PELAKSANAAN PERJANJIAN TANAH HAK MILIK BERSAMA SEBAGAI AGUNAN DALAM KREDIT DI BANK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH
on
E-ISSN 2502-3101
Jurna P-ISSN 2302-528X
Magister Hukum Udayana • Juli 2017 Vol. 6, No. 2 : 261 - 271
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL) http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu
PELAKSANAAN PERJANJIAN TANAH HAK MILIK
BERSAMA SEBAGAI AGUNAN DALAM KREDIT DI BANK
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN
1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH
Oleh:
I Made Sudirga1
Abstract
The purpose of this study was conducted to determine the legal effects that arise in pledging the land of common property rights as collateral in the Bank in terms of Law Number 4 of 1996 on Encumbrance Right Over Land And Land Related Objects. This research method using normative research method by reviewing the Law Number 4 of 1996. Data analysis is done to solve the problems contained in the problem formulation by using descriptive qualitative data analysis. From this study obtained the result that the land of common property rights may be assumed that the land is owned by more than one person whose names are listed in the land title certificate as the land owner. the land is owned by more than one person and there is no clear division, then the authorities to take legal action on the land are all three together. There fore ,the legal effect is the existence of the consent of the other party by giving a special power of attorney to such person to act for and on their behalf to pledge the land.
Keywords: Shared Property, Land, Encumbrance Right, Legal Effects
Abstrak
Tujuan penelitian ini diadakan adalah untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dalam menjaminkan tanah hak milik bersama sebagai agunan di Bank ditinjau dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan mengkaji Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Analisis data dilakukan untuk memecahkan masalah yang tertuang dalam rumusan masalah dengan menggunakan analisis data deskriptif kualitatif. Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa tanah yang dimiliki oleh lebih dari 1 orang dimana nama-nama orang tersebut tercantum dalam sertifikat hak atas tanah sebagai pemilik tanah. tanah tersebut dimiliki oleh lebih dari satu orang dan tidak ada pembagian secara jelas, maka yang berwenang untuk melakukan tindakan hukum atas tanah tersebut adalah ketiga-tiganya secara bersama-sama. Oleh karena itu akibat hukum yang ditimbulkan adalah adanya persetujuan pihak yang lain dengan memberikan surat kuasa khusus kepada satu orang tersebut untuk bertindak untuk dan atas nama mereka untuk menjaminkan tanah tersebut.
Kata Kunci: Hak Milik Bersama, Tanah, Hak Tanggungan, Akibat Hukum
Magister Hukum Udayana • Juli 2017
Vol. 6, No. 2 : 261 - 271
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Dalam kehidupan sehari-hari, keperluan akan dana guna menggerakan roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi ada masyarakat yang kelebihan dana, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk megusahakannya, dan di sisi lain, ada kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan untuk berusaha namun terhambat pada kendala karena hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki dana sama sekali. Untuk mempertemukan keduanya diperlukan intermediary yang akan bertindak selaku kreditur yang menyediakan dana bagi debitor. Dari sinilah timbul perjanjian utang piutang atau perjanjian kredit. Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan untuk itu melalui perjanjian utang-piutang antara pemberi utang (kreditur) di satu pihak dan penerima pinjaman (debitur) di lain pihak.2
Setelah perjanjian tersebut disepakati maka lahirlah kewajiban pada diri kreditur, yaitu untuk menyerahkan uang yang diperjanjikan kepada debitur dengan hak untuk menerima kembali uang itu dari debitur pada waktunya, disertai dengan bunga yang disepakati oleh para pihak pada saat perjanjian pemberian kredit tersebut disetujui oleh para pihak. Hak dan kewajiban debitur adalah bertimbal balik dengan hak dan
kewajiban kreditur. Selama proses itu tidak menghadapi masalah dalam arti kedua belah pihak melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan segala sesuatu yang diperjanjikan maka persoalan tidak akan muncul. Biasanya persoalan baru timbul jika debitur lalai mengembalikan uang pinjaman pada saat yang telah ditentukan. Jika terjadi demikian, Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa semua kebendaan yang menjadi milik seseorang, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, akan menjadi jaminan bagi perikatannya.
Kondisi yang demikian menyebabkan kreditur merasa tidak aman dan untuk memastikan pengembalian uangnya, maka kreditur tentunya akan meminta kepada debitur untuk membuat suatu perjanjian tambahan atau sering disebut sebagai “perjanjian accesoir” guna menjamin dilunasinya kewajiban debitur pada waktu yang telah ditentukan dan disepakati sebelumnya oleh kreditur dan debitur. Ini berarti bahwa kreditur dalam suatu perjanjian utang-piutang ataupun perjanjian kredit memerlukan lebih dari hanya sekedar “janji” untuk melaksanakan atau memenuhi kewajibannya.
Tanah yang dapat dibebani hak tanggungan dapat dijadikan jaminan atas pelunasan utang-utang debitur. Namun persoalan yang timbul berkenaan dengan hak milik yang dibebani hak tanggungan adalah
Magister Hukum Udayana • Juli 2017
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 6, No. 2 : 261 - 271
ketika tanah yang berstatus hak milik yang kepemilikannya dimiliki oleh lebih dari satu orang, dimana pihak debitur (peminjam dana) adalah salah satu pemilik tanah tersebut, maka tentu saja pemilik tanah selaku debitur tersebut harus menjaminkan tanah tersebut seluruhnya. Jadi dalam hal ini tidak diperbolehkan hanya menjaminkan bagian tanah yang dimiliki oleh pemilik tanah yang berkedudukan sebagai debitur saja, dengan kata lain bagian tanah yang dimiliki pemilik tanah yang lain yang tidak berkedudukan sebagai debitur juga harus ikut dijaminkan. Dalam peristiwa tersebut akan menimbulkan masalah baik mengenai bagaimana kedudukan dari para pemilik tanah, serta bagaimana hak dan kewajiban dari para pemilik tanah.
Dalam menghadapi persoalan tersebut di atas, di samping keterlibatan para pihak yang melakukan perjanjian, juga dibutuhkan seorang pejabat yang berwenang untuk membantu permasalahan di atas agar apa yang diperjanjikan oleh para pihak dapat terlaksana, mempunyai kekuatan hukum, menguntungkan para pihak, serta mencegah suatu masalah yang mungkin akan timbul di kemudian hari. Bantuan dari Notaris sebagai Pejabat pembuat Akta Tanah (PPAT) juga memberikan peranan penting dalam hal ini PPAT dapat memberikan solusi-solusi, nasihat-nasihat bahkan untuk mengambil tindakan-tindakan hukum untuk kepentingan
para pihak yang akan melakukan perjanjian. Pejabat Pembuat Akta Tanah, mempunyai peranan yang penting dalam setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu yang baru atas tanah, menggadaikan tanah, atau meminjamkan uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan.
Berdasarkan pemaparan diatas, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: bagaimanakah akibat hukum yang timbul dalam menjaminkan tanah hak milik bersama sebagai agunan di Bank ditinjau dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah?
Penelitian ini adalah karya ilmiah asli yang belum pernah di teliti oleh para peneliti sebelumnya. Dari penelusuran kepustakaan yang dilakukan ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan penelitian tentang Tinjauan Yuridis Terhadap Tanah Hak Milik Bersama Sebagai Agunan Dalam Perjanjian Kredit Di Bank Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah ini, antara lain yaitu karya ilmiah dari Adnyana tahun 2015 dengan judul Penggunaan Kuasa Menjual Di Dalam Peralihan Hak Milik Atas Tanah Melalui Jual-Beli yang rumusan masalahnya adalah apakah penggunaan kuasa mutlak dalam peralihan hak milik atas tanah melalui
Magister Hukum Udayana • Juli 2017
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 6, No. 2 : 261 - 271
jual beli adalah sah ?3. Karya ilmiah lainnya yang terkait yaitu Putu Ade Harriestha Martana tahun 2014 dengan judul Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Dalam Ketentuan Pasal 32 ayat 2 PP No. 24 Tahun 1997 yang rumusan masalahnya adalah; 1. Bagaimanakah pelaksanaan dan terjadinya kepastian sertifikat hak milik atas tanah setelah jangka waktu lima tahun sesuai dengan Pasal 32 ayat 2 PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah?. 2. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat hak milik atas tanah setelah jangka waktu lima tahun sesuai dengan Pasal 32 ayat 2 PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah?.4 Selanjutnya karya ilmiah dari Anak Agung Istri Diah Mahadewi tahun 2013 dengan judul Pengaturan Prosedur Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah Yang Merupakan Barang Milik Negara yang rumusan masalahnya adalah
bagaimana pengaturan pelaksanaan pembatalan sertifikat hak milik atas tanah yang termasuk barang milik negara?.5 Jelas nampak perbedaan dari karya ilmiah tersebut yang dibuat oleh Penulis. Adapun keunggulan karya ilmiah ini dari karya ilmiah lainnya yaitu membahas lebih dalam terkait akibat hukum yang timbul dalam menjaminkan tanah hak milik bersama sebagai agunan di bank ditinjau dari Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran yang jelas tentang akibat hukum yang timbul dalam menjaminkan tanah hak milik bersama dan cara penyelesaian apabila debitur wanprestasi dengan jaminan sertifikat tanah hak milik bersama.
Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dimana dalam hal ini menggunakan pendekatan perundang-undangan oleh karena yang akan diteliti adalah berbagai peraturan hukum yang dijadikan fokus atau tema
Magister Hukum Udayana • Juli 2017
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 6, No. 2 : 261 - 271
utama6.Sumber data diperoleh dari Peraturan Perundang-Undangan yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya disebut UUHT). Analisis data dilakukan untuk memecahkan masalah yang tertuang dalam rumusan masalah dengan menggunakan analisis data deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan akibat hukum yang timbul dalam menjaminkan tanah hak milik bersama sebagai agunan di Bank ditinjau dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
Hak milik alah hak yang terpenuh dan mutlak yang dimiliki oleh seseorang atas sebidang tanah, tetapi dalam batas batas yang ditentukan hak pertuanan7.
Menurut kamus Besar bahasa Indonesia, hak milik adalah hak untuk menggunakan atau mengambil keuntungandarisuatubendayangberada dalam kekuasaan tanpa merugikan pihak lain dan dipertahankan terhadap pihak mana pun8.Menurut pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria,
ketentuan lebih lanjut mengenai hak milik diatur dengan Undang-Undang. Yang menjadi permasalahan adalah undang-undang yang diperintahkan di Indonesia sampai sekarang belum terbentuk. Untuk itu diberlakukan lah pasal 56 Undang-Undang Pokok Agraria, yang selama Undang-undang tentang hak milik belum terbentuk maka yang berlaku adalah ketentuan hukum adat setempat dan peraturan lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria9.
Hak milik menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1960 (UUPA) Tentang Pokok Agraria, Pasal 20 menyatakan :
-
(1) Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.
-
(2) Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Ciri hak milik adalah sebagai berikut:
-
a. Turun-temurun
Hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya telah meninggal dunia maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik.
Magister Hukum Udayana • Juli 2017
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 6, No. 2 : 261 - 271
-
b. Terkuat dan terpenuh
Kata-kata “terkuat” dan “terpenuh” dimaksudkan untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan lain-lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa di antara hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki orang, hak miliklah yang terkuat dan terpenuh (artinya: paling).
-
c. Dapat beralih dan dialihkan
Dari segi bahasa, ada perbedaan antara “beralih” dan “dialihkan”. Peristiwa “beralih” (bentuk aktif) dapat terjadi tanpa adanya sesuatu subjek yang melakukan pengalihan. Di sini, tidak diperlukan suatu subjek movens (menggerakkan). Hal tersebut berbeda dengan peristiwa “dialihkan” (bentuk pasif), yang harus ada suatu subjek movens . Misalnya, A menghibahkan atau menjual tanahnya kepada B. Dalam hal ini, A adalah subjek movens.
Berpindahnya hak milik atas tanahkarenadialihkanataupemindahan hak harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), kecuali lelang dibuktikan dengan berita acara lelang yang dibuat oleh pejabat dan kantor lelang. Berpindahnya hak milik atas tanah tersebut harus didaftarkan ke kantor pertanahan kabupaten/kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah dan dilakukan perubahan nama
dalam sertifikat dari pemilik tanah yang lama kepada pemilik tanah yang baru.
Peralihan hak milik atas tanah, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada orang asing, kepada seseorang yang mempunyai dua kewarganegaraan, atau kepada badan hukum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara. Artinya, tanahnya kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
-
1. Jangka waktu Tidak dibatasi.
-
2. Objek tanahnya, Tanah pertanian dan bukan tanah pertanian.’
-
3. Subjek hak.
Perorangan Warga Negara Indonesia (WNI) dan badan hukum yang ditunjuk, antara lain meliputi bank-bank yang didirikan oleh negara (bank negara), koperasi pertanian, badan keagamaan, dan badan sosial.
Terjadinya hak milik dapat melalui 3 cara, antara lain: a. Menurut hukum adat
Hak milik atas tanah terjadi dengan jalan pembukaan tanah (pembukaan hutan). Artinya, pembukaantanah(hutan) tersebut dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat hukum adat yang dipimpin oleh ketua adat melalui sistem penggarapan, yaitu matok sirah, matok sirah gilir galeng, dan sistem bluburan atau terjadi karena timbulnya “lidah tanah” (aanslibbing).
Magister Hukum Udayana • Juli 2017
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 6, No. 2 : 261 - 271
Lidah tanah adalah tanah yang timbul/muncul karena terbloknya arus sungai atau tanah di pinggir pantai, biasanya terjadi dari lumpur yang makin lama makin tinggi dan mengeras. Dalam hukum adat, lidah tanah yang tidak begitu luas menjadi hak bagi pemilik tanah yang berbatas. Hak milik tersebut dapat didaftarkan pada kantor pertanahan kabupaten/kota setempat untuk mendapatkan sertifikat hak miliknya.
-
b. Penetapan pemerintah
Hak milik atas tanah ini terjadi karena permohonan pemberian hak milik atas tanah (semula berasal dari tanah negara) oleh pemohon dengan memenuhi prosedur dan persyaratan yang ditentukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Setelah semua terpenuhi, BPN menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPII). SKPH tersebut wajib didaftarkan oleh pemohon kepada kepala kantor pertanahan kabupaten/kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah dan diterbitkan sebagai sertifikat hak milik atas tanah.
-
c. Ketentuan Undang-Undang Terjadinya hak milik atas tanah ini didasarkan karena konversi (perubahan) menurut UUPA. Sejak berlakunya UUPA, semua hak atas tanah yang ada harus diubah menjadi salah satu hak
atas tanah yang diatur dalam UUPA10.
Penggunaan hak milik oleh bukan pemiliknya
UUPA mengatur bahwa hak milik atas tanah dapat digunakan atau diusahakan oleh bukan pemiliknya. Penggunaan tersebut dibatasi dan diatur dengan peraturan perundang-undangan. Misalnya, hak milik atas tanah dibebani dengan hak guna bangunan, hak milik atas tanah dibebani dengan hak pakai, hak sewa untuk bangunan, hak gadai (gadai tanah), hak usaha bagi basil (perjanjian bagi hasil), hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian.
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (“UUHT”) menyatakan bahwa:
-
(1) Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.
-
(2) Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum ter-hadap obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.
Magister Hukum Udayana • Juli 2017
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 6, No. 2 : 261 - 271
Mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum berarti pemberi hak tanggungan adalah pihak yang dapat bertindak bebas atas tanah tersebut.tindakanmembebanitermasuk dalam tindakan pemilikan, karena tindakan tersebut bisa merupakan suatu tindakan permulaan, yang berakhir dengan hilang/hapusnya hak atas benda jaminan yang bersangkutan sebagai bagian dari kekayaan seseorang. Jadi, yang dimaksud dengan kewenangan mengambil tindakan hukum dalam Pasal 8 UUHT adalah kewenangan untuk mengambil tindakan pemilikan Pihak yang dapat melakukan tindakan pemilikan adalah pihak yang mempunyai hak milik. Ini karena berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UU Pokok Agraria”)
“Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6.
Pasal 6 UU Pokok Agraria:
Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Tanah hak milik bersama dapat di asumsikan bahwa tanah tersebut dimiliki oleh lebih dari 1 orang dimana nama-nama orang tersebut tercantum dalam sertifikat hak atas tanah sebagai pemilik tanah. Selain
itu, dalam sertifikat tersebut tidak diberikan kepada setiap orang dengan menyebutkan besarnya bagian masing-masing orang sebagaimana terdapat dalam Pasal 31 ayat (5) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Oleh karena tanah tersebut dimiliki oleh lebih dari satu orang dan tidak ada pembagian secara jelas, maka yang berwenang untuk melakukan tindakan hukum atas tanah tersebut adalah ketiga-tiganya secara bersama-sama. Hal tersebut berarti tidak dapat diletakkan jaminan hak tanggungan di atas tanah tersebut oleh satu orang saja. Kecuali kedua orang yang lain telah memberikan surat kuasa khusus kepada satu orang tersebut untuk bertindak untuk dan atas nama mereka untuk menjaminkan tanah tersebut.
Oleh karena pemberian hak tanggungan dilakukan dengan akta PPAT, maka sebagaimana dikatakan dalam Pasal 101 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (“Permen Agraria 3/1997”), jika dalam pemberian hak tanggungan tersebut, 2 (dua) orang pemegang hak atas tanah yang lain tidak dapat hadir, maka perbuatan hukum tersebut dapat dilakukan oleh orang yang dikuasakan oleh pemegang hak atas tanah dengan surat kuasa tertulis.
Magister Hukum Udayana • Juli 2017
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 6, No. 2 : 261 - 271
Pasal 101 ayat (1) Permen Agraria 3/1997:
Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun kuasa untuk melakukan tindakan hukum yang berhubungan dengan hak atas tanah yang dapat mengakibatkan hilang atau hapusnya hak seseorang atas tanah tersebut, menggunakan surat kuasa dalam bentuk akta notaris. Ini karena akta notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Dan dengan digunakannya akta notaris, berarti jelas bahwa pemegang hak atas tanah yang tidak dapat hadir pada saat pemberian hak tanggungan, memang datang dan memberikan kuasanya di depan notaris dan disaksikan oleh para saksi.
Adanya perbuatan hukum oleh pihak dimana menjaminkan sertifikat hak milik yang merupakan milik bersama sebagai agunan kredit di bank tentu menimbulkan suatu akibat hukum. Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan diakui oleh hukum. Tindakan yang dilakukannya adalah tindakan hukum yaitu tindakan yang dilakukan
guna memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh hukum.11
Akibat hukum merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban bagi subyek-subyek hukum yang bersangkutan. Seperti perjanjian kredit yang dilakukan oleh pihak bank dengan debitur dimana debitur menjaminkan tanah hak milik bersama sebagai agunan. Dengan adanya jaminan tersebut, tentu hak agunan dibebankan kepada si debitur yang meminjam, walaupun dalam sertifikat hak milik tanah tersebut tercantum lebih dari satu orang atau milik bersama, akan tetapi jika telah memenuhi prosedur yang benar, maka tanah hak milik bersama tersebut dapat dijaminkan. Hak tanggungan adalah lembaga jaminan yang khusus mengatur tentang tanah beserta segala sesuatu yang ada diatas tanah tersebut yang dijadikan jaminan atas pelunasan utang tertentu terhadap kreditor. Dalam arti kata apabila kreditur tidak mengikat jaminan utang dengan mengikatnya melalui lembaga jaminan hak tanggungan maka kreditur tersebut tidak dapat menjualnya melalui lelang apabila si debitur cidera janji. Yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
Magister Hukum Udayana • Juli 2017
Vol. 6, No. 2 : 261 - 271 http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa akibat hukum yang timbul dalam menjaminkan tanah hak milik bersama sebagai agunan di Bank ditinjau dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah adalah karena suatu tindakan hukum/ perbuatan hukum dimana kewenangan mengambil tindakan hukum dalam Pasal 8 UUHT adalah kewenangan untuk mengambil tindakan pemilikan Pihak yang dapat melakukan tindakan pemilikan adalah pihak yang mempunyai hak milik. Tanah hak milik bersama dapat di asumsikan bahwa tanah tersebut dimiliki oleh lebih dari 1 orang dimana nama-nama orang tersebut tercantum dalam sertifikat hak atas tanah sebagai pemilik tanah. Selain itu, dalam sertifikat tersebut tidak diberikan kepada setiap orang dengan menyebutkan besarnya bagian masing-masing orang sebagaimana terdapat dalam Pasal 31 ayat (5) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Oleh karena tanah tersebut dimiliki oleh lebih dari satu orang dan tidak ada pembagian secara jelas, maka yang berwenang untuk melakukan tindakan hukum atas tanah tersebut adalah ketiga-tiganya secara bersama-sama. Oleh karena itu akibat hukum yang ditimbulkan tidak dapat diletakkan jaminan hak tanggungan
di atas tanah tersebut oleh satu orang saja. Kecuali kedua orang yang lain telah memberikan surat kuasa khusus kepada satu orang tersebut untuk bertindak untuk dan atas nama mereka untuk menjaminkan tanah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ibrahim, Johny, 2010, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Malang.
Santoso, Urip, 2009, Hukum Agraria & Hak Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Simorangkir, J.C.t., et all, 2009, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Soeroso, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, 2003, Jaminan Fidusia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Jurnal
Adnyana, Adnyana. PENGGUNAAN KUASA MENJUAL DIDALAM PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH MELALUI JUAL-BELI.Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), vol.4 no.1 edisi mei 2015 <https://ojs.unud. ac.id/index.php/jmhu.article/ view/13050>. Diakses tanggal: 19 sep. 2017. doi: https://doi. org/10.24843/JMHU.2015.v04. i01.p14.
Mahadewi, Anak Agung Istri Diah. PENGATURAN PROSEDUR
Magister Hukum Udayana • Juli 2017
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 6, No. 2 : 261 - 271
PEMBATALAN SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH YANG MERUPAKAN BARANG MILIK NEGARA. Jurnal Magister Hukum Udayana (UdayanaMasterLawJournal), vol.2 no.3 edisi september 2013. <https://ojs.unud.ac.id/index. php/jmhu/article/view/7285>. Diakses tanggal: 19 sep. 2017. doi: https://doi.org/10.24843/ JMHU.2013.v02.i03.p01.
Martana, Putu Ade Harriestha. PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG
SERTIFIKAT HAK MILIK ATAS TANAH DALAM KETENTUAN PASAL 32 AYAT (2) PP No. 24 TAHUN 1997. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), vol.3 no.1 edisi mei 2014. <https://ojs.unud. ac.id/index.php/jmhu.article/ view/8446>.Diakses tanggal: 19 sep. 2017. doi: https://doi. org/10.24843/JMHU.2014.v03. i03.i01.p01.
Kamus
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003, Edisi Ketiga, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan nasional, Balai Pustaka, Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) Tentang Pokok Agraria
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
271
Discussion and feedback