E-ISSN 2502-3101

Jurna         P-ISSN 2302-528X

Magister Hukum Udayana September2016                  Vol. 5, No. 3 : 605 - 615

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)                                          http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

KONSEP-KONSEP YANG TERKAIT DENGAN KOTA

LAYAK ANAK DI KOTA DENPASAR1

Oleh:

Ni Made Duwi Putri Kamayani2

Abstract

The objective of this research is to reveal the concepts related to child-friendly city as perceived by parents in Denpasar City. The research method was normative research with conceptual approach and statute approach. The date collected by library research while the analysis data done by descriptive method. The research result indicated that the concepts related to child-friendly city are explored and grouped through a factor analysis. From the process of factor analysis, four measures of ideal urban environment related to child-friendly city can be identified. They are policy, protection, environment and planning for children. The first three concepts are well suited with the Indonesian national policy on child-friendly city. Whereas the last concept, planning for children, needs special attention as a part of the existing concept of policy, or it should be an independent concept that needs to be accomodated in planning norms, standards, procedures and manuals in an urban environment.

Keywords: Urban Environment; Child-Friendly City; Denpasar.

Abstrak

Tujuan penelitian untuk mengetahui konsep terkait Kota Layak Anak sebagaimana dipersepsikan orang tua di Kota Denpasar. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif dengan pendekatan konsep (conceptual approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Data dikumpulkan melalui penelitian kepustakaan, sedangkan analisis data dilakukan dengan metode deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep terkait Kota Layak Anak digali dan dikelompokkan melalui analisis dari faktornya. Dari proses faktor analisis ini, empat pengukuran lingkungan perkotaan yang ideal terkait dengan Kota Layak Anak dapat diidentifikasi. Faktor itu adalah kebijakan, perlindungan, lingkungan dan perencanaan untuk anak-anak. Tiga dari konsep pertama sangat sesuai dengan kebijakan Nasional Indonesia tentang Kota Layak Anak. Sedangkan konsep yang terakhir, perencanaan untuk anak-anak, membutuhkan perhatian khusus sebagai bagian dari konsep yang ada dari kebijakan saat ini atau harus dijadikan konsep yang bebas yang perlu ditampung dalam ketentuan-ketentuan perencanaan, standard, prosedur dan manual pada lingkungan perkotaan.

Kata Kunci: Lingkungan Perkotaan, Kota Layak Anak, Denpasar

Magister Hukum Udayana September 2016

Vol. 5, No. 3 : 605 - 615

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

  • I.    PENDAHULUAN

Salah satu momen penting yang menguatkan komitmen bersama untuk mewujudkan sebuah dunia yang layak bagi anak sebagai wujud terpenuhinya hak anak adalah Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Mei Tahun 2002 yang mengadopsi laporan Ad Hoc pada sesi khusus untuk anak. Dokumen itu lah kemudian di kenal dengan “A World Fit For Children” Judul dokumen tersebut menunjukkan gaung puncak dari rangkaian upaya dunia untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap masalah masa depan bumi. Kelangsungan kehidupan umat manusia dan lebih khusus lagi upaya untuk menyiapkan generasi masa depan yang lebih baik melalui anak-anak yang hidup pada masa sekarang ini dan masa selanjutnya.

Demikian juga bangsa Indonesia sudah selayaknya memberikan perhatian terhadap perlindungan anak karena amanat Pasal 28b ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) menyatakan bahwa:

“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Lebih jauh Pasal 34 ayat (1) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa:

“Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara.”

Ketentuan padakedua Pasal UUD NRI 1945 tersebut mengisyaratkan bahwa negara bertanggungjawab terhadap kesejahteraan anak. Negara yang dimaksudkan disini bisa Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota bahkan sampai Pemerintahan Desa/ Kelurahan.

Guna mewujudkan amanat UUD NRI 1945 tersebut di atas, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak sejak 5 September 1990. Hal ini merupakan komitmen Indonesia dalam menghormati dan memenuhi hak anak. Komitmen ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Perlindungan Anak).

Selanjutnya untuk operasionalnya pemerintah menugaskan Kepala Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (selanjutnya disingkat Kementerian PPPA) untuk mewujudkan perlindungan kepada anak Indonesia. Kementerian PPPA mempunyai visi yaitu terwujudnya kesetaraan gender, dan misi adalah mewujudkan kebijakan yang responsif gender dan peduli anak untuk meningkatkan kualitas hidup dan perlindungan perempuan, serta memenuhi hak tumbuh kembang dan

Magister Hukum Udayana September2016

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 5, No. 3 : 605 - 615 http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


melindungi anak dari tindak kekerasan. Sesuai dengan visi kementerian, tema perlindungan anak menjadi salah satu fokus kementerian saat ini dalam mewujudkan misi dalam pelaksanaan program dan kegiatannya.3

Dalam upaya perlindungan anak untuk menjamin, melindungi dan pemenuhan hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi maka salah satu kegiatan Kementerian PPPA dalam merespons isu gender terkait perempuan (ibu) dan anak adalah kegiatan pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak sesuai dengan yang tertuang pada Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2011 tentang Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak (kemudian disingkat KLA).

Provinsi Bali menyambut positif mengenai upaya perlindungan terhadap anak dengan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Menindaklanjuti hal ini, Pemerintah Kota Denpasar mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.

Pemerintah Kota Denpasar juga menanggapi positif dan bersinergi dengan Kementerian PPPA untuk membentuk Kota Denpasar Layak Anak mengingat di Kota Denpasar masih sering dijumpai anak-anak, baik laki-laki atau perempuan, anak masih balita ataupun sudah bekerja untuk membantu orang tua atau untuk menghidupi diri sendiri. Anak-anak itu ada yang bekerja pada sektor formal sebagai buruh pabrik dan sektor informal sebagai pedagang asongan atau pedagang kaki lima, kuli panggul, pemulung, pembantu, dan yang paling menyedihkan sebagai pekerja prostitusi.Terlihatmemangkemiskinan ekonomi menyebabkan mereka harus mencari uang dan merelakan diri untuk kehilangan masa kanak-kanak yang seharusnya diisi dengan belajar dan bermain, bukan bekerja membanting tulang. Juga pengalaman mendapat perlakuan kasar dan kejam yang mereka alami di lapangan ketika bekerja akan menunjukkan bahwa mereka mengalami juga dimensi kemiskinan yang lain.4

Meskipun Kota Denpasar sudah mendapatkan penghargaan kota layak anak dengan kategori Madya pada tahun 2011 dan meningkat menjadi kategori Nindya dan kategori Pratama pada tahun 2013. Pada tahun 2013 Kota Denpasar meraih kembali penghargaan kategori Nindya,

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

dan Kota Denpasar telah meraih penghargaan dengan kategori Utama Anugrah Parahita Ekapraya mengingat di Kota Denpasar sudah ada regulasi atau aturan mengenai perlindungan anak yaitu Peraturan Daerah (Perda) Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, namun kenyataannya masih terjadinya kekerasan di Kota Denpasar seperti diuraikan di atas menjadikan kendala bagi Kota Denpasar untuk disebut sebagai KLA sepenuhnya. Untuk lebih memberikan perlindungan hukum kepada anak di Provinsi Bali pada umumnya dan Kota Denpasar pada khususnya, pada tanggal 11 Agustus 2014 Gubernur Bali menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Daerah (Perda) Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.

Perda Nomor 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak mengatur tentang hak anak, kewajiban anak, perencanaan, penyelenggaraan, peran masyarakat, komisi penyelenggara perlindungan anak daerah, pemantauan dan evaluasi, pelaporan, pendanaan, pembinaan dan pengawasan, ketentuan penyidikan, ketentuan pidana, dan ketentuan penutup.

Namun demikian untuk mengatasi permasalahan anak baik Pemerintah Daerah maupun

masyarakat Kota Denpasar harus merubah paradigma pembangunan anak yang selama ini bersifat parsial, segmentatif dan sektoral menjadi pembangunan anak secara holistik, integratif dan berkelanjutan di masa mendatang.

Berdasarkan uraian di atas untuk mewujudkan Kota Denpasar sebagai KLA telah tersedia perangkat-perangkat hukum baik pada tingkat nasional maupun local Provinsi Bali dan Kota Denpasar (das sollen), namun pada kenyataannya Kota Denpasar masih belum menjadi KLA sepenuhnya bahkan masih terjadi tindak kekerasan pada anak (das sein). Berdasarkan hal ini, yakni adanya gap antara das sollen (hukum yang seharusnya) dengan das sein (hukum yang terjadi di tengah masyarakat). Berangkat dari hal ini, sangatlah penting untuk dilakukan penelitian mengenai konsep-konsep yang terkait dengan Kota Denpasar sebagai kota layak anak.

Permasalahan ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan ”konsep-konsep apa saja yang terkait dengan Kota Layak Anak di Kota Denpasar?”.

Penelitian mengenai konsep-konsep yang terkait dengan Kota Layak Anak di Kota Denpasar dalam penelusuran kepustakaan belum ditemukan penelitian dalam bentuk tesis yang secara spesifik meneliti tentang konsep-konsep yang terkait dengan Kota Layak Anak di Kota Denpasar. Dari segi substansi nya,

Magister Hukum Udayana September2016

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 5, No. 3 : 605 - 615 http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


penelitian yang paling dekat dengan materi konsep-konsep yang terkait dengan Kota Layak Anak di Kota Denpasar adalah: (1) penelitian yang dilakukan oleh Rudi Subiyakto, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Indonesia pada tahun 2012 menyusun penelitian tesis dengan judul “Membangun Kota Layak Anak: Studi Kebijakan Publik di Era Otonomi Daerah”; dan (2) Penelitian lain yang membahas tentang kota layak anak adalah penelitian yang dilakukan oleh Febriyanto, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Diponegoro pada tahun 2011 yang berjudul “Analisis Kesiapan Stakeholder dalam Program Pengembangan Kota Layak Anak di Kota Semarang Tahun 2011”. Dari perbedaan penelitian-penelitian tersebut, penelitian memberikan kontribusi untuk menjadi bahan pemikiran maupun masukan dalam pelaksanaan perlindungan hak-hak anak bagi Pemerintah Kota Denpasar.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi konsep-konsep yang terkait dengan Kota Layak Anak di Kota Denpasar.

  • II.    METODE PENELITIAN

Sejalan dengan permasalahan penelitian ini, maka metode penelitian hukum yang digunakan bersifat penelitian hukum normatif dengan pendekatan konsep (conceptual approach) dan pendekatan perundang-undangan (statuta approach). Teknik pengambilan data dilakukan melalui studi kepustakaan. Teknik analisis

data yang digunakan merupakan analisis yuridis. Objek atau sasaran yang merupakan data penelitian ini pada dasarnya berkisar pada kajian ilmu hukum, yang bertitik berat pada substansi atau regulasi hukum mengenai konsep-konsep yang terkait dengan kota layak anak di Kota Denpasar.

  • III.    HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 20 (dua puluh) faktor berkenaan dengan kota layak anak. Kedua puluh faktor hasil tersebut meliputi (1) faktor persetujuan orang tua terhadap kebijakan Kota Layak Anak; (2) faktor lalu lintas dan bermain di lingkungan sekitar; (3) faktor akta kelahiran; (4) faktor keamanan di sekolah; (5) faktor kebersihan toilet sekolah; (6) faktor kebutuhan air dan kelayakan status tempat tinggal; (7) faktor kedisiplinan di sekolah; (8) faktor teman dewasa di lingkungan sekitar; (9) faktor teman; (10) faktor sekolah, diskriminasi, pengawasan orang tua, dan hak anak; (11) faktor sampah; (12) faktor ketersediaan air di sekolah; (13) faktor kekerasan; (14) faktor perencanaan bagi anak; (15) faktor hak kesehatan dan memperoleh informasi bagi anak; (16) faktor kepemilikan sambungan listrik di rumah; (17) faktor udara; (18) faktor bermain di dalam rumah; (19) faktor jajan, dan (20) faktor kebijakan kesehatan pendukung penciptaan Kota Denpasar sebagai kota layak anak.

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

Perumusan kedua puluh faktor tersebut di atas dikelompokkan lebih lanjut untuk menghasilkan tema-tema yang selanjutnya dikelompokkan menjadi konsep-konsep KLA berdasarkan persepsi orang tua di Kota Denpasar. Klasifikasi terhadap keduapuluh faktor di atas menghasilkan beberapa tema, yaitu (1) kebijakan pemerintah; (2) lalu-lintas, bermain, dan teman dewasa di lingkungan sekitar; (3) sekolah; (4) teman; (5) lingkungan; (6) hak anak; (7) tempat tinggal; (8) sekolah, diskriminasi, pengawasan orang tua dan hak anak; (9) perencanaan bagi anak; dan (10) jajanan di sekolah. Selanjutnya, dari kesepuluh tema tersebut dapat dikerucutkan ke dalam konsep-konsep KLA sebagai berikut: (1) kebijakan; (2) lalu-lintas, bermain dan teman; (3) sekolah, diskriminasi, kekerasan; pengawasan orang tua dan hak anak; (4) lingkungan; (5) tempat tinggal; dan (6) perencanaan yang sensitif bagi kebutuhan anak.

Konsep kebijakan KLA di Kota Denpasar terlihat dari berbagai upaya aktif Pemerintah Kota Denpasar dalam menyusun beberapa peraturan pendukung terciptanya atmosfer KLA di Kota Denpasar. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain tergambar dalam bentuk Peraturan Daerah, Peraturan Walikota, dan berbagai kebijakan dalam bentuk lain. Peraturan-peraturan tersebut mendukung hak-hak anak dalam hal kependudukan, pendidikan, kesehatan, pembentukan Forum Anak

Kota, selain itu juga telah memberikan sosialisasi mengenai program KLA sampai tingkat kecamatan, bahkan Pemerintah Kota juga telah bekerja sama dengan LSM dalam bentuk percontohan program Kampung Layak Anak. Konsep kebijakan ini secara normatif sejalan dengan indikator khusus di dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 02 Tahun 2009.

Lebih jauh, respon pemerintah melalui penyusunan kebijakan mengenai KLA menggambarkan kepedulian pemerintah terhadap warganya tanpa terkecuali, dalam hal ini adalah anak. Dukungan terhadap arti penting konsep kebijakan dapat dilihat di dalam tulisan Corsi yang menyatakan bahwa bentuk perhatian pemerintah dapat berupa pembuatan rute aman dari rumah sampai ke sekolah bagi anak-anak, perluasan taman-taman bermain, dan pembuatan jalur sepeda.5 Sementara itu, hasil penelitian dari Irmawati mengenai program-program penciptaan KLA di Kota Surakarta menunjukkan antara lain (1) Solo Car Free Day; (2) Puskesmas Ramah Anak; (3) Gerakan Wajib Jam Belajar dan (4) Pendirian Taman Cerdas.6

Magister Hukum Udayana September2016

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 5, No. 3 : 605 - 615 http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


Dari penelitian di Kota Denpasar diperoleh hasil antara lain programprogram seperti (1) Forum Anak Kota; (2) Kartu Identitas Anak; (3) Rumah Pemulihan Gizi; (4) Sekolah Ramah Anak; (5) Program Sekolah Sehat dan 6) Pembinaan Jajanan Sehat di sekolah sudah diterapkan dalam rangka mendukung penciptaan KLA di Kota Denpasar. Berbagai hasil kajian mengenai konsep kebijakan di atas menggambarkan bahwa kedudukan suatu kebijakan adalah vital dalam rangka mendukung penciptaan KLA. Apabila di dalam tulisan Corsi disebutkan adanya dua model pendukung kebijakan, yaitu (1) model dengan orientasi edukasi, kognisi dan normative; serta (2) model promosi partisipasi sosial. Maka, berdasarkan dua contoh lokasi penciptaan KLA di Indonesia, yaitu di Kota Surakarta dan Denpasar secara bersama-sama mengonfirmasi dua model kebijakan dari Corsi tersebut.7

Konsep kedua adalah keamanan lingkungan permainan yang mencakup loading: lalu-lintas, bermaindanteman. Studi empiris mengenai pendapat orang tua terhadap konsep lalu-lintas digali dari pendapat mereka dalam menilai tingkat keamanan lalu-lintas di lingkungan sekitar tempat tinggal mereka bagi putra dan/atau putri mereka. Selanjutnya, konsep bermain di dalam penelitian ini diwakili oleh pendapat orang tua mengenai tingkat rasa keamanan tatkala putra dan/atau

putrinya bermain di lingkungan sekitar dan tingkat persetujuan bahwa sebagian besar putra dan/atau putrinya bermain di dalam rumah. Akhirnya, konsep teman diperoleh dari pandangan orang tua terhadap kepemilikan teman multi etnis dan asal yang berbeda dan teman yang berperilaku baik dan sebaya di lingkungan sekitar mereka tinggal.

Kekhasan konsep keamanan lingkungan permainan dengan loading lalu-lintas, bermain dan teman di Kota Denpasar walaupun agak berbeda namun hampir sama dengan pendapat Tranter dan Sharpe bahwa bahaya akan lalu lintas menyebabkan orang tua memberikan perhatian terhadap anak-anaknya seperti pengalaman di Australia.8 Sementara itu, kajian Tranter dan Pawson menyebutkan bahwa dunia anak adalah bermain, sehingga sangatlah penting bagi anak untuk memperoleh dunianya melalui perolehan akses untuk bermain.9 Penekanan Tranter dan Pawson berikutnya adalah arti penting keamanan bagi anak melalui perhatian terhadap lalu lintas dan polusi.10

Konsep ketiga dalam penelitian ini digambarkan ke dalam sekolah, diskriminasi, kekerasan, pengawasan orang tua dan hak anak. Konsep

Magister Hukum Udayana September 2016

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 5, No. 3 : 605 - 615

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


ini tersusun dari loading seperti kepemilikan akta kelahiran, keamanan di sekolah, kebersihan toilet sekolah, kedisiplinan di sekolah; sekolah, diskriminasi,pengawasanorangtua,dan hak anak; ketersediaan air di sekolah; dan hak kesehatan dan memperoleh informasi bagi anak. Hal ini berkaitan dengan pengalaman di Australia mengenai kekhawatiran orang tua akan orang asing11, Selain itu pemenuhan hak-hak dasar anak untuk memperoleh semua pelayanan dasar dan keamanan serta perlindungan dari usaha-usaha eksploitasi juga menjadi perhatian dalam studi tersebut. Sementara itu, pengalaman di Kota Christchurch, Selandia Baru menunjukkan bahwa orang tua memberikan tingkat kebebasan terhadap anak-anaknya tatkala berangkat sekolah, bermain, menyeberang jalan, ataupun bermain di jalanan.12 Pemenuhan hak-hak dasar anak adalah hal mutlak dalam penciptaan KLA. Selain itu, aspek perlindungan menjadi perhatian baik itu pengalaman di berbagai Negara ataupun di Kota Denpasar sendiri bahwa orang tua memberikan perhatian kepada anaknya melalui pengawasan danperlindungan. Parameterperbedaan usia seiring dengan bertambahnya usia anak menjadi dasar tingkat pemberian pengawasan terhadap anak oleh orang tua.13 Namun, hasil penelitian di Kota Denpasar berbeda dengan pandangan Woolcock dan Steele

yaitu belum mengarahnya perhatian orang tua sampai dengan melakukan proteksi yang berlebihan terhadap anak yang pada gilirannya nanti justru berdampak kurang baik bagi anak yaitu kebebasan bergerak anak.14 Selanjutnya, kajian terhadap aspek normatif menurut Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 02 Tahun 2009 menunjukkan bahwa konsep kedua dan ketiga dalam penelitian ini termasuk ke dalam indikator perlindungan.

Konsep keempat adalah lingkungan. Polusi lingkungan disumbang oleh sampah dan udara. Udara bersih di lingkungan sekitar diperlukan oleh anak-anak dan orang dewasa. Arti penting konsep ini diutarakan oleh diwajibkan dalam KLA bahwa anak-anak memiliki hak untuk mendapatkan lingkungan yang bebas dari polusi dan berbagai pemenuhan hak dasar. Selain itu, fungsi lingkungan bagi anak seperti sudah dikemukakan di atas berkaitan erat dengan perkembangan anak. Fenomena anak-anak dengan sindrom fatter, sicker, and sadder seperti dikemukakan oleh Wilks15 di Australia belum dapat diidentifikasi untuk studi kasus di Kota Denpasar.

Konsep kelima adalah tempat tinggal. Konsep ini didukung oleh

Magister Hukum Udayana September2016

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 5, No. 3 : 605 - 615 http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


faktor-faktor kebutuhan air dan kelayakan tempat tinggal; dan ketersediaan sambungan listrik. Kedua faktor ini merupakan pemenuhan hak dasar anak atas tempat tinggal yang layak. Konsep kelima ini sejalan dengan definisi KLA yang menekankan kepada pemenuhan kebutuhan dasar salah satunya adalah tempat tinggal. Hal demikian dapat dilihat berdasarkan persepsi orang tua terhadap beberapa kondisi berikut: (1) ketersediaan air minum di rumah; (2) ketersediaan air untuk toilet di rumah; (3) ketersediaan air untuk mandi atau memandikan; (4) kelayakan tempat tinggal dan tidak akan mengalami penggusuran setiap saat (status tempat tinggal); (5) kepemilikan sambungan listrik di dalam rumah responden; dan (6) kecukupan ruang di rumah untuk bermain bagi putra dan/atau putri responden.

Konsepkeenamatauyangterakhir adalah perencanaan bagi anak. Konsep ini disumbang oleh faktor perencanaan bagi anak. Faktor ini sebelumnya didukung oleh variabel-variabel perencanaan di lingkungan sekitar di mana anak tinggal dan merujuk kepada partisipasi orang tua dalam perencanaan pemenuhan kebutuhan anak di lingkungan sekitar. Konsep ini sejalan dan perlu dilaksanakan karena memberikan gambaran arti penting perencanaan pro anak dalam bentuk pelibatan anak dalam memprediksi masa depan kotanya. Kajian peneliti tersebut menghasilkan tiga hal

perhatian anak di masa mendatang, yaitu kendaraan dalam hal ini adalah transportasi dan mobilitas individu; dampak pembangunan kota; dan ketersediaan tempat bermain. Melalui pelibatan proses perencanaan kota yang pro anak diharapkan suatu desain ataupun rancangan perencanaan kota nantinya juga berpihak kepada anak. Pengalaman di Kota Denpasar menunjukkan sudah dijumpai suatu fasilitas pendukung kegiatan anak seperti adanya Zona Aman dan Selamat Sekolah.

Dari keenam konsep tersebut apabila dikerucutkan lagi akan tersusun empat konsep utama, yaitu kebijakan pemerintah, perlindungan, lingkungan dan perencanaan bagi anak. Apabila dikaitkan secara normatif dengan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 02 Tahun 2009 tiga konsep baru tersebut termasuk di dalam indikator umum dan khusus. Sementara itu, konsep perencanaan bagi anak dapat berdiri sendiri ataupun dapat dimasukkan ke dalam indikator kebijakan pemerintah. Meskipun demikian penelitian ini masih menyisakan agenda untuk penelitian lebih lanjut tentang relasi antar berbagai konsep tersebut untuk membentuk teori tentang kota layak anak di Indonesia.

  • IV.    KESIMPULAN

Kajian yuridis normatif dan teoritis menunjukkan bahwa pada akhirnya terdapat empat konsep utama

Magister Hukum Udayana September 2016

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 5, No. 3 : 605 - 615

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


di dalam penelitian ini, yaitu konsep kebijakan, perlindungan, lingkungan, dan perencanaan bagi anak. Keempat konsep tersebut tampaknya juga sudah diakomodasi dalam berbagai produk kebijakan di Indonesia, kecuali konsep perencanaan untuk anak yang belum terakomodasi secara eksplisit dalam kebijakan. Konsep perencanaan bagi anak perlu dikaji lebih lanjut untuk diintegrasikan dalam kebijakan yang ada secara eksklusif atau dioperasionalisasikan sebagai bagian dari konsep kebijakan pemerintah. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk mengeksplorasi relasi antar keenam konsep yang ditemukan pada akhir penelitian ini dalam rangka memperoleh teori tentang kota layak anak berdasarkan kondisi lokal di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Sulastri, 2013, Upaya Perlindungan terhadap perempuan dan Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Jakarta.

Woolcock, G. dan Steele, Wendy, 2008, Child-Friendly Community Indicators- A Literature Review. Based on a Report Prepared by Urban Research Program for the NSW Commision for Children & Young People, Griffith University. Nathan.

Makalah/Jurnal

Iskandar Hoesin, 2013, “Perlindungan terhadapKelompokRentandalam Perspektif Hak Asasi Manusia”, Seminar Pembangunan Hukum Nasional, Denpasar, Bali.

Corsi, M., 2002. “The Child Friendly City Initiative in Italy”. Environment and Urbanization, Vol. 14, No. 2.

Irmawati, N. 2009. “Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap Perlindungan Anak Menuju SoloKota Layak Anak (KLA)”. Tesis, Program Studi Magister Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta.

Wilks, Judith, 2010, “Child-Friendly Cities: a place for active citizenship in geographical and environmental education”, International Research in Geographical andEnvironmental Education, Vol. 19, No. 1.

Tranter, P. dan Pawson, E., 2001, “Children Access to Local Environments: a case- study of Christchurch, New Zealand”, Local Environment, Vol. 6, No.1.

Peraturan

Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-UndangNomor 35Tahun2014 tentang Perubahan Atas Undang-

Magister Hukum Udayana September2016

Vol. 5, No. 3 : 605 - 615 http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2011 tentang Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak

Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Peraturan Daerah (Perda) Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasaan.

615