Kebijakan Hukum Pidana terhadap Pelaku Penyalahguna Narkotika yang Mengulagi Perbuatannya Setelah Menjalani Sanksi Rehabilitasi
on
Kebijakan Hukum Pidana terhadap Pelaku Penyalahguna
Narkotika yang Mengulagi Perbuatannya Setelah Menjalani Sanksi Rehabilitasi
I Nyoman Agus Adi Priantara1, Sagung Putri M.E Purwani2
-
1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
-
2 Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail : [email protected]
Info Artikel
Masuk: 17 Mei 2023
Diterima: 20 Juli 2023
Terbit: 30 Desember 2023
Keywords:
Legal Policy; Narcotics;
Rehabilitation
Kata kunci:
Kebijakan Hukum; Narkotika;
Rehabilitasi
Corresponding Author:
I Nyoman Agus Adi Priantara, E-mail:
DOI:
10.24843/JMHU.2023.v12.i0
4.p16
Abstract
In Indonesia, there is a double track system in resolving narcotics cases, namely the imposition of laws in the form of action sanctions in the form of rehabilitation and criminal sanctions in the form of imprisonment. However, in reality law enforcers tend to impose criminal sanctions on narcotics addicts because they focus on the guilt of their actions and rarely apply rehabilitation sanctions. This study aims to examine and analyze legal policies for addicts or narcotics abusers based on Law Number 35 of 2009 and legal policies against narcotics abusers who repeat their actions. This study uses normative legal research with the types of approaches used include statutory approaches, case approaches, and legal concept analysis approaches related to narcotics crimes. This study explains that no legal regulations or policies have been found against addicts or narcotics abusers who repeat their actions, giving rise to empty norms that make it difficult for law enforcement officials to impose appropriate sanctions on these problems. The imposition of criminal sanctions on narcotics addicts and abusers is considered less effective in enforcement, so that in the future it is hoped that law-making apparatus can make a policy that can be useful for narcotics addicts and abusers. In determining future legal policies for narcotics addicts or abusers who repeat their actions after undergoing rehabilitation sanctions, several comparisons can be made, namely, legal comparisons through the RKUHP Criminal, Narcotics Bill and Comparison of Laws from various countries to be used as a reference for future legal formulations.
Abstrak
Di Indonesia mengenal double track system dalam penyelesaian kasus narkotika, yaitu penjatuhan hukum berupa sanksi tindakan berupa rehabilitasi serta sanksi pidana berupa pemenjaraan. Namun dalam kenyataanya para penegak hukum cenderung menjatuhkan sanksi pemidanaan terhadap pecandu narkotika karena mereka berfokus kepada kesalahan atas perbuatannya dan jarang menerpkan sanksi rehabilitasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis kebijakan Hukum Bagi Pecandu Atau Penyalahguna Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 serta kebijakan hukum terhadap penyalahguna mnarkotika yang mengulangi perbuatannya. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan
jenis pendekatan yang digunakan meliputi pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, serta pendekatan analisis konsep hukum terkait tindak pidana narkotika. Studi ini menjelaskan bahwa tidak ditemukannya pengaturan atau kebijakan hukum terhadap pecandu atau penyalahguna narkotika yang mengulangi perbuatannya, sehingga menimbulkan norma kosong yang mempersulit aparat penegak hukum untuk menjatuhkan sanksi yang sesuai terhadap permasalahan tersebut. Penjatuhan sanksi pemidanaan terhada para pecandu dan penyalahguna narkotika dianggap kurang efektif dalam penegakannya, sehingga kedepannya diharapkan agar aparatur pembuat undang undang dapat membuat suatu kebijakan yang dapat berguna bagi para pecandu dan penyalahguna narkotika. Dalam menentukan kebijakan hukum ke depan terhadap pecandu atau penyalahguna narkotika yang kembali mengulangi perbuatannya setelah menjalani sanksi rehabilitasi dapat mempergunakan beberapa perbandingan yakni, perbandingan hukum melalui KUHP, RUU Narkotika dan Perbandingan Hukum dari berbagai negara untuk dijadikan acuan formulasi hukum kedepan.
Kejahatan narkotika merupakan tindak pidana khusus yang menjadi permasalahan pada tingkatan Nasional maupun Internasional, hal ini disebabkan oleh dampak negatif dari penggunaannya dalam kehidupan bermasyarakat.1 Ada bermacam tindak pidana narkotika yang diketahui oleh masyarakat diantaranya, pertama penyalahgunaan dari narkotika tersebut telah melampaui takaran/dosis penggunaannya. Kemudian yang kedua, pengedaran Narkotika dan jual beli Narkotika secara illegal yang sudah jelas menyalahin aturan perundang-undangan. Ketiga, bentuk dari suatu tindak pidana narkotika itulah yang memicu penyebab terjadinya salah satu tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, yang secara langsung memicunya demoralisasi dalam kehidupan bermasyarakat.2
Indonesia pada saat ini sedang gencar-gencarnya dihadapkan dengan permasalahan narkotika yang sangat mengkhawatirkan akibat maraknya kasus penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika. Permasalah penyalahgunaan serta peredaran gelap narkotika setiap tahunnya mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Kekhawatiran terhadap permasalahan narkoika semakin meluas dikarenakan pemakaian dan peredaran gelap narkotika yang telah menjurus ke seluruh kalangan masyarakat di Indonesia.3
Jumlah pengguna, pengedar, dan produksi narkotika di Indonesia tumbuh 13,6% setiap tahunnya. Peredaran narkotika merasuk ke setiap sector kehidupan, dengan Rata-rata 50 orang meninggal setiap harinya akibat penyalahgunaan narkotika. Ironisnya narkotika tidak hanya disalahgunakan oleh kalangan masyarakat namun ada juga aparat penegak hukum yang tidak steril dari penggunaan narkotika, sehingga dalam pengupayaan tidak hanya dapat diatasi oleh pemerintah dan aparat penegak hukum saja, melainkan diperlukannya keterlibatan seluruh lapisan masyarakat agar berperan aktif dalam menekan peredaran narkotika di Indonesia.4
Pada dasarnya narkotika tidak serta merta berdampak negatif, namun dapat pula mempunyai manfaat yang positif terutama di bidang keilmuan kesehatan dan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan sebagai obat penyembuhan dengan takaran yang telah di tetepkan. Akan tetapi penggunaan narkotika tersebut sangat berbahaya jika disalahgunakan oleh oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab merusak generasi bangsa. Penyalahgunaan narkotika dapat berujung fatal serta menimbulkan penggunanya menjadi efek ketergantungan atau ketagihan terhadap narkotika tersebut, kemudian pengguanya akan senantiasa berusaha untuk mendapatkan narkotika karena zat tersebut sudah memasuki tubuhnya sehingga menimbulkan efek ketergantungan. Dalam hal ini, permasalahan narkotika merupakan salah satu sarana dalam rangka kegiatan subversi yang dapat menurunkan moralitas bangsa terutama pada generasi muda. 5
Penanggulangan permasalahan narkotika melalui dapat melalui kebijakan hukum pidana yang merupakan salah satu upaya dalam penegakan hukum di Indonesia yang makim lama makin menimbulkun berbagai macam permasalahan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka kebijakan hukum pidana dapat digunakan untuk memposisikan diri dari pecandu atau penyalahguna narkotika selaku korban, dan bukan dikatakan sebagai pelaku dari tindak pidana kejahatan terkecuali si pengguna atau penyalahguna tersebut merupakan seorang pengedar ataupun bandar. Perlu diingat dampak negatif dari narkotika tersebut tentu memerlukan penanganan khusus, salah satu upayanya merujuk para pecandu atau korban agar dapat memperolah pelayanan rehabilitasi yang telah tersedia di setiap daerah di Indonesia.6
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan tujuan dari Undang-Undang tersebut mrupakam amanat untuk dapat menjamin upaya rehabilitasi bagi pecandu dan penyalahguna narkotika baik secara medis maupun sosial. Dalam Pasal 54 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa ''Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial." Sebagai tindak lanjut terhadap pengaturan tersebut, maka Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu
Narkotika ke dalam Panti Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Dalam Surat Edaran tersebut sudah jelas memberikan klasifikasi pemberian rehabilitasi dalam tindak pidana narkotika untuk meletakkan rehabilitasi sebagai strategi penanggulangan tindak pidana narkotika.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada dasarnya memberikan konstruksi hukum dalam kebijakan rehabilitasi di Indonesia. Dalam penjabaran konstruksi norma pada Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terjadi benturan antara pendekatan kriminal dengan pendekatan kesehatan. Kondisi ini dapat dilihat dari data dimana masih banyak para dan penyalahgunaan narkotika yang tidak direhabilitasi melainkan di pidana pidana penjara. Para Pecandu atau penyalahgunaan narkotika merupakan suatu jenis kejahatan khusus yang mempunyai potensi dampak sosial dan kompleks ketika hukum pidana menjadi pilihan yang utama.7
Dewasa ini ditemukan pula narapidana narkotika yang menjadi residivis narkotika akibat adanya faktor-faktor pendorong orang tersebut kembali masuk ke dalam tindak pidana narkotika. Pengertian dari residivis merupakan pengulangan terhadap suatu tindak pidana atau kembali melakukan tindak kriminal setelah dijatuhi pidana atau tengah menjalani hukumannya.8 Dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat kekosongan norma atau belum diaturnya hukum mengenai seseorang pecandu atau penyalahguna narkotika yang telah dikenakan sanksi rehabilitasi kemudian mengulangi perbuatannya kembali. Dalam Undang-Undang tersebut juga tidak ada kejelasan apakah jika seseorang yang telah dikenakan sanksi rehabilitasi kemudian mengulangi perbuatannya yang serupa akan mendapatkan rehabilitasi kembali atau dikenakan sanksi pemidanaan yang lebih berat dikarenakan orang tersebut dapat dikatakan sebagai (residivis).
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kebijakan Hukum Bagi Pecandu Atau Penyalahguna Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 serta bagaimana kebijakan hukum terhadap penyalahguna mnarkotika yang mengulangi perbuatannya. Studi ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis kebijakan Hukum Bagi Pecandu Atau Penyalahguna Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 serta kebijakan hukum terhadap penyalahguna mnarkotika yang mengulangi perbuatannya. State of art (penelitian terdahulu) yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah Penelitian yang dilakukan oleh Ibrahim Nainggolan pada tahun 2019 dengan judul “Lembaga Pemasyarakatan Dalam Menjalankan Rehabilitasi Terhadap Narapidana Narkotika” yang mengkaji terkait Bagaimana rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang diselenggarakan Lembaga Pemasyarakatan serta Bagaimana kebijakan Lembaga Pemasyarakatan dalam pelaksanaan rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika.9 Adapun hal yang membedakan penelitian tersebut dengan
penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian tersebut lebih membahas terkait kebijakan Lembaga pemasyarakatan dalam melakukan rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika sementara penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih mengkaji secara mengkhusus terkait kebijakan Hukum Bagi Pecandu Atau Penyalahguna Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 serta kebijakan hukum terhadap penyalahguna mnarkotika yang mengulangi perbuatannya.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normative dengan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach). Jenis data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Adapun teknik pengumpulan data dengan pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Metode pengumpulan data ini berguna untuk mendapatkan landasan teori yang berupa pendapat para ahli mengenai hal yang menjadi obyek penelitian seperti peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan hal-hal yang perlu diteliti. Data yang telah diperoleh lalu dilakukan pengolahan dengan kegiatan sebagai berikut: editing, mengevaluasi semua data yang mempunyai relevansi dengan penelitian dan meng-sistemasikan data yang diperoleh satu sama lain untuk memudahkan kegiatan analisis yakni menyelesaikan tahap pengumpulan data, diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori untuk kemudian dihubungkan dengan teori guna pengambilan kesimpulan.
-
3. Hasil dan Pembahasan
Pelaku penyalahguna narkotika terbagi dalam dua katagori menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diantaranya pelaku sebagai yang dikatagorikan sebagai “pengedar” dan / atau pelaku penyalahguna yang dikatagorikan sebagai “pemakai”. Dalam Undang-undang Narkotika tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai pengertian dari pada “pengedar narkotika, namun secara implisit dan sempit dapat dikatakan bahwa, “pengedar narkotika adalah orang yang melakukan kegiatan penyaluran dan penyerahan narkotika.” Secara luas pengertian dari “pengedar narkotika” dapat berorientasi pada kegiatan penjualan atau pembelian untuk diedarkan, menyangkut, menyimpan, menguasai, menyediakan, melakukan kegiatan mengekpor dan mengimport narkotika. Dalam ketentuan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika maka “pengedar” diatur dalam Pasal 111,112,113,114,115,116,117, 118, 119,120, 121, 122, 123, 124, 125.10
Terhadap pengguna narkotika yang pada hakikanya ialah seseorang yang menggunakan zat atau obat yang berasal dari tumbuhan baik sintetis maupun semi sinteis yang memiliki efek samping berupa penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri serta dapat menimbulkan ketergantungan daripada narkotika tersebut. Terdapat perbedaan dalam penggolongan dari jenis narkotika sebagaimana yang telah terlampir dalam Undang-Undang Narkotika pada ketentuan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pengguna diatur pada Pasal 116, 121,126,127, 128, 134 Undang-Undang Narkotika. Kemudian, terlupakannya korban penyalahguna dari tindak pidana narkotika tidak dapat dilepaskan dengan hukum pidana di Indonesia, karena hukum pidana di Indonesia bersumber dari hukum pidana neo-klasik yang melahirkan hukum pidana yang bersifat daad–dader strafrecht yaitu (hukum pidana yang berorientasi pada perbuatan dan pelaku). 11 Aparat penegak hukum dan pembuat undang-undang mengedepankan pelaku tindak pidana yang memperoleh perlindungan hukum, dalam artian tidak seimbang dengan kepentingan dari korban penyalahguna narkotika dimana ini merupakan suatu gambaran timpang sebagai akibat dalam hukum acara pidana di Indonesia yag lebih mengedepankan proses hukum yang adil atau yang lebih dikenal dengan sebutan due process model.12
Pecandu narkotika merupakan Self Victimizing Victims yaitu Mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri. 13 Karena pecandu narkotika merupakan orang yang menderita sindroma ketergantungan dikarenakan efek dari penyalahgunaan narkotika. Namun, korban penyalahgunaan narkotika itu sepatutnya juga mendapatkan perhatian serta perlindungan yang khusus agar korban dapat pulih seperti sedia kala. Sanksi pidana dan sanksi tindakan merupakan system dua jalur mengenai sanksi dalam hukum pidana yang dikenal dengan istilah Double track system.14 Fokus dari sistem ini dibagi ke dalam 2 jenis dimana ada sanksi tindakan serta sanksi pidana. Dakam sanksi pidana berfokus terhadap sanksi pidana ditujukan kepada perbuatan salah yang dilakukan oleh seorang melalui pengenaan penderitaan yang menimbulkan efek jera terhadap pelakunya. 15 Sedangkan fokus dari sanksi tindakan lebih terarah kepada pengupayaan pemberian pertolongan pada pelaku agar dapat sembuh dari efek keterganungan terhadap narkotika. Berdasarkan hal tersebut, double track system dalam perumusan sanksi terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika dirasa paling tepat berdasarkan victimologi yang menjelaskan bahwa pecandu narkotika merupakan self victimizing victims yaitu korban sebagai pelakunya. Dalam tindak pidana Victimologi
tetap menempatkan penyalahguna narkotika selaku korban, meskipun dari tindakan pidana/ kejahatan yang dilakukannya oleh kehendak dirinya sendiri.16
Pembuktian terhadap penyalahguna narkotika yang dapat dikatakan selaku korban narkotika sangat sulit dilakukan sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Narkotika ysng harus melihat dari awal pengguna narkotika tersebut. Pembuktian terhadap penggolongan seorang dapat dikatakan selaku korban diperlukan pembuktian bahwa pengguna narkotika ketika menggunakan narkotika dalam kondisi dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/ atau diancam untuk menggunakan narkotika tanpa ada kehendak pada dirinya. 17 Dalam implementasinya Mahkamah Agung mengeluarkan terobosan dengan mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) Nomor 04 Tahun 2010 sebagai dasar pertimbangan oleh hakim dalam memutus serta menjatuhkan putusan perkara narkotika. Maka daripada itu pecandu narkotika yang juga dapat dikaagorikan selaku korban patut untuk mendapat perlindungan yang khusus. Namun, dikarena pecandu narkotika juga dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana/ kejahatan maka pecandu tersebut juga harus tetap mendapatkan hukuman akibat dari perbuatannya. Karena hal inilah maka dikatakan bahwa double track system dalam perumusan sanksi terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika dirasa paling tepat untuk memutus serta menjatuhkan sanksi tindakan ataupun sanksi pidana terhadap pecandu atau korban penyalahguna narkotika.18
Sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap para pecandu narkotika sebagai self victimizing victims merupakan sebuah bentuk menjalani masa hukuman dalam penjara, sedangkan sanksi tindakan yang diberikan kepada para pecandu narkotika sebagai korban yakni berupa pengobatan dan/atau perawatan yang diselenggarakan dalam bentuk fasilitas rehabilitasi guna bertujuan untuk membuat korban ataupun penyalahguna narkotika pulih dari zat narkotika, serta dalam sistem pelaksanaannya merupakan masa pengobatan dan/atau perawatan dihitung sebagai masa menjalani hukuman.19
Keberadaan UU Narkotika dinilai mengaburkan hak rehabilitasi dari pecandu atau pengguna narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi sosial maupun medis, dikarenakan aturan tersebut berfokus pada kriminalisasi dari pecandu ata penyalahguna narkotika
sehingga membawa dampak buruk bagi pengguna narkotika.20 Hasil penelitian pada tahun pertama, dalam hakim menjatuhkan terhadap pengguna narkotika menunjukan 99% putusannya merupakan pidana penjara atau hukuman badan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kebijakan hukum pidana melalui dekriminalisasi terhadap pengguna narkotika merupakan suatu hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus.21 Lembaga BNN pada hari Minggu 26 Januari 2014, mencanangkan di tahun 2014 sebagai tahun penyelamatan pengguna narkoba, sebagai tindak lanjut dari kebijakan dekriminalisasi dan depenalisasi bagi pengguna narkotika untuk mengantisipasi dan menekan jumlah pengguna narkotika yang terus bertambah setiap tahunnya di Indonesia.22
Konsep dekriminalisasi sudah diatur pada Pasal 54 UU Narkotika yang menjelaskan bahwa para pecandu narkotika wajib mendapatkan layanan rehabilitasi. 23 Konsep dekriminalisasa juga tercantum dalam Pasal 103 disebutkan “bahwa hakim dapat memutuskan dan menetapkan pecandu dan korban pengguna narkotika untuk menjalani pengobatan atau perawatan”. Pada Pasal 127 ayat (3) dijelaskan bahwa “dalam memutus perkara terhadap pengguna narkotika, hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103”. Kerangka daripada konsep dekriminalisasi juga sudah diaktualisasikan pada Peraturan Pemarintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika disenyebutkan bahwa Institusi Penerima Wajib Lapor (PP IPWL), tepatnya pada Pasal 13 ayat (4).24 Pada isi pasal tersebut dijelaskan bahwa sejak tahapan penyidikan, penuntutan, dan pengadilan sekalipun, pengguna narkotika berhak untuk ditempatkan di pusat rehabilitasi agar dapat menjalani pemulihan psikis dan mental dari pecandu atau penyalahguna narkotika. Hal tersebut harus berdasarkan hasil rekomendasi dari tim assessment yang telah memastikan apakah orang tersebut merupakan pecandu atau pengguna narkoba murni dan bukan merupakan seorang pengedar maupun bandar.25
-
3.3 Kebijakan Hukum Terhadap Pecandu dan Penyalahguna Narkotika yang Telah di
Rehabilitasi Kemudian Kembali Melakukan Perbuatannya di Masa Mendatang
Undang-Undang Narkotika telah mengklasifikasikan sesuatu tindakan yang diklasifikasikan selaku tindak pidana narkotika beserta sanksi pidana cocok dengan perbuatan yang dikerjakan oleh pelakunya. Klasifikasi tindakan dari penyalahguna narkotika diatur dalam Pasal 127 yang menganut sistem double track system, yakni hakim diberikan kewenangan untuk memutus suatu perkara dengan penjatuhan sanksi
pemidanaan atau sanksi tindakan berupa rehabilitasi kepada pecandu narkotika. 26 Disamping itu bersumber pada pada Pasal 103 UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika Mahkamah Agung RI sudah membuat sesuatu terobosan dengan menghasilkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang penetapan penyalahgunaan, korban penyalahgunaan, serta Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Kedokteran serta Rehabilitasi Sosial selaku pengganti dari Surat Edaran Mahkamah Agung No 07 Tahun 2009. Namun dalam Pelaksanaannya SEMA tersebut terkendala sebab memutuskan masalah pengguna narkotika hakim tidak bisa mengintervensi aparat penegak hukum lainya (penyidik serta penuntut universal).27
Selain SEMA No 04 Tahun 2010 ada juga beberapa ketentuan lain seperti Peraturan Bersama ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 11 maret 2014. Selain itu BNN Republik Indonesia sudah mengeluarkan MAKLUMAT Nomor: MAK/01/III/2014/BNN Tentang Penyelamatan Pengguna Narkoba yang dibuat di Jakarta pada tanggal: 27 Maret 2014 yang dasarnya menyatakan bahwa “pemulihan berupa Rehabilitasi merupakan cara terbaik yang dapat digunakan kepada penyalaguna narkotika bagi korban penyalah guna narkotika.”28
Langkah untuk menyelamatkan penyalahguna narkotika dari hukuman pemenjaraan sekiranua diperlukan langkah reformulasi terhadap norma dari Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 khusnya terkait dengan kedudukan penyalah guna narkotika melalui pengaturan dan jenis sanksi yang tepat, dapat memberikan kemanfaatan sesuai dengan kedudukannya, serta penegasan tujuan pasal kwalifikasi tindak pidana narkotika yang unsurnya dapat terpenuhi secara otomatis ketika seseorang menyalah gunakan narkotika bagi diri sendiri. Permasalahan sentral dalam kebijakan penal merupakan penentuan daripada perbuatan yang seharusnya dijadikan tindak pidana yaitu dapat melalui kebijakan kriminalisasi, serta sanksi apa yang sebaiknya dijatuhkan kepada si pelanggar (yaitu melalui kebijakan depenalisasi).29 Barda Nawawi Arief dan Muladi menyatakan bahwa “Hubungan antara penetapan sanksi pidana dan tujuan pemidanaan adalah titik penting dalam menentukan strategi perencanaan politik criminal”.30 Menentukan tujuan
pemidanaan dapat menjadi landasan untuk menentukan cara, sarana atau tindakan yang akan digunakan. Selanjutnya Barda Nawawi Arief menegaskan bahwa “politik kriminal merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare), oleh karena itu tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”.31
Melihat Hukum ke depan berdasarkan KUHP Tindak Pidana penyalahgunaan Narkotika Psikotropika Bahan rumusan tindak pidana narkotika berasal dari Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Naskah Akademik KUHP telah menggabungkan psikotropika dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang dimuat dalam lampiran Narkotika Golongan I. KUHP Pidana dalam pasal 64 dan 65 Memuat pidanan pokok yakni pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan kerja sosial. Ketentuan pidana pokok tersebut telah membuat banyak sanksi alternatif selain penjatuhan sanksi pidana. Dalam Hal ini, sanksi kerja sosial merupakan penjatuhan pemberatan sanksi yang dirasa tepat dapat menjatuhkan pemberatan hukuman terhadap pecandu atau penyalahguna narkotika agar mereka dapat produktif kembali sehingga nantinya dapat di terima kembali ke dalam masyarakat.32
Pemahaman secara utuh mengenai jenis sanksi tindakan yang tepat untuk diterapkan terhadap penyalahguna narkotika dapat kita lihat dari tujuan pembuatan yang sekaligus sebagai roh dalam UU No 35 tahun 2009 sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 (d) yang menyatakan “Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika”. Dalam penjelasan tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 54 yang berbunyi “Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”. Dalam Penjelasan Pasal tersebut berisikan sanksi yang harusnya dijatuhkan terhadap penyalahguna narkotika berupa sanksi tindakan yang wujudnya berupa “rehabilitasi medis dan rehabilitasisosial” dan tentunya bukan sanksi pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 127 Undang Undang Narkotika.
Perbuatan yang dilakukan penyalah guna narkotika meskipun telah memenuhi unsur tindak pidana narkotika, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 111, 112, 114 dan pasal lain yang memenuhi unsur “memiliki”, “menyimpan”, “menguasai” dan atau “membeli” dapat dijauhi sanksi pemidanaan baginya. Sanksi yang seharus diterapkan untuk permasalahan katagori pecandu narkotika merupakan sanksi tindakan sebagai wujudn nyata berupa rehabilitasi medis dan rehabilitasi social yang merupakan tujuan dari Undang-Undang Narkotika. Rehabilitasi Medis yang dimaksud merupakan “suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk memulihkan pecandu dari ketergantungan narkotika, sedangkan Rehabilitasi Sosial yang merupakan suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali bersosialisasi dalam kehidupan masyarakat”. 33 Pedoman kriteria yang pada dasarnya digunakan untuk menerapkan rehabilitasi bagi pelaku
tindak pidana narkotika dapat dilihat dari sikap batin (mens rea/criminal intention) dari dalam diri pecandu. Jika dalam hal ini pelaku tindak pidana narkotika melakukan perbuatan serta terbukti bahwa sikap batinnya sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya, maka tepat jika diterapkan sanksi pemidanaan bagi pelaku tindak pidana narkotika tersebut.34
Perbuatan penyalahguna narkotika merkipun telah memenuhi unsur delik pidana seperti yang telah dijantukan dalam perundang-undanga di Indonesia, jika sepanjang niat (mens rea / criminal intention) sipelaku merupakan digunakan untuk dirinya sendiri akibat dari suatu ketergantungan pada jenis narkotika tersebut sudah sepatutnya si pelaku tidak dapat di jatuhkan sanksi pidana berupa pemenjaraan. Penjatuhan sanksi yang tepat bagi pecandu yang dalam hal ini memang benar terbukti adanya hanya selaku pengguna dengan efek kecanduan yang kronis harus berwujud berupa rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Dalam arti yang lebih di sederhanakan, bahwasanya setiap penyalahguna narkotika bagi diri sendiri tanpa didasari indikasi tindak pidana lain seperti mengedar, menjual, import, produksi tidak diboleh dijatuhi sanksi pidana penjara melainkan harus dijatuhi sanksi tindakan untuk di rehabilitasi yang dinilai lebih manusiawi sehingga pelaku nantinya dalam pulih kembali.
Dengan mengganti ketentuan pidana dan mewajibkan untuk merehabilitasi penyalah guna narkotika bagi diri sendiri, dapat menyelamatkan masa kini maupun masa depan dari penyalahguna narkotika seperti yang kita ketahui kebanyakan dari usia remaja yang nantinya akan memimpin bangsa kedepannya. Sanksi tindakan berupa rehabilitasi terhadap penyalah guna narkotika telah sesuai dengan tujuan dari pemidanaan yakni teori “treatment” yang berpendapat bahwa “pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya”. Pemidanaan yang dimaksudkan dalam aliran ini merupakan untuk memberikan pengobatan serta pemulihan kepada pecandu atas penghukuman dari perbuatannya. Dalam teori ini berdasarkan “bahwa pelaku kejahatan meruakan orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) yang khusus”.35
Sesuai dengan yang disampaikan dr. Kusman Suriakusumah yang menyatakan bahwa “Pengguna narkoba bisa pulih total harus memenuhi empat hal yaitu Drugs free (bebas narkoba), Crime free (bebas dari criminal) Produktif (bekerja) dan Health life (hidup sehat).”36 Bagi mantan penyalah guna narkotika dapat dikatakan pulih dan dapat kembali bekerja secara produktif apabila mantan penyalah guna tersebut sudah mampu kembali bekerja kembali seperti sediakala. Dari penjelasan diatas, maka dibutuhkan kegiatan positif yang berguna bagi mereka serta dapat membuka relasi untuk memperoleh pekerjaan, sehingga penyalah guna narkotika tersebut pulih total dan tidak kembali tergantung pada narkotika. Sudah sepatutnya diperlukan reformulasi sanksi dalam undang undang narkotika dimasa mendatang dengan memberikan kedudukan bagi
penyalah guna narkotika bagi diri sendiri sebagai orang yang sakit yang sedang membutuhkan perhatian atau perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation), bukan sebagai kriminal (pelaku kejahatan). Sehingga para pecandu dapat pulih seperti sedia kala, maka dengan demikian pemerintah untuk penyelamatan bagi penyalahguna narkotika (pecandu narkotika) juga dapat terealisasikan. Indonesia merupakan negara yang sangat berpotensi menerapkan sanksi tindakan berupa rehabilitasi terhadap pecandu narkotika. Potensi tersebut didukung dengan penyediaan 2.200 Rumah Sakit dan 11.000 Puskesmas yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia yang dapat diperdayagunakan sebagai tempat rehabilitasi bagi korban pecandu dan penyalahguna narkotika.37
Memastikan Hukum ke depan juga bisa memandang ke dalam RUU Narkotika yang dinilai mengedepankan pendekatan Kesehatan seperti yang termuat dalam Pasal 56,57,58,60 dan Pasal 61 RUU Narkotika yang dianggap mementingkan penjatuhan rehabilitasi secara medis dan sosial sertadisana juga dilibatkan pengawasan yang lebih di perketat oleh pemerintah di dalamnya. Dalam RUU Narkotika juga terdapat penjelasan yang lebih rinci mengenai peranan serta masyarakat yang dilibatkan dalam memerangi peredaran gelap narkotika, penjelasan tersebut termuat dalam Pasal 104,106 dan 107 RUU Narkotika. Jadi dalam RUU tersebut bukan hanya aparat penegak hukum yang memiliki wewenang saja yang dapat dilibatkan untuk memerangi peredaran gelap narkotika, tetapi juga perlunya peranan aktif dari masyarakat yang turun secara langsung memerangi permasalahan narkotika. Banyak negara di dunia telah mengevaluasi pola pemberian pemidanaan untuk pengguna narkotika dan memberikan rehabilitasi sebagai bentuk hukuman atas perbuatan dari para orang yang memang terbukti sebagai pecandu. Rehabilitasi dalam skala besaran sebagai langkah menyelamatkan pengguna narkotika agar dapat kembali pulih dapat kita bandingkan dengan negara Thailand, di negara tersebut telah berhasil merehabilitasi empat ratus ribu orang setiap tahunnya dengan merujuk rumah sakit, puskesmas serta Lembaga Kesehatan yang ada di negara tersebut untuk terjun langsung melakukan penyembuhan terhadap pecandu narkotika.38
Sebagai pembanding formulasi pengaturan terhadap penyalah guna narkotika, dapat kita bandingkan juga dengan negara di negara Portugal. Dimana pengaturan di Portugal (Portugal’s Law 30/2000) jika di terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menyebukan bahwa “Pecandu narkotika yang memiliki narkotika untuk digunakan sendiri tetap terlarang, namun pelanggaran dari aturan ini akan dianggap pelanggaran administratif dan bukan lagi dianggap sebagai kejahatan”. Kebijakan dekriminalisasi di Portugal bukan mengartikan penyalahgunaan narkotika merupakan suatu hal yang legal dan tidak dilarang oleh hukum, melainkan dibuatkannya pemisahan secara tegas antara penyalahguna narkotika dengan pengedar atau penjual dan fokus penjatuhan pemenjaraannya terhadap pengedar atau penjual, bukan kepada penggunanya.39
Menurut Gustav Radbruch, terdapat tiga ide dasar hukum atau tiga tujuan hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. 40 Dari ketiga ide dasar hukum itu, kepastian hukum menghendaki bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang
harus ditaati tentunya tidak hanya terhadap bagaimana peraturan tersebut dilaksanakan, akan tetapi bagaimana norma-norma atau materi muatan dalam peraturan tersebut memuat prinsip-prinsip dasar hukum.41 Menurut Radbruch, kepastian hukum dimaknai dengan kondisi hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati. 42 Terciptanya kepastian hukum bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Menurut Fence M. Wantu, “hukum tanpa nilai kepastian hukum akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedman perilaku bagi semua orang”.43 Kepastian hukum diartikan sebagai kejelasan norma sehingga dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat yang dikenakan peraturan, sehingga tidak menimbulkan banyak tafsir.44
Dari penjelasan diatas dapat dijadikan acuan terhadap reformulasi Undang-Undang Narkotika, dengan jalan menghilangkan rasa takut dari penjatuhan sanksi terhadap penyalah guna narkotika. Negara Portugal merupakan salah satu negara yang telah berhasil menekan jumlah pengguna narkotika serta memberi kesempatan kembali kepada para penyalahguna untuk menyembuhkan dirinya seperti sedia kala sehingga nantinya dapat bekerja kembali secara produktif agar dapat diterima kembali ke dalam kelompok masyarakat. Berkaca daripada keberhasilan di Portugal, berbagai negara di dunia juga memulai mempertimbangkan dekriminalisasi terhadap penyalahgunaan narkotika.45
Penanggulangan penggunaan Narkotika khususnya di Australia, juga menunjukkan bahwa diversi ke treatment dan rehabilitasi bagi pengguna Narkotika telah terbukti efektif dan biaya yang dikeluarkan lebih murah dibanding sistem pemenjaraan yang selama ini diterpkan. Kebijakan rehabilitasi di Austrlia terhadap penyalahguna narkotika dengan pemberlakuan Drug Court sejak tahun 1999 yang bertujuan untuk mengalihkan pecandu narkotika dari sistem hukuman pemidanaan menjadi hukuman berupa rehabilitasi. Dalam Drug Court pecandu dituntut untuk melakukan kerja social, serta dimasukan ke dalam suatu komunitas dan mendapatkan program rehabilitasi dalam kurun waktu 12 bulan.46 Dari penjelasan diatas, Drug Court dapat dijadikan pedoman karena selara dengan tujuan dari yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang tercantum dalam Pasal 127 ayat (3) dan Pasal 128 ayat (3). Pasal-pasal inilah yang seharusnya menjadi prioritas dalam penegakan hukum bagi pengguna dan pecandu. Kebijakan Rehabilitasi diberlakukan juga di Negara Prancis dengan melakukan Individual Treatment Approch dengan cara disediakannya berbagai fasilias guna menunjang rehabilitasi yang dapat di pilih oleh si pecandu sesuai efek dari ketergantungan daripada si pecandu tersebut. Hakim dapat memberikan alternatif sanksi lain seperti pembayaran denda sehingga pemenjaraan bukanlah hal yang diutamakan di negara Prancis dalam menghukum pecandu narkotika.
Keberhasilan yang diraih terhadap beberapa negara yang diuraikan di atas maka, sudah sepatutnya di Indonesia dapat mencontoh bahwa penegak hukum dalam hal ini menyangkut Polisi, Jaksa Penuntut Umum, BNN maupun Hakim dalam menempatkan kedudukan dari penyalah guna narkotika dimasukan ke dalam katagori orang yang sakit ataupun korban yang harus di rehabilitasi guna pemulihan kondisi psikis dan mental dari si pecandu. Sehingga yang menjadi fokus dari penegak hukum ke depan ialah dengan menangkap pengedar yang merupakan pelaku kejahatan narkotika sebenarnya merupakan dalang daripada peredaran pasar gelap di Indonesia yang sejak terdahulu menjadi permasalahan besar dan perlu memdapatkan perhatian khusu oleh Pemerintah serta aparat penegak hukum teruma aparat pembuat Undang Undang agar kedepannya dapat membuat aturan atau kebijakan yang lebih baik serta menyejahterakan masyarakat. Besar harapan penulis agar negara Indonesia bisa mencontoh negara lain yang telah berhasil memerangi kejahatan narkotika sehingga kedepannya dapat meningkatkan moralitas bangsa yang selama ini terbelenggu oleh narkotika terutama kepada gernerasi muda yang mayoritasnya sebagai pecandu narkotika, para generasi muda tersebut harus diselamatkan dan diberikan pengobatan karena merekalah sebagai penentu arah bangsa ke depan.
Berdasarkan hasil analisis sebagaimana yang diuraikan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut Tidak ditemukannya pengaturan atau kebijakan hukum terhadap pecandu atau penyalahguna narkotika yang mengulangi perbuatannya, sehingga menimbulkan norma kosong yang mempersulit aparat penegak hukum untuk menjatuhkan sanksi yang sesuai terhadap permasalahan tersebut. Penjatuhan sanksi pemidanaan terhada para pecandu dan penyalahguna narkotika dianggap kurang efektif dalam penegakannya, sehingga kedepannya diharapkan agar aparatur pembuat undang undang dapat membuat suatu kebijakan yang dapat berguna bagi para pecandu dan penyalahguna narkotika. Dalam menentukan kebijakan hukum ke depan terhadap pecandu atau penyalahguna narkotika yang kembali mengulangi perbuatannya setelah menjalani sanksi rehabilitasi dapat mempergunakan beberapa perbandingan yakni, perbandingan hukum melalui UU Narkotika dan RUU Narkotika dan Perbandingan Hukum dari berbagai negara salah satunya Negara Australia untuk dijadikan acuan formulasi hukum kedepan.
Daftar Pustaka
Adi, Koesno. “Kebijakan Kriminal Tindak Pidana Narkotika.” Setara Pres, Malang, 2014.
AGUSTIANA, AGUSTIANA. "REKONSTRUKSI PELAKSANAAN REHABILITASI MEDIS DAN REHABILITASI SOSIAL KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA BERBASIS NILAI KEMANUSIAAN." PhD diss., Universitas Islam Sultan Agung Semarang, 2022.
Astutuk, Titik Sri. "Peranan Asesmen Oleh Badan Narkotika Nasional Sebagai Pertimbangan Hukum Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika." IUS: Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum 9, no. 01 (2022): 66-82.
Bahagiati, Kurniasih. "Filsafat pemidanaan terhadap penyalah guna narkotika bagi diri sendiri dalam perspektif hukum positif dan hukum pidana islam." Era Hukum-Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum 18, no. 1 (2020).
Darwis, M. Kes. Menghukum Atau Memulihkan: Suatu Tinjauan Sosiologis Tentang Tindakan Terhadap Penyalahguna Nafza. Vol. 1. SAH MEDIA, 2018.
Dewi, A A Istri Mas Candra. “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Penyalahguna Narkotika Dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.” None 1, no. 1 (2012): 44084.
Dollar, Dollar, and Khairul Riza. "Penerapan Kualifikasi Penyalahguna, Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Tindak Pidana Narkotika demi Mewujudkan Nilai Keadilan." Kajian Ilmiah Hukum dan Kenegaraan 1, no. 1 (2022): 13-21.
Government, Department of Health Australia. “Drug and Alcohol Rehabilition.” Health Direct, 2022. https://www.healthdirect.gov.au/drug-and-alcohol-rehabilitation.
Hasanah, Nur Hafizal, and Eko Soponyono. "Kebijakan Hukum Pidana Sanksi Kebiri Kimia dalam Perspektif HAM dan Hukum Pidana Indonesia." Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 7, no. 3 (2018): 305-317.
Hafrida, Hafrida. "Kebijakan Hukum Pidana terhadap Pengguna Narkotika sebagai Korban Bukan Pelaku Tindak Pidana: Studi Lapangan Daerah Jambi." Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) 3, no. 1 (2016): 173-191.
Harahap, Deddy Z. "PENCEGAHAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM SUMATERA UTARA (STUDI PADA DIREKTORAT NARKOBA POLDA SUMATERA UTARA)." PhD diss., 2020.
Harefa, Safaruddin. "Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Di Indonesia Melaui Hukum Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam." University Of Bengkulu Law Journal 4, no. 1 (2019): 35-58.
Harsya, Rabith Madah Khulaili, Abdul Fatakh, and Umdah Aulia Rohmah. "Penetapan Sanksi Pidana Dan Tindakan Sebagai Sistem Pemidanaan Di Indonesia." YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum 8, no. 2 (2022): 57-63.
Hidayatun, Siti, and Yeni Widowaty. "Konsep Rehabilitasi Bagi Pengguna Narkotika yang Berkeadilan." Jurnal penegakan hukum dan keadilan 1, no. 2 (2020).
Iskandar, Nanang. “Roger, Layak Ditahan Atau Di Rehab.” Indonesia: ILC, 2014.
Kristiani, Destalia. "Konsep Pidana Rehabilitasi Berbasis Teori Keadilan Bermartabat bagi Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika." Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 7, no. 2 (2022): 395-404.
Muslih, M., 2017. Negara Hukum Indonesia Dalam Perspektif Teori Hukum Gustav Radbruch (Tiga Nilai Dasar Hukum). Legalitas: Jurnal Hukum, 4(1), pp.130-152.
Nainggolan, I. (2019). Lembaga Pemasyarakatan Dalam Menjalankan Rehabilitasi Terhadap Narapidana Narkotika. EduTech: Jurnal Ilmu Pendidikan dan Ilmu Sosial, 5(2)
Pakpahan, Hatarto. "Kebijakan Formulasi Sanksi Tindakan Bagi Pengguna Dalam Tindak Pidana Narkotika." Arena Hukum 7, no. 2 (2014): 225-246.
Permana, Andita Hadi. “Sejarah Hukum Undang-Undang Narkotika Di Indonesia Yang Mulai Dari Tahun 1976 Sampai Dengan Tahun 2011.” Ilmu Hukum Bisnis, 2012. http://ilmuhukumbisnis.blogspot.com/2012/01/sejarah-hukum-undang-undang-narkotika.html.
Q, Yufe Hidup. “Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Residivis Berdasarkan Prinsip Pemasyarakatan Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II.A Biaro.” Academia. Andalas Padang, 2011.
Richi, Fransilirus Nong. "Implementasi Sistem Pemidanaan Dua Jalur (Double Track System) bagi Pelaku Penyalahguna Narkotika sebagai Upaya untuk Mengurangi Overcrowding di dalam Lembaga Pemasyarakatan." YUDHISTIRA: Jurnal Yurisprudensi, Hukum dan Peradilan 1, no. 1 (2023): 11-22
Suyatna, Uyat. "Evaluasi kebijakan narkotika pada 34 provinsi di Indonesia." Sosiohumaniora 20, no. 2 (2018): 168-176.
Saputro, Deni. "Efektivitas Hukuman Penjara Bagi Penyalahgunaan Narkotika Sesuai Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika." Journal of Law (Jurnal Ilmu Hukum) 6, no. 2 (2021): 453-473.
Sakdiyah, Fasichatus, Erny Herlin Setyorini, and Otto Yudianto. "Model Double Track System Pidana Terhadap Pelaku Penyalahgunaannarkotika Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009." Jurnal Yustitia 22, no. 1 (2021).
Setiabudhi, I Ketut Rai. “Penanggulangan New Psychoative Substance (Zak Psikoaktif Baru Dalam Perspektif Hukum Pidana Sebuah Tinjauan Teoritis).” Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2019.
Sinaga, Merry Natalia. "Ide Dasar Double Track System: Sanksi Pidana Dan Tindakan Sebagai Sistem Pemidanaan Terhadap Pelaku Kejahatan Penyalahgunaan Narkotika." Jurnal Penelitian Pendidikan Sosial Humaniora 3, no. 1 (2018): 337-345.
Saputro, Heri Joko. "Kebijakan Publik Terhadap Pengguna Narkoba Yang Dihukum Pasal 127 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika." Jurnal Ilmiah Publika 9, no. 1 (2021): 25-41.
Simanungkalit, Parasian. "Model Pemidanaan yang ideal bagi korban pengguna narkoba di Indonesia." Yustisia Jurnal Hukum 1, no. 3 (2012).
Tenriawaru, S. H., Wisnu Murtopo Nur Muhammad MH, MH SH, S. H. Efan Apturedi, Baniara Mangapul Sinaga MH, MH SH, and S. H. Dimas Pranowo. Perbandingan
Penerapan Sistem Hukum Progresif (Plea Bargain VS Restorative Justice). Penerbit Adab, 2022.,
Utama, Singgih Aditya. "Perlindungan Hukum Terhadap Korban Ketergantungan Penyalahgunaan Narkotika." Badamai Law Journal 3, no. 2 (2018): 224-244.
Winanti, Atik. “Upaya Rehabilitasi Terhadap Pecandu Narkotika Dalam Perspektif Hukum Pidana.” Adil: Jurnal Hukum 10, no. 1 (2019).
Wijayanta, T., 2014. Asas kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan dalam kaitannya dengan putusan kepailitan pengadilan niaga. Jurnal Dinamika Hukum, 14(2), pp.216-226.
Wibawanti, S.S., 2013. Keadilan Sebagai Tujuan Hukum Dalam Prespektif Filsafat Hukum, Gramedia, Jakarta,
Yufe Hidup Q, “Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Residivis Berdasarkan Prinsip Pemasyarakatan Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II.A Biaro,” Academia (Andalas Padang, 2011).
Zaidan, M. Ali. Menuju pembaruan hukum pidana. Sinar Grafika, 2022.,
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143).
Undang Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10).
Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional.
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 26 Tahun 2012 Tentang Standar rehabilitasi social korban penyalahguna narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1218).
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Panti Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.
Keputusan Mensos Republik Indonesia No. 41/HUK/2014 Tentang Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahguna Narkotika.
1018
Discussion and feedback