E-ISSN 2502-3101

Jurna         P-ISSN 2302-528X

Magister Hukum Udayana Desember 2017

Vol. 6, No. 4 : 464 - 477

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

KEWENANGAN ANKUM TERHADAP TAWANAN PERANG DALAM HUKUM DISIPLIN MILITER

Oleh :

Soniardhi1

Abstract

The development of military law as part of the national law for the security of order, justice and legal certainty within the military. The development of the divestment is implemented through the renewal of the law of military discipline stamped in Law No. 25 of 2014 on Military Discipline Law. Act No. 25 of 2014, it can be understood that the laws of military discipline other than applied to the military, are also applied to every person who is based on the law equated with the military, while also applied to prisoners of war. The enforcement of military discipline laws against prisoners of war may be too late, considering the abolition of military discipline for the perpetrators of legal offenses must be committed by an exclusive superior (Ankum), but acts, Act No. 25 of 2014 does not provide complete and clear arrangements on the authority of Ankum in upholding disciplinary law against prisoners of war. Based on normative legal research with the approach of legal concept and legislation, it can be obtained a conclusion about the obscurity of norms and regulation of war tactics in Law Number 25 Year 2014 is important, because the form of legal vagueness can result in situation of legal uncertainty, especially enforcement law against prisoners of war. In the next note, a more complete and clear arrangement is needed to enforce the legal provisions of military discipline against prisoners of war.

Keywords: Law of Military Discipline, Prisoner of War.

Abstrak

Pengembangan hukum militer sebagai bagian dari hukum nasional ditujukan untuk menjamin terciptanya ketertiban, keadilan dan kepastian hukum di lingkungan militer. Pengembangan tersebut diantaranya diimplementasikan melalui pembaharuan hukum disiplin militer sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer. Mencermati ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 25 Tahun 2014, maka dapat diperoleh pemahaman bahwasanya hukum disiplin militer selain diberlakukan kepada militer, juga diberlakukan kepada setiap orang yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan militer, adapun diantaranya adalah diberlakukan bagi tawanan perang. Pemberlakuan hukum disiplin militer kepada tawanan perang dapat dianggap terlampau dini, mengingat bahwa penjatuhan hukuman disiplin militer bagi pelaku pelanggaran hukum disiplin militer harus dilakukan oleh seorang Atasan Yang Berhak Menghukum (Ankum), namun kenyataannya, UU Nomor 25 Tahun 2014 tidak memberikan pengaturan secara lengkap dan

Magister Hukum Udayana Desember 2017

Vol. 6, No. 4 : 464 - 477

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

jelas tentang kewenangan Ankum dalam menegakkan hukum disiplin terhadap tawanan perang. Berdasarkan penelitian hukum normatif dengan pendekatan konsep hukum dan perundangan-undangan, dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa kajian tentang kekaburan norma dan pengaturan tawanan perang dalam UU Nomor 25 Tahun 2014 merupakan hal yang penting, oleh karena bentuk kekaburan hukum tersebut dapat berakibat kepada situasi ketidakpastian hukum, khususnya penegakan hukum terhadap tawanan perang. Dalam tinjauan selanjutnya, hendaknya diperlukan pengaturan-pengaturan tertentu yang lebih lengkap dan jelas untuk menerapkan ketentuan hukum disiplin militer terhadap tawanan perang.

Kata kunci: Hukum Disiplin Militer, Tawanan Perang.

  • I.    PENDAHULUAN.

Profesionalisme Tentara

Nasional Indonesia (selanjutnya disebut TNI) dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai dengan kepentingan politik negara, mengacu pada nilai dan prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, supremasi hukum (hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi). Secara khusus, pengembangan hukum militer sebagai bagian dari hukum nasional menunjukkan kehendak untuk membangun profesionalitas TNI secara utuh dan transparan. Kepatuhan terhadap hukum dan pemeliharaan disiplin internal baik terhadap personel maupun satuan, senantiasa menjadi prioritas utama dalam upaya membangun TNI yang kuat dan profesional.

Dalam menyelenggarakan pembinaan disiplin satuan, maka setiap Komandan satuan yang berkedudukan sebagai Atasan yang Berhak Menghukum (selanjutnya disebut Ankum) memiliki kewenangan untuk menjaga disiplin militer dan

memelihara tegaknya hukum disiplin di tiap-tiap satuan yang dipimpinnya. Menurut Tambunan yang dimaksud dengan disiplin militer adalah jiwa militer yang merupakan syarat mutlak bagi kehidupan militer Indonesia.2 Dengan demikian maka disiplin militer merupakan hal yang mutlak ada dalam jiwa setiap militer. Ankum memiliki peran sentral yang sangat penting untuk menegakkan hukum dan disiplin di masing-masing satuannya, agar pelaksanaan tugas pokok dapat tercapai sesuai dengan sasaran yang telah ditentukan.

Penegakan hukum disiplin di satuan merupakan upaya untuk menjaga keteraturan dan ketertiban dalam kehidupan militer. Dalam pengertian sebagaimana tertuang pada Pasal 1 ke-3 UUHDM-2014, maka hukum disiplin militer diartikan sebagai peraturan dan norma untuk mengatur, membina, menegakkan disiplin, dan tata kehidupan yang berlaku bagi Militer. Hukum disiplin

Magister Hukum Udayana Desember 2017

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 6, No. 4 : 464 - 477

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


diperlukan untuk menjaga stabilitas dan ketertiban perilaku secara terus-menerus serta mencegah terjadinya pelanggaran hukum agar pelaksanaan tugas dan kewajiban seorang militer dapat berjalan dengan baik. Namun jika dalam kenyataannya terjadi suatu pelanggaran hukum disiplin, maka penegakan hukum terhadap pelanggaran tersebut harus senantiasa ditegakkan secara adil dan tegas.

Dalam lingkungan kemiliteran, bentuk pelanggaran hukum yang tergolong dalam kategori ringan adalah bentuk pelanggaran terhadap hukum disiplin militer. Pelanggaran hukum disiplin dapat dimaknai sebagai perbuatan yang tidak lazim yang dilakukan oleh seorang militer. Oleh karena disiplin merupakan syarat mutlak bagi kehidupan militer, maka pelanggaran hukum sekecil apapun harus memperoleh penyelesaian secara tuntas agar tidak menimbulkan gangguan pada pelaksanaan tugas-tugas kemiliteran yang memerlukan ketelitian dan kecermatan yang tinggi. Mekanisme penegakan hukum disiplin militer didasarkan kepada berlakunya UU Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer (selanjutnya disebut UUHDM-2014) sebagai perubahan terakhir atas UU No 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit Angkatan Republik Indonesia.

Berkaitan dengan penegakan hukum disiplin terhadap tawanan perang, ketentuan Pasal 6 ayat (1) UUHDM-2014 menyatakan bahwa

hukum disiplin militer diberlakukan kepada:

  • a.    Militer; dan

  • b.   Setiap orang yang berdasarkan

undang-undang dipersamakan dengan Militer.

Mengikuti penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b UUHDM-2014, maka yang dimaksud dengan “Setiap orang yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Militer” antara lain adalah : a.    Prajurit Siswa.

  • b.    Militer Tituler.

  • c.    Warga negara yang di mobilisasi karena keahliannya pada waktu perang, atau

  • d.    Tawanan perang.

Berdasarkan penjelasan Pasal 6 ayat (1) di atas, dapat diketahui bahwa terhadap seorang tawanan perang, maka kepadanya dapat ditundukkan suatu penegakan hukum berdasarkan hukum disiplin militer. Penerapan hukum disiplin militer terhadap tawanan perang dapat menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya, mengingat penjatuhan hukuman disiplin militer adalah mutlak dilakukan oleh seorang Ankum. Namun faktanya, UU Nomor 25 Tahun 2014 tidak memberikan pengaturan secara jelas dan lengkap tentang kewenangan Ankum untuk menegakkan hukum disiplin terhadap seorang tawanan perang. Fenomena ini dipastikan dapat menimbulkan bentuk kekaburan hukum ketika ketentuan hukum disiplin militer diterapkan kepada seorang tawanan perang. Berdasarkan

Magister Hukum Udayana Desember 2017

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 6, No. 4 : 464 - 477

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


uraian latar belakang tersebut di atas, selanjutnya dalam penelitian ini akan dilakukan suatu kajian dan analisa tentang kewenangan Ankum terhadap tawanan perang berdasarkan hukum disiplin militer.

Penelitian-penelitian yang mengangkat topik tentang hukum disiplin militer yang selanjutnya digunakan sebagai orisinalitas dalam penulisan ini antara lain adalah artikel hukum disiplin yang ditulis oleh Natsri Anshari dan Markoni. Artikel hukum yangditulisolehNatsriAnshariberjudul “Perubahan Hukum Disiplin Militer : Disiplin versus Keadilan”3, dalam artikel tersebut Natsri mengkaji tentang perkembangan hukum disiplin militer yang mengarah pada keseimbangan antara keadilan dan disiplin. Adapun artikel yang ditulis oleh Markoni berjudul “Tanggapan Terhadap RUU Hukum Disiplin Militer Ditinjau Dari Aspek Pembinaan Personel dan Pembinaan Satuan”4. Dalam artikelnya Markoni menitikberatkan pembahasan tentang pentingnya hukum disiplin militer dari aspek pembinaan personel dan pembinaan satuan.

Berdasarkan kedua artikel tersebut, selanjutnya dapat diketahui bahwa penulisan dalam kajian ini memiliki perbedaan dengan materi-

materi yang telah diajukan oleh Penulis sebelumnya, oleh karena penulisan ini lebih mengedepankan dan fokus pada pembahasan tentang kewenangan Ankum dalam hukum disiplin militer terhadap tawanan perang.

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran dan saran bagi pengembangan hukum, khususnya pada bidang pengembangan hukum disiplin militer, yaitu tentang urgensi pengaturan kewenangan Ankum secara jelas dan lengkap dalam upaya menegakkan hukum disiplin militer terhadap tawanan perang.

  • II.    METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah penelitian hukum normatif. Menurut I.B. Wyasa Putra, penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang menggunakan pendekatan ilmu hukum murni.5 Adapun menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji bahwa penelitian hukum normatif adalah merupakan penelitian hukum kepustakaan.6

Penelitian hukum normatif dalam kajian ini digunakan oleh karena timbulnya suatu kekaburan norma hukum dalam UU Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer,

Magister Hukum Udayana Desember 2017

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 6, No. 4 : 464 - 477

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


khususnya mengenai kewenangan Ankum untuk menegakkan hukum disiplin militer terhadap tawanan perang.

Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan jenis pendekatan berupa pendekatan analisis dan konsep hukum (analitical and conseptual approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan analisis dan konsep hukum dipergunakan untuk menganalisa konsep dan teori hukum yang berhubungan dengan kewenangan Ankum dalam menegakkan hukum disiplin militer terhadap tawanan perang, sedangkan untuk pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan mengkaji UU Nomor 25 Tahun 2014 dan peraturan-peraturan lain yang memiliki korelasi dengan kewenangan Ankum.

  • III.    HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Kewenangan Ankum Berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 2014

Disiplin merupakan keinsyafan dan kesadaran untuk mempertahankan dan memelihara kestabilan perilaku bagi seorang militer untuk melaksanakan setiap perintah dan tugas pokok satuan secara baik dan sempurna. Menurut Faisal Salam, disiplin adalah pernyataan keluar (outward manifestation) daripada sikap mental (mental houding) dari seseorang.7 Pemeliharaan disiplin adalah tanggung jawab pokok dari

seorang Militer yang diperlukan untuk memelihara terjaganya kesiapan dan kekuatan militer dalam kondisi apapun juga. Dengan berbagai peralatan tempur yang dimiliki dan menjadi indek perorangan maupun satuan, maka militer yang memandu sistem persenjataan tersebut haruslah memiliki tingkat kedisiplinan yang tinggi, agar penggunaan peralatan militer dapat digunakan sesuai dengan peruntukannya dan mencegah terjadinya suatu pelanggaran hukum sekecil apapun dalam pelaksanaan tugas-tugas militer maupun dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakat.

Dalam tatanan kehidupan militer, bentuk pelanggaran hukum sekecil apapun harus mendapatkan penyelesaian secara tuntas berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini diperlukan untuk menjaga tetap tegaknya disiplin satuan guna mencapai keberhasilan tugas pokok TNI yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang. Terkait dengan adanya pelanggaran dsiplin yang dilakukan oleh seorang militer, maka Pasal 8 UUHDM-2014 memberikan pengaturan tentang hal yang dimaksudkan sebagai pelanggaran disiplin antara lain sebagai berikut : a. Segala perbuatan yang bertentangan dengan perintah kedinasan, peraturan kedinasan, atau perbuatan yang tidak sesuai dengan Tata Tertib Militer ; dan

Magister Hukum Udayana Desember 2017

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 6, No. 4 : 464 - 477

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


  • b. Perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan pidana yang sedemikian ringan sifatnya. Bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan yang melanggar perundang-undangan pidana yang sedemikian ringan sifatnya” meliputi:

  • 1)    Segala bentuk tindak pidana yang digolongkan dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau kurungan paling lama 6 (enam) bulan;

  • 2)    Perkara sederhana dan mudah pembuktiannya;

  • 3)    Tindak pidana yang terjadi tidak mengakibatkan terganggunya kepentingan militerdan/ataukepentingan umum; dan

  • 4)    Tindak pidana karena ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai paling lama 4 (empat) hari.

Bahwa terhadap jenis-jenis pelanggaran disiplin tersebut, maka bentuk hukuman disiplin militer yang dapat dijatuhkan kepada pelanggar hukum disiplin berdasarkan Pasal 9 UUHDM-2014 adalah sebagai berikut:

  • a.    Teguran;

  • b.   Penahanan disiplin ringan paling

lama 14 (empat belas) hari; atau

  • c.    Penahanan disiplin berat paling lama 21 (dua puluh satu) hari.

Teguran merupakan bentuk hukuman disiplin tanpa menjalani suatu penahanan. Adapun penahanan disiplin ringan maupun berat merupakan bentuk hukuman yang pelaksanaannya dilakukan dengan menahan pelanggar di kamar tahanan yang berada di masing-masing satuan. Perbedaan antara penahanan disiplin ringan dan penahanan disiplin berat terletak pada pelaksanaan hukuman yang sedang dijalankan. Dalam pelaksanaan penahanan disiplin ringan, Terhukum diperbolehkan menerima tamu dan pada saat jam dinas Terhukum dapat dipekerjakan di lingkungan satuannya, sedangkan untuk penahanan berat, Terhukum sama sekali tidak diperbolehkan untuk menerima tamu, dan tidak dapat dipekerjakan dalam jam dinas, serta menjalani penahanan pada tempat tertentu yang tertutup.

Mengacu pada ketentuan Pasal 11 ayat UUHDM-2014, berdasarkan atas suatu keadaan khusus, maka hukuman disiplin berupa penahanan disiplin ringan atau penahanan disiplin berat dapat diperberat dengan tambahan waktu penahanan paling lama 7 (tujuh) hari. Keadaan khusus yang dimaksud sebagai hal yang memperberat hukuman disiplin adalah:

  • a.   Negara dalam keadaan bahaya.

  • b.   Dalam kegiatan operasi militer.

  • c.    Dalam kesatuan yang disiapsiagakan; dan/atau

  • d.    Militer yang melakukan pengulangan pelanggaran

Magister Hukum Udayana Desember 2017

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 6, No. 4 : 464 - 477

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


disiplin militer dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan setelah dijatuhi hukuman disiplin militer.

UUHDM-2014 memberikan kewenangan kepada Komandan Satuan yang berkedudukan sebagai Ankum untuk menegakkan hukum disiplin guna tegaknya disiplin di satuan yang berada di bawah wewenang komandonya. Menurut Black’s Law Dictionary, pengertian kewenangan atau authority adalah :

“Right to exercise powers; to implement and enforce laws; to exact obedience; to command; to judge. Control over; jurisdiction. Often synonymous with power”8 Kewenangan        Ankum

berdasarkan Pasal 21 UUHDM-2014 antara lain adalah sebagai berikut : 1. Ankum yang berwenang penuh, yaitu Ankum yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan semua jenis hukuman disiplin militer kepada Militer yang berada di bawah wewenang komandonya.

  • 2.   Ankum yang berwenang terbatas,

adalah Ankum yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan semua jenis hukuman disiplin militer kepada Militer yang berada di bawah wewenang komandonya, kecuali penahanan disiplin berat terhadap perwira.

  • 3.    Ankum yang berwenang sangat terbatas, adalah Ankum yang

mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin militer teguran dan penahanan ringan kepada bintara dan tamtama yang berada di bawah wewenang komandonya.

Berdasarkan jenjangnya, maka kewenangan Ankum berdasarkan Pasal 23 UUHDM-2014, antara lain adalah sebagai berikut:

  • 1.    Ankum, memiliki kewenangan untuk:

  • a.    Melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pemeriksaan terhadap Militer yang berada di bawah wewenang komandonya;

  • b.    Menjatuhkan Hukuman Disiplin Militer terhadap Militer yang berada di bawah wewenang komandonya; dan

  • c.    Menunda pelaksanaan Hukuman Disiplin Militer yang telah dijatuhkan.

  • 2.    Ankum Atasan, memiliki kewenangan untuk:

  • a.    Menunda pelaksanaan Hukuman Disiplin Militer;

  • b.    Memeriksa dan memutuskan pengajuan keberatan; dan

  • c.    Mengawasi dan mengendalikan Ankum di bawahnya.

  • 3.    Ankum dari Ankum Atasan, memiliki kewenangan untuk:

  • a.    Menunda pelaksanaan

Hukuman Disiplin Militer;

  • b.    Memeriksa dan memutus-

Magister Hukum Udayana Desember 2017

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 6, No. 4 : 464 - 477

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


kan pengajuan keberatan tingkat akhir; dan

  • c.    Mengawasi dan mengendalikan Ankum di bawahnya.

  • 4.    Ankum Tertinggi, memiliki kewenangan untuk:

  • a.    Menunda pelaksanaan

Hukuman Disiplin Militer;

  • b.    Memeriksa dan memutuskan pengajuan keberatan tingkat akhir dan bersifat final; dan

  • c.    Mengawasi dan mengendalikan Ankum di bawahnya.

Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh UU di atas, maka Ankum memiliki peran sentral yang sangat penting di lingkungan satuannya. Seorang Ankum harus memiliki kemampuan untuk menggunakan kewenangannya dan memimpin bawahannya secara adil serta bijaksana guna mewujudkan suatu kesiapan operasional satuan TNI dalam rangka menjalankan amanat UU sebagai alat pertahanan negara.

  • 3.2.    Kewenangan Ankum terhadap

    Tawanan Perang

Berdasarkan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b UUHDM-2014 dalam uraian pada bab pendahuluan di atas, maka dapat dipahami bahwa salah satu yang dimaksud dengan “Setiap orang yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Militer” adalah “tawanan perang”. Ketentuan ini menjadi dasar bagi ditundukkannya

tawanan perang pada ketentuan hukum disiplin militer.

Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang turut serta dalam seluruh Konvensi Jenewa (I sd IV) berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 1958 tentang Ikut Serta Negara Republik Indonesia Dalam Seluruh Konvensi Jenewa Tanggal 12 Agustus 1949. Mendasari UU Nomor 59 Tahun 1958, selanjutnya ketentuan mengenai tawanan perang dapat diketahui dengan mengacu pada Pasal 4 Konvensi Jenewa III Tahun 1949 tentang Perlakuan Terhadap Tawanan Perang. Selain itu, ketentuan tentang tawanan perang juga terdapat pada Pasal 44 Protokol Tambahan I Tahun 1977 tentang Perlindungan Korban Sengketa Bersenjata Internasional. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Konvensi Jenewa III Tahun 1949, maka pihak-pihak yang berhak dikategorikan sebagai tawanan perang adalah orang-orang yang termasuk salah satu golongan berikut, yang telah jatuh dalam kekuasaan musuh, diantaranya adalah :

  • 1.    Anggota angkatan perang dari suatu pihak yang bersengketa, begitu pula anggota-anggota milisi atau barisan sukarela yang merupakan bagian dari angkatan perang tersebut;

  • 2.    Para anggota milisi dan barisan sukarela lainnya, termasuk anggotagerakanperlawananyang diorganisir yang tergolong pada suatu pihak yang bersengketa

Magister Hukum Udayana Desember 2017

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 6, No. 4 : 464 - 477

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


dan beroperasi di dalam atau di luar wilayahnya sendiri, asalkan mereka termasuk gerakan perlawanan yang diorganisir dan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  • a.    Dipimpin oleh orang yang bertanggung jawab atas bawahannya;

  • b.    Mempunyai tanda pengenal tetap yang dapat dilihat dari jauh;

  • c.  Membawa senjata secara

terbuka;

  • d.  Melakukan operasinya

sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang.

  • 3.    Para anggota angkatan perang reguler yang tunduk pada suatu pemerintah atau kekuasaan yang tidak diakui oleh Negara penahan;

  • 4.    Orang-orang yang menyertai angkatan perang tanpa dengan sebenarnya menjadi anggota dari angkatan perang itu, seperti anggota sipil awak pesawat terbang militer, wartawan perang, pemasok perbekalan, anggota kesatuan kerja atau dinas-dinas yang bertanggung jawab atas kesejahteraan angkatan perang, asal saja mereka telah mendapatkan pengesahan dari angkatan perang yang disertainya;

  • 5.    Awak kapal pelayaran niaga termasuk nahkoda, pemandu laut, taruna dan awak pesawat

terbang sipil dari pihak-pihak yang bersengketa yang tidak mendapat perlakuan yang lebih baik menurut ketentuan-ketentuan apapun dalam hukum internasional;

  • 6.    Penduduk wilayah yang belum diduduki, yang tatkala musuh mendekat, mengangkat senjata untuk melawan pasukan-pasukan yang menyerbu, tanpa memiliki waktu yang cukup untuk membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata secara teratur, asal saja mereka membawa senjata secara terang-terangan dan menghormati hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang.9

Adapun yang dimaksud tawanan perang berdasarkan Pasal 44 Protokol Tambahan I Tahun 1977 adalah setiap kombatan yang jatuh ke dalam kekuasaan pihak lawan harus menjadi tawanan perang.

Seiring dengan uraian di atas, Frits Kalshoven menyatakan bahwa tidak semua orang yang ditawan oleh pihak musuh mempunyai hak untuk diperlakukan sebagai tawanan perang (prisoners of war). Bahwa yang berhak diperlakukan sebagai tawanan perang hanyalah pihak-pihak yang diatur dalam ketentuan Pasal 4 Konvensi Jenewa III Tahun 1949.10 Selanjutnya

Magister Hukum Udayana Desember 2017

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 6, No. 4 : 464 - 477

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


Arlina Permanasari menyatakan bahwa kombatan yang telah berstatus hors de combat (kombatan yang menyerah/tidak mampu bertempur) harus dilindungi dan dihormati dalam segala keadaan. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh mendapatkan status sebagai tawanan perang.11 Senada dengan pendapat sebelumnya, Haryomataram mengungkapkan bahwa kombatan berhak untuk secara aktif turut serta dalam permusuhan, dan apabila jatuh ke tangan musuh, ia berhak diperlakukan sebagai tawanan perang.12

Setiap tawanan perang memiliki kewajiban unuk tunduk pada undang-undang, aturan-aturan dan perintah-perintah yang berlaku dalam angkatan perang dari Negara Penahan. Negara Penahan dapat melakukan tindakan hukum pidana atau hukum disiplin dari setiap pelanggaran yang dilakukan oleh tawanan perang atas undang-undang yang dimiliki oleh Negara Penahan, selama proses penegakan hukum tersebut tidak bertentangan dengan Konvensi Jenewa III Tahun 1949.

Berkaitan dengan diberlakukannya hukum disiplin militer dalam UUHDM-2014 kepada tawanan perang, maka hal ini tidak dapat serta merta diterapkan sebagaimana halnya penerapan hukum disiplin militer bagi seorang militer TNI. Keadaan ini

timbul, oleh karena UUHDM-2014 tidak memberikan pengaturan secara jelas dan tegas tentang kewenangan Ankum untuk menjatuhkan hukuman disiplin militer terhadap tawanan perang. Kewenangan Ankum yang diuraikan dalam UUHDM-2014 adalah kewenangan Ankum untuk menjatuhkan hukuman disiplin militer secara terbatas kepada anggota Militer yang berada di bawah wewenang komandonya, dan tidak secara tegas mengatur kewenangan Ankum untuk menjatuhkan hukuman disiplin militer terhadap seorang tawanan perang. Kekaburan norma dapat menimbulkan suatu ketidakpastian hukum dalam implementasinya,         mengingat

UUHDM-2014 tidak memberikan pengaturan yang bersifat tegas dan limitatif tentang suatu kedudukan dan kewenangan Ankum terhadap tawanan perang.

Terkait dengan bentuk kekaburan dan konflik antar norma hukum, Ahmad Rifai menyatakan bahwa dalam mengidentifikasi peraturan-peraturan hukum nasional yang berlaku saat ini, tidak jarang ditemukan adanya suatu keadaan aturan hukum; yaitu kekosongan norma hukum (leemten in het recht), konflik antar norma hukum (antinomi) dan kekaburan norma (vage normen) atau norma yang tidak jelas.13

Bahwa adapun analisis terhadap adanya kekaburan norma hukum dalam

Magister Hukum Udayana Desember 2017

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 6, No. 4 : 464 - 477

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


UUHDM-2014 khususnya mengenai kewenangan Ankum terhadap tawanan perang, maka diperlukan adanya suatu penafsiran/interpretasi hukum, khususnya interpretasi sistematis. Interpretasi sistematis dilakukan untuk memahami bahwa tidak ada satupun dari peraturan perundang-undangan yang dapat ditafsirkan seakan-akan berdiri sendiri, tapi harus dipahami melalui jenis peraturan lainnya, atau dengan kata lain bahwa hukum adalah satu kesatuan yang utuh dan tidak merupakan bagian yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari satu sistem.14

Berkaitan dengan interpretasi sistematis, maka pada Pasal 96 Konvensi Jenewa III Tahun 1949 antara lain menyatakan “Dengan tidak mengurangi wewenang pengadilan-pengadilan dan penguasa-penguasa militer yang lebih tinggi, hukuman-hukuman disiplin hanya boleh diberikan oleh seorang perwira yang mempunyai kekuasaan-kekuasaan disiplin dalam kedudukannya sebagai komandan kamp tawanan, atau oleh seorang perwira bertanggung jawab yang menggantikannya, atau kepada siapa ia telah menyerahkan kekuasaan-kekuasaan disiplinnya”. Mendasari ketentuan tersebut, maka dapat diketahui bahwa seorang komandan kamp tawanan lah yang memiliki kewenangan untuk menjatuhkan hukuman disiplin kepada tawanan perang.

Bahwa meskipun pengaturan kewenangan Ankum terhadap tawanan perang meskipun dapat ditafsirkan secara sama dengan kewenangan Ankum terhadap Militer yang berada dibawah wewenang komandonya, namun penafsiran tersebut masih merupakan hal yang kabur/tidak jelas. Bahwa Ankum yang berwenang penuh sekalipunhanyamempunyaiwewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin militer kepada Militer yang berada di bawah wewenang komandonya, dan bukan kepada militer lain yang berada di luar wewenang komandonya atau bahkan kepada tawanan perang yang sama sekali bukan merupakan militer yang berada di bawah wewenang komandonya. Dalam UUHDM-2014 tidak terdapat satu ketentuan pun yang mengatur kewenangan Ankum terhadap tawanan perang, namun ternyata UUHDM-2014 telah serta merta juga diberlakukan kepada tawanan perang.

Bahwa apabila mencermati ketentuan pelaksanaan hukuman disiplin dalam Pasal 43 UUHDM-2014 khususnya mengenai penahanan disiplin berat dimana Terhukum tidak diperbolehkan untuk menerima tamu, dan tidak dapat dipekerjakan dalam jam dinas, serta menjalani penahanan pada tempat tertentu yang tertutup, maka ketentuan tersebut bersifat kontradiktif dengan ketentuan Pasal 98 Konvensi Jenewa III Tahun 1949 yang diantaranya menyatakan bahwa tawanan perang yang dijatuhi

Magister Hukum Udayana Desember 2017

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 6, No. 4 : 464 - 477

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


hukuman disiplin harus diperkenankan mengadakan latihan jasmani serta berada di udara terbuka sekurang-kurangnya dua jam sehari.

Selain pada uraian di atas, ketentuan Pasal 10 UUHDM-2014 juga menyatakan bahwa penjatuhan Hukuman Disiplin Militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diikuti dengan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sanksi administratif adalah sanksi/hukuman yang dijatuhkan sebagai tindak lanjut dari penjatuhan hukuman disiplin atau pidana yang berakibat pada penundaan dalam bidang pembinaan karir seorang militer yang meliputi pendidikan, penempatan jabatan atau kenaikan pangkat. Sanksi administrasi tersebut dapat berlaku efektif bagi seorang militer yang telah dijatuhi hukuman disiplin atau pidana, namun sanksi administrasi tersebut tidak relevan jika hendak diterapkan kepada tawanan perang, hal ini disebabkan oleh karena hal ihwal yang mengatur tentang suatu pendidikan, penempatan jabatan atau kenaikan pangkat bagi seorang tawanan perang bukan berada dalam kewenangan Ankum atau bahkan bukan berada pada kewenangan Negara Penahan.

Berdasarkan uraian analisa di atas, dapat dipahami bahwa UUHDM-2014 belum memberikan pengaturan yang berlaku secara jelas dan lengkap bagi seorang tawanan perang. Oleh karena itu, maka masih diperlukan pengaturan yang bersifat lebih jelas,

tegas dan terperinci sebagai gambaran yang utuh dari sebuah ciri-ciri sebuah produk hukum modern. Ciri-ciri hukum yang modern adalah adanya norma hukum yang tertulis, rasional, terencana, universal dan responsif dalam mengadaptasi perkembangan masyarakat dan dapat menjamin kepastian hukum.15

Bahwa selain dimaksudkan sebagai upaya untuk menjamin kepastian hukum dari hal-hal yang bersifat kontradiktif dan kekaburan pada norma hukum, maka pengaturan secara lengkap terhadap tawanan perang dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan nilai-nilai ketertiban dan kepastian hukum, terlebih jika suatu saat negara kita harus memberikan hukuman disiplin kepada seorang tawanan perang.

IV. KESIMPULAN

Bahwa UUHDM-2014 tidak memberikan pengaturan yang jelas, lengkap dan tegas tentang kewenangan Ankum untuk menjatuhkan hukuman disiplin militer kepada seorang tawanan perang. Dalam UUHDM-2014, kewenangan Ankum untuk menjatuhkan hukuman disiplin militer dilakukan secara terbatas hanya kepada anggota militer yang berada di bawah wewenang komandonya, dan tidak mengatur secara jelas tentang kewenangan Ankum untuk

Magister Hukum Udayana Desember 2017

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 6, No. 4 : 464 - 477

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


menjatuhkan hukuman disiplin militer terhadap tawanan perang. UUHDM-2014 juga masih bersifat kontradiktif dengan ketentuan Pasal 98 Konvensi Jenewa III Tahun 1949. Berdasarkan UUHDM-2014, untuk penahanan disiplin berat, maka Terhukum tidak diperbolehkan untuk menerima tamu, dan tidak dapat dipekerjakan dalam jam dinas, serta menjalani penahanan pada tempat tertentu yang tertutup, sedangkan menurut ketentuan Pasal 98 Konvensi Jenewa III Tahun 1949 dinyatakan bahwa tawanan perang yang dijatuhi hukuman disiplin harus diperkenankan mengadakan latihan jasmani serta berada di udara terbuka sekurang-kurangnya dua jam sehari. Bahwa ketentuan Pasal 10 UUHDM-2014 tentang penjatuhan sanksi administratif tidak dapat diberlakukan kepada tawanan perang, oleh karena kewenangan untuk mengatur sesuatu hal mengenai pendidikan, penempatan jabatan atau kenaikan pangkat bagi seorang tawanan perang bukan berada dalam kewenangan Ankum atau bahkan bukan berada pada kewenangan Negara Penahan.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Astawa, I. G. P., & Na’a, S. (2008). Dinamika hukum dan ilmu perundang-undangan Di Indonesia. Alumni. Bandung.

Black, Henry Campbell. (1978). Black’s Law Dictionary. West Publishing Co. USA.

Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan Departemen Kehakiman, Terjemahan Konvensi Jenewa Tahun 1949, Jakarta.

Frits, K., & LIesbeth, Z. (1987). Constraint of Waging of War, Second Edition, ICRC.

Haryomataram, K. G. P. H. (2005). Pengantar Hukum Humaniter, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Permanasari, A., Wibowo, A., Agus, F., & Romsan, A. (1999). Pengantar hukum humaniter. International Committe of The Red Cross. Jakarta.

Putra, I. B. W. (2015). Filsafat Ilmu: Filsafat Ilmu Hukum. Udayana University Press, Denpasar.

Rifai, A. (2010). Penemuan hukum oleh hakim: dalam perspektif hukum progresif. Sinar Grafika. Jakarta.

Salam, M. F. (2006). Hukum Pidana Militer di Indonesia. Mandar Maju, Bandung.

Soekanto, S., & Mamudji, S. (2001). Penelitian hukum normatif: Suatu tinjauan singkat. RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Suwasta, A. D. (2012). Tafsir Hukum Positif Indonesia. Alia Publishing. Bandung.

Tambunan, A.S.S. (2013), Hukum Disiplin Militer Suatu Kerangka Teori. Pusat Studi Hukum Militer STHM. Jakarta.

Magister Hukum Udayana Desember 2017

Vol. 6, No. 4 : 464 - 477

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

ARTIKEL JURNAL

Korban Sengketa Bersenjata Internasional.


Anshari, N. (2015). PERUBAHAN HUKUM DISIPLIN MILITER: DISIPLIN        VERSUS

KEADILAN. [105] JURNAL HUKUM MILITER, 2(1).

Markoni, M. (2015). Tanggapan Terhadap RUU Hukum Disiplin Militer Ditinjau Dari Aspek Pembinaan Personel dan Pembinaan Satuan. [105] JURNAL HUKUM MILITER, 2(1).

PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 1958 tentang Ikut Serta Negara Republik Indonesia Dalam Seluruh Konvensi Jenewa Tanggal 12 Agustus1949.(LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 109 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1644)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 257 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5591).

Konvensi Jenewa III Tahun 1949 tentang Perlakuan Terhadap Tawanan Perang.

Protokol Tambahan I Tahun 1977 tentang Perlindungan

477