Pola Hubungan Desa Adat dan Desa Dinas dalam Penanganan Penduduk Pendatang di Bali
on
Pola Hubungan Desa Adat dan Desa Dinas dalam Penanganan Penduduk Pendatang di Bali
Ni Putu Purwanti1, Ni Nyoman Sukerti2
-
1 Fakultas Hukum Universitas Udayana E-mail: [email protected]
-
2 Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 20 Juli 2023
Diterima: 28 Desember 2023
Terbit: 30 Desember 2023
Keywords:
Relationship Patterns, Traditional Bali Villages, Immigrants.
Kata kunci:
Pola Hubungan, Desa Adat Bali, Penduduk Pendatang.
Corresponding Author:
Ni NyomanSukerti,
Email:
DOI:
10.24843/JMHU.2023.v12.i0
4.p10
Abstract
This study aims to find and analyze the relationship patterns of traditional villages and official villages in handling migrants in Bali. The research method is empirical legal research, relying on field data as primary data. The results of the study show that the pattern of the relationship between the traditional village and the official village in handling the immigrant population is synergized so that a harmonious relationship is established in carrying out their respective functions. Regarding the immigrant population, they are divided into immigrants who are Hindu and those who are not, living permanently or temporarily. The Hindu immigrant population is closely related to the local traditional village and the official village, while the non-Hindu are limited to the official village. The attitude of the immigrant population to the policies taken by the traditional village and the official village, the results of the study show that, those who are Hindus in relation to traditional villages, vary widely, some participate as indigenous people and some do not. In relation to the official village, both Hindu and non-Hindu there is no difference. The policies taken, such as security and cleaning fees, are collected every month, the amount of which varies greatly from village to village. The handling of the immigrant population is going in harmony.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan menganalisis tentang pola hubungan desa adat dan desa dinas dalam penanganan penduduk pendatang di Bali. Metode penelitiannya adalah penelitian hukum empiris, bertumpu pada data lapangan sebagai data primer. Hasil penelitian menunjukan bahwa pola hubungan desa adat dan desa dinas dalam penanganan penduduk pendatang, adanya sinergi sehingga terjalin hubungan yang harmonis dalam mejalankan fungsinya masing-masing. Terkait penduduk pendatang itu dibedakan menjadi penduduk pendatang yang beragama Hindu dan tidak, tinggal menetap atau sementara. Penduduk pendatang yang beragama Hindu ini erat kaitannya dengan desa adat setempat dan desa dinas, sementara yang non Hindu terbatas pada desa dinas. Sikap penduduk pendatang terhahadap kebijakan yang diambil desa adat dan desa dinas, hasil penelitian menunujukan bahwa, yang beragama Hindu dalam hubungan dengan desa adat, sangat bervariasi, ada yang ikut sebagai warga adat ada juga tidak. Dalam hubungannya dengan desa dinas baik beragama Hindu maupun non Hindu tidak ada
perbedaan. Kebijakan yang diambil seperti uang keamanan dan kebersihan yang dipungut setiap bulannya dengan besarannya sangat bervariasi antara desa yang satu dengan yang lainnya. Penanganan penduduk pendatang, berjalan dengan harmonis.
Keindahan pulau Bali sudah kesohor baik dalam negeri maupun luar negeri. Pulau Bali dengan berbagai sebutan salah satunya pulau dewata karena banyaknya tempat suci yaitu pura dari tingkatan rumah tangga sampai pada propinsi. Di samping itu juga adat istiadat, budaya yang merupakan reciptio dari agama Hindu dan juga karena keramah tamahan penduduknya. Hal tersebut menjadi daya tarik yang sangat kuat bagi orang luar Bali untuk datang ke Bali baik sekedar menikmati keindahan alamnya, adat, budaya atau yang datang untuk sementara maupun dalam waktu yang lama untuk mencari penghidupan bahkan ada yang tinggal menetap. Kedatangan pendatang ke Bali, memang mempunyai nilai positif seperti tersedianya tenaga kerja yang lebih murah dan mengisi peluang kerja yang tidak mampu dan tidak mau diisi oleh penduduk local Bali. Disamping mempunyai nilai positif, penduduk pendatang dapat juga menimbulkan dampak yang negative. Hal mana dapat dikatakan ibarat mata uang bermata dua.
Dengan keindahan alam, adat, budaya dan agama Hindunya sebagai gaya tarik tersendiri membuat orang datang berbondong-bondong datang ke Bali. Itu sudah tentu membawa dampak mengenai lajunya pertumbuhan penduduk yang sangat cepat. Ini dapat diketahui dari data yang dipublikasikan oleh badan statistic propinsi Bali tahun 2018 yang sudah mencapai angka 8000 jiwa perkilometer dengan laju pertumbuhan penduduk mencapai 7.155 persen1. Hal ini merupakan problem atau masalah yang krusial bagi Bali dalam pendataan penduduk pendatang. Oleh karena penduduk berpengaruh terhadap lingkungan hidup yakni segala benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup. Antara penduduk dengan lingkungan memang saling berpengaruh. Daya tampung lingkungan fisik berpengaruh terhadap kelangsungan hidup dan kesejahteraan penduduk. Jika penduduk melebihi daya tampung lingkungan fisik akan menimbulkan masalah-masalah kependududukan2. Masalah penduduk pendatang juga dikaji oleh Bayu Angga Saputra3, Hal yang tidak jauh berbeda juga dibahas oleh I Ketut Sudantra 4 dan demikian juga A.A.G.R.P. Adnyana 5 . Dengan demikian masalah-
masalah kependudukan dapat menimbulkan kepadatan penduduk yang berdampak pada pengangguran, kriminalitas, prostitusi dan lain sebagainya. Untuk mengatasi masalah- masalah kependudukan Wali Kota Denpasar mengeluarkan Surat keputusan Nomor 593 tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Wali Kota Denpasar Nomor 610 Tahun 2002 tentang perubahan Keputusan Nomor 593 Tahun 2000 tentang Penertiban Penduduk pendatang. Dalam Pasal 1 ayat 3 ditentukan bahwa persyaratan menjadi penduduk pendatang adalah …menyerahkan rekomendasi dari banjar adat atas nama desa pakraman setempat (sekarang desa adat di Bali Perda No.4 Tahun2019). Dalam proses pengawasan, penertiban desa pakraman tercantum dalam Bab III tentang Peranan Desa Adat. Pasal 9 ayat (1) SK No. 610 Tahun 2002 dinyatakan sebagai berikut” perangkat banjar adat diberikan kewenangan melakukan pengawasan, mengkoordinasikan serta menginformasikan keberadaan penduduk pendatang di dalam wilayahnya kepada perangkat desa/kelurahan untuk dilanjutkan kepada camat setempat”. Kemudian dalam tahapan penertiban penduduk pendatang, pelibatan desa adat diatur dalam Pasal 10 yang menyatakan bahwa” dalam rangka pelaksanakan keputusan ini di masing-masing Desa/Kelurahan dan Kecamatan dibentuk Tim penertiban penduduk pendatang dengan melibatkan desa adat, hal senada juga diatur pada Perda Kabupaten Badung no. 5 Tahun 2001 dan Keputusan Bupati Gianyar No. 108 Tahun 2002. Sehubungan adanya dua jenis desa di Bali dalam penanganan penduduk pendatang, maka isu hukumnya dapat dirumuskan sebagai berikut; Bagaimana pola hubungan antara desa adat dan desa dinas dalam penanganan penduduk pendatang? dan bagaimana pula sikap penduduk pendatang terkait kebijakan yang diterapkan oleh desa adat dan desa dinas tersebut?
Berkaitan dengan isu hukum tersebut, maka penelitian ini menjadi penting dan menarik dilakukan untuk mendapatkan jawaban terhadap permasalahan yang diajukan. Terhadap adanya dualisme desa di Bali sudah ada beberapa yang mengkajinya dari berbagai perspektif yakni Dyah Poespita Ernawati, dari sudut Analisis sinergi desa pakraman dan desa dinas dalam partisipasi masyarakat6, hal senada juga diungkap oleh Dewa Bagus Sanjaya, dari perspektif harmonisasi, integrasi desa pakraman dengan desa dinas yang multi etnik 7, dan hal yang tidak jauh berbeda juga dibahas oleh A.A.Ayu Dewi Larantika dari peran desa adat dalam penertiban penduduk pendatang8, demikian juga I Made Restu Putra mengkaji dari hubungan fungsionalnya9 serta I Wayan Wahyu Wira Adytama menguraikan dari perspektif sinergi desa adat dan desa dinas dalam pencegahan covid-1910.
Hukum sebagai ilmu tidak bersifat suegeneris atau berdiri sendiri, akan tetapi eksistensinya atau keberadaannya suegeneris. Artinya ilmu hukum tidak masuk kelompok ilmu eksata dan juga kelompok ilmmu sosial. Sehubungan dengan itu maka ilmu hukum masih membutukan ilmu bantu seperti ilmu politik, sosiologi, antropologi dan psikologi. Dengan keberadaan yang suegeneris itu berdampak pada metode penelitiannya. Dalam ilmu hukum, dikenal dua jenis metode penelitian yakni penelitian hukum normative dan penelitian hukum empiris. Terkait dengan itu, maka penelitian tentang pola hubungan desa adat dan desa dinas dalam penanganan penduduk pendatang di Bali merupakan jenis penelitian hukum empris. Focus penelitian ini, sesuai dengan pendapat Mukti Fajar bahwa keberadaan hukum tidak bisa dilepaskan dari keadaan social masyarakat dan perilaku manusia yang terkait dengan lembaga hukum tersebut11. Ini berarti bahwa hukum selalu bermuara pada masyarakat pendukungnya. Pada penelitian hukum ini relevan dengan pendapat dari Ian Dey, yang menekankan pada data lapangan sebagai data primer. Data digali dengan metode wawancara yang dilengkapi dengan pedodoman wawancara (interview guide), selanjutnya data diolah secara kualitatif dan hasilnya disajikan secara deskriptif analitis 12 . Perlu dijelaskan bahwa pada penelitian hukum empiris, selalu mengacu pada premis hukum normative.
-
3. Hasil Dan Pembahasan
-
3.1. Konsep Desa Adat, Desa dan Penduduk Pendatang.
-
-
a. Desa adat
Dalam kepustakaan hukum adat belum ada satu nama yang tunggal mengenai nama masyarakat hukum adat diantara para ahli hukum adat atau dengan kata lain masyarakat hukum adat disebut dengan berbagai nama di Nusantara ini. Sehubungan dengan itu, ada yang menyebutnya gampong (Aceh), Desa Adat di Bali (Bali), Nagari (Minangkabau) dan lain-lainnya. Terkait dengan itu Dominikus Rato menggambarkan bahwa masyarakat hokum adat adalah merupakan komunitas manusia yang menyatu sebagai paguyuban13 , sementara. Ter Haar dalam Sri Hajati menguraikan bahwa di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkat rakyat jelata terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia lahir batin, mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal14. Khusus untuk di Bali nama masyarakat hukum adat diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali akan tetapi sebelum keluarnya Perda tersebut nama desa adat di Bali Bernama desa Pakraman yang diatur dalam Perda Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, kemudian diubah dengan Perda Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman. Pada Perda No. 4 Th 2019 diatur pada ketentuan umum Pasal 1 angka 8 ditentukan bahwa, Desa Adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang
memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak-hak tradisional, harta kekayaan sendiri, tradisi, tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun dalam ikatan tempat suci (kahyangan tiga atau kahyangan desa), tugas dan kewenangan serta hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Mencermati pengertian tentang desa adat di Bali pada Pasal 1 anggka 8 di atas berarti desa adat mempunyai otonomi yang tidak diberikan oleh Negara.
Desa atau yang di Bali lebih lasim disebut desa dinas adalah diatur dalam Undang-Undang Desa yaitu Undang-Undang No.6 Tahun 2014. Pada Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 1 dicantumkan, Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisisional yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kata desa, di Bali dikenal dengan dua istilah atau nama yaitu desa adat dan desa dinas. Desa adat berfungsi dalam bidang urusan social keagamaan seperti misalnya upacara perkawinan, kematian dan lain-lainnya, sementara desa dinas atau desa berfungsi dalam bidang kepemerintahan seperti misalnya tentang kependudukan yakni tentang pembuatan kartu tanda penduduk, perpindahan penduduk, dan lain-lainnya. Antara desa adat dan desa dinas terjalin hubungan yang harmonis, dalam arti tidak pernah terjadi sengketa antara desa adat dengan desa dinas, justru sebaliknya yang sering terjadi sengketa adalah terjadi sengketa antara desa adat yang satu dengan desa adat yang lainnya dalam hal tertentu misalnya tentang kuburan (setra). Dengan adanya dua jenis desa tersebut seolah-olah terdapat desa kembar di Bali, pada dua jenis desa tersebut mempunyai tugas dan fungsi yang tidak sama atau dengan kata lain tugas dan fungsi dari dua desa tersebut sangat berbeda. Hal tersebut di atas sebagaimana diatur pada Ketentuan umum Pasal 1 angka 8 Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Istilah penduduk didefinisikan dalam Pasal 1 huruf (f) Perda Kependudukan, yang menyatakan bahwa” penduduk adalah orang dalam matranya sebagai diri pribadi, anggota keluarga, anggota masyarakat, warga negara, warga negara asing, dan himpunan kuantitsa yang bertempat tinggal di suatu tempat dalam batas wilayah daerah untuk selamanya atau pada waktu tertentu15. Dengan demikian, dalam konsep yang digunakan oleh Perda Kependudukan tersebut, penduduk meliputi penduduk tetap, penduduk sementara, penduduk musiman, maupun tamu yang berada di suatu wilayah.
Pasal 1 huruf (p) menyatakan bahwa yang dimaksud penduduk sementara adalah penduduk yang tidak menetap yang berada dalam wilayah daerah dengan ijin tinggal terbatas. Yang dimaksud dengan penduduk musiman dijelaskan bahwa setiap orang Indonesia yang dating dari luar daerah dan bertempat tinggal tidak terus menerus. Sementara yang dimaksud dengan tamu seperti didefisikan dalam Pasal 1 huruf (s) adalah setiap orang, baik warga negara Indonesia maupun Warga Negara Asing yang melakukan kunjungan singkat ke daerah bukan untuk bertempat tinggal tetap yang lamanya tidak lebih dari 30 hari atau paling lama 60 hari16.Pada Pasal 1 huruf (q) disebutkan istilah “pendatang baru” yang diartikan sebagai penduduk yang datang akibat mutase kepindahan.
Secara umum penduduk dapat dibedakan menjadi penduduk asli dan penduduk pendatang. Penduduk asli adalah penduduk yang sudah lama dan secara turun temurun tinggal menetap pada suatu wilayah, sementara penduduk pendatang adalah penduduk yang karena suatu hal datang dari daerah lainnya atau negara lain. Di Bali mengenai penduduk pendatang tertuang pada Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 470/1159/B.T. Pem, tertanggal 27 Pebruari 2002, disebutkan bahwa penduduk pendatang adalah akibat mutasi kepindahan dari luar daerah dan telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan. Kemudian lebih ditegaskan lagi dalam Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 470/7587/B.Tapem, tertanggal 14 Nopember 2002 disebut bahwa “Penduduk pendatang diartikan sebagai akibat adanya mutasi kepindahan antar kabupaten/kota atau Propinsi Bali17. Sementara dalam Dokumen Kesepakatan Bersama, Penduduk pendatang diartikan sebagai penduduk yang datang dari luar propinsi Bali18. Penduduk pendatang terdiri dari WNA dan WNI yang dapat dibedakan menjadi:
-
1. Pendatang menetap yaitu pendatang dengan lama tinggal minimal tiga tahun; dan
-
2. Pendatang tinggal sementara yaitu pendatang yang lama tinggal paling lama satu tahun. Kedatangan penduduk pendatang wajib didaftarkan kepada Kepala Desa/Lurah”.
Mengingat di Bali dikenal adanya dua jenis desa, bahkan sering dianggap sebagai desa kembar, dimana sebenarnya masing-masing desa tersebut mempunyai tugas, wewenang dan fungsi yang berbeda, akan tetapi dalam hal tertentu dua jenis desa tersebut dapat bekerja sama dengan baik dalam mengatasi masalah seperti misalnya dalam hal penanganan atau pendataan penduduk pendatang. Sehubungan dengan hal tersebut maka disinilah letak atau titik menariknya hal itu untuk diteliti dan dikaji dalam kaitan bentuk atau pola hubungan dua desa tersebut yakni antara desa adat dan desa dinas terkait penanganan penduduk pendatang walaupun masing-masing desa mempunyai tugas dan fungsi yang berbeda. Hal inilah merupakan keunikan yang
dimiliki desa adat di Bali yang dapat bekerja sama dengan desa dinas untuk mempermudah dalam hal pendataan penduduk pendatang. Di samping itu, juga yang menarik untuk dikaji adalah tentang sikap penduduk pendatang yang tidak mempermasalahkan berkaitan dengan kebijakan kependudukan yang diambil oleh desa adat dan desa dinas tersebut.
Bali sebagai destinasi wisata dunia sudah tidak diragukan lagi gaungnya ini terbukti banyak dikunjungi oleh wisatawan baik oleh wisatawan local atau domestic maupun wisatawan manca negara. Dari para wisatawan tersebut, ada yang sifatnya kunjungan biasa yakni berupa yang hanya beberapa hari atau sementara dan ada juga yang tinggal menetap di Bali. Dalam penelitian ini yang dipakai adalah istilah penduduk pendatang. 19 Penduduk pendatang yang dimaksudkan adalah para pendatang yang datang dari luar daerah yakni daerah kabupaten misalnya pendatang yang datang dari kabupaten lain, pendatang dari propinsi lain atau luar propinsi Bali dan juga pendatang yang datang dari luar Negara Indonesia atau warga negara asing.20
Penduduk pendatang dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu penduduk pendatang tetap dan penduduk pendatang tidak tetap. Penduduk pendatang tetap adalah penduduk atau mereka yang sudah mempunyai rumah tempat tinggal sendiri, sementara penduduk pendatang yang tidak tetap adalah mereka yang tinggal menumpang di tempat orang lain baik dengan cara menyewa, mengontrak atau menumpang karena masih mempunyai hubungan keluarga.
Mengenai penduduk pendatang tetap, beberapa reponden memberikan jawaban yang bervariasi yakni ada diantaranya ikut sebagai warga adat dengan alasan karena tidak terlalu berat, ada juga tidak ikut dengan alasan di daerah asalnya sudah sebagai warga (krama) adat utama (ngarep). Tidak ada salahnya kalau ikut sebagai warga adat lebih dari satu, yang jadi masalah mana kala sama sekali tidak ikut sebagai warga adat dimanamana, ini masalah kedepannya dalam kaitan dengan kematiannya. Hal demikian hanya berlaku bagi para pendatang yang beragama Hindu Bali. Pendatang yang beragama Hindu Bali tersebut, mereka tidak boleh dipaksa harus ikut sebagai warga adat di tempat baru. Penduduk pendatang yang ikut sebagai warga adat konsekuensinya, mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan warga asli seperti hak memakai kuburan dalam hal adanya kematian, kecuali dalam hal ayah-ayahan ada perkecualiannya. Ayah-ayahan dimaksud diganti dengan uang, ini sifat flexibel atau dynamis (sebagimana dituturkan oleh kliat adat Banjar Taruna Bhineka Pemogan). Hal mana merupakan perwujudan dari pada sifat hukum adat sebagai hukum Indonesia asli. Perlu ditetakankan bahwa hukum adat sebagai hukum Indonesia asli, bukan hukum untuk orang Indonesia asli, karena narasi ini sering dirancukan oleh sebagaian orang. Hal mana akibat kurang mengerti dan kurang paham akan hukum adat tersebut.
Makna hukum adat, merupakan hukum Indonesia asli sesuai dengan hasil seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional tanggal 15 s/d 17 Januari 1975 di Jogyakarta yang merumuskan sebagai berikut, Hukum adat sebagai hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang di sana sini mengandung unsur agama21 . Dikatakan hukum Indonesia asli, karena di negara Indonesia berlaku lebih dari satu system hukum atau berlaku pluralisme hukum yakni hukum negara, hukum adat (the living law), hukum kebiasaan (customary law), hukum agama dan hukum warisan colonial Belanda yang sudah dilakukan beberapa perubahan seperti misalnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk wetboek) dan lain-lainnya.
Penduduk pendatang yang tidak tetap, dimana mereka harus melapor dalam waktu 24 jam kepada ketua lingkungan. Dengan adanya laporan kepada ketua lingkungan maka mereka sudah tercatat sebagai penduduk, akibatnya mereka juga dibebani suatu kewajiban. Adapun kewajiban yang dilakukan oleh penduduk pendatang tidak tetap adalah berupa kewajiban membayar iuran yang dipungut setiap bulannya. Mengenai besar kecilnya tergantung dimana mereka tinggal, yang jelas tidak memberatkan bagi mereka. Waktu pemungutan iuran itu juga dipakai sekaligus untuk melakukan control terhadap penduduk pendatang. Control dilakukan untuk mendata para penduduk pendatang tersebut dan sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab dari pengurus lingkungan atau banjar. Dalam hal kedinasan, penduduk pendatang tetap mendapat pelayanan kedinasan untuk semua urusan administrasi yang diperlukan, sedangkan untuk para penduduk pendatang yang tidak tetap (menyewa, mengontrak dan menumpang) hanya mendapat pelayanan dalam pembuatan kartu tanda penduduk (KTP).
Terkait dalam pendataan tentang penduduk pendatang yang tinggal menetap dan yang tidak tinggal menetap terpola adanya hubungan yang harmonis antara desa adat dengan desa dinas. Hubungan harmonis antara dua desa tersebut sesuai dengan tugas dan wewenangnya masing-masing, sebagaiman dijelaskan oleh Nur Siti Solechah bahwa kewenangan desa (dinas) adalah tentang penyelenggaran pemerintahan desa, sementara kewenangan desa pakraman adalah mengurus budaya dan agama Hindu22 Hal demikian juga diungkap oleh Astara dalam Dyah Poespita Ernawati bahwa hubungan desa dinas dan desa adat sangat harmonis23.Hal senada juga diurai oleh Dewa Bagus Sanjaya, bahwa keharmonisan desa dinas dengan desa adat mumunculkan ungkapan satu badan dua kepala. Hubungan harmonis itu sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing dari dua jenis desa tersebut. Desa adat hanya bertugas dalam mengurusi urusan-urusan adat dan agama bagi penduduk pendatang yang ikut sebagai warga adat dan desa dinas bertugas mengurusi dalam fungsi kedinasannya. Sehubungan dengan hal itu, maka dua jenis desa tersebut berkolaborasi dan berjalan berdampingan atau beriringan dalam menangani penduduk pendatang, sehingga
terjalin hubungan yang harmonis atau tidak ada perselisihan dari kedua desa tersebut. Hubungan yang harmonis itu tepat dikaji dengan teori pluralisme hukum dari John Griffiths dalam Sulistyowati Irianto yang menguraikan bahwa adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena social24. Artinya dalam satu lapangan social berlaku lebih dari satu system hukum, dalam hal ini adalah hukum negara di satu sisi dan hukum adat di sisi lainnya. Hal yang senada juga diungkap Sulistyowati Irianto, bahwa kedua kutub itu tidak saling berhadapan, karena dalam kenyataan sehari-hari dimana system hukum bekerja dalam arena social, terjadi interaksi yang tidak dapat dihindarkan antara hukum negara dengan berbagai hukum lain25.
Berlakunya atau berkerjanya lebih dari satu system hukum dalam satu lapangan social yang sama adalah merupakan ciri khas dari suatu masyarakat yang prismatic atau masyarakat majemuk. Ini merupakan keunikan juga bagi masyarakat Bali, yang mana dapat juga sebagai magnet untuk menarik lebih banyak wisatawan baik wisatan local maupun manca negara. Hukum adat masih berlaku dijaman kekinian atau dijaman yang sangat maju baik ilmu pengetahun maupun teknologi karena diatur dalam konstitusi yaitu pada Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 hasil amandemen ke II, yang berbunyi sebagai berikut: Negara mengakui dan menghomati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Mencermati isi Pasal tersebut tidak ditemukan tentang hukum adat, akan tetapi yang ada negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya. Hak-hak tradisionsl tersebut adalah dalam membuat hukum, yakni hukum adat itu sendiri. Oleh karena adanya pengakuan dalam konstitusi negara, maka hukum adat sebagai hukum Indonesia asli tetap berlaku. Dengan demikian belaku lebih dari satu system hukum dalam lapangan social yang sama. Dua system hukum yakni hukum negara dan hukum adat tersebut diberlakukan terhadap para penduduk pendatang susuai dengan ketentuannya masing-masing. Perlu ditekankan, bahwa terhadap warga adat tidak saja berlaku hukum adat akan tetapi juga berlaku hukum negara terkait dalam hal kedinasan, mereka sama dengan penduduk pendatang lainnya. Jadi terdapat hubungan yang harmonis antara desa adat dengan hukum adatnya dan desa dinas dengan hukum negara dalam menangani penduduk pendatang di Bali, sehingga tercipta suasana yang aman, nyaman, damai dan tentram dalam masyarakat. Sementara sikap penduduk pendatang terkait kebijakan yang dibuat oleh desa adat dan desa dinas, diterima dan ditaati dengan baik karena sifatnya tidak memberatkan mereka.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam penanganan penduduk pendatang di Bali, adanya kerjasama antara desa adat dan desa dinas, sehingga terpola hubungan yang harmonis atau tidak adanya konflik dari kedua jenis desa tersebut. Kedua jenis desa tersebut menjalankan tugasnya sesuai dengan tugas, wewenang dan fungsinya masing-masing, sehingga terwujud kehidupan yang aman, nyaman, damai dan tentram dikalangan warga masyarakat. Sementara sikap penduduk pendatang
terhadap kebijakan yang diambil oleh kedua desa tersebut dapat diterima dan ditaati dengan baik karena sifatnya tidak memberatkan.
Daftar Pustaka
Achmad, Yulianto, and N D Mukti Fajar. “Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris.” Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2015.
Adnyana, A.A.G.R.P. “Koordinasi Antara Desa Dinas Dan Desa Pakraman Dalam Dinamika Penanganan Terhadap Penduduk Pendatang Di Bali.” Jurnal Ilmu Hukum Kertha Wicara 4, no. 3 (2015).
Bali, Badan Statistik Provinsi. “Provinsi Bali Dalam Angka 2018.” Bali.Bps.go.id, 2018. https://bali.bps.go.id/publication/2018/08/16/9c43969415935571f5436925/prov insi-bali-dalam-angka-2018.html.
Bergin, Tiffany. “An Introduction to Data Analysis: Quantitative, Qualitative and Mixed Methods.” An Introduction to Data Analysis, 2018, 1–296.
Djamanat, Samosir. “Hukum Adat Indonesia Eksistensi Dalam Dinamika Perkembangan Hukum Di Indonesia.” CV Nuansa Aulia, Bandung, 2013.
Duarsa, I Gede Yoga Paramartha, I Nyoman Gede Sugiartha, and Diah Gayatri Sudibya. “Penerapan Sanksi Adat Kasepekang Di Desa Adat Tanjung Benoa Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung.” Jurnal Konstruksi Hukum 1, no. 1 (2020): 170–75.
Ernawati, Dyah Poespita. “Analisis Sinergi Desa Pakraman Dan Desa Dinas Dalam Peningkatan Partisipasi Masyarakat Pada Pembangunan Desa Di Provinsi Bali.” Jurnal Ilmiah MEA (Manajemen, Ekonomi & Akuntansi 3, no. 2 (2019): 241–52.
Hajati, Sri. Buku Ajar Hukum Adat. Jakarta: Prenadamedia Group, 2019.
Kantriani, Ni Ketut. “Pengaturan Penduduk Pendatang (Krama Tamiu) Di Tinjau Dari Hukum Adat Bali.” Vyavahara Duta 13, no. 1 (2018).
Larantika, A A Ayu Dewi. “Peran Desa Adat Dalam Penertiban Penduduk Pendatang Di Kota Denpasar.” Dialektika 2, no. 1 (2017): 167–77.
Noak, Piers Andreas. “Kedudukan Dan Kewenangan Desa Adat Dan Desa Dinas Di Bali Pasca Pemberlakuan UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Dalam Perspektif Administratif.” In International Conference on Strengthening Political Party in Election, Parliament, and Government in Semarang Indonesia. Semarang: University Walisongo, 2016.
Nugroho, I, Kadek Amerta Yasa, and I Bawa. “Penerapan E-Government Pada Desa Adat Denpasar Melalui Pengembangan Sistem Informasi Desa Adat.” Jurnal Teknologi Informasi Dan Komputer 8, no. 3 (2022): 420–29.
Nyoman, Suartha, and I Gst Wayan Murjana Yasa. “Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Migrasi Masuk Terhadap Pertumbuhan Penduduk Dan Alih Fungsi Bangunan
Penduduk Asli Kota.” Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan 10, no. 1 (2017): 228335.
Palguna, I Nyoman Budi, and I Wayan Eka Arta Jaya. “Peranan Desa Adat Dalam Penertiban Warga Pendatang Yang Masuk Dan Tinggal Di Desa Adat Pengosekan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar.” Jurnal Hukum Mahasiswa 3, no. 1 (2023): 799–812.
Puja, Wahana I Wayan. “Upaya Pengendalian Penduduk Pendatang Berbasis Awig-Awig Desa Adat Denpasar (Studi Di Desa Dauh Puri Kauh, Banjar Adat Sebelanga Denpasar Barat).” Universitas Mahasaraswati Denpasar, 2022.
Putra, I Made Restu, I Wayan Arthanaya, and Luh Putu Suryani. “Hubungan Fungsional Desa Pakraman Dengan Desa Dinas Dalam Pelaksanaan Pembangunan Di Desa Pererenan Menurut UU No. 6 Tahun 2014.” Jurnal Konstruksi Hukum 1, no. 2 (2020): 426–30.
Rato, Dominikus. Hukum Adat Kontemporer. Surabaya: LaksBang Justitia, 2015.
Saputra, Bayu Angga, I Nyoman Putu Budiartha, and I Nyoman Sujana. “Kewenangan Pemerintah Kabupaten Gianyar Dalam Pengaturan Administrasi Penduduk Pendatang.” Jurnal Preferensi Hukum 1, no. 2 (2020): 111–15.
Septiari, Ni Nengah, I Wayan Lasmawan, and I Nyoman Pursika. “Peranan Desa Pakraman Dalam Menertibkan Krama Tamiu Di Lingkungan Banyuasri Kecamatan Buleleng Kabupaten Buleleng.” Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha 7, no. 2 (2019): 36–43.
Sunu, I Gusti Ketut Arya. “Harmonisasi, Integrasi Desa Pakraman Dengan Desa Dinas Yang Multietnik Dan Multiagama Menghadapi Pergeseran, Pelestarian, Dan Konflik Di Bali.” Jurnal Ilmu Sosial Dan Humaniora 3, no. 2 (2014).
Suputra, Ida Bagus Putu Surya. “Resistensi Identitas Masyarakat Desa Adat Bualu Dalam Forum Nusa Dua Bersatu Di Tengah Arus Globalisasi Pariwisata.” Majalah Ilmiah Widyacakra 3, no. 1 (2020): 27–39.
Udytama, I Wayan Wahyu Wira, and I Nengah Susrama. “Sinergi Desa Adat Dan Desa Dinas Dalam Pencegahan Dan Upaya Percepatan Penanganan Covid-19 Di Bali.” Prosiding Webinar Nasional Universitas Mahasaraswati Denpasar 2020, 2020.
Yanti, A A Istri Eka Krisna. “Kewenangan Desa Adat Dalam Pengelolaan Kepariwisataan Budaya Bali Dalam Perspektif Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat.” Jurnal Hukum Saraswati (JHS) 1, no. 1 (2019).
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Hasil Amandemen), 2005, Sinar Grafika, Jakarta
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administarsi Kependudukan. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4674)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495
Surat Edaran Gubernur No. 14 November 2002 tentang Pedoman Penduduk Pendatang.
Surat Kesepakatan Bersama anata Gubernur Bali dengan Bupati/Wali Kota se Bali No. 153 Tahun 2003 tertanggal 10 Pebruari Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Tertib administrasi Kependudukan Propinsi Bali.
Badan Pusat Statistik Propinsi Bali, tahun 2018.
Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor: 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali
901
Discussion and feedback