Kebijakan Hukum Pidana Sanksi Kebiri Kimia dalam Perspektif HAM dan Hukum Pidana Indonesia
on
Kebijakan Hukum Pidana Sanksi Kebiri Kimia dalam Perspektif HAM dan Hukum Pidana Indonesia
Nur Hafizal Hasanah1, Eko Soponyono2
1 Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, E-mail: [email protected] 2 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 21 Agustus 2018 Diterima: 28 September 2018 Terbit: 30 September 2018
Keywords :
Chemical Castration; Human Right; Criminal Law
Kata kunci:
Kebiri Kimia; Hak Asasi
Manusia; Hukum Pidana
Abstract
The sexual offense against children is a serious crime and an act of violation against human rights. One of the government is an attempt to anticipate the increase of sexual offense against children is to release Perpu No 1 of 2016 second amendment of UU No 23 of 2002 about child protection. Perpu No. 1 is then passed into UU No. 17 of 2016 about stipulation of Perpu No. 1 of 2016. The regulation of the Perpu is about the denunciation of the perpetrator of a sexual offense, an especially sexual offense against children. The perpu also regulates the existence of criminal sanction and action sanction. The action referred to in the Perpu in the form of chemical castration and accompanied by rehabilitation. Research method uses normative research method by using the Statue approach and the analytical and conceptual approach. the implementation of chemistry castration is considered a violation of human rights. Penalties through castration can be qualified as a cruel and inhuman punishment and not in accordance with Indonesia's constitution and commitment in the field of human rights. The provision of article 28G paragraph (2) of the Indonesian constitution states that "everyone has the right to be free from torture and degrading treatment of human dignity". Implementation of chemistry castration punishment is only oriented to retaliation that can make the perpetrator lose confidence to reunite with the community. Chemical castration punishment is not in line with the objective of the criminal law that is the maintenance of community solidarity.
Abstrak
Kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan yang serius dan merupakan pelanggaran HAM. Salah satu upaya untuk mengantisipasi bertambahnya kekerasan seksual terhadap anak, Pemerintah mengeluarkan Perpu No 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Perpu No 1 ini kemudian disahkan menjadi Undang-undang Nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan Perpu No 1 Tahun 2016. Perpu tersebut mengatur tentang pemberatan terhadap hukuman pelaku kejahatan seksual, khususnya terhadap anak. Dalam Perpu tersebut mengatur adanya pidana dan tindakan. Tindakan yang dimaksud dalam Perpu tersebut berupa pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi Tujuan penelitian ini untuk mengkaji dan menganalisa kebijakan hukum pidana sanksi
DOI:
10.24843/JMHU.2018.v07.i0
3.p03
kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak dilihat dari perspektif HAM dan Hukum Pidana Indonesia. Metode penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan serta pendekatan analisis konsep. Pelaksanaan kebiri kimia dianggap merupakan pelanggaran HAM. Pemberian hukuman melalui pengebirian dapat dikualifikasi sebagai penghukuman keji dan tidak manusiawi serta tidak sesuai dengan konstitusi dan komitmen Indonesia dalam bidang hak asasi manusia. Ketentuan pasal 28G ayat (2) konstitusi indonesia menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia”. Pelaksanaan hukum kebiri kimia hanya berorientasi pada pembalasan yang bisa membuat pelaku kehilangan kepercayaan diri untuk berkumpul kembali dengan masyarakat. Hukum kebiri kimia tidak sejalan dengan tujuan dari hukum pidana yaitu adanya pemeliharaan solidaritas masyarakat.
-
1. Pendahuluan
Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan Negara. Dengan peran anak yang penting ini, hak anak secara tegas di nyatakan dalam konstitusi Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa Negara menjamin setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kita semua selalu berupaya jangan sampai anak menjadi korban kekerasan, maupun anak terjerumus melakukan perbuatan-perbuatan jahat atau perbuatan tidak terpuji lainnya.
Anak yang menjadi korban kekerasan seksual beberapa tahun ini terus meningkat. Data tahun 2002 menunjukkan anak usia 6-12 tahun paling sering mengalami kekerasan seksual (33%) dan emosional (28,8%), di bandingkan dengan kekerasan yang bersifat fisik (24,1%).1 Pada tahun 2017 KPAI menemukan 116 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Komisioner KPAI Jasra Putra mengungkapkan, data menunjukkan bahwa pihaknya menemukan 218 kasus kekerasan seksual anak pada 2015. Sementara pada 2016, KPAI mencatat terdapat 120 kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak. Kemudian di 2017, tercatat sebanyak 116 kasus.2
Pada tahun 2016 media di hebohkan dengan adanya kejadian Seorang balita, LN yang berumur 2,5 tahun, ditemukan tewas dengan kondisi mengenaskan di belakang rumah neneknya di kabupaten Bogor dari hasil visum ditemukan alat kelamin korban mengalami kerusakan dan terdapat tanda-tanda kekerasan di tubuh LN pelakunya adalah orang dewasa yang berumur 26 Tahun.3 Pada tahun 2017 terdapat lagi kejadian
yang menghebohkan di Jayapura anak APR yang berumur 7 tahun diperkosa oleh pelaku YK yang berumur 28 tahun. 4 Kejadian kasus tersebut menunjukan bahwa kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak masih sangat tinggi di Indonesia. Anak yang diharapkan menjadi penerus bangsa ini, harus menjadi korban dan kebiadaban orang yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu memberikan perlindungan hukum pada anak adalah sesuatu hal yang wajar dan realistis, yang selain merupakan tuntunan hak asasi mereka dan juga merupakan tanggung jawab segenap komponen bangsa Indonesia.
Berbeda dengan tindakan kekerasan lainnya, kasus kekerasan seksual pada anak memiliki dampak yang jauh lebih serius terhadap anak, baik secara langsung maupun jangka panjang. Kasus ini tidak hanya meninggalkan luka secara fisik. Lebih dari itu, tindak anarkistik ini akan memberikan efek buruk pada perkembangan emosional, sosial, dan psikologi korban kekerasan. 5Salah satu bentuk perlindungan terhadap anak untuk mengantisipasi bertambahnya kekerasan seksual terhadap anak, Pemerintah mengeluarkan Perpu No 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Perpu No 1 ini kemudian disahkan menjadi Undang-undang Nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan Perpu No 1 Tahun 2016. Perpu tersebut mengatur tentang pemberatan terhadap hukuman pelaku kejahatan seksual, khususnya terhadap anak. dalam Perpu tersebut mengatur adanya pidana dan tindakan. pada tulisan ini, penulis lebih berfokus kepada Tindakan. Tindakan yang dimaksud dalam Perpu tersebut menyatakan bahwa pelaku yang melakukan tindak pidana bisa diberi hukuman Tindakan berupa Pelaksanaan Kebiri Kimia disertai dengan rehabilitasi.
Pelaksanaan Kebiri Kimia merupakan hukuman yang baru di Indonesia, terjadi pro kontra terkait pelaksanaan tindakan tersebut. di satu sisi pelaksanaan pidana kebiri diharapkan mampu memberikan efek jera dan pencegahan kepada pelaku, serta dapat mengurangi tingkat kejahatan seksual terhadap anak. Namun di sisi lain pelaksanaan kebiri kimia dianggap merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) . Hak Asasi Manusia pada hakikatnya merupakan hak yang paling dasar yang dimiliki oleh semua umat manusia sebagai anugerah tertinggi dari Tuhan Yang Maha Esa, dimanapun manusia itu hidup, karena dengan hak-hak itu manusia dapat menjadi makhluk yang bermartabat.6 Di dalam Konstitusi menyatakan bahwa Negara tidak boleh menghukum manusia dengan cara merendahkan hak asasi dan nilai kemanusiaan. Namun, kebiri kimia dianggap sebuah tindakan kekerasan dan dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yakni hak untuk tidak disiksa, dan hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabatnya sebagai manusia. Selain itu, pelaksanaan Kebiri kimia hanya berfokus pada pembalasan pelaku bukan kepada perbaikan. Hukum kebiri seakan kembali kepada jaman kolonial yang berorientasi pada pembalasan, padahal Indonesia sudah
meninggalkan teori pembalasan, indonesia sekarang berorientasi pada tujuan pemidanaan untuk memperbaiki pribadi perilaku itu sendiri, selain memperhatikan kepentingan korban. Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk meneliti lebih lanjut mengenai kebijakan hukum pidana sanksi kebiri kimia dalam perspektif HAM dan Hukum Pidana di Indonesia.
-
2. Metode Penelitian
Jenis penelitian dalam penyusunan penulisan ini adalah jenis penelitian normatif, penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal, sering sekali dalam penelitian ini hukum di konsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum di konsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. Bahan hukum dan metode pengumpulan datanya adalah dengan studi kepustakaan/studi dokumen. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan serta pendekatan analisis konsep.
Hak asasi manusia adalah suatu materi yang sangat melekat pada hakekat dan hidup manusia, hak hak-hak manusia itu sejarahnya bisa ditelusuri sampai pada saat permulaan kisah manusia dalam pergaulan hidupnya di dunia ini, yaitu pada mulai sadar akan kedudukannya sebagai subyek hukum. Akan tetapi menurut ilmu pengetahuan, sejarah hak-hak manusia itu baru tumbuh dan berkembang pada waktu hak-hak asasi manusia itu oleh manusia mulai dipertahankan dan diperjuangkan terhadap serangan atau bahaya yang timbul dari kekuasaan yang dimiliki oleh bentukan masyarakat yang dinamakan Negara. Maka pada hakekatnya persoalan mengenai hak-hak asasi manusia itu adalah berkisar pada perhubungan antara manusia (individu) dan masyarakat.7
Negara menjamin setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Saat ini banyaknya terjadi kasus kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur. Pemerintah memahami bahwa masalah kejahatan seksual terhadap anak sudah mencapai titik luar biasa dan memahami pula perlu diambilnya langkah yang luar biasa untuk mengatasi masalah tersebut, oleh sebab itu pemerintah mengeluarkan aturan baru yang diharapkan mampu memberikan efek jera kepada pelaku. Pada tahun 2016, Pemerintah mengeluarkan Perpu No 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, perpu ini memperberat bagi pelaku kejahatan seksual yang dimana dalam aturan tersebut terdapat pemberian sanksi hukum kebiri kimia bagi pelaku. Pasal tersebut disebutkan secara tegas bahwa untuk ancaman hukuman bagi pelanggar ketentuan pada Pasal 81 ayat 7 “Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik”.
Kebiri kimia merupakan suatu tindakan penyuntikan zat anti-testosteron ke tubuh pria untuk menurunkan kadar hormon testosteron, Testosteron itu adalah hormon yang berperan dalam beragam fungsi, salah satunya fungsi seksual. Artinya, hormon
testosteron berpengaruh pada gairah seksual seorang pria. Ketua Bagian Andrologi dan Seksologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Wimpie Pangkahila mengungkapkan, kebiri dalam dunia kedokteran dikenal dengan kastrasi. Kebiri tidak lagi dilakukan dengan membuang testis tetapi dapat secara kimia. Prosesnya bisa melalui pemberian pil ataupun suntikan anti andarogen. Hormon antiandrogen itu adalah anti-hormon laki-laki, pemberian obat antiandrogen itu akan membuat pria kekurangan hormon testosteron sehingga tak ada lagi memiliki dorongan seksual. Obat antiandrogen akan memberikan efek yang sama dengan kebiri fisik.8
Laporan world rape statistic tahun 2012 menunjukkan bahwa hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana perkosaan di berbagai Negara di dunia tidak efektif menimbulkan efek jera. Tidak ada bukti yang menjamin bahwa penggunaan kebiri kimia telah mengurangi jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak.9 Hukuman kebiri kimia seakan telah melanggar hak asasi manusia.
Menurut Kepala Bagian Psikologi Klinis Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta, Dinastuti, efek (psikologis) kebiri fsik ataupun kimiawi tidak sama pada setiap orang. Kondisi ini membuat sanksi kebiri menimbulkan pro-kontra, termasuk di negara-negara maju. Perdebatan bukan hanya soal hak asasi manusia untuk tidak menyiksa dalam pemberian sanksi, melainkan juga ketidaksambungan antara penyebab seseorang melakukan kejahatan seksual dan bentuk hukumannya. Oleh karena itu, wajar jika suntik kebiri tidak terbukti mampu menekan kasus kejahatan seksual.10
Dilihat dari segi dunia kesehatan, pelaksanaan Hukum kebiri justru banyak menimbulkan efek negative. Sebagaimana dikutip dari National Geografic Indonesia, dijelaskan bahwa: "Hormon anti-androgen itu adalah anti-hormon laki-laki. Pemberian obat anti-androgen tidak akan memunculkan efek pada seorang pria akan menjadi feminin," kata Wimpie. Namun, kebiri kimiawi menimbulkan efek negatif berupa penuaan dini pada tubuh. Cairan anti-androgen diketahui akan mengurangi kepadatan tulang sehingga risiko tulang keropos atau osteoporosis meningkat. Anti-androgen juga mengurangi massa otot, yang memperbesar kesempatan tubuh menumpuk lemak dan kemudian meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah11. Proses kebiri kimia dapat melumpuhkan organ sehingga dapat disebut sebagai penyiksaan.
Berdasarkan penjelasan di atas menunjukan bahwa hukum kebiri banyak menimbulkan efek negatif. Pelaksanaan hukum kebiri merupakan sebuah tindakan kekerasan dan dianggap bertentangan dengan UUD NRI yakni pada Pasal 28 G ayat 2 yang berbunyi “ setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari Negara lain”. Serta Pasal 33 ayat 1 Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia yang menyatakan “setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaanya”. Indonesia juga telah meratifikasi aturan Konvensi yang Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia sebagaimana telah diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dalam Resolusinya No. 39/46 tanggal 10 Desember 1984 dan mulai diberlakukan tanggal 26 Juni 1987. Pada Pasal 7 dalam Kovenan ini mengatur dengan sangat jelas konsern tentang perlindungan manusia dari ancaman penyiksaan yang dilakukan pihak lain: “Tidak seorangpun boleh dikenai penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabatnya, khususnya tidak seorangpun, tanpa persetujuannya secara sukarela dapat dijadikan eksperimen medis atau ilmiah”.
Dari ketentuan Pasal diatas menunjukan bahwa setiap orang berhak bebas dari hukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Hukum kebiri kimia yang diterapkan hanya berimplikasi pada pembalasan dan penyiksaan terhadap pelaku. Sebagaimana dijelaskan pada pasal 1 ketentuan umum angka 4 undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dimaksud dengan penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani, maupun rohani. Pelaksanaan kebiri bisa membuat pelaku justru tidak menjadi lebih baik, tapi malah membuat pelaku hilang kepercayaan diri dan lebih emosional, para ahli dalam bidang kesehatan menolak adanya hukuman kebiri karena hukuman kebiri justru malah membuat sifat agresif pada pelaku serta tidak bisa menjamin terunglangnya lagi tindak pidana kejahatan seksual karena memory seksualnya masih melekat di pikiran pelaku, walaupun hormon testosteronnya menurun, sehingga dikhawatirkan malah menimbulkan tindak pidana baru.
Adapun pandangan Komnas HAM terkait penerapan hukuman kebiri kima bagi pelaku kekerasan seksual yaitu : 12
-
1. Pemberian hukuman melalui pengebirian dapat dikualifikasi sebagai penghukuman keji dan tidak manusiawi yang dengan demikian tidak sesuai dengan konstitusi dan komitmen indonesia dalam bidang hak asasi manusia. Ketentuan pasal 28G ayat (2) konstitusi indonesia menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia”. Dengan demikian hak tersebut bersifat konstitusional dan pemajuan, perlindungan serta pemenuhan menjadi komitmen konstitusional pula.
-
2. Pemberian hukuman tambahan dengan pengebirian ( baik kimiawi maupun dengan operasi medias), dapat pula dikualifikasikan sebagai pelanggaran hak yaitu
pelanggaran hak atas persetujuan tindakan medis dan hak perlindungan atas integritas fisik dan mental seseorang.
-
3. Masukan dari para dokter, ahli hukum dan kriminologi menyatakan sebab kekerasan seksual bukan hanya bersifat medis namun juga psikologis dan sosial. Tindakan kekerasan seksual bukan hanya penetrasi alat kelamin semata. Dalam hal ini, selain hukuman berdasarkan Undang-Undang yang ada, yang harus diberikan adalah upaya pemulihan melalui rehabilitasi secara menyeluruh baik medis, psikologis, dan sosial dengan tetap berpedoman pada hak asasi manusia
-
4. Perppu tentang pemberian hukuman kebiri sebaiknya dipertimbangkan kembali dan tidak diterbitkan. Komnas HAM memandang bahwa penanganan kejahatan seksual terhadap anak, dalam hal ini juga perempuan meminta sebuah tindakan menyeluruh dan konsisten serta tidak hanya berpusat pada penghukuman namun juga rehabilitasi dan tindakan pencegahan seperti pengembangan sistem perlindungan sosial terhadap anak (misalnya komunitas ramah anak dan juga perempuan, keterbukaan informasi tentang para pelaku) ataupun melalui pendidikan dan peningkatan pemahaman mengenai reproduksi. Hal ini, dapat dilakukan dengan melaksanakan Inpres No. 5 tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Terhadap Anak, instrumen yang ada lainnya ataupun memperkuatnya. Kiranya hal ini dapat menjadi perhatian utamanya
Penyebab kekerasan seksual bukan hanya bersifat medis namun juga psikologis dan sosial. Tindakan kekerasan seksual bukan hanya sekedar rusaknya alat kelamin semata. Oleh sebab itu hukuman yang berlaku berdasarkan Undang-Undang, tetap harus memperhatikan upaya pemulihan melalui rehabilitasi secara menyeluruh baik medis, psikologis, dan sosial dengan tetap berpedoman pada hak asasi manusia.13
Hukum seringkali dipahami oleh masyarakat sebagai suatu perangkat aturan yang dibuat oleh Negara dan mengikat warga negaranya dengan mekanisme keberadaan sanksi sebagai pemaksa untuk menegakkan hukumnya. Negara mempunyai hak untuk memaksa diberlakukannya sanksi terhadap perbuatan yang melanggar hukum dimana pelakunya dinyatakan salah oleh keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.14
Hukum pidana merupakan suatu usaha untuk penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi. Hukum pidana sebagai sistem sanksi yang negatif memberi sanksi terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki oleh masyarakat. Hal itu berhubungan dengan pandangan hidup, tata susila dan moral keagamaan serta kepentingan dari bangsa bersangkutan. Tidak salah kiranya, kalau sampai batas tertentu dapat dikatakan bahwa hukum pidana suatu bangsa dapat merupakan indikasi dari peradaban bangsa. 15 Hukum pidana harus memperhatikan aspek yang berkaitan
dengan kondisi manusia, alam dan tradisi yang sudah mengakar dalam budaya bangsa Indonesia.
Masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarah selalu mengalami perubahan. Dari abad ke abad, keberadaannya banyak diperdebatkan oleh para ahli. Bila disimak dari sudut perkembangan masyarakat, perubahan itu adalah hal wajar, karena manusia selalu berupaya untuk memperbarui suatu hal demi meningkatkan kesejahteraan di masa depan.16 Penggunaan upaya hukum pidana adalah salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial, disamping itu karena tujuannya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum pidana termasuk dalam kebijakan sosial, yaitu segala usaha rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.17
Pembuatan peraturan pidana atau perumusan tindak pidana baru haruslah berorientasi pada perbaikan pelaku maupun perlindungan korban. Hukum pidana bukan lagi suatu alat untuk membalas dendam atau memberikan hukum yang seberat-beratnya terhadap pelaku. Pembaharuan hukum haruslah dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau policy. Di dalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai.18 Penggunaan hukum pidana sebenarnya juga bukan merupakan suatu keharusan, karena pada hakekatnya masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, bukan hanya merupakan problem sosial, tetapi juga merupakan masalah kebijakan.
Pertimbangan nilai merupakan suatu yang harus menjadi pertimbangan dalam merumuskan suatu tindak pidana. Harus dilakukan pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai. Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan (1) perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; dan (2) sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.19 perumusan sanksi apa yang dikenakan kepada pelaku menjadi masalah yang sangat sentral dalam pembuatan suatu aturan perundang-undangan. Pada Perpu No 1 tahun 2016 terdapat sanksi pelaksanaan Hukum Kebiri Kimia bagi pelaku. Hukum kebiri dianggap merupakan suatu kemunduran dalam perkembangan keilmuan hukum pidana.
Pelaksanaan hukum kebiri kimia yaitu dengan menyuntikkan ke tubuh manusia sehingga membuat nafsunya menjadi berkurang atau bahkan hilang. Perbuatan tersebut tentu melanggar kodrat manusia dan membuat pelaku justru menjadi tersiksa. Tujuan hukum pidana di era modern sekarang ini tidak lagi berorientasi pada pembalasan, akan tetapi membuat pelaku dan korban bisa sama-sama mendapatkan keadilan. Berbicara mengenai tujuan hukum pidana tidaklah mungkin terlepas dari aliran-aliran dalam hukum pidana. Aliran klasik pada prinsipnya hanya menganut sanksi tunggal
berupa jenis sanksi pidana. Menurut Sudarto, aliran klasik tentang pidana bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana. Bertolak belakang dengan aliran klasik, aliran modern memandang kebebasan berkehendak manusia banyak dipengaruhi oleh watak dan lingkungannya sehingga tidak dapat dipersalahkan dan dipidana.20
Dari Kedua aliran hukum pidana di atas, lahirlah ide individualisasi pidana yang memiliki beberapa karakteristik diantaranya pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; ini berarti harus ada kelonggaran/fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat ringannya sanksi) dan harus pula ada kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaannya. Hukum kebiri seolah seperti aliran klasik yang bersifat retributif dan refresif yang hanya berfokus pada perbuatan, sehingga tidak memperhatikan dampak yang ditimbulkan akibat dari pelaksanaan hukum kebiri. Hukum pidana di Indonesia tidaklah menganut aliran klasik yang hanya berorientasi pada perbuatan dan tidak berusaha untuk memperbaiki pelaku. Selain itu, hukum pidana tetap harus memperhatikan keadaan korban dan keadilan bagi korban kejahatan seksual.
Hukuman kebiri merupakan sanksi yang baru di Indonesia, Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah kriminalisasi terdapat hal-hal yang harus diperhatikan diantaranya penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil spiritual berdasarkan pancasila Bila memperhatikan pendapat Sudarto di atas, hukum kebiri justru tidak mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, tetapi lebih ke penghukuman terhadap pelaku. Sila ke-2 Pancasila menyatakan bahwa Kemanusiaan yang Adil dan beradab, dengan dilakukannya hukum kebiri justru menjadikan manusia itu kehilangan kepercayaan diri sebagai mahluk Tuhan dan hukuman kebiri tidak memanusiakan manusia agar lebih beradab. Hukum pidana memang diharapkan dapat memberikan efek jera, walaupun demikian hal tersebut tidak boleh digunakan sebagai pembalasan hanya shock terapi bagi narapidana agar ia sadar. Berbeda dengan pidana, dalam hal tindakan unsur derita tidak penting, justru sebaliknya, yang perlu adalah memperbaiki pelaku tindak pidana dan melindungi masyarakat. Tujuan pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan manusia dan merendahkan martabat manusia. Mengenai hukum pidana, pidana pada dasarnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan individu, .
Muladi berpendapat bahwa ada suatu catatan khusus yang harus dipandang tercakup di dalam perangkat tujuan pemidanaan tersebut. yang pertama adalah bahwa, perangkat tujuan pemidanaan tersebut harus sedikit banyak menampung aspirasi masyarakat yang menuntut pembalasan, sekalipun dalam hal ini diartikan bukannya balas dendam tetapi pengimbangan atas dasar tingkat kesalahan si pelaku. Yang kedua adalah bahwa di dalam perangkat tujuan pemidanaan tersebut harus tercakup pula tujuan pemidanaan berupa memelihara solidaritas masyarakat. 21 Pemidanaan harus diarahkan untuk memelihara dan mempertahankan kesatuan masyarakat. Pemidanaan merupakan salah satu senjata untuk melawan keinginan-keinginan yang oleh
masyarakat tidak diperkenankan untuk diwujudkan. Pemidanaan terhadap perilaku tindak pidana hanya membebaskan kita dari dosa, tetapi membuat kita merasa benar-benar berjiwa luhur. Peradilan pidana merupakan pernyataan masyarakat bahwa, masyarakat mengurangi hasrat agresif menurut cara yang dapat diterima masyarakat. Pembersihan kesalahan secara kolektif ditujukan untuk memperkuat moral masyarakat dan mengikat erat para anggotanya untuk bersama-sama berjuang melawan para pelanggar hukum.
Pelaksanaan hukum kebiri kimia hanya berorientasi pada pembalasan yang bisa membuat pelaku kehilangan kepercayaan diri untuk berkumpul kembali dengan masyarakat. Di sisi lain, pelaksanaan hukum kebiri kimia juga tidak berdampak apapun bagi korban tindak pidana. padahal menurut Hart fungsi hukum pidana adalah untuk menjaga keteraturan dan kesusilaan umum serta melindungi warga dari apa yang disebut asusila atau yang merugikan dan untuk memberikan perlindungan atas eksploitasi dari pihak lain. 22 Negara dalam menjatuhkan sanksi pidana haruslah menjamin kemerdekaan individu dan menjaga supaya pribadi manusia tetap dihormati. Oleh sebab itu, pemidanaan harus mempunyai tujuan dan fungsi yang dapat menjaga keseimbangan individu dengan kepentingan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama. 23
Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa fungsi hukum pidana yaitu mampu menjaga keteraturan serta melindungi warganya. bila melihat asas keseimbangan, bahwa yang harus ada keseimbangan baik bagi pelaku maupun bagi korban. Hukum kebiri kimia sama sekali tidak memperhatikan asas keseimbangan, bahkan terkesan dipaksakan. Tidak ada pihak yang dilindungi atau diuntungkan dengan diterapkannya hukum pidana kebiri kimia di Indonesia.
-
4. Kesimpulan
Pemberian hukuman melalui pengebirian dapat dikualifikasi sebagai penghukuman keji dan tidak manusiawi yang dengan demikian tidak sesuai dengan konstitusi dan komitmen indonesia dalam bidang hak asasi manusia. Ketentuan pasal 28G ayat (2) konstitusi indonesia menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia”. Dengan demikian hak tersebut bersifat konstitusional dan pemajuan, perlindungan serta pemenuhan menjadi komitmen konstitusional pula. Pengenaan sanksi kebiri bagi pelaku perkosaan di berbagai Negara di dunia menunjukan bahwa tidak efektif dan tidak menimbulkan efek jera. Tidak ada bukti yang menjamin bahwa penggunaan kebiri kimia telah mengurangi jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hukuman kebiri kimia seakan telah melanggar hak asasi manusia.
Penggunaan upaya hukum pidana adalah salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial, disamping itu karena tujuannya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum pidana termasuk dalam kebijakan sosial, yaitu segala usaha rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Pembuatan
peraturan pidana atau perumusan tindak pidana baru haruslah berorientasi pada perbaikan pelaku maupun perlindungan korban. Hukum pidana bukan lagi suatu alat untuk membalas dendam atau memberikan hukum yang seberat-beratnya terhadap pelaku. Pembaharuan hukum haruslah dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau policy. Di dalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. Hukum kebiri seolah seperti aliran klasik yang bersifat retributif dan represif yang hanya berfokus pada perbuatan, sehingga tidak memperhatikan dampak yang ditimbulkan akibat dari pelaksanaan hukum kebiri. Hukum pidana di Indonesia tidaklah menganut aliran klasik yang hanya berorientasi pada perbuatan dan tidak berusaha untuk memperbaiki pelaku. Dalam suatu sanksi pidana, penderitaan merupakan salah satu unsur yang penting, dengan unsur-unsur pidana lainnya. Walaupun demikian hal tersebut tidak boleh digunakan sebagai sarana pembalasan, tetapi tidak lebih hanya shock terapi bagi narapidana agar ia sadar. Berbeda dengan pidana, dalam hal tindakan unsur derita tidak penting, justru sebaliknya, yang perlu adalah memperbaiki pelaku tindak pidana dan melindungi masyarakat. Tujuan pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan manusia dan merendahkan martabat manusia. Mengenai hukum pidana, pidana pada dasarnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan individu. Pelaksanaan hukum kebiri kimia hanya berorientasi pada pembalasan yang bisa membuat pelaku kehilangan kepercayaan diri untuk berkumpul kembali dengan masyarakat.
Daftar Pustaka
Buku:
Arief, B. N. (2014). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), cet. ke-4. Jakarta: Kencana.
Alkostar, A. (2008). Korupsi politik di negara modern. Yogyakarta: FH UII Press.
Hiariej, E. O. (2016). Prinsip-prinsip hukum pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.
Huraerah, A., & Elwa, M. A. (2006). Kekerasan terhadap anak. Nuansa. Bandung: Nuansa.
Prasetyo,T.& Barkatullah, A.B. 2005, Politik Hukum Pidana Kajian ebijakan kriminilasi dan dekriminilasisasi, ,Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Prasetyo, T. (2005). Politik hukum pidana: kajian kebijakan kriminalisasi dan dekriminalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Muladi. (1990).Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang. Pidato
Pengukuhan Guru besar.Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Susanto, S. & Sukinta. (2006), Hukum dan HAM. Semarang.
Soedarto. (1977). Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.
Prasetyo, T. (2010). Kriminalisasi dalam hukum pidana. Bandung: Nusa Media.
Artikel Jurnal :
Arif, H. (2017). REKONSTRUKSI HUKUM TENTANG HUKUMAN KEBIRI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PELECEHAN SEKSUAL (Kajian Analisis Yuridis-Sosiologis PERPPU No. 1 Tahun 2016 Dalam Perspektif Kriminologi Hukum). Khazanah: Jurnal Studi Islam dan Humaniora, 14(1), 110-133.
Atet Sumanto, (2017),Tindakan Kebiri Kimia Bagi Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan Dengan Menggunakan Kekerasan Terhadap Anak di Indonesia, Perspektif, 22(2)
Fitri Wahyuni, (2016), Sanksi Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Menurut Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam, Junal Media Hukum, 23(1)
Lidya, S. W. Pengebirian Sebagai Upaya Perlindungan Anak Dari Kekerasan Seksual, Info Singkat Hukum, 20 (7)
Muhmmad Zubedy Koteng, (2016), Upaya Pencegahan Dan Penangnan Kejahatan Seksual Terahadp Anak, Humanis, 12(1)
Nuzul Qur’aini Mardiya, (2017), Penerapan Hukuman Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kekerasan Seksual , Pusat P4TIK Mahkamah Konstitusi RI, 14(1) Mardiya, N. Q. A. Penerapan Hukuman Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kekerasan Seksual. Jurnal Konstitusi, 14(1), 213-233. https://doi.org/10.31078/jk14110
Sumanto, A. (2017). Tindakan Kebiri Kimia Bagi Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan Dengan Menggunakan Kekerasan Terhadap Anak Di Indonesia. Perspektif, 22(2), 111-122.
Wahyuni, F. (2016). Sanksi Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Menurut Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam. Jurnal Media Hukum, 23(1), 995-109. https://doi.org/10.18196/jmh.2015.0071.95-109
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2016
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Internet
Adi Suhendi. (2017 Oktober 11). Pelaku pemerkosaan anak hingga pingsan ditangkap polisi, ternyata aksinya bukan kali pertama. Tribunnews.com. Retrieved from http://www.tribunnews.com/regional/2017/10/11/pelaku-pemerkosaan-anak-hingga-pingsan-ditangkap-polisi-ternyata-aksinya-bukan-kali-pertama
Bestari Kumala Dewi. (2016 Mei 27). Ini efek hukuman kebiri kimiawi pada tubuh. National Geografic Indonesia. Retrieved from
http://nationalgeographic.grid.id/read/13305384/ini-efek-hukuman-kebiri-kimiawi-pada-tubuh
Davit Setyawan. (2017 September 27). Tahun 2017 KPAI Temukan 116 Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak. KPAI. Retrieved from
http://www.kpai.go.id/berita/tahun-2017-kpai-temukan-116-kasus-kekerasan-seksual-terhadap-anak
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Keterangan Pers Pandangan Komnas HAM mengenai Hukuman Kebiri Bagi Pelaku Kejahatan Seksual. Retrieved from https://www.komnasham.go.id/files/20160215-keterangan-pers-pandangan-komnas-$UNY0CK.pdf
Maharani, Dian. (2015 Oktober 22). Yang Terjadi Jika Seseorang Dihukum Kebiri. Kompas.com. Retrieved from
https://lifestyle.kompas.com/read/2015/10/22/120535623/Yang.Terjadi.jika.Ses eorang.Dihukum.Kebiri
Shidqiyyah, Septika . (2016 Mei 14). 5 Kasus Pemerkosaan Anak di bawah Umur ini bikin geram masyarakat. Brilio Net. Retrieved from
https://www.brilio.net/serius/5-kasus-pemerkosaan-anak-di-bawah-umur-ini-bikin-geram-masyarakat-1605145
317
Discussion and feedback