E-ISSN 2502-3101

Jurna         P-ISSN 2302-528X

Magister Hukum Udayana September2016

Vol. 5, No. 3 : 591 - 604

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

SENGKETA KEWENANGAN ANTARA

KANTOR STAF PRESIDEN DENGAN WAKIL PRESIDEN DAN KEMENTERIAN KOORDINATOR NEGARA1

Oleh :

Ni Luh Putri Santika2

Abstract

This paper entitled “Authority Dispute Between The Office of Presidential Staff with the Vice President and also Minister of State Coordinator”. This paper uses normative analytical method with the statute approach and case approach. The Office of Presidential Staff is a new institution that born through Presidential Decree No. 26 of 2015. The chief of Presidential Staff was given authority by This Presidentian Decree to take control of the program priorities. It means that The Office of Presidential Staff have authority to make any programs and also do controlling and evaluating the ministers as routinely. Certainly this could potentially lead to dispute the authority with the Vice President and also Minister of State Coordinator. Presidential Staff’s authority can not be bigger than Vice President, Minister of State Coordinator and also the ministers of state, because the authority expansion of the chief of Presidential Staff would reduce the authority of the Vice President and also Minister of State Coordinator. Establishment of the Office of Presidential Staff is the prerogative of the president in accordance with The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia but the authority which is granted to The Office of Presidential Staff is not in accordance with the constitution and legislation, especially in the law concerning the state ministries and the law concerning the Formation of Law and Regulations. President should reassess the institutional functions of Presidential aide. The burden and responsibility of government should be enclosed by the Cabinet and ministry-level agencies.

Keywords : Authority Dispute, The Office of The Presidential Staff, The Vice President, Minister of State Coordinator.

Abstrak

Makalah ini berjudul "Sengketa Kewenangan Antara Kantor Staf Presiden Dengan Wakil Presiden dan Kementerian Koordinator Negara ". Makalah ini menggunakan penelitian hukum normatif dan pendekatan undang-undang serta pendekatan kasus. Kantor Staf Presiden adalah lembaga baru yang lahir melalui Perpres Nomor 26 Tahun 2015. Perpres tersebut memberikan kewenangan kepada kepala Staf Kepresidenan untuk ikut mengendalikan program prioritas. Kewenangan tersebut juga berarti bahwa lembaga ini berwenang untuk membuat program sekaligus mengendalikan dan mengevaluasi rutin menteri-menteri.

E-ISSN 2502-3101

Jurna         P-ISSN 2302-528X

Magister Hukum Udayana September 2016                 Vol. 5, No. 3 : 591 - 604

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)                                          http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

Hal ini tentunya berpotensi menimbulkan sengketa kewenangan dengan wakil presiden dan kewenangan yang dimiliki menteri koordinator. Kewenangan Staf Presiden tidak boleh lebih tinggi dari Wakil Presiden, menteri koordinator, dan menteri-menteri lainnya karena dengan diperluasnya kewenangan Kepala Staf Presiden akan mereduksi kewenangan Wakil Presiden dan para menteri koordinator. Pembentukan Kantor Staf Presiden merupakan hak prerogratif presiden yang sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 namun Kewenangan yang diberikan kepada Kantor Staf Presiden tidak sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan, terutama dalam UU Kementerian Negara dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Presiden semestinya mengkaji kembali fungsi kelembagaan pembantu presiden. Seharusnya beban dan tanggung jawab pemerintahan seharusnya sudah terwadahi dengan adanya pemerintah di Kabinet dan badan-badan setingkat kementerian.

Kata Kunci: Sengketa Kewenangan, Wakil Presiden, Menteri Koodinator

Negara, Kantor Staf Presiden.

  • I.    PENDAHULUAN

Sebagai sebuah Negara hukum yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945), Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat menjungjung tinggi asas legalitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Asas legalitas tersebut dimaksudkan bahwa segala bentuk tindakan pemerintah harus berdasarkan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembentukan peraturan perundang-undangan itu sendiri merupakan sebuah bagian penting dalampenyelenggaraan Negarahukum, termasuk juga di Indonesia yang menganut Negara Hukum Pancasila. Peraturan perundang-undangan dalam negara hukum berfungsi sebagai hukum tertulis yang mempunyai kekuatan mengikat setiap warga dan seluruh komponen kehidupan berbangsa dan

bernegara. Implikasi dari perumusan Indonesia sebagai Negara hukum dalam konstitusi tertulis Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu UUD NRI Tahun 1945 adalah setiap kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah harus mempunyai landasan hukum dan legalitas yang kuat3 serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya potensi konflik atau kekaburan norma dan perdebatan pro-kontra dalam penerapan kebijakan tersebut. Namun salah satu kebijakan pemerintahyangternyatamenimbulkan perdebatan di lingkungan pemerintah dan masyarakat adalah ketika Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2015 Tentang Kantor Staf Presiden.

Kantor Staf Presiden adalah sebuah lembaga baru jika ditinjau 3 Muhammad Siddiq Armia, 2011, Studi Epistemologi Perundang-Undangan, CV. Teratai Publisher, Jakarta, hlm. 13.

Magister Hukum Udayana September2016

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 5, No. 3 : 591 - 604

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


dari segi ketatanegaraan Indonesia tidak masuk dalam nomenklatur kementerian atau lembaga negara. Sebagai sebuah lembaga non structural, Kantor Staf Presiden berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Ditegaskan dalam Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2015, peraturan ini memberikan tugas kepada Staf Presiden untuk turut serta dalam kegiatan dan agenda penting kenegaraan yaitu mengendalikan program prioritas nasional, komunikasi politik dan pengelolaan isu strategis. Mengingat tugas yang diberikan kepada Kantor Staf Presiden sangat besar dan bepengaruh, hal ini tidak hanya berpotensi mengganggu sistem koordinasi di pemerintahan eksekutif, tapi juga berpotensi menyebabkan sengketa kewenangan antar lembaga negara. Ditinjau dari adanya dasar hukum perluasan tugas yang diberikan kepada kantor staf Presiden, otomatis lembaga ini berwenang pula untuk ikut serta dalam hal-hal yang berkaitan dengan program pengendalian dan evaluasi secara rutin terhadap kementerian-kementerian negara. Artinya, secara tidak langsung kedudukan para menteri sudah bergeser dan menjadi berada di bawah kewenangan Kantor Staf Presiden. Di saat yang sama, unsur lembaga Negara lainnya yaitu Wakil Presiden dan Menteri Koordinator juga memiliki kewenangan dalam mengendalikan dan mengevaluasi program-program terkait dengan kementerian negara. Jadi secara

tidak langsung telah terjadi pergeseran kedudukan dan kewenangan, yang dimana para kementerian di bawah kendali atau koordinasi Kantor Staf Presiden atau dapat pula diartikan bahwa sama dengan mengambil paksa tugas dan wewenang yang dimiliki oleh menteri koordinator. Kini dengan adanya perluasan kewenangan Kantor Staf Presiden khususnya Kepala Staf Presiden tentunya akan mengganggu koordinasi antar lembaga yang ada saat ini yaitu dengan Wakil Presiden, Menteri Koordinator Negara, dan menteri-menteri lainnya.

Berdasarkanuraianlatarbelakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan mendasar yaitu apakah pembentukan dan kewenangan yang diberikan kepada Kantor Staf Presiden sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan. Mengingat kewenangan dari Kantor Staf Kepresiden telah melampaui batas kewenangan dari Wakil Presiden, Menteri Koordinator Negara, bagaimanakah kedudukan Kantor Staf Kepresiden dalam Ketatanegaraan Indonesia?

Beberapa penelitian yang digunakan sebagai pembanding orisinalitas dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Judul Penelitian: Kedudukan Wakil Menteri dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Penelitian ini ditulis oleh Aidin, Penyelenggara Penata Usaha Umum dan Kepegawaian-Balai Taman NasionalGunungRinjani, Kementerian

Magister Hukum Udayana September 2016

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 5, No. 3 : 591 - 604

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


Kehutanan Nusa Tenggara Barat, Tahun 2014. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendalami dan mengkaji dasar konstitusional, legislasi dan regulasi pengangkatan Wakil Menteri dan urgensi Wakil Menteri dalam sistem pemerintahan Indonesia. Judul Penelitian selanjutnya adalah Posisi Wakil Menteri dalam Sistem Pemerintahan Presidensial Menurut UUD 1945. Penulis: Rahmat Gaib, Universitas Sam Ratulangi, Tahun 2015. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendalami dan mengkaji kedudukan, fungsi, dan tugas Wakil Menteri dalam UUD NRI Tahun 1945. dan struktur organisasi kementerian menurut UUD NRI Tahun 1945. Perbedaan penelitian ini dengan beberapa penelitian pembanding di atas adalah terletak pada objek penelitiannya yaitu tidak adanya penelitian yang mengangkat mengenai sengketa kewenangan antara Kantor Staf Presiden dengan Wakil Presiden dan Kementerian Koordinator Negara.

Adapun tujuan dari penelitian dan penulisan jurnal ilmiah ini adalah untuk memahami dan mengkaji pembentukan dan kewenangan yang diberikan kepada Kantor Staf Presiden serta kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

  • II.    METODE PENULISAN

Penulisan ini menggunakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang beranjak dari adanya kekosongan

norma, konflik norma atau norma kabur. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.4 Hal tersebut sesuai dengan definisi terkait Legal research, in a nutshell yaitu is a process of finding the law that governs activities in human society. It involves locating both the rules which are enforced by the state and commentaries which explain or analyze these rules.5 Jenis pendekatan dalam penulisan ini akan dikaji dengan Pendekatan    Perundang-undangan

dan Pendekatan Kasus. Jadi dalam pendekatan     perundang-undangan

dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini, kemudian dikaitkan dengan permasalahan yang akan dibahas.

  • III.    HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Sumber kewenangan dan Kedudukan Wakil Presiden Kedudukan Presiden pada dasarnya tidak akan terpisahkan dengan Wakil Presiden, sebagaimana sebuah kesatuan yang merupakan pasangan jabatan yang dipilih secara langsung melalui mekanisme pemilihan umum berkala. Dari keseluruhan 12 pasal di

Magister Hukum Udayana September2016

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 5, No. 3 : 591 - 604

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


dalam konstitusi UUD NRI Tahun 1945 yang berkenaan dengan kewenangan Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi eksekutif dan Negara beberapa diantaranya berkaitan pula dengan tugas dan fungsi dari Wakil Presiden. Secara konstitusional, kedudukan keduanya diatur secara tegas dalam UUD NRI Tahun 1945 yang dirumuskan tentang berturut-turut di dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UUD NRI Tahun 1945. Dari Pasal 4 ayat (2) dapat disimpulkan bahwa Wakil Presiden merupakan pembantu bagi Presiden dalam melakukan kewajiban Presiden. Sesuai dengan kewajibannya tersebut, Wakil Presiden dapat bertindak mewakili Presiden namun dalam hal-hal tertentu yaitu ketika Presiden berhalangan untuk menghadiri kegiatan tertentu atau melakukan sesuatu dalam lingkungan kewajiban konstitusional presiden. Jadi secara sederhana dapat diartikan bahwa dalam berbagai kesempatan dimana Presiden ternyata berhalangan dan tidak dapat memenuhi kewajiban konstitusionalnya karena sesuatu alasan-alasan tertentu yang dapat dibenarkan menurut hukum, maka Wakil Presiden dapat bertindak sebagai pengganti Presiden. Dalam berbagai kesempatan yang lainpun Wakil Presiden juga dapat bertindak sebagai pendamping bagi Presiden dalam melakukan kewajibannya. Oleh karena itu kedudukan Wakil Presiden jauh lebih tinggi dibandingkan dengan

kedudukan menteri-menteri. Wakil Presiden akan sebagai orang pertama yang harus mengganti peranan tersebut jika Presiden berhalangan untuk melaksanakan tugasnya. Pengertian ”dibantu” akan tetap berlaku selama Presiden masih berfungsi, tetapi kata ’dibantu’ akan hilang jika Presiden berhalangan tetap dan Wakil Presiden tampil kedepan sebagai pengganti Presiden sampai habis masa jabatannya.6 Sehingga dari penjabaran di atas, terkait status Wakil Presiden sebagai pembantu Presiden dengan Menteri Negara, dapat dikemukakan bahwa meskipun Wakil Presiden dan menteri sama-sama sebagai pembantu Presiden, tidak serta merta membuat kedudukan antara Wakil Presiden dan Menteri sejajar. Maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan Wakil Presiden tidak sejajar dengan Menteri Negara atau dalam artian Wakil Presiden lebih tinggi kedudukannya daripada Menteri Negara. Lebih tingginya posisi Wakil Presiden daripada Menteri Negara berdasarkan tolak ukur bahwa kedudukan Wakil Presiden tidak tergantung pada Presiden, sedangkan kedudukan Menteri tergantung pada Presiden. Dari ruang lingkup tugas yang diberikan Wakil Presiden membantu Presiden terhadap segala kewajiban presiden, baik sebagai kepala negara maupun sebagai kepala pemerintahan, sedangkan Menteri membantu

E-ISSN 2502-3101

Jurna         P-ISSN 2302-528X

Magister Hukum Udayana September 2016                 Vol. 5, No. 3 : 591 - 604

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

Presiden hanya dalam hal tugas-tugas pemerintahan. Terakhir, masa jabatan Wakil Presiden sudah ditentukan lima tahun dalam UUD NRI Tahun 1945 sedangkan masa jabatan Menteri Negara tidak menentu tergantung dari Presiden untuk meresshufle kabinetnya.

Menelaah pasal-pasal di dalam UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintah negara, terutama terkait dengan keberadaan Wakil Presiden berdasarkan fungsi wewenangnya, dapat disimpulkan dua buah kewenangan dari Wakil Presiden, yaitu sebagai wakil dari Presiden dan sebagai pembantu Presiden. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi wewenang Wakil Presiden sebagai pembantu Presiden, terlebih dahulu harus diketahui apa saja yang menjadi kewajiban dari Presiden, hal ini sebagai dasar kewenangan Wakil Presiden sebagai pembantu Presiden. Salah satu wewenang Presiden diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945. Apabila dalam kedua ayang tersebut dihubungkan, maka hal menyiratkan bahwa Wakil Presiden memberi bantuan kepada Presiden dalam bidang kekeuasaan pemerintahan (eksekutif).7 Hal tersebut kemudian melahirkan fungsi baru dari Wakil Presiden yaitu sebagai pengganti Presiden dan sewaktu-waktu dapat pula berfungsi sebagai sebuah jabatan

yang mandiri yaitu Wakil Presiden, terpisah dari Presiden.

Pola hubungan Presiden dan Wakil Presiden pasca amandemen terhadap UUD NRI Tahun 1945, ternyata telah mengalami perubahan yang signifikan jika dibandingkan dengan masa orde lama dan orde baru sehingga tugas dan wewenang Wakil Presiden tergantung pada pembagian tugas antara keduanya, dan pembagian itu tetap merupakan kebijakan yang ditentukan oleh Presiden kepada Wakil Presiden. Dengan demikian, kewenangan yang diperoleh oleh Wakil Presiden adalah melalui Atribusi. Dengan penafsiran konstitusi baik yang tersirat maupun tersurat dalam UUD NRI Tahun 1945, wewenang Wakil Presiden tersebut diatur bersumberkan dari Konstitusi tertulis Indonesia, sehingga dalam pelaksanaannya Wakil Presiden sudah memenuhi syarat dari negara hukum yang mengharuskan pemerintah bertindak atas wewenang yang diatur dalam hukum yang berlaku atau asas legalitas dalam Negara Hukum.

  • 3.2 Sumber Kewenangan dan Kedudukan Kementerian Koordinator

Dasar konstitusional dari kedudukan Menteri Negara secara khusus ditegaskan dalam Pasal 17 UUD NRI Tahun 1945 sebagai pembantu Presiden. Kedudukan Menteri Negara yang diangkat dan diberhentikan berdasarkan oleh pertimbangan

Magister Hukum Udayana September2016

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 5, No. 3 : 591 - 604

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


dan keputusan Presiden tersebut sangat berkaitan dengan fungsi yang dimilikinya yang dimana para menteri-menteri ini bertugas membantu presiden dalam tugas-tugasnya yang membidangi secara khusus urusan tertentu dalam pemerintahan. Selain itu, nomenklatur Menteri Negara juga diatur secara tegas dalam konstitusi tertulis Indonesia yaitu nomenklatur Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan dalam perumusan Pasal 8 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dengan perumusannya yaitu “Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas Presiden adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama”. Jadi bukan berarti hanya tiga nama menteri itu saja yang diakui oleh UUD NRI Tahun 1945. Selain ketiga menteri tersebut, dengan adanya menteri-menteri negara lainnya maka konstitusionalitasnya tetap dapat diakui keabsahannya melalui Pasal 17 ayat (4) UUD NRI 1945 yang kemudian secara normatif diatur dalam Undang- Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara (selanjutnya disebut dengan UU Kementerian Negara).

Para menteri-menteri Negara ini dikoordinatori oleh Menteri Koordinator Negara. Pada dasarnya Kementerian Koordinator melakukan sinkronisasi dan koordinasi urusan

kementerian, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Hal ini sesuai dengan kodrat kewenangan Menteri Negara yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945. Kementerian Koordinator mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyinkronkan dan mengkoordinasikan perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan kebijakan di bidangnya. Kementerian Koordinator diatur secara tegas dalam Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009, tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara. Dalam Perpres tersebut dijelaskan bahwa Kementerian Koordinator adalah setiapKementerian membidangi urusan tertentu dalam Pemerintahan yang terdiri atas :

  • a.    urusan pemerintahan yang nomenklatur Kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD NRI Tahun 1945, yaitu meliputi kementerian dalam negeri, kementerian luar negeri dan kementerian pertahanan;

  • b.    urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD NRI Tahun 1945 dan urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah yang tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 maupun segala bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebagai pemegang koordinasi

Magister Hukum Udayana September 2016

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 5, No. 3 : 591 - 604

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


atas menteri - menteri Negara, Kementerian Koordinator mempunyai tugas untuk memimpin kementerian sesuai dengan bidang-bidangnya. Pasal 9 Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 membagi Kementerian Koordinator menjadi empat yaitu terdiri atas :

  • 1.    Kementerian Koordinator

Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan;

  • 2.   Kementerian      Koordinator

Bidang Perekonomian;

  • 3.   Kementerian      Koordinator

Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan;

  • 4.    Kementerian Koordinator

Bidang Kemaritiman.

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam melaksanakan tugas sebagaimana Kementerian Koordinator,                bahwa

diselenggarakannya    fungsi-fungsi

sinkronisasi koordininasi, dan mengendalikan terhadap perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan kebijakan kementerian di bidangnya masing-masing.        Kementerian

koodinator juga berfungsi dalam menjaga, mengawasi pelaksanaan tugas-tugas kementerian Negara baik yang telah ditentukan maupun tugas yang diberikan oleh Presiden. Tanggung jawab yang dimiliki oleh Kementerian Koordinator termasuk pula dalam fungsi pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya;

Dalam mengkaji kewenangan yang dimiliki oleh Kementerian

Koordinator yang dalam arti sempit adalah termasuk dalam ruang lingkup Menteri Negara harus dilihat dari dua aspek. Pertama, sumber kewenangan Menteri yang diperoleh dengan cara delegasi, dan kedua, sumber kewenangan Menteri yang diperoleh karena mandat. Sumber kewenangan Menteri Negara dari segi delegasi dapat dilihat dalam rumusan Pasal 17 ayat (3) yang menegaskan bahwa menteri-menteri Negara akan membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan dengan diimplementasikan dengan menyelenggarakanurusantertentuyang telah ditugaskan oleh Presiden dalam pemerintahan guna mencapai tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut dapat dipandang sebagai delegasi dengan diaturnya tugas dan fungsi Menteri Negara dalam UU Kementerian Negara yaitu dalam Pasal 7 yang menegaskan kembali bahwa Kementerian mempunyai tugas menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.

Perbedaan dari kewenangan yang diperoleh dengan cara delegasi dan cara mandat adalah dapat dilihat melalui prosedur pelimpahannya. Untuk delegasi adalah dengan adanya pelimpahan wewenang dari suatu organ pemerintahan kepada organ lain dengan peraturan perundang-undangan. Berbeda halnya dengan mandat adalah hanya dalam suatu hubungan rutin atasan-bawahan,

Magister Hukum Udayana September2016

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 5, No. 3 : 591 - 604

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


serta tidak harus dengan peraturan perundang-undangan8.       Dengan

diundangkannya UU Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara, maka secara tidak langsung prosedur delegasi itu telah terjadi. Selain itu, kewenangan Menteri Negara yang diperoleh dengan cara delegasi dapat dianalisis dengan adanya kewenangan menteri negara dalam membuat sebuah peraturan dan/atau kebijakan tertentu sesuai dengan bidangnya seperti halnya yang diatur dalam Pasal 8 UU Kementerian Negara. Misalnya Peraturan Menteri dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut sebagai UU Nomor 12 Tahun 2011) tidak diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1). Namun demikian, jenis peraturan tersebut keberadaannya diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011, yang menegaskan :

“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”

Walaupun ketentuan di atas tidak menyebut secara tegas jenis peraturan perundang-undangan lainnya tersebut berupa Peraturan Menteri, namun frase “…peraturan yang ditetapkan oleh… menteri…” di atas, mencerminkan keberadaan Peraturan Menteri sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang dimaksud. Kekuatan mengikat dari Peraturan yang ditetapkan oleh tersebut kemudian dipertegas dalam Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 menegaskan bahwa “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.”

Dengan demikian ketika Menteri Negara menerbitkan sebuah peraturan berupa Peraturan Menteri, hal tersebut merupakan bentuk delegasi dari peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya. Hans Kelsen menegaskan bahwa peraturan perundang-undangan sebagai norma hukum yang bersifat hierarkis dan tidak boleh bertentangan diantara keduanya karena dimana norma hukum yang lebih rendah mencari validitasnya pada norma hukum yang lebih tinggi9. Contoh sederhananya adalah dalam

Magister Hukum Udayana September 2016

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 5, No. 3 : 591 - 604

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


rumusan dalam Pasal 370 ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengandung perintah delegasi: ”Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian perselisihan antar Daerah dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan diatur dengan Peraturan Menteri.”

Dikaitkan dengan kekuatan mengikat peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011, termasuk Peraturan Menteri, Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 tidak hanya mengatur keberadaan peraturan perundang-undangan atas dasar delegasi (peraturan yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi). Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 juga menegaskan adanya peraturan perundang-undangan “yang dibentuk atas dasar kewenangan”. Jadi dengan uraian tersebut dapat diterima bahwa Menteri telah memperoleh wewenangnya secara delegasi, sehingga apabila menteri yang bersangkutan telah melanggar hukum dengan penyalahgunaan wewenangnya, maka menteri lah yang langsung mempertanggungjawabkan perbuatannya bukan Presiden. Jadi dengan dua kajian tersebut telah menunjukkan dasar kewenangan Menteri Negara dalam membuat suatu peraturan dan/atau kebijakan adalah dengan cara Delegasi.

Kemudian dalam mengkaji sumber kewenangan Menteri Negara

pada ruang lingkup Mandat, atau secara sederhana sebagai hubungan atasan dan bawahan. Hal ini sudah dirumuskan dalam Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 17 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Menteri adalah yang membantu Presiden dalam melaksanakan kekuasaan pemerintahan, dan posisi menteri diangkat serta diberhentikan oleh Presiden. Dengan diangkat dan diberhentikannya Menteri oleh Presiden memperlihatkan adanya hubungan pertanggungjawaban yang diberikan oleh Menteri kepada Presiden dalam melaksanakan kewenangannya. Contohnya hubungan mandat ini dapat dilihat ketika Presiden menerbitkan Peraturan Presiden yang kemudian dilaksanakan oleh Menteri Negara. Jadi jika ada gugatan terhadap Perpres tersebut, maka yang bertanggungjawab adalah Presiden itu sendiri. Satu lagi hal yang menunjukkan hubungan mandat ini ketika diadakan persidangan terhadap perpres yang ditujukan kepada Presiden, maka Menteri Negara biasanya yang mewakilkan kehadiran Presiden. Hal pertanggungjawaban Menteri kepada Presiden dapat dilihat secara politik, karena pada dasarnya menteri diangkat dan diberhentikan secara prerogatif oleh Presiden.

  • 3.3 Kajian terhadap Pembentukan Kantor Staf Presiden

Sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang masalah di atas, pada awalnya Kantor Staf Presiden diproyeksikan dibentuk

Magister Hukum Udayana September2016

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 5, No. 3 : 591 - 604

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


untuk mengganti Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (selanjutnya disebut UKP4). Namun terdapat perbedaan dalam Peraturan Presiden mengenai UKP4 dengan Peraturan Presiden tentang Kantor Staf Presiden. Perbedaan itu dalam hal pengendalian oleh eksekutif. dalam Pasal 2 ayat 1 dan 2 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2009 mengenai UKP4, dijelaskan bahwa alat bantu Presiden tersebut dikendalikan oleh Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, UKP4 dapat dengan mudah diawasi. Bahkan, per harinya laporan pertanggungjawaban dapat diperoleh langsung oleh Presiden dan Wakil Presiden. Bedanya, dalam Perpres tentang Kantor Staf Presiden, klausul tentang kendali Presiden dan Wakil Presiden itu dihilangkan. dengan tidak diaturnya ketentuan tersebut, hal ini sama saja dengan menggeser kewenangan Presiden dan Wakil Presiden. Kewenangan yang diberikan terlalu besar terhadap Kepala Staf Presiden dapat berpotensi mengurangi kewenangan strategis yang dimiliki Wakil Presiden dan/atau Menteri Koordinator yang berujung pada sengketa kewenangan.

  • 3.3.1    Sumber Kewenangan Kantor Staf Presiden

Sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2015, salahsatu tugaskewenangan yang diberikan oleh Presiden kepada Kantor

Staf Presiden untuk mengevaluasi kinerja kementerian negara. Artinya Presiden melalui Perpres tersebut telah mendelegasikan kewenangan terhadap Kantor Staf Presiden. Jika dikaji dengan hakekat kementerian negara tentunya hal tersebut bertentangan dengan Undang Undang Kementerian Negara. Mengacu pada UU Kementerian Negara, yang berhak dan berwenang dalam mengevaluasi Menteri Negara adalah Presiden langsung atau bisa didelegasikan kepada Wakil Presiden. Bahkan hal tersebut pun dapat ditambahkan dengan adanya Kementerian Koordiantor. Suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, dengan demikian Peraturan daerah tidak boleh bertentangan, misalnya dengan Undang-undang, Peraturan Pemerintah. Jadi dengan adanya pengatur dan dalam Perpres bahwa Presiden mendelegasikan tugas evaluasi kementerian ke Kantor Presiden tidak ada dasar hukumnya, karena bertentangan dengan UU Kementerian Negara.

Dikutip dari pernyataan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto10, Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2015 bertujuan untuk meletakkan Kepala Staf Presiden sebagai pembantu

Magister Hukum Udayana September 2016

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 5, No. 3 : 591 - 604

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


Presiden dalam mengendalikan program prioritas. “Kira-kira tugasnya adalah berkaitan tentang programprogram prioritas nasional. Ada lima sektor utama, infrastruktur, ekonomi, maritim, pangan, dan pariwisata”. Jadi dalam hal ini perspektif dari Presiden untuk memperluas kewenangan Kepala Kantor Staf Presiden antara lain untuk meningkatkan sinergi antara semua unit yang berkaitan dengan program prioritas yaitu yang berada dalam lingkungan Presiden, mulai dari Bappenas, Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, Kepala Staf dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

Hal ini tentunya tidak sinkron dengan UU Kementerian Negara sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan sumber kewenangan staf Presiden di atas, bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan UU Kementerian Negara. Misalnya, Pasal 13 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan materi Perpres bisa dibuat jika diperintahkan oleh UU, PP, atau karena tugas penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Selain itu, Perpres Kantor Staf Presiden dinilai bertentangan dengan UU Kementerian Negara. Pasal 15 UU ini menyebutkan pembatasan 34 kementerian yang merupakan delegasi dari Pasal 17 UUD 1945. Dalam konsiderans Perpres itu bagian “mengingat” hanya didasarkan

Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Artinya wewenang yang diberikan oleh Presiden kepada Kantor Staf Kepresiden melalui Peraturan Presiden bertentangan dengan peraturan yang berada di atasnya. Walaupun presiden memiliki hak membentuk lembaga baru guna menunjang kinerja pemerintahan, sesuai dengan hak prerogratif presiden sebagai cita negara hukum Pancasila yang presidensial, tetapi akan timbul pertanyaan jika Kantor Staf Presiden memiliki kewenangan yang seharusnya bisa diakomodasi Wakil Presiden. Dalam pemerintahan, Wakil Presiden memiliki peran utama sebagai pembantu presiden. Jika hanya untuk mengevaluasi kinerja kementerian atau koordinasi dengan lembaga lain, tidak perlu adanya Kantor Staf Presiden. Fungsi tersebut bisa dilaksanakan oleh Wakil Presiden dan/atau dibantu oleh Menteri Koordinator. Dengan kata lain, tidak ada dasar UU atau Peraturan Pemerintah yang melandasi pembentukan Perpres ini, sehingga Perpres itu harus dicabut atau dibatalkan oleh Mahkamah Agung.

  • 3.3.2    Kantor Staf Kepresiden dalam Ketatanegaraan Indonesia Pada dasarnya keberadaan

Kantor Staf Presiden seperti yang diatur dalam Perpres Nomor 26 Tahun 2015 tentang Kantor Staf Presiden dimungkinkan dibentuk sepanjang untuk mewujudkan tujuan bernegara. Hal itu sejalan dengan putusan MK Nomor 79/PUU/IX/2011 terkait uji

Magister Hukum Udayana September2016

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 5, No. 3 : 591 - 604

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


materi Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dengan membatalkan penjelasan pasal itu. Dalam pertimbangannya, pembentukan lembaga oleh presiden dapat dibenarkan dan dimungkinkan sepanjang tidak bertentangan UUD NRI Tahun 1945 dan dalam rangka mewujudkan tujuan negara.

Desain konstitusi mengenai tugas presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan memiliki ruang lingkup yang luas. Secara ekplisit dalam konstitusi, presiden dibantu wakil presiden dan menteri-menterinya. Mengingat tugas presiden begitu luas dimungkinkan membentuk lembaga yang menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga Presiden. Apakah lembaga itu bernama pembantu presiden asalkan syaratnya tidak bertentangan dengan konstitusi. Kalau presiden secara subjektif merasa perlu membentuk lembaga lain masih dimungkinkan meski produk pembentukkannya di bawah undang-undang. Dengan ini kewenangan presiden dalam menggunakan hak prerogratifnya dalam ranah system presidensial yang dianut.

Jika dikaitkan dengan Kantor Staf Presiden, seharusnya kewenangan yang dimiliki oleh lembaga ini tidak boleh tumpang tindih kewenangan dengan wapres dan kementerian. Sebab dalam UU Kementerian Negara sudah dirancang tugas kementerian itu dikoordinasikan oleh empat menteri koordinator. Jadi, sebenarnya kewenangan presiden itu sudah

didelegasikan ke menteri-menteri yang dikoordinasikan lewat Kementerian Koordinator. Jadi meskipun pembentukannya dapat dibenarkan secara hukum, akan tetapi lembaga lain ini tidak boleh melebihi atau posisinya di atas kewenangan Wakil Presiden dan menteri-menterinya sebagai pembantu utama presiden.

Jika dilakukan kajian terhadap pembentukan Kantor Staf Presiden jika dilihat dari ide pembentukannya yang sama dengan UKP4, maka dapat diklasifikasikan sebagai lembaga negara yang mempunyai kedudukan setingkat menteri tapi bukan termasuk dalam kementrian, baik kementrian koordinator maupun kementrian negara. Lembaga-lembaga tersebut bertanggungjawab kepada Presiden Republik Indonesia. Setingkat dengan menteri, artinya Kantor Staf Presiden ini dibentuk atas dasar hak prerogratif Presiden, sama halnya ketika Presiden mengajukan sejumlah kandidat untuk menjadi calon kepala dari lembaga negara Kejaksaan Agung, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Republik Indonesia untuk kemudian disetujui oleh DPR RI sebagai bentuk dari trias politica Indonesia yang berjiwa checks and balances system. Jadi seharusnya mandat yang diberikan kepada Wakil Presiden lebih kuat dibanding staf Presiden, karena selain telah diatur dalam Konstitusi, Wakil Presiden juga dipilih secara langsung bersamaan secara demokrasi dalam pemilihan umum.

Magister Hukum Udayana September 2016

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 5, No. 3 : 591 - 604

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


  • IV. KESIMPULAN

  • 1.    Pembentukan Kantor   Staf

Presiden merupakan   hak

prerogratif presiden yang sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 namun Kewenangan yang diberikan kepada Kantor Staf Presiden tidak sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan, terutama dalam UU Kementerian Negara dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

  • 2.    Kedudukan            Kantor

Staf Kepresiden dalam Ketatanegaraan Indonesia adalah dapat diklasifikasikan sebagai lembaga negara yang mempunyai kedudukan setingkat dengan menteri tapi bukan termasuk dalam kementrian, baik kementrian koordinator maupun kementrian negara.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Armia, Muhammad Siddiq, 2011, Studi Epistemologi Perundang-Undangan, CV. Teratai Publisher, Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konpress, Jakarta.

Cohen, Morris L. and Kent C. Olson, 1992, Legal Research In a Nutshell, West Publishing Co., United State of America.

HR, Ridwan, 2010, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Press, Jakarta.

Morissan, 2005, Hukum Tata Negara RI Era Regormasi, PT Ramdina Prakarsa, Jakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Soemantri, Sri, 1993, tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Peraturan

Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 82 Tambahan Lembaran Negara Nomor 5234).

Undang-UndangNomor 39Tahun2008 Tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomr 166 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4916).

Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2015 Tentang Kantor Staf Presiden (Lembaran Negara Tahun 2015 Nomor 34).

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2009 mengenai Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU/IX/2011 Pengujian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

604