Itepa: Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan,

Flora Anggreni Sitinjak dkk. /Itepa 12 (4) 2023 1033-1050

ISSN : 2527-8010 (Online)

Pengaruh Suhu Pengeringan terhadap Karakteristik Kimia, Fisik dan Sensoris Dendeng Ikan Lemuru (Sardinella lemuru)

The Effect of Drying Temperature on the Chemical, Physical, and Sensory Characteristics of Lemuru Fish Jerky (Sardinella lemuru)

Flora Anggreni Sitinjak, I Putu Suparthana*, Ni Made Indri Hapsari Arihantana

Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran, Badung-Bali

*Penulis korespondensi: I Putu Suparthana, e-mail: [email protected]

Abstract

Lemuru fish (Sardinella lemuru) is susceptible to spoilage, especially when its abundance is high, requiring processing. One form of processing is to turn it into lemuru fish jerky.Tthe production of lemuru fish jerky still faces challenges in achieving satisfactory product quality due to the varying meat characteristics of different fish types, necessitating diverse drying temperatures. The aim of this research was to investigate the effect of drying temperature on the chemical, physical, and sensory properties of lemuru fish jerky and to obtain the optimal drying temperature for producing jerky with the best quality. The experiment followed a Randomized block design with five treatment levels: 50°C, 55°C, 60°C, 65°C, and 70°C. Drying was carried out until the moisture content reached a maximum of 12%. All treatments were repeated three times, resulting in 15 experimental units. The data were analyzed using analysis of variance, and treatments showing significant effects were further tested using Duncan's Multiple Range Test. The results showed that drying temperature significantly influenced (P<0,05) the moisture content, fat content, protein content, ash content, hardness, water activity (Aw), color values (L, a*, and b*) and sensory characteristics (color, odor, texture, and overall acceptance) of lemuru fish jerky. Drying at 65°C for 7 hours resulted in lemuru fish jerky with the best chemical, physical, and sensory characteristics, including moisture content of 11.51%, fat content of 6,01%, protein content of 49,61%, ash content of 11,04%, insoluble ash content of 0.07%, Aw value of 0.55, hardness value of 69,25 N, L value of 26.50, a* value of 5.00, b* value of 4.87, and preferred sensory properties of color, odor, texture, and overall acceptance by the panelists.

Keywords: Lemuru fish, jerky, drying temperature, jerky characteristics

PENDAHULUAN

Salah satu sumber daya ikan yang banyak terdapat di perairan sekitar Selat Bali hingga Nusa Tenggara Timur, Indonesia adalah ikan lemuru (Sardinella lemuru). Ikan ini memiliki potensi yang tinggi dan juga memiliki nilai ekonomis yang signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan pertumbuhan produksi lemuru dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 113,33 ton pada tahun 2018 meningkat menjadi 595,11 ton pada tahun 2019 (BPS Provinsi

Bali, 2020). Ikan lemuru adalah jenis ikan dengan kandungan gizi yang tinggi, memiliki kandungan protein 20 g, kalsium 20 mg, fosfor 100 mg, zat besi 1 mg, dan vitamin B1 0,05 mg per 100 gram (Tabel Komposisi Pangan Indonesia, 2018). Ikan lemuru rentan terhadap kerusakan dan pembusukan karena kandungan asam lemak omega 3 yang tinggi dan tekstur yang tidak padat sehingga perlu diolah menjadi dendeng agar tahan lama.

Menurut SNI 2908:2013, dendeng adalah makanan berbentuk lempengan dari daging segar yang diiris atau digiling, dibumbui, dan dikeringkan dengan sinar matahari atau alat pengering. Di Indonesia, dendeng umumnya dibuat dari daging sapi dan ayam, namun saat ini juga terdapat dendeng yang terbuat dari ikan. Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang telah dilakukan pada beberapa jenis ikan, termasuk ikan tongkol dan lele dumbo (Anugrah, 2016; Ikhsan et al., 2018). Proses pembuatan dendeng ikan pada dasarnya sama dengan pembuatan dendeng dari daging pada umumnya yaitu, irisan ikan yang dilumuri bumbu dibiarkan selama satu jam kemudian dilakukan pengeringan hingga kadar air 12% (SNI 2908:2013). Gula merah, bawang putih, ketumbar, lengkuas, garam, bawang merah, merica, dan asam jawa adalah beberapa bumbu yang ditambahkan pada dendeng. Pengolahan ikan lemuru menjadi dendeng sudah dilakukan masyarakat dalam skala kecil dan menengah (UMKM), namun masyarakat belum mengetahui suhu pengeringan yang tepat untuk menghasilkan dendeng ikan dengan kualitas terbaik. Selama proses produksi dendeng ikan, terdapat beberapa masalah yang ditemukan melalui penelitian sebelumnya, seperti yang dilaporkan oleh Ikhsan et al. (2016) bahwa pembuatan dendeng lele dumbo pada suhu 65oC menghadapi beberapa kendala diantaranya adalah kualitas produk dendeng yang masih

rendah, yang mencakup hal-hal seperti kadar air yang tinggi, yaitu sebesar 25,02 persen dan kadar protein yang rendah hanya 16,04 persen.

Husna et al., (2014) mengemukakan bahwa pengeringan digunakan untuk mengurangi kandungan air dalam bahan pangan dengan tujuan mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang dapat merusak bahan pangan dan memperpanjang masa simpannya. Pengguhaan suhu pengeringan yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan kerusakan pada kandungan protein yang terdapat pada ikan serta berpotensi menurunkan nilai gizi ikan tersebut. Penggunaan suhu pengeringan juga harus disesuaikan dengan jenis ikan yang digunakan. Hal tersebut karena beberapa ikan memiliki karakteristik ketebalan dan ketahanan kandungan gizi terhadap panas yang berbeda (Swastawati et al., 2015). Syam et al., (2018) melaporkan bahwa suhu pengeringan terbaik untuk dendeng ikan nila adalah 75oC. Patang et al., (2016) juga melaporkan bahwa suhu pengeringan terbaik untuk dendeng ikan bandeng yaitu 70oC kemudian, penelitian yang dilakukan Harahap et al., (2021) menyatakan suhu pengeringan terbaik untuk dendeng ikan patin yaitu 60oC. Dengan demikian, penggunaan suhu pengeringan yang tepat untuk setiap jenis ikan menjadi penting agar menghasilkan dendeng ikan dengan kualitas terbaik sesuai dengan karakteristik masing-masing jenis ikan tersebut.

Hingga kini, belum ada penelitian terkait suhu pengeringan yang optimal untuk memproduksi dendeng ikan lemuru dengan kualitas kimia, fisik, dan sensoris yang terbaik. Ikan lemuru memiliki karakteristik daging tipis, daging mudah dilepaskan dari tulangnya, mudah hancur jika ditekan dengan jari maupun saat dilakukan proses pengeringan dan memiliki kadar lemak dan protein yang tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu pengeringan terhadap karakteristik kimia, fisik dan sensoris dendeng ikan lemuru dan mendapatkan suhu yang tepat untuk menghasilkan dendeng ikan lemuru dengan karakteristik terbaik.

METODE

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan untuk pembuatan dendeng adalah ikan lemuru yang didapatkan langsung dari nelayan di pasar tradisional Kedonganan, Bali. Bumbu yang digunakan meliputi gula merah, asam jawa, bawang putih, lada, bawang merah, garam, dan ketumbar. Bahan untuk analisis adalah aquades, kertas whatman 42, kertas saring , n-hexan (Merck), NaOH (Merck), H2SO4 pekat (Merck), asam borat 3% (Merck), bubuk Kjeldahl (Merck), HCl (Merck), indicator fenolftalein (Merck), dan alkohol 96%.

Alat Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian ini diantaranya cawan porselin, Erlenmeyer,

vortex, timbangan analitik (Shimzadu ATY224), gelas ukur (Pyrex), lumpang, pipet tetes, erlenmeyer (Pyrex), waterbath (Thermology), 8 MP Smartphone camera (Vivo, China) with Colorimeter®, texture analyzer TXT 32, cawan porselen, oven (Cole Parmer), cawan oven, desikator (Duran), burner (Longshun), muffle furnance (WiseTherm), gelas beker (Pyrex), tabung reaksi, alat titrasi, destilator (Behrotest), labu kjeldahl (Pyrex), Aw meter, kompor listrik (Gerhardt), labu ukur 5 ml (Pyrex), gelas ukur (Pyrex), bola hisap, benang wol, labu takar (Pyrex), alat ekstraksi Soxhlet (Behrotest), wadah silinder/gelas beker, rak tabung, labu ukur 1000 ml (Pyrex), kompor listrik, corong plastik, gelas plastik, pipet ukur, pinset, aluminium foil (Best Fresh), blender, kompor listrik, baskom, pisau, oven dehidrator dan lembar penilaian hedonik.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan perlakuan suhu pengeringan yang terdiri dari 5 taraf dan setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga diperoleh 15 unit percobaan. Taraf perlakuan dalam pembuatan dendeng ikan lemuru pada penelitian ini yaitu T1: Suhu pengeringan 50°C 8 Jam, T2: Suhu pengeringan 55°C 8 Jam, T3: Suhu pengeringan 60°C 8 Jam, T4: Suhu pengeringan 65oC 7 Jam, T5: Suhu pengeringan 70°C 7 Jam. Data yang

diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan apabila terdapat perbedaan nyata terhadap variabel yang diamati dilanjutkan dengan uji Duncan (Gomez dan Gomez, 1995).

Pelaksanaan Penelitian Persiapan bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan lemuru yang memiliki kualitas baik dan tidak mengalami cacat secara fisik. Ikan lemuru dibeli langsung dari nelayan di Pasar Ikan Kedonganan, Kabupaten Badung. Ikan lemuru kemudian dibelah menjadi dua bagian dan dilakukan proses pembersihan dengan membuang insang, isi perut, dan tulang ikan. Ikan juga dicuci untuk membersihkan sisa kotoran, darah dan lendir yang masih menempel. Selanjutnya, satu buah jeruk nipis diperas dan air perasannya sebanyak 10 ml digunakan untuk menghilangkan bau amis pada ikan lemuru sebanyak 61 gram.

Pembuatan Bumbu

Proses pembuatan bumbu dendeng ikan lemuru pada penelitian ini mengacu pada Anugrah (2016) yaitu formulasi bumbu terpilih dengan 100 g total bahan dalam penelitiannya yang dimodifikasi pada jenis ikan. Persentasi ikan lemuru yang digunakan adalah 68,5%, dan konsentrasi bahan bumbu berupa gula merah 15%, ketumbar 1,5%, bawang putih 1,5%, Asam Jawa 3%, garam

2%, lengkuas 2%, bawang merah 5%, dan lada 1,5%. Semua bahan bumbu tersebut dihaluskan.

Pembuatan Dendeng Ikan Lemuru

Setelah ikan lemuru dipotong dan dibersihkan selanjutnya proses curing yaitu dilumuri ikan dengan bumbu dan dibiarkan selama 1 jam. Dipastikan bahwa semua bagian ikan terlumuri oleh bumbu. Hasil pelumuran ditiriskan selama ± 30 menit. Ikan kemudian dikeringkan dengan mengunakan variasi suhu pengeringan yaitu 50 oC , 55 oC, 60oC, 65 oC , 70 oC sampai mencapai kadar air 12% dan dicatat waktunya.

Parameter Yang Diamati

Parameter yang diamati meliputi kadar air menggunakan metode oven (AOAC, 1995), kadar lemak menggunakan metode Soxhlet (AOAC, 1995), kadar protein menggunakan metode mikro Kjeldahl (Sudarmadji et al., 1984), kadar abu menggunakan metode pengabuan (AOAC, 1995), kadar abu tidak larut asam, aktivitas air bebas (Aw) dengan metode Primo (Martin et al., 2009), indikator warna L, a*, dan b* (Fabre et al., 1993), tekstur menggunakan metode Texture Profile Analysis (TA.xtexpress, 2008), dan evaluasi sensoris dengan uji hedonik yang mencakup warna, aroma, tekstur, dan penerimaan keseluruhan (Soekarto, 1985).

Tabel 1. Nilai rata-rata kadar air,kadar abu, kadar abu tak larut asam, kadar protein dan kadar lemak pada bahan baku

Kadar Abu

Perlakuan   Kadar Air (%)  Kadar Abu    Tak Larut

(%)      Asam (%)

Kadar

Protein (%)

Kadar

Lemak (%)

Ikan Lemuru   74,54 ± 0,59    1,34 ± 0,05   0,054 ± 0,01

20,49 ± 0,31

3,15 ± 0,06

Keterangan: Nilai rata-rata ± standar deviasi (n=3)

Tabel 2. Nilai rata-rata Aw, indikator warna (L, a*,b*) dan kekerasan pada bahan baku

Warna

Kekerasan (N)

e aua          w          L*          a*

b*

Ikan Lemuru 0,990 ± 0,002  55,20 ± 1,50  2,37 ± 0,67

16,67 ± 0,75

19,79 ± 0,52

Keterangan: Nilai rata-rata ± standar deviasi (n=3)


Tabel 3. Nilai rata-rata karakteristik kimia dari dendeng ikan lemuru

Kadar Air Perlakuan

Kadar Abu Tak

Kadar Abu                   Kadar Protein  Kadar Lemak

(% bk)       La(r%ut bAks)am      (% bk)        (% bk)

T1 (50oC 8 jam) 12,06 ± 0,02a T2 (55oC 8 jam) 11,81 ± 0,14b T3 (60oC 8 jam) 11,52 ± 0,17c T4 (65oC 7 jam) 11,51 ± 0,10c T5 (70oC 7 jam) 11,19 ± 0,11d

10,14 ± 0.32b 0,06 ± 0,010a 51,45 ± 0,31a 5,68 ± 0,19c 10,33 ± 0.49b 0,07 ± 0,004a 48,24 ± 0,65c 5,94 ± 0,03bc 10,45 ± 0.38b 0,07 ± 0,019a 43,12 ± 0,59e 6,05 ± 0,26bc 11,04 ± 0.29ab 0,07 ± 0,001a 49,61 ± 0,84b 6,10 ± 0,04b 11,55 ± 0.66a 0,07 ± 0,025a 46,89 ± 0,36d 6,47 ± 0,25a

Keterangan: Nilai rata-rata ± standar deviasi (n=3). Nilai rata-rata yang diikuti dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan hasil yang berbeda nyata antar perlakuan (P<0,05)


HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisiko Kimia Bahan Baku

Hasil analisis kadar air,kadar abu, kadar abu tak larut asam, kadar protein dan kadar lemak dari ikan lemuru dapat dilihat pada Tabel 1 dan hasil analisis Aw, warna (L,a*, dan b*) dan kekerasan dari ikan lemuru dapat dilihat pada Tabel 2.

Karakteristik Kimia Dendeng Ikan Lemururg

Nilai rata-rata kadar air, kadar abu, kadar abu tak larut asam, kadar protein, kadar lemak dapat dilihat pada Tabel 3.

Kadar Air

Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa suhu pengeringan berpengaruh nyata

(P<0,05) terhadap kadar air dendeng ikan lemuru. Berdasarkan Tabel 3 kadar air dendeng ikan lemuru berkisar antara 11,19 persen - 12,06 persen. Perlakuan dengan suhu pengeringan T5 (70oC) memiliki kadar air paling rendah yaitu 11,19 persen, sedangkan perlakuan dengan suhu pengeringan T1 (50 oC) memiliki kadar air paling tinggi yaitu 12,06 persen.

Tabel 3 memperlihatkan bahwa semakin tinggi suhu pengeringan yang diberikan, akan semakin mengurangi kadar air dendeng ikan lemuru akibat penguapan air selama pengeringan. Hal tersebut sesuai dengan pernyatan Estianti et al., (2009), bahwa semakin besar perbedaan suhu antara

medium pemanas dengan bahan pangan maka semakin cepat perpindahan panas ke bahan pangan sehingga semakin cepat pula penguapan air dari bahan pangan. Selain suhu, lamanya proses pengeringan juga mempengaruhi penurunan kadar air. Data kadar air menunjukkan bahwa jika suhu pengeringan lebih tinggi, waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan dendeng akan lebih singkat, dan kadar air dalam dendeng akan semakin menurun. Dengan kata lain, penggunaan suhu yang lebih tinggi mempercepat pengeringan dan menghasilkan dendeng dengan kadar air yang lebih rendah. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilaporkan Ikhsan et al., (2018) melaporkan bahwa semakin tinggi suhu dan lama waktu pengeringan maka semakin banyak molekul air yang menguap dari dendeng yang dikeringkan sehingga kadar air yang diperoleh semakin rendah.

Harahap et al., (2021) menyatakan bahwa kandungan air dalam produk pangan perlu ditetapkan karena memiliki peranan yang sangat penting, dimana kandungan air ini mempengaruhi kadar komponen lainnya. Selain itu, seperti yang dikemukakan Sucianti (2021) bahwa kandungan air bahan pangan dapat digunakan untuk menentukan kualitas dan daya tahannya. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Erni et all., (2008) mengatakan jika kadar air rendah, pertumbuhan mikroorganisme akan melambat dan bahan pangan dapat bertahan

lebih lama. Sebaliknya, jika kadar air tinggi mikroorganisme berkembang lebih cepat, menyebabkan proses pembusukan menjadi lebih cepat.

Kadar Abu

Hasil sidik ragam memperlihatkan adanya pengaruh signifikan (P<0,05) suhu pengeringan terhadap kadar abu dalam dendeng ikan lemuru. Data pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa kadar abu dendeng ikan lemuru berkisar antara 10,14 persen – 11,55 persen. Perlakuan suhu pengeringan T1 (50oC) memiliki kadar abu terendah sebesar 10,14 persen yang tidak berbeda nyata dengan T2, T3 dan T4 sedangkan perlakuan suhu pengeringan T5 (70oC) memiliki kadar abu tertinggi sebesar 11,55 persen yang tidak berbeda nyata dengan T4. Kadar abu mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya suhu pengeringan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Sudarmadji et al., (1989) dalam Erni et al., (2018) mengatakan bahwa kadar abu tergantung pada jenis bahan, cara pengabuan, waktu dan suhu yang digunakan saat pengeringan dimana semakin rendah komponen non mineral yang terkandung dalam bahan akibat pengeringan maka akan semakin meningkatkan persen abu relatif terhadap bahan. Berdasarkan pernyataan tersebut diduga bahwa tingginya kadar abu dendeng ikan lemuru dibandingan bahan bakunya disebabkan karena jenis bahan yang digunakan dalm bumbu dan suhu pengeringan. Menurut Patang et al., (2016)

peningkatan suhu saat pengeringan dendeng bisa merusak struktur daging dan melepaskan mineral serta elemen, yang mengakibatkan peningkatan kadar abu. Suhu tinggi dapat mengubah struktur molekuler dan memicu reaksi kimia, yang mempengaruhi pelepasan mineral dan elemen dari matriks daging serta berkontribusi pada peningkatan kadar abu. Semakin tinggi suhu, semakin banyak senyawa yang terlepas atau menguap, termasuk air, protein, senyawa volatil, dan senyawa kompleks lainnya. Ini menyebabkan berkurangnya berat produk setelah perlakuan suhu tinggi (Saputra et al., 2023). Perubahan yang signifikan pada penelitian ini terjadi pada suhu 70°C. Pada suhu ini, diduga adanya perubahan struktur molekuler dan reaksi kimia mengakibatkan hilangnya beberapa komponen bahan organik selama pengeringan, seperti protein, senyawa volatil dari bumbu, dan senyawa kompleks lainnya. Akibatnya, berat awal sampel dendeng mengalami pengurangan sehingga ketika membandingkan berat abu yang dihasilkan setelah perlakuan suhu tinggi dengan berat awal dendeng ikan lemuru yang mengalami perlakuan suhu rendah, perubahan berat ini memiliki potensi untuk mempengaruhi hasil akhir pengujian kadar abu.

Pada produk dendeng ini, standar kadar abu belum ditetapkan sehingga belum diketahui apakah persentase abu yang dihasilkan dari masing-masing sampel sudah

sesuai dengan standar. Menurut TKPI (2018) jenis mineral yang terkandung dalam 100 g ikan lemuru adalah Fe: 1 mg, Ca: 20 mg dan P: 100 mg, sehingga diduga kadar abu yang terkandung pada produk dendeng ini merupakan jenis mineral Ca, P dan Fe. Gultom (2020) mendukung pernyataan tersebut dengan menemukan bahwa dalam setiap 100 gram tepung ikan lemuru terdapat kandungan kalsium sebesar 0,73 mg, zat besi sebesar 1 mg, dan seng sebesar 38,5 mg.

Kadar Abu Tidak Larut Asam

Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa suhu pengeringan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kadar abu tak larut asam pada dendeng ikan lemuru. Tabel 3 memperlihatkan bahwa kadar abu tidak larut asam dendeng ikan lemuru berkisar antara 0,06 persen – 0,07 persen. Kadar abu tidak larut asam terendah tercatat pada perlakuan suhu pengeringan T1 (50 oC) sebesar 0,06 persen, sementara kadar abu tak larut asam tertinggi tercatat pada perlakuan suhu pengeringan T5 (70 oC) sebesar 0,07 persen. Tabel 3 memperlihatkan bahwa kadar abu tidak larut asam dendeng ikan lemuru yang dihasilkan tidak dipengaruhi oleh suhu pengeringan.

Menurut Husna (2014), tingkat kebersihan makanan terkait dengan kadar abu tidak larut asam dalam dendeng ikan lemuru. Kandungan abu tidak larut asam mencerminkan kandungan mineral eksternal (abu non-fisiologis) yang berasal dari lingkungan sekitar, seperti batu, pasir, dan

silika, yang terdapat dalam proses pengolahan dendeng ikan lemuru.

Kadar Protein

Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa suhu pengeringan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar protein dendeng ikan lemuru. Tabel 3 menunjukan bahwa kadar protein dendeng ikan lemuru berkisar antara 43,12 persen – 51,45 persen. Perlakuan suhu pengeringan T3 (60oC) menghasilkan kadar protein terendah sebesar 43,12 persen, sementara perlakuan suhu pengeringan T1 (50oC) menghasilkan kadar protein tertinggi sebesar 51,45 persen.

Kenaikan kadar protein secara keseluruhan pada perlakuan dibandingkan dengan bahan baku ikan lemuru sebesar 20,49 persen, disebabkan oleh penambahan bumbu dan proses pengeringan (Hervelly et al., 2016). Kadar protein dendeng dapat meningkat akibat proses pengeringan yang berlangsung dalam waktu lama dan suhu yang tinggi karena terjadi penurunan kadar air dalam dendeng (Adawyah, 2007). Tingginya kadar protein dendeng ikan lemuru pada perlakuan T1 disebabkan karena pada suhu pemanasan 50oC protein pada dendeng ikan lemuru belum mencapai titik kerusakan protein secara signifikan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Kurniati (2009) dalam Alyani et al., (2016) bahwa pemanasan protein pada suhu sekitar 50°C menyebabkan denaturasi protein tahap awal, yaitu mengubah struktur protein pada tingkat sekunder, tersier, dan kuartener tanpa merusak protein secara keseluruhan.

Penelitian ini menunjukkan pada perlakuan suhu pengeringan 55°C, 60°C, 65°C, dan 70°C terjadi penurunan kadar protein yang mengindikasikan kemungkinan terjadinya perubahan struktur dan denaturasi protein pada suhu tersebut. Menurut Ikhsan et al., (2018) pada suhu tertentu, proses pengeringan dapat menyebabkan denaturasi dan degradasi protein, yang berdampak pada penurunan fungsi asam amino esensial. Penurunan kadar protein dalam dendeng disebabkan oleh kerusakan protein yang terjadi akibat proses pengeringan dengan suhu yang tinggi dan waktu yang lama namun, pada suhu 65 oC kadar protein mengalami kenaikan dibandingkan dengan suhu 60 oC. Hal tersebut disebabkan pada perlakuan T3 (60 oC) membutuhkan waktu pengeringan selama 8 jam untuk mencapai kadar air 12% sedangkan pada perlakuan T4 waktu pengeringan yang dibutuhkan untuk mencapai kadar air 12% yaitu selama 7 jam.

Tabel 4. Nilai rata-rata Aw, kekerasan dan indikator warna L, a* dan b*

Perlakuan

Nilai Aw

Nilai

Kekerasan (N)

Warna

L

a*

b*

T1 (50oC 8 jam)

0,573 ± 0,005a

46,39 ± 4.99d

30,30 ± 0.82a

3,77 ± 0,80c

6,67 ± 1,32a

T2 (55oC 8 jam)

0,562 ± 0,005b

58,35 ± 5.63c

28,10 ± 2.01ab

4,10 ± 0,44bc

5,07 ± 0,55b

T3 (60oC 8 jam)

0,555 ± 0,003c

62,95 ± 2.54bc

26,87 ± 0.57bc

4,77 ± 0,50ab

4,90 ± 0,20b

T4 (65oC 7 jam)

0,553 ± 0,001c

69,25 ± 4.48ab

26,50 ± 1.55bc

5,00 ± 0,20a

4,87 ± 0,25b

T5 (70oC 7 jam)

0,546 ± 0,002d

72,52 ± 4.47a

24,80 ± 0.70c

5,47 ± 0,35a

4,80 ± 0,44b

Keterangan: Nilai rata-rata ± standar deviasi (n=3). Nilai rata-rata yang diikuti dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan hasil yang berbeda nyata antar perlakuan (P<0,05)


Selain suhu pengeringan, waktu pengeringan juga berpengaruh terhadap proses denaturasi protein. Hasil ini sesuai dengan pendapat Asiah et al., (2021) bahwa jika waktu yang diberikan untuk pengeringan cukup lama, meskipun pada suhu yang relatif rendah protein akan mengalami perubahan struktural yang signifikan akibat proses denaturasi yang memiliki waktu untuk mempengaruhi ikatan dalam struktur protein dan menghilangkan sebagian besar fungsinya. Sebaliknya, saat waktu pengeringan singkat dengan suhu tinggi, kerusakan pada protein akibat denaturasi cenderung terbatas. Meskipun molekul air di sekitar protein cepat keluar akibat suhu tinggi, waktu yang singkat membuat peluang perubahan struktural protein tidak signifikan. Akibatnya, walaupun beberapa bagian protein mungkin mengalami perubahan struktur, namun kerusakan keseluruhan akan lebih sedikit.

Kadar Lemak

Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa suhu pengeringan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar lemak dendeng ikan

lemuru. Pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa kadar lemak dendeng ikan lemuru berkisar antara 5,68 persen – 6,47 persen. Perlakuan suhu pengeringan T1 (50oC) menghasilkan kadar lemak terendah sebesar 5,68 persen dan tidak berpengaruh nyata terhadap T2 dan T3. sedangkan perlakuan suhu pengeringan T5 (70oC) menghasilkan kadar lemak tertinggi sebesar 6,47 persen.

Kadar lemak yang tinggi pada dendeng ikan lemuru dipengaruhi oleh penggunaan bahan baku yang mengandung kadar lemak sebesar 3,14 persen. Selain itu, persentase lemak dendeng meningkat seiring dengan kenaikan suhu pengeringan. Menurut pendapat Zuhra et al. (2012) yang menyatakan bahwa kadar lemak dan kadar air dalam dendeng ikan lemuru memiliki hubungan terbalik, dimana kadar lemak cenderung meningkat ketika kadar air rendah akibat pengeringan dengan suhu tinggi. Kenaikan kadar lemak akibat suhu pengeringan yang lebih tinggi dalam penelitian ini sejalan dengan Ikhsan et al.,(2018) bahwa pengaruh suhu tinggi pengeringan terhadap kadar lemak dalam

dendeng berkaitan dengan perubahan struktur protein dan interaksi molekul dalam jaringan daging. Proses pengeringan pada suhu tinggi menghasilkan panas yang merusak ikatan protein dan lemak dalam jaringan daging, sehingga memungkinkan lemak terlepas dan diekstraksi saat pengujian kadar lemak.

Karakteristik Fisik Dendeng Ikan Lemuru

Nilai rata-rata Aw, nilai kekerasan, dan indikator warna L, a*, b* dapat dilihat pada Tabel 3.

Nilai Aktivitas Air (Aw)

Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa suhu pengeringan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai aktivitas air (Aw) dendeng ikan lemuru. Pada data Tabel 4, dapat dilihat bahwa nilai Aw dendeng ikan lemuru berkisar antara 0,546 – 0,573. Nilai Aw terendah tercatat pada perlakuan suhu pengeringan T5 (70 oC) sebesar 0,546 sementara nilai Aw tertinggi terdapat pada perlakuan suhu pengeringan T1 (50oC) sebesar 0,573. Peningkatan Aw dipengaruhi oleh kenaikan suhu pengeringan.

Hasil pengukuran nilai Aktivitas Air (Aw) pada dendeng ikan lemuru sesuai dengan data kadar air yang tertera pada Tabel 3. Kenaikan suhu pengeringan mengakibatkan berkurangnya kadar air pada dendeng, dimana kadar air yang rendah ini akan berperan dalam menurunkan nilai Aw. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Suharyanto (2009) melaporkan

bahwa penurunan nilai aktivitas air (Aw) pada dendeng terjadi karena pengeringan dengan suhu tinggi yang menguapkan air dari dendeng, mengakibatkan kadar air dendeng berkurang dan nilai Aw dendeng rendah. Pada saat itu, udara di dalam oven berupaya menyeimbangkan antara uap air yang dihasilkan dengan yang diserap, hingga mencapai titik keseimbangan. Menentukan nilai Aw produk dendeng dapat menjadi faktor penting dalam menghitung masa simpannya. Pernyataan tersebut didukung oleh Sarifudin et al., (2015) mengklaim bahwa peningkatan nilai Aw cenderung memperpendek umur simpan suatu produk. Kisaran nilai Aw dendeng ikan lemuru ini masuk dalam kategori umum untuk dendeng. Huang et al., (2001) menyebutkan bahwa nilai Aw dendeng sayat berkisar antara 0,52-0,67. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Afrila et al., (2012) bahwa jumlah air dalam produk tidak cukup untuk mendukung pertumbuhan jamur, bakteri, dan khamir ketika nilai Aw turun di bawah batas ambang 0,6. Dampaknya, pertumbuhan mikroorganisme pada produk dendeng ini umumnya terhambat.

Kekerasan

Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa suhu pengeringan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap tingkat kekerasan dendeng ikan lemuru. Berdasarkan data yang terdapat dalam Tabel 3, dapat diamati bahwa kekerasan dendeng ikan lemuru berkisar antara 46,39 N – 72,52 N. Tingkat

kekerasan   terendah   diperoleh pada

perlakuan suhu pengeringan T1 (50oC) sebesar 46.39 N, sedangkan tingkat kekerasan   tertinggi   diperoleh pada

perlakuan suhu pengeringan T5 (70oC) sebesar 72,52 N yang tidak berbeda nyata dengan T4.

Peningkatan    nilai    kekerasan

dipengaruhi oleh kadar air dalam produk. Berdasarkan data kadar air dendeng pada Tabel 3, terlihat bahwa kadar air rendah pada perlakuan T5 menghasilkan nilai kekerasan yang lebih tinggi daripada kadar air tinggi pada perlakuan T1, yang menghasilkan nilai kekerasan terendah.    Seperti    yang

dikemukakan oleh Erni et al., (2018), bahwa tekstur bahan pangan dipengaruhi secara signifikan oleh kadar air dan aktivitas airnya. Cauvain et al., (2008) yang dikutip oleh   Sarifudin   et al.,   (2015) juga

menjelaskan bahwa kekerasan suatu produk dapat  meningkat ketika  kadar airnya

berkurang, temuan dari penelitian ini sejalan dengan pernyataan Sumbaga (2006) dalam Maisyaroh (2018) bahwa tekstur dendeng akan menjadi lebih keras ketika suhu naik dan jumlah air dalam produk berkurang. Menurut Agustini, (2012) mengatakan bahwa kriteria yang ideal untuk tekstur dendeng adalah daging yang padat dan keras, serta memiliki tekstur yang kering. Warna (L, a*, dan b*)

Nilai L (Kecerahan)

Hasil sidik ragam dalam Tabel 4 memperlihatkan bahwa perlakuan suhu

pengeringan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai L (Kecerahan) dendeng ikan lemuru. Skala kecerahan memiliki rentang nilai antara 0–100 diidentifikasi melalui nilai L, dimana warna hitam diwakilkan oleh nilai 0 dan warna putih diwakilkan oleh nilai 100. Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 4, dapat diamati bahwa nilai L dendeng ikan lemuru berkisar antara 24,8 – 30,3. Nilai L terendah pada penelitian ini diperoleh pada perlakuan suhu pengeringan T5 (70oC) sebesar 24,8 yang tidak berbeda nyata dengan T3 dan T4 sedangkan nilai L tertinggi diperoleh pada perlakuan suhu pengeringan T1 (50oC) sebesar 30,3 yang tidak berbeda nyata dengan T2. Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa semakin tinggi suhu pengeringan menyebabkan nilai L pada dendeng ikan lemuru semakin menurun.

Hasil ini sejalan dengan pendapat Konieczny et al. (2007) menyatakan bahwa semakin tinggi dan lama perlakuan panas yang diberikan maka semakin rendah tingkat L produk karena terbentuknya warna cokelat yang disebabkan reaksi maillard. Reaksi maillard terjadi ketika gula pereduksi (fruktosa dan glukosa) dalam gula merah bereaksi dengan gugus amino pada suhu tinggi dan kadar aktivitas air rendah, menghasilkan warna kecoklatan. Warna dendeng yang diinginkan menurut Handayani (2003) adalah coklat tua atau coklat kehitaman. Rentang nilai L pada dendeng ikan lemuru ini masih sesuai

dengan nilai rata-rata L dendeng yang umumnya tersedia di pasaran, yaitu antara 23,15 hingga 36,02 (Nuraini 1996).

Nilai a* (Kemerahan)

Hasil sidik ragam pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa perlakuan suhu pengeringan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai a* (Kemerahan) dendeng ikan lemuru. Kisaran -80 hingga 100 menunjukkan tingkat kemerahan dan kehijauan yang diindikasikan oleh nilai a*. Adanya unsur hijau pada bahan ditunjukkan dengan nilai a* negatif, sedangkan adanya unsur merah pada bahan ditunjukkan dengan nilai a* positif. Berdasarkan data yang terdapat dalam Tabel 3, dapat diamati bahwa nilai a* dendeng ikan lemuru berkisar antara 3,77 – 5,47. Nilai a* paling rendah pada penelitian ini ditunjukan pada perlakuan suhu pengeringan T1 (50oC) sebesar 3,77 yang tidak berbeda nyata dengan T2, sedangkan nilai a* paling tinggi ditunjukkan pada perlakuan suhu pengeringan T5 (70oC) sebesar 5,47 yang tidak berbeda nyata dengan T3 dan T4.

Nilai a* dendeng lemuru dalam penelitian ini masih sesuai dengan nilai rata-rata a* dendeng yang umumnya tersedia di pasaran, yaitu berkisar antara 0,26 sampai 5,50 (Nuraini, 1996). Berdasarkan hasil pengukuran a* pada dendeng ikan lemuru, dapat disimpulkan bahwa suhu pengeringan berkontribusi pada peningkatan nilai a* pada

dendeng ikan lemuru tersebut. Suharyanto (2009) menyatakan bahwa tingkat kemerahan dendeng ini dipengaruhi oleh reaksi pencoklatan non-enzimatik selama proses pengeringan. Saat pemanasan, gula pereduksi dan protein bereaksi secara non-enzimatik (reaksi maillard), yang menghasilkan produk dengan warna coklat kemerahan. Selain itu, pemanasan terjadi selama proses pengeringan, mengakibatkan denaturasi mioglobin. Susanto et al., (2012) mengklaim bahwa pelepasan gugus heme dari globin akibat denaturasi mioglobin menyebabkan gugus heme tersebut mudah teroksidasi. Proses pemanasan kemudian menghasilkan pembentukan pigmen teroksidasi yang memberikan warna coklat kemerahan.

Nilai b* (Kekuningan)

Hasil sidik ragam pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa perlakuan suhu pengeringan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai b* (Kekuningan) dendeng ikan lemuru. Kisaran -70 hingga +70 menunjukan tingkat kekuningan dan kebiruan yang diindikasi oleh nilai b*. Nilai b* antara 0 dan +70 menunjukan warna kuning, sedangkan warna biru ditunjukkan dengan nilai b* antara -70 dan 0. Berdasarkan data yang terdapat dalam Tabel 4, dapat diamati bahwa nilai b* dendeng ikan lemuru berkisar antara 4,80 – 6,67.

Tabel 5. Nilai rata-rata hasil uji hedonik dendeng ikan lemuru terhadap warna, aroma

tekstur dan penerimaan keseluruhan

Perlakuan

Warna

Aroma

Tekstur

Penerimaan Keseluruhan

T1 (50oC 8 jam)

3,90 ± 0,64c

3,75 ± 0,91b

3,60 ± 0,88c

4,05 ± 0,89b

T2 (55oC 8 jam)

4,05 ± 0,76bc

4,10 ± 0,79ab

4,30 ± 0,66ab

4,30 ± 0,73ab

T3 (60oC 8 jam)

4,35 ± 0,67ab

4,00 ± 0,79ab

4,00 ± 0,73bc

4,15 ± 0,67b

T4 (65oC 7 jam)

4,40 ± 0,60a

4,45 ± 0,69a

4,50 ± 0,69a

4,60 ± 0,60a

T5 (70oC 7 jam)

4,00 ± 0,79c

3,90 ±0,85b

3,90 ± 0,85bc

4,15± 0,75b

Keterangan: Nilai rata-rata ± standar deviasi (n=3). Nilai rata-rata yang diikuti dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan hasil yang berbeda nyata antar perlakuan (P<0,05)

Skala hedonik: 1= sangat tidak suka, 2= tidak suka, 3= biasa, 4= agak suka, 5= suka


Nilai b* paling rendah pada penelitian ini ditunjukan pada perlakuan suhu pengeringan T5 (70oC) sebesar 4,80, sedangkan nilai b* paling tinggi ditunjukkan pada perlakuan suhu pengeringan T1 (50oC) sebesar 6,67 yang tidak berbeda nyata dengan T2, T3 dan T4.

Berdasarkan hasil b* pada dendeng ikan lemuru tersebut diketahui bahwa semakin tinggi suhu pengeringan menyebabkan nilai b* dendeng ikan lemuru semakin berkurang atau terjadi penurunan warna kuning. Menurut Nuraini (1996), derajat kekuningan diduga berhubungan dengan proses pencoklatan non enzimatis yang berlangsung selama proses pemanasan. Penelitian Fadlilah et al., (2022) menyebutkan bahwa reaksi pencoklatan enzimatik adalah penyebab warna kuning dendeng ikan lemuru. Saat reaksi tersebut, terjadi penggabungan antara gugus amino bebas dan gugus karbonil pada gula pereduksi yang berasal dari gula merah dan asam jawa. Penggabungan ini menghasilkan glikosimin yang tidak memiliki warna

namun, saat proses pengeringan dendeng dengan suhu yang tinggi, produk tersebut terurai sehingga membentuk senyawa berwarna kuning tua. Oleh karena itu, semakin tinggi suhu pengeringan pada dendeng ikan lemuru maka semakin tinggi senyawa berwarna kuning tua yang dihasilkan atau derajat kekuningan dendeng semakin rendah.

Karakteristik Sensoris Dendeng Ikan Lemuru

Penilaian sifat sensoris dilakukan melalui pengujian hedonik. Hasil sidik ragam uji hedonik terhadap atribut warna, aroma, tekstur, dan penerimaan keseluruhan dapat ditemukan dalam Tabel 5.

Warna

Hasil sidik ragam dalam Tabel 5 memperlihatkan bahwa perlakuan suhu pengeringan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap warna dendeng ikan lemuru. Tabel 5 memperlihatkan nilai rata-rata hedonik warna dendeng ikan lemuru berkisar dari nilai 3,90 (biasa menuju agak suka) hingga nilai 4,40 (agak suka menuju suka). Nilai

kesukaan terendah terhadap warna dendeng ikan lemuru ditunjukan pada perlakuan T1 sebesar 3,90 dengan skala hedonik biasa menuju agak suka dan tidak berbeda nyata dengan T2 dan T5 sedangkan rata-rata nilai hedonik tertinggi ditunjukkan pada perlakuan T4 sebesar 4,40 (agak suka menuju suka) dan tidak berbeda nyata dengan T3.

Meningkatnya suhu pengeringan dalam pembuatan dendeng ikan lemuru dapat meningkatkan tingkat kesukaan terhadap warna dendeng. Hal ini diduga berhubungan dengan tingkat kecerahan dendeng ikan lemuru. Pengeringan pada perlakuan T1 (50oC), dendeng ikan lemuru berwarna cokelat pucat sehingga panelis kurang menyukainya namun, jika suhu pengeringan bertambah tinggi yaitu T5 (70oC) menghasilkan dendeng ikan lemuru berwarna cokelat kehitaman sehingga tingkat kesukaan panelis cenderung menurun pada perlakuan tersebut. Hasil ini didukung dengan studi yang dilaksanakan oleh Patang et al., (2016) terhadap dendeng ikan bandeng, dimana disimpulkan bahwa panelis lebih menyukai warna kecoklatan tanpa warna kehitaman (hangus).

Aroma

Hasil sidik ragam pada Tabel 5 menunjukan bahwa perlakuan suhu pengeringan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap aroma dendeng ikan lemuru. Tabel 5 memperlihatkan nilai rata-rata hedonik aroma dendeng ikan lemuru berkisar dari

nilai 3,75 (biasa menuju agak suka) hingga nilai 4,45 (agak suka menuju suka). Nilai kesukaan terendah terhadap warna dendeng ikan lemuru ditunjukan pada perlakuan T1 sebesar 3,75 dengan skala hedonik biasa menuju agak suka dan tidak berbeda nyata dengan T2, T3 dan T5 sedangkan rata-rata nilai hedonik tertinggi ditunjukkan pada perlakuan T4 sebesar 4,45 (agak suka menuju suka) dan tidak berbeda nyata dengan T2 dan T3.

Meningkatnya suhu pengeringan dalam pembuatan dendeng ikan lemuru dapat meningkatkan tingkat kesukaan terhadap aroma dendeng. Anugrah (2016) mengklaim bahwa senyawa-senyawa larut dalam air dan lemak, serta senyawa atsiri yang terkandung dalam rempah-rempah yang ditambahkan selama proses pemanasan dendeng, berperan dalam pembentukan senyawa volatil yang memberikan aroma khas pada dendeng. Panelis berpendapat bahwa dendeng dengan perlakuan T1 (50°C) masih memiliki sedikit aroma amis karena diduga proses pemanasan pada suhu tersebut belum sempurna, sedangkan dendeng dengan perlakuan T5 (70°C) memiliki aroma hangus. Hasil ini didukung oleh pernyataan Anugrah (2016) mengatakan bahwa proses karamelisasi gula menjadi tidak terkontrol akibat bertambahnya suhu yang digunakan pada dendeng saat pengeringan sehingga menyebabkan aroma karamel yang semakin terasa.

Tekstur

Hasil sidik ragam pada Tabel 5 menunjukan bahwa perlakuan suhu pengeringan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap tekstur dendeng ikan lemuru. Tabel 5 memperlihatkan nilai rata-rata hedonik tekstur dendeng ikan lemuru berkisar dari nilai 3,60 (biasa menuju agak suka) hingga nilai 4,50 (agak suka menuju suka). Nilai kesukaan terendah terhadap tekstur dendeng ikan lemuru ditunjukan pada perlakuan T1 sebesar 3,60 dengan skala hedonik biasa menuju agak suka dan tidak berbeda nyata dengan T3 dan T5 sedangkan rata-rata nilai hedonik tertinggi ditunjukkan pada perlakuan T4 sebesar 4,50 (agak suka menuju suka) dan tidak berbeda nyata dengan T2.

Menurut Maisyaroh et al., (2018), tekstur dendeng ikan nila berkorelasi terbalik dengan kadar airnya, dimana tekstur akan semakin keras apabila kadar airnya menurun. Panelis cenderung menyukai dendeng dengan tekstur keras, namun tingkat kesukaan semakin menurun pada perlakuan T5 (70oC) dikarenakan menurut pendapat panelis tekstur pada perlakuan tersebut sangat keras, hal ini terbukti dari hasil uji tingkat kekerasan dendeng ikan lemuru pada Tabel 3.

Penerimaan Keseluruhan

Hasil sidik ragam dalam Tabel 5 memperlihatkan bahwa suhu pengeringan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap penerimaan keseluruhan dendeng ikan lemuru. Diketahui bahwa pada penelitian ini

penerimaan keseluruhan terhadap dendeng ikan lemuru yaitu yang berkisar antara 4,05 (agak suka) sampai dengan 4,60 (agak suka menuju suka) mengindikasikan bahwa dendeng ikan lemuru dapat diterima secara keseluruhan oleh panelis. Rata-rata nilai paling rendah diperoleh pada perlakuan T1 (50oC) dengan kriteria agak suka dan tidak berbeda nyata dengan T2, T3 dan T5 sedangkan rata-rata nilai perlakuaan tertinggi ditunjukkan pada perlakuan T4 (65oC) dengan kriteria agak suka menuju suka dan tidak berbeda signifikan dengan T2. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa panelis cenderung menyukai dendeng ikan lemuru yang dikeringkan dengan suhu 65°C, yang menghasilkan warna kecoklatan, aroma khas dendeng, dan tekstur yang keras.

KESIMPULAN

Suhu pengeringan dalam pembuatan dendeng ikan lemuru berpengaruh nyata terhadap kadar air, kadar lemak, kadar protein, kadar abu, Aw, kekerasan, Warna (L, a*, dan b*) dan sifat sensoris, namun tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu tidak larut asam. Suhu pengeringan 65°C terbukti memberikan karakteristik terbaik pada dendeng ikan lemuru, dengan kadar air sebesar 11,51 persen, kadar lemak sebesar 6,10 persen, kadar protein sebesar 49,61 persen, kadar abu sebesar 11,04 persen, kadar abu yang tidak larut dalam asam sebesar 0.07 persen, nilai aktivitas air (Aw )

sebesar 0,555, tingkat kekerasan sebesar 69,25 N, serta nilai warna (L=26,50, a*=5,00, b*=4,87). Selain itu, panelis juga lebih menyukai sifat sensoris dendeng ikan lemuru yang dihasilkan pada suhu pengeringan 65°C, termasuk warna, aroma, tekstur, dan penerimaan keseluruhan.

DAFTAR PUSTAKA

Adawyah, R. (2008). Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara

Afrila, A., & Firman J. (2012). Keempukan, pH, dan Aktivitas Air (Aw) Dendeng Sapi pada Berbagai Konsentrasi Ekstrak Jahe (Zingiber officinale Roscoe) dan Lama. Jurnal Penelitian, 7(2), 6–12.

Agustini, W. (2012). Pengaruh Perendaman Terhadap Kualitas Dendeng Ikan Lele. Food Science and Culinary Education Journal,            1(1),            38–43.

http://ojs.uho.ac.id/index.php/peternakantr opis/article /view/2678

Alyani, F., Ma’Ruf, W. F., & Anggo, A. D. (2016). Pengaruh Lama Perebusan Ikan Bandeng (Chanos Chanos Forsk) Pindang Goreng Terhadap Kandungan Lisin Dan Protein Terlarut. Jurnal Pengolahan Dan Bioteknologi Hasil Perikanan, 5(1), 88–93.

Amaliana. (2015). Kadar Abu. Diakses dari: https://amaliana2015.wordpress.com/2015 /07/28/    laporan-praktikum-kadar-abu/.

Diakses pada 20 Juli 2016.

Anugrah, N. D. (2016). Pengaruh Metode Pengeringan dan Pemberian Bumbu terhadap Karakteristik Dendeng Giling Ikan Tongkol (Euthynnus Affinis) (Skripsi tidak diterbitkan). Fakultas Teknik. Universitas Pasundan: Bandung.

AOAC. (1995). Official Methods of Analysis. Edisi ke-15. Diterbitkan oleh AOAC, Inc., Suite 400,  2200 Wilson Boulevard,

Arlington, Virginia 2220, USA.

Asiah, N., & Djaeni, M. (2021). Konsep Dasar Proses Pengeringan Pangan (Edisi pertama). Malang AE Publishing. ISBN: 978-623-306-469-9.               URL:

https://aepublishing.id.

Badan Standardisasi Nasional. (2013). SNI 012908-2013. Syarat Mutu Dendeng Sapi. Jakarta.

BPS Provinsi Bali. (2021). Jumlah Produksi Perikanan Tangkap Kabupaten/Kota di Provinsi Bali, 2016-2021. Badung, Indonesia: Badan Pusat Statistik Provinsi Bali.

Damayanti, M.,  & Hersoelistyorini, W.

(2020). Pengaruh Penambahan Tepung Pisang Kepok Putih terhadap Sifat Fisik dan Sensori Stik. Jurnal Pangan Dan Gizi, 10(1),                               24-33.

http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JPDG

Erni, N., Kadirman, K., & Fadilah, R. (2018). Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan terhadap Sifat Kimia dan Organoleptik Tepung Umbi Talas (Colocasia esculenta). Jurnal Pendidikan Teknologi Pertanian, 1(1),                                      95.

https://doi.org/10.26858/jptp.v1i1.6223.

Fadlilah, A., Rosyidi, D., & Susilo, A. (2022). Karakteristik Warna L a b* dan Tekstur Dendeng Daging Kelinci yang Difermentasi dengan Lactobacillus plantarum*. Wahana Peternakan, 6(1), 30– 37.

https://doi.org/10.37090/jwputb.v6i1.533.

Gultom, G. H. U. (2020). Pengaruh Subsitusi Tepung Biji Nangka dan Tepung Ikan Lemuru terhadap Mutu Fisik dan Analisis Kandungan Zat Gizi (Protein, Kalsium, Zinc, Fe) Cookies (Skripsi tidak diterbitkan). Jurusan Gizi. Politeknik Kesehatan:                     Medan.

https://ecampus.poltekkes-medan.ac.id/xmlui/handle/123456789/587 0.

Harahap, M., Sari, N, I., & Syahrul. (2021). Karakteristik Dendeng Giling Ikan Patin (Pangasius Hypophthalmus) Asap dengan Varian Rasa. Jurnal Berkala Perikanan Terubuk, 49(2).

Hervelly & Rulianti, C. (2016). Kajian Karakteristik Dendeng Belut (Monopterus albus) Giling. Prosiding Seminar Nasional FKPT-TPI 2017.

Huang, T. C., & Nip, W. K.  (2001).

Intermediate-Moisture    Meat    and

Dehydrated Meat. In: YH Hui, WK Nip, RW Rogers, & OA Young (Eds.), Meat Science and Applications (pp. 403-442). Marcel Dekker, New York-Basel.

Husna, N. E., Asmawati, & Suwarjana, G.

(2014). Dendeng Ikan Leubiem (Canthidermis maculatus) dengan Variasi Metode Pembuatan, Jenis Gula, dan

Metode Pengeringan. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia, 6(3), 78–81.

Ikhsan, M., Muhsin, M., & Patang, P. (2018). Pengaruh Variasi Suhu Pengering terhadap Mutu Dendeng Ikan Lele Dumbo (Clarias Gariepinus). Jurnal Pendidikan Teknologi Pertanian,            2(2),            114.

https://doi.org/10.26858/jptp.v2i2.5166.

Ilhamdi, H.,  & Surahman, A. (2016).

Pengamatan Kondisi Biologi Ikan Lemuru (Sardinela lemuru) yang Tertangkap di Teluk Prigi Jawa Timur. Buletin Teknik Litkayasa Sumber Daya dan Penangkapan, 12(1),55–58.              https://ejournal-

balitbang.kkp.go.id/index.php/btl/article/vi ew /1179

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Tabel Komposisi Pangan Indonesia 2017. Direktorat Gizi Masyarakat.

Konieczny, P., Stangierski, J., & Kijowski, J. (2007). Physical and Chemical Characteristics and Acceptability of Home Style Beef Jerky. Meat Science, 76, 253257.

Kurnia, P.,  & Zulfiyani, K. S. (2022).

Kekerasan, Kerapuhan Dan Daya Terima Kukis Yang Dibuat Dari Substitusi Tepung Biji Mangga (Mangifera Indica L.). Jurnal Sagu,              21(1),              19.

https://doi.org/10.31258/sagu.21.1.p.19-28

Maisyaroh, U., Kurniawati, N., & Pratama, R. (2018). Pengaruh Penggunaan Jenis Gula dan Konsentrasi yang Berbeda terhadap Tingkat Kesukaan Dendeng Ikan Nila. Jurnal Perikanan Dan Kelautan, 9(2), 138– 146.

Merta, I. G. S. (1992). Dinamika Populasi Ikan Lemuru, Sardinella lemuru Bleeker 1853 (Pisces: Clupeidae) di Perairan Selat Bali dan Alternatif Pengelolaannya (Disertasi Tidak diterbitkan). Program Pasca Sarjana-IPB. Bogor.

Patang., Syam, H., & Yahya, M. (2016).

Variasi Berbagai Suhu Pengering terhadap Mutu Dendeng Ikan Bandeng (Chanos Chanos Sp.). Universitas Negeri Makasar, Makasar.

Perintan, R. (2018). Apa yang Anda Tahu Tentang Ikan Lemuru. Dictio. Diakses dari: https://www.dictio.id/t/apa-yang-anda-ketahui-tentang-ikan-lemuru/67036.

Diakses pada April 1, 2018.

Purnamasari, E., Munawarah, D. S., & Zam, D. S. I. (2013). Mutu Kimia Dendeng Semi Basah Daging Ayam yang Direndam Jus

Daun Sirih (Piper Betle L.) dengan Konsentrasi dan Lama Perendaman Berbeda. Jurnal Peternakan, 10(1), 917.

Purnomo, H. (2012). Teknologi Pengolahan dan Pengawetan Daging. Malang: Universitas Brawijaya Press. Diakses dari: https://books.google.co.id/books?hl=en&lr =&id=CC2xDwAAQBAJ. Diakses pada 23 September 2012.

Saputra, S. A., Suroso, E., Anungputri, P. S., & Murhadi. (2023). Pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap karakteristik fisik, kimia, dan sensori tepung kulit pisang raja bulu (Musa sapientum). Jurnal Agroindustri Berkelanjutan, 2(1), 86-95.

Sarastani, D., Kusumanti, I., & Indriastuti, C. E. (2023). Uji penerimaan konsumen terhadap mutu organoleptik petis ikan Situbondo dengan metode uji kesukaan. Jurnal Ilmiah Biologi, 11(1),  32-45.

https://doi.org/10.33394/bioscientist.v11i1 .6984

Sarifudin, A., Ekafitri, R., Diki, N., Surahman, S., Khudaifanny, D., Febrianti, A., Putri, B., Besar, P., Teknologi, T., Guna, J. K. S., Tubun, N., & Barat, J. (2015). Pengaruh Penambahan Telur pada Kandungan Proksimat, Karakteristik Aktivitas Air Bebas (Aw) dan Tekstural Snack Bar Berbasis Pisang (Musa paradisiaca). Jurnal Agritech, 35(1), 1–8.

Sucianti, A. (2021). Pengaruh Suhu Pengeringan     terhadap     Aktivitas

Antioksidan dan Karakteristik Teh Celup Herbal Daun Mint (Mentha piperita L). Skripsi (Tidak Diterbitkan). Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Udayana: Bali.

Suharyanto, S. (2009). Aktivitas Air (Aw) dan Warna Dendeng Daging Giling Terkait Cara Pencucian (Leaching) dan Jenis Daging yang Berbeda. Jurnal  Sain

Peternakan Indonesia, 4(2),  113–120.

https://doi.org/10.31186/jspi.id.4.2.113-120.

Suryati, T., Astawan, M., Lioe, H. N., & Wresdiyati, T. (2012). Curing ingredients, characteristics, total phenolic, and antioxidant activity of commercial Indonesian dried meat product (dendeng). Jurnal Media Peternakan, 35(2), 111–116. https://doi.org/10.5398/medpet.2012.35.2. 111.

Susanto, E., & Fahmi, A. S. (2012). Senyawa Fungsional dari Ikan: Aplikasinya dalam

Pangan. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, 1(4), 95-102.

Suwati., Ihromi, S., & Asmawati. (2019).

Konsentrasi Penambahan Gula Merah terhadap Sifat Kimia dan Organoleptik Ikan lemuru (Sardinelle longiceps). Jurnal Agribisnis Perikanan, 12(1),  112–119.

https://doi.org/10.29239/j.agrikan.

Swastawati, F., Syakur, A., Wijayanti, I., & Riyadi, P. (2015). Teknologi Pengeringan Ikan Modern. Media Peternakan, 3 (Juli), 1-11.             Diakses             dari:

https://www.researchgate.net/publication/ 345125921.

Syam, H., & Patang. (2018). Analisis Berbagai Suhu Pengering yang Berbeda terhadap Mutu Ikan Nila (Oerochromus niloticus). Universitas Negeri Makasar, Makasar.

Winarno., Fardias, S., & Fardias, D. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT Gramedia.

Yuli, I., Khasanah, N., Hasan, N., Khadafi, M. R., & Rusdiyana, E. (2021). Penguatan Ketahanan Masyarakat dalam Menghadapi Era New Normal melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna Bidang Pertanian. Proses Identifikasi Komposisi Keripik Jamur Japigo pada Kelompok Usaha Jamur Gondangmanis, 1(1), p-ISSN.

Zuhra, S., & Erlina, C. (2012). Pengaruh kondisi operasi alat pengering semprot terhadap kualitas susu bubuk jagung. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, 9(1), 36-44.

1050