian sengketa di BPSK, PN, dan MA dimenangkan oleh Aripin Sianipar. 21
Adapun analisis yang dapat diberikan dalam konteks putusan perkara antara PT Lion Air dengan Aripin Sianipar adalah sebagai berikut: Dalam hal para pihak, maka pihak PT Lion Air dapat diklasifikasikan sebagai pelaku usaha berdasarkan UUPK, dan pihak Aripin Sianipar dapat diklasifikasikan sebagai konsumen dalam kerangkan UUPK.
Dalam kewenangan BPSK, PN dan MA, dapat disimpukan bahwa BPSK, PN dan MA berwenang menyelesaikan sengketa yang terjadi antara PT Lion Air dengan Aripin Sianipar. Hal yang perlu dikritisi dalam materi gugatan adalah berkaitan dengan ganti rugi materiil dan imateriil yang dimintakan oleh pihak konsumen dalam hal ini Aripin Sianipar. Secara normatif ganti rugi materiil dan imateriil hanya dapat dimintakan bilamana materi gugatan dalam konteks gugatan perbuatan melawan hukum,
sedangkan ganti rugi berdasarkan UUPK hanya meliputi, ganti rugi uang, ganti rugi barang, dan santunan, seperti tertulis dalam Pasal 19, ayat 2 UUPK. Hal lain yang secara normatif mengatur hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen adalah Pasal 1366 KUH.Perdata.
Sedangkan Pasal 6 ayat (1) Permenhub No. PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara22 tidak berlaku karena penumpang dalam hal ini konsumen telah memberitahukan sebelumnya tentang barang dan kondisi barang yang disimpan dalam bagasi.
Perkara nomor 573 K/Pdt.Sus-BPSK/2014 merupakan sengketa perdata khusus, perlindungan konsumen antara PT Ranata Permata Mulia (Smart Parking) yang diwaliki oleh Irwan Andi, Regional Manager, dengan Awaludin.
Kasus posisi singkat perkara perdata khusus, perlindungan konsumen antara PT Ranata Permata Mulia (Smart Parking) yang diwaliki oleh Irwan Andi, Regional Manager, dengan Awaludin disebabkan hilangnya motor milik Awaludin di area parkir, di Pekanbaru yang dikelola oleh PT Ranata Permata Mulia (Smart Parking). 23
Penyelesaian perkara perdata, perdata khusus, perlindungan konsumen antara PT Ranata Permata Mulia (Smart Parking) dengan Awaludin diajukan kepada BPSK Pekanbaru, dan keputusan BPSK Pekanbaru mengharuskan PT Ranata Permata Mulia (Smart Parking) memberi ganti rugi kepada Awaludin dengan nila kerugian Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah). Demikian halnya dengan keputusan PN dan MA yang menguatkan keputusan BPSK.
Analisis dalam hal para pihak, maka PT Ranata Permata Mulia (Smarts Parking) yang diwakili oleh Irwan Andi dapat diklasifikasikan sebagai pelaku usaha berdasarkan UUPK, dan Awaludin dapat diklasifikasikan sebagai konsumen berdasarkan UUPK.
Dalam hal kewenangan menyelesaikan sengketa, maka BPSK Pekanbaru memang berwenang menyelesaikan sengketa perdata khusus, perlindungan konsumen antara PT Ranata Permata Mulia (Smarts Parking) dengan Awaludun berdasarkan UUPK dan Kepmenperindag 350/2001. Tahapan putusan BPSK diajukan keberatan ke PN dan kemudian diajukan ke MA memang tidak menyalahi aturan formal, namun tidak dijelaskan putusan BPSK apakah yang diajukan keberatan ke PN.
Putusan perkara Nomor 773 K/Pdt.Sus-BPSK/2015 merupakan sengketa antara PT PLN Batam dengan Eliyas Langoday.
Kasus posisi singkat yang dapat dipaparkan berdasarkan Putusan perkara Nomor 773 K/Pdt.Sus-BPSK/2015 sehubungan dengan pemberlakukan sistem P2APST (Pengelolaan dan Pengawasan Arus Pendapatan Secara Terpusat) pada tanggal 3 Oktober 2011 yang untuk pertama kalinya di-launching di gedung pusat PT PLN Batam, dimana layanan pembayaran tagihan listrik bagi konsumen dapat dilakukan di Bank maupun Kantor Pos yang telah menjalin kerjasama dengan PT PLN Batam. Konsekuensi pemberlakukan sistem P2APST adalah pemberlakuan PPOB (Payment Point Online Bank) yang diterapkan oleh PT PLN Batam terhadap Eliyas Langoday. Pemberlakuan PPOB oleh PT PLN Batam menimbulkan biaya administrasi yang dibebankan kepada Eliyas Langoday, dan biaya dimaksud di luar dari biaya tagihan penggunaan daya listrik dan tidak dikehendaki oleh Eliyas Langoday.24
Atas pembebanan biaya administrasi yang terkumulasi dalam biaya tagihan penggunaan daya listrik tersebut Eliyas Langoday mengajukan persoalan kepada BPSK Batam. Sengketa antara PT PLN Batam dengan Eliyas Langoday diselesaikan melalui BPSK Batam, PN Batam, dan MA. Putusan BPSK Batam, PN Batam maupun MA, memenangkan Eliyas Langoday.
Adapun analisis yang dapat diberikan dalam kerangka para pihak adalah sebagai berikut: pertama, PT PLN Batam dapat diklasifikasikan sebagai pelaku usaha berdasarkan UUPK, dan Eliyas Langoday dapat diklasifikasikan sebagai konsumen berdasarkan UUPK. Kedua, BPSK berwenang menyelesaikan sengketa yang terjadi antara PT PLN Batam dengan Eliya Langoday.
Analisis lain yang dapat disampaikan berkorelasi dengan PPOB yang diberlakukan oleh PT PLN Batam berdasarkan pada perjanjian baku yang ditandatangani oleh para pihak yang didalamnya terdapat klasula baku yang menyatakan bahwa pembayaran biaya adminitrasi dibebankan kepada konsumen. Hal ini berarti, klausula baku yang terdapat dalam perjanjian baku antara PT PLN Batam dengan Eliyas Langoday bertentangan dengan Pasal 18, huruf a, UUPK. Hal inilah yang menjadi dasar dari putusan BPSK Batam, PN Batam dan MA.
Perkara dengan Nomor 291 K/Pdt.Sus-BPSK/2015 merupakan sengketa antara Wahyo Sunaryo (PO Karunia Bakti) dengan Akin Engkim (PD Eka Putra Utama Motor).
Kasus posisi singkat, Wahyo Sunaryo (PO Karunia Bakti) membeli Pelumas Meditran SX SAE 15W-40 dari Akin Engkim (PD Eka Putra Utama Motor) sebanyak 20 drum untuk keperluan kendaraan (bus) milik Wahyo Sunaryo (PO Karunia Bakti). Setelah Wahyo Sunaryo (PO Karunia Bakti) menggunakan Pelumas Meditran SX SAE 15W-40 dari Akin Engkim (PD Eka Putra Utama Motor), 19 kendaraan (bus) milik Wahyo Sunaryo (PO Karunia Bakti) mengalami kerusakan. Atas kerusakan kendaraan (bus) setelah menggunakan Pelumas Meditran SX SAE 15W-40 dari Akin Engkim (PD Eka Putra Utama Motor), Wahyo Sunaryo (PO Karunia Bakti) menyampaikan persoalan yang dialaminya kepada BPSK Kota Tasikmalaya. Putusan BPSK Kota Tasikmalaya
mewajibkan Akin Engkim (PD Eka Putra Utama Motor) mengganti kerugian yang dialami oleh Wahyo Sunaryo (PO Karunia Bakti). PN Garut memutuskan membatalkan keputusan BPSK Kota Tasikmalaya, dan MA memutuskan untuk menganulir putusan PN Garut.25
Analisis yang dapat dipaparkan dalam kerangka perkara perdata khusus, perlindungan konsumen Nomor 291 K/Pdt.Sus-BPSK/2015 adalah sebagai berikut: pertama, analisis dalam hal para pihak yang bersengketa, Akin Engkim (PD Eka Putra Utama Motor) dapat diklasifikasikan sebagai pelaku usaha berdasarkan UUPK, dan Wahyo Sunaryo (PO Karunia Bakti) tidak dapat diklasifikasikan sebagai konsumen berdasarkan UUPK. Kedua, karena salah satu pihak tidak dapat diklasifikasikan sebagai konsumen berdasarkan UUPK, maka BPSK tidak berwenang menangani sengketa perdata khusus, perlindungan konsumen, antara Akin Engkim (PD Eka Putra Utama Motor) dengan Wahyo Sunaryo (PO Karunia Bakti).
Sengketa dengan Nomor 930 K/Pdt.Sus-BPSK/2016 adalah sengketa antara PT Jaya Real Property TBK dengan Mery Kurniaty.
Kasus posisi singkat yang dapat disampaikan dari sengketa dengan Nomor 930 K/Pdt.Sus-BPSK/2016, pihak Mery Kurniawaty memesan rumah kepada PT Jaya Real Property TBK yang dituangkan dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Nomor 0328/JRP/BJ/2013 tanggal 27 Mei 2013 (selanjutnya disebut “PPJB”). Awal sengketa timbul dari tidak dapat diselesaikan bangunan fisik rumah sesuai dengan tengat yang disepakati dalam PPJB oleh PT Jaya Real Property TBK, sehingga mengakibatkan pihak Mery Kurniaty menyampaikan persoalan yang dihadapi kepada BPSK Kota Tanggerang, dengan dasar klausula baku yang terdapat dalam PPJB (baku) yang ditetapkan oleh PT Jaya Real Property TBK, Pasal 4 ayat 2.3 PPJB berbunyi: Atas keterlambatan penyelesaian Bangunan oleh Jaya, maka Jaya dikenakan denda sebesar 0.5 % (nol koma lima) persen perbulan dari harga transaksi sebelum PPN, yang dihitung sejak jatuh temponya kewajiban tersebut sampai dengan denda maksimal sebesar 2 % (dua) persen. Denda tersebut akan dibayarkan setelah serah terima bangunan dengan ketentuan pembeli tidak pernah melalaikan kewajiban-kewajibannya seperti yang tercantum dalam perjanjian ini dan tidak membatalkan perjanjian ini. Dalam hal keterlambatan tersebut disebabkan oleh adanya peristiwa force majeure, keterlambatan pemasangan instalasi listrik PLN, atau keterlambatan lain di luar kekuasaan Jaya, maka ketentuan tentang denda ini tidak berlaku. Proses penyelesaian sengketa perdata khusus, perlindungan konsumen dipilih oleh Mery Kurniaty dengan melaporkan masalah hukum yang dihadapi kepada BPSK kota Tenggerang. BPSK kota Tanggerang memutuskan Mery Kurniaty untuk menerima ganti rugi sesuai dengan apa yang ditegaskan dalam PPJB. PN Tanggerang
memutuskan untuk membatalkan putusan BPSK Kota Tanggerang, MA memutuskan menguatkan putusan PN Tanggerang. 26
Analisis atas sengketa perkara Nomor 930 K/Pdt.Sus-BPSK/2016 yang dapat dipaparkan adalah sebagai berikut: pertama, dalam hal analisis para pihak, PT Jaya Real Property TBK dapat diklasifikasikan sebagai pelaku usaha berdasarkan UUPK, dan Mery Kurniaty dapat diklasifikasikan sebagai konsumen berdasarkan UUPK. Kedua, dalam hal kewenangan BPSK, hubungan para pihak didasarkan pada PPJB. Dalam PPJB diatur tentang hak dan kewajiban para pihak, dan salah satu yang diatur serta disepakati adalah denda yang harus dibayar oleh pihak PT Jaya Real Property TBK bilamana PT Jaya Real Property TBK tidak dapat menyelesaikan bangunan rumah sesuai dengan tengat waktu yang disepakati bersama. Hal ini berarti konsumen menuntut hak konsumen yang telah disepakati dalam PPJB, dan menurut anggapan penulis BPSK berwenang menyelesaikan sengketa perdata khusus, perlindungan konsumen antara PT Jaya Real Property TBK dengan Mery Kurniaty. Namun, PN Tanggerang maupun MA tidak menguatkan putusan BPSK dan justru menganulir putusan BPSK Kota Tanggerang dengan dalil bahwa klausula baku yang tertuang dalam Pasal 4 ayat 2.3 PPJB bertentangan dengan Pasal 18 UUPK dan Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah (Kepmenpera PPJB), sehingga apa yang dimohonkan oleh pihak Mery Kurniaty tidak dapat dipenuhi, padahal keseluruhan substansi PPJB yang didalamnya terdapat klausula baku Pasal 4 ayat 2.3 disiapkan oleh pihak PT Jaya Real Property TBK.
Sengketa konsumen antara pelaku usaha Qatar Airways dengan konsumen Leo Mualdy ditangani oleh BPSK DKI Jakarta. Tahapan penyelesaian sengketa dilakukan para pihak meliputi penyelesaian sengketa di BPSK DKI Jakarta, PN Jakarta Barat, MA untuk Kasasi dan Peninjauan Kembali dengan Nomor 117 PK/Pdt.Sus-BPSK/2017.
Dari tahap penyelesaian sengketa konsumen di BPSK sampai dengan putusan MA dimenangkan oleh pihak konsumen, dalam hal ini Leo Mualdy. Namun, pihak pelaku usaha setelah putusan MA keluar melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK), dan putusan PK atas sengketa konsumen antara Qatar Airways dengan Leo Mualdy membatalkan putusan MA sebelumnya, sehingga sengketa konsumen antara Qatar Airways dengan Leo Mualdy melalui putusan PK dimenangkan oleh pihak Qatar Airways.27
Bilamana para pihak dianalisis berdasarkan UUPK, maka Qatar Airways dapat diklasifikasikan sebagai Pelaku Usaha berdasarkan UUPK dan Leo Mualdy dapat diklasifikasikan sebagai Konsumen berdasarkan UUPK. Lebih lanjut, dalam konteks kewenangan BPSK, maka BPSK berwenang menangani sengketa konsumen antara
Qatar Airways dengan Leo Mualdy, berdasarkan Kepmenperindag 350/MPP/Kep/2001.
Berdasarkan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan nasional maupun internasional di bidang penerbangan, baik yang berlaku di Qatar Airways maupun hukum nasional Indonesia mengenai penerbangan diatur secara tegas bahwa pelaku usaha tidak bertanggung jawab atas hilang atau rusaknya bagasi kabin konsumen. Pihak yang bertanggung jawab atas hilangnya atau rusaknya bagasi kabin adalah konsumen bukan pelaku usaha. Hal lain yang dapat disampaikan, bahwa penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK tidak hanya dibutuhkan penguasaan atas UUPK namun juga harus menguasai norma atau aturan hukum tertulis yang berkorelasi erat dengan perlindungan konsumen, dalam kasus ini adalah aturan tertulis tentang pengangkutan penerbangan.
Perkara dengan Nomor 458 K/Pdt.Sus-BPSK/2017 merupakan sengketa antara PT Nusapala Parkir dengan H Mudji Waluyo.
Kasus posisi singkat yang dapat disampaikan dalam kerangka perkara Nomor 458 K/Pdt.Sus-BPSK/2017, bahwa H. Mudji Waluyo memarkirkan mobil yang dikendarai di area parkir yang dikelola oleh PT Nusapala Parkir. Pada saat mobil parkir di area parkir PT Nusapala Parkir, kaca mobil milik H Mudji Waluyo dipecahkan oleh orang tidak bertanggung jawab dan barang-barang berharga yang terdapat di dalam mobil diambil (tidak diperoleh informasi dalam putusan, barang-barang apa saja yang hilang). Akibat kaca mobil pecah dan barang-barang berharga di dalam mobil hilang, H Mudji Waluyo mengajukan persoalan hukum yang dialami kepada BPSK Kota Bekasi. BPSK Kota Bekasi memutuskan PT Nusapa Parkir utuk mengganti kerugian yang diderita H. Mudji Waluyo. PN Kota Bekasi menguatkan putusan BPSK Kota Bekasi. Putusan MA menguatkan putusan BPSK Kota Bekasi dan PN Bekasi.28
Analisis putusan yang dapat disampaikan dalam kerangka perkara Nomor 458 K/Pdt.Sus-BPSK/2017 adalah sebagai berikut: pertama, dalam hal para pihak yang bersengketa, pihak PT Nusapa Parkir dapat diklasifikasikan sebagai pelaku usaha berdasarkan UUPK, dan H. Mudji Waluyo dapat diklasifikasikan sebagai konsumen berdasarkan UUPK. Kedua, dalam konteks kewenangan BPSK Kota Bekasi, penulis berpendapat bahwa BPSK Kota Bekasi memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perdata khusus, perlindungan konsumen antara PT Nusapa Parkir dengan H. Mudji Waluyo.
Persolaan lain yang dapat dianalisis adalah keberlakuan klausula baku yang tersirat dalam putusan perkara Nomor 458 K/Pdt.Sus-BPSK/2017, yang dapat diklasifikasikan sebagai klausula eksonerasi/eksemsi, yang tertuang dalam perjanjian baku parkir, dimana salah satu isi klausula baku dimaksud adalah mengalihkan tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen bilamana terjadi kehilangan barang di area parkir
yang dikelola oleh PT Nusapala Parkir. Klausula baku yang dapat diklasifikasikan sebagai klausula eksonerasi bertentangan dengan Pasal 18 UUPK.
-
4. Kesimpulan
Dari uraian yang disampaikan berhubungan dengan analisis 14 (empat belas) perkara perdata khusus, perlindungan konsumen, dapat disimpulkan bahwa: Dari 14 putusan, 8 putusan diantaranya BPSK berwenang menangani sengketa konsumen klasifikasi perdata khusus, perlindungan konsumen, sementara terdapat 4 putusan dari 14 putusan yang sebenarnya bukan kewenangan BPSK. BPSK tidak berwenang karena salah satu pihak yang bersengketa tidak dapat diklasifikasikan sebagai konsumen akhir, seperti yang diatur dalam UUPK. Lebih lanjut, Hakim MA dan Anggota BPSK belum memahami sepenuhnya atas tugas dan kewenangan BPSK berdasarkan UUPK dan Kemenperindag No.350/MPP/KPP/2001, khususnya bahwa pilihan cara penyelesaian sengketa di BPSK harus diberi makna salah satu dari mediasi atau konsiliasi atau arbitrase. Hal lain, dari analisis putusan perkara perdata khusus, perlindungan konsumen, pengetahuan hukum bagi anggota BPSK tidak hanya cukup dengan mengetahui dan memahami UUPK saja, tetapi juga harus mengetahui dan memahami peratura perundang-undangan lain yang berkorelasi erat dengan perlindungan konsumen, seperti misalnya UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Daftar Pustaka
Buku
Kristiyanti, C. T. S. (2017). Hukum perlindungan konsumen. Jakarta : Sinar Grafika.
Rajagukguk, E. dkk. (2000). Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung: CV. Mandar Maju.
Sidabalok, J. (2014). Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Shidarta. (2004). Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Grasindo. Jakarta.
Jurnal
Gunawan, J. (2018). Kontroversi Strict Liability Dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Veritas et Justitia, 4(2), 274-303. https://doi.org/10.25123/vej.3082
Nurcahyo, E., & Nurcahyo, E. (2018). Pengaturan dan Pengawasan Produk Pangan Olahan Kemasan. Jurnal Magister Hukum Udayana, 7(8), 402-417.
https://doi.org/10.24843/JMHU.2018.v07.i03.
Rachmanto, A Dwi. (2018). Penyelesaian Sengketa Konsumen Akibat Perjanjian Baku Dan Klausula Baku Pasca Keberlakuan UU Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan. Jurnal Hukum & Pembangunan, 48 (4), 826-857.
http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol48.no4.1805
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350 Tahun 2001
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku.
Putusan Perkara
Nomor 135 PK/Pdt.Sus-BPSK/ 2013
Nomor 10 K/Pdt.Sus/2013
Nomor 53 PK/Pdt.Sus-BPSK/2013
Nomor 68 PK/Pdt.Sus-BPSK/2013
Nomor 620 K/Pdt.Sus-BPSK/2013
Nomor 265 K/Pdt.Sus-BPSK/2013
Nomor 678 K/Pdt.Sus-BPSK/2014
Nomor 167 K/Pdt.Sus-BPSK/2014
Nomor 573 K/Pdt.Sus-BPSK/2014
Nomor 773 K/Pdt.Sus-BPSK/2015
Nomor 291 K/Pdt.Sus-BPSK/2015
Nomor 930 K/Pdt.Sus-BPSK/2016
Nomor 117 PK/Pdt.Sus-BPSK/ 2017
Nomor 458 K/Pdt.Sus-BPSK/2017
Website
Andi Saputra, A. (2017) Tok! 127 Keputusan Sengketa Konsumen Dianulir MA. Detiknews. https://news.detik.com/berita/d-3669668/tok-127-keputusan-sengketa-konsumen-dianulir-ma
Lainnya
Gunawan, J. (2017). Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Bandung: Bahan Kuliah Doktor Ilmu Hukum. Sekolah Pascasarjana. Unpar.
Gunawan, J. (2015). Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung: Bahan Kuliah FH Unpar.
388
Discussion and feedback