Hak Recall Partai Politik Terhadap Status Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
on
JuitNALMaGisTERHUKOMJIDnKlU
P>KMS ≡(3ES≡ ≡W p≡Sffi)
Vol. 7 No. 4 Desember 2018 E-ISSN: 2502-3101 P-ISSN: 2302-528x http: //ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

Hak Recall Partai Politik Terhadap Status Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Muhamad Aljebra Aliksan Rauf1, Marten Bunga2, Hardianto Djanggih3
1Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Muslim Indonesia, E-mail: Lawiksan@yahoo.com 2Fakultas Hukum, Universitas Gorontalo, E-mail: marten_bunga@yahoo.co.id
3Fakultas Hukum Universitas Tompotika Luwuk Banggai, E-mail: hardianto.djanggih@gmail.com
Info Artikel
Masuk: 11 oktober 2018 Diterima: 19 Nopember 2018 Terbit: 31 Desember 2018
Keywords:
Recall; Membership; Regional House of Representatives
Kata kunci:
Recall; Keanggotaan; Dewan
Parwakilan Rakyat
Corresponding Author:
Hardianto Djanggih, E-mail: hardianto.djanggih@gmail.com
DOI:
10.24843/JMHU.2018.v07.i04.
p03
Abstract
This study aims to analyze the nature of political party recall rights to the membership of the House of Representatives; recall rights of members of the People's Legislative Assembly by political parties whether they are in accordance with the principles of a democratic state based on law; Juridical consequences of recall rights if they remain in the hands of political parties. This type of research is normative law research. The results of the study indicate that the nature of the right of Recall by political parties to the membership of the People's Legislative Assembly is that political party members who sit in parliamentary seats remain supervised by political parties as political organizations that carry on the democratic stage in order to be submissive and obedient to party policies even if they are against the spirit struggle of the people's representatives. The right of a political party's recall is not in accordance with the principles of a democratic state, if the reason for recalling the membership of the House of Representatives is only limited to members of the House of Representatives who violate the Articles of Association and Household Budget.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Hakikat hak recall partai politik terhadap keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat; hak recall terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat oleh partai politik apakah telah sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum; konsekuensi yuridis hak recall apabila tetap berada di tangan partai politik. Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum normatf. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakikat Hak Recall oleh partai politik terhadap keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat adalah agar anggota partai politik yang duduk di kursi parlemen tetap diawasi oleh partai politik sebagai organisasi politik yang mengusung dalam pentas demokrasi agar tunduk dan patuh terhadap kebijakan partai sekalipun bertentangan dengan semangat perjuangan wakil rakyat. Hak Recall Partai Politik tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi, apabila alasan merecall keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat hanyalah sebatas anggota Dewan Perwakilan Rakyat melakukan pelanggaran terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga Partai politik.
Istilah recall dalam ketatanegaraan di Indonesia, juga dikenal sebagai penggantian antar waktu. 1 Hak recall secara terminologi dalam kamus politik karangan B.N. Marbun dapat diartikan sebagai;2 Suatu proses penarikan kembali atau penggantian anggota DPR oleh induk organisasinya yaitu partai politik, Recall secara etimologi adalah "penarikan kembali". Sedangkan Hak Recall Partai Politik adalah suatu penarikan kembali atau pemberhentian dalam masa jabatan terhadap anggota parlemen (DPR/DPRD) oleh partai politiknya.
Berdasarkan Pasal 239 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau dikenal dengan UU MD3, recall merupakan sesuatu yang wajar adanya sebagai instrumen/lembaga yang dapat mengontrol keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), karena ketika memenuhi salah satu syarat recall diatas maka keanggotaan DPR yang bersangkutan akan dapat diberhentikan dalam masa jabatannya. Dapat kita bayangkan jika recall ini dihapuskan, dimana tidak ada mekanisme pemberhentian keanggotaan DPR dan sekalipun dia berbuat salah. Namun yang menjadi masalah adalah ketika hak recall ini diberikan kepada partai politik, karena menurut Pasal 239 ayat (2) huruf d, g dan huruf h Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 mengusulkan pemberhentian antar waktu atau yang lebih dikenal dengan recall, sekaligus diberikan kewenangan istimewa oleh undang-undang tersebut untuk memberhentikan seorang anggota partai politik yang akan bermuara pada pemberhentian seseorang sebagai anggota DPR pula, serta pada Pasal 16 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, partai politik dapat merecall anggotanya dengan alasan anggota tersebut melanggar AD dan ART partai politik. Ketika seseorang diberhentikan sebagai anggota partai politik maka akan diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat dan yang lebih tragis, apabila seorang anggota partai politik yang bersangkutan pindah atau menjadi anggota partai politik lainnya maka akan di recall dari keanggotaan DPR (pasal 16, ayat 1, huruf c). Dari pasal tersebut, terjadilah konflik norma, antara norma yang diatur pada Pasal 16 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dengan norma yang yang diatur pada Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat” sehingga menimbulkan konsekuensi yuridis yang bersifat hukum privat, juga hukum publik.
Regulasi inilah yang menimbulkan perdebatan, karena seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat, duduk sebagai anggota Parlemen dengan legitimasi dari suara rakyat, dan bukan dari suara Partai Politik. Hak recall partai politik terhadap anggotanya tersebut adalah hak yang dapat mengakibatkan DPR untuk tidak
menyuarakan suara rakyat secara total dan tidak ada kebebasan anggota DPR untuk menjalankan amanat rakyat.
Hak recall partai politik banyak digunakan sebagai alasan untuk pemberhentian dari keanggotaan DPR yang tidak tunduk pada kebijakan partai politik, akibatnya hak recall partai politik menjadi sebuah bayang-bayang ancaman yang mengintimidasi (walaupun tidak secara langsung) keanggotaan DPR untuk menyuarakan aspirasi konstituennya. Hak recall partai politik seolah-olah menjadi rantai yang membelenggu kebebasan keanggotaan DPR untuk berekspresi dan bertindak sesuai hati nuraninya. Hak recall partai politik menunjukan kecenderungan mengabaikan kehendak rakyat dan mempersulit partisipasi politik rakyat.3
Pengaturan hak recall partai politik menjadikan partai politik lebih dominan terhadap pemberhentian wakil rakyat tersebut. Seharusnya, ketika rakyat sebagai pemegang kedaulatan berhak memilihnya, maka semestinya pemilih juga punya hak untuk memberhentikannya.4 Di sisi lain, Keberadaan partai politik merupakan salah satu dari bentuk perlembagaan sebagai wujud ekspresi ide, pikiran, pandangan, dan keyakinan bebas dalam masyarakat demokratis. Karena itu, keberadaan partai politik berkaitan erat dengan prinsip-prinsip kemerdekaan berpendapat (freedom of expression), berorganisasi (freedom of association), dan berkumpul (freedom of assembly). 5 Prinsip-prinsip diatas diakui dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 secara eksplisit diatur dalam Pasal 28E ayat (3) yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Fakta yang terjadi di Indonesia terdapat perbedaan pendapat terkait dengan hak recall partai politik terhadap anggota DPR, ada yang berpendapat bahwa recall bertujuan untuk penguatan partai politik, bahwa penguatan partai politik memang konsekuensi dari perkembangan demokrasi moderen. Namun, pasca perubahan UUD 1945 tidak menyebutkan bahwa anggota DPR adalah wakil partai politik dengan delegasi daulat partai politik. Karena itu, jika seorang anggota DPR akan diberhentikan, caranya harus melalui daulat rakyat konstitusional. Dari perdebatan tersebut menimbulkan kontroversi dalam pelaksanaan recall partai politik terhadap anggota DPR.
Terpilihnya Lily Chadidjah Wahid sebagai anggota DPR pada Pemilu tahun 2009 adalah dengan sistem Pemilu proporsional terbuka dengan penerapan suara terbanyak sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. Dengan terpilihnya Lily Chadidjah Wahid telah menempatkan kedaulatan benar-benar berada di tangan rakyat sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Recalling terhadap Lily Chadidjah Wahid oleh pimpinan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) karena dianggap telah di luar batas toleransi dan menyalahi kebijakan partai. Pertimbangan-pertimbangan politis yang cenderung
mendukung kebijakan pemerintah yang terindikasi bermasalah seringkali menjadi sebab direcallnya seorang anggota DPR yang justru bersikap vokal dan kritis terhadap kebijakan yang tidak memihak rakyat tersebut.6 Anggota DPR seperti pada kasus ini terlihat sebagai korban akibat kekaburan norma hukum dan konflik norma Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, adanya recall dari partai politik. Begitu juga hal yang sama dialami oleh Fahri Hamzah yang di pecat oleh Majelis Tahkim PKS pada tanggal 11 Maret 2016 karena Fahri dinilai banyak melanggar aturan partai yang memperburuk citra partai. Pasca kejadian tersebut, PKS mengirimkan surat penggantian Fahri Hamzah saat rapat musyawarah Dewan Perwakilan Rkyat pada tanggal 11/12/2017.7
Oleh karena itu, menarik kiranya dalam kajian untuk membahas lebih lanjut tentang hak Recall Partai Politik Terhadap status keanggotaan dewan perwakilan rakyat daerah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah Metode Penelitian hukum doktrinal (doctrinal research) merupakan penelitian yang mengkaji hukum yang di konsepkan dan dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut oleh sang pengonsep atau sang pengembangnya.8 Disebut penelitian hukum doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau ditunjukkan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Penelitian atau studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap bahan hukum yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. 9 Tipe penelitian ini juga disebut sebagai penelitian normatif, Sesuai dengan substansi permasalahan hukum yang hendak dikaji dalam makalah ini yakni hak recall partai politik. Penulisan ini merupakan suatu penulisan yang terutama mengkaji ketentuan-ketentuan maupun asas-asas hukum dan penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif
Konsekuensi negara demokrasi bahwa roda pemerintahan harus sesuai dengan keinginan atau aspirasi rakyat, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (2) secara tegas mengisyaratkan bahwa Indonesia mengakui kedaulatan rakyat. Dengan kata lain, pemerintah yang berkuasa harus mendapatkan legitimasi atau pengakuan dari rakyat. Dalam sistem pemerintahan Indonesia, legitimasi rakyat tersebut diwakilkan kepada para wakil rakyat yang duduk di DPR RI pada tingkat pusat dan DPRD pada tingkat daerah.10 Dalam perspektif pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat, penataan sistem pemilihan umum anggota legislatif mestilah diarahkan pada penerapan prinsip esensial dan prosedural kedaulatan rakyat.11
Partai politik merupakan salah satu dari bentuk pelembagaan sebagai wujud ekspresi ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan, dan keyakinan bebas dalam masyarakat demokratis. Sebagai peserta Pemilu, Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting.12 Selain diberikan kewenangan untuk mengajukan calon-calon untuk mengisi jabatan-jabatan politik, partai politik juga diberikan kewenangan untuk melakukan pergantian dan pemberhentian seseorang dari keanggotaannya di partai politik sekaligus di DPR yang dikenal dengan istilah “recall”.13
Recall telah hadir dan dikenal secara formal di Indonesia sejak Orde Baru berkuasa di pemerintahan, yakni tahun 1966 melalui UU No. 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum. UU ini lahir beberapa bulan setelah Orde Baru naik ke pentas politik menggantikan Orde Lama.14
Pencantuman hak recall dalam UU No. 10 Tahun 1966 dalam rangka pembersihan anggota parlemen (DPR-GR) yang masih loyal pada Orde Lama pimpinan Soekarno. Itulah mengapa hak recall ini diatur dalam suatu UU bukan dalam Peraturan Tata Tertib DPR- GR, didasarkan atas pertimbangan bahwa Peraturan Tata Tertib hanya mengikat secara intern sedangkan UU akan mengikat juga ekstern Parpol atau
Organisasi Politik yang mempunyai kursi di DPR-GR.15
Mekanisme pemberhentian antar waktu (recall) Anggota DPR yang diatur dalam UU No. 27 Tahun 2009 dapat dilakukan melalui dua pintu, yakni diusulkan oleh pimpinan
partai politiknya (Pasal 214) atau oleh Badan Kehormatan DPR (Pasal 215). Sedangkan dalam UU No. 17 Tahun 2014, diusulkan oleh pimpinan partai politiknya diatur dalam Pasal 240 dan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan diatur dalam Pasal 147. Dalam UU No 17 Tahun 2014 juga memberikan tambahan dalam Pasal 241, yakni:
-
(1) Dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh partai politiknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (2) huruf d dan yang bersangkutan mengajukan keberatan melalui pengadilan, pemberhentiannya sah setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
-
(2) Dalam hal pemberhentian didasarkan atas aduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (2), Mahkamah Kehormatan Dewan menyampaikan laporan dalam rapat paripurna DPR untuk mendapatkan persetujuan.
-
(3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) Hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPR dari pimpinan DPR.
Dari sejarah dan perkembangan mengenai pengaturan hak recall terhadap anggota DPR di Indonesia menunjukkan adanya dinamika dalam menempatkan hak recall kepada partai politik. Memang awal mulanya bertujuan untuk menyingkirkan lawan politik di parlemen, hak recall memang pada saat ini dalam pengaturan diharapkan sebagai upaya kontrol dari partai politik kepada anggotanya yang menjabat sebagai anggota DPR. Namun dalam pelaksanaannya hak recall masih menjadi pro dan kontra. Setelah dilakukan penelitian terhadap hak recall oleh partai politik dari berbagai macam sumber maka dapat diperoleh hasil sebagai berikut: Daftar anggota DPR yang pernah direcall ataupun yang pernah diusulkan untuk dilakukan recall oleh partai politik yang bersangkutan dari mulai tahun 1977 s.d. 2018 sebagai berikut:
Tabel 1
Daftar Anggota DPR yang dilakukan recall atau diusulkan recall Tahun 1977 s.d. 2018
No. |
Tahun |
Jumlah |
Partai Politik |
1. |
1977-1982 |
7 Orang |
Partai Demokrat Indonesia (PDI) |
2. |
1972-1982 |
1 Orang |
Partai Golongan Karya (Golkar) |
3. |
1982-1987 |
9 Orang |
Parta Demokrat Indonesia (PDI) |
4. |
1982-1987 |
8 Orang |
Partai Persatuan pembangunan (PPP) |
5. |
1992-1998 |
1 Orang |
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) |
6. |
1992-1998 |
1 0rang |
Partai Golongan Karya (Golkar) |
7. |
2004 |
1 Orang |
Partai Demokrat (PD) |
8. |
2004 |
1 Orang |
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) |
9. |
2004 |
1 Orang |
Partai Amanat Nasional (PAN) |
10. |
2004-2009 |
1 Orang |
Partai Bintang Reformasi (PBR) |
11. |
2009-2014 |
2 Orang |
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) |
12. |
2009-2014 |
1 Orang |
Partai Demokrat (PD) |
13. |
2009-2018 |
3 Orang |
Partai Keadilan Sejahtera |
Sumber: diolah dari berbagai sumber
Dissenting Opinion Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 008/PUU-IV/2006 terkait Hak Recall oleh partai politik. Empat orang hakim konstitusi (Prof, Jimly Asshiddiqie, Maruarar Siahaan, Laica Marzuki, Prof. Abdul Mukhtie Fajar) berpendapat dalam dissenting opinion-nya:
Bahwa recall menyebabkan seseorang anggota dewan tidak mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, serta perlakuan yang adil dalam menjalankan tugas konstitusionalnya selaku anggota DPR, sebagaimana dijamin konstitusi berdasarkan Pasal 28D ayat (1) dan (2) UUD 1945. Pasal 12 huruf b UU Parpol, “diberhentikan dari keanggotaan partai politik karena melanggar anggaran dasar dan rumah tangga”, yang dikukuhkan dalam Pasal 85 ayat(1) huruf c UU Susduk, yang menyatakan “anggota berhenti antar waktu karena diusulkan partai politik yang bersangkutan”, sesungguhnya telah membiarkan hukum yang bersifat privat (privaatrechtelijk) mengesampingkan hukum publik dalam masalah konstitusional hubungan antara wakil rakyat, rakyat pemilih, dan dengan lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945. Meskipun tidaklah menjadi maksud untuk meniadakan peran partai politik dalam hubungannya dengan anggota DPR dalam menjalankan tugas konstitusional baik fungsi legislasi, pengawasan, anggaran dan menyampaikan aspirasi rakyat pemilihnya, akan tetapi dalam
menjalankan peran tersebut tidaklah boleh dibiarkan berlangsung tanpa batasan. 16 Batasan yang diidentifikasi dengan menempatkan peran hukum konstitusi sebagai hukum publik yang turut mengaturnya harus membuka kemungkinan seluas-luasnya bagi wakil rakyat tersebut memenuhi sumpah jabatannya untuk menjalankan kewajibannya seadil-adilnya, dengan memegang teguh Pancasila dan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk menegakkan demokrasi demi tujuan nasional dan kepentingan bangsa serta NKRI.
Peran partai politik sebagai peserta pemilu anggota DPR dan anggota DPRD sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, memang membenarkan dan sah secara konstitusional jika seorang anggota partai politik tertentu yang menjadi anggota DPR menyatakan mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik tertentu yang mengusungnya, untuk juga diusulkan pemberhentiannya dari DPR. Akan tetapi jika alasan yang diajukan partai politik untuk mengusulkan penarikan anggotanya dari DPR berupa pelanggaran AD/ART Partai Politik, tidak dapat dibenarkan sertamerta tanpa melalui satu due process of law dalam mekanisme hukum yang dapat memeriksa kelayakan alasan tersebut (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 008/PUU-IV/2006).
Daftar rekam jejak 5 (lima) partai politik besar di Indonesia yang melakukan perubahan AD/ART maupun struktur kepengurusan dan telah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia.
Tabel 2
Daftar Rekam Jejak Perubahan AD/ART dan Struktur Kepengurusan 5 Partai Politik Besar di Indonesia
No. |
Nama Parpol |
Kali di ubah |
tahun |
1. |
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) |
3 Kali |
2003, 2015, dan 2015 |
2. |
Partai Golongan Karya (Golkar) |
1 Kali |
2014 |
3. |
Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) |
3 Kali |
2009, 2012, dan 2013 |
4. |
Partai Demokrat |
4 Kali |
2004, 2010, 2013 dan 2015 |
5. |
Partai Keadilan Sejahtera |
3 Kali |
2007, 2011 dan |
2015
Sumber : Dirjen. AHU Kemenkumham RI 2016
Namun, alasan pemberhentian anggota DPR tidak hanya karena pelanggaran hukum namun juga alasan kinerja yang tidak sesuai dengan arah kebijakan partai atau kinerja buruk dapat diusulkan recall oleh partai politik. Hal ini dapat dikatakan bahwa mekanisme hak recall tidak sesuai dengan prinsip pertanggungjawaban. Padahal tugas sebagai pejabat publik dalam hal ini sebagai anggota DPR yaitu bertanggungjawab
atas tugas dan kewajibannya kepada rakyat. Maka bukan pertanggungjawaban kepada partai politik lagi, tetapi pertanggungjawaban kepada rakyat. Padahal berdasarkan dengan teori kedaulatan rakyat bahwa kedaulatan rakyat dalam suatu sistem demokrasi tercermin juga dari ungkapan bahwa demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (government of the people, by the people, for the people)17. Maka anggota DPR yang terpilih saat ini merupakan hasil dari legitimasi rakyat melalui pemilihan umum, maka pertanggungjawabannya pun secara otomatis kepada masyarakat yang telah memberikan legitimasi.
Hak recall oleh partai politik merupakan sarana yang disediakan oleh undang-undang untuk mengganti antar waktu anggota partai politik yang duduk sebagai anggota parlemen. Padahal sudah menjadi tugas dari parlemen untuk menyuarakan aspirasi rakyat sebagaimana asal mula kata parlemen, yakni le parle yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berarti to speak, atau bersuara18.
Dilihat dari segi dampaknya, hak recall oleh partai politik memberikan dampak negatif bagi kehidupan politik Negara ini. Nilai-nilai negatif yang dapat timbul antara lain: Pertama, dapat mengekang dan mengikat nalar dari anggota DPR yang kritis dan ingin menyuarakan suara konstituennya. Kedua, membentuk mentalitas anggota DPR untuk takut kepada organisasi induknya (Partai Politik), yang dapat menyebabkan anggota DPR lebih mengutamakan dan mementingkan kepentingan parpolnya, bukan lagi menyuarakan aspirasi konstituennya19.
Berdasarkan beberapa alasan lain, jelas maka recall partai politik akan menggeser kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan partai politik. Padahal kedaulatan rakyat dalam suatu sistem demokrasi merupakan sistem pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Selain bertentangan dengan prinsip- prinsip kedaulatan rakyat yang diatur dalam UUD 1945, hak recall terhadap anggota DPR oleh partai politik tidak sesuai dengan salah satu prinsip kedaulatan rakyat yang telah dikemukakan oleh Hatta yaitu prinsip keempat yaitu “kebudayaan”, di mana terkandung nilai-nilai kebebasan menganut agama, kebebasan menyatakan pendapat, serta kebebasan menuntut ilmu. Dalam hal ini mengenai kebebasan menyatakan pendapat. Hak recall dapat dikatakan menjadi penghalang bagi anggota DPR untuk dapat memperjuangkan apa saja yang menjadi kepentingan rakyat di parlemen. Hak recall menjadi momok bagi menakutkan bagi anggota DPR.
Oleh karena itu, setiap warga negara setiap warga negara haruslah diberikan kebebasan politik karena kebebasan merupakan ketenangan jiwa yang timbul dari prinsip bahwa masing-masing orang dijamin keamanannya. Dengan kebebasan, manusia dapat menyelamatkan diri dari segala macam bentuk tekanan, paksaan, otoriterian, kediktatoran, penjajahan, dan semacamnya. Franz Magnis Suseno mengatakan kebebasan adalah mahkota martabat kita sebagai manusia20.
Sehingga anggota DPR yang telah diberi mandat oleh rakyat melalui pemilihan umum seharusnya mempunyai ruang kebebasan untuk membawa amanah yang telah
diembannyadalam rangka memperjuangkan kepentingan dari konstituennya. Memang anggota DPR dapat terpilih menjadi anggota parlemen menggunakan kendaraan politik yaitu partai politik. Jadi tanggung jawab kepada rakyat menjadi lebih penting dibandingkan dengan tanggung jawab kepada partai politik.
Hak recall mestinya ditiadakan karena anggota tidak bisa objektif kepada rakyat karena takut kepada fraksi21. Adanya sistem recall menyebabkan banyak wakil rakyat menjadi tidak kritis, bahkan takut untuk menyuarakan aspirasi rakyat22. Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik menentukan:
Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Keterikatan seperti ini pada dasarnya menegaskan bahwa anggota DPR adalah utusan partai politik yang memenangkan kursi DPR dalam proses pemilu. Sebagai utusan partai politik, anggota DPR tidak dapat menyatakan pikiran atau pendapat, dan atau tindakan yang berbeda atau menyimpang dari pendirian atau kebijakan yang telah ditetapkan oleh partai politik, bahkan jika pikiran, pendapat atau tindakan anggota DPR sesuai atau mencerminkan aspirasi dan atau kepentingan masyarakat dari daerah pemilihan anggota DPR yang bersangkutan23.
Manakala partai politik menilai anggota DPR-nya telah berbeda atau menyimpang dari garis kebijakan partai, partai dapat sewaktu-waktu menggantinya dengan “utusan” yang lain24. Penyelenggaraan kekuasaan negara ditentukan oleh partai politik baik secara langsung maupun tidak langsung. Moh. Hatta juga pernah mengatakan Hak recall bertentangan dengan demokrasi apalagi demokrasi Pancasila. Pimpinan partai tidak berhak membatalkan anggotanya sebagai hasil dari pemilu. Rupanya dalam kenyataannya pimpinan partai merasa lebih berkuasa dari rakyat pemilihnya. Kalau demikian adanya ia menganjurkan agar pemilu ditiadakan saja. Pada dasarnya hak recall ini hanya ada pada negara komunis dan fasis yang bersifat totaliter.
Ini berarti sepanjang mayoritas masih belum memutuskan, maka pembahasan suatu masalah tetap berlangsung terus. Akan tetapi, apabila telah disepakati dan keputusannya diumumkan maka setiap orang diam, dan para pendukung maupun lawan-lawan tindakan tersebut bersatu dalam menyetujui ketepatan keputusan mayoritas tersebut25.
Jimly Asshiddiqie berpendapat mengenai hak recall yang menyatakan bahwa: Dalam sistem demokrasi yang sejati, sistem “party recall” sudah seharusnya ditiadakan dan diganti dengan sistem “constituent recall”. Seorang anggota DPR tidak boleh diberhentikan dari kedudukannya sebagai wakil rakyat, kecuali apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran hukum, pelanggaran kode etika, mengundurkan diri, atau meninggal dunia dalam masa jabatannya. Seorang anggota
DPR tidak boleh diberhentikan dari jabatannya dengan cara ditarik atau direcall oleh pimpinan partai politiknya karena alasan berbeda pendapat dengan pimpinan partainya atau karena alasan-alasan lain yang bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang telah memilihnya. Apalagi, sejak putusan MK, pengangkatan seorang anggota DPR dilakukan dengan prinsip suara yang terbanyak. Karena itu, aspirasi rakyat tidak boleh diberangus hanya karena wakil rakyat itu mempunyai pendapat berbeda dari orang per orang pimpinan partainya.26
Dengan demikian, adanya kendali recall di tangan partai, maka anggota dewan yang sudah dipilih oleh rakyat sepenuhnya menjadi kendali partai, dimana mereka bertindak dan berprilaku sesuai dengan keinginan, tuntutan, serta arah kebijakan yang ditetapkan oleh partai politiknya, yang seringkali bukanlah suatu hasil konsensus bersama yang juga lahir atas pertimbangan aspirasi konstituen, melainkan hanya kepentingan praktis/oportunistik yang diputuskan secara sepihak oleh segelintir elit partai untuk kepentingan politik jangka pendek, sehingga tidak sejalan dengan apa yang sesungguhnya diharapkan oleh para konstituennya.27
Berdasarkan hal-hal di atas, dapat dikatakan bahwa hak recall partai politik yang didasarkan pada pelanggaran AD/ART terhadap keanggotaan DPR tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hak Recall oleh partai politik terhadap keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat adalah agar anggota partai politik yang duduk di kursi parlemen tetap di awasi oleh partai politik sebagai organisasi politik yang mengusung dalam pentas demokrasi agar tunduk dan patuh terhadap kebijakan partai sekalipun bertentangan dengan semangat perjuangan wakil rakyat. Hak Recall Partai Politik tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi, apabila alasan merecall keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanyalah sebatas anggota DPR melakukan pelanggaran terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai politik. Hal tersebut dikarenakan adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis warga negara, kedudukan yang sama di depan hukum, dan perlindungan hak-hak dasar manusia oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Daftar Pustaka
Buku
Ibrahim, J. (2006). Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, edisi revisi Malang: Banyumedia Publishing.
Mahfud, MD, M. (2003), Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta.
Marbun, B. N. (1996). Kamus politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.Nurtjahjo, H. (2006). Filsafat Demokrasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Salim HS dan Nurbani, E.S. (2013). Penerapan Teori Hukum pada Tesis dan Disertasi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Setio, S.E. (2013). Hak Recall Parpol Dalam Sistem Demokrasi Indonesia, Bali: Penerbit Udayana.
Jurnal
Ahmad, K., & Djanggih, H. (2017). Batasan Penerapan Asas Persidangan Terbuka untuk Umum dalam Siaran Persidangan Pidana oleh Media. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 24(3), 488-505. https://doi.org/10.20885/iustum.vol24.iss3.art8
Asshiddiqe, J. (2006). Partai Politik dan Pemilihan Umum Sebagai Instrument Demokrasi, Jurnal Konstitusi, 3(4), 6-27.
Budiyanto, B. (2016). Kewenangan Pimpinan Partai Politik Dalam Pengusulan Pemberhentian Anggota Dpr Terkait Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Magister Hukum Udayana, 5(4), 694-710. https://doi.org/10.24843/JMHU.2016.v05.i04.p05.
Evendia, M. (2012). Implikasi Hak Recall Partai Politik Terhadap Sistem Kedaulatan Rakyat, Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum, 6(3), 1-9.
https://doi.org/10.25041/fiatjustisia.v6no3.357
Hasmin, M.Y. (2017). Kualitas Keterwakilan Rakyat Melalui Dewan Perwakilan Rakyat Menurut Sistem Politik Di Indonesia (Suatu Kajian Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), Jurnal Al-Ishlah, 19(1), 68-78.
Huda, N. (2011). Recall Anggota DPR Dan DPRD Dalam Dinamika Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Mimbar Hukum, 23(3), 460-478.
https://doi.org/10.22146/jmh.16169
Nugroho, H.N. (2016). Strategi Peningkatan Kinerja Badan Kehormatan DPRD Dalam Penegakan Kode Etik Dewan, Jurnal Arena Hukum, 9(2), 307-327.
https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2016.00903.1
Rumokoy, N.K. (2012). Kajian Yuridis Tentang Hak Recall Partai Politik Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Unsrat, 20(1), 1-7.
Fahmi, K. (2010). Prinsip Kedaulatan Rakyat Dalam Penentuan Sistem Pemilihan Umum Anggota Legislatif, Jurnal Konstitusi, 7(3), 119-160.
Farida, R. (2013). Mekanisme Penggantian Antar Waktu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Implikasinya Dalam Konsep Perwakilan Rakyat, Jurnal Cita Hukum, 1(2), 195-214. https://doi.org/10.15408/jch.v1i2.2991
Sirajuddin, S. (2016). EKSISTENSI PARTAI POLITIK DALAM SISTEM HUKUM KETATANEGARAAN DI INDONESIA. LEX ADMINISTRATUM, 4(1).76-84
Website
Rakhmat Nur hakim. (2017, Desember 11). PKS Kembali Usulkan Pencopotan Fahri
Hamzah dari Pimpinan DPR. Diakses pada
http://nasional.kompas.com/read/2017/12/11/17304031/pks-kembali-usulkan-pencopotan-fahri-hamzah-dari-pimpinan-dpr
United Nations and the Rule of Law. (2015). Environmental Law. diakses pada https://www.un.org/ruleoflaw/thematic-areas/land-property-environment/environmental-law/
Heru Pramono. (2011, Maret 1). Lily Effendy di Ambang Recall. Diakses pada http://surabaya.tribunnews.com/2011/03/02/lily-effendy-di-ambang-recall
455
Discussion and feedback