EKSISTENSI OTONOMI DESA PAKRAMAN DALAM PERSPEKTIF PLURALISME HUKUM
on
Vol.7 No.3 2014
ISSN: 2302-528X
EKSISTENSI OTONOMI DESA PAKRAMAN DALAM PERSPEKTIF PLURALISME HUKUM Oleh
Anak Agung Istri Ari Atu Dewi1
ABSTRACT
The purpose of this research is to discover the existence of autonomy of Desa Pakraman in legal pluralism perspective. Related with that purpose, there are two issues that will be discussed, first, how does the existence of the autonomy of Desa Pakraman in Indonesia’s legal system?,Second, how does the existence of the autonomy of Desa Pakraman in legal pluralism perspective?. The research method is normative legal research using statue approach, concept approach and analytical approach and law analysis by using legal interpretation.
Based on the problems, the results of discussion are : first, the existence of the autonomy of Desa Pakraman within the Indonesia’s legal system has regulated in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, national and local Regulations. In the Constitution, specifically Article 18 B of paragraph (2), declare that the states recognizes Desa Pakraman and their traditional rights. In regulation of Law No.5 of 1960 concerning basic Agrarian Law (UUPA), regulation of Human Rights, and regulation of Desa (Village) are clearly recognize Desa Pakraman as traditional institution has traditional rights, one of it is the autonomy of Desa Pakraman. At the local regulation, autonomy Desa Pakraman has regulated in Local Regulation about Desa Pakraman. Second, that existence of autonomy Desa Pakraman in perspective legal pluralism is that the existence autonomy Desa Pakraman is a weak legal pluralism. In perspective weak legal pluralism the state law as a superior and the customary law as an inferior, its position in the hierarchy under State law. As a theory, the semi-autonomous social field from Sally Falk Moore perspectives that Desa Pakraman is semi-autonomous. Desa Pakraman has capacity to hold their village based on the customary law and outomaticly Desa Pakraman to be in framework of state law.
Key words: Existence, autonomy , Desa Pakraman, legal pluralism, Indonesia’s legal system
ISSN: 2302-528X
Magister Hukum Udayana
Bali yang merupakan kelembagaan tradisional otonom yang dilandasi oleh nilai-nilai asli bangsa Indonesia yang bercorak sosial relegius disebut desa pakraman.2 Kelembagaan tersebut dikenal dengan Desa Pakraman. Kelembagaan Desa Pakraman secara yuridis diatur dalam PERDA NO. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
Dalam perspektif historis, eksistensi Desa Pakraman sebagai organisasi social relegius di Bali diyakini telah ada sejak jaman Bali Kuno, yaitu sekitar abad 9-10 masehi. Masyarakat desa pada waktu itu disebut kraman atau karaman, sedangkan untuk menunjuk desa digunakan istilah wanua atau banua, sepertti tercatat dalam prasasti Desa Trunyan abad ke-103.
Untuk menjelaskan keberadaan desa pakraman, sebelumnya perlu diketahui mengenai dualisme pemerintahan desa pada mayarakat Bali. Dualisme pemerintahan tersebut adalah desa pakraman dan desa dinas. Kedua desa ini memiliki perbedaan fungsi. Fungsi Desa Dinas adalah birokrasi administrative dan fungsi desa pakraman adalah sosial relegius.
Pengaturan desa , secara yuridis diatur dengan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa. Penormaan desa diatur dalam Bab Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 yang menegaskan bahwa yang dimaksud desa adalah desa dan desa adat. Dalam ketentuan norma penjelasan Pasal 6 disebutkan bahwa ada ketentuan pilihan terhadap salah satu jenis desa, apakah memilih desa ataukah memilih desa adat, hal ini didasarkan pada alasan agar tidak terjadinya tumpang tindih wilayah dan kewenangan serta duplikasi kelembagaan antara desa dinas dan desa adat.
Berkaitan dengan keberadaan desa pakraman di Bali, sesuai fakta hidup berdampingan dengan kepemerintahan desa dinas. Dalam tataran Peraturan Daerah, desa pakraman diatur dalam PERDA Desa Pakraman. Konsep desa pakraman terdapat dalam Pasal 1 angka 4 yang menyatakan bahwa Desa Pakraman tersebut merupakan kesatuan masyarakat hukum adat (KMHA) yang ada di daerah Bali di mana memiliki kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup secara turun temurun yang terikat dengan Khayangan Tiga atau Kahyangan Desa di desa pakraman, dan desa pakraman juga mempunyai wilayah, memiliki harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus penyelenggaraan pemenrintahannya sendiri. Penormaan dalam Peraturan Daerah ini memberikan dasar bahwa eksistensi desa pakraman di bali melekat prinsip otonomi
![](https://jurnal.harianregional.com/media/10951-1.jpg)
Di sisi lain bahwa Indonesia menganut politik hukum pluralisme yang mendasarkan pada pemberlakuan lebih dari satu sistem hukum (sistem hukum negara). Pluralisme hukum (legal pluralism) dapat diartikan sebagai keragaman hukum yaitu berlakunya lebih dari satu sistem hukum dalam sebuah lingkungan sosial. Berdasarkan uraian diatas, memunculkan isu yang mendasar terkait dengan keberadaan otonomi desa pakraman dalam sistem hukum nasional terkait dengan otonomi penyelenggaraan Pemerintahan Desa , bentuk-bentuk otonomi desa pakraman dala penyelenggaraan pemerintahan desa serta keberadaan otonomi desa pakraman jika dikaitkan dengan pluralisme hukum. Berdasarkan dasar pemikiran tersebut, peneliti mempunyai ketertarikan melakukan penelitian yang lebih mendalam dengan mendasarkan pada judul ”Otonomi Desa Pakraman dalam perspektif Pluralisme Hukum”.
Mendasarkan pada uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu:
-
a. Bagaimanakah eksistensi otonomi desa pakraman dalam tata hukum nasional?
-
b. Bagaimanakah eksistensi otonomi desa pakraman dalam perspektif Pluralisme Hukum?
Tujuan penelitiansecara umum dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
-
1.3.1. Tujuan penelitian secara umum adalah sebagai berikut :
-
1. Untuk mengetahui secara umum perlindungan hukum terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, dalam hal ini desa pakraman.
-
2. Untuk mengetahui secara umum pengakuan hukum terhadap eksistensi Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (desa pakraman) dalam sistem hukum di Indonesia.
-
1.3.2. Tujuan penelitian secara khusus yaitu :
-
1. Untuk mengetahui jawaban mengenai eksistensi otonomi desa pakraman dalam tata hukum nasional.
-
2. Untuk mengetahui jawaban mengenai eksistensi otonomi desa pakraman dalam perspektif pluralisme hukum.
Dalam penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif (normative reacearh), dengan menggunakan bahan hukum dan analisa secara hukum dengan menggunakan interpretasi hukum.
![](https://jurnal.harianregional.com/media/10951-2.jpg)
Berkaitan dengan metode Pendekatan, maka dalam penelitian ini digunakan pendekatan perundang-undangan (the statue approach). Pendekatan perundang-undangan (the ststue approach) dapat dilakukan dengan menelusuri dan menelaah peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan Otonomi Desa pakraman Dalam Penyelenggaraan Desa, Pendekatan konsep hukum (conceptual approach) dilakukan dengan menelaah konsep-konsep para ahli mengenai Pluralisme hukum dan konsep-konsep lain yang terkait serta Pendekatan analitis (analytical approach) adalah suatu pendekatan yang dilakukan dengan menguraikan aturan hukum sehingga mendapat komponen-komponennya atau unsure-unsurnya untuk dapat diterapkan dalam suatu persoalan tertentu yang terkait dengan otonomi desa pakraman dalam perspektif Pluralisme Hukum.
Dalam peneltian ini, bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder4. Pemahaman bahan hukum primer adalah segala dokumen resmi yang mememuat tentang ketentuan-ketentuan hukum, khususnya peraturan-peraturan hukum yang terkait dengan Otonomi Desa
Pakraman, sedangkan bahan hukum sekunder yaitu dokumen atau bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti karya tulis para pakar ilmu hukum yang memiliki relevansi dengan kajian penelitian ini.
Dalam pengumpulan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder peneliti menggunakan metode penelusuran dokumen melalui kepustakaan, internet yang kemudian dicatat secara sistimatis.
Bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang telah dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif, dalam hal menganalisis akan dilakukan interpretasi hukum. Interpretasi adalah pemberian makna pada kata-kata dalam peraturan perundang-undangan serta interpretasi terhadap konsep hukum yang terkait.
Untuk membahas permasalahan yang diajukan, penting dikemukakan terlebih dahulu beberapa konsep yaitu pertama, konsep eksistensi yang pada intinya mendasarkan pada eksistensi de-facto dan eksistensi de-jure. Eksistensi de-facto dan de-jure dapat di lohat dalam konsep pengakuan,
![](https://jurnal.harianregional.com/media/10951-3.jpg)
yang oleh Marhaendra Wija Atmaja5, bahwa pengakuan terhadap keberadaan desa pakraman dilakukan dengan :
-
1. Secara de facto, desa pakraman telah tumbuh dan beraktivitas, jadi tidak tergantung pada faktor luar dirinya.
-
2. Secara de jure, adanya kebijakan publik, baik dalam peraturan perundang-undangan, maupun putusan pengadilan yang mengakui keberadaan desa adat.
Kedua, konsep Otonomi desa pkaraman, otonomi desa pakraman mempunyai landasan yang kuat yang bersumber dari kodratnya sendiri (otonomi asli). Wirtha Griadhi mengungakapkan ada 3 kekuasaan untuk mengatur rumah tangganya yaitu :
-
a. Kekuasaan menetapkan aturan-aturan hukum yang berlaku bagi mereka.
-
b. Kekuasaan untuk menyelenggarakan
kehidupan organisasinya.
-
c. Kekuasaan menyelesaikan persoalan-
persoalan hukum.
Ketiga, konsep pluralisme hukum, menurut F. von Benda Beckmann6, pluralism hukum yaitu bahwa ada lebih dari satu sistem hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat atau
ada beberapa institusi hukum yang secara bersama-sama beraktifitas dan saling berhubungan dalam masyarakat. Selanjutnya Griffiths menekankan pada adanya dua jenis pluralisme hukum yautu weak legal pluralism dan strong legal pluralis7. Pluralisme hukum yang lemah (weak legal pluralism) adalah sama dengan sentralisme hukum, di mana selain mengakui keberadaan pluralisme hukum namun hukum negara tetap dipandang sebagai superior sedangkan pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralis) memandang bahwa semua sistem hukum sama kedudukannya dalam masyarakat, tidak ada hirarki (tingkatan) dari system hukum tersebut.
Berbicara masalah eksistensi otonomi desa pakraman dalam tata hukum nasional berarti berbicara masalah pengaturan dan landasan hukum dari keberadaan desa pakraman tersebut. Sebagaimana dikatakan Mahfud MD8 bahwa suatu konsep kebangsaan ini lahir karena dilatarbelakangi oleh kesadaran para pendiri bangsa akan keragaman Bangsa Indonesia yang mana
![](https://jurnal.harianregional.com/media/10951-4.jpg)
terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan ras dan ikatan primordial lainnya. Pengakuan tersebut diwujudkan dalam semboyan Negara yaitu Bhineka Tunggal Ika. Selanjutnya Mahfud juga menyatakan bahwa salah satu bentuk keragaman tersebut adalah adanya masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik, kultur dan budaya yang berbeda satu dengan yang lainnya. Di Bali perwujudan tersebut adalah Desa pakraman.
Berkait dengan eksistensi desa pakraman diakui dalam tata hukum nasional, dapat dikaji mulai dari UUD NRI tahun 1945 atau yang lebih dikenal dengan Konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan menentukan bahwa negara Indonesia mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat (KMHA) dan hak-hak tradisional masyarakat adat sepanjang hal tersebut masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. Penormaan dalam Pasal 18 B ayat (2) tersebut menunjukan adanya pengakuan terhadap keberadaan desa pakraman beserta hak-hak tradisionalnya. Salah satu hak tradisonal desa pakraman adalah menyelenggarakan pemerintahan desa sesuai dengan aturan hukum adat masyarakat setempat. Oleh karena itu, hak-hak tradisional dalam hal ini
berbentuk otonomi desa pakraman diakui dan dihormati oleh negara sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Hak-hak tradisional tersebut oleh Marhaendra Wija Atmaja disebut dengan hak konstitusional. Lebih lanjut dinyatakan bahwa hak konstitusional yang merupakan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat sepanjang: 1. Hak tradisional Masih hidup,
-
2. Sesuai dengan perkembangan jaman,
-
3. Hak tradisional tersebut sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
-
4. Diatur dalam undang-undang9.
Hal di atas ini mencerminkan bahwa secara de facto dan de jure eksistensi desa pakraman dengan hak-hak tradisionalnya diakui dan dilindungi oleh konstitusi. Dalam Pasal 28 I ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional yang terdapat dalam masyarakat adat dihormati dan selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Selanjutnya Undang-Undang Hak Asasi Manusia khususnya dalam Pasal 6 ayat (1) pada dasarnya menyatakan bahwa Pemerintah, Hukum dan masyarakat harus memperhatikan dan melindungi perbedaan yang terdapat dalam masyarakat hukum adat,
![](https://jurnal.harianregional.com/media/10951-5.jpg)
sedangkan pada ayat (2) dinyatakan bahwa identitas budaya masyarakat hukum adat dan juga hak atas tanah ulayat harus mendapat perlindungan sesuai dengan perkembangan jaman. Dalam UU HAM tersebut diatur norma tentang perlindungan terhadap perbedaan dan identtas budaya masyarakat hukum adat yang tidak lain termasuk otonomi desa pakraman.
Berkaitan dengan tanah ulayat pengakuan otonomi desa pakraman dapat dilihat dalam Pasal 3 UUPA. Menurut Budi Harsono10, pengakuan tersebut disertakan dengan dua syarat antara lain :
-
1. Mengenai eksistensinya ; di mana hak ulayat masyarakat adat diakui sepanjang dalam kenyataannya masih ada. Hal ini mempunyai makna bahwa di daerah-daerah yang hak ulayatnya tidak ada maka tidak akan dihidupkan kembali. Selanjutnya apabila di dalam masyarakat adat di suatu daerah yang tidak pernah ada hak ulayat maka hak ulayat tidak akan dilahirkan hak ulayat baru.
-
2. Mengenai pelaksanaannya ; bahwa pelaksanaan hak ulayat pada masyarakat adat harus disesuai dengan kepentingan nasional dan Negara .
Selanjutnya pengakuan otonomi desa pakraman dapat juga dilihat dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
khususnya dalam Pasal 97 pada intinya pengakuan terhadap hak tradisional dan substansi hak tradisional kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup baik yang bersifat territorial, genealogis dan fungsional. Hal ini mempunyai maksud bahwa secara eksplisit pemberian pengakuan terhadap otonomi desa pakraman dalam bentuknya hak tradisional desa pakraman.
Dalam tata hukum lokal keberadaan desa pakraman diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali tentang Desa Pakraman yang menentukan bahwa desa pakraman PERDA Desa mendapat perlindungan dan pengakuan yang kuat melalui PERDA. Hal ini juga menunjukan bahwa PERDA Desa Pakraman juga mengakui hak tradisional desa pakraman yang salah satu bentuknya adalah otonomi desa pakraman.
-
3. 2. Eksistensi otonomi desa pakraman dalam perspektif Pluralisme Hukum Desa Pakraman sebagai organisasi sosial relegius yang otonom dapat diartikan bahwa Desa Pakraman berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Eksistensi otonomi desa pakraman ini mempunyai dasar yang kuat yaitu bersumber dari kodratnya sendiri (otonomi asli) juga bersumber dari konstitusi yang mendapat pengakuan yang secara yuridis formal dalam Pasal 18 B Ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Berdasarkan rujukan dari Wirtha Griadi, bahwa ada tiga hal pokok yang
![](https://jurnal.harianregional.com/media/10951-6.jpg)
terdapat dalam otonomi desa pakraman (kewenangan Desa Pakraman) yang meliputi : Pertama lingkup kewenangan Desa Pakraman dalam menyelesaikan kasus yang mencakup sengketa yang dibatasi dengan sengketa adat dan agama, sehingga masalah pelanggaran hukum yang berkaitan dengan tindak pidana umum bukan menjadi lingkup kewenangan Desa Pakraman untuk menyelesaikannya. Kecuali pelanggaran itu bersifat pelanggaran hukum campuran dalam artian selain melanggar tindak pidana umum dia juga melanggar tindak pidana adat. Kedua bahwa penyelesaian suatu sengketa dapat dilakukan oleh Desa Pakraman melalui prajuru adat. Prajuru adat tersebut bertindak sebagai hakim perdamaian desa dalam menyelesaikan kasus. Bentuk dari penyelesaian itu adalah ada berupa keputusan dan perdamaian. Bentuk penyelesaiannya berupa keputusan diberikan bila melakukan pelanggaran hukum adat sedangkan bentuk perdamaian berlaku untuk kasus atau sengketa dalam hal ini sengketa adat. Terhadap hal ini UU Darurat No. 1 tahun 1951 jo. Pasal 3 RO dapat dijadikan landasan bagi eksistensi hakim perdamaian desa11 (Menurut Undnag-undang ini Hakim Desa tetap diberi kewenangan untuk mengadili perkara-perkara menurut hukum adat sebagaimana diatur dalam Pasal 3 a RO.
Dalam Pasal 3 a RO dinnyatakan bahwa hakim desa mengadili perkara yang berkaitan hukum adat dan mereka tidak boleh menjatuhkan hukuman sebagaimana hukuman yang bentuk dan jenisnya sama diatur dalam hukum Negara (KUHP, dan lain-lain) sehingga tidaklah ada halanagan para hakim untuk menjautkan sanksi adat seperti yang telah diatur dalam awig-awig Desa Pakraman. Ketiga, bahwa desa pakraman dapat menyelesaikan kasus dengan berpedoman pada awig-awig Desa Pakraman.
Memahami keberadaan otonomi desa pakraman dengan 3 (tiga) kewenangannya sebagaimana disebut di atas, maka tampak desa pakraman memiliki otonomi mutlak dalam mengelola dan penyelenggaraan kepemerintahan di desa pakraman. Mendasarkan pemikiran pada Konstitusi khususnya Pasal 18 B ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dengan eksplisit menyatakan pengakuan dan penghormatan terhadap desa pakraman beserta hak tradisionalnya (salah satu bentuk kesatuan masyarakat hukum adat). Dalam ketentuan tersebut juga di tegaskan bahwa dalam pengakuan dan penghormatan tersebut perlu disesuaikan dengan prinsip-prinsip Negara dan diatur dalam Undang-Undang. Katentuan bersyarat ini menunjukan bahwa eksistensi otonomi desa pakraman tidak mutlak.
Berhubungan dengan keberadaan hak
![](https://jurnal.harianregional.com/media/10951-7.jpg)
tradisional masyarakat hukum adat yang amat beraneka ragam di masing masing daerah, yang oleh Sulistyowati Irianto12 disebut dengan gejala pluralisme hukum. Selanjutnya merujuk Teorinya Griffiths yang mengemukakan konsep pluralisme hukum sebagai suatu lapangan social yang di dalamnya terdapat lebih dari satu tatanan hukum (in social field of more than one legal order)13. Berdasarkan pendapat Griffiths, ada 2 (dua) macam pluralism hukum yaitu weak legal pluralism (plularisme hukum lemah) dan strong legal pluralism yaitu pluralism hukum kuat.. Pemahaman terhadap pluralisme hukum lemah adalah merupakan bentuk lain dari sentralisme hukum dimana selain pengakuan terhadap adanya pluralism hukum (system hukum adat) dan di sisi lain pengakuan terhadap hukum Negara dipandang tetap sebagai hukum yang lebih kuat (superior). Sesuai dengan teorinya Griffiths, Hooker juga menyatakan “the term pluralism refers to the situations in which two or more laws interact”. Pernyataan ini mempunyai makna bahwa meskipun megakui adanya berbagai jenis sistem hukum namun tetap menekankan bahwa adanya pertentangan antara sistem yang dominan atau superior (hukum Negara) dengan sistem
yang inferior (hukum adat). Sedangkan Pluralisme hukum kuat (strong legal pluralism) memberikan pandangan bahwa semua sistem hukum dipandanng sama posisinya di masyarakat, bahwa diantara system tersebut tidak terdapat hirarki yang menunjukan sistem hukum yang satu lebih tinggi dari yang lain.
Paradigma lain yang tentang pluralisme hukum dikemukakan oleh Sally Falk Moore dengan teorinya the semi-autonomous social field yang menyatakan ”Law is the self regulation of a semi-autonomous social field”14. Teori ini memberikan penekanan pada otonomi yang sebagian atau semi-otonom. Semi otonom merupakan suatu fakta bahwa bidang yang kecil dapat menghasilkan aturan-aturan dan adat kebiasaan, namun dilain pihak bidang yang kecil tersebut juga rentan terhadap aturan-aturan yang berasal dari dunia luar yang mengelilinginya. Bagi Sally Falk Moore seluruh aneka norma dan aturan yang muncul dari individu ataupun masyarakat tetentu dapat berfungsi sebagai hukum. Lebih lanjut karakteristik teori Sally Falk Moore menekankan pada kemampuan untuk menciptakan aturan-aturanatau hukum yang berlaku dalam lingkungannya sendiri dan mendorong bahkan memaksa warganya
![](https://jurnal.harianregional.com/media/10951-8.jpg)
untuk mentaati aturan tersebut. Disisi lain aturan yang diciptakan tersebut rentan terhadap aturan-aturan dan kekuatan dari luar yang lebih besar dan mengelilinginya.
Teori Sally Falk Moore tentang semi otonom sesuai dengan teori Griffiths yaitu weak legal pluralism (plularisme hukum lemah). Dalam teori ini di tekankan bahwa sistem hukum satu berada di lingkungan sistem hukum lain yang lebih besar. Hal ini sama dengan keberadaan dan keberlakuan sistem hukum di Indonesia yaitu ada berlakunya sistem hukum adat dan berlakunya sistem hukum Negara. Memahami teori ini bahwa sistem hukum adat merupakan sistem hukum dispesifikasikan sebagai aturan atau bidang hukum yang lebih kecil (inferior) sedangkan sistem hukum Negara dispesifikasikan sebagai aturan yang lebih dominan (superior).
Terkait dengan eksistensi otonomi desa pakraman yang merupakan bagian dari hukum adat, sesuai dengan Teori Griffiths maka eksistensi otonomi desa pakraman termasuk dalam weak legal pluralism (pluralism hukum yang lemah). Apabila mengkaji otonomi desa pakraman berdasarkan teori Saly Falk Moore, maka otonomi desa pakraman tersebut termasuk semi otonom atau otonomi yang tidak mutlak, dalam artian masih dipengaruhi oleh hukum Negara (aturan yang dominan). Hal ini mempunyai maksud bahwa posisi tatanan
hukum negara juga menentukan keberlakuan hukum yang lain seperti hukum adat.
-
IV. PENUTUP
Berdasarkan uraian dalam Bab pembahasan di atas, peneliti dapat
menyimpulkan, yaitu :
-
1. Eksistensi otonomi desa pakraman dalam tata hukum nasional telah diatur dan diakui dalam Konstitusi yaitu dalam Pasal 18 B ayat (2) yang merupakan landasan formal yang mengakui kemajemukan hukum atau pluralsme hukum (hukum adat). Secara konstitusional pernyataan hukum yang terkandung dalam Pasal 18 B Ayat (2) adalah Pengakuan dan penghormatan kesatuan masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya oleh Negara sepanjang hak tersebut masih hidup. Selanjutnya pengakuan otonomi desa pakraman juga terdapat dalam Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria, di mana terkandung makna Negara Indonesia mengakui hak ulayat desa pakraman . Ini dapat diartikan bahwa Negara juga mengakui hak tradional desa pakraman. Selanjutnya pengakuan dan penghormatan
sebagaimana di sampaikan di atas , dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM khususnya diatur dalam Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan bahwa hukum, masyarakat dan pemerintah
![](https://jurnal.harianregional.com/media/10951-9.jpg)
memperhatikan dan melindungi perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam masyarakat hukum adat dan pada ayat (2) menyatakan bahwa identitas budaya suatu masyarakat hukum adat, termasuk juga hak atas tanah ulayat wajib dilindungi oleh hukum, mayarakat dan pemerintah. Pengakuan otonomi desa pakraman juga dapat dilihat dalam Undang-Undang Desa yang secara khususnya diatur dalam pasal 97 yang dengan tegas menyatakan pengakuan terhadap hak-hak tradisional kesatuan masyarrakat hukum adat ( desa pakraman). Di tatanan hukum lokal, eksistensi otonomi desa pakraman terdapat dalam PERDA Desa Pakraman yang secara tegas diatur dalam Pasal 5 huruf a dan huruf b bahwa Desa pakraman mempunyai tugas membuat awig-awig; dan mengatur krama desa. Berikutnya dalam Pasal 6 huruf a menyataka bahwa Desa pakraman mempunyai kewenangan dalam menyelesaikan sengketa adat dan juga mempunyai kewenangan untuk turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di daerahnya terutama yang berkaitan dengan Tri Hita Karana; serta dapat melakukan perbuatan hukum baik di dalam mapun di luar desa pakraman. Otonomi Desa Pakraman juga dapat dilihat dalam Pasal 7 ayat (1) yang
menyebutkan bahwa Desa pakraman dipimpin oleh prajuru desa pakraman. Desa pakraman berfungsi dan berperan mengatur kehidupan krama desa yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh prajuru desa.
-
2. Eksistensi otonomi desa pakraman dalam persepektif pluralism hukum adalah semi otonom atau otonomi yang tidak mutlak. Pernyataan ini merujuk pada teori Pluralisme hukum dari Jhon Griffith yaitu Weak legal Pluralism (pluralism hukum yang lemah), ini menunjukan bahwa otonomi desa pakraman tetap mengacu pada sistem hukum Negara. Merujuk teori the semi-autonomous social field dari Sally Falk Moore, bahwa desa pakraman yang merupakan koelompok semi-otonom memiliki kapasitas untuk menyelenggarakan desanya berdasarkan aturan hukum adatnya dan sekaligus desa pakraman berada dalam suatu kerangka tatanan hukum negara. Jadi jelas bahwa otonomi desa pakraman dalam penyelenggaraan pemerintah desa masih bersifat semi-otonom (otonomi tidak mutlak).
Berdasarkan simpulan di atas maka dapat disarankan :
-
1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk memahami lebih jelas tentang konsep otonomi desa pakraman, karena ada
berbagai macam penafsiran tentang otonomi desa pakraman di masyarakat.
-
2. Fakta hukum yang ada adalah bahwa di Indonesia keberlakuan sistem hukum lebih dari satu. Keadaan seperti ini menunjukan ada pluralisme hukum yaitu selain berlakunya sistem hukum negara juga berlaku sistem hukum adat. Sesuai dengan fakta hukum yang ada hendaknya dalam perencanaan, pembentukan dan pelaksanaan hukum di Indonesia di sinergikan hukum negara dengan hukum adat tanpa mengalahkan satu dengan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Boedi Harsono, 1995, Hukum agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA , Isi dan Pelaksanaannya, Jambatan Jakarta.
Franz dan Keebet Von Benda Beckmann,2001, Jaminan Sosial, umber Daya Alam dan Kompleksitas Hukum, dalam Franz von benda Beckman, Keebet Von Benda Beckmann, Juliette Koning, Ed Sumber Daya Alam dan Jaminan Sosial, Pustaka Pelajar.
Mahfud MD, Moh, 2010, Revitalisasi Masyarakat Hukum Adat Dalam Kerangka UUD 1945 Menyongsong Globalisasi, Makamah Konstitusi
Republik Indonesia, Jakarta.
Marhaendra Wija Atmaja, Gede, 2008, “Eksistensi Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Politik Hukum
Nasional: Pengakuan Hak-Hak Desa Pakraman dan Subak”, Fakultas Hukum Universitas Udayana.
-------------------------------------, 2012, Politik Pluralisme Hukum Dalam
Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dengan Peraturan Daerah, Ringkasan Disertasi
Program Doktor Ilmu hukum Universitas Brawijaya, Malang.
Otje Salman Soemadiningrat, 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontenporer, Alumni Bandung.
Parimartha, I Gede 1998, “Desa Pakraman Dalam Perpektif Sejarah”, dalam Dinamika Kebudayaan Vol 1, Universitas Udayana, Denpasar.
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media Jakarta.
Sulistyowati Hartono, 2003, Pluralisme Hukum Dan Masyarakat Saat Krisis, Dalam E.K.M. Masinambow. Ed. Hukum Dan Kemajemukan Budaya, Yayasan Obor Indonesia.
Sally Falk Moore, 2001, Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial Semi-Otonom Sebagai Suatu Topik Studi Yang Tepat, DalamT.O. Ihromi, Ed. Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia.
Sirtha, I Nyoman, 1999, “Strategi Pemberdayaan Desa Adat dengan Pembentukan Forum Komunuikasi Antar Desa Adat”, Kertha Patrika No 71, Tahun XXIV, Mei 1999.
Wirtha Griadhi, I Ketut, 2001, Peranan Otonomi Desa Adat dalam Pembangunan, dalam Surpha I Wayan Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, BP Denpasar.
Undang-Undang Dasar Negara Republik
![](https://jurnal.harianregional.com/media/10951-11.jpg)
Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 sebagaiman di ubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman.
528
Discussion and feedback