PERAN DESA PAKRAMAN DALAM PEMBENTUKAN PERAREM TERKAIT PENYELESAIAN KONFLIK ALIH FUNGSI LAHAN (Studi Kasus Di Desa Pakraman Tunjuk, Kabupaten Tabanan)
on
E-ISSN 2502-3101
Jurna P-ISSN 2302-528X
Magister Hukum Udayana • September2016
Vol. 5, No. 3 : 435 - 446
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
PERAN DESA PAKRAMAN DALAM PEMBENTUKAN
PERAREM TERKAIT PENYELESAIAN KONFLIK
ALIH FUNGSI LAHAN1
(Studi Kasus Di Desa Pakraman Tunjuk, Kabupaten Tabanan)
Oleh :
Ni Made Lidia Lestari Karlina Dewi2
Abstract
This paper discusses the role in the formation perarem Pakraman related to the settlement of the conflict over the land in the village of Pakraman Show which is located in Tabanan, where land use has a negative impact even cause conflicts between village manners and developers. Issues discussed in this paper is how the role Pakraman role in the formation of perarem related to the settlement of the conflict over the land. Discussion of this paper uses empirical research methods for assessing and analyzing the data obtained in the field. Land conversion in Pakraman Show cause conflict between village manners and developers so as to stop the conflict, prajuru village did Paruman and formed perarem which has kekutan law similar to awig awig, which perarem it provides for the prohibition of developers to enter the territory of the village Pakraman Show.
Key words: role, pakraman, conflict, perarem
Abstrak
Karya ilmiah ini membahas tentang peran desa pakraman dalam pembentukan perarem terkait dengan penyelesaian konflik alih fungsi lahan di Desa Pakraman Tunjuk yang terletak di Kabupaten Tabanan, di mana alih fungsi lahan tersebut memiliki dampak negatif bahkan menyebabkan konflik antara krama desa dan pengembang. Masalah yang dibahas dalam karya ilmiah ini yaitu bagaimana peran peran desa pakraman dalam pembentukan perarem terkait dengan penyelesaian konflik alih fungsi lahan. Pembahasan karya ilmiah ini menggunakan metode penelitian empiris karena mengkaji dan menganalisa data yang didapatkan di lapangan. Alih fungsi lahan di Desa Pakraman Tunjuk menimbulkan konflik antara krama desa dan pengembang sehingga untuk menghentikan konflik tersebut, prajuru desa melakukan paruman dan membentuk perarem yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan awig-awig, yang mana perarem tersebut mengatur tentang larangan pengembang untuk memasuki wilayah Desa Pakraman Tunjuk.
Kata kunci : peran, desa pakraman, konflik, perarem
Magister Hukum Udayana • September 2016
Vol. 5, No. 3 : 435 - 446
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Dampak negatif dari
perkembangan pariwisata yaitu banyak lahan produktif yang seharusnya menjadi kawasan konservasi beralih fungsi menjadi pemukiman atau menjadi fasilitas pariwisata. Pembangunan hotel, villa, resort, restaurant atau sejenisnya yang dibangun pada tempat yang seharusnya tidak boleh adanya bangunan. Jika hal tersebut di atas dibiarkan terus menerus maka lahan pertanian di Bali akan menjadi habis dan beralih fungsi menjadi bangunan dan gedung-gedung, hal ini sangat disayangkan sekali mengingat masa depan lingkungan dan manusia akan terancam oleh tindakan manusia itu sendiri. Untuk mengatasi hal tersebut peranan desa pakraman dalam mengendalikan laju alih fungsi lahan dan segala dampak yang terjadi sebagai akibat dari alih fungsi lahan tersebut sangatlah dibutuhkan, yang mana eksistensi desa pakraman dapat dilihat dari Pasal 18 B UUD 1945 yang mengatur bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional nya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan republik indonesia yang diatur dalam undang-undang”. Jadi syarat masih diakuinya desa pakraman yaitu :
-
1. Sepanjang masih hidup;
-
2. Sesuai dengan perkembangan
masyarakat;
-
3. Sesuai dengan prinsip NKRI; 4. Diatur dengan undang-Undang.
Selain itu eksistensi desa pakraman di Bali diperkuat lagi dengan Peraturan Daerah Propinsi Bali Pakraman yang kemudian diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman. Yang dimaksud dengan desa pekraman berdasarkan Pasal 1 angka 4 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yaitu “kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di provinsi Bali yang mempunyai kesatuan tradisi dan tata karma pergaulan hidup umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan khayangan tiga atau khayangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. Dengan diberikannya hak untuk mengurus rumah tangganya sendiri, maka memberikan suatu hak bagi desa pakraman untuk mempertahankan hal-hal yang dianggap mengancam hak-hak tradisonalnya, yaitu salah satunya alih fungsi lahan pertanian dimana sebagai besar masyarakat desa pakraman bermata pencaharian sebagai petani.
Perubahan lahan pertanian menjadigedung-gedung, menimbulkan ketakutan tersendiri bagi krama Desa Pakraman Tunjuk, apalagi Desa Pakraman Buahan yang merupakan tetangga dari Desa Pakraman Tunjuk, telah mengijinkan pengembang untuk masuk ke desa mereka, yaitu
Magister Hukum Udayana • September2016
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 5, No. 3 : 435 - 446
diawali dengan pembukaan lahan untuk pembangunan perumahan bagi anggota TNI, sehingga pada awal tahun 2012, pengembang mulai melakukan pembukaan lahan di Desa Pakraman Tunjuk yang diawali dengan pembukaan lahan di wilayah Subak Kelod yang merupakan salah satu organisasi subak yang menaungi wilayah subak paling selatan dari Desa Pakraman Tunjuk. Perkembangan pengembang ke wilayah Desa Pakraman Tunjuk, maka timbullah konflik antara pengembang dan krama Desa Pakraman Tunjuk.
Dari uraian latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menulis tentang Peran Desa Pakraman Dalam Pembentukan Perarem Terkait Penyelesaian Konflik Alih Fungsi Lahan (Studi Kasus di Desa Pakraman Tunjuk, Kabupaten Tabanan), dengan menarik rumusan masalah latar belakang di atas, maka ditarik rumusan masalah yaitu bagaimana peran desa pekraman dalam pembentukan perarem terkait penyelesaian konflik alih fungsi lahan pertanian?
Karya ilmiah mengenai desa pakraman memang sudah banyak diangkat, antara lain ada beberapa karya ilmiah yang memiliki kemiripan dengan karya ilmiah yang penulis angkat antara lain :
-
3. Jurnal milik I Gusti Ayu Agung Ariani dan Ni Nyoman Sukerti berjudul Eksistensi Otonomi Desa Pakraman Dalam Kerangka
Otonomi Daerah Khususnya Dalam Pengelolaan Obyek wisata.
-
3. Jurnal milik Ni Putu Puja
Sukmiwati dan I Ketut Sudiarta yang berjudul Peran Desa Pakraman Dalam Penyelenggaraan Otonomi Pemerintahan Desa.
-
4. Jurnal milik A.A Istri Atu Ari
Dewi yang berjudul Eksistensi Otonomi Desa Pakraman Dalam Perspektif Pluralisme Hukum.
Dari ketiga jurnal tersebut memang memiliki kesamaan dengan karya ilmiah yang dibuat penulis yaitu memiliki obyek yang sama yaitu desa pakraman, namun yang berbeda dan menarik dari karya ilmiah yang dibuat penulis yaitu penulis membahas tentang peranan desa pakraman dalam pembuatan perarem dalam penyelesaian konflik alih fungsi lahan yang mana penelitian dilakukan di Desa Pakraman Tunjuk, sehingga hal tersebut menjadi sesuatu yang penting untuk diketahui bahwa desa pakraman memiliki peranan yang penting dalam pengendalian alih fungsi lahan.
Tujuan dari penelitian yang dilakukan penulis adalah untuk memberikan kesadaran bagi desa pakraman bahwa desa pakraman memiliki peran yang penting dalam pengendalian alih fungsi lahan di Bali. Peran dari desa pakraman dalam pengendalian alih fungsi lahan tersebut salah satunya adalah dalam pembuatan
Magister Hukum Udayana • September 2016
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 5, No. 3 : 435 - 446
perarem yang mengatur tentang alih fungsi lahan pertanian sehingga konflik-konflik yang mungkin terjadi dapat dicegah.
Penelitian ini digolongkan sebagai penelitian empiris karena melihat ketentuan hukum normatif secara in action pada setiap peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat3, sehingga dapat dilihat peran dari desa pakraman dalam pembentukan perarem terkait penyelesaian konflik alih fungsi lahan pertanian.
Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder, di mana data primer diperoleh dari data di lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen dan literatur terkait.
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara dengan menggunakan menggunakan interview guide sebagai pedoman sehingga wawancara dapat lebih efektif, sedangkan data sekunder yang digunakan bersumber dari dokumen dan literatur-literatur terkait.
Abdul Kadir Mahmud, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 134
Teknik pengolahan dan analisis data menggunakan metode kualitatif dengan analisa situasional4. Dalam penelitian yang dilakukan penulis menganalisa dan mendeskripsikan keadaan dan situasi yang terjadi di lokasi penelitian sehingga memberikan gambaran tentang peran Desa Pakraman Tunjuk dalam membentuk perarem terkait penanggulangan konflik alih fungsi lahan pertanian.
-
III. HASIL DAN
PEMBAHASAN
Desa Pakraman Tunjuk merupakan salah satu desa pakraman yang terletak di Kabupaten Tabanan yang berjarak kurang lebih 8 Km dari Kota Tabanan, merupakan wilayah Kecamatan Tabanan yang paling utara dan berbatasan langsung dengan Kecamatan Marga dan Kecamatan Penebel. Desa Pakraman Tunjuk terdiri dari 12 banjar pekraman yaitu Banjar Pakraman Dwi Dharma Bungan Kapal, Banjar Pakraman Dharma Kerti Legung, Banjar Pakraman Sad Guna Tunjuk Kaja, Banjar Pakraman Subanyar Banjar Anyar, Banjar Pakraman Sari Mekar Tunjuk Tengah,
Magister Hukum Udayana • September2016
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 5, No. 3 : 435 - 446
Banjar Pakraman Eka Kertha Banjar Lebah, Banjar Pakraman Eka Dharma I Delod Yeh, Banjar Pakraman Eka Dharma II Delod Bale Agung, Banjar Pakraman Amertha Nadi Beng Kaja, Banjar Pakraman Dharma Graha Beng Tengah, Banjar Pakraman Beng Menesa Beng Menesa, Banjar Pakraman Panca Asrama Beng Pande.
Istilah desa pakraman mulai dipergunakan sejak dikeluarkannya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Sebelumnya, istilah yang digunakan adalah desa adat sesuai Peraturan Daerah 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang diubah menjadi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 dengan jelas mendefinisikan desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan khayangan tiga atau khayangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Adat dan kebiasaan masyarakat Hindu di Bali dipelihara, dibina dan dipimpin oleh suatu lembaga yang bernama desa adat, yaitu suatu desa yang berbeda status, kedudukan dan fungsinya dengan desa dinas (desa administratif pemerintahan), baik ditinjau dari segi pemerintahan maupun dari sudut pandang masyarakat, dengan penjelasan bahwa desa adat ialah desa yang dilihat dari fungsinya di bidang adat (desa yang hidup secara tradisional sebagai perwujudan dari lembaga adat), sedangkan desa dinas dilihat dari fungsinya di bidang pemerintahan merupakan lembaga pemerintah yang paling terbawah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah5 .
Desa adat Menurut I Gusti Gede Raka yaitu kesatuan wilayah yang warganya memegang keteguhan nilai keagamaan untuk memelihara kesucian desa :
-
1. merupakan suatu kesatuan
wilayah dimana para warganya secara bersama-sama mengkonsepsikan dan mengaktifkan upacara-upacara keagamaan untuk memelihara kesucian desa, memiliki rasa persatuan karena terikat oleh karang desa, awig-awig dan Khayangan Tiga.
-
2. Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di
Magister Hukum Udayana • September 2016
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 5, No. 3 : 435 - 446
Propinsi Bali yang mempiliki kesatuan tradisi dan tata karma pergaulan hidup masyarkat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan khayangan tiga yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri6.
Dalam hal ini Ketut Sukadana menyebutkan unsur-unsur dari desa adat sebagai masyarkat hukum adat sebagai berikut :
-
1. Menunjukkan bentuk suatu
kesatuan wilayah.
-
2. Mewujudkan satu kesatuan
kekerabatan berupa Krama Desa, dan terhimpun dalam banjarbanjar yang tidak terpisahkan dari kegiatan desa adat.
-
3. Memiliki kesatuan tempat pemujaan Khayangan Tiga
-
4. adanya ayahan ke desa (Tugas dan kewajiban sebagai krama desa).
-
5. Memiliki struktur pemerintahan, Awig-awig dan Milik Desa (druwe desa7.
Awig-awig memuat aturan-aturan dasar yang menyangkut wilayah adat, krama desa adat, keagamaan serta sanksi. Awig-awig desa adat, merupakan hukum adat yang mempunyai fungsi untuk
mengatur dan mengendalikan perilaku warga masyarakat dalam pergaulan hidupnya guna mencapai ketertiban dan ketentraman masyarakat. Arti penting awig-awig adalah merupakan pengikat persatuan dan kesatuan krama desa guna menjamin kekompakan dan keutuhan dalam manyatukan tujuan bersama mewujudkan kehidupan yang aman, tertib, dan sejahtera di wilayah desa adat 8.
Awig-awig yang hidup dalam masyarakat berlandaskan falsafah Tri Hita Karana (tiga dasar kebahagian), dengan penjabaran Tri Hita Karana adalah sebagai berikut:
-
1. Hubungan manusia dengan
Tuhannya yang diaktualisasikan dalam wujud Parhyangan (adanya Kayangan Tiga, Kayangan Desa dan lain-lain).
-
2. Hubungan manusia dengan
sesamanya yang diaktualisasikan dalam wujud Pawongan.
-
3. Hubungan manusia dengan alam lingkungannya yang diaktualisasikan dalam wujud Palemahan.
-
3. 3 Peran Desa Pakraman Tunjuk Dalam Pembentukan Perarem Terkait Penyelesaian Konflik Alih Fungsi Lahan Pertanian Desa Pakraman Tunjuk yang berjarak tidak jauh dari Kota Tabanan,
Magister Hukum Udayana • September2016
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 5, No. 3 : 435 - 446
dengan lokasi lahan pertanian yang datarsehinggasangatstrategisdijadikan lokasi perumahan yang menimbulkan daya tarik bagi pengembang untuk membuka lahan di Desa Pakraman Tunjuk. Selain itu pengembang dapat dengan mudah membuka lahan di Desa Pakraman Tunjuk dikarenakan dalam Awig-awig Desa Pakraman Tunjuk belum memuat tentang pengaturan alih fungsi lahan pertanian.
Pada awal tahun 2012 terjadilah konflik antara sekelompok krama yang tidaksetujudenganadanyapengembang yang masuk ke Desa Pakraman Tunjuk (mereka adalah sekelompok krama yang memiliki lahan di sekitar wilayah Subak Keloda yang mana areal sebelah barat dari Subak Keloda telah dibeli oleh pengembang yang akan membuka tanah kavling) dengan pihak pengembang. Konflik tersebut dipicu oleh ketakutan sekelompok krama akan dampak negatif dari alih fungsi lahan pertanian terhadap desa mereka. Sekelompok krama tersebut takut akan dampak alih fungsi lahan pertanian yang sarat dengan dampak negatif bagi masyarakat Desa Pakraman Tunjuk antara lain :
-
1. Berkurangnya lahan pertanian di Desa Pakraman Tunjuk;
-
2. Bagi krama yang memiliki lahan pertanian disekitar pengavlingan tersebut ketakutan akan turunnya debit air untuk pengairan ke lahan pertanian mereka;
-
3. Masuknya penduduk pendatang yang tidak terkendali yang mengancam keajegan dresta di desa mereka;
-
4. Masalah sampah, di mana jika lahan tersebut dijadikan pemukiman maka tentunya sampah rumah tangga akan menjadi masalah baru;
-
5. Kriminalitas yang meningkat akibat mudahnya akses penduduk pendatang ; dan lain-lain.
Dampak-dampak tersebut diklaim sebagai penyebab sekelompok krama tersebut menentang keberadaan pengembang. Sedangkan di pihak pengembang karena mereka merasa tidak ada aturan yang melarang maka selama pembebasan lahan berhasil mereka lakukan, demi mendapatkan keuntungan, maka mereka tetap melakukan pengavlingan di Desa Pekraman Tunjuk.
Untuk mengatasi terjadinya konflik pertanahan selain adanya keberpihakan regulasi pertanahan nasional terhadap pengakuan, perlindungan dan penghormatan akan hak-hak masyarakat adat, diperlukan juga adanya peran Desa Pakraman dalam mengawal dan menyelesaikan berbagai konflik pertanahan yang terjadi. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang diubah menjadi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 menyebutkan bahwa, Desa Pakraman
Magister Hukum Udayana • September 2016
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 5, No. 3 : 435 - 446
memiliki tugas antara lain : a) membuat peraturan desa (awig-awig); b) mengatur warga (krama) desa; c) mengatur pengelolaan harta kekayaan desa; d) bersama-sama pemerintah daerah melaksanakan pembangunan di segala bidang, terutama bidang kehidupan keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan; e) membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya, berdasarkan prinsip paras-paros, sagilik-saguluk, salunglung-sabayantaka (musyawarah mufakat); dan (f) mengayomi krama desa. Selanjutnya dalam Pasal 6 menyebutkan kewenangan yang dimiliki oleh Desa Pakraman antara lain : (1) menyelesaikan sengketa tanah adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar krama desa sesuai awig-awig dan adat kebiasaan setempat; (2) turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayahnya terutama yang berkaitan dengan konsepsi Tri Hita Karana; dan (3) melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar Desa Pakraman. Dari hal tersebut maka prajuru desa memiliki peranan yang penting dalam menyelesaikan konflik di wilayah desa pakramannya. Menurut Carol Warren, seorang peneliti asing yang meneliti
desa adat dan desa dinas di Bali, menggambarkannya sebagai berikut As adat leaders, klian banjar witness weddings, organize death ceremonies, and conduct routine and special banjar assembly meetings (sangkepan and paruman) and work sessions (ngayah) for ritual purposes. Klian are consulted by members when conflicts arise over marriage, devorce, and inheritance, and in neighbourdhood disputes concerning straying livestock, boundaries, and access rights9. Carol Warren menyebutkan peranan prajuru adat sangat besar dalam kehidupan masyarakat desa yang mana aktivitas-akitvitas prajuru adat meliputi aktivitas sebagai saksi dalam perkawinan, mengatur upacara kematian, menyelenggarakan rapat banjar
(sangkepan) rutin maupun incidental, menyelenggarakan kerjabakti
(ngayah) untuk tujuan upacara, serta menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan persoalan perkawinan, perceraian, pewarisan, dan konflik bertetangga mengenai ternak kesasar, batas-batas wilayah pekarangan, dan lain-lain. Carol Waren jugamenyatakan bahwa dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebut di atas, kemampuan prajuru adat sebagai mediator sangat diperlukan. Dalam masyarakat hukum adat di Bali, baik itu desa pakraman, subak, dan masyarakat hukum adat lainnya, kelembagaan dalam
Magister Hukum Udayana • September2016
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 5, No. 3 : 435 - 446
penyelesaian perkara yang terjadi dilingkunganya masyarakat hukum adat yang bersangkutan umumnya telah ditentukan dalam awig-awignya.
Selain itu jika dikaji berdasarkan Teori Semi Autonomous Social-field dari Sally Falk Moore yaitu mengenai kapasitas kelompok-kelompok sosial (social field) dalam menciptakan mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation) dengan disertai kekuatan-kekuatan pemaksa, di mana setiap kelompok-kelompok masyarakat memiliki kekuasaannya sendiri-sendiri, namun kekuasaan tersebut sangat bergantung pada konteks tertentu di mana kekuasaan negara hampir tidak berperan, sebab setiap masyarakat memiliki wilayah sosial yang semi otonom (semi autonomous social field)10. Semi otonom merupakan suatu fakta bahwa bidang yang kecil dapat menghasilkan suatu aturan-aturan atau kebiasaan, namun di lain pihak bidang yang kecil tersebut rentan terhadap aturan-aturan yang berasal dari luar. Maka jika dikaitkan dengan desa pekraman yaitu di mana desa pekraman memiliki kekuasaan untuk membuat suatu aturan untuk mengatur wilayah dan kramanya untuk kepentingan krama dan desa pakramannya yang mana aturan yang dibuat tidaklah bertentangan dengan konstitusi dan hukum negara.
Dalam kaitannya untuk menangani segala permasalahan dan konflik yang ada maka desa pakraman berwenang untuk melakukan segala sesuatuuntukmenangani permasalahan dan menyelesaikan konflik yang terjadi di wilayahnya. Dalam hal ini lembaga yang berwenang menyelesaikan perkara dilingkungan desa pakraman adalah prajuru desa pakraman, yaitu Kelihan Banjar dan Bendesa/Kelihan Desa sesuaitingkatannya. Halituberarti bahwa prajuru desa pakramanlah yang melaksanakan fungsi sebagai hakim perdamaian desa. Berdasarkan Awig-awig Desa Pakraman Tunjuk, masalah kelembagaan dalam penyelesaian perkara diatur dalam suatu bab (sarga) tersendiri, yaitu Sarga VI tentang Wicara lan Pamidanda. Wicara artinya perkara atau masalah sedangkan pamidanda dapat diterjemahkan sebagai sanksi. Dalam Pawos 83 Awig-awig Desa Pakraman Tunjuk ditegaskan sebagai berikut:
-
(1) Kelihan Banjar wenang mawosin utawi mutusang wicara yening sang mawicara tunggil banjar;
-
(2) Bendesa Adat wenang mawosin utawi mutusang wicara yening:
-
a. Sang mawicara mabinayan banjar;
-
b. Sang mawicara mabinayan desa sakewala mawicara ring wawidangan Desa Adat;
-
c. Wicarane nganinin druwen Desa Adat;
Magister Hukum Udayana • September 2016
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 5, No. 3 : 435 - 446
-
d. Sang mawicara rumasa tan polih tiwakan pamatut ring Kelihan Banjar, raris nunas tatimbang ring Bendesa Adat.
Selanjutnya, dalam Pasal 85 ditegaskan bahwa : ”(1) Desa/Banjar wenang niwakang pamidanda ring karma sane sisip; (2) Sane patut niwakang pamidandane punika tan tiyos Bendesa/Kelihan Banjar”. Teks dalam Pawos 83 dan 85 Awig-awig Desa Pakraman Tunjuk di atas dapat diterjemahkan secara bebas sebagai berikut:
-
1. Kelihan Banjar berwenang menyelesaikan perkara jika para pihak yang berperkara berasal dari banjar yang sama;
-
2. Bendesa Adat berwenang menyelesaikan perkara dalam hal sebagai berikut:
-
a. Para pihak yang berperkara berasal dari banjar yang berbeda;
-
b. Para pihak yang berperkara berasal dari desa yang berbeda tetapi tempat kejadian perkara di wilayah desa pakraman;
-
c. Perkara yang menyangkut milik desa;
-
d. Para pihak yang berperkara merasa tidak memperoleh keadilan dalam penyelesaian perkara pada Kelihan Banjar kemudian minta penyelesaian pada Bendesa Adat.
-
3. Desa pakraman/banjar
berwenang menjatuhkan sanksi kepada krama desa yang bersalah. Yang berwenang menjatuhkan sanksi tersebut adalah Bendesa/ Kelihan Banjar.
Untuk melakukan pengendalian dan mencegah konflik akibat dari alih fungsi lahan di Desa Pakraman Tunjuk, maka prajuru Desa Pakraman Tunjuk melakukan paum atau paruman desa pada tanggal 25 Juli2012 yangdipimpin oleh Kelihan Adat Desa Pakraman Tunjuk, guna membahas segala permasalahan yang ada serta konflik yang terjadi antara sekelompok krama desa pakraman dengan pengembang akibat alih fungsi lahan. Dengan mempertimbangkan segala dampak negatif yang lebih banyak dibanding dampak positif yang diperoleh krama dan Desa Pakraman Tunjuk dari alih fungsi lahan, maka untuk menghentikan semua permasalahan baik itu konflik antara sekelompok krama desa dengan pengembang serta mencegah segala dampak negatif yang akan timbul akibat dari alih fungsi lahan tersebut maka dalam paum atau paruman tersebut diputuskanlah bahwa pengembang dilarang masuk ke Desa Pakraman Tunjuk, di mana keputusan paum atau paruman tersebut ditetapkan dalam suatu perarem desa pakraman yang memiliki fungsi serta kekuatan hukum yang sama dengan awig-awig. Perarem tersebut disahkan pada tanggal 28 Juli 2012, di mana
Magister Hukum Udayana • September2016
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 5, No. 3 : 435 - 446
pengaturan tentang pengendalian alih fungsi lahan pertanian tersebut terdapat pada Pawos 46 (5) yang menyebutkan Pengembang nenten kedadosan ngeranjing ring wewidangan Desa Pakraman Tunjuk atau Pengembang dilarang masuk ke wilayah Desa Pakraman Tunjuk. Dari perarem tersebut maka sudah jelas bahwa Desa Pakraman Tunjuk melarang secara tegas pengembang untuk masuk ke wilayah Desa Pakraman Tunjuk yang tentunya perarem tersebut dibuat agar kesejahteraan, kedamaian dan ketentraman krama Desa Pakraman Tunjuk dapat tetap terjaga dan konflik yang terjadi dapat diselesaikan.
IV. KESIMPULAN
Desa pakraman memiliki peran penting dalam penyelesaian konflik alih fungsi lahan di Desa Pakraman Tunjuk, hal ini dapat ditunjukkan dari peran prajuru desa pakraman dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi sebagai akibat dari alih fungsi lahan, dengan melakukan paum/paruman yang menghasilkan perarem yang berisi tentang larangan pengembang memasuki wilayah Desa Pekraman Tunjuk. Hal itu berarti bahwa prajuru desa pakraman telah melaksanakan fungsinya sebagai hakim perdamaian desa.
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, I Gusti Ayu Agung dan Ni Nyoman Sukerti, 2014, “Eksistensi Otonomi Desa Pakraman Dalam Kerangka Otonomi Daerah Khususnya Dalam Pengelolaan Obyek Wisata”, Jurnal Magister Hukum Udayana, Volume 6 Nomor : 2
Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA) Tingkat I Bali, 1988, Peranan Nilai-Nilai Adat dan Kebudayaan Dalam Menunjang Pembangunan, Proyek
Pemantapan Lembaga Adat, Denpasar.
Moore,Sally Falk, 1978, Law as Process An Anthropological Approach, Routledge &
Kegen Paul, London, Boston, Melbourne and Henly.
Mahmud, Abdul Kadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Raka, I Gusti Gede, 1955, Desa Adat Dalam Arus Administrasi,
Lembaga Pengkajian Budaya Bali, Denpasar.
Sukadana, I Ketut, 2000, “Pola Hubungan Desa Adat dengan Desa”, Kertha Wicaksana Th VI, Denpasar.
Surpa,Wayan, 2002, Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Pustaka Bali Post, Denpasar
Warren, Carol, 1993, Adat and Dinas Balinese Communites in Indonesian State, Oxford University Press, Kualalumpur.
Magister Hukum Udayana • September 2016
Vol. 5, No. 3 : 435 - 446
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang diubah menjadi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2003 Nomor 11)
Awig-awig Desa Pakraman Tunjuk Tahun 2010
Perarem Desa Pakraman Tunjuk Tahun 2012
446
Discussion and feedback