Strict Liability of Artificial Intelligence: Pertanggungjawaban kepada Pengatur AI ataukah AI yang Diberikan Beban Pertanggungjawaban?

Ni Made Yordha Ayu Astiti1

1Fakultas Hukum Universitas Airlangga, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk: 8 Agustus 2023

Diterima: 26 Desember 2023

Terbit: 30 Desember 2023

Keywords:

Artificial Intelligence, Strict

Liability, Legal Subject


Kata kunci:

Kecerdasan Buatan, Pertanggungjawaban Mutlak, Subjek Hukum

Corresponding Author:

Ni Made Yordha Ayu Astiti, E-mail: ni.made.yordha-[email protected]

DOI:

10.24843/JMHU.2023.v12.i0

4.p14


Abstract

The existence of artificial intelligence has the ability to act and do what humans do which can give rise to legal problems if a criminal act occurs from activities carried out by AI that cause other parties to suffer losses. The aim of this research is to examine the role of AI as a legal subject as well as the form of accountability, whether to AI regulators or AI that is given the burden of responsibility. The type of research used is normative legal research which begins with a void in norms. The conclusion that can be drawn is that AI cannot be positioned as a legal subject and has no control over what is done at once in terms of will, so that AI creators and users are parties who are absolutely charged as legal subjects in criminal law in order to be held accountable for AI's actions.

Abstrak

Keberadaan kecerdasan buatan memiliki kemampuan untuk bertindak dan melakukan apa yang manusia perbuat yang dapat melahirkan permasalahan hukum jika terjadi tindak pidana dari aktivitas yang dilakukan oleh AI hingga membuat pihak lain mengalami kerugian. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji peran AI sebagai subjek hukum sekaligus bagaimana bentuk pertanggungjawabannya, apakah kepada pengatur AI atau AI yang diberikan beban pertanggungjawaban. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normati yang berawal dari adanya kekosongan norma. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah AI tidak dapat diposisikan sebagai subjek hukum dan tidak mempunyai kontrol atas apa yang diperbuat sekaligus dalam hal berkehendak, sehingga pembuat dan pengguna AI merupakan pihak yang secara mutlak dibebankan sebagai subjek hukum pada hukum pidana guna mempertanggungjawabkan perbuatan AI.

(road map).(Abdullah 2019)1 Perkembangan yang difokuskan di Indonesia sendiri mencakup berbagai teknologi canggih yaitu (1) Kecerdasan buatan (artificial intelligence) (2) Perangkat fisik yang terhubung ke jaringan internet (internet of thing (IoT)) (3) Penggunaan teknologi terhadap peralatan atau aksesoris yang digunakan manusia (wearables) (4) Robotika dan sensor canggih (5) Percatakan menggunakan teknologi 3 dimensi (3D printing).

Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) dedifinisikan oleh Alan Turing sebagai berikut:(Schneider 2020)2 “Jika ada mesin di balik tirai dan manusia berinteraksi dengannya (dengan cara apa pun, misalnya audio atau melalui pengetikan, dll) dan jika manusia merasa seperti sedang berinteraksi dengan manusia lain, maka mesin itu disebut kecerdasan buatan (AI).” Ini cara yang cukup unik untuk mendefinisikan AI. Ini tidak secara langsung mengarah pada gagasan kecerdasan, tetapi lebih berfokus pada perilaku seperti manusia. Faktanya, tujuan ini bahkan lebih luas cakupannya daripada sekadar kecerdasan. Dari sudut pandang ini, AI tidak berarti membangun mesin yang luar biasa cerdas yang dapat menyelesaikan masalah apa pun dalam waktu singkat, melainkan berarti membangun mesin yang mampu berperilaku seperti manusia.(Kurniawijaya, Yudityastri, and Zuama 2021a)

Cruz dan Almazan (2018) mengemukakan bahwa terdapat dua pengelompokan teknik kecerdasan buatan berdasarkan perangkatnya, yaitu kecerdasan buatan berdasarkan perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software). Kecerdasan buatan berdasarkan hardware lazimnya dipakai di bidang industri manufaktur seperti dipakainya sebuah robot dalam jalannya industri, penciptaan pesawat boeing di sebuah pabrik, teknologi kendaraan autopilot seperti yang digunakan pada produk keluaran Tesla, serta penggunaan virtual reality dan artificial vision pada industri game. Sedangkan teknik kecerdasan buatan berdasarkan software dapat dilihat pada adanya artificial neural networks (jaringan saraf tiruan), komputasi evolusioner (yang didalamnya mencakup strategi evolutioner, genetic programming, dan algoritma generik), intelligent systems, fuzzy logic, natural language, multi-agent systems, learning classifier systems, expert systems, deep learning, dan automatic learning. Terdapat teknik lain dalam teknik kecerdasan berdasarkan perangkat lunak, yaitu teknik text dan data mining, serta sentiment analysis.(Ivan Fauzan 2020)3

Dengan mengikuti revolusi industri 4.0, hukum juga berkembang menggunakan teknologi. Tentu saja, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengelola dengan baik perkembangan digital yang sedang berlangsung ini.(Rendi Prima 2022) Dalam Pasal 28C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat

manusia.”Selanjutnya didukung oleh Pasal 31 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa, “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.” Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Gustav Radburch bahwa hukum ada untuk mencapai tiga tujuan:

  • 1.    Keadilan (Gerechtigkeit),

  • 2.    Kemanfaatan (Zweckmassigkeit ); dan

  • 3.    Kepastian Hukum (Rechtssicherheit).

Dari uraian tersebut dimaknai bahwa perkembangan teknologi terkini yang membawa manfaat bagi masyarakat harus diakomodasi oleh hukum untuk memberikan kepastian dan jawaban atas permasalahan yang akan dihadapi. Apabila dilihat lebih jauh, berkembangnya teknologi pada hukum ditandai dengan hadirnya platform atau startup hukum asal Amerika Serikat Law Geex Artificial Intelligence (AI). Kecerdasan buatan yang dibuat menggunakan kecerdasan buatan berdasarkan sebuah perangat lunak (software). AI merupakan teknologi yang dibentuk dengan mengambil inspirasi dari kecerdasan manusia yang diharapkan dapat memberi bantuan dalam jalannya aktivitas manusia. Diperlukan adanya instalasi terhadap program yang telah dipersiapkan agar kecerdasan buatan yang terkandung pada program AI dapat berjalan seperti untuk mengomandokan perintah, merespon pertanyaan, menjalankan pengambilan keputusan, dan mengeksekusinya. Instalasi yang dilakukan berupa data mengenai permasalahan yang akan dipecahkan oleh AI, kemudian data tersebut diolah dengan output berupa informasi yang diperlukan guna menyokong adanya kenaikan pelayanan dalam sektor sektor aktivitas manusia termasuk juga pada sektor hukum. AI yang memiliki definisi sebagai kecerdasan buatan bertindak sebagai program komputasi yang menjadikan mesin dapat berperan layaknya kecerdasan manusia dan dalam sektor bisnis daring, pemakaian AI dapat menimbulkan efisiensi bisnis yang lebih banyak berhubungan dengan tahapan pengambilan keputusan serta melakukan pendekatan proaktif yang akan menghalangi munculnya tindakan kejahatan siber.(Abdullah Zahrani 2019) 4

Namun di sisi lain, keberadaan industri hukum konvensional dapat terancam oleh adanya revolusi industri 4.0 ini dengan kemungkinan buruk berupa hilangnya 800 juta lapangan kerja di seluruh dunia hingga tahun 2030 akibat digantikan oleh robot. Maka adanya dampak yang signifikan pada indonesia yang mempunya angkatan kerja sekaligus angka pengangguran yang tinggi tidak dapat dipungkiri.(Satya 2019)5 Dampak ini merupakan contoh nyata dari adanya perkembangan dari pemanfaatan teknologi kecerdasan yang timbul akibat adanya permintaan akan kebutuhan demi memanifestasikan efisiensi dan menjadikan beban kerja lebih ringan.(Kurniawijaya, Yudityastri, and Zuama 2021b)6 Dengan sifat dan kecerdasan yang mirip dengan manusia, AI juga memiliki kemampuan dan bertindak layaknya manusia yang tidak

luput dari menimbulkan suatu tindakan yang mengarah pada perbuatan hukum dan suatu tindak pidana yang membuat kerugian pada pihak lain.

Menjadi pertanyaan besar apakah AI dapat disebut subjek hukum? Karena suatu hal mendasar dalam melakukan perbuatan hukum adalah subjek hukumnya. Maka harus diklasifikasikan terlebih dahulu bagaimana klasifikasi subjek yang bisa dikatakan sebagai subjek hukum. Bila pengklasifikasian subjek hukum terpenuhi barulah kita membahas bagaimana pertanggungjawaban AI terhadap tindakan dan perbuatan hukum pada masa yang sudah masuk era Revolusi Industri 4.0. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan AI seperti yang telah diuraikan diatas memiliki dampak terhadap hukum yang berlaku di masyarakat, terlebih lagi jika manusia memperlakukan AI layaknya manusia dengan menyerahkan pertanggungjawaban terkait tindak pidana yang disebabkan oleh AI sendiri yang selaras dengan asas hukum bahwa semuanya setara di mata hukum (equality before the law).(P 2019)7

Akan timbul pertanyaan jika mengacu pada adanya asas kesalahan (mens rea) yang dianut oleh pertanggungjawaban pidana Indonesia, bagaimana penerapan kesalahan sebagaimana yang dimuat dalam asas tiada pidana tanpa kesalahan (Geen straf zonder schuld; keine strafe ohne schuld) terhadap AI? Dan seperti apa tuntutan yang dapat diajukan kepada AI sebagai bentuk dari pertanggungjawaban?

Terdapat dua paradigma filosofis dan etika tertentu. Pertama, mempertimbangkan apakah robot bisa benar-benar hidup atau rasional dalam 'cara manusia' dan jika demikian dapatkah mereka bermoral? Kedua mencerminkan apa kondisi dan konsekuensi dari dialog antara manusia dan mesin hidup berkedok interaksi manusia-robot? Untuk mengatasi masalah ini, para ahli teori telah memperluas ide-ide dari filosofi pikiran untuk memperoleh konsep-konsep tertentu dalam teori pikiran komputasi. Ini menerapkan masalah pikiran-tubuh klasik dan perbedaan ontologis dualisme dan monisme untuk mempertimbangkan kemampuan pemrosesan data mentah komputer, kognisi mesin, dan sifat semantik dari keadaan mental.

Dalam doctrine of Strict Liability, tercantum bahwa tanpa adanya pembuktian akan kesalahan pelaku baik yang disengaja maupun akibat kelalaian, individu yang melakukan perbuatan tindak pidana tetap akan dibebankan oleh pertanggungjawaban sehingga doktrin ini dikenal juga sebagai absolute liability. Prinsip ini memuat adanya ketidakmungkinan untuk terbebas dari tanggung jawab dengan pengecualian bahwa kerugian timbul akibat kesalahan dari pihak yang mengalami kerugian sendiri, menurut Sutan Remi Sjahdeini disebut juga dengan pertanggungjawabaan mutlak.(Haris and Tantimin 2022)

Pengecualian atas berlakunya asas “tiada pidana tanpa mens rea”merupakan ajaran dari doktrin ini. Sekalipun mens rea sebagai suatu isyarat tidak dimiliki oleh pelaku, terdapat tindak tindak pidana dengan pertanggungjawaban yang dapat ditanggung oleh pelaku dan tindak pidana ini diperkenalkan dalam perkembangan hukum pidana. Jika terdapat adanya bukti bahwa pelaku tindak pidana melakukan actus reus maka hal ini menjadi cukup. Actus reus sendiri adalah adanya perbuatan yang dianggap ketentuan pidana

sebagai perbuatan terlarang atau tidak adanya perbuatan yang dianggap ketentuan pidana sebagai perbuatan wajib yang dilakukan oleh pelaku.(Sutan Remy Sjahdeini 2017)8

Dalam doctrine of strict liability, terkandung bahwa terdapat kebebasan akan kewajiban penuntut umum dalam hal memberikan bukti akan adanya mens rea (kesengajaan atau kelalaian) yang dilakukan pelaku, yang berarti bahwa pembuktian akan adanya mens rea sebagai landasan yang memicu dorongan untuk melakukan actus reus tidak perlu dilakukan oleh penuntut umum. Penuntut umum hanya memiliki kewajiban untuk menampilkan bukti kaitan sebab akibat kausalitas antara actus reus dan kemalangan yang terjadi.9

Berangkat dari latar belakang yang telah dicantumkan membawa peneliti dalam ketertarikan untuk melakukan kajian lebih jauh mengenai pertanggungjawaban mutlak (strict liability) dalam artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Penulisan ini memuat tujuan untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban mutlak (strict liability) dalam artificial intelligence (kecerdasan buatan) sehingga beban pertanggungjawaban dapat dipertanggungjawabkan, yakni apakah bisa strict liability kepada pengatur AI ataukah AI yang diberikan beban pertanggungjawaban strict liability.

Telah ada penelitian sebelumnya yang serupa membahas mengenai pertanggungjawaban Artificial Intelligence oleh peneliti terdahulu. Namun pokok pembahasan dan substansinya berbeda dengan yang dibahas dalam penelitian ini, yakni dalam penelitian yang dilakukan oleh Yolanda Simbolon yang membahas mengenai adanya kerugian perdata yang muncul akibat keberadaan AI dengan menitikberatkan pada wujud pertanggungjawaban perdata yang menurut hukum di Indonesia menyebabkan adanya kerugian apabila mengacu pada KUHPerdata, Jurnal Veritas Et Justitia Volume 9, Nomor 1, Juni 2023.(Simbolon 2023)10 Sedangkan dalam penelitian ini memfokuskan pada pertanggungjawaban secara mutlak terhadap perbuatan yang dilakukan oleh Artificial Intelligence (AI) dalam perspektif hukum pidana, yakni apakah beban pertanggungjawaban dijatuhkan kepada pengatur AI ataukah AI yang diberikan beban pertanggungjawaban.

  • 2.    Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah hukum normatif dengan latar kajian yang berawal dari adanya kekosongan norma. Tujuan dilakukannya penelitian dengan tipe hukum normatif adalah untuk mengeksplorasi dan menemukan aturan, doktrin, dan prinsip hukum sebagai landasan fundamental yang berguna untuk memberikan jawaban atas persoalan hukum. Capaian kebenaran yang ingin diraih dalam penelitian ini adalah kebenaran yang dilandasi oleh logika hukum dengan berpegang teguh pada aspek normatif dalam analisis persoalan kebijakan melalui studi kualitatif serta menciptakan gagasan akan adanya suatu ius constituendum (hukum yang dicita-citakan bangsa). Pendekatan telaah perundang undangan dipakai sebagai jenis dalam pendekatan

penelitian ini melalui UU yang memiliki hubungan dengan digunakannya kecerdasan buatan atau teknologi Artificial Intelligence (AI). Selain pendekatan perundang undangan, digunakan pendekatan yang berdasarkan dari adanya prinsip dan doktrin yang berkembang dalam suatu ilmu hukum atau disebut sebagai pendekatan konseptual. Digunakannya pendekatan konseptual membuat peneliti akan menggunakan konsep pertanggungjawaban mutlak sebagai pedoman yang memiliki hubungan terhadap AI.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1.    Hubungan Artificial Intelligence dengan Hukum

      3.1.1.    Kedudukan Artificial Intelligence dan Regulasinya

Hukum dan teknologi merupakan istilah yang sudah tidak asing lagi didengar di era perkembangan modernisasi seperti saat ini. Perkembangan dunia yang pesat telah didukung oleh proses globalisasi. Tentu saja, hadirnya globalisasi yang banyak memberikan pengaruh dalam kehidupan manusia di negara manapun membawa peluang baru. Awalnya sistem komunikasi jarak jauh adalah hal yang sulit berubah menjadi hal yang mudah dengan bermodalkan jaringan internet dan perangkat pintar. Hal ini sejalan dengan revolusi digital yang bertujuan untuk memfasilitasi kebutuhan manusia. Sejak tahun 1980-an, revolusi digital dimulai dengan pergeseran penggunaan teknologi yang berawal dari pergantian bentuk teknologi mekanik dan analog menuju teknologi digital yang lebih canggih. Mulai dari aktivitas mencari informasi yang dibutuhkan hingga aktivitas bisnis daring dapat dilakukan dengan mudah melalui gadget modern yang dimiliki. Dengan keadaan tersebut, dapat dikatakan bahwasanya era digital telah terjadi pada kehidupan saat ini dan terus berkembang pesat.

Tentu saja, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengelola dengan baik perkembangan digital yang sedang berlangsung. Sehingga perlu bagi Indonesia untuk mengikuti perkembangan teknologi yang ada, salah satunya agar dapat menciptakan kemajuan di berbagai aspek. Dalam Pasal 28C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Amanat pelaksanaan Pasal 28C UUD NRI Tahun 1945 sendiri juga sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Gustav Radburch, mengenai adanya eksistensi hukum dalam mencapai 3 (tiga) tujuan utama yaitu, Keadilan; Kemanfaatan; dan Kepastian hukum. Sehingga dalam hal ini dapat diartikan bahwa dengan berkembangnya teknologi digitalisasi di bidang hukum tentu akan membawa manfaat bagi seluruh kehidupan masyarakat dalam memberikan kemudahan dan/atau kepastian hukum dalam setiap tata cara penyelenggaraannya. Selanjutnya terkait dengan perkembangan teknologi juga didukung oleh pelaksanaan Pasal 31 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945, yang menyatakan bahwa pada hakekatnya Pemerintah harus memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Dari uraian tersebut dimaknai bahwa perkembangan teknologi terkini yang membawa manfaat bagi masyarakat harus diakomodasi oleh hukum untuk memberikan kepastian dan jawaban atas permasalahan yang akan dihadapi. Sebagaimana yang telah disebutkan, era baru yaitu Revolusi Industri 4.0 sesungguhnya telah terjadi dalam proses globalisasi.

Pelopor dibalik era Revolusi Industri 4.0 yang dipegang oleh tren teknologi kecerdasan buatan atau yang dikenal masyarakat sebagai Artificial Intelligence (AI).

Kecerdasan buatan terdiri dari kata kecerdasan yang berasal dari bahasa latin intellegio yang berarti “saya mengerti”, maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa dasar penggunaan kata Intelegensi adalah kemampuan untuk memahami dan/atau melakukan tindakan kompleks yang juga dapat didefinisikan sebagai ungkapan yang berhubungan dengan logika, pengertian, kesadaran diri, pembelajaran, perencanaan, dan/atau pemecahan masalah. Sedangkan kata Artificial memiliki makna yang berkaitan dengan adanya sesuatu yang tidak nyata, seperti hoax hasil simulasi. Oleh karena itu, dari definisi kata Artificial Intelligence (AI) sendiri secara umum AI dapat diartikan sebagai suatu teknik dan/atau ilmu dalam membuat suatu mesin yang cerdas, terutama untuk pengendalian program kinerjanya. Selanjutnya HA Simon, Kecerdasan Buatan (AI) sendiri termasuk dalam bidang penelitian, aplikasi, dan/atau instruksi yang berkaitan dengan pemrograman komputer dalam melakukan sesuatu yang menurut pandangan manusia adalah cerdas. Menurut Minsky, Artificial Intelligence (AI) sebagai mesin yang memiliki kuasa untuk memakai kecerdasannya guna menjalankan berbagai aktivitas layaknya seorang manusia. Penggambaran akan mutu hidup manusia merupakan capaian yang ingin diraih dalam perancangan sebuah AI, seperti pemrograman kerja, bagaimana suatu masalah dapat dipecahkan, mngembangkan kapabilitas dalam berpikir melalui adanya rangsangan, penalaran, pengukuhan terhadap suatu ide atau buah pikiran, dan kegiatan lain yang dapat mendorong adanya efisiensi kerja.(V 2019)11 Kemampuan AI digolongkan oleh Stuart Russel dan Peter Norvig kedalam empat kelompok, yaitu sistem yang memiliki kemampuan penalaran layaknya manusia, sistem yang dapat melakukan aksi sesuai aksi yang dilakukan oleh manusia, sistem yang memiliki pemikiran bersifat logis, dan sistem yang memiliki kemampuan untuk melakukan aksinya secara logis.(Russell and Norvig 2020)12

Peniruan akan kecerdasan manusia merupakan suatu kemampuan yang dapat dilakukan Artificial Intelligence (AI) sebagai teknologi yang telah dirancang. Program AI mengandung kecerdasan yang dapat memiliki kemampuan untuk merespon adanya pertanyaan yang dilayangkan, memberikan komando, melakukan tindak pengambilan keputusan, dan menjalankannya. Untuk dapat menerapkan kemampuan tersebut, dibutuhkan suatu input dalam program yang telah disediakan. Kandungan input yang dimasukan kedalam program terdiri atas data data yang didasari adanya persoalan yang harus dipecahkan oleh AI, lalu AI menjalankan olah data sehingga menghasilkan output berupa informasi pendukung kenaikan produktivitas dalam bidang bisnis, pemanfaatan SDM yang berjalan dengan efektivitas investasi, dan reka baru dalam sektor sektor seperti sektor pendidikan, kesehatan, pertanian, hankam, kelautan, transportasi, keuangan, dan hukum. Selain itu, terdapat jalan keluar yang mampu ditawarkan oleh sistem kecerdasan buatan, diantaranya melakukan pemecahan atas persoalan infrastruktur yang bersifat hemat biaya, melakukan efisiensi pada jalannya pelayanan sosial, merancang peningkatan mutu pada sumber daya pendidikan, penataan kebijakan yang tepat dalam rangka membantu kinerja pemerintah, menciptakan adanya pasar digital yang bersifat

nyaman, serta menyediakan pelayanan terbaik untuk membantu pemerintah dalam sektor publik.

Layaknya manusia, data dan pengalaman diperlukan pada teknologi AI sebagai pengetahuan agar kecerdasannya dapat berfungsi secara maksimal. Untuk memperkaya pengetahuan yang dimiliki oleh AI, diperlukan proses belajar dengan poin penting berupa proses self correction, learning, dan reasoning. Kegiatan belajar ini dilakukan oleh AI baik dengan suruhan atau tidak dengan suruhan manusia dalam kata lain, AI dapat dengan mandiri melakukan kegiatan pembelajaran berlandaskan pengalamannya saat digunakan oleh manusia. Terdapat empat faktor yang secara garis besar salah satu faktornya dapat dilakukan oleh AI, yaitu berkelakuan seperti manusia (acting humanly), memiliki pola pikiran layaknya manusia (thinking humanly), mampu mengendalikan akal secara logis (think rationally), dan kemampuan untuk melakukan aksi secara logis.

Maraknya penggunaan Artificial Intelligence (AI) di bidang hukum menyebabkan animo masyarakat terhadap kemudahan penggunaan teknologi ini semakin meningkat dan berkembang pesat, seperti pada transformasi layanan hukum dan/atau ketersediaan data hukum. Lebih progresif. Menyikapi berbagai disrupsi yang ada, banyak para ahli hukum berkumpul untuk merumuskan keberadaan Artificial Intelligence (AI) itu sendiri, seperti salah satunya pada acara Techlaw Fest 2018 di Suntec Singapore Convention & Exhibition Center yang bertujuan untuk merundingkan keberadaan Kecerdasan Buatan (AI) di bidang hukum. Pada hakikatnya kehadiran Artificial Intelligence (AI) dalam bidang industri hukum itu sendiri sebenarnya melahirkan berbagai macam kemudahan, seperti kemudahan dalam melakukan transaksi jasa hukum di dunia advokat dan/atau notaris, seperti kemudahan akses data baik terkait regulasi dan/atau yurisprudensi; kemudahan dalam menyusun kontrak yang mengakomodasi kepentingan para pihak; dan kemudahan dalam melakukan konsultasi hukum dengan maksud agar masyarakat tidak perlu lagi berkonsultasi dengan datang langsung ke kantor hukum.(Progresif et al. 2019)13

Meskipun Artificial Intelligence (AI) memberikan dampak hukum yang luas kepada seluruh masyarakat dunia, namun terhadap sistem hukum Indonesia sendiri pada nyatanya belum secara tegas mengatur keberadaan Artificial Intelligence (AI), terutama terkait kedudukan tanggungjawabnya dalam industri hukum di Indonesia. Kurangnya UU mengenai dekrit terkait Artificial Intelligence (AI) sendiri, mengakibatkan banyak dari praktisi hukum di Indonesia masih memanfaatkan pengaturan yang berkaitan dengan pengaturan teknologi yaitu Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang kemudian selanjutnya disebut “UU ITE” pengaturan ini sebagai bentuk negara menanggapi perkembangan teknologi yang begitu pesatnya di Indonesia.

Oleh karena itu, guna mengantisipasi segala kemungkinan ancaman yang muncul sebagai akibat kurangnya regulasi terkait keberadaan Artificial Intelligence (AI), setidaknya perlu adanya beberapa pertimbangan dalam kedudukan kapasitas Artificial Intelligence (AI) dalam bertanggung jawab. Secara eksplisit, meskipun Artificial Intelligence (AI) dalam kedudukannya melakukan segala tindakan hukum layaknya sebagai subyek hukum, namun AI pada dasarnya tidak dapat berperan sebagai subjek hukum sehingga perlu

dilakukan tafsir pada teori yang dimuat dalam peraturan hukum dengan cara menyediakan makna yang bersifat kiasan sesuai asas hukum sebagai suatu solusi penghubung dalam pengaturan AI.

Indonesia sendiri membentuk UU ITE dengan harapan dapat memecahkan persoalan mengenai teknologi dan sistem informasi agar terwujud suatu kepastian hukum serta bermanfaat bagi pemecahan adanya persoalan mengenai teknologi. Sayangnya, AI tidak didefinisikan secara jelas dalam pengaturan UU ITE dimana hal ini kemudian menyebabkan maraknya usaha usaha untuk menerjemahkan AI agar dapat dikaitkan dengan peraturan yang terkandung pada UU ITE itu sendiri.

UU ITE sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia mengelompokkan AI kedalam sistem dan agen elektronik dimana jika mengacu pada ciri ciri AI dari pengertian sistem elektronik yang dimuat dalam UU ITE, terdapat banyak keselarasan karena AI memiliki cara kerja yang salah satunya mengoleksi suatu data kemudian melakukan pengolahan bahkan sampai pada tahap analisa serta memiliki kemampuan untuk menyampaikan informasi elektronik sesuai dengan apa yang dimuat dalam “Pasal 1 Angka 5 UU ITE”. Pengelompokan AI kedalam agen elektronik pada dasarnya tidak memiliki perbedaan yang jauh dengan memasukan AI kedalam kelompok sistem elektronik dengan alasan bahwa AI memiliki kemampuan untuk bertindak dan melakukan perbuatan sesuai dengan pengertian dari agen elektronik, yaitu perangkat yang dapat dikendalikan oleh manusia sebagai bagian dari sistem elektronik yang secara otomatis dapat melakukan perbuatan terhadap sistem elektronik. Hal ini cocok dengan ciri ciri AI berdasarkan apa yang dimuat dalam “Pasal 1 Angka 8 UU ITE”.

AI sendiri pada dasarnya berperan sebagai objek hukum apabila mengacu pada pengaturan hukum yang berjalan di Indonesia dan tidak dapat didefinisikan sebagai subjek hukum. Manusia merupakan aktor yang bertanggung jawab atas pengoperasian AI sebagai sebuah teknologi sehingga jika mengacu pada hukum positif, maka manusia lah yang berperan sebagai subjek dan hal ini dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP 71/2019). Dengan kata lain tanggung jawab atas penggunaan AI sepenuhnya dimiliki oleh penyelenggara dari apa yang ia perbuat ketika mengoperasikan AI dengan pengecualian ketika terjadi keadaan darurat yang menimbulkan adanya kemungkinan pembebasan tanggung jawab tersebut kepada sang penyelenggara.

  • 3.1.2.    Artificial Intelligence sebagai Subjek Hukum

Dalam perkembangannya, tidak sedikit yang menganggap AI adalah robot buatan yang tidak menutup kemungkinan akan mengalami kemajuan yang lebih pesat dibanding manusia. AI dapat melakukan tindakan hukum yang sama seperti manusia. Namun perlu ditelisik apakah AI yang dapat melakukan tindakan hukum bisa dikatakan memiliki kedudukan sebagai subjek hukum.

Secara teoritis, subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Subjek hukum terbagi menjadi dua, yakni subjek hukum manusia (natuurlijke persoon) dan badan hukum (Recht persoon). Bila AI tergolong sebagai subjek hukum maka AI memiliki hak dan kewajiban hukum, sebagaimana manusia sebagai individu dan badan hukum. Sehingga, AI dapat mengikat kontrak dan bertanggung jawab atas tindakannya. (Amboro and Komarhana 2021)

Misalnya, jika Artificial Intelligence (AI) digunakan dalam bentuk mobil self-driving dan mengalami kesalahan yang menimpa pengguna jalan, maka dalam hal ini akan menjadi pertanyaan apakah Artificial Intelligence (AI) itu sendiri memiliki akuntabilitas. Subyek hukum menganggap bahwa sistem Artificial Intelligence (AI) ini memiliki “belajar mandiri” dan kemampuan untuk mengambil keputusan dalam situasi tertentu dan/atau justru pemilik atau pengembang mobil yang dituntut untuk bertanggung jawab di dalamnya. Kendaraan autopilot diberikan perhatian khusus oleh Uni Eropa mengenai regulasinya karena meninjau adanya beberapa peluang yang kabur. Resolusi Uni Eropa tentang Robotika menyajikan kontrak komprehensif mengenai robotika yang didalamnya memuat definisi mengenai jenis penggunaan, adab, tanggung jawab, dan aturan yang mengatur perangai developer, teknisi, dan penyuplai Artificial Intelligence (AI) di bidang robotika. Selain itu adanya beban tanggung jawab yang ditanggung pemilik dalam hal pengelolaan kendaraan autopilot atau semi autopilot secara jelas dimuat dalam Undang-Undang Lalu Lintas Jerman dengan Kementerian Federal Transportasi dan Infrastruktur Digital yang sebagian ikut terlibat.

Selanjutnya seperti yang kita ketahui kedudukan Artificial Intelligence (AI) di Indonesia masih sangat kabur. Peraturan yang memiliki keterkaitan terhadap bidang teknologi diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Peraturan Pemerintah Nomor 7l Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE). Dalam kandungan yang dimiliki oleh pasal pasal dalam UU ITE, tidak diatur adanya ketentuan secara khusus mengenai AI. Akan tetapi, UU ITE dapat mengatur pokok pokok yang mencakup adanya AI. “Agen Elektronik” yang disebutkan dalam UU ITE dan PP PSTE adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang dibuat untuk melakukan tindakan terhadap Informasi Elektronik tertentu yang diselenggarakan oleh orang. Dalam Pasal 1 UU ITE, “Agen Elektronik” didefinisikan sebagai “perangkat dari suatu sistem elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh orang.” Kata “otomatis” dalam definisi “Agen Elektronik” tersebut ini kemudian dijadikan jembatan untuk mengkonstruksikan AI sebagai “Agen Elektronik”.

AI merupakan bagian dari sistem informasi dan negosiasi elektrik dalam penggunaan perangkat elektronik yang keberadaannya diatur dalam UU ITE. Pasal yang mendefinisikan AI sebagai bagian yang termasuk kedalam agen elektronik adalah Pasal 1 angka 8 yang menyebutkan bahwa AI melakukan aksi secara otomatis dengan manusia sebagai agen perancangnya. Manusia dikenakan sebagai subjek hukum karena adanya aktivitas dan tindakan yang dilakukan oleh AI merupakan tindak yang dikuasai oleh manusia. Sedangkan pasal yang menyinggung mengenai pengaturan agen elektronik dalam transaksi elektronik yang dilaksanakan adalah Pasal 21 UU ITE. Dalam UU ITE, tercantum bahwasanya eksekutor sistem elektronik pada hakikatnya sama dengan eksekutor agen elektronik. Mutatis mutandis juga akan berlaku baik dari eksekutor sistem elektronik maupun agen elektronik.

Melalui pemikiran tersebut, kesimpulan yang dapat ditarik ialah sistem AI harus dipastikan oleh penyelenggara elektronik dapat berjalan secara aman, handal, serta memiliki tanggung jawab dan baik penyelenggara maupun agen elektronik akan dibebankan tanggung jawab atas semua akibat hukum yang terjadi dengan hal yang perlu digaris bawahi bahwa kesalahan tersebut tidak terbentuk akibat keteledoran dari

pengguna. Disebutkan juga dalam Undang Undang ITE bahwasanya subyek hukum dari penyelenggara AI hanya dapat berupa individu non mesin; badan usaha; penyelenggara negara; dan/atau masyarakat.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) sebagai peraturan turunan dari Undang-Undang ITE juga telah mengatur terkait pembatasan kewajiban dan tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik, seperti keharusan untuk menyediakan fitur yang memungkinkan pengguna melakukan perubahan informasi di tahapan proses transaksi, menjaga kerahasiaan data, mengontrol data pribadi pengguna, menjamin privasi pengguna, dan/atau menyampaikan informasi terkait sistem yang digunakan agar tidak merugikan pengguna. Oleh karena itu, kehadiran Artificial Intelligence (AI) di bidang hukum tentunya dapat menimbulkan peluang dan tantangan, yang dapat dilihat dari kemudahan, efisiensi dan efektifitas dalam membantu pekerjaan hukum yang bersifat non litigasi dan sumber data untuk mempersiapkan pekerjaan di bidang hukum, bidang litigasi.

Mengingat tantangan di masa depan, kehadiran kecerdasan buatan (AI) juga dapat mengganggu beberapa pekerjaan hukum yang biasanya dilakukan oleh profesi hukum. Aksioma Law Geex tentang keberadaan kecerdasan buatan (AI) merupakan sinyal konfirmasi bahwa gangguan terhadap profesi hukum akan segera terjadi.(Dwi Putro 2020)14 Secara konseptual, menurut teori yang ditulis oleh R. Soeroso, subjek hukum mempunyai beberapa kriteria. Hal ini mencakup mempunyai hak atau kewenangan hukum untuk melakukan perbuatan hukum dan/atau mempunyai hak atau kesanggupan bertindak dalam kerangka hukum. Yaitu sesuatu yang menurut undang-undang diberi kuasa atau wewenang untuk menunjang hak dan bertindak sebagai pendukung hak (rechtbevoegd heid), yaitu apabila menurut hukum sesuatu memiliki hak dan kewajiban.

Oleh karena itu, berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh R. Soeroso, suatu subjek hukum pada hakikatnya mempunyai dua hal mendasar yang melekat di dalamnya: perbuatan hukum dan kekuasaan bertindak yang berupa hak dan kewajiban. Seperti yang diketahui, pola perilaku kecerdasan buatan (AI) sendiri mengacu pada simulasi kecerdasan manusia yang direplikasi oleh program seperti perilaku manusia. Jika simulasi dan penggandaan merupakan tindakan yang dibuat-buat, jika kita menganggap korporasi sebagai badan hukum, maka dapat dikatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh manusia juga dilakukan oleh kecerdasan buatan (AI). Jika kita memandang otoritas sebagai subjek yang otonom, maka otoritas muncul dalam diri kita sendiri.

Terkait dengan akibat perbuatan hukum Artificial Intelligence (AI) itu sendiri dapat juga merujuk pada teori perbuatan hukum dari R.Soeroso, yang pada dasarnya menyatakan bahwa perbuatan hukum adalah perbuatan subyek hukum (manusia dan/atau badan hukum) yang akibatnya diatur oleh undang-undang, sehingga akibatnya dapat dianggap sebagai kehendak mereka yang melakukan hukum. Selain itu, hukum itu sendiri hanya akan terjadi jika ada pernyataan kehendak, sehingga kehendak orang yang melakukan perbuatan itu dapat menjadi unsur utama dari suatu perbuatan hukum. Jalannya tahapan analisis yang dilaksanakan oleh LawGeex AI secara empiris adalah penimbulan hak dan kewajiban akibat adanya perlakuan aksi hukum sepihak.(Muharrikatiddiniyah and Ratnawati 2023) Sebagaimana kita ketahui, terdapat dua kelompok yang merupakan

bagian dari tindakan hukum yaitu tindakan hukum sepihak yang merupakan timbulnya hak dan kewajiban salah satu pihak akibat tindakan hukum oleh satu pihak dan tindakan hukum dua pihak dengan kedua pihak yang sama sama melakukan tindakan hukum yang secara timbal balik menimbulkan hak dan kewajiban terhadap sesama. Karena sebab itu, terdapat konsekuensi akan hak dan kewajiban dari kesimpulan yang dihasilkan oleh rangkaian tahap analisis dengan catatan bahwa pengguna memakai saran dan rekomendasi dari kesimpulan tersebut.

Adanya dampak hukum yang diakibatkan oleh penerapan saran dan rekomendasi tersebut dapat terjadi kepada subjek hukum Artificial Intelligence (AI) dan penggunanya. Terlepas dari praktik diskursif mengenai peluang dan tantangan kehadiran Artificial Intelligence (AI) dalam posisinya tidak dapat diabaikan bahwa legalitas mengenai keberadaan Artificial Intelligence (AI) dan output produknya dari aspek subjek hukum, hukum perbuatan dan akibat hukum apabila terjadi suatu perkara hukum perlu segera ditentukan, hal ini tidak lain mengingat adanya AI dan keluaran produknya dari aspek subjek hukum, perbuatan hukum dan akibat hukum dalam peristiwa tersebut.(Jaya and Goh 2021)

Subjek hukum sebagai bagian dari kategori hukum dibedakan menjadi manusia/orang (natuurlijkpersoon) dan badan hukum (rechtspersoon). Dijadikannya manusia sebagai subjek hukum memiliki alasan apabila ditinjau secara yuridis, yaitu adanya hak subjektif yang dimiliki oleh seseorang serta adanya kewenangan hukum yang dalam kasus ini kewenangan tersebut adalah adanya abilitas sebagai pendukung hak dan kewajiban. Kedudukan yang dimiliki badan hukum (rechtpersoon) merupakan kedudukan yang berwujud non manusia sebagai badan pribadi, yaitu rechtsperoon yang merupakan persona ficta atau adanya penciptaan orang sebagai persona oleh hukum.(Muhamad Sadi Is 2015)15 Menurut pandangan Utrecht, badan hukum merupakan non manusia atau entitas tanpa jiwa sebagai tiap pendukung hak. Sedangkan badan hukum menurut Subekti pada dasarnya merupakan sekumpulan atau suatu badan yang berkesempatan untuk memiliki hak melakukan aksi yang dilakukan oleh manusia serta memiliki kekayaan mandiri yang tak luput dari gugatan maupun mengajukan gugatan di depan hakim.16 Dari uraian di atas disadari bahwa tidak ada penjelasan bagaimana posisi perkembangan teknologi seperti Artificial Intelligence (AI) mampu melakukan tindakan mandiri dan berpeluang melakukan kesalahan atau pelanggaran dari segi subjek hukum.

Suatu badan hukum (korporasi) dapat dianggap bersalah melakukan perbuatan melawan hukum, selain anggota direksi sebagai orang perseorangan. Penjelasan di atas bila dikaitkan dengan Artificial Intelligence (AI) dapat ditarik pemahaman bahwa Artificial Intelligence (AI) bukanlah orang yang memiliki hak dan kewajiban karena akibat dari pelaksanaan hak dan kewajiban dapat digugat dan menggugat di pengadilan. Sebuah alat Artificial Intelligence (AI) yang tidak memiliki hati nurani dan tidak merasakan perasaan yang nyata tentunya tidak menimbulkan perasaan dirugikan atau perasaan berbuat melawan hukum terhadap orang lain. Hal ini juga didukung dengan tidak adanya tolak ukur kemampuan suatu Artificial Intelligence (AI) untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum sebagai konsekuensi logis menjadi subjek hukum karena tidak ada batasan kedewasaan yang dapat diukur dari benda mati. obyek.

Bahkan jika dianalogikan seperti badan hukum, Artificial Intelligence (AI) tidak dapat menemukan atau menerima harta benda sehingga memiliki kekayaan tersendiri karena Artificial Intelligence (AI) tidak memiliki tujuan yang dilakukan dalam lalu lintas hukum dan pedoman dalam kehidupan Artificial Intelligence (AI). Di sisi lain, pertanggungjawaban pidana erat kaitannya dengan pidana kurungan atau denda. Ketika Artificial Intelligence (AI) sendiri tidak memiliki kekayaan untuk membayar sejumlah denda dan tidak merasakan efek jera dari adanya sanksi kurungan, maka dapat dipahami bahwa Artificial Intelligence (AI) bukanlah subjek hukum, meskipun disamakan dengan korporasi. Korporasi adalah suatu lembaga, namun korporasi memiliki bagian-bagian tubuh yang dibantah oleh pengurusnya untuk mengambil suatu keputusan, dimana keputusan tersebut berasal dari beberapa pemikiran yang dapat menilai baik buruknya.

Jadi jelas dalam kriteria subjek hukum, Artificial Intelligence (AI) tidak bisa dikatakan sebagai subjek hukum. Selain itu, mengenai hak dan kewajiban jika mengacu pada peraturan perundang-undangan belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur tentang hak dan kewajiban Artificial Intelligence (AI).

  • 3.2.    Pertanggungjawaban Strict Liability dalam Artifical Intelligence (AI)

    • 3.2.1.    Konsep Pertanggungjawaban Strict Liability Artificial Intelligence (AI) dalam Industri Hukum

Sistem hukum di Indonesia menganggap konsep strict liability sebagai hal yang baru, sistem hukum ini bahkan hanya familiar pada negara eropa yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental dengan pengecualian terhadap hal pelanggaran karena sejatinya konsep strict liability awalnya hanya terdapat pada common law system.(Amrani 2019)17 Oleh sebab itu, strict liability dalam pelaksanaannya di kehidupan dilarang bersifat kontradiksi atau minimal memiliki jalan yang berbeda sejauh mungkin dengan maksud perumusan aslinya (original intent). Diberlakukannya penerapan yang harus kontradiksi dengan rumusan asli strict liability jika diabaikan juga akan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang mengandung intisari bahwa negara dengan UU yang ditetapkan seharusnya memiliki kemampuan untuk menyediakan semua orang akan “pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Tidak tepatnya wawasan mengenai strict liability) akan mengarah pada dampak dari kesalahan pengaplikasiannya yang dengan alasan kemerdekaan kekuasaan kehakiman, bisa jadi menyebabkan maraknya disparitas. Hukum pidana yang berlaku di Indonesia hanya mengenal asas pertanggungjawaban strict liability sebagai sebuah doktrin (Doctrine of Strict Liability). Doktrin ini memuat kandungan bahwasanya tidak perlu adanya pembuktian mengenai kesalahan dari pelaku tindak pidana untuk membebankan pertanggungjawaban kepada seorang pelakunya. Doctrine of Strict Liability dikenal sebagai pertanggungjawaban mutlak dengan alasan bahwa doktrin ini mengandung ajaran bahwa pelaku mempertanggungjawabkan pidana tanpa dipermasalahkan.18

Dalam sistem pertanggungjawaban pidana absolut, yang diperlukan hanyalah pengetahuan dan tindakan terdakwa. Artinya, apabila terdakwa sadar atau mengetahui adanya kemungkinan merugikan pihak lain ketika melakukan perbuatannya, maka keadaan itu cukup menimbulkan pertanggungjawaban pidana. (Fadlian 2020) Strict liability mengacu pada tanggung jawab tanpa kesalahan. Artinya, pelaku dapat dihukum apabila ia tidak memperhatikan sikap batinnya dan melakukan perbuatan yang ditentukan undang-undang.

Adanya prinsip tanggung jawab mutlak memuat bahwa tidak adanya kewajiban dalam memberi bukti akan kesalahan yang diperbuat. Mochtar Kusumaatmadja menyampaikan gagasan bahwa kesalahan bukanlah suatu hal yang relevan apabila mengacu pada tanggungjawab mutlak sekaligus merupakan sesuatu yang tidak dapat dipermasalahkan keberadaannya pada kejadian nyata. Menurut Kusumaatmadja, pada masyarakat primitif sejatinya prinsip tanggung jawab yang berlaku di masyarakat memiliki capaian utama agar kerukunan senantiasa terjaga diantara orang perorangan melalui diberlakukannya penyelesaian sebagai tindakan preventif dari adanya pembalasan. Akan tetapi hal itu kurang relevan pada saat ini karena penerapan tanggung jawab mutlak yang berlaku memiliki landasan falsafah dan capaian utama untuk melakukan peninjauan terhadap nilai dan rasa keadilan sosial seluas luasnya baik ditelaah dari segi moral maupun kehidupan sosial. Adalah wajar bahwa seseorang dibebankan oleh risiko akibat perbuatan yang dilakukan apabila seseorang melaksanakan aktivitas atau segala daya upaya yang membawa keuntungan bagi dirinya sendiri.

Prosser mengemukakan pendapat berkaitan dengan alasan lain hadirnya kembali prinsip tanggung jawab mutlak ditengah tengah masyarakat masa kini berkaitan dengan aktivitas atau upaya dengan kandungan yang dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain.29 Jika terjadi suatu aktivitas yang keberadaannya membawa petaka hingga menyebabkan ruginya seseorang dalam jumlah besar maka pertanggungjawaban dapat dilayangkan kepada pihak yang melakukan aktivitas, sekalipun badan usaha tersebut melakukan aktivitasnya secara cermat dan hati hati. Tanggung jawab tersebut berlandaskan pada tetap dijalankannya aktivitas oleh badan usaha tersebut sekalipun badan usaha tersebut mengetahui bahwa aktivitas yang dilakukannya dapat membawa malapetaka bagi orang lain. Karena AI memiliki konsep tanggung jawab mutlak atas penggunaannya, fokusnya tentu saja adalah apakah AI dapat mengambil tanggung jawab atas tindakannya sendiri.(Wendehorst 2020)

Tiada pidana yang disebabkan tanpa terjadinya keteledoran jika mengacu pada asas pertanggungjawaban hukum pidana. Di Indonesia, subjek hukum pidana adalah orang perseorangan (orang perseorangan), dan seiring dengan berkembangnya subjek hukum pidana, maka korporasi (badan hukum) juga dapat menjadi subjek hukum pidana. Peraturan mengenai AI di Indonesia belum diatur dan dikembangkan secara spesifik. Oleh karena itu, diperlukan interpretasi untuk menentukan apakah AI merupakan subjek hukum Indonesia.

  • 3.2.2.    Implikasi Strict Liability dalam Artificial Intelligence

Terdapat dua unsur yang harus dipenuhi untuk membuat subjek dapat dikenai oleh hukum, yaitu unsur tindakan dan kesalahan. (Kurniawan 2023) Hal ini membuat

teknologi kecerdasan buatan tidak dapat dibebankan pertanggungjawaban karena tidak memenuhi salah satu dari kedua unsur tersebut. Kecerdasan buatan mungkin saja memenuhi unsur tindakan dengan dalih bahwa kecerdasan buatan memang dapat melakukan aktivitas yang bertentangan dengan hukum, seperti menghantam seseorang pada kondisi lalu lintas hingga kehilangan nyawa. Akan tetapi, unsur kesalahan tidak dapat dilimpahkan pada kecerdasan buatan dengan alasan tidak adanya kesadaran batin atau bisa dikatakan bahwa AI merupakan entitas tanpa hati nurani.

Sulit untuk membuktikan bahwa kecerdasan buatan (AI) memiliki unsur kesalahan. Untuk mendorong sistem pertanggungjawaban pidana dalam kecerdasan buatan, prinsip “tidak adanya kesalahan menimbulkan ketidak adaannya pidana” dapat disingkirkan dari asas umum ketika prinsip tanggung jawab ketat atau absolut dipakai. Dan asas ini dapat diterapkan sebagai solusi yang dapat menghukum kecerdasan buatan (AI). (Zech 2021)

Kesalahan itu sendiri merupakan suatu bentuk dari pertanggungjawaban. Mengenai intensionalitas, secara doktrinal intensionalitas adalah niat pelaku untuk mewujudkan perbuatannya, dan ada tiga jenis intensionalitas: intensionalitas sebagai kesengajaan, kesengajaan dengan kesadaran jernih, dan kesengajaan dengan kemungkinan. Secara garis besar Van Hamel berpendapat bahwa batasan tanggung jawab berkaitan dengan makna: 1) Mampu memahami makna dan akibat dari tindakan yang dilakukan. 2) Kesadaran bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. 3) Mampu menentukan niat untuk melakukan suatu tindakan. Menurut konsep pertanggungjawaban pidana bagi suatu badan hukum, dalam hal ini ditanggung oleh pelaku perbuatannya, dan dasar pengenaan bersalah terhadap pelaku atas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku harus memuat unsur melawan hukum. Jika demikian, pelaku akan dimintai pertanggungjawaban pidana. Namun jika ditemukan unsur-unsur yang menyebabkan hilangnya tanggung jawab, maka tanggung jawab pidana pelaku dapat hilang.

Van Hamel memaparkan batasan tanggung jawab yang terkait dengan kecerdasan buatan (AI), dimana kecerdasan buatan (AI) tidak memahami implikasi dari hasil yang dilakukannya. Kecerdasan buatan (AI) tidak bisa menentukan kemauan untuk melakukan sesuatu. Kecerdasan buatan (AI) tidak berniat mengambil tindakan hukum. Mengenai kesadaran, manusia sebagai subjek hukum yang mutlak dalam hukum pidana tidak serta merta lepas dari kesalahan dalam perbuatannya, namun karena kecerdasan buatan (AI) merupakan seperangkat alat yang diciptakan oleh manusia sendiri, maka dapat dikatakan bahwa kecerdasan buatan (AI) tidak memiliki kesadaran. Oleh karena itu, AI tidak dapat menjadi subjek hukum yang mempunyai tanggung jawab pidana karena beberapa batasan tanggung jawab.

Terkait dengan akuntabilitas penggunaan kecerdasan buatan (AI), dalam hal ini ditinjau dari hukum pidana yang berlaku saat ini, konsep pertanggungjawaban pidana dapat diandalkan jika kecerdasan buatan (AI) telah melakukan perbuatan dan/atau perbuatan melawan hukum. Dan pihak yang bertanggung jawab adalah pencipta dan pengguna kecerdasan buatan (AI) itu sendiri.(Lohsse, Dirk Staudenmayerm, and Reiner Schulze 2019) Penyelenggara sistem elektronik memiliki hak dan kewajiban terhadap pelaksana agen elektronik yang berlaku secara mutatis mutandis akibat adanya UU ITE. Sehingga, manusia dianggap sebagai subjek hukum ketika ia membuat sebuah sistem kecerdasan

buatan dan mengemban tanggung jawab atas segala aktivitas yang dilakukan kecerdasan buatannya.

Menurut Simons, pelaku kejahatan harus mampu mengenali dan menentukan niatnya atas perbuatannya. Dalam hal ini kecerdasan buatan (AI) tidak sadar akan tindakannya, melainkan terbatas dalam tindakannya berdasarkan instruksi dan menentukan kehendaknya sesuai dengan maksud dan tujuan penciptanya, begitu pula sebaliknya. Siapa pun yang mengetahui cara kerja kecerdasan buatan (AI) adalah pengguna kecerdasan buatan (AI) itu sendiri. Oleh karena itu, jika seorang kecerdasan buatan (AI) melakukan tindak pidana yang merugikan orang lain, maka itu merupakan kelalaian yang disengaja dan disengaja jika melihat kesalahannya. Karena berasal dari pengguna kecerdasan buatan (AI), maka tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan pengguna kecerdasan buatan (AI).

Tanggung jawab pada strict liability memiliki perbedaan dengan asas hukum pidana yang telah diketahui sebelumnya, yaitu actus non facit reum, geen straf zonder schul, atau nisi mens sit rea yang artinya tidak ada tindak pidana yang tidak ada kesalahannya, yang dikenal dengan doktrin kesalahan. Strict liability dapat dimaknai sebagai kewajiban tanpa adanya keharusan untuk membuktikan kesalahan terhadap pelaku tindak pidana. Sekalipun mens rea sebagai suatu syarat tidak dipenuhi, pelaku tetap dapat menerima tindak serta pertanggungjawaban pidana dengan bukti yang dicukupkan pada diperlihatkan adanya indikasi pelaku telah melakukan aktivitas yang bertolak belakang dengan ketentuan pidana atau pelaku tidak bertindak sesuai dengan perilaku yang diwajibkan oleh ketentuan pidana.

Unsur kesengajaan merupakan unsur kesalahan. Hilangnya unsur ini menunjukkan bahwa suatu tindak pidana tetap dapat terjadi meskipun tidak ada tindak pidana lalai/tidak ada kesalahan. Pelanggaran pertanggungjawaban ketat ini biasanya merupakan kejahatan ringan, seperti pelanggaran lalu lintas yang tidak perlu dilakukan pemeriksaan kesalahan. Oleh karena itu, hukuman atas pelanggaran strict liability offence biasanya dibalas dengan hukuman yang ringan. Kejahatan yang disebabkan oleh kecerdasan buatan (AI) tentunya bukanlah kejahatan kecil, melainkan kejahatan berat yang berdampak pada perkembangan teknologi terkini.

Tahap penyampaian bukti tindak pidana merupakan hal penting dalam pertanggungjawaban berdasarkan asas strict liability. Hanya dengan memberikan bukti bahwa Artificial Intelligence telah melakukan tindak pidana, penuntut umum dapat menyatakan Artificial Intelligence sebagai pihak yang bersalah dalam persidangan. Dengan begitu, hukum acara merupakan hukum yang berkaitan dengan fungsi utama strict liability. UU Pemberantasan Tipikor memperbolehkan adanya pembalikan beban pembuktian dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan perubahannya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Undang-undang ini beranggapan bahwa beban pembuktian terbalik dan terbatas pada kehadiran terdakwa harus dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana tersebut. Sebaliknya, jaksa harus membuktikan sifat dakwaannya bukan dalam bentuk kesalahan, melainkan dari segi komponen dakwaannya. Sebab kesalahan terjadi setelah hakim mengambil keputusan. (Rendi Prima 2022)

Dalam sistem pidana, poin penting terletak pada waktu dilayangkannya bukti dan pada tahapan pemberian bukti dalam pengadilan, penetapan status pada pelaku akan diberikan apakah seseorang terbebas dari dakwaan, dikenai pidana, atau terlepas dari

semua tuntutan hukum. Diberlakukannya strict liability terhadap kecerdasan buatan menimbulkan lahirnya konsekuensi bahwasanya kesalahan yang terjadi tidak memerlukan bukti untuk dijatuhi pertanggungjawaban baik kesalahan yang disengaja maupun kesalahan yang timbul akibat adanya ketidaksengajaan seperti AI yang tiba tiba memiliki dorongan untuk melakukan tindak pidana. Kesulitan tentang pembuktian terjadinya tindak pidana tidak akan dihadapi oleh penegak hukum dengan diaplikasikannya strict liability yang membebankan pembuktian terbalik secara terbatas.

Di penghujung tulisan ini, perlu dilakukan peresapan makna yang digagaskan oleh Muladi mengenai krusialnya makna dari strict liability dalam pertanggungjawaban pidana beserta hubungan strict liability pada jalannya tahap pemberian bukti tindak pidana itu sendiri. Persepsi yang dimiliki Muladi mengandung penuturan bahwasanya jika terdapat persoalan pelik dalam penyelesaiannya membutuhkan hukum pidana maka untuk mengatasi kasus pelanggaran yang memiliki keterkaitan dengan kesentosaan publik juga harus menggunakan doktrin atas asas strict liability.

Dengan demikian, terhadap implikasi Strict Liabilty dalam Artificial Intelligence (AI), beban pertanggungjawaban pidana secara mutlak dibebankan kepada pembuat atau pengguna Artificial Intelligence (AI), yang merupakan subjek hukum sebagaimana dalam ketentuan perundang-undangan.

  • 4.    Kesimpulan

Mengingat UU ITE dan peraturan turunannya merespon pesatnya perkembangan teknologi, maka wajar jika permasalahan hukum terkait teknologi harus disesuaikan dengan ketetapan hukum yang berjalan. Belum ada undang-undang dan peraturan khusus mengenai kecerdasan buatan (AI) di Indonesia.

AI tidak dapat digolongkan sebagai subjek hukum. Dengan didukung UU ITE, maka mutatis mutandis menjadi berlaku terhadap eksekutor agen elektronik akan semua hak dan kewajiban mengenai penyelenggara sistem elektronik. Artinya, orang yang merancang kecerdasan buatan (AI) menjadi badan hukum yang bertanggung jawab atas pengoperasian AI tersebut.

Dalam hal tanggung jawab mutlak (strict liability), jaksa hanya perlu membuktikan adanya hubungan sebab akibat antara kecelakaan dan malapetaka yang terjadi, dan tidak perlu membuktikan adanya kelalaian (disengaja atau lalai) dari pelakunya. Seperti diketahui, kecerdasan buatan (AI) tidak mengetahui apa yang dilakukannya, juga tidak dapat memprediksi kemungkinan terjadinya kejahatan.

Artinya pengembang dan pengguna kecerdasan buatan (AI) mengemban penuh atas tanggung jawab terhadap seluruh kegiatan yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan (AI). Dalam hukum pidana, manusia merupakan subjek hukum mutlak yang mempunyai pengetahuan dan tingkat kesengajaan tertentu mengenai perbuatan dan perbuatan yang dilakukan dengan kecerdasan buatan (AI).

Daftar Pustaka

Abdullah, Farid. 2019. “Fenomena Digital Era Revolusi Industri 4.0.” Jurnal Dimensi DKV Seni Rupa Dan Desain 4 (1).

Abdullah Zahrani, Adel A. Marghalan. 2019. “How Artificial Intelligent Transform Business.” Research Paper Artificial Intelligence on Business.

Amboro, FL. Yudhi Priyo, and Khusuf Komarhana. 2021. “Prospek Kecerdasan Buatan Sebagai Subjek Hukum Perdata Di Indonesia [Prospects of Artificial Intelligence As a Subject of Civil Law in Indonesia].” Law Review, no. 2 (November): 145.

Amrani, Hanafi. 2019. Politik Pembaruan Hukum Pidana. Yogyakarta: UII Press.

Dwi Putro, Widodo. 2020. “Disrupsi Dan Masa Depan Profesi Hukum.” Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 32    (1):    19.

https://doi.org/10.22146/jmh.42928.

Fadlian, Aryo. 2020. “Pertanggungjawaban Pidana Dalam Suatu Kerangka Teoritis.” Jurnal Hukum Positum 5 (2): 10–19.

Haris, Muhammad Tan Abdul Rahman, and Tantimin Tantimin. 2022. “Analisis Pertanggungjawaban Hukum Pidana Terhadap Pemanfaatan Artificial Intelligence Di Indonesia.” Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) 8 (1): 307–16.

Ivan Fauzan. 2020. “Artificial Intelligence (Ai) Pada Proses Pengawasan Dan Pengendalian Kepegawaian – Sebuah Eksplorasi Konsep Setelah Masa Pandemi Berakhir.” Jurnal Kebijakan Dan Manajemen PNS 14 (1 Juni): 31–42.

Jaya, Febri, and Wilton Goh. 2021. “Analisis Yuridis Terhadap Kedudukan Kecerdasan Buatan Atau Artificial Intelligence Sebagai Subjek Hukum Pada Hukum Positif Indonesia.” Jurnal Supremasi Hukum 17 (02): 01–11.

Kurniawan, Itok. 2023. “Analisis Terhadap Artificial Intelligence Sebagai Subjek Hukum Pidana.” Mutiara : Jurnal Ilmiah Multidisiplin Indonesia 1 (1): 35-44.

Kurniawijaya, Aditya, Alya Yudityastri, and Ayuta Puspa Citra Zuama. 2021a. “PENDAYAGUNAAN ARTIFICIAL INTELLIGENCE DALAM PERANCANGAN KONTRAK SERTA DAMPAKNYA BAGI SEKTOR HUKUM DI INDONESIA.” Khatulistiwa Law Review 2 (1): 260–79. https://doi.org/10.24260/klr.v2i1.108.

Lohsse, Sebastian, Dirk Staudenmayerm, and Reiner Schulze. 2019. “Liability for Artificial Intelligence and the Internet of Things.” Edited by Sebastian Lohsse, Reiner Schulze, and Dirk Staudenmayer. https://doi.org/10.5771/9783845294797.

Muhamad Sadi Is. 2015. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT Kharisma Putra Utama.

Muharrikatiddiniyah, Nur, and Elfrida Ratnawati. 2023. “Pentingnya Perlindungan Hukum Dan Pembangunan Ekonomi Atas Pengembangan Teknologi Kecerdasan Buatan.” As-Syar’i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga 6 (1): 621–35.

P, Didik Endro. 2019. Hukum Pidana: Untaian Pemikiran. Surabaya: Airlangga University Press.

Progresif, Hukum, Dan Perkembangan, Teknologi Kecerdasan, Buatan Qur’ani, and Dewi Kusumawardani. 2019. “Hukum Progresif Dan Perkembangan Teknologi Kecerdasan Buatan.” Veritas et Justitia 5 (1): 166–90.

Rendi Prima, Wardani. 2022. “Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence) Sebagai Bantu Proses Penyusunan Undang-Undang Upaya Menghadapi Revolusi Industri 4.0 Di.” Jurnal Binadarma. https://www.binadarma.ac.id.

Russell, Stuart, and Peter Norvig. 2020. Artificial Intelligence A Modern Approach Third Edition. Pearson. Prentice Hall. https://doi.org/10.1017/S0269888900007724.

Satya, Venti Eka’. 2019. “Strategi Indonesia Menghadapi Industri 4.0.” Info Singkat Bidang Ekonomi Dan Kebijakan Publik 10 (9).

Schneider, David F. 2020. “Machine Learning and Artificial Intelligence,” 155–68. https://doi.org/10.1007/978-3-030-28357-5_14.

Simbolon,  Yolanda. 2023. “Pertanggungjawaban Perdata Terhadap Artificial

Intelligence Yang Menimbulkan Kerugian Menurut Hukum Di Indonesia.” Veritas et Justitia 9 (1): 246–73.

Sutan Remy Sjahdeini. 2017. Ajaran Pemidanaan: Tindak Pidana Korporasi Dan Seluk-Beluknya. Jakarta: PT Fajar Interpratama.

V, Darshan. 2019. “Demystifying the Role of Artificial Intelligence in Legal Practice.” https://papers.ssrn.com/abstract=3443000.

Wendehorst, Christiane. 2020. “Strict Liability for AI and Other Emerging Technologies.” Journal of European Tort Law 11 (2): 150–80.

Zech, Herbert. 2021. “Liability for AI: Public Policy Considerations.” ERA Forum 22 (1): 147–58. https://doi.org/10.1007/S12027-020-00648-0/METRICS.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

980