Pertanggungjawaban Pidana Perusahaan Teknologi atas Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas oleh Pengemudi Ojek Online
on
Jurnalmagisterhukumudayana (≡w≡≡ m© w≡ ≡w j© w≡½j
Vol. 8 No. 1 Mei 2019
E-ISSN: 2502-3101 P-ISSN: 2302-528x
http: //ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

Pertanggungjawaban Pidana Perusahaan Teknologi atas Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas oleh Pengemudi Ojek Online
Ratna Kumala Sari1, Nyoman Serikat Putra Jaya2
1Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, E-mail: [email protected] 2Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 1 Nopember 2018 Diterima: 17 Januari 2019 Terbit: 31Mei 2019
Keywords:
Criminal liability; Technology
Company; Traffic accident
Kata kunci:
Pertanggungjawaban Pidana;
Perusahaan Teknologi;
Kecelakaan Lalu Lintas
Corresponding Author:
Ratna Kumala Sari, E-mail: [email protected]
DOI:
10.24843/JMHU.2019.v08.i01.
p03
Abstract
-
1. Pendahuluan
Perusahaan dengan berbagai bentuk banyak memberikan sumbangan yang cukup penting bagi masyarakat dan negara seperti meningkatnya penerimaan pajak dan kelayakan hidup dalam masyarakat, membuka lapangan kerja, sehingga mengurangi beban negara untuk mengatasi pengangguran serta memberikan kontribusi bagi suatu negara.1 Pendek kata perusahaan memberikan dampak yang positif. Namun demikian di sisi yang lain tidak jarang mendatangkan dampak negatif yang adakalanya dirasakan lebih luas dan merugikan bagi masyarakat. Seperti keberadaan layanan transportasi Perusahaan Teknologi berbasis online yang memiliki layanan GO-RIDE2. GO-RIDE menggunakan kendaraan bermotor roda dua atau sepeda motor, namun belakangan ini hampir sering terjadi kasus kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh pengemudi ojek online. Salah satu kasus yang terjadi yaitu, pada tanggal 27 Mei 2018 terjadi kecelakaan lalu lintas yang menewaskan penumpang ojek online. Dalam kronologinya terlihat sepeda motor ojek online yang ditumpangi penumpang berada di belokan, rupanya sepeda motor berada di kiri bus, lalu posisi bus mepet sehingga menyenggol sepeda motor. Pengemudi dan penumpang ojek terjatuh. Namun, saat terjatuh tubuh penumpang (korban) masuk ke kolong bus lalu terlindas ban belakang bus.
Berkaitan dengan maraknya kecelakaan lalu lintas ini membuat reaksi yang kurang baik dari pemerintah. Hal tersebut dibuktikan dengan dikeluarkannya kebijakan oleh Kementerian Perhubungan yang berisi tentang larangan Perusahaan Teknologi dalam hal ini layanan GO-RIDE untuk beroperasi, karena alat transportasi yang digunakan yaitu sepeda motor yang dianggap melanggar perundang-undangan. Bahwa dalam Pasal 138 ayat (2) UULLAJ menyatakan bahwa angkutan umum dan/atau barang hanya dilakukan dengan kendaraan bermotor umum. Kemudian BAB I Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan dan Pasal 1 angka 3 Keputusan Menteri No. 35 Tahun 2003 menyatakan bahwa kendaraan bermotor umum adalah setiap kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan/ atau orang dengan dipungut bayaran. Kendaraan bermotor umum dikategorikan yaitu mobil bus, mobil penumpang, dan mobil barang.
Permasalahan pertanggungjawaban pidana perusahaan teknologi ini muncul karena korporasi sebagai subjek tindak pidana sudah banyak ditempatkan dalam undang-undang untuk dimintai pertanggungjawaban, namun masih sangat terbatas perkara dengan subjek hukum korporasi yang diajukan dalam proses pidana, diantara penyebabnya adalah tata cara pemeriksaan korporasi dan prosedur yang akan digunakan untuk menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana masih belum jelas. Adapun jika diselesaikan di pengadilan penegakan hukum kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh pengemudi ojek online hanya pengemudi yang di bawa ke sidang pengadilan sedangkan perusahaan yang membawahi belum atau tidak pernah diangkat sebagai subjek hukum.
Berdasarkan latar belakang di atas dan dilihat dari perkembangan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, dalam hal ini pertanggungjawaban
dapat dibebankan terhadap korporasi yang menjadi pelaku perbuatan pidana3 maka berkaitan dengan penulisan ini merumuskan masalah sebagai berikut, pertama Bagaimana pertanggungjawaban pidana perusahaan teknologi atas tindak pidana kecelakaan lalu lintas oleh pengemudi ojek online? dan kedua Bagaimana penegakan hukum terhadap perusahaan teknologi atas tindak pidana kecelakaan lalu lintas oleh pengemudi ojek online?
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis mengenai pertanggungjawaban pidana perusahaan teknologi atas tindak pidana kecelakaan lalu lintas oleh pengemudi ojek online dan untuk mengkritisi penegakan hukumnya.
-
2. Metode Penelitian
Jenis penelitian dalam penyusunan penulisan ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu. Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doktrinal, yaitu penelitian yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-undangan dan bahasa pustaka. Pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan kasus didasarkan pada semakin bermunculannya kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh pengemudi ojek online yang mempunyai hubungan kemitraan dengan perusahaan teknologi yang melanggar peraturan perundang-undangan (UULLAJ). Pendekatan perundang-undangan juga digunakan untuk mengkaji masalah secara normatif baik dari perspektif ius constitutum maupun ius constituendum terkait pertanggungjawaban perusahaan teknologi. Pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan ini yaitu Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan, serta Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi. Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum dengan teknik dokumen, yaitu dengan mengumpulkan studi pustaka yang ada pada bahan hukum sekunder. Kemudian data yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis dengan metode kualitatif yang didukung oleh logika berpikir secara deduktif sebagai jawaban atas segala permasalahan hukum yang ada dalam penulisan ini.
Secara etimologis kata korporasi berasal dari kata “corporatie” (Belanda), “corporation” (Inggris), “corporation” (Jerman) berasal dari kata “corpoatio” yang kata kerjanya adalah “corporare” dalam bahasa Latin. Kata corporare berasal dari kata “corpus” yang artinya hasil dari pekerjaan membadankan, atau dengan kata lain badan yang diperoleh
karena perbuatan manusia sebagai lawan dari badan manusia yang terjadi menurut alam.4
Selanjutnya berbicara mengenai korporasi, di Indonesia hukum pidana terus berkembang. Sama halnya perkembangan ini sejalan dengan perkembangan hukum pidana di negara lain seperti di Belanda dan Perancis kedua negara tersebut sudah menerapkan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. 5 Ketentuan-ketentuan pidana di luar KUHP terus berkembang dan telah memperluas subjek pelaku tindak pidana, yaitu yang tidak hanya terbatas pada manusia, melainkan juga kepada korporasi.
Korporasi yang ditetapkan sebagai subjek hukum tindak pidana yang tidak selaras dengan ketentuan dalam pidana umum yaitu KUHP, dalam penegakan hukumnya akan membawa berbagai implikasi.6Hal tersebut dapat dijumpai dalam perumusan pertanggungjawaban korporasi salah satunya dalam hal ini kecelakaan lalu lintas sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 315 UULLAJ, yang hingga sekarang pasal ini belum pernah digunakan dalam penegakan hukum khususnya pada delik kecelakaan lalu lintas. Pertanggungajawaban pidana terhadap korporasi di beberapa negara maju sudah mengalami perkembangan pesat baik terhadap pengurus korporasi telah dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana. Dengan demikian, dalam menjalankan kebijakan korporasi akan dituntun untuk lebih berhati-hati.7
Alasan penggunaan hukum pidana terhadap korporasi yaitu: (1) Hukum pidana mampu berperan secara edukatif dalam menetapkan atau menetapkan dan memperkuat diterimanya batas-batas perbuatan; (2) Hukum pidana dengan langkah yang lebih cepat dari hukum perdata. Kompensasi bagi korban dapat lebih cepat diberikan dengan pidana restitusi; (3) Dengan penggunaan sanksi pidana peradilan perdata menjadi terhalang; (4) Apabila menggunakan ancaman pengurungan maka forum pidana diperlukan.8
Pertanggungjawaban korporasi yang diatur dalam Pasal 315 UULLAJ menyebutkan:
-
(1) dalam hal tindak pidana dilakukan oleh perusahaan angkutan umum, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap perusahaan angkutan umum dan atau pengurusnya.
-
(2) dalam hal tindak pidana lalu lintas dilakukan perusahaan angkutan umum, selain pidana yang dijatuhkan terhadap pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dijatuhkan pula pidana denda paling banyak dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam bab ini.
-
(3) selain pidana denda perusahaan angkutan umum dapat dilakukan pidana tambahan berupa pembekuan sementara atau pencabutan izin penyelenggara angkutan bagi kendaraan yang digunakan
Pertanggungjawaban atau liability dapat dilihat dari falsafah hukumnya. Roscou Pound seorang filsafah pada abad ke-20 menjelaskan bahwa pertanggungjawaban adalah suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang harus diterima oleh pelaku dari orang yang telah dirugikan.9
Sebagai badan hukum, korporasi tidak memiliki jiwa, sehingga tidak mungkin melakukan kesalahan.10 Namun, dalam hukum pidana, prinsip pertama untuk dapat dimintai pertanggungjawaban yaitu, harus ada kesalahan meliputi kealpaan dan kesengajaan yang merupakan sikap batin yang berhubungan dengan perbuatan termasuk dalam penghapusan pidana. Dalam pertanggungjawaban korporasi ajaran kesalahan menjadi permasalahan karena baik kealpaan dan kesengajaan hanya berlaku pada manusia. Oleh karena itu, berikut akan diuraikan apakah kesalahan yang terdapat pada korporasi merupakan konsekuensi diterimanya asas kesalahan, karena ajaran kesalahan tidak dapat dilepaskan dari pertanggungjawaban dan yang menjadi pertanyaan berikutnya apakah kesalahan/ kesengajaan dapat dimiliki oleh korporasi.
Ada 2 (dua) syarat subyektif terkait pertanggungjawaban terhadap korporasi, yaitu:11
-
1) Masalah kemampuan bertanggung jawab korporasi
Sehubungan dengan kemampuan bertanggung jawab korporasi yang menjadi salah satu subjek hukum pidana maka akan digunakan konsep kepelakuan fungsional (Functional daderschap) mengingat bahwa korporasi tidak mempunyai sifat kejiwaan (kerohanian) seperti halnya manusia alamiah (natuurlijk persoon).
Kepelakuan fungsional menurut Wolter adalah sebuah karya interpretasi kehakiman, hakim menginterpretasikan tindak pidana itu sedemikian rupa sehingga pemidanaan memenuhi persyaratan dari masyarakat. Kepelakuan fungsional mempunyai ciri khas yaitu perbuatan fisik dari yang satu (yang sebenarnya melakukan atau membuatnya) menghasilkan perbuatan fungsional kepada yang lain.
Adanya interpretasi fungsional dari hakim dapat diyakinkan dengan memenuhi 3 (tiga) tahap yaitu:
-
1. kepentingan yang manakah yang ingin dilindungi oleh pembentuk undang-undang.
-
2. pribadi yang manakah dalam kasus pidana yang dapat menjalankan atau melakukan tindak pidana, siapa yang berada dalam posisi yang sangat menentukan untuk jadinya/ tidaknya dilakukan atau dijalankan tindak pidana itu.
-
3. diajukan pertanyaan pembuktian, apakah ada cukup pembuktian secara sahih (wettig bewijs), ternyata tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Dapat dipahami bahwa kemampuan bertanggung jawab dalam ajaran fungsional adalah orang-orang yang berbuat untuk dan atas nama korporasi dialihkan menjadi kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai subjek tindak pidana.
-
2) Masalah kesengajaan dan kealpaan korporasi12
Unsur berikutnya dari pertanggungjawaban atau kesalahan dalam arti seluas-luasnya yaitu hubungan batin antara perbuatannya dengan pembuat. Yang akan digunakan untuk menentukan apakah dan bagaimanakah korporasi yang tidak mempunyai jiwa kemanusiaan dan unsur-unsur psikis, dapat memenuhi unsur-unsur kesengajaan atau kealpaan.
Suprapto menyatakan bahwa hukum membolehkan badan-badan untuk melakukan perbuatan sebagai orang-orang dengan melalui alat-alatnya, maka dapatlah dimengerti bahwa pada badan-badan bisa didapatkan kesalahan bila kesengajaan/ kelalaian terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alatnya, kesalahan itu tidak bersifat individual, karena hal itu mengenai badan sebagai kolektivitet, dengan demikian kesalahan itu disebut kesalahan kolektif yang dibebankan kepada pengurusnya.13
Muladi mengajukan beberapa pedoman untuk dijadikan bahan pemecah permasalahan pertanggungjawaban korporasi dan digunakan untuk menentukan kealpaan dan kesengajaan korporasi, sebagai berikut:14
-
a. apakah tindakan para pengurus korporasi dalam rangka tujuan statutair korporasi dan/ atau sesuai dengan kebijakan perusahaan. Bahkan sebenarnya cukup untuk melihat apakah tindakan korporasi sesuai dengan ruang lingkup pekerjaan korporasi. Kepelakukan korporasi tidak mudah diterima, jika tindakan korporasi dalam pergaulan masyarakat tidak dianggap sebagai perilaku korporasi.
-
b. apakah kesengajaan bertindak pengurus korporasi pada kenyataannya tercakup dalam politik perusahaan atau berada dalam kegiatan yang nyata dari suatu perusahaan. Jadi harus dideteksi melalui suasana kejiwaan yang berlaku pada korporasi. Dengan konstruksi pertanggungjawaban, kesengajaan perorangan yang bertindak atas nama korporasi dapat menjadi kesengajaan korporasi.
Korporasi sebagai subjek hukum, dapat dibedakan dengan melihat antara pembuat (yang melakukan pidana) dan yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, cara atau sistem perumusan pertanggungjawaban pidana terhadap pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana15 akan dibahas lebih lanjut dalam doktrin-doktrin atau teori-teori yang membenarkan pertanggungjawaban pidana korporasi, Roeslan Saleh
berpendapat khususnya untuk pertanggungjawaban dari korporasi, asas kesalahan tidak mutlak berlaku, antara lain:
-
(1) Identification theory
Teori ini menyatakan bahwa perbuatan/ kesalahan pejabat senior (senior officer) diidentifikasi sebagai perbuatan/ kesalahan korporasi. Oleh sebab itu dapat disebut juga teori organ atau teori “alter ego”
-
a) Dalam arti sempit (Inggris): hanya perbuatan pejabat senior (otak korporasi) yang dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi.
-
b) Dalam arti luas (Amerika Serikat): tidak hanya pejabat senior/ direktur, tetapi juga agen dibawahnya.
Pandangan mendasar dari teori ini yaitu bahwa tindakan dari korporasi dapat digambarkan dengan tindakan orang-orang tertentu. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa melalui orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan korporasi, korporasi bisa melakukan delik secara langsung dan dipandang sebagai perusahaan itu sendiri. Dengan demikian bahwa agen tertentu dalam korporasi dianggap sebagai directing mind atau alter ego.16
-
(2) Strict Liability
Doktrin “strict liability” (pertanggungan yang ketat). Secara singkat doktrin ini dapat diartikan “liability without fault” (pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan). Dengan kata lain meskipun pada diri seseorang tidak ada kesalahan (mens rea), seseorang itu sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu.17
Kesalahan (mens rea) berasal dari suatu maksim yang berbunyi “Actus non est nisi mens sif rea”, maksudnya adalah suatu perbuatan tidak menjadikan seseorang bersalah kecuali pikirannya adalah salah.18
L.B. Curson berpendapat doktrin strict liability ini didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:
-
a. sangat essensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan-peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan sosial.
-
b. pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran-pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial itu.
-
c. tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan.
Tetapi doktrin strict liability pada umumnya sering dijumpai pada delik-delik yang diatur dalam undang-undang (statutory offences; regulatory offences; mala prohibita) yang pada umumnya merupakan delik-delik terhadap kesejahteraan umum (public welfare offences). Yang termasuk dalam regulatory offences misalnya, penjualan makanan dan
minuman atau obat-obatan yang membahayakan, penggunaan gambar dagang yang menyesatkan dan pelanggaran lalu lintas.19
-
(3) Vicarious Liability
Teori Imputasi mendasarkan pada prinsip vicarious liability atau tanggungjawab yang dialihkan kepada pihak lain oleh pelaku fisik karena adanya hubungan antara pihak yang dipertanggungjawabkan dengan pelaku fisik.20
Berdasarkan teori imputasi hubungan antara pegawai sebagai pelaku fisik dengan korporasi merupakan hal yang utama, dalam arti pegawai tersebut berada pada ruang lingkup atau bagian dari pekerjaan dalam bertindak untuk kepentingan korporasi. Dengan demikian maksud dan tindakan pegawainya korporasi lah yang bertanggungjawab. 21
Dalam menggunakan prinsip vicarious liability dapat dihubungkan dengan teori respondeat superior. Menurut teori respondeat superior, dalam hukum pidana korporasi dapat dipertanggungjawabkan, jika kejahatan dilakukan oleh agen korporasi dalam lingkup pekerjaannya dan dimaksudkan korporasi mendapatkan keuntungan.
Suatu korporasi dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan agennya, harus memenuhi 3 unsur sebagaimana yang di ungkapkan oleh Sigid Soeseno yang mengutip pendapat Sanford H., Kadish yaitu:
-
a. kejahatan dilakukan oleh agen korporasi;
-
b. kejahatan tersebut dilakukan dalam lingkup kewenangannya;
-
c. dengan tujuan untuk keuntungan korporasi.22
Penanggung jawab utama dari perbuatan para buruh/ karyawan ini didasarkan pada “employment princple” bahwa majikan (“employer”). Prinsip ini dikenal juga dengan istilah “the agency principle”.
Bertolak dari “employment princple” dalam kaitannya dengan vicarious liability, Peter Gillies (1990; 131-132) membuat beberapa posisi antara lain:
-
a. suatu perusahaan (seperti halnya dengan manusia sebagai pelaku/ pengusaha) dapat bertanggung jawab secara mengganti untuk perbuatan yang dilakukan oleh karyawan/ agennya. Pertanggungjawaban demikian hanya timbul untuk delik yang mampu dilakukan secara vicarious.
-
b. dalam hubungannya dengan “employment princple”, delik-delik ini sebagian besar atau seluruhnya merupakan “summary offences” yang berkaitan dengan peraturan perdagangan.
-
c. kedudukan majikan atau agen dalam ruang lingkup pekerjaannya, tidaklah relevan menurut doktrin ini. Tidaklah penting bahwa majikan, baik sebagai korporasi
maupun secara alami, tidak telah mengarahkan atau memberi petunjuk/ perintah pada karyawan untuk melakukan pelanggaran terhadap hukum pidana. (Bahkan, dalam beberapa kasus, vicarious liability dikenakan terhadap majikan walaupun karyawan melakukan perbuatan bertentangan dengan instruksi, berdasarkan alasan bahwa perbuatan karyawan dipandang sebagai telah melakukan perbuatan itu dalam ruang lingkup pekerjaannya).
Oleh sebab itu, apabila perusahaan terlibat, pertanggungjawaban muncul sekalipun perbuatan itu dilakukan tanpa menunjuk pada orang senior di dalam perusahaan.23
Dalam employment principle, yang bertanggung jawab utama terhadap apa yang dilakukan oleh buruh dimana perbuatan tersebut dilakukan dalam lingkup pekerjaannya adalah majikan. Negara Australia menyatakan dengan tegas bahwa tanggungjawab majikan adalah the vicars’s criminal act (perbuatan dalam delik vicarious) dan the vicar’s guilty mind (kesalahan atau sikap batin jahat dalam delik vicarious). Sedangkan di negara Inggris, hanya jika ada pendelegasian kewenangan dan kewajiban yang relevan (a relevan delegation of powers and duties) menurut undang-undang majikan dapat dianggap bertanggungjawab atas a guilty mind.24
Dengan kata lain dapat dikatakan ada prinsip delegasi (delegation principle) yang dianut, dimana majikan dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan (guilty mind) dari buruh atau karyawan, hanya apabila ada pendelegasian kewenangan dan kewajiban dan hanya untuk delik yang ditentukan oleh undang-undang (statutory offences).25
Teori ini juga mempunyai kemiripan dengan konsep penyertaan dimana yang dapat dimintai pertanggungjawaban diisyaratkan minimal terdapat 2 (dua) orang, pelaku yang memenuhi rumusan delik (pelaku fisik) dan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik (bukan pelaku fisik). Dalam penyertaan pertanggungjawaban terhadap “bukan pelaku fisik” (penyuruh atau penggerak) berdasarkan unsur kesengajaan (niat kehendak untuk melakukan tindak pidana), sedangkan pada vicarious liability pertanggungjawaban pidana terhadap “bukan pelaku fisik” (majikan atau atasan) bukan berdasarkan unsur kesengajaan, tetapi atas dasar adanya hubungan tertentu antara yang bersangkutan dengan pelaku fisik.
Perluasan tersebut dapat diartikan bahwa dalam penyertaan, yang dapat di mintakan pertanggungjawaban pidana ketika terdapat unsur kesengajaan “bukan pelaku fisik”, sedangkan dalam vicarious liability seorang dapat di mintakan pertanggungjawaban pidana dengan syarat adanya hubungan tertentu misalnya hubungan pekerjaan, hubungan lain, pendelegasian maupun adanya kepentingan antara para pihak meskipun tanpa adanya kesengajaan. 26
Doktrin ini juga diperkuat dengan adanya pertanggungjawaban korporasi dapat dibebankan kepada direktur adalah doktrin Fiduciary Duty. Tugas utama dari direksi suatu korporasi berdasarkan prinsip Fiduciary Duty adalah:
-
a. Fungsi manajemen, artinya tugas memimpin perusahaan dilakukan oleh direksi.
-
b. Fungsi representasi, artinya di dalam dan di luar pengadilan diwakilkan oleh direksi.27
Selanjutnya dapat dilihat dalam Pasal 3 PERMA Republik Indonesia No. 13 Tahun 2016 tentang Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi menyatakan bahwa tindak pidana oleh korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama korporasi di dalam maupun di luar lingkungan Korporasi.
Bahwa antara perusahaan teknologi dan pengemudi ojek online terdapat hubungan mitra. Dalam perjanjian mitra dijelaskan bahwa pengemudi (mitra) menyetujui semua risiko maupun kewajiban yaitu pengemudi (mitra) bertanggung jawab apabila terjadi kecelakaan yang berhubungan dengan penyediaan jasa oleh mitra kepada konsumen. Selain itu, mitra membebaskan perusahaan teknologi tersebut dari segala macam tindakan hukum seperti tuntutan, gugatan, dan sebagainya yang dialami oleh pengemudi baik dalam sebuah gugatan perdata maupun setiap tuntutan pidana.
Namun perlu diingat bahwa dalam hubungan kemitraan tersebut terdapat kepentingan antara pihak, perusahaan teknologi dan pengemudi ojek online. Melalui adanya perjanjian kemitraan, perusahaan teknologi dan pengemudi akan memperoleh atau menghasilkan keuntungan dengan sistem pembagian hasil yaitu dengan sistem dibagi menjadi dua. Pengemudi mendapat 80% dan untuk perusahaan teknologi mendapatkan 20%. Dalam hal ini selaras dengan menggunakan teori vicarious liability dapat dihubungkan dengan teori respondeat superior. Menurut teori respondeat superior, dalam hukum pidana korporasi dapat dipertanggungjawabkan, jika kejahatan dilakukan oleh agen korporasi dalam lingkup pekerjaannya dan dimaksudkan korporasi mendapatkan keuntungan.
Bahwa untuk menjerat perusahaan teknologi bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum sampai dengan hakim dengan berlandaskan hukum yaitu dengan menganalogikan perusahaan teknologi menjadi perusahaan angkutan umum sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 315 ayat (1) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Selain dengan menggunakan dasar hukum di atas, dapat juga diperkuat dengan menggunakan dasar hukum pada Pasal 3 PERMA Republik Indonesia No. 13 Tahun 2016 dengan berdasarkan pada hubungan lain, yang dengan istilah lain dapat dikatakan yaitu hubungan mitra antara pengemudi ojek online dengan perusahaan teknologi.
Joseph Goldstein dalam Muladi 28 penegakan hukum pidana dibedakan atas tiga macam, yaitu:
-
a. Total Enforcement yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif. Penegakan hukum total enforcement ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum pidana. Selain itu hukum pidana substantif memiliki kemungkinan memberikan batasan-batasan;
-
b. Full enforcement yaitu Total Enforcement setelah dikurangi area of no enforcement, dalam ruang lingkup mana para penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal. Tetapi oleh Joseph Goldstein harapan ini dianggap not a realistic expectation, sebab ada keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya;
-
c. Actual Enforcement para penegak hukum harus melihat kenyataan-kenyataan yang ada di masyarakat dan dibutuhkan kewenangan melakukan diskresi.
Berkaitan dengan actual enforcement tersebut, penegakan hukum terhadap lalu lintas menjadi salah satu kegiatan dari fungsi lalu lintas yang mempunyai peran agar setiap pengguna jalan mentaati perundang-undangan dan peraturan-peraturannya.
Dalam sistem hukum Indonesia suatu bentuk tindakan tertentu (actus reus atau guilty act) dan pembuktian terhadap unsur mens rea dari suatu entitas abstrak seperti korporasi agar dapat diatribusikan tergolong sangat sulit. Sekalipun menjadikan undang-undang sebagai landasan hukum untuk dibebankannya criminal liability terhadap korporasi, namun hingga saat ini peraturan-peraturan tersebut enggan digunakan oleh pengadilan. Hal tersebut dapat dibuktikan dari tidak adanya korporasi yang diseret ke depan pengadilan dalam kasus kecelakaan lalu lintas dan tentu saja hal ini berdampak putusan pengadilan mengenai hal tersebut menjadi tidak ada. Hingga saat ini hanya kasus lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi yang muncul di peradilan. Hal tersebut disebabkan karena tindak pidana dapat dikenakan dengan memenuhi dua hal yaitu asas legalitas menjadi dasar adanya tindak pidana, sedangkan kesalahan menjadi dasar dapat di pidananya pembuat tindak pidana. Dengan demikian dapat dipahami bahwa hanya dengan kesalahan subjek pembuat tindak pidana dapat dipidana. Sedangkan yang menyangkut tentang pertanggungjawaban pidana ketika seseorang itu dikatakan mempunyai kesalahan. Padahal kesalahan yang dimaksud adalah keadaan jiwa seseorang yang melakukan perbuatan dan perbuatan yang dilakukan itu sedemikian rupa, sehingga orang itu patut untuk dicela. Pidana akan tetap dijatuhkan apabila pembuat tindak memang mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana. Sebaliknya meskipun telah melakukan perbuatan yang dilarang dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana subjek pembuat tindak pidana yang tidak mempunyai kesalahan, tidak akan dijatuhi pidana. Hal ini berarti bahwa asas tiada pidana tanpa kesalahan ditempatkan sebagai asas fundamental dalam pertanggungjawaban pembuat tindak pidana karena telah melakukan tindak pidana. Dalam konteks kesalahan sendiri terdiri dari beberapa aspek, yang hanya melekat pada manusia yaitu, kemampuan bertanggung jawab, kesengajaan, kealpaan, dan tidak ada alasan pemaaf. Oleh karena itu, unsur kemampuan bertanggung jawab dan unsur kesengajaan yang dapat dipenuhi oleh manusia sebagai subjek individu. Dengan demikian pertanggungjawaban pidana akan sulit untuk dapat dikenakan terhadap korporasi, karena sulitnya untuk mengenakan unsur kesalahan kepada korporasi yang bukanlah manusia. Sebagai legal entity, korporasi tidak mempunyai
jiwa. Selain itu juga sulit untuk membuktikan niat dan ukuran kedewasaan korporasi serta untuk mengetahui keinginan dan kecakapannya.29
Bahwa penegakan hukum terhadap pertanggungjawaban pidana pada perusahaan teknologi sama seperti penegakan hukum tindak pidana lainnya. Dalam hal pertanggungjawaban pidana korporasi tidak mempunyai arti sama sekali dan ketentuan mengenai pasal-pasal pertanggungjawaban pidana korporasi dalam beberapa peraturan dan/ atau undang-undang hanya menjadi pasal pelengkap yang tidak memilki arti apa-apa dalam penegakan hukum.
Hal diatas dapat dibuktikan yang hingga sampai saat ini belum pernah terdapat kasus kecelakaan lalu lintas yang pertanggungjawabanya melibatkan korporasi, terlebih lagi perusahaan teknologi yang legalitasnya saja masih dipertanyakan atau belum jelas. Selain itu praktiknya relatif sulit bagi penyidik, dikarenakan pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana masih belum jelas.
Di samping itu penyidik belum mengetahui bagaimana cara menyidik perusahaan angkutan dalam hal ini perusahaan teknologi berbasis aplikasi karena belum ada petunjuk teknis yang dikeluarkan.
-
4. Kesimpulan
Kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh pengemudi ojek online dapat disebut sebagai tindak pidana perusahaan teknologi karena hal tersebut dilakukan oleh perusahaan teknologi. Walaupun pelakunya secara fisik tidak dilakukan oleh perusahaan teknologi, tetapi orang dalam hal ini pengemudi yang melakukan perbuatan pidana tersebut bertindak untuk dan atas nama perusahaan. Bahwa perusahaan tidak harus melakukan perbuatan pidananya itu secara fisik, melainkan dengan hubungan lain yaitu hubungan antara pengurus dan/atau korporasi dengan orang dan/ atau korporasi lain sehingga menjadikan pihak lain tersebut bertindak untuk kepentingan pihak pertama berdasarkan perikatan, baik tertulis maupun tidak tertulis, hal tersebut didasarkan pada teori vicarious liability . Dalam hal ini pengemudi bertindak untuk kepentingan perusahaan teknologi tersebut. Selanjutnya menurut Pasal 315 ayat (1) UULLAJ, pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan terhadap perusahaan angkutan umum dan atau pengurusnya dalam hal ini dapat dikenakan terhadap perusahaan teknologi.
Praktek penegakan hukum terhadap perusahaan teknologi atas tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh pengemudi ojek online mendapati kendala, yaitu kendala yuridis dan kendala non yuridis. Kendala yuridisnya antara lain belum ada ketentuan hukum acara pidana yang secara jelas mengatur penuntutan terhadap perusahaan, ketentuan dalam undang-undangnya sendiri mengenai sanksi pidana bagi perusahaan angkutan masih terlalu umum dan tidak ada penjelasan yang komprehensif sehingga dapat mengakibatkan berbagai penafsiran, kesulitan mencari alat-alat bukti yang mendukung pertanggungjawaban pidana perusahaan angkutan.
Kendala non yuridis antara lain keterbatasan sumber daya manusia dalam hal pengetahuan hukum dan kemampuan teknis yang berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana perusahaan teknologi.
Daftar Pustaka
Buku
Arief, B. N. (2009). Pelengkap Bahan Kuliah Hukum Pidana I. Semarang: Badan Penyelidikan dan Badan Penelitian FH UNDIP
Arief, B. N. (2003). Kapita selekta hukum pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Barda Nawawi Arief. (1988). Perbandingan Hukum Pidana. Semarang: FH UDIP.
Barda Nawawi. (2002). Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Dwidja Priyatno. (2004). Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia. Tulungagung: CV. Utomo.
Hamzah Hatrik. (1996). Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia (strict liability dan vicarious liability). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
L.S Susanto. (1995). Kriminologi. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Priyatno, H. D. (2017). Sistem pertanggungjawaban pidana korporasi: dalam kebijakan legislasi. Prenada Media.
Muladi. (1995). Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Romli Atmasasmita. (1989). Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana. Cetakan Pertama. Jakarta: Yayasan LBH.
Roeslan Saleh. (1982). Pikiran-pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Setiyono. (2002). Kejahatan Korporasi. Malang: Averroes Press.
Sigid Soeseno. (2013). Hukum Pidana Indonesia, Perkembangan dan Pembaharuan (Implikasi Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Perundang-undangan Pidana dan Praktik Peradilan Pidana Indonesia. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya).
Jurnal
Ali, M. (2011). Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. Ius Quia Iustum Law Journal, 18(2), 247-265.
https://doi.org/10.20885/iustum.vol18.iss2.art6
Adriano. (2013). Menguji Konsep Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jurnal Yuridika, 28(3), 331-350. http://dx.doi.org/10.20473/ydk.v28i3.350
Anjari, W. (2016). Pertanggungjawaban Koporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana. Jurnal Ilmiah WIDYA Yustisia. 1(2).
Enggarsasi, U. (2006). Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi Dalam Kejahatan Ekonomi. Perspektif, 7(1), 20-25.
Toruan, H. D. L. (2014). Pertanggungjawaban pidana korupsi korporasi. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 3(3), 397-416.
Mahasena, A. Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Jual Beli Organ Tubuh Manusia. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 7(1), 75-90. https://doi.org/10.24843/JMHU.2018.v07.i01.p07
Mahulae, H. P. I., & Pujiyono, U. R. (2017). Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kecelakaan Lalu Lintas Serta Konsep Penegakan Hukumnya Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Diponegoro Law Journal, 6(2), 1-11.
Kristian, K. (2014). Urgensi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jurnal Hukum & Pembangunan, 44(4), 575-621. http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol44.no4.36
Krismen, Y. (2014). Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Kejahatan Ekonomi. Jurnal Ilmu Hukum, 4(1), 61-70.
Kurnianingsih, M. (2016). Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Jurnal Tadulako Law Review, 1(1), 108-128.
http://dx.doi.org/10.22487/j25272985.2016.v1.i1.6284
Runtuwene, R. R. R. (2017). Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Sutu Perkembangan Tindak Pidana. Jurnal Lex et Societatis, 5(2), 124-131.
Wachjoe, P., & Santhos, H. (2016). Pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi. Jurnal Hukum dan Peradilan, 5(2), 155-180.
Widowaty, Y. (2012). Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana Lingkungan Hidup. Jurnal Yudisial, 5(2), 154-169. http://dx.doi.org/10.29123/jy.v5i2.152
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LN No.: 96, TLN No: 5025)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2014 Tentang Angkutan Jalan (LN No: 260)
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi (BN No: 2058)
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM. 35 Tahun 2003 Tentang
Penyelenggaraan Angkutan Orang Di Jalan Dengan Kendaaraan Umum
47
Discussion and feedback