Implementasi Pengelolaan Tanah di Desa Adat Kerobokan untuk Kegiatan Industri Pariwisata
on
![](https://jurnal.harianregional.com/media/100566-1.jpg)
Implementasi Pengelolaan Tanah di Desa Adat Kerobokan untuk Kegiatan Industri Pariwisata
Lis Julianti1, I Made Sudirga2
1Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar, E-mail: [email protected]
2Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 30 Februari 2023
Diterima: 27 Juli 2023
Terbit: 29 Juli 2023
Keywords:
Land, Custom Village, Tourism
Industry
Kata kunci:
Tanah, Desa Adat, Industri
Pariwisata
Corresponding Author:
Lis Julianti, E-mail:
DOI:
10.24843/JMHU.2023.v12.i0
2.p15
Abstract
This study aims to find and examine the implementation of land management in the Kerobokan Traditional Village for tourism industry activities. The issues raised in this study are about mechanisms and procedures for land management and the implementation of land management in traditional villages for the tourism industry. This research is an empirical research with an emphasis on field data as primary data. This study found that the implementation of land management in the Kerobokan Traditional Village for tourism industry activities was carried out by leasing a contract based on an agreement through the relevant Paruman Desa Adat/Banjar Adat. The Kerobokan Traditional Village also has a Perarem Pangele which regulates administrative provisions that must be met by krama tamiu (in this case including investors). The authority to manage this land is strengthened by the Regional Regulation of the Province of Bali Number 4 of 2019 concerning Traditional Villages in Article 1 number 8 which provides autonomy for Traditional Villages to manage their own households.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan mengkaji terkait implementasi pengelolaan tanah di Desa Adat Kerobokan untuk kegiatan industri pariwisata. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah tentang mekanisme dan prosedur pengelolaan tanah serta implementasi pengelolaan tanah di Desa Adat untuk industri pariwisata. Penelitian ini merupakan penelitian empirik dengan menekankan pada data lapangan sebagai data primer. Penelitian ini menemukan bahwa implementasi pengelolaan tanah di Desa Adat Kerobokan untuk kegiatan industri pariwisata dilakukan dengan sewa kontrak berdasarkan kesepakatan melalui Paruman Desa Adat/Banjar Adat yang bersangkutan. Desa Adat Kerobokan juga memiliki Perarem Pangele yang mengatur tentang ketentuan administrasi yang harus dipenuhi oleh para krama tamiu (dalam hal ini termasuk investor). Kewenangan pengelolaan tanah tersebut diperkuat dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat pada Pasal 1 angka 8 yang memberikan otonomi bagi Desa Adat untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
Pariwisata merupakan industri yang memegang peranan penting bagi pembangunan ekonomi, khususnya di Provinsi Bali. Pariwisata merupakan sektor yang diunggulkan oleh Pemerintah Provinsi Bali, hal ini disebabkan oleh keindahan panorama alam dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Bali. Sektor pariwisata mampu menjadi leading sector dalam pembangunan daerah di Bali karena dapat meningkatkan devisa negara, mengurangi angka pengangguran, meningkatkan pendapatan daerah serta menciptakan lapangan kerja baru. Industri pariwisata merupakan himpunan bidang usaha yang menghasilkan berbagai jasa dan barang yang dibutuhkan oleh mereka yang melakukan perjalanan wisata. Adapun ruang lingkup industri pariwisata meliputi restoran, penginapan, pelayanan perjalanan, transportasi, pengembangan daerah tujuan wisata, fasilitas rekreasi dan atraksi wisata.1
Berkembangnya pariwisata di Bali memberikan dampak yang signifikan pada peningkatan kebutuhan lahan untuk menunjang kegiatan pariwisata. Lahan memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat, seperti tempat tinggal dan mata pencaharian. Fungsi dari lahan juga berbeda-beda tergantung dari pihak yang memanfaatkannya. Misalnya, petani memanfaatkan lahan sebagai sumber produksi makanan untuk keberlangsungan hidup. Pihak swasta memanfaatkan lahan untuk berinvestasi atau modal. Pemerintah memanfaatkan lahan sebagai tempat yang ditujukan untuk kepentingan rakyat.2 Pada pariwisata di Bali, lahan yang dipergunakan untuk menunjang kegiatan pariwisata berasal dari tanah adat yang dimiliki suatu daerah. Tanah adat di Bali dikenal sebagai tanah druwe desa pakraman (tanah milik desa adat menurut Hukum adat Bali. Istilah ini juga lazim dikualifikasikan sebagai tanah ulayat sebagai tanah bersama yang dikuasai dan dimiliki oleh desa adat secara komunal.3
Pada era globalisasi sekarang ini, kegiatan pembangunan kepariwisataan tidak akan dapat berjalan dengan baik tanpa adanya sebuah kebijakan yang baik. Setiap pelaku pariwisata dan terlebih lagi para birokrat, baik di lingkungan pemerintah pusat maupun Pemerintah Daerah, harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang pentingnya menyusun dan mengimplementasikan kebijakan yang baik dalam kegiatan kepariwisataan.4 Kepariwisataan Bali telah menjadi sumber penghidupan masyarakat Bali dan menjadi satu tumpuan perekonomian masyarakat. Melihat kondisi itulah pengelolaannya harus diarahkan untuk memberi manfaat bagi kesejahteraan bersama elemen berbangsa. Peranan desa adat dalam pengelolaan pariwisata di Bali sangat penting. Desa adat (Pakraman) sebagai masyarakat hukum adat di Provinsi Bali
mempunyai kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu dalam ikatan Kahyangan Tiga, mempunyai wilayah tertentu, harta kekayaan sendiri, pengurus sendiri, serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.5
Dari konsepsi tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa desa adat (Pakraman) bersifat otonom dalam arti mempunyai hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan kebijaksanaan, prakarsa, dan kemampuannya sendiri atau merupakan kekuatan untuk mengatur warganya sehingga segala kepentingannya dapat dipertahankan. 6 Pariwisata sebagai industri terbesar di dunia telah melahirkan sederet peluang dan tantangan bagi negara-negara yang menggantungkan harapan pada industri tersebut termasuk Bali. Desa adat (Pakraman) dalam kaitannya dengan kepariwisataan, memegang peranan yang sangat penting sebagai benteng dan sebagai filter dalam menerima arus perkembangan pariwisata. 7
Kegiatan pariwisata selain mendatangkan sumber pendapatan utama di Bali, juga dapat menjadi ancaman serius bagi sebagian orang, dan lingkungan, termasuk bagi wisatawan asing yang mencintai keaslian alam, kualitas lingkungan hidup, nilai-nilai moral, sosial budaya dan keberlanjutannya. 8 Kegiatan ekonomi pariwisata telah mendorong transformasi lahan secara besar-besaran, pengalihan fungsi lahan-lahan historis, sosiokultural yang sangat unik, menjadi sentra-sentra industri pariwisata. 9 Dalam pengembangan pariwisata khususnya dalam pengelolaan suatu kawasan wisata atau objek wisata, Pemerintah Provinsi Bali lebih mengedepankan peranan desa adat . Hal ini disebabkan karena kehidupan masyarakat Pulau Bali tidak dapat dipisahkan dari aktifitas adat dan keagamaan khususnya agama Hindu. Di samping itu keberadaan desa adat dinilai lebih mampu untuk membendung serta mencegah dampak-dampak negatif dari adanya pariwisata di Bali, karena desa adat memiliki awig-awig (peraturan-peraturan) yang mengatur kehidupan warganya dan sangat dipatuhi oleh krama desa adat.10
Desa Adat Kerobokan sebagai salah satu desa adat di Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung merupakan salah satu Desa Adat yang sudah menjadi tempat aktivitas pariwisata. Berbagai fasilitas pariwisata seperti hotel, restoran, villa telah dibangun oleh para investor di Desa Adat Kerobokan. Mayoritas mata pencaharian masyarakat di Desa Adat Kerobokan dulunya adalah pertanian, namun sejak mulai dibangun akomodasi
pariwisata di atas lahan wilayah Desa Adat dan lahan-lahan pertanian milik warga masyarakat, telah merubah orientasi mata pencaharian warga di Desa Adat ini. Pengaruh pariwisata yang masuk di Desa Adat Kerobokan mengakibatkan munculnya berbagai problematika antara Desa adat dengan pelaku jasa pariwisata. Hal ini memerlukan pengaturan yang lebih konkrit yang dilakukan oleh Desa Adat untuk mengatasi problema terkait dengan pengelolaan tanah seiring dengan perkembangan industri pariwisata di masa sekarang ini.
Adapun rumusan masalah dalam ini adalah Bagaimana Prosedur dan Mekanisme Pengelolaan Tanah di Desa Adat Kerobokan Untuk Industri Pariwisata serta Bagaimana Pelaksanaan Pengelolaan Tanah di Desa Adat Kerobokan Untuk Kegiatan Industri Pariwisata. Studi ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis terkait prosedur dan mekanisme pengelolaan tanah di Desa Adat Kerobokan untuk industri pariwisata. Selain itu, studi ini juga bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis terkait pelaksanaan pengelolaan tanah di Desa Adat Kerobokan untuk kegiatan industri pariwisata.
Sehubungan dengan isu hukum yang diangkat dalam penelitian ini, ada beberapa yang mengkajinya dari persepektif yang berbeda, yakni Anak Agung Gede Duwira Hadi Santosa menguraikan bahwa kapitalisme pariwisata membawa ancaman bagi eksistensi tanah laba pura apabila tidak dikelola dengan baik.11 Selanjutnya Ni Wayan Ratni dan I Nyoman Sukma Arida menguraikan dalam penelitiannya bahwa untuk menghadapi arus perkembangan pariwisata di Desa Adat Manuaba, maka Desa Adat membuat Perarem sebagai upaya untuk pertahanan masyarakat desa dan membatasi pembangunan baru pada lahan pertanian serta memastikan bahwa Desa Adat memperoleh dampak positif dari adanya perkembangan pariwisata di Desa Adat tersebut.12 I Gusti Agung Mas Jayantiari dalam penelitiannya menguraikan eksistensi tanah adat akan sangat dipengaruhi oleh penetapan kebijakan negara dalam investasi baik dari tataran norma dasar, regulasi nasional dan nasional, dan termasuk produk living law di Bali (awig-awig dan perarem).13 Melalui pandangan dari para penulis yang demikian bervariasi terkait pengelolaan tanah oleh Desa Adat untuk Industi Pariwisata maka masih memunculkan berbagai problematika dalam implementasinya sehingga perlu dikaji untuk mendapat kepastian hukum.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empirik. Penelitian hukum empirik sebagaimana diungkap Mukti Fajar bahwa berfocus pada keberadaan hukum tidak bisa dilepaskan dari keadaan sosial masyarakat dan prilaku manusia yang terkait dengan lembaga hukum tersebut14. Sehubungan dengan maka penelitian relevan dengan issu
yang diangkat. Sebagai penelitian empirik, ditekankan pada data lapangan. Data dikumpulkan dengan metode wawancara yang dilengkapi dengan alat bantu berupa daftar pertanyaan atau interview giude, selanjutnya data diolah secara kualitatif dan hasilnya disajikan dalam bentuk deskriptif analitis.
-
3. Hasil dan Pembahasan
Desa Adat di Bali mempunyai peranan yang strategis dalam pengembangan pariwisata. Dengan memantapkan peranan, fungsi dan wewenang Desa Adat, maka sesungguhnya semua aspek yang didukung oleh masyarakat Bali akan menjadi daya tarik kepariwisataan yang bila dipelihara dan dikembangkan dengan baik akan menjamin kelangsungan kehidupan pariwisata. Selain itu, Desa Adat juga berperan pula dalam pengembangan kawasan wisata, mengawasi penyalah gunaan simbol-simbol keagamaan dan juga berperan dalam mencegah pendatang liar yang masuk ke Bali, utamanya di wilayah palemahan Desa Adat di Bali.
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menentukan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat”. Ketentuan tersebut dimaksudkan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana diamanatkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke IV yaitu Negara memajukan kesejahteraan umum. 15 Pengelolaan tanah desa dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat desa serta meningkatkan pendapatan desa. Tanah desa yang merupakan salah satu kekayaan desa perlu dikelola dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat desa.
Berkaitan dengan keberadaan tanah adat di Bali, Windia dan Sudantra menegaskan bahwa tanah milik desa adat berupa 1) tanah desa yang dalam arti sempit disebut dengan tanah druwe desa yaitu tanah-tanah yang dimiliki langsung oleh desa adat baik berupa tanah setra, pasar, lapangan, tanah bukti , baai banjar dan lain sebagainya. 2) Tanah Pekaranggan Desa (PKD) yaitu tanah desa yang dimiliki oleh desa adat namun diberikan penguasaannya pada krama desa adat sebagai tempat tinggal dengan ukuran luasnya ditentukan oleh desa adatseperti sikut satak, sikut samas dan lain sebagainya. 3) Tanah Ayahan desa (AYDS) dipahami bahwa tanah tanah yang dimiliki oleh desa adat yang diberikan dan diserahkan kepada krama desa adat dengan menikmati hasil serta melekat juga dengan kewajiban (ayahan ) ke desa adat.16
Keberadaan tanah adat di Bali, terutama penilaian terhadap arti strategis tanah serta secara ekonomisnya dalam mendukung kehidupan masyarakat membawa pengaruh
besar pada tanah tak terkecuali tanah adat yang bukan tidak mungkin beralih fungsi bahkan dapat saja beralih kepemilikan dari komunal ke individual dan beragam persoalan lain yang berpotensi menghilangkan identitas tanah adat itu sendiri. Problematik yang menjadi kontroversial dalam masalah pertanahan adalah konsep fungsi ekonomis dan fungsi sosial tanah yang menjadi dasar pemanfaatan tanah secara berlebihan. salah satu sumber dari permasalahan tersebut adanya pembangunan fasilitas kepariwisataan, sehingga mengakibatkan nilai ekonomis tanah begitu tinggi. Munculnya bangunan-bangunan fasilitas kepariwisataan di atas tanah PKd (karang desa), tanah AyDs (ayahan desa), Tanah Laba Pura, mengidentifikasikan telah terjadi alih fungsi tanah adat, dari fungsi social-religius yang pada mulanya dominan ke fungsi ekonomis yang lebih dominan.17
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah, dijelaskan dalam Pasal 4 bahwa Hak Pengelolaan dapat berasal dari Tanah Negara dan Tanah Ulayat. Keberadaan Hak Pengelolaan bukan merupakan hak atas tanah yang didasarkan pada undang-undang (dalam hal ini UUPA), tetapi merupakan hak yang didasarkan pada peraturan di bawah undang-undang, yaitu berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Menguasai Negara dan Ketentuan-Ketentuan tentang Kebijaksanaan Selanjutnya.
Peraturan Menteri ini memperkenalkan istilah Hak Pengelolaan untuk pertama kalinya. Dalam perkembangannya, Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 diubah dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan yang antara lain mengatur mengenai badan-badan hukum yang dapat diberikan Hak Pengelolaan, yaitu instansi pemerintah termasuk pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), PT Persero, Badan Otorita dan badan-badan hukum pemerintah lainnya yang ditunjuk oleh Pemerintah.
Desa Kerobokan merupakan desa yang terletak di kawasan perkotaan, dan sejak tahun 1980-an mengalami transisi dari kehidupan desa tradisional menjadi kota pariwisata. Secara administratif, Desa Adat Kerobokan terdiri dari enam wilayah kedinasan, yaitu Kelurahan Kerobokan Kaja – Kecamatan Kuta Utara, terdiri dari 11 banjar/dusun, Kelurahan Kerobokan – Kecamatan Kuta Utara, terdiri dari 10 banjar/dusun, Kelurahan Kerobokan Kelod – Kecamatan Kuta Utara, terdiri dari 13 banjar/dusun (bagian) Kelurahan Seminyak – Kecamatan Kuta, terdiri dari 1 banjar/dusun (bagian) Desa Padangsambian Kaja – Kota Denpasar, terdiri dari 4 banjar/dusun (bagian) Desa Padangsambian Kelod – Kota Denpasar, terdiri dari 11 banjar/dusun.
Desa Adat Kerobokan memiliki tanah Druwe Desa yang diatur dalam Awig-Awig Desa Adat Kerobokan yakni pada Pawos 39, yang menyatakan bahwa yang disebut sebagai Tanah Druwe Desa Adat Kerobokan adalah sebagai berikut:
-
a. Pura Desa, Pura Puseh, sane magenah ring wates wawengkon Banjar Petingan.
-
b. Pura Dalem Kahyangan :
-
1. Dalem kahyangan Kerobokan magenah ring wawengkon Banjar Batubidak.
-
2. Dalem kahyangan Dukuh magenah ring wawengkon Banjar Dukuhsari
-
3. Dalem kahyangan Banjar Anyar magenah ring wawengkon Banjar Anyar Kelod.
-
4. Dalem kahyangan Batubelig magenah ring wawengkon Banjar Batubelig.
-
5. Dalem kahyangan Umaduwi magenah ring wawengkon Banjar Umaduwi.
-
6. Dalem kahyangan Kayu Aya magenah ring wawengkon Banjar Basangkasa.
-
7. Dalem kahyangan Robokan magenah ring wawengkon Banjar Robokan.
-
8. Dalem kahyangan Teges magenah ring wawengkon Banjar Teges.
-
c. Pura Tungkub Kahyangan.
-
d. Pura Mrajapati.
-
e. Tanah Sétra sane magenah ring banjar manut aksara na ring ajeng.
-
f. Tanah pelaba pura desa akehnyane 8,5 Ha, magenah ring subak Sebuah.
-
g. Bale Agung, Bale Gong, Wantilan lan Bale Kulkul.
-
h. LPD.
-
i. Palinggih Pan Balang Tamak.
-
j. Palinggih Sri Sedana.
Pada Pawos 39 ayat (3) diatur pula bahwa “Tan kalugra ngadol utawi ngésahang druwén Désa / pura yan tan kacumponin antuk Krama Désa sami,” yang artinya dilarang untuk menjual tanah druwe tersebut tanpa adanya persetujuan yang diberikan oleh Krama Desa Adat. Meskipun dalam awig-awig ini tidak diatur secara spesifik terkait dengan penggunaan tanah Desa Adat untuk kegiatan investasi pariwisata, namun segala bentuk pemanfaatan tanah desa adat mengacu pada Awig-Awig Desa Adat Kerobokan, sebagaimana yang telah diatur dalam awig-awig tersebut.
Pengelolaan tanah oleh Desa Adat Kerobokan yang digunakan untuk kegiatan industri jasa pariwisata dilaksanakan dengan cara sewa kontrak antara pihak Prajuru Desa Adat dan investor. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 7 tahun 2018 tentang Penggunaan Tanah Penguasaan Pemerintah Daerah dijelaskan mengenai sewa tanah. Pasal 14 ayat (1) dikatakan bahwa sewa tanah dilakukan untuk mengoptimalkan pendayagunaan Tanah yang belum/tidak digunakan dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat menjelaskan tanah adat merupakan bagian dari palemahan adat yang memiliki fungsi adat, keagamaan, tradisi, budaya, dan ekonomi. Perubahan status hak dan fungsi atas tanah Desa Adat harus dilakukan berdasarkan kesepakatan melalui Paruman Desa Adat/Banjar Adat bersangkutan.
Bapak Bendesa Adat yang sekaligus sebagai Ketua Majelis Desa Adat Kabupaten Badung yakni Bapak Anak Agung Putu Sutarja, S.H., M.H menjelaskan tahapan mekanisme pengelolaan tanah dengan sistem sewa kontrak di Desa Adat Kerobokan untuk kegiatan industri jasa pariwisata sebagai berikut:
-
1. Melaksanakan pertemuan yang dihadiri oleh Prajuru Desa dan investor yang ingin melakukan sewa kontrak dengan membawa surat berupa pengesahan (Pararem Desa Adat). Klian Adat selaku penentu di dalam pertemuan ini akan memberikan keputusan disetujui atau tidaknya perjanjian sewa kontrak tersebut.
-
2. Jika perjanjian sewa kontrak tersebut telah disetujui oleh Klian Adat dan Prajuru Desa yang menghadiri pertemuan tersebut, maka selanjutnya akan terjadi
kegiatan transaksi dan sewa kontrak akan berlangsung dengan batas waktu minimal 20 tahun bahkan dapat terjadi hingga 30 tahun.
-
3. Untuk memperkuat perjanjian sewa kontrak, pihak Desa Adat Kerobokan akan membuat surat perjanjian sewa kontrak terkait di kantor notaris.
-
4. Selanjutnya, kedua belah pihak baik pihak Prajuru Desa dan investor masing-masing akan mendapatkan salinan surat perjanjian sewa kontrak dan akan dimasukkan ke dalam pararem yang bersangkutan, sehingga terdapat sebuah catatan yang menjadi bukti agar kedepannya tidak terjadi perubahan jika Prajuru Desa berganti. Sebab Prajuru Desa memiliki masa bakti di dalam kepengurusan Desa Adat.
-
5. Jika Klian Adat terkait tidak menyetujui perjanjian sewa kontrak, maka Prajuru Desa Adat lainnya tidak dapat melaksanakan tindakan tersebut sebab dibutuhkan surat kuasa dari Klian Adat terkait.
Berdasarkan wawancara dengan Sekretaris Desa Adat Kerobokan Bapak Anak Agung Sutanaya tanah adat sudah dicatatkan di Buku Pararem Desa Adat Kerobokan, kemudian untuk tanah ayahan desa sudah diatasnamakan pada masing masing warga yang menempati tanah tersebut sehingga terbit Sertifikat Hak Milik atas tanah (SHM). Prosedur sewa menyewa tanah milik desa berlaku sama disemua banjar yang ada di Desa Adat Kerobokan. Seperti contoh di Banjar Uma Alas Kauh, juga menerapkan hal yang sama. Untuk tanah milik desa diatasnamakan desa adat, hal ini dilakukan untuk menghindari sengketa seperti yang pernah terjadi di Banjar Peti Tenget, tanah laba pura diatasnamakan atas nama Pemangku, akhirnya timbul sengketa dengan ahli warisnya. Di Banjar Uma Alas Kauh banyak lahan pertanian beralih fungsi menjadi fasilitas pariwisata, seperti hotel, vila dan yang lainnya.
-
3.2. Pelaksanaan Pengelolaan Tanah di Desa Adat Kerobokan Untuk Kegiatan Industri Pariwisata
Desa Adat Kerobokan juga memiliki Pararem Pengele yang mengatur tentang ketentuan administrasi yang harus dipenuhi oleh para krama tamiu (dalam hal ini termasuk investor) apabila ingin melakukan kegiatan usaha baik di bidang pariwisata ataupun non pariwisata di masing masing banjar yang ada di wilayah Desa Adat Kerobokan. Ketentuan tersebut memuat mengenai biaya-biaya yang dikenakan dalam pengurusan ijin atau administrasi pengurusan izin untuk kegiatan pariwisata. Hal ini dirumuskan dalam dalam Palet 2 Pawos 13 indik Pangilikita/Administrasi, yang memuat hal-hal sebagai berikut:
na. Yening wenten sapa sira ugi krama tamiu/tamiu sane mekarya sewala patra manut sane
kabuatang kakeniang pacingkrem manut sekadi ring sor puniki :
NO |
PARIINDIKAN |
PENGARGA (Rp) |
1 |
Ngapling tanah utawi ngadol |
Rp. 500.000,- per are. |
2 |
Surat Keterangan Domisili urusan Tanah |
Rp. 1.000.000,- |
3 |
HO/SITU |
Rp. 500.000,- |
4 |
SKTU (Surat Keterangan Tempat Usaha) |
Rp. 100.000,- |
5 |
Ijin Prinsip |
Rp. |
500.000,- |
6 |
Penyanding IMB | ||
a. Hotel, Villa, Bungalow |
Rp. |
500.000,- per kamar | |
b. Ruko, Rumah & Kantor, Toko |
Rp. |
500.000,- | |
c. Rumah tinggal, Rumah Kost |
Rp. |
200.000,- | |
d. Rumah Makan, Restaurant, Bar |
Rp. |
500.000,- | |
e. Gudang luas 2 are - 5 are |
Rp. |
5.000.000,- per unit | |
7 |
Surat Keterangan Letak Tanah |
Rp. |
500.000,- |
8 |
Konversi/Hibah/Bagi Waris |
Rp. |
500.000,- |
9 |
Surat Pengakuan/Penegasan Hak atas tanah lebih |
Rp. |
200.000,- per are |
Kawentenan pacingkrem puniki wantah kaangge pangiket ring kasutreptian Tri Hita Karana sane pamekas Mapahayu Desa Adat Kerobokan. |
Pada ketentuan tersebut dijelaskan bahwa Desa Adat juga membantu memfasilitasi dalam pembuatan surat menyurat bagi kebutuhan perolehan ijin usaha, dengan menetapkan standar biaya sesuai dengan yang telah diatur dalam Perarem Pangele tersebut. Kewenangan Desa Adat terkait hal tersebut berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat pada Pasal 1 angka 8 yang memberikan otonomi bagi Desa Adat untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Pada konteks pengelolaan tanah adat diatur dalam Pasal 22 yang menegaskan bahwa Desa Adat bertugas mengembangkan perekonomian desa adat dan menjaga status hak atas tanah padruwen desa adat. Hal ini menunjukan bahwa hukum negara mengakui dan melindungi kewenangan desa adat dalam hal pengelolaan tanah adat di wilayahnya. Desa adat dapat mengembangkan dan meningkatkan perekonomian desa adat melalui pengembangan dan pengelolaan tanah adat yang dimiliki oleh desa adat. Tampak ada harmonisasi anatara hukum adat dan hukum negara yang tertuang dalam Perda Desa adat.
Pelaksanaan atau implementasi pengelolaan tanah di Desa Adat Kerobokan dengan cara sewa kontrak menimbulkan dampak yang sangat berpengaruh bagi masyarakat. Dampak secara sederhana dapat diartikan sebagai pengaruh atau akibat baik positif maupun negatif. Dampak dari pelaksanaan pengelolaan tanah dengan cara sewa kontrak terbagi menjadi 2 (dua) yaitu dampak positif dan dampak negatif.
-
1. Dampak Positif:
-
a. Dana yang dihasilkan sewa kontrak di Kelola oleh pihak Desa Adat dan pengelolaan tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat yang berada di lingkungan Desa Adat Kerobokan.
-
b. Ketika terjadi kegiatan sewa kontrak, pihak Desa Adat berharap dari pihak investor dapat menerima 40% tenaga kerja lokal. Tenaga kerja lokal yang ingin melamar pekerjaan akan mendapatkan surat pengantar dari pihak Desa Adat.
-
2. Dampak Negatif:
-
a. Terjadi pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah dari kegiatan pariwisata.
-
b. Apabila pihak investor ikut mencampuri urusan adat, pihak desa adat akan melakukan sidak pada masing-masing banjar untuk mendata yang ada di lingkungan banjar.
Berdasarkan teori sistem hukum yang dikemukanan oleh Lawrence M. Friedmen,18 jika dilihat dari substansi hukumnya belum terpenuhi secara maksimal, aturan yang mendasari desa adat dalam pengelolaan tanah adat untuk sarana investasi kepariwisataan, di Desa Adat Kerobokan belum diatur secara jelas dalam Awig-awig ataupun perarem Desa Adat Kerobokan. Sedangkan peran Desa Adat dalam pengelolaan tanah untuk investasi diatur dalam Peraturan Menteri Agraria No: 276/KEP-19.2/X/2017 tentang Penunjukan Desa Pakraman di Provinsi Bali Sebagai Subyek Hak Pemilikan Bersama (Komunal) Atas Tanah, dimana desa adat ditunjuk sebagai subyek hukum hak atas tanah.
Substansi hukum merupakan keseluruhan asas-hukum, norma hukum dan aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan.19 Dengan kedudukan sebagai subyek hak, dalam pelaksanaan perjanjian didukung oleh aparat desa serta kelian banjar yang menjalankan aturan yang sama di masing masing banjar terhadap investor yang akan menanamkan modalnya di lingkungan wilayahnya, sehingga pelaksanaan perjanjian sewa tanah adat untuk investasi dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan baik oleh investor maupun oleh desa adat.
Unsur ketiga dalam sistem hukum adalah Kultur hukum yakni kebiasaan atau budaya masyarakat yang menyertai dalam penegakan hukum. Kultur hukum tersebut berada pada masyarakat maupun pada aparat penegak hukum. Warga desa Adat Kerobokan sangat mendukung kehadiran investor dalam berinvestasi sarana kepariwisataan di desanya, dengan tetap menjaga keamanan dan kerukunan warga, dan bisa membangkitkan kesadaran pariwisatanya. Suatu daerah dapat berkembang sebagai daerah pariwisata apabila budaya sadar wisata dari warganya tumbuh dan dipelihara dengan baik. Budaya hokum masyarakat adat Desa Kerobokan sudah siap menerima kehadiran investor yang berinvestasi di desa adatnya, dengan menonjolkan kearifan local yang ada di Desa Adat Kerobokan.
Pemanfaatan atas tanah adat untuk kegiatan investasi pariwisata di Desa Adat Kerobokan selama ini sesuai dengan kesepakatan dalam paruman dan selalu ada koordinasi yang baik antara krama dan prajuru terkait dengan bagaimana hak dan kewajiban atas tanah adat tersebut dilaksanakan. Awig-awig dan pararem yang mengatur krama setempat telah dipahami bersama termasuk atas tanah-tanah adat. Kebersamaan tetap diwujudkan termasuk penghormatan atas tanah-tanah desa yang ditunaikan dengan kewajiban ayahan tidak mengalami pergeseran. Memang kegiatan sektor pariwisata tidak menutup kemungkinan munculnya kecemasan- kecemasan dikalangan masyarakat. Ada yang menganggap kondisi yang ditimbulkan oleh kegiatan
sektor pariwisata akan dapat melemahkan sendi-sendi kehidupan masyarakat dan kebudayaan setempat, seperti misalnya gangguan pada sistem ekologi tanah, air, tumbuh-tumbuhan, sungai, yang telah mengancam tatanan kosmis lingkungan. Selain itu, nilai-nilai setempat akan bisa terseret oleh arus komersialisasi, akan tetapi pola kehidupan yang menyatu antara kegiatan sehari-hari dengan agama, seni budaya, dan adat selalu berhasil memberi gambaran bahwa arus komersialisasi dimaksud memberi dampak yang signifikan bagi kehidupan masyarakat.
Pengelolaan tanah adat di Desa Adat Kerobokan dilakukan dengan pengawasan dari bendesa adat. Hal ini bertujuan untuk melindungi nilai-nilai kearifan lokal serta menjaga keharmonisan dan keseimbangan Parhyangan, Pawongan dan Palemahan yang termuat dalam filosofi Tri Hita Karana. Dalam pelaksanaan kegiatan investasi kepariwisataan yang dilakukan di wilayah Desa Adat Kerobokan, Desa Adat menjunjung tinggi nilai Salunglung sabayantaka, paras paros sarpanaya; suatu nilai sosial tentang perlunya kebersamaan dan kerjasama yang setara antara satu dengan yang lainnya sebagai satu kesatuan social yang saling menghargai dan menghormati.
Berdasarkan paparan di atas atau pada paparan sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut: implementasi pengelolaan tanah di Desa Adat Kerobokan untuk kegiatan industri pariwisata dilakukan dengan sewa kontrak berdasarkan kesepakatan melalui Paruman Desa Adat/Banjar Adat yang bersangkutan. Desa Adat Kerobokan juga memiliki Perarem Pangele yang mengatur tentang ketentuan administrasi yang harus dipenuhi oleh para krama tamiu (dalam hal ini termasuk investor) apabila ingin melakukan kegiatan usaha baik di bidang pariwisata ataupun non pariwisata di masing masing banjar yang ada di wilayah Desa Adat Kerobokan. Kewenangan untuk melakukan pengelolaan tanah untuk kegiatan industri pariwisata di Desa Adat Kerobokan diperkuat dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat pada Pasal 1 angka 8 yang memberikan otonomi bagi Desa Adat untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Pada konteks pengelolaan tanah adat diatur dalam Pasal 22 yang menegaskan bahwa Desa Adat bertugas mengembangkan perekonomian desa adat dan menjaga status hak atas tanah padruwen desa adat.
Ucapan terima Kasih (Acknowledgments)
Ucapan terima kasih kami persembahkan kepada, Unmas Denpasar, LPPM Unmas Denpasar, Bendesa Adat Desa Adat Kerobokan, Kelihan dan Prajuru Adat di Wilayah Desa Adat Kerobokan, FH Unmas Denpasar, Tim Periset dan seluruh mahasiswa yang terlibat dalam riset ini dalam memberikan referensi, informasi dan fasilitas untuk mendukung pelaksanaan penelitian/riset ini.
Daftar Pustaka
Antariksa, Basuki. Kebijakan Pembangunan Kepariwisataan: Pengembangan Kepariwisataan
Yang Berkelanjutan Dan Perlindungan Kekayaan Intelektual. Intrans Publishing, 2015.
Arba, Muhammad. Hukum Agraria Indonesia. Sinar Grafika, 2021.
Ardika, Ketut Mei, and Putu Agustana. “Implementasi Kebijakan Pengelolaan
Pariwisata Di Desa Umeanyar Kecamatan Seririt Kabupaten Buleleng.” Locus 13, no. 1 (2021): 13–26.
Ayu, Isdiyana Kusuma, and Benny Krestian Heriawanto. “Perlindungan Hukum Terhadap Lahan Pertanian Akibat Terjadinya Alih Fungsi Lahan Di Indonesia.” JUKe (Jurnal Ketahanan Pangan) 2, no. 2 (2018): 122–30.
Friedman, Lawrence M. The Legal System: A Social Science Perspective. Russell Sage Foundation, 1975.
Harmini, A A Ayu Ngr, and Solihin Solihin. “Peranan Desa Adat (Pakraman) Dan Sekaa Taruna Dalam Menunjang Pariwisata Di Bali.” Soshum: Jurnal Sosial Dan Humaniora 3, no. 3 (2017): 322.
Jayantiari, I Gusti Agung Mas Rwa, and I Ketut Kasta Arya Wijaya. “Tinjauan Yuridis Pengaturan Tanah Druwe Desa Di Bali (Aspek Hukum Perlindungan Masyarakat Adat Atas Tanah).” Wicaksana: Jurnal Lingkungan Dan Pembangunan 1, no. 1 (2017): 33–39.
Jayantiari, IGAMR, and Gusti Agung Mas Rwa. “Eksistensi Tanah Adat Di Bali Dan Problematika Hukum Dalam Pengembangan Investasi.” Kertha Patrika 39, no. 2 (2017): 108–99.
Laksana, I G N Dharma, and A.A.G Oka Parwata. “Pemanfaatan Tanah Adat Di Bali Dalam Perspektif Budaya Hukum.” In Seminar Nasional Sains Dan Teknologi IV. Kuta, Bali, 2017.
Lubis, Asifah Elsa Nurahma, and Farhan Dwi Fahmi. “Pengenalan Dan Definisi Hukum Secara Umum (Literature Review Etika).” Jurnal Ilmu Manajemen Terapan 2, no. 6 (2021): 768–89.
Mukti Fajar, ND, and Y Achmad. Dualisme Penelitian Hukum: Normatif & Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Parwata, A A Gede Oka, and I Ketut Kasta Arya Wijaya. “Eksistensi Desa Pakraman Dalam Pengelolaan Kepariwisataan Budaya Bali (Kajian Terhadap Peraturan Daerah Provinsi Bali No 2 Tahun 2012, Tentang Kepariwisataan Budaya Bali).” Kertha Wicaksana 12, no. 1 (2018): 69–75.
Putri, I Gusti Ayu Agung Dian Laksmi. “Implementasi Pengelolaan Tanah Di Desa Adat Kerobokan Untuk Kegiatan Industri Jasa Pariwisata.” Universitas Mahasaraswati Denpasar, 2022.
Putri, Kadek Ayu Monica Pastika, Ni Wayan Fenni Puspitasari, Ni Ketut Krisna Dewi, Ni Wayan Ekarini, Ida Ayu Putu Priska Dewi, and Dewa Putu Kodi Mertadana. “Pengaruh Hukum Adat Atau Awig-Awig Terhadap Pengelolaan Dana Desa Di Desa Banjar Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng Provinsi Bali.” Jurnal Ilmiah Akuntansi Dan Humanika 8, no. 1 (2018).
Qomariah, Nurul. Pentingnya Kepuasan Dan Loyalitas Pengunjung: Studi Pengaruh Customer Value, Brand Image, Dan Atribut Produk Terhadap Kepuasan Dan Loyalitas Pengunjung Pariwisata Pantai. Pustaka Abadi, 2021.
Ratni, Ni Wayan, and I Nyoman Sukma Arida. “Respon Desa Adat Terhadap Perkembangan Pariwisata Di Desa Adat Manuaba, Desa Kenderan, Kabupaten Gianyar.” Jurnal Destinasi Pariwisata 9, no. 1 (2021).
https://doi.org/https://doi.org/10.24843/JDEPAR.2021.v09.i01.p28.
Santosa, Anak Agung Gede Duwira Hadi. “Pariwisata Dan Tanah Laba Pura: Ancaman Dan Tantangan.” Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha 9, no. 2 (2021): 454– 62.
Windia, Wayan P, and Ketut Sudantra. Pengantar Hukum Adat Bali, Swasta Nulus Bekerjasama Dengan Bali Shanti, Pusat Pelayanan Konsultasi Adat Dan Budaya Bali. Bali:
LPPM Unud Puslit Hukum Adat, 2016.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah
Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan
Peraturan Menteri Agraria No: 276/KEP-19.2/X/2017 tentang Penunjukan Desa Pakraman di Provinsi Bali Sebagai Subyek Hak Pemilikan Bersama (Komunal) Atas Tanah
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 7 tahun 2018 tentang Penggunaan Tanah Penguasaan Pemerintah Daerah.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat
464
Discussion and feedback