REFORMULASI KEWENANGAN PENUNTUT UMUM TERHADAP PENERAPAN SAKSI MAHKOTA DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI
on
E-ISSN 2502-3101
Jurna P-ISSN 2302-528X
Magister Hukum Udayana • September 2017 Vol. 6, No. 3 : 369 - 382
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL) http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu
REFORMULASI KEWENANGAN PENUNTUT UMUM TERHADAP PENERAPAN SAKSI MAHKOTA
DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh:
I Putu Gede Sumariartha Suara1
Abstract
Regarding the regulation and application of the crown witness by the public prosecutor in handling corruption case as stated in the Criminal Law of Formil applicable in Indonesia in this case KUHAP (Indonesian Criminal Procedural Law Code) especially Article 142 Indonesian Criminal Procedural Law Code still cause the existence of obscurity of norm so that in practice of judiciary there is no definite measure about application criteria a crown witness by a public prosecutor in the proof of a criminal case, especially a criminal act of corruption. As for the matters discussed in this regard that is about 1) Arrangement of the Public Prosecutor’s Authority on the application of the crown witness in the proving of corruption crime according to the perspective of Indonesian Positive Law (Ius Constitutum) covers the setting up of the crown witnesses in positive law in Indonesia as well as comparative regulation of crown witnesses in the United States and the Netherlands and 2) Formulation of Authority for the Public Prosecutor on the application of the crown witness in the proving of corruption in accordance with the perspective of the coming Law (ius Constituendum) includes the appropriate term used to mention the crown witness, the limits of the application of the crown witness, the plea bargain adaptation system in the Positive Law in Indonesia, the requirements of being a crown witness, the proper punishment of the crown witness and the formulation of Article 142 of the Indonesian Criminal Procedural Law Code so as to grant the limitative authority to the Public Prosecutor against the application of the crown witness
Keyword : Reformulation, Public Prosecutor, Crown Witness,
Corruption Crime
Abstrak
Mengenai pengaturan dan penerapan saksi mahkota oleh penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi sebagaimana tercantum dalam Hukum Pidana Formil yang berlaku di Indonesia dalam hal ini yaitu KUHAP khususnya Pasal 142 KUHAP masih menimbulkan adanya kekaburan norma sehingga dalam praktek peradilan belum terdapat ukuran yang pasti mengenai kriteria penerapan saksi mahkota oleh penuntut umum dalam pembuktian suatu perkara pidana khususnya tindak pidana korupsi. Adapun yang dibahas dalam hal ini yaitu mengenai 1) Pengaturan Kewenangan Penuntut Umum terhadap penerapan saksi mahkota dalam pembuktian tindak pidana korupsi menurut perspektif Hukum Positif Indonesia (Ius Constitutum) meliputi pengaturan saksi mahkota dalam hukum positif di Indonesia serta perbandingan pengaturan
saksi mahkota di Negara Amerika Serikat dan Belanda dan 2) Formulasi Kewenangan Bagi Penuntut Umum terhadap penerapan saksi mahkota dalam pembuktian tindak pidana korupsi menurut perspektif Hukum yang akan datang (Ius Constituendum) meliputi istilah yang tepat dipakai untuk menyebutkan saksi mahkota, batas-batas penerapan saksi mahkota, adaptasi plea bargain system dalam Hukum Positif di Indonesia, syarat-syarat menjadi saksi mahkota, pemidanaan yang tepat diterapkan terhadap saksi mahkota serta formulasi Pasal 142 KUHAP sehingga memberikan kewenangan secara limitatif kepada Penuntut Umum terhadap penerapan saksi mahkota.
Kata kunci : Reformulasi, Penuntut Umum, Saksi Mahkota, Tindak
Pidana Korupsi
Kejaksaan Republik Indonesia sebagai salah satu bagian atau komponen dari sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia. Sebagai salah satu aparat penegak hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d dan Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia selanjutnya disebut UU RI No.16 Tahun 2004 serta berdasarkan Pasal 21 Ayat (1) dan Ayat (2) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia selanjutnya disebut Perpres No.38 Tahun 2010.
Mengenai pembuktian perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan Republik Indonesia seringkali melibatkan lebih dari 1 (satu) orang pelaku tindak pidana korupsi maka dalam hal penuntutan
terhadap pelaku atau terdakwa tindak pidana korupsi dilakukan secara terpisah atau secara splitsing artinya berkas masing-masing pelaku tindak pidana korupsi dibuat secara terpisah serta dalam pengenaan pasal terhadap pelaku tindak pidana korupsi selain dikenakan pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 selanjutnya disebut UUPTPK juga ditambahkan atau di-jouncto-kan dengan pasal-pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana selanjutnya disebut KUHP dimana hal tersebut berdasarkan Pasal 103 KUHP. Biasanya perkara tindak pidana korupsi sering melibatkan lebih dari 1 (satu) orang pelaku tindak pidana korupsi sehingga secara otomatis menyebabkan penuntutan terhadap masing-masing pelaku tindak pidana korupsi dilakukan secara terpisah. Adanya penuntutan yang dilakukan secara terpisah kepada masing-masing pelaku tindak pidana korupsi akan
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu
memunculkan adanya saksi mahkota. Dalam praktek, antara seorang terdakwa dengan terdakwa lain yang bersama-sama melakukan tindak pidana, bisa dijadikan saksi antara yang satu dengan yang lain dan saksi yang diajukan seperti tersebut di atas, disebut saksi mahkota (kroongetuige), pada saat yang lain ia dijadikan terdakwa.2
Mengenai peran dan kedudukan saksi mahkota masih menjadi perdebatan diantara para pakar atau ahli hukum pidana sehingga menyebabkan terjadinya problematika yuridis terkait dengan peran dan kedudukan saksi mahkota dalam pembuktian perkara tindak pidana khususnya perkara tindak pidana korupsi serta secara limitatif peran dan kedudukan saksi mahkota belum diatur secara tegas dalam aturan hukum formil yang berlaku di Indonesia dalam hal ini yaitu Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana selanjutnya disebut KUHAP sehingga menyebabkan terjadinya ketidakjelasan mengenai pengaturan dan penerapan saksi mahkota karena dalam Pasal 142 KUHAP yang menyebutkan bahwa “dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, Penuntut
Umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah” kemudian dalam Penjelasan Pasal 142 KUHAP hanya menyatakan cukup jelas dan tidak menjelaskan arti dan maksud dari ketentuan Pasal 142 KUHAP tersebut dan kata dapat pada Pasal 142 KUHAP tersebut menyebabkan terjadinya problematika yuridis mengenai perlu tidaknya penerapan saksi mahkota dalam hal penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 142 KUHAP sehingga menyebabkan adanya kekaburan norma khususnya menyebabkan ketidakjelasan penerapan saksi mahkota dalam praktek peradilan.
Problematika yuridis terkait dengan peran dan kedudukan saksi mahkota juga terlihat dalam yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung terkait dengan penerapan saksi mahkota yaitu terutama dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 66 K/Kr/1967 tanggal 25 Oktober 1967 yang membenarkan penerapan saksi mahkota dalam praktik peradilan pidana tetapi hal tersebut berbeda dengan Putusan Mahkamah AgungNomor1174K/Pid/1994tanggal 29 April 1995 dengan terdakwa Ny. Mutiara, SH. dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1952 K/Pid/1994 tanggal 29 April 1995 dengan terdakwa Bambang Wuryangtoyo, Widayat dan Ahmad Sutiyono Prayogi yang
Magister Hukum Udayana • September 2017
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 6, No. 3 : 369 - 382
melarang penerapan saksi mahkota.3 Dalam perkembangannya, dengan adanya Pasal 1 Angka 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban selanjutnya disebut UU RI No.31 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa “Saksi Pelaku adalah tersangka, terdakwa atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama”. Sebelum berlakunya UU RI No. 31 Tahun 2014, Mahkamah Agung Republik Indonesia sudah menerbitkan Surat Edaran Nomor : 04 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerja sama (Justice Collaborators) di dalam perkara tindak pidana tertentu selanjutnya disebut SEMA No.04 Tahun 2011 terutama pada poin 9 huruf a yang menyebutkan bahwa “pedoman untuk menentukan seseorang sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) adalah sebagai berikut : yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan”. Bahwa yang menjadi ukuran tindak pidana tertentu sebagaimana yang tercantum
dalam SEMA No. 04 Tahun 2011 yaitu mengacu kepada poin angka 1 SEMA No. 04 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa tindak pidana tertentu yang bersifat serius seperti tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir, telah menimbulkan masalah dan ancaman yang serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat sehingga meruntuhkan lembaga serta nilai-nilai demokrasi, etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum. Berdasarkan Pasal 1 Angka 2 UU RI No. 31 Tahun 2014 dan SEMA No. 04 Tahun 2011 tersebut secara limitatif mengakui adanya penerapan saksi pelaku atau saksi mahkota terutama dalam penanganan tindak pidana korupsi tetapi tetap saja dalam praktik peradilan masih terjadi kekaburan norma karena belum diaturnya secara tegas saksi mahkota dalam Hukum Pidana Formal atau dalam KUHAP.
Rumusan masalah yang akan dibahas pada penelitian ini yaitu berkaitan dengan Bagaimanakah Pengaturan Kewenangan Penuntut Umum terhadap penerapan saksi mahkota dalam pembuktian tindak pidana korupsi menurut perspektif Hukum Positif Indonesia (Ius Constitutum) ? dan Bagaimanakah Formulasi Kewenangan Bagi Penuntut Umum terhadap penerapan saksi
Magister Hukum Udayana • September 2017
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 6, No. 3 : 369 - 382
mahkota dalam pembuktian tindak pidana korupsi menurut perspektif Hukum yang akan datang (Ius Constituendum) ?
Orisinalitas atau penelitian-penelitian terdahulu pada penelitian ini sebagai berikut pertama artikel dari Amrullah yang berjudul Paradigma Saksi Mahkota dalam Persidangan Pidana di Indonesia4, kedua artikel dari Sitti Nurhayati Syamsuningsih berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Mahkota dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi5, ketiga artikel dari Ni Wayan Sinaryati berjudul Fungsi Jaksa dalam
Menuntut Terdakwa Korupsi untuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia.6 Dari penelitian-penelitian tersebut yang menjadi istimewa dari penelitian ini adalah menganalisis Kewenangan Penuntut Umum Terhadap Penerapan Saksi Mahkota Dalam Pembuktian
Tindak Pidana Korupsi.
Adapun yang menjadi tujuan umum dari penulisan jurnal ini yaitu : untuk menginventarisir kewenangan Penuntut Umum yang terdapat dalam hukum positif di Indonesia serta mengkaji dan menganalisis secara kritis mengenai adanya kekaburan norma terutama pada Pasal 142 KUHAP terkait kewenangan Penuntut Umum Dalam Penerapan Saksi mahkota Dalam Pembuktian Perkara Korupsi. Tujuan khusus dari penulisan jurnal ini yaitu : 1) untuk menganalisis dan mengkaji secara kritis mengenai pengaturan kewenangan Penuntut Umum Terhadap Penerapan Saksi Mahkota Dalam Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Menurut perspektif Hukum Positif Indonesia (Ius Constitutum) yang dilakukan dengan melakukan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual serta pendekatan komparatif dengan Negara Amerika Serikat , Negara Afrika Selatan dan Negara Belanda; 2) Untuk menganalisis dan mengkaji formulasi Kewenangan Bagi Penuntut Umum terhadap Penerapan Saksi Mahkota Dalam Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Menurut Perspektif Hukum yang akan dating (Ius Constituendum).
Mengenai jenis penelitian yang dipakai yaitu penelitian hukum normatif karena membahas mengenai adanya kekaburan norma karena belum
Magister Hukum Udayana • September 2017
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 6, No. 3 : 369 - 382
adanya norma yang mengatur secara jelas mengenai istilah yang tepat yang dipakai untuk saksi pelaku yang bekerja sama karena berdasarkan praktek pengadilan di Indonesia masih sering menggunakan istilah saksi mahkota sedangkan berdasarkan UU RI No. 31 Tahun 2014 mempergunakan istilah saksi pelaku dan adanya kekaburan norma pada Pasal 142 KUHAP terutama pada kata dapat sehingga Penuntut Umum tidak memiliki kepastian hukum dalam penerapan saksi mahkota. Menurut Peter Mahmud Marzuki yang menyebutkan bahwa “pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach)”.7 Mengenai jenis pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan ini yaitu (1) pendekatan undang-undang (statute approach); (2) pendekatan komparatif (comparative approach) dan (3) pendekatan konseptual (conceptual approach). Mengenai bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan ini yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier dengan mempergunakan teknik bola salju kemudian selanjutnya dianalisis dengan mempergunakan
teknik deskripsi, teknik argumentasi dan teknik sistematisasi.
-
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Pengaturan Kewenangan Penuntut Umum terhadap penerapan saksi mahkota dalam pembuktian tindak pidana korupsi menurut perspektif Hukum Positif Indonesia (Ius Constitutum) Peristilahan mengenai saksi mahkota antara Negara yang satu dengan Negara yang lain sangat bervariasi. Penggunaan saksi mahkota di berbagai Negara juga terjadi dengan istilah : kroon’getuige di Belanda, staatszungen di Jerman, Pentiti kemudian menjadi collaboratore della giustizia di Italia, selanjutnya dengan berbagai istilah seperti informant witness, accomplice evidence,
corroborative evidence, justice collaboratour di Amerika Serikat.8 Mengenai pengaturan saksi mahkota terdapat dalam beberapa Peraturan Perundang-undangan yaitu : 1) Pasal 10A Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4) dan Ayat (5) UU RI No. 31 Tahun 2014; 2) poin 9 SEMA No.4 Tahun 2011. Mengenai pengaturan tugas dan kewenangan seorang Jaksa khususnya Penuntut Umum terdapat pada Pasal 30 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UURI No. 16 Tahun 2004.
Berdasarkan Pasal 10A UURI No.31 Tahun 2014, poin 9 SEMA No.4
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu
Tahun 2011 serta Pasal 30 UURI No.16 Tahun 2004 sebagaimana disebutkan diatas maka peran penuntut umum yang berkaitan dengan penerapan saksi mahkota dalam pembuktian suatu perkara tindak pidana korupsi yaitu Jaksa dalam kapasitasnya sebagai penyidik melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang termasuk di dalamnya melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Dalam penanganan tindak pidana korupsi maka Jaksa selain bertindak sebagai penuntut umum maka Jaksa juga dapat bertindak sebagai penyidik. Dalam praktek seorang penuntut umum sering mempergunakan saksi mahkota terutama terhadap perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh lebih dari 1 (satu) orang pelaku.
Mengenai penerapan saksi mahkota dalam pembuktian perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penuntut umum dikaitkan dengan Konsep Negara Hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Frederich Julius Stahl. Bahwa Frederich Julius Stahl mempergunakan istilah Rechtsstaat dan Frederich Julius Stahl mengemukakan setidaknya empat unsur dari Rechtsstaat yaitu : (1) jaminan terhadap hak-hak asasi manusia; (2) adanya pembagian kekuasaan (scelding van macht); (3) Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan (wet matigheid van heit bestuur); dan (4) adanya peradilan administrasi Negara yang
berdirisendiri(independen).9Mengenai salah satu konsep Rechtsstaat yang dikemukakan oleh Frederich Julius Stahl yang terkait dengan penulisan ini yaitu mengenai adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia termasuk mengenai penerapan saksi mahkota yang dilakukan oleh Penuntut Umum dalam pembuktian perkara tindak pidana korupsi. Selama ini pengertian mengenai saksi mahkota dalam praktek Peradilan di Indonesia telah salah kaprah karena setiap pelaku yang tergabung dalam penyertaan dalam suatu tindak pidana dapat dijadikan sebagai saksi mahkota padahal yang hanya dapat dijadikan sebagai saksi mahkota yaitu pelaku yang perannya kecil dalam suatu tindak pidana dan pelaku tersebut bersedia membongkar peran teman-temannya yang lain dan umumnya peran pelaku lain yang diungkap oleh seorang saksi mahkota yaitu bertindak sebagai pelaku utama. Perlindungan terhadap hak asasi manusia terhadap saksi mahkota diwujudkan melalui hak mendapat kemudahandanperlakuankhususuntuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan sebagaimana tercantum dalam Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945 dan hak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun
Magister Hukum Udayana • September 2017
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 6, No. 3 : 369 - 382
administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar sebagaimana tercantum dalam Pasal 17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia selanjutnya disebut UURI No.39 Tahun 1999.
Mengenai Teori Hukum Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana ada 4 (empat) yaitu Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Secara Positif (Positief Wettelijke Bewijstheorie), Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu, Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim atas Alasan yang Logis (Laconviction Raissonnee) dan Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke).10 Dari ke-4 (empat) teori hukum pembuktian tersebut maka teori hukum pembuktian yang diterapkan di Indonesia yaitu Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke). Mengenai Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke) tercermin dalam Pasal 183 KUHAP yang menyebutkan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Mengenai Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke) dikaitkan dengan peran penuntut umum terhadap penerapan saksi mahkota dalam pembuktian perkara tindak pidana korupsi yaitu keberadaan saksi mahkota dapat membantu penuntut umum untuk menjelaskan tentang rangkaian kejadian dari suatu peristiwa atau perbuatan pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka atau terdakwa termasuk saksi mahkota sendiri. Dalam pembuktian perkara tindak pidana korupsi tidak bisa hanya mengandalkan keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan tersangka atau keterangan terdakwa tetapi juga dapat mengandalkan keterangan saksi mahkota karena tindak pidana korupsi dilakukan secara terorganisir dan melibatkan orang-orang yang mempunyai posisi penting.
Kedudukan saksi mahkota tidak dapat dipisahkan dari adanya ajaran penyertaan (delneming). Menurut S.R. Sianturi yang menyebutkan bahwa “apakah yang dimaksudkan dengan istilah penyertaan? Jelas bahwa makna dari istilah ini ialah ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan lain
Magister Hukum Udayana • September 2017
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 6, No. 3 : 369 - 382
perkataan ada dua orang atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana.11 Dalam tataran norma hukum positif yang berlaku di Indonesia khususnya KUHAP tidak ada satu pun pasal yang menyebutkan mengenai pengertian saksi mahkota tetapi penerapan saksi mahkota yang dilakukan oleh penuntut umum muncul pada saat praktik peradilan yaitu ketika suatu perkara pidana yang dilakukan oleh lebih dari 1 (satu) orang dan masing-masing orang mempunyai peranmasing-masingdalammelakukan kerjasama untuk mewujudkan adanya suatu tindak pidana khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi yang termasuk kejahatan terorganisir. Dalam pembuktian perkara tindak pidana korupsi di Indonesia seringkali menerapkan adanya saksi mahkota
karena orang yang menyuruh melakukan suatu tindak pidana korupsi adalah orang yang mempunyai kedudukan dalam suatu instansi pemerintahan artinya orang tersebut mempunyai jabatan dan kewenangan yang melekat pada jabatan tersebut.
KUHAP secara limitatif tidak secara tegas memberikan kewenangan kepada Penuntut Umum dalam hal penerapan saksi mahkota. Untuk menjamin adanya kepastian hukum maka untuk masa yang akan datang perlu dilakukan formulasi terhadap ketentuan Pasal 142 KUHAP tersebut.
Mengenai pengaturan kewenangan Penuntut Umum terhadap penerapan saksi mahkota atau dikenal dengan sebutan Justice Collaborator di Negara lain yaitu dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut :12
Tabel Perbandingan Pengaturan Kewenangan Penuntut Umum Terhadap Penerapan Saksi Mahkota di Negara Amerika Serikat, Afrika Selatan dan Belanda
11 S.R. Sianturi, 1989, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, hlm.336.
No. |
Perbandingan |
Amerika Serikat |
Afrika Selatan |
Belanda |
1. |
Sistem Hukum |
English Common Law |
Roman Dutch Law and English Common Law |
Civil Law Syste, French Penal Theory |
2. |
Aturan Hukum |
Undang-Undang Reformasi Keamanan Saksi Tahun 1984 (Witnes Protection Act 1984) |
Ketentuan Pasal 185A Undang-Undang Hukum PidanaTahun1977,Undang-undang Perlindungan Saksi Nomor 112 Tahun 1998 |
KUHAP Belanda Judul III, Bagian 4B-4D (Pasal 226 G-226 L PKC) |
3. |
Kewenangan Penuntut Umum terhadap penerapan saksi mahkota |
melakukan permohonan perlindungan saksi, dan mempersiapkan berkas administrasi dan bahkan untuk mempermudah pengurusan permohonan yang diajukan oleh Penuntut umum Pemerintah untuk mengikutsertakan seorang saksi dalam Program Keamanan Saksi |
membuat permohonan perlindungan ke jawatan dan mempersiapkan dokumen pendukung (administrasi) |
membuat perjanjian dengan saksi terkait adanya kasus-kasus kejahatan serius serta termasuk atau dapat dianggap sebagai kejahatan terorganisir serius |
12 Lilik Mulyadi, 2015, Perlindungan Hukum Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime, P.T. Alumni, Bandung, hlm.141.
Magister Hukum Udayana • September 2017
Vol. 6, No. 3 : 369 - 382
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
3.2. Formulasi Kewenangan Bagi Penuntut Umum terhadap penerapan saksi mahkota dalam pembuktian tindak pidana korupsi menurut perspektif Hukum yang akan datang (Ius Constituendum) Adapun beberapa hal yang terkait dengan Formulasi Kewenangan Bagi Penuntut Umum terhadap penerapan saksi mahkota dalam pembuktian tindak pidana korupsi menurut perspektif Hukum yang akan datang (Ius Constituendum) yaitu sebagai berikut : Pertama, mengenai pengertian saksi pelaku yang bekerja sama di Indonesia masih menunjukkan adanya ketidakseragaman yaitu dalam UURI No.31 Tahun 2014 mempergunakan istilah saksi pelaku, dalam SEMA No.04 Tahun 2011 mempergunakan istilah Saksi Pelaku Yang Bekerja sama (Justice Collaborators) sedangkan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2437/K/Pid.Sus/2011 SM dan dalam Surat Edaran Kejaksaan Agung RI (SEJA) Nomor B-69/E/02/1997 perihal pembuktian dalam perkara pidana mempergunakan istilah saksi mahkota. Mengenai istilah yang tidak seragam terkait saksi yang berasal dari tersangka atau terdakwa maka kedepannyadalam Rancangan KUHAP wajib mencantumkan mengenai istilah yang tepat dipergunakan untuk istilah saksi yang berasal dari tersangka atau terdakwa tersebut dan istilah yang tercantum dalam KUHAP pada masa mendatang tersebut harus disesuaikan
denganPeraturanPerundang-undangan yang lain agar mewujudkan adanya harmonisasi hukum.
Kedua, mengenai penerapan saksi mahkota tersebut hanya diperkenankan untuk tingkat kejahatan terorganisir artinya kejahatan dengan modus operandi yang canggih, pelakunya melibatkan lebih dari 1 (satu) orang serta pembuktian yang rumit atau sulit. Dalam hukum positif di Indonesia pada masa mendatang (Ius Constituendum) khususnya dalam Rancangan KUHAP harus disebutkan secara limitatif mengenai penerapan saksi mahkota baru bisa diberlakukan untuk kejahatan terorganisir, adanya penjelasan atau definisi yang jelas mengenai kejahatan yang terorganisir, jenis-jenis kejahatan yang termasuk kejahatan yang terorganisir serta pengaturan yang jelas mengenai larangan penerapan saksi mahkota dalam penanganan perkara yang tidak termasuk kejahatan yang terorganisir.
Ketiga, mengenai Kesepakatan Bersama (plea aggrement) sebagai bagian dari Tawar Menawar (plea bargain) perlu diadopsi dalam hukum positif di Indonesia terutama dalam kejahatan yang terorganisir artinya terdakwa harus mengakui terlebih dahulu atas kesalahan yang telah diperbuatnya kemudian terdakwa membuat kesepakatan kerjasama dengan penuntut umum untuk mengungkapkan informasi dan bersedia memberikan kesaksian di Pengadilan. Dalam hal ini, penuntut
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu
umum dalam surat dakwaannya wajib mencantumkan kedudukan saksi mahkota atau justice collaborator serta penuntut umum memberitahukan hal tersebut kepada Ketua Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut serta penuntut umum dilarang menjanjikan pengurangan hukuman atau keringanan hukum kepada seorang saksi mahkota atau justice collaborator.
Keempat, syarat-syarat untuk dapat disebut sebagai saksi mahkota atau justice collaborator perlu dipertegas dalam Rancangan KUHAP untuk masa yang akan datang artinya jangan sampai terjadi dalam praktek hukum acara pidana dewasa ini yang mempergunakan setiap tersangka atau terdakwa yang menjadi saksi dalam berkas perkara tersangka atau terdakwa lain tetapi masih dalam 1 (satu) perkara atau kasus karena pada hakekatnya yang dapat dijadikan sebagai saksi mahkota atau justice collaborator adalah seorang tersangka atau terdakwa yang memiliki peran yang kecil dalam suatu perkara atau kasus dan tersangka atau terdakwa bersedia bekerjasama dengan penuntut umum untuk membongkar peran teman-temannya yang memiliki peran kunci dalam suatu perkara atau kasus bahkan bertindak sebagai aktor intelektual.
Kelima, mengenai pemidanaan yang tepat yang akan dikenakan kepada seorang saksi mahkota atau justice collaborator tentunya akan
berbeda dengan pemidanaan yang akan dikenakan kepada tersangka atau terdakwa dalam suatu perkara tindak pidana korupsi yang bertindak selaku aktor intelektual atau pelaku utama artinya menurut penulis pemidanaan yang tepat untuk dikenakan kepada saksi mahkota atau justice collaborator adalah berupa pengurangan tuntutan dan hukuman. Implementasi dari penghargaan ini lebih bersifat politik hukum yang berada di tangan eksekutif dan tidak mengikat sepenuhnya kepada yudikatif karena dalam implementasinya harus dimulai dengan adanya pengajuan tuntutan yang lebih ringan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama.13
Keenam, perlu adanya formulasi terhadap ketentuan Pasal 142 KUHAP sehingga memberikan kewenangan secara limitatif kepada Penuntut Umum terhadap penerapan saksi mahkota dalam pembuktian perkara tindak pidana terorganisir khususnya tindak pidana korupsi.
Adapun simpulan yang dapat disampaikan terkait dengan penulisan ini yaitu :
Magister Hukum Udayana • September 2017
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 6, No. 3 : 369 - 382
-
1. Mengenai Pengaturan
Kewenangan Penuntut Umum terhadappenerapansaksimahkota dalam pembuktian tindak pidana korupsi menurut perspektif Hukum Positif Indonesia (Ius Constitutum) belum diatur secara jelas dan limitatif dalam KUHAP dan pengaturan mengenai saksi mahkota atau justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerjasama masih tersebar dalam beberapa Peraturan Perundang-undangan.
-
2. Mengenai Formulasi
Kewenangan Bagi Penuntut Umum terhadap penerapan saksi mahkota dalam pembuktian tindak pidana korupsi menurut perspektif Hukum yang akan datang (Ius Constituendum) yaitu meliputi istilah yang tepat dipakai untuk menyebutkan saksi mahkota, batas-batas penerapan saksi mahkota, adaptasi plea bargain system dalam Hukum Positif di
Indonesia, syarat-syarat menjadi saksi mahkota, pemidanaan
yang tepat diterapkan terhadap saksi mahkota serta formulasi Pasal 142 KUHAP sehingga memberikan kewenangan secara limitatif kepada Penuntut Umum terhadap penerapan saksi mahkota.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Hamzah, Andi, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta
Marzuki, Peter Mahmud, 2007, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta
Mulyadi, Lilik, 2015, Perlindungan Hukum Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime, P.T. Alumni, Bandung
Sasangka, Hari dan Rosita, Lily, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana Untuk Mahasiswa dan Praktisi,
Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung
Sianturi, S.R., 1989, Asas-Asas
Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHAEM-PETEHAEM, Jakarta
Sulistiyono, Adi, 2007, Negara Hukum : Kekuasaan, Konsep dan Paradigma Moral, Cet. I, Sebelas Maret University Press, Surakarta.
ARTIKEL JURNAL
Amrullah, 2014, “Paradigma Saksi Mahkota Dalam Persidangan Pidana Di Indonesia”, Jurnal Ilmiah Peuradeun, Vol. 2 No. 2 edisi Mei 2014, (Cited 2017 Okt.16), available from : URL: http://journal.scadindepent.org/ index.php/jipeuradeun/article/ view/26.
Magister Hukum Udayana • September 2017
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 6, No. 3 : 369 - 382
Sinaryati, Ni Wayan, “Fungsi Jaksa Dalam Menuntut Terdakwa Korupsi Untuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 4 No. 1 edisi Mei 2015, (cited 2017 Okt.16), available from : URL : http://ojs.unud. ac.id/index.php/jmhu/article/ view/13049.
Syamsuningsih, Sitti Nurhayati, 2016, “Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Mahkota Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi”, Katalogis, Vol. 4 No. 7 tahun 2016, (cited 2017 Okt.16), available from : UR: http://jurnal. untad.ac.id/jurnal/index.php/ Katalogis/article/view/6634.
INTERNET
Semendawai, Abdul Haris, 2013, Eksistensi Justice Collaborator dalam Perkara Korupsi Catatan tentang Urgensi dan Implikasi Yuridis atas Penetapannya Pada Proses Peradilan Pidana, available at www.lpsk.go.id, Disampaikan Dalam Kegiatan Stadium General Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 17 April 2013, diakses pada hari Kamis, 01 Desember 2016.
PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN
Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kepenuntut umum an Republik Indonesia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401
Magister Hukum Udayana • September 2017
Vol. 6, No. 3 : 369 - 382
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5074
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 293, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepenuntut umum an Republik Indonesia
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
382
Discussion and feedback