E-ISSN 2502-3101

Jurna         P-ISSN 2302-528X

Magister Hukum Udayana Desember 2017

Vol. 6, No. 4 : 478 - 488

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

PENGATURAN PANTAI SEBAGAI KAWASAN SUCI DALAM PENYEDIAAN SARANA WISATA TIRTA

DI PROVINSI BALI

Oleh:

I Nyoman Adi Susila1

Abstrack

Arrangement a coast as a sacred area there was a conflict norm of the Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 Pasal 108 numbers (1) orientation zoning regulation of sacred area encompassing a) Sacred area as conservation area; and b) Ban on all kinds of activities and/or businesses to degrade the quality environmental and values sacredness with Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 7 Tahun 2007 Tentang Usaha Penyediaan Sarana Wisata Tirta Pasal 4 alphabet b, The provision of means for water recreation on the beach, sea waters, rivers, lakes and reservoirs. This requires a legal product to Form arrangement more specialized (lex specialis) in order to be arranged in detail regarding sacred. In this case, the implementation of the regulation on the holy was empty (rechtsvacuum)

Keywords: provincial regulation of bali, the sacred area of the beach, tourism facilities tirta touris

Abstrak

Pengaturan kawasan suci pantai terdapat konflik norma pada Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 Pasal 108 ayat (1) arahan peraturan zonasi kawasan suci mencakup a) kawasan suci sebagai kawasan konservasi; dan b) pelarangan semua jenis kegiatan dan/atau usaha yang dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup dan nilai-nilai kesucian dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 7 Tahun 2007 Tentang Usaha Penyediaan Sarana Wisata Tirta Pasal 4 huruf b, Penyediaan sarana untuk rekreasi air di pantai, perairan laut, sungai, danau dan waduk. Hal ini memerlukan produk hukum untuk membentuk pengaturan yang lebih khusus (lex specialis) agar diatur secara terinci mengenai kawasan suci. Dalam hal ini pelaksanaan pengaturan terhadap kawasan suci masih kosong (rechtsvacuum).

Kata kunci: peraturan daerah provinsi bali, kawasan suci pantai, sarana wisata tirta.

Magister Hukum Udayana Desember 2017

Vol. 6, No. 4 : 478 - 488

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

  • I.    PENDAHULUAN

NegaraIndonesiayangterdiridari berbagai macam suku yang memiliki aturan tersendiri baik tertulis maupun tidak tertulis. Aturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tetapi dalam hal ada aturan hukum yang bertentangan dengan undang-undang atau aturan tertulis lainnya. Maka aturan demikian itu harus segera dikaji serta dicarikan solusinya.

Masyarakat Bali dengan mayoritas beragama Hindu senantiasa memegang teguh warisan budaya baik itu berupa tradisi ataupun aturan-aturan hukum tertulis dan tidak tertulis dari para leluhur, keseluruhan warisan budaya tersebut berlandaskan falsafah Tri Hita Karana. Secara etimologi, kata Tri Hita Karana mempunyai arti ‘tiga penyebab kebahagiaan’. Adapun yang dimaksud dengan tiga penyebab kebahagiaan yaitu nilai keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya. Salah satu contoh pengamalan tri hita karana dalam kehidupan sehari-hari adalah dengan turut serta menjaga dan melestarikan kesucian kawasan suci.

Pemerintah Daerah di Bali juga turut serta menjaga dan melindungi kesucian Pura ataupun kawasan yang diyakini memiliki nilai kesucian melalui aturan-aturan hukum berupa peraturan daerah. Penentuan kawasan suci selanjutnya akan ditetapkan

melalui rencana tata ruang wilayah provinsi.

Pengertian mengenai tempat suci atau kawasan suci telah lama ditentukan bahkan sebelum konflik reklamasi teluk benoa populer. Pengertian kawasan suci dirumuskan melalui Keputusan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat No. 11/ Kep/I/PHDIP/1994 tentang Bhisama Kesucian Pura. Dalam bagian Umum poin 1 disebutkan bahwa, ‘Agama Hindu dalam kitab sucinya yaitu Weda-Weda telah menguraikan tentang apa yang disebut dengan tempat-tempat suci dan kawasan suci, gunung, danau, campuhan (pertemuan sungai), pantai, laut, dan sebagainya diyakini memiliki nilai-nilai kesucian. Oleh karena itu Pura dan tempat-tempat suci umumnya didirikan ditempat tersebut, karena ditempat orang-orang suci dan umat Hindu mendapatkan pikiran-pikiran suci (wahyu).’ Dasar hukum berlakunya Bhisama kesucian pura adalah Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029, yaitu pada Pasal 1 angka 64 menyebutkan, ‘Bhisama Kesucian Pura adalah norma agama yang ditetapkan oleh Sabha Pandita PHDI Pusat, sebagai pedoman pengamalan ajaran Agama Hindu tentang kawasan kesucian pura yang belum dijelaskan secara lengkap dalam kitab suci.

Pengertian kawasan suci juga dimuat dalam Perda Prov. Bali No.

Magister Hukum Udayana Desember 2017

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 6, No. 4 : 478 - 488 http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


16 Tahun 2009, pada Pasal 1 angka 40 menyebutkan, ‘kawasan suci adalah kawasan yang disucikan oleh umat Hindu seperti kawasan gunung, perbukitan, danau, mata air, campuhan, laut, dan pantai.’ Peraturan lainnya yang menyebutkan kawasan suci adalah Peraturan Presiden Negara Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar Dan Tabanan, pada Pasal 1 angka 18 menyebutkan, ‘kawasan suci adalah kawasan yang dipandang memiliki nilai kesucian oleh umat Hindu di Bali seperti kawasan gunung, danau, pertemuan dua sungai (campuhan), pantai, laut, dan mata air.’

Kawasan suci menurut umat Hindu di Bali seperti pantai, danau, campuhan, dsb, pada masa ini telah banyak dikembangkan sebagai kawasan pariwisata. Hal ini didukung dengan diterbitkannya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 7 Tahun 2007 tentang Usaha Penyediaan Sarana Wisata Tirta. Pada Pasal 1 angka 4 dalam perda tersebut dinyatakan, ‘usaha penyediaan sarana wisata tirta adalah usaha yang kegiatannya menyediakan dan mengelola prasarana dan sarana serta jasa-jasa lainnya yang berkaitan dengan kegiatan wisata tirta, yang dapat dilakukan dilaut, sungai, danau, rawa, dan waduk.’

Ruang lingkup usaha penyediaan sarana tirta ini disebutkan dalam Perda Prov. Bali No. 7 Tahun 2007, pada Pasal 4 meliputi kegiatan:

  • a.    Pembangunan dan penyediaan sarana tempat tambat kapal pesiar untuk kegiatan wisata;

  • b.    Penyediaan sarana untuk rekreasi air di pantai, perairan laut, sungai, danau dan waduk;

  • c.    pelayanan kegiatan rekreasi menyelam untuk menikmati keindahan flora dan fauna di bawah air laut; dan

  • d.    pelayananjasalainyangberkaitan dengan kegiatan marina.

Sudah tentu setiap pemerintah daerah berkeinginan untuk mengembangkan dan memajukan kawasan pariwisata di wilayahnya karena sektor pariwisata merupakan salah satu sumber utama pendapatan daerah.

Terkadang pengembangan kawasan wisata khususnya wisata tirta seperti pantai, danau, atau kawasan perairan lainnya, menimbulkan kekhawatiran bagi umat Hindu. Dengan beroperasinya kawasan suci sebagai objek wisata tentu akan menarik banyak wisatawan yang berkunjung ke objek wisata tersebut. Disamping itu, setiap wisatawan yang datang belum tentu semuanya paham dan mengerti arti dari menjaga kesucian kawasan suci terutama dari segi niskala. Hal semacam ini sangat berpotensi menodai kesucian daripada kawasan suci itu.

Dalam Perda Prov. Bali No. 16 Tahun 2009, mengenai kebijakan pengembangan strategis, Pasal 13 Ayat (6) huruf a angka 5 disebutkan,

Magister Hukum Udayana Desember 2017

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 6, No. 4 : 478 - 488

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


‘mengendalikan kegiatan di sekitar kawasan suci dan tempat suci yang dapat mengurangi nilai kesucian kawasan.’ Serta dalam Pasal 108 ayat (1) arahan peraturan zonasi kawasan suci mencakup:

  • a.    kawasan suci sebagai kawasan konservasi; dan

  • b.    pelarangan semua jenis kegiatan dan/atau usaha yang dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup dan nilai-nilai kesucian.

Dua peraturan ini dapat dikatakan terjadi konflik pada pengaturan kawasan suci pantai dengan penyediaan sarana wisata tirta di Provinsi Bali. Antara Perda Prov. Bali No. 16 Tahun 2009, pada Pasal 13 Ayat (6) huruf a angka 5 dan Pasal 108 ayat (1) huruf b mengenai arahan peraturan zonasi kawasan suci mencakup pelarangan semua jenis kegiatan dan/atau usaha yang dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup dan nilai-nilai kesucian dengan Perda Prov. Bali No. 7 Tahun 2007, pada Pasal 4 huruf b Penyediaan sarana untuk rekreasi air di pantai, perairan laut, sungai, danau dan waduk.

Hal ini tentu menjadi dilema bagi masyarakat Hindu Bali, disatu sisi masyarakat Hindu di Bali dituntut untuk menjaga kesucian kawasan yang dianggap suci, disisi lainnya pentingnya pengembangan kawasan pariwisata sebagai pendapatan daerah. Kedua hal tersebut sangat penting untuk dijaga supaya berkelanjutan, kesucian kawasan suci tetap terjaga

dan pendapatan untuk daerah juga tetap ada. Maka dari itu muncul dua permasalahanyangharusdibahas,yaitu. Pertama, bagaimanakah pengaturan kawasan suci pantai dalam penyediaan sarana wisata tirta di Provinsi Bali? Kedua, bagaimanakah pelaksanaan pengaturan terhadap kawasan suci pantai dalam penyediaan sarana wisata tirta di Provinsi Bali? Perumusan permasalahan di atas bertujuan untuk mengetahui pengaturan kawasan suci pantai dalam penyediaan sarana wisata tirta di Provinsi Bali dan juga mengetahui pelaksanaan pengaturan terhadap kawasan suci pantai dalam penyediaan sarana wisata tirta di Provinsi Bali.

Sebagai bukti bahwa karya ilmiah ini bebas dari unsur plagiat, maka penulis akan menyertakan beberapa contoh karya ilmiah lainnya sebagai bukti pembeda. Karya ilmiah yang berjudul ‘Kewenangan Pemerintah Kabupaten Badung Dalam Pengendalian Perizinan Pembangunan Sarana Akomodasi Pariwisata’ oleh I Made Ari Artaya, dimana pembahasannya mengenai dasar kewenangan Pemerintah Kabupaten Badung dalam memberikan izin pembangunan akomodasi pariwisata.2

Magister Hukum Udayana Desember 2017

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 6, No. 4 : 478 - 488

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


Karya ilmiah yang berjudul ‘Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Pariwisata Tanah Lot Antara Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan Dengan Desa Pakraman Beraban Dalam Perspektif Keadilan Dan Kepastian Hukum’ oleh I Kadek Yudhi Pramadita, dimana pembahasannya mengenai adanya ketidakadilan hak antara para pihak pembuat perjanjian yaitu antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan pihak Desa Pakraman Beraban Tanah Lot.3 Karya ilmiah yang berjudul ‘Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan Dalam Pasokan Jasa Pariwisata Oleh Biro Perjalanan Wisata’ oleh Princess Innez Primantara, dimana pembahasannya mengenai konstruksi norma yang mengatur perlindungan hukum terhadap wisatawan.4

  • II.    METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian

hukum normatif. Dalam karya ilmiah ini, penulis menggunakan beberapa jenis pendekatan diantaranya:

  • a.    Pendekatan        perundang-

undangan (The Statute Approach); dan

  • b.    Pendekatan fakta     (Fact

Approach).

Sumber bahan hukum yang digunakan di dalam penulisan karya ilmiah ini diperoleh melalui bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Adapun teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan card system (sistem kartu). Dalam hal menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul, penulis menggunakan beberapa teknik analisis, antara lain.

  • a.    Deskripsi yaitu dengan menguraikan suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum;

  • b.    Argumentasi yaitu berupa suatu argumen yang dilakukan guna memperkuat penilaian, serta melakukan penalaran hukum; dan

  • c.    Interpretasi sistematis yaitu dengan menafsirkan peraturan perundang-undangan dan menghubungkannya    dengan

peraturan hukum (undang-undang lain) atau dengan keseluruhan sistem hukum. Hukum dilihat sebagai suatu kesatuan atau sebagai sistem peraturan.

Magister Hukum Udayana Desember 2017

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 6, No. 4 : 478 - 488

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


  • III.    HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Pengaturan Kawasan Suci Pantai Dalam Penyediaan Sarana Wisata Tirta di Provinsi Bali.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Pernyataan ini secara eksplisit memberi isyarat bahwa hukum di negara Indonesia berkedudukan sangat mendasar dan tertinggi (supreme).5 Menurut Friedrich J. Stahl menyatakan bahwa mengenai negara hukum ditandai oleh empat unsur pokok yaitu.

  • a.    Adanya jaminan atas hak-hak asasi manusia;

  • b.    Adanya pembagian kekuasaan; c. Pemerintahan haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum (wetmatig van bestuur); dan

  • d.    Adanya peradilan administrasi negara (PTUN) yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).6

Secara konstitusi Negara Indonesia terdiri dari pemerintahan daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan sesuai asas otonomi dan tugas pembantuan. Menurut Dewa Gede

Palguna ciri-ciri negara hukum harus memiliki sembilan unsur yaitu.

Constitutionalism; Law Governs the Government; .An Independent Judiciary; Law Must be Fairly and Consistently Appleid; Law is Transparent and Accessible to All; Application of Law is Efficient and Timely; Property and Economic Rights are Protected, including Contracts; Human and Intellectual Rights are Protected; Law can be Changed by An Established Process which itseft is Transparent and Accessible to All.7

Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 17 ayat (2) isinya mengenai, daerah dalam menetapkan kebijakan daerah wajib berpedoman pada norma, standar, prosedur, dan kriteria yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Maksud dari pemerintah pusat ini yaitu dalam bentuk Peraturan Presiden Negara Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar Dan Tabanan, pada Pasal 1 angka 18 menyatakan, ‘kawasan suci adalah kawasan yang dipandang memiliki nilai kesucian oleh umat Hindu di Bali seperti kawasan gunung, danau, pertemuan dua sungai (campuhan), pantai, laut, dan mata air.

Magister Hukum Udayana Desember 2017

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 6, No. 4 : 478 - 488

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


Peraturan Presiden tersebut kemudian dipertegas kembali dalam bentuk Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029. Dalam paragraf 3 mengenai Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Strategis pada Pasal 13 ayat (6) huruf a angka 5 menyatakan, ‘mengendalikan kegiatan di sekitar kawasan suci dan tempat suci yang dapat mengurangi nilai kesucian kawasan.’ Pada Pasal 108 ayat (1) arahan peraturan zonasi kawasan suci mencakup.

  • a.    Kawasan suci sebagai kawasan konservasi;dan

  • b.    Pelarangan semua jenis kegiatan dan/atau usaha yang dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup dan nilai-nilai kesucian.

Dalam penataan kebijakan kepariwisataan harusnya mengandung tiga aspek dasar yaitu: (1) Kepariwisataan sebagai suatu bentuk perdagangan jasa; (2) Hubungan kegiatan bisnis kepariwisataan dengan kebudayaan dan lingkungan hidup; dan (3) Hukum yang mengatur kegiatan perdagangan jasa pariwisata dan hubungan pariwisata dengan kebudayaan.8 Ketiga hal tersebut hendaknya terimplementasi dalam setiap kebijakan yang berhubungan dengan bidang kepariwisataan.

Hal ini menjadi konflik lantaran aturan khusus tentang wisata tirta

dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 7 Tahun 2007 Tentang Usaha Penyediaan Sarana Wisata Tirta Pasal 4 huruf b Penyediaan sarana untuk rekreasi air di pantai, perairan laut, sungai, danau dan waduk. Mengenai pantai dimana menjadi tempat upacara atau tempat persembahyangan (melasti) oleh masyarakat Hindu di Bali. Apabila dilakukan pembangunan dalam penyediaan sarana untuk rekreasi air di pantai memang berdampak positif seperti memperluas dan menambah kesempatan untuk berusaha dan lapangan kerja serta mendorong pembangunan daerah melalui pendapatan asli daerah.

Setiap keputusan tidak selalu berdampak positif melainkan sekiranya perlu memperhatikan dampak negatif seperti kerusakan lingkungan hidup dan mengganggu keharmonisan sosial dan budaya di Bali. Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan        harus

memperhatikan asas-asas peraturan perundang-undangan antara lain.

  • a.   Undang-undang  tidak  dapat

berlaku surut;

  • b.   Undang-undang  tidak  dapat

diganggu gugat;

  • c.   Undang-undang  yang  dibuat

oleh penguasa  lebih  tinggi

mempunyai kedudukan yang tinggi pula (lex superiori derogat legi inferiori);

  • d.    Undang-undang yang bersifat khusus akan mengesampingkan

Magister Hukum Udayana Desember 2017

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 6, No. 4 : 478 - 488

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


atau melumpuhkan undang-undang yang bersifat umum (lex specialis derogat legi generalis);

  • e.    Undang-undang yang baru mengalahkan atau melumpuhkan undang-undang yang lama (lex posteriori derogat legi priori);

  • f.    Undang-undang merupakan sarana maksimal bagi kesejahteraan spirituil masyarakat maupun individu melalui pembaharuan atau pelestarian.9

Dalam hal ini Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 adalah lex posteriori derogat legi priori terhadap Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 7 Tahun 2007 Tentang Usaha Penyediaan Sarana Wisata Tirta walaupun Perda ini bersifat lex specialis.

  • 3.2. Pelaksanaan Pengaturan

TerhadapKawasan SuciPantai dalam Penyediaan Sarana Wisata Tirta di Provinsi Bali.

Pemerintahan daerah dalam melaksanakan kegiatan pembangunan diawali dengan pembuatan perencanaan program pembangunan. Perencanaan program tersebut harus berorientasi pada Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009

Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 yang merupakan landasan yuridis dan mendasar dalam perencanaan program pembangunan.

Perencanaan program ke depannya diarahkan untuk mampu mewujudkan dan memenuhi kepentingan umum. Kepentingan umum mempunyai dampak pada keberhasilan pelaksanaan program pembangunan daerah, sehingga para penyelenggara pemerintahan daerah berkeyakinan mampu untuk mewujudkan sasaran sesuai dengan perencanaan program yang direncanakan oleh penyelenggara pemerintahan daerah serta mendapat dukungan masyarakat setempat terutama bagi umat Hindu dalam melindungi kesucian kawasan suci pantai.

Tanpa melibatkan partisipasi masyarakat, maka rencana kerja pembangunan daerah tidak akan dapat terlaksana dengan baik. Maka dari itu perlu memfungsikan hukum sebagai sarana untuk menata perubahan, sesuai dengan ‘law as a tool of social engineering.’ Adapun yang dimaksud dengan social engineering adalah menata kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat.10

Pelaksanaan program pembangunan dilaksanakan di dalam masyarakat yang bertujuan untuk

Magister Hukum Udayana Desember 2017

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 6, No. 4 : 478 - 488

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


meningkatkan kesejahteraan masyarakat Hindu di Bali. Dengan demikian, pemerintahdaerahdalammelaksanakan kewenangan yang dimiliki senantiasa mendengar, memperhatikan permasalahan, kebutuhan, keinginan dan aspirasi masyarakat daerah untuk mengantarkan daerah menuju keberhasilan dalam melaksanakan otonomi daerah.

Pasal 108 ayat (2) huruf d Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 adalah penentuan batas-batas terluar tiap zona radius kawasan suci didasarkan atas batas-batas fisik yang tegas berupa batas alami atau batas buatan, disesuaikan dengan kondisi geografis masing-masing kawasan dan panjang radius antara garis lingkaran terluar zona pemanfaatan dan titik pusat lingkaran sekurang-kurangnya sama dengan radius kawasan tempat suci sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2), diatur lebih lanjut dalam rencana rinci tata ruang kawasan tempat suci, yang artinya dalam peraturan daerah ini diarahkan untuk membentuk pengaturan yang lebih khusus (lex specialis) mengenai kawasan suci.

Dalam hal ini pelaksanaan pengaturan terhadap kawasan suci masih kosong (rechtsvacuum) dan harus cepat dibentuk agar memberi kekuatan yuridis dalam penegakan peraturan daerah. Agar mencapai suatu good legislation, setiap peraturan

perundang-undangan harus memiliki landasan filosofis (filosofische grondslag), landasan sosiologis (sociologische grondslag), landasan yuridis (juridische grondslag), landasan politis (politische grondslag), dan landasan ekonomis (economische grondslag).11

IV. KESIMPULAN

Terjadinya konflik norma antara Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029, mengenai kebijakan pengembangan strategis Pasal 13 Ayat (6) huruf a angka 5, dan juga pada Pasal 108 ayat (1) huruf a dan b dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 7 Tahun 2007 Tentang Usaha Penyediaan Sarana Wisata Tirta Pasal 4 huruf b, maka diberlakukan asas lex posteriori derogat legi priori.

Dalam Pasal 108 ayat (2) huruf d Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029, dalam peraturan daerah ini diarahkan untuk membentuk pengaturan yang lebih khusus (lex specialis) agar diatur secara terinci dan mengenai kawasan suci. Dalam hal ini pelaksanaan pengaturan terhadap kawasan suci masih kosong (rechtsvacuum).

Magister Hukum Udayana Desember 2017

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 6, No. 4 : 478 - 488

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Astawa, I. G. P., & Na’a, S. (2008). Dinamika hukum dan ilmu perundang-undangan Di Indonesia. Alumni. Bandung.

Palguna, I. D. G., Ahmad, R. U., & Tarmizi. (2013). Pengaduan konstitusional (constitutional complaint):   upaya hukum

terhadap pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara. Penerbit Sinar Grafika. Jakarta.

Putra, I. B. W., & Bagus, I. (2003). Hukum Bisnis Pariwisata. PT. Refika Aditama, Bandung.

Radjab, D. (2005). Hukum Tata Negara Indonesia. Rineka Cipta, Jakarta.

Sukanto, S., & Purbacaraka, P. (1993). Perihal kaidah Hukum. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Syaukani, I., & Thohari, A. A. (2004). Dasar-dasar politik hukum. Divisi Buku Perguruan Tinggi, RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Tanya, B. L., Simanjuntak, Y. N., & Hage, M. Y. (2010). Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Yogyakarta: Genta Publishing.

ARTIKEL JURNAL

Artaya, A. (2016). KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN BADUNG       DALAM

PENGENDALIAN PERIZINAN PEMBANGUNAN SARANA AKOMODASI

PARIWISATA. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 5(3), 543 -558. doi:10.24843/JMHU.2016. v05.i03.p10

Innez Primantara, P. (2015). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WISATAWAN DALAM PASOKAN JASA PARIWISATA OLEH BIRO PERJALANAN WISATA. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 4(2). doi:10.24843/JMHU.2015. v04.i02.p06

Pramadita, I. (2017). PERJANJIAN KERJASAMA PENGELOLAAN PARIWISATA TANAH LOT ANTARA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN TABANAN DENGAN DESA PAKRAMAN BERABAN      DALAM

PERSPEKTIF KEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 6(1), 52 - 66. doi:10.24843/ JMHU.2017.v06.i01.p05

PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244).

Magister Hukum Udayana Desember 2017

Vol. 6, No. 4 : 478 - 488

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Peraturan Presiden Negara Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar Dan Tabanan

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 7 Tahun 2007 Tentang Usaha Penyediaan Sarana Wisata Tirta

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029

488