Determinan Agresivitas Bank Dalam Pengambilan Risiko: Kasus Indonesia
on
Pittauli Lidia Simanjutak, Determinan Agresivitas Bank... 223
P-ISSN : 1978-2853
E-ISSN : 2302-8890
MATRIK: JURNAL MANAJEMEN, STRATEGI BISNIS DAN KEWIRAUSAHAAN
Homepage: https://ojs.unud.ac.id/index.php/jmbk/index
Vol. 13 No. 2, Agustus 2019, 223 - 233
Determinan Agresivitas Bank dalam Pengambilan Risiko: Kasus Indonesia
Pittauli Lidia Simanjuntak1), Buddi Wibowo2)
1,2)Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia email: [email protected]
DOI : https://doi.org/10.24843/MATRIK:JMBK.2019.v13.i02. p10
SINTA 2
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi agresivitas bank di Indonesia dalam pengambilan risiko. Merujuk riset-riset sebelumnya di beberapa negara, suku bunga pasar, kapitalisasi, profitabilitas, ukuran asset bank, diversifikasi pendapatan bank dan tingkat efisiensi bank adalah faktor-faktor yang memiliki pengaruh yang kuat terhadap perilaku pengambilan risiko oleh bank. Suku bunga yang digunakan adalah Jakarta Interbank Offered Rate, Indonesia Government Bonds Yield, Bank Indonesia Rate, dan Bank level Lending Rate. Tingkat agresivitas dalam pengambilan risiko (bank risk taking) diukur dengan menggunakan dua cara yaitu jumlah asset berisiko yang dimiliki bank dan besarnya risiko kredit bank. Risiko kredit diukur menggunakan cadangan kerugian pinjaman. Hasil penelitian menunjukkan Bank Indonesia Rate merupakan suku bunga yang paling mempengaruhi agresivitas bank dalam pengambilan risiko yang diukur dengan aset berisiko maupun yang diukur dengan cadangan kerugian pinjaman. Efisiensi, diversifikasi pendapatan, dan profitabilitas menjadi faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi tingkat agresivitas bank dalam mengambil risiko.
Kata kunci: cadangan kerugian, pengambilan risiko bank, suku bunga pasar
Determinants of Bank Aggressiveness in Risk Taking : Indonesian Casses
ABSTRACT
This study is aimed to identify and analyze the important factors that affect the aggressiveness of bank risk taking in Indonesia. Referring to previous research in several countries, market interest rate, bank capitalization, profitability, bank asset size, bank income diversification and bank efficiency are the influential factors that drives bank risk taking behavior. This study uses Jakarta Interbank Offered Rate, Indonesia Government Bonds Yield, Bank Indonesia Rate, and Bank Level Lending Rate as market interest rate measures. The level of aggressiveness in bank taking risk is measured by using the amount of risky assets owned by banks and bank credit risk. 1Credit risk is measured by using loan loss reserves. The results show that Bank Indonesia Rate is the most interest rate affecting bank aggressiveness in risk taking as measured by risk assets and loan loss reserves. Efficiency, income diversification, and profitability are significant factor that affect bank risk taking.
Keywords: loan losses reserves, bank risk taking, market interest rate
PENDAHULUAN
Di Indonesia, bank merupakan lembaga depositori yang dominan pada sektor keuangan dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya seperti perusahaan asuransi, perusahaan sekuritas, dan perusahaan pengelola dana pensiun. Dalam Kajian Stabilitas Keuangan Bank Indonesia tahun 2016 disebutkan bahwa aset bank umum mencapai 75.20 persen dari keseluruhan total aset pada sektor keuangan. Sementara nilai pasar obligasi korporasi dan bursa saham di Indonesia masih relatif kecil.
Tabel 1 berdasarkan data Asian Development Bank menunjukkan nilai pasar obligasi korporasi Indonesia termasuk yang paling kecil dibandingkan negara-negara Asia lainnya yaitu hanya 2,21 persen terhadap Gross Domestic Product (GDP), jauh lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia yang 42,67 persen dari GDP dan Korea Selatan yang telah mencapai 73,58 persen dari GDP nya. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia dapat dikatakan merupakan negara bank-based economy, negara yang perekonomiannya sangat tergantung sekali kepada sektor perbankan
sebagai sumber pembiayaan kegiatan ekonomi. Bank memainkan peran sentral dan dominan dalam pembiayaan seluruh kegiatan ekonomi. Kesehatan sektor perbankan relatif sangat menentukan naik-
turunnya perekonomian Indonesia dan oleh karenanya perlu diidentifikasi secara lebih mendalam faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan (fragility) sistem perbankan di Indonesia.
Tabel 1. Komparasi Peran Institusi Keuangan Non Bank Antar Negara Asia
Corporate Bond Market % of GDP |
Corporate Credit % of GDP | |
China |
18.11 |
139.4 |
Hong Kong |
29.26 |
174.1 |
Indonesia |
2.21 |
18.1 |
Jepang |
16.68 |
na |
Korea Selatan |
73.58 |
111.4 |
Malaysia |
42.67 |
na |
Philippine |
6.02 |
na |
Singapore |
32.13 |
69.9 |
India |
5.40% |
na |
Thailand |
19.03 |
51.8 |
Vietnam |
0.33 |
na |
Sumber: Asia Development Bank (2016)
Sebagai negara bank-based economy, sektor perbankan memiliki posisi strategis dalam sistem keuangan di Indonesia dan merupakan lembaga intermediasi terbesar yang mampu menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan kembali kepada sektor-sektor ekonomi yang produktif di masyarakat. Dalam perannya sebagai perantara, bank memperoleh keuntungan dalam bentuk spread atau marjin dari suku bunga kredit yang diberikan. Hal ini membuat tingkat suku bunga menjadi salah satu elemen terpenting dalam aktifitas operasional bank umum. Tingkat suku bunga (interest rate) merupakan salah satu variable ekonomi yang sering dipantau oleh para pelaku ekonomi. Tingkat suku bunga dipandang memiliki dampak langsung terhadap kondisi perekonomian.
Sejak Juli 2005 Bank Indonesia telah mengimplementasikan penguatan kerangka kerja kebijakan moneter konsisten dengan Inflation Targeting Framework (ITF), yang mencakup empat elemen dasar yang salah satunya adalah penggunaan suku bunga BI Rate sebagai policy reference rate (Bank Indonesia, Laporan Kebijakan Moneter Triwulan II 2012). BI Rate adalah suku bunga dengan tenor satu bulan yang diumumkan oleh Bank Indonesia secara periodik untuk jangka waktu tertentu yang berfungsi sebagai sinyal (stance) kebijakan moneter. BI Rate digunakan sebagai acuan dalam operasi moneter untuk mengarahkan agar rata-rata tertimbang suku bunga SBI-1 bulan hasil lelang OPT berada disekitar BI Rate. Selanjutnya suku bunga SBI-1 bulan tersebut diharapkan akan
mempengaruhi suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB), suku bunga deposito dan kredit, serta suku bunga jangka waktu yang lebih panjang.
(Delis dan Kouretas, 2011) menunjukkan bahwa ketika mayoritas bank menurunkan rata-rata tingkat suku rata-rata, maka berkurang pula pendapatan bunga yang akan diterima oleh bank. Dalam kondisi menurunnya pendapatan bunga, apabila bank berupaya untuk mempertahankan, atau bahkan meningkatkan pendapatannya demi untuk memenuhi kewajibannya atau untuk membiayai rencana ekspansinya dalam upaya mempertahankan pangsa pasar maka bank akan terdorong untuk mengambil risiko yang lebih tinggi. Pada penelitian mereka terhadap bank-bank di Eropa pada periode 20012008 didapatkan hasil bahwa pada kondisi dimana suku bunga sangat rendah bank cenderung meningkatkan pendapatannya dengan menambah aset yang mengandung risiko. Foos et al. (2010) menunjukkan bahwa dalam riset empirik atas topik ini, ukuran tingkat suku bunga menjadi masalah tersendiri karena tingkat suku bunga yang mempengaruhi agresivitas perlu diukur secara akurat dan relevan sementara terdapat beberapa ukuran tingkat suku bunga pasar seperti BI rate, rata-rata bank level lending rate, JIBOR, dan yield obligasi pemerintah (Indonesian Government Bond Yield, IGBY).
Peningkatan perilaku pengambilan risiko bank selain disebabkan oleh tingkat suku bunga, juga dipengaruhi oleh beberapa faktor. Laeven dan Levine (2009) dan (Demirgüç-Kunt et al. (2008)
membuktikan bahwa kapitalisasi, tingkat profitabilitas, efisiensi, dan aktivitas non tradisional bank mempengaruhi secara signifikan perilaku bank dalam mengambil risiko. Dengan tingkat kapital atau permodalan yang kuat, ekspansi bank didukung oleh dana internal yang kuat sehingga keputusan yang berisiko yang diambil oleh sebuah bank bersifat relatif, tergantung daya dukung permodalan setiap bank.
Tingkat risiko yang diambil oleh bank juga sangat dipengaruhi oleh profitabilitas setiap bank. Sebuah keputusan yang berisiko dapat berbeda secara relatif dampaknya antar bank, tergantung tinggi rendahnya profitabilitas masing-masing bank. Profitabilitas yang tinggi menunjukkan kekuatan bersaing bank secara relatif dibandingkan bank lain (market power). Bank dengan market power yang kuat memiliki competitive advantage yang dapat menekan tingkat risiko dari suatu strategi bersaing yang diluncurkan oleh bank tersebut (Laeven dan Levine, 2009).
Tingkat efisiensi bank juga menentukan tingkat risiko yang secara riil dihadapi sebuah bank akibat keputusan atau strategi bersaingnya. Bank yang secara operasional lebih efisien memiliki ruang yang lebih leluasa untuk mengeksekusi strategi bersaingnya karena memiliki struktur biaya yang lebih rendah sehingga fluktuasi pendapatan dalam jangka pendek tidak serta merta menempatkan bank dalam posisi keuangan yang sulit atau merugi (Demirgüç-Kunt et al., 2008). Hal yang sama berlaku pula untuk pengaruh tingkat diversifikasi pendapatan bank terhadap agresivitas pengambilan risiko oleh bank. Bank yang memiliki diversifikasi pendapatan yang lebih baik tidak terlampau tergantung pada satu bisnis bank saja sehingga bank memiliki bantalan (buffer) yang memadai untuk mengantisipasi dampak buruk dari keputusan bisnisnya) (Hadad et al., 2011).
Hasil uji empirik di beberapa negara menunjukkan hasil yang tidak konvergen (Hadad et al., 2011). Permasalahan pertama yang dihadapi para peneliti adalah bagaimana mengukur tingkat agresivitas bank. Sebagian peneliti menggunakan besarnya dana cadangan kerugian pinjaman sebagai variabel proksi dari agresivitas bank. Hal ini mendapat kritik dari peneliti yang lain karena cadangan kerugian lebih mencerminkan akumulasi dan akibat dari pengambilan risiko di masa lalu atau hanya mencerminkan kondisi historis dari bank tersebut dan tidak dapat digunakan sebagai alat prediksi agresivitas di masa setelahnya. Namun kritik ini dinilai terlalu keras karena selama susunan direksi
dan pemegang saham dari sebuah bank tidak berubah terlampau signifikan maka agresivitas di masa lalu tidak akan mengalami perubahan yang signifikan pada periode setelahnya (Demirguc-Kunt, 2008). Beberapa peneliti menggunakan variabel tambahan untuk mengukur tingkat agresivitas bank yaitu jumlah asset berisiko yang dimiliki bank (Foos et al., 2010).
Mengingat pentingnya sektor perbankan terhadap kesejahteraan masyarakat secara umum, khususnya pada negara yang perekonomiannya dapat dikategorikan sebagai bank based economy maka riset ilmiah yang mengungkap faktor-faktor yang mempengaruhi agresivitas bank dalam mengambil risiko menjadi penting.
Masalah penelitian yang dikaji dalam penelitian ini adalah pengujian secara empirik faktor-faktor yang mempengaruhi agresivitas pengambilan risiko oleh bank di Indonesia. Riset-riset sebelumnya yang mengobservasi data dari beberapa negara menunjukkan hasil yang tidak seragam berkaitan dengan faktor-faktor yang menentukan tingkat agresivitas bank dalam pengambilan risiko Demirguc-Kunt (2008), Foos et al. (2010) dan Hadad et al. (2011). Kondisi persaingan, struktur industri dan regulasi yang berbeda-beda antar negara menyebabkan pengaruh setiap faktor tersebut mengalami perbedaan signifikansi Laeven dan Levine (2009)
Suku bunga pasar yang diduga merupakan variabel utama yang mempengaruhi tingkat agresivitas bank dalam mengambil risiko dapat diukur dengan beberapa variabel. Perbedaan cara pengukuran sebuah variabel tentu saja dapat mengakibatkan perbedaaan hasil uji yang berbeda pula. Penelitian ini menggunakan semua ukuran variabel suku bunga pasar yang digunakan oleh peneliti-peneliti sebelumnya yaitu BI rate, rata-rata bank level lending rate, JIBOR, dan yield obligasi pemerintah (Indonesian Government Bond Yield, IGBY)
Agresivitas bank tidak dipengaruhi oleh tingkat bunga pasar saja namun juga oleh kondisi internal bank itu sendiri. Penelitian ini, seperti yang dilakukan oleh Laeven dan Levine (2009) untuk data perbankan Eropa dan Demirguc-Kunt (2008) untuk data perbankan Amerika Serikat, membuktikan bahwa kapitalisasi, tingkat profitabilitas, efisiensi, dan aktivitas non tradisional bank mempengaruhi secara signifikan perilaku bank di Indonesia dalam mengambil risiko
Para peneliti sebelum ini memperdebatkan metode pengukuran agresivitas bank dalam pengambilan risiko yang relatif lebih akurat. Ukuran
agresivitas bank yang akurat menjadi sangat krusial dalam penelitian-penelitian ini karena merupakan variabel utama yang diobservasi. Ada dua ukuran agresivitas bank yang digunakan oleh para peneliti yaitu pertama, jumlah asset bank yang berisiko, yaitu asset-asset yang nilainya sangat dipengaruhi oleh risiko pasar seperti suku bunga, nilai tukar dan inflasi dan portfolio kredit yang telah disalurkan oleh bank itu sendiri kepada nasabahnya. Kedua, besarnya dana cadangan kerugian yang menunjukkan juga banyaknya kredit macet yang merupakan akibat penyaluran kredit yang berisiko pada periode-periode sebelumnya. Bushman dan Williams (2012) dan Jin et al., 2013 adalah sebagian peneliti yang menggunakan Loan Loss Provisions sebagai variabel proxy dari agresivitas bank dalam mengambil risiko. Loan Loss Provisions yang digunakan sebagai proxy dari bank risk taking adalah rasio antara cadangan kerugian dengan jumlah kredit yang disalurkan bank, yang mencerminkan kualitas kredit setiap bank. Kualitas portfolio kredit bank menjadi faktor utama yang menentukan probabilita kebangkrutan bank.
Beberapa peneliti menggunakan volatilitas dari tingkat profitabilitas bank (ROA) seperti misalnya (Mistrulli, 2011;Upper, 2011). Namun penggunaan volatilitas ROA sebagai ukuran tingkat agresivitas bank memiliki masalah tersendiri yaitu Consistent volatilitas ROA yang tinggi tidak secara langsung mencerminkan tingkat agresivitas penyaluran kredit oleh bank karena fluktuasi ROA seringkali lebih disebabkan kondisi ekonomi dan business cycle. Menggunakan volatilitas ROA juga menimbulkan masalah teknis dalam pengujian empirik yaitu variabel tingkat agresivitas bank hanya dapat diukur pada periode yang relatif panjang misalnya 5 tahun sekali karena volatilitas ROA diukur dengan menggunakan deviasi standar dari ROA selama 5 tahun. Ketersediaan data perbankan yang relatif tidak terlalu panjang menyebabkan data tingkat agresivitas bank menjadi terlalu pendek
Beberapa riset empiris berupaya mengungkap faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan risiko oleh bank, diantaranya adalah Hakenes dan Schnabel (2011) dan Bhagat et al. (2015) yang menemukan korelasi negatif antara agresivitas pengambilan risiko dengan ukuran asset bank yang berarti semakin besar asset bank, bank justru menjadi lebih prudent dan berhati-hati dalam menjalankan bisnisnya. Hal ini sejalan dengan logika yang dibangun oleh Laeven dan Levine (2009) bahwa pengambilan risiko cenderung menjadi semakin tinggi ketika bank mengalami kesempitan untuk
mempertahankan tingkat profitabilitasnya dan pangsa pasar yang dikuasainya. Bank-bank besar dapat beroperasi lebih prudent karena memiliki pangsa pasar yang lebih besar dengan loyalitas nasabah yang relatif lebih kuat.
Bhagat et al. (2015) menemukan hubungan yang kuat antara bank leverage, yaitu rasio antara modal ekuitas terhadap total asset, dengan agresivitas bank. Craig dan Dinger (2013) menemukan bahwa kompetisi di pasar deposito yang mendorong bank untuk menawarkan suku bunga simpanan yang lebih tinggi menyebabkan bank terpaksa masuk ke segmen-segmen dengan risiko lebih tinggi demi dapat menetapkan suku bunga pinjaman yang lebih tinggi yang sering kali lebih mendahulukan kuantitas kredit yang disalurkan kepada nasabah dengan karakteristik high risk dari pada menjaga keamanan portfolio kreditnya secara umum. Barth et al. (2013) melaporkan adanya hubungan yang kuat antara jumlah pendapatan bank yang diperoleh dari aktivitas non-traditional (commission based non-interest income) dan agresivitas bank dalam mengambil risiko. Barth et al. (2013)menemukan adanya korelasi antara transparansi laporan keuangan dengan perilaku bank dalam pengambilan risiko. Houston et al. (2010) menemukan pengaruh yang signifikan antara ketersediaan dan kelengkapan informasi kreditor-kreditor potensial dengan profitabilitas yang lebih tinggi dan risiko bank yang lebih rendah. Barry et al. (2011) melaporkan adanya perbedaan perilaku pengambia risiko antara bank yang dimiliki negara dengan bank swasta.
Pengambilan risiko bank merupakan aspek penting dalam keputusan manajerial terutama dalam keputusan berinvestasi. Pada tahun 1988 BIS (The Bank for International Settlement) mengeluarkan suatu konsep kerangka permodalan yang lebih dikenal dengan the 1988 accord (Basel I). Basel I dibuat sebagai penerapan kerangka pengukuran bagi risiko kredit. Seiring perkembangan produk-produk yang ada di dunia perbankan, BIS melakukan penyempurnaan kerangka permodalan yang ada pada the 1988 accord dengan mengeluarkan konsep permodalan baru yang di kenal dengan Basel II. Basel II memberikan kerangka perhitungan modal yang sifatnya lebih risk sensitive dan memberikan insentif terhadap peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko di bank. Hal ini dicapai dengan cara penyesuaian persyaratan modal dengan risiko dari kerugian kredit dan risiko dari kerugian akibat kegagalan operasional.
Menurut Kishan dan Opiela (2000), kekuatan pasar yang lemah mendorong mengambil risiko yang lebih tinggi. Peningkatan dari jumlah bank yang bersaing dan profit margin yang dibatasi memungkinkan bank untuk mengambil risiko yang berlebihan untuk meningkatkan returns. Demirgüç-Kunt et al. (2008)menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara jumlah pesaing bank dan pengambilan risiko. Ketika dihadapkan dengan persaingan yang meningkat, moral hazard semakin diperburuk dan bank sengaja mengambil risiko lebih. Bank dengan kekuatan pasar yang dimilikinya meningkatkan suku bunga kredit sehingga terjadi peningkatan pada biaya pendanaan dan peminjam secara optimal memilih project yang memiliki risiko yang lebih tinggi.
Delis dan Kouretas (2011) menunjukkan reaksi agresif bank yang signifikan terhadap tingkat suku bunga yang dinyatakan oleh dengan proksi rasio dari aset berisiko terhadap total aset. Ukuran ini mencerminkan keberisikoan portofolio bank pada setiap titik waktu dan secara langsung mencerminkan “bank risk taking”. Peningkatan aset berisiko yang dimiliki bank menunjukkan posisi bank yang lebih berisiko. Delis dan Kouretas (2011) mengemukakan bahwa pengukuran risiko harus merefleksikan risk taking behaviors dari bank komersial. Asset berisiko bank adalah seluruh kredit yang disalurkan bank termasuk non-performing asset dalam portofolio kredit bak. Oleh karena itu, rasio aset berisiko per total asset menjadi pengukuran terbaik dalam mengukur risiko bank untuk memperlihatkan perilaku bank dalam mencari profit dan mengambil risiko.
Selain proxy aset berisiko, penelitian ini juga mengukur pengambilan risiko bank menggunakan cadangan kerugian pinjaman (loan losses) sebagai indikator dari risiko kredit seperti yang digunakan dalam penelitian Foos et al. (2010) dan Hadad et al. (2011). Loan losses menggambarkan kerugian dari kredit yang disalurkan. Kerugian kredit merupakan potensi kerugian yang timbul dari aktivitas kredit (lending activities) bank karena adanya pinjaman yang gagal dikembalikan oleh debitur. Lebih lanjut dalam penelitiannya variabel loan losses didefinisikan sebagai jumlah penyisihan penghapusan aktiva (PPA) kredit yang ditetapkan untuk tahun t relatif terhadap total kredit pada tahun t-1. Definisi ini sudah sering digunakan dalam studi serupa di sejumlah negara untuk mengukur loan losses suatu bank. Diasumsikan, kreditor jarang mengalami gagal bayar di tahun pertama setelah kredit disalurkan, untuk menjelaskan kerugian dari
kredit yang disalurkan saat ini, digunakan lag 1 dari total kredit yang disalurkan dalam denominator.
Foos et al. (2010) mengemukakan bahwa pada kondisi dimana tingkat suku bunga sangat rendah maka debitur akan tertarik untuk mengajukan peminjaman kepada bank. Permintaan kredit yang tinggi disertai dengan supply kredit yang meningkat karena bank melakukan ekspansi kredit menyebabkan kompetisi di pasar kredit meningkat. Bank yang mencoba mempertahankan profitabilitas akan terdorong untuk lebih berani mengambil risiko pada semua aktivitas bisnisnya, seperti ekspansi produk baru atau cabang baru demi menjangkau segmen nasabah yang baru yang relatif belum terlampau dalam pemahaman bank atas perilaku segmen nasabah itu dan profil risiko dari nasabah-nasabah potensial tersebut. Probabilitas kredit macet menjadi meningkat.
Hadad et al. (2011) mengungkapkan ketika risiko terus meningkat disertai dengan peningkatan kompetisi perbankan maka risiko sistemik perbankan menjadi tinggi dan dapat menyebakan perekonomian rentan mengarah pada krisis. Pihak yang mendepositokan uangnya di bank tanpa ada jaminan akan menarik uangnya atau meminta tingkat suku bunga yang sangat tinggi kepada bank yang berani mengambil risiko tinggi. Nasabah ingin memastikan deposito yang mereka miliki tidak akan rugi apabila bank mengalami kegagalan. Dengan penarikan uang oleh nasabah maka bank harus selalu menjaga likuiditas asetnya sedangkan permintaan atas tingkat suku bunga deposito yang tinggi membuat bank berusaha menjaga pendapatannya untuk memenuhi kewajibannya. Apabila bank gagal dalam memenuhi keduanya maka risiko likuiditas dan risiko gagal bayar bank akan menyebabkan krisis.
Laeven dan Levine (2009) dan Demirguc-Kunt (2008) menyatakan bahwa kapitalisasi, tingkat profitabilitas, efisiensi, dan aktivitas non tradisional bank mempengaruhi bank dalam mengambil risiko. Secara tradisional bank menjalankan usahanya dengan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali dalam kredit dimana penghasilan bank didapatkan dari tingkat bunga. Diversifikasi aktivitas bank berupa usaha bank yang non tradisional menghasilkan komisi dari jasa selain kredit contohnya letter of credit, bank guarantee, dan jasa penyimpanan dalam safe deposit box.
Becker dan Ivashina (2014) mengungkapkan bahwa reaksi bank terhadap kebijakan moneter dalam hal ini suku bunga sangat responsif berupa memegang aset yang likuid sehingga terutama pada
bank kecil yang sulit menerima dana dari eksternal akan semakin menjaga likuiditas asetnya. Ketika suku bunga rendah maka bank akan cenderung menambah aset berisiko untuk mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi sehingga rasio aset berisiko terhadap total aset menjadi tinggi.
Bukti empiris lainnya akan hubungan suku bunga dengan risiko terdapat pada Gabriel et al. (2012) yang meneliti pada perbankan di Spanyol yaitu pada kebijakan moneter yang ekspansif artinya akan meningkatkan risiko yang diambil oleh bank, seperti halnya dengan penelitian bank di negara berkembang oleh Chen et al. (2017). Foos et al. (2010) membuktikan fluktuasi kebijakan moneter memiliki pengaruh terhadap perilaku berisiko yang diambil oleh bank berdasarkan karakteristik bank tersebut. Hasil penelitian Delis dan Kouretas (2011) menemukan pada suku bunga jangka pendek, jangka panjang, suku bunga bank sentral, dan suku bunga pinjaman bank memiliki kontribusi dampak yang signifikan dan negatif terhadap risiko. Artinya semakin rendah suku bunga maka akan semakin tinggi risiko yang diambil oleh bank..
Delis dan Kouretas (2011) melakukan penelitian terhadap suku bunga bebas risiko dalam hal ini suku bunga bank sentral dan menemukan bahwa pengaruhnya terhadap risiko sangat signifikan. Ketika suku bunga bebas risiko mengalami kenaikan maka risiko yang diambil bank semakin meningkat sebab bank berusaha mempertahankan marjin suku bunga sebagai pendapatan operasional bank. Suku bunga bebas risiko ditambah dengan marjin akan menghasilkan suku bunga rata-rata. Apabila suku bunga tidak dapat dinaikkan untuk mempertahankan marjin, maka bank akan mencari pendapatan melalui ekspansi aset selain kredit.
METODE PENELITIAN
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tahunan laporan keuangan publikasi perbankan dalam kurun waktu empat tahun terakhir yaitu tahun 2009-2015 yang diperoleh dari Direktori Perpustakaan Bank Indonesia. Sedangkan untuk data Jakarta Interbank Offered Rate, Indonesia Government Bonds Yield, dan Bank Indonesia Rate, diperoleh dari Data stream Reuters Knowledge. Jenis data yang digunakan adalah data panel.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode purposivesampling yaitu metode pengambilan sampel yang didasarkan pada tujuan penelitian. Data bankumum yang ada di Indonesia yang berasal dari Laporan Keuangan
Publikasi Bank(LKBP) diperoleh sampel sebanyak 99 bank. Sampel tersebut terdiri dari bankdomestik yang meliputi bank umum persero, BUSN devisa, dan BUSN nondevisa, BPD serta bank asing yang meliputi bank asing dan bank campuran.
Regresi terhadap model dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu pooled least square, fixed effect model, dan random effect model. Kemudian dilakukan ujipemilihan terhadap ketiga pendekatan tersebut yaitu dengan chow test dan hausman test. Ketiga uji ini dilakukan untuk menentukan pendekatan yang paling tepat atas model yang digunakan di dalam penelitian. Penelitian ini menggunakan dua model dimana kedua model ini merupakan adaptasi dari model yang digunakan oleh Delis dan Kouretas (2011).
Model 1:
RASit = ¾ + βι(IntRit) + β2(EqTAit) + β3(ROAit) + β4(LnTAit) + β5(TRTEit) + β6(NΠ it) + ⅝.....................................................(i)
Model pertama melihat pengaruh suku bunga beserta variabel kontrol berupa variabel karakteristik bank terhadap aset berisiko.
Model 2:
LLit = «o + βι(IntRit) + β2(EqTAit) + β3(ROAit) + β4(LnTAit) + β5(TRTEit) + β6(NΠ it) + ⅝.....................................................(2)
Model kedua melihat pengaruh suku bunga beserta variabel kontrol berupa variabel karakteristik bank terhadap cadangan kerugian pinjaman.
Dimana, keterangan dari setiap variabel yang ada di kedua model di atas adalah sebagai berikut: (a). Aset Berisiko/Risky Asset (RAsit) adalah rasio dari aset berisiko terhadap total aset bank i pada periode t. (b). Cadangan Kerugian Pinjaman/Loan Losses (LLit) adalah jumlah Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA) kredit yang ditetapkan bank i untuk tahun t relatif terhadap total kredit pada tahun t-1. (c). Suku Bunga (IntRit) adalah variabel suku bunga bank i pada periode t, dimana suku bunga yang digunakan adalah Bank-level Lending Rate yang merupakan rasio dari pendapatan bunga terhadap total kredit pada bank i periode t. (d). Suku Bunga (IntRt) adalah variabel suku bunga pada periode t untuk keseluruhan bank, dimana suku bunga yang digunakan adalah sebagai berikut.(1).Jakarta Interbank Offered Rate merupakan rata-rata tahunan dari suku bunga 3 bulan antar bank. (2). Indonesia Government Bonds Yield merupakan rata-rata tahunan dari pendapatan 10 tahun obligasi
pemerintah. (3).Bank Indonesia Rate adalah suku bunga lelang bank sentral. (e). Kapitalisasi (EqTAit) adalah adalah variabel kontrol yang merupakan rasio dari ekuitas bank terhadap total aset pada bank i periode t. (f). Profitabilitas (ROAit) adalah variabel kontrol yang merupakan rasio laba sebelum pajak untuk tahun t relatif terhadap total aset pada tahun t-1. (g). Ukuran (LnTAit) adalah variabel kontrol yang merupakan logaritma natural dari total aset bank i pada periode t. (h). Efisiensi (TRTEit) adalah variabel kontrol yang digunakan untuk melihat pendapatan relatif terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan pada bank i periode t. (i.) Non-interest Income (NIIit) adalah variabel kontrol aktivitas nontradisional yang merupakan rasio dari pendapatan nonbunga terhadap total aset pada bank i periode t.
Penelitian ini menggunakan Fixed Effect Model sebagai model terbaik dalam meregresi data panel. Selain itu, regresi juga dilakukan dengan menggunakan metodewhite cross-section standar error and covariance untuk menghindari permasalahan pada heteroskedastisitas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil regresi kedua model dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Berikut adalah hasil regresi dan interpretasi model pertama yang menunjukkan pengaruh suku bunga terhadap agresivitas bank dalam pengambilan risiko yang diukur dengan aset berisiko.
Dari 4 buah persamaan regresi yang ada pada Tabel 2, persamaan regresi yang menggunakan averagebank lending level rate (BLLR) merupakan persamaan regresi dengan Goodness of Fit yang terbaik yang ditunjukkan dengan besarnya R Squared dan Adjusted R Squared yang paling tinggi dibandingkan dengan persamaan regresi lainnya yang menggunakan ukuran suku bunga pasar yang berbeda. Tingkat suku bunga pasar yang paling mempengaruhi tingkat agresivitas bank dalam pengambilan risiko adalah BLLR yaitu tingkat suku bunga pinjam bank secara rata-rata setiap bank yang ada di industri. Hal ini cukup masuk akal karena tingkat suku bunga pasar yang lain tidak secara langsung berkaitan dengan kondisi persaingan yang dihadapi bank secara riil di lapangan. Persamaan regresi dengan JIBOR sebagai ukuran suku bunga pasar memiliki goodness of fit yang tertinggi kedua karena JIBOR menunjukkan suku bunga pinjaman antar bank yang memperlihatkan pula kondisi likuiditas pasar uang antar bank dan kondisi finansial dan likuiditas secara global dari bank-bank yang ada.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa JIBOR berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap aset berisiko. Hal ini mencerminkan kondisi perbankan di Indonesia di mana ketika suku bunga JIBOR turun maka bank cenderung akan meningkatkan pemberian kredit. Hal ini terjadi karena saat ada kelebihan likuiditas, bank lebih memilih untuk mengalokasikan uangnya dalam bentuk kredit pada nasabah dibandingkan pada pasar uang antar bank. Hal ini dikarenakan ketika bank mengalokasikan uangnya dalam bentuk kredit pada nasabah, bank dapat mengambil marjin yang lebih besar sehingga keuntungannya pun lebih besar. Peningkatan kredit yang diberikan oleh bank pada akhirnya akan meningkatkan jumlah aset berisiko dari bank.
Penelitian ini membuktikan bahwa IGBY berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap aset berisiko. Hal ini mencerminkan kondisi perbankan di Indonesia dimana ketika IGBY turun bank akan memilih untuk mengalokasikan uangnya dalam bentuk kredit pada nasabah dibandingkan pada government bonds. Hal ini dikarenakan ketika bank mengalokasikan uangnya dalam bentuk kredit pada nasabah, bank dapat memperoleh keuntungan lebih besar. Peningkatan kredit yang diberikan oleh bank pada akhirnya akan meningkatkan aset berisiko dari bank.
Berdasarkan hasil penelitian ini terbukti bahwa BI Rate berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap aset berisiko. Ketika BI Rate mengalami penurunan, bank akan cenderung memilih untuk menyalurkan uangnya kepada nasabah dalam bentuk kredit dibandingkan menyimpan uangnya pada SBI. Hal ini dikarenakan ketika bank mengalokasikan uangnya dalam bentuk kredit pada nasabah, bank dapat memperoleh keuntungan lebih besar. Peningkatan kredit yang diberikan oleh bank pada akhirnya akan meningkatkan aset berisiko dari bank.
Berdasarkan hasil penelitian ini terbukti bahwa BLLR berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap aset berisiko. Penurunan pada suku bunga kredit bank membuat bank menambah jumlah kredit yang disalurkan pada nasabah. Hal ini juga disebabkan karena penurunan suku bunga kredit bank menyebabkan peningkatan permintaan kredit dari nasabah. Peningkatan kredit yang diberikan oleh bank pada akhirnya akan meningkatkan aset berisiko dari bank.
Penelitian ini juga menemukan bahwa hubungan suku bunga dan aset berisiko dipengaruhi secara negatif oleh kapitalisasi. Bank di Indonesia mengandalkan modal sebagai penanggung asetnya
sehingga semakin rendah kapitalisasi maka semakin meningkat aset berisikonya. ketika pendanaan dari ekuitas rendah berarti bank perlu mendanai asetnya
dari dana luar seperti pinjaman kepada bank lain sehingga meningkatkan aset berisikonya.
Tabel 2. Hasil Regresi Model 1
Variabel Independen |
Variabel Dependen: Jumlah Asset Berisiko | |||
JIBOR |
(-2.7981) 0.0248** | |||
IGBY |
(-2.6479) | |||
0.0000*** | ||||
BIRate |
(-6.5677) 0.0396** | |||
BLLR |
(-0.7561) 0.0396** | |||
EqTA |
(-0.0807) |
(-0.1693) |
(-0.1364) |
(0.1941) |
0.4837 |
0.0096*** |
0.0338** |
0.1061 | |
ROA |
(0.8458) |
(1.0486) |
(0.8218) |
(0.6711) |
0.0000*** |
0.0000*** |
0.0000*** |
0.0039** | |
LnTA |
(-0.0524) |
(-0.1130) |
(-0.0409) |
(0.0429) |
0.1097 |
0.0000*** |
0.3469 |
0.0000*** | |
TRTE |
(-0.0840) |
(-0.0909) |
(-0.0882) |
(-0.0811) |
0.0000*** |
0.0000*** |
0.0000*** |
0.0000*** | |
NII |
(-0.8281) |
(-0.8593) |
(-0.7861) |
(-0.8300) |
0.0096*** |
0.0020*** |
0.0182** |
0.0197** | |
R squared |
0,92 |
0,89 |
0,82 |
0,93 |
Adj R squared |
0,88 |
0,82 |
0,81 |
0,92 |
DW stat |
2,10 |
2,13 |
2,17 |
2,13 |
Angka dalam kurung adalah koefisien regresi hasil estimasi. Angka di bawahnya menunjukkan besarnya t statistic. Tanda *, **, dan *** menunjukkan signifikansi pada tingkat error 10%, 5%, dan 1%.
Sumber: Data diolah (2016)
Hasil penelitian ini menemukan bahwa hubungan suku bunga dan aset berisiko dipengaruhi secara positif oleh profitabilitas periode sebelumnya. Hasil penelitian ini sejalan dengan Delis dan Kouretas (2011)
yang menemukan bahwaapabila profitabilitas periode sebelumnya meningkat, maka bank akan tertarik untuk menambah pendapatannya pada periode saat ini. Bank akan tertarik untuk membuat pinjaman baru, dimana hal ini pada akhirnya akan meningkatkan aset berisiko dari bank.
Hubungan suku bunga dan aset berisiko dipengaruhi secara negatif oleh ukuran, ditunjukkan dari hasil yang diperoleh dalam penelitian ini. Bhagat et al. (2015) menjelaskan bahwa bank-bank yang lebih besar rata-rata memiliki tingkat kerugian yang lebih rendah. Selain itu Foos et al. (2010) menjelaskan bahwa bank besar memiliki keuntungan
dari penerapan manajemen risiko yang lebih canggih dalam memitigasi pengaruh yang merugikan dari pertumbuhan kredit.
Penelitian ini menemukan bahwa hubungan suku bunga dan aset berisiko dipengaruhi secara negatif oleh efisiensi. Penelitian ini sejalan dengan Delis dan Kouretas (2011) yang berpendapat bahwa secara teknis bank yang efisien lebih mampu dalam mengelola risiko. Sesuai dengan Hadad et al. (2011) yang menemukan bahwa semakin tinggi tingkat inefisiensi maka bank akan cenderung mengambil risiko yang lebih tinggi.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa hubungan suku bunga dan aset berisiko dipengaruhi secara negatif oleh non-interest income. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peningkatan diversifikasi pendapatan bank dapat menurunkan risiko bank. Hal ini sesuai dengan nature perbankan
di Indonesia yang meningkatkan aktivitas nontradisional untuk mengurangi aset berisiko. Foos et al. (2010) menemukan bahwa ada keuntungan potensial dalam pengurangan risiko dari ekspansi bank ke dalam aktivitas baru. Ketika bank memilih untuk meningkatkan aktivitas nontradisionalnya, hal ini salah satunya akan berdampak pada pengurangan pemberian kredit. Ketika terjadi pengurangan pemberian kredit, maka berkurang juga aset berisiko bank.
Selain menggunakan jumlah asset yang berisiko sebagai variabel proksi dari agresivitas bank, penelitian ini juga menggunakan cadangan kerugian bank. Tabel 3 memuat hasil regresi model kedua yang menunjukkan pengaruh suku bunga terhadap agresivitas bank dalam pengambilan risiko yang diukur dengan cadangan kerugian pinjaman.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa JIBOR berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap cadangan kerugian pinjaman. Hasil ini mencerminkan kondisi perbankan di Indonesia di mana ketika suku bunga JIBOR turun maka bank cenderung akan meningkatkan pemberian kredit. Hal ini terjadi karena bank lebih memilih untuk mengalokasikan uangnya dalam bentuk kredit pada nasabah dibandikan pada pasar uang antar bank. Hal ini dikarenakan ketika bank mengalokasikan uangnya dalam bentuk kredit pada nasabah, bank dapat mengambil marjin yang lebih besar sehingga keuntungannya pun lebih besar. Penurunan suku bunga JIBOR berawal dari penurunan BI Rate dan pada akhirnya mempengaruhi penurunan suku bunga kredit bank. Ketika bank memberikan kredit pada saat suku bunga sedang mengalami penurunan, maka bank akan mengurangi Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA) kredit karena kemungkinan tidak tertagihnya kredit juga akan menurun.
Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa IGBY berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap cadangan kerugian pinjaman. Hasil ini menunjukkan kondisi yang sesuai dengan keadaan bank-bank di Indonesia dimana ketika IGBY mengalami penurunan, bank-bank lebih memilih mengalokasikan dana mereka dalam bentuk pinjaman kepada nasabah yang memiliki bunga yang lebih tinggi dibandingkan dengan government bonds atau SUN. Penurunan suku bunga IGBY berawal dari penurunan BI Rate dan pada akhirnya mempengaruhi penurunan suku bunga kredit bank. Ketika bank memberikan kredit pada saat suku bunga sedang mengalami penurunan, maka bank
akan mengurangi Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA) kredit karena kemungkinan tidak tertagihnya kredit juga akan menurun.
Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa IGBY berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap cadangan kerugian pinjaman. Hasil ini menunjukkan kondisi yang sesuai dengan keadaan bank-bank di Indonesia dimana ketika IGBY mengalami penurunan, bank-bank lebih memilih mengalokasikan dana mereka dalam bentuk pinjaman kepada nasabah yang memiliki bunga yang lebih tinggi dibandingkan dengan government bonds atau SUN. Penurunan suku bunga IGBY berawal dari penurunan BI Rate dan pada akhirnya mempengaruhi penurunan suku bunga kredit bank. Ketika bank memberikan kredit pada saat suku bunga sedang mengalami penurunan, maka bank akan mengurangi Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA) kredit karena kemungkinan tidak tertagihnya kredit juga akan menurun.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa BI Rate memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap cadangan kerugian pinjaman. Hasil penelitian ini menunjukkan kondisi yang sesuai dengan keadaan bank-bank di Indonesia, dimana ketika BI Rate meningkat menyebabkan meningkatnya risiko kredit. Hal ini dikarenakan ketika BI Rate meningkat suku bunga pinjaman juga meningkat sehingga beban biaya pinjaman dari nasabah bank juga meningkat, dan dapat menyebabkan peningkatan kemungkinan kredit yang tidak tertagih. Sehingga pada akhirnya bank akan meningkatkan cadangan kerugian pinjaman.
Berdasarkan hasil penelitian ini terbukti bahwa BLLR berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap cadangan kerugian pinjaman. Peningkatan pada suku bunga kredit bank akan menyebabkan peningkatan pada beban biaya pinjaman dari nasabah bank, dan pada akhirnya menyebabkan peningkatan kemungkinan kredit yang tidak tertagih. Sehingga pada akhirnya bank akan meningkatkan cadangan kerugian pinjaman untuk mengantisispasi kemungkinan kredit tidak tertagih.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa hubungan suku bunga dan cadangan kerugian pinjaman tidak dipengaruhi oleh semua variabel kontrol yang digunakan. Hal ini dapat dilihat dari hasil yang ditampilkan Pada Tabel 3. Dengan demikian dapat diinterpretasikan bahwa hubungan suku bunga dan cadangan kerugian pinjaman tidak dipengaruhi oleh Permodalan, Profitabilitas,Ukuran, Efisiensi, dan Non-interest Income
Tabel 3. Hasil Regresi Model 2
Variabel Dependen: Cadangan Kerugian Bank
Variabel Independen | ||||
JIBOR |
(0.5737) 0.0094*** | |||
IGBY |
(0.2789) 0.0078*** | |||
BIRate |
(1.2427) 0.0030*** | |||
BLLR |
(1.0557) 0.0344** | |||
EQTA |
(0.1001) |
(0.0850) |
(0.1068) |
(0.0557) |
0.0573* |
0.1525 |
0.0574* |
0.2567 | |
ROA |
(-0.0827) |
(-0.0811) |
(-0.0745) |
(-0.0251) |
0.5803 |
0.5741 |
0.6163 |
0.7991 | |
LNTA |
(0.0108) |
(0.0046) |
(0.0066) |
(-0.0208) |
0.5053 |
0.7846 |
0.6540 |
0.1239 | |
TRTE |
(-0.0048) |
(-0.0037) |
(-0.0039) |
(-0.0030) |
0.2334 |
0.3371 |
0.2901 |
0.3945 | |
NII |
(0.3380) |
(0.3312) |
(0.3284) |
(0.2976) |
0.0985* |
0.1118 |
0.1232 |
0.1878 | |
R squared |
0,90 |
0,87 |
0,91 |
0,92 |
Adj R squared |
0,87 |
0,86 |
0,88 |
0,91 |
DW stat |
2,10 |
2,10 |
2,13 |
2,15 |
Angka dalam kurung adalah koefisien regresi hasil estimasi. Angka di bawahnya menunjukkan besarnya t statistic. Tanda *, **, dan *** menunjukkan signifikansi pada tingkat error 10%, 5%, dan 1%.
Sumber: Data diolah (2016)
SIMPULAN
Sebagai negara bank-based economy, sektor perbankan memiliki posisi strategis dalam sistem keuangan di Indonesia. Hal ini membuat tingkat suku bunga menjadi salah satu elemen terpenting dalam aktifitas operasional bank umum. Ketika mayoritas bank menurunkan tingkat suku bunga rata-rata, maka berkurang pula pendapatan bunga yang akan diterima oleh bank sehingga mendorong bank untuk mengambil risiko yang lebih tinggi untuk mempertahankan tingkat keuntungan yang dapat diperolehnya. Hasil penelitian ini menemukan bahwa suku bunga mempengaruhi agresivitas bank dalam pengambilan risiko di Indonesia. Suku bunga terbukti mempengaruhi agresivitas bank dalam pengambilan risiko dengan arah negatif. Hal tersebut konsisten jika pengukuran risiko yang digunakan adalah aset berisiko. Namun jika pengukuran risiko yang digunakan adalah cadangan kerugian pinjaman, suku bunga terbukti mempengaruhi agresivitas bank dalam pengambilan risiko dengan arah positif. Cadangan kerugian bank menjadi semakin tinggi karena semakin banyak kredit macet yang diderita bank.
Penelitian ini juga menemukan bahwa hubungan suku bunga dan agresivitas bank dalam pengambilan risiko di Indonesia periode 2009-2012 dipengaruhi variabel kontrol karakteristik bank. Hubungan suku bunga dan agresivitas bank dalam pengambilan risiko terbukti dipengaruhi oleh kapitalisasi, ukuran, efisiensi, dan non-interest income dengan arah negatif. Sedangkan hubungan suku bunga dan agresivitas bank dalam pengambilan risiko terbukti dipengaruhi oleh profitabilitas dengan arah positif. Hal tersebut konsisten jika pengukuran risiko yang digunakan adalah aset berisiko. Namun jika pengukuran risiko yang digunakan adalah cadangan kerugian pinjaman, hubungan suku bunga dan agresivitas bank dalam pengambilan risiko terbukti tidak dipengaruhi oleh variabel kontrol karakteristik bank.
Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan memasukkan beberapa variabel yang digunakan dalam penelitian terdahulu namun tidak digunakan dalam penelitian ini, seperti capital stringency, supervisory power, dan market discipline. Selain itu penelitian ini dapat dilanjutkan dengan menggunakan periode waktu yang lebih lama dimana
pada penelitian ini hanya menggunakan periode yang sangat singkat yaitu 4 tahun. Dengan demikian penelitian selanjutnya dapat memperoleh hasil yang lebih akurat.
REFERENSI
Barry, T. A., Lepetit, L., & Tarazi, A. (2011). Ownership structure and risk in publicly held and privately owned banks. Journal of Banking and Finance. https://doi.org/10.1016/ j.jbankfin.2010.10.004
Barth, J. R., Caprio, G., & Levine, R. (2013). Bank Regulation and Supervision in 180 Countries from 1999 to 2011. SSRN. https://doi. org/ 10.2139/ssrn.2203516
Becker, B., & Ivashina, V. (2014). Cyclicality of credit supply: Firm level evidence. Journal of Monetary Economics. https://doi.org/10.1016/ j.jmoneco.2013.10.002
Bhagat, S., Bolton, B., & Lu, J. (2015). Size, leverage, and risk-taking of financial institutions. Journal of Banking and Finance. https:// doi.org/10.1016/j.jbankfin.2015.06.018
Bushman, R. M., & Williams, C. D. (2012). Accounting discretion, loan loss provisioning, and discipline of Banks’ risk-taking. Journal of Accounting and Economics. https://doi.org/ 10.1016/j.jacceco.2012.04.002
Chen, M., Wu, J., Jeon, B. N., & Wang, R. (2017). Monetary policy and bank risk-taking: Evidence from emerging economies. Emerging Markets Review. https://doi.org/10. 1016/
j.ememar.2017.04.001
Craig, B. R., & Dinger, V. (2013). Deposit market competition, wholesale funding, and bank risk. Journal of Banking and Finance. https:// doi.org/10.1016/j.jbankfin.2013.05.010
Delis, M. D., & Kouretas, G. P. (2011). Interest rates and bank risk-taking. Journal of Banking and Finance. https://doi.org/10.1016/j.jbankfin. 2010.09.032
Demirgüç-Kunt, A., Detragiache, E., & Tressel, T. (2008). Banking on the principles: Compliance with Basel Core Principles and bank soundness. Journal of Financial Intermediation. https:// doi.org/10.1016/j.jfi.2007.10.003
Foos, D., Norden, L., & Weber, M. (2010). Loan growth and riskiness of banks. Journal of Banking and Finance. https://doi.org/10.1016/ j.jbankfin.2010.06.007
Gabriel, J., Steven, O., Jose-Luis, P., & Jesus, S. (2012). Credit Supply and Monetary Policy: Identifying the Bank Balance-Sheet Channel with Loan Applications. American Economic Review. https://doi.org/10.1257/aer.102.5.2301
Hadad, M. D., Agusman, A., Monroe, G. S., Gasbarro, D., & Zumwalt, J. K. (2011). Market discipline, financial crisis and regulatory changes: Evidence from Indonesian banks. Journal of Banking and Finance. https:// doi.org/10.1016/j.jbankfin.2010.11.003
Hakenes, H., & Schnabel, I. (2011). Bank size and risk-taking under Basel II. Journal of Banking and Finance. https://doi.org/10. 1016/ j.jbankfin.2010.10.031
Houston, J. F., Lin, C., Lin, P., & Ma, Y. (2010). Creditor rights, information sharing, and bank risk taking. Journal of Financial Economics. https://doi.org/10.1016/j.jfineco.2010.02.008
Jin, J. Y., Kanagaretnam, K., Lobo, G. J., & Mathieu, R. (2013). Impact of FDICIA internal controls on bank risk taking. Journal of Banking and Finance. https://doi.org/10. 1016/
j.jbankfin.2012.09.013
Kishan, R. P., & Opiela, T. P. (2000). Bank Size, Bank Capital, and the Bank Lending Channel. Journal of Money, Credit and Banking. https://doi.org/10.2307/2601095
Laeven, L., & Levine, R. (2009). Bank governance, regulation and risk taking. Journal of Financial Economics. https://doi.org/10.1016/ j.jfineco.2008.09.003
Mistrulli, P. E. (2011). Assessing financial contagion in the interbank market: Maximum entropy versus observed interbank lending patterns. Journal of Banking and Finance. https:// doi.org/10.1016/j.jbankfin.2010.09.018
Upper, C. (2011). Simulation methods to assess the danger of contagion in interbank markets. Journal of Financial Stability. https://doi.org/ 10.1016/j.jfs.2010.12.001
Discussion and feedback