INTERAKSI ANTARA PERCEIVED VALUE, TRANSACTION COST, DAN REPURCHASE INTENTION DALAM TRANSAKSI ON-LINE
on
Chairunnisa, Interaksi antara Perceived... 49
DOI: https://doi.org/10.24843/MATRIK:JMBK.2018.v12.i01.p06
INTERAKSI ANTARA PERCEIVED VALUE, TRANSACTION COST, DAN REPURCHASE INTENTION DALAM
TRANSAKSI ON-LINE
Chairunnisa(1)
Anjar Priyono(2)
(1)(2)Program Studi Manajemen, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara perceived value, transaction cost dan repurchase intention dalam lingkungan belanja on-line. Perceived value seorang konsumen sangat mempengaruhi repurchase intention seorang konsumen. Pada penelitian ini tidak semua transaction cost memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perceived value dan repurchase intention. Penelitian ini menggunakan sampel,waktu dan tempat yang berbeda dari penelitian sebelumnya. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 212 responden. Penyebaran kuisioner dengan cara on-line melalui media sosial, yang menjadi sampel merupakan orang yang melakukan transaksi on-line melalui website dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan Structural Equation Modelling (SEM). Information searching cost dan moral hazard terbukti berpengaruh signifikan negatif terhadap perceived value. Information searching cost dan specific asset invesment masing masing berpengaruh signifikan negatif dan signifikan positif terhadap repurchase intention.
Kata kunci : perceived value, repurchase intention, transaction cost economic, moral hazard cost
ABSTRACT
This research aims to analyse the relationships between perceived value, transaction cost and repurchase intention in on-line shopping environment. The respondents were selected purposively from customers who have completed at least a transaction during the last year. The instrument were developed using Likert Scale and analysed using structural equation modelling. In total, as many as 212 respondents completed the questionnaires. From the analysis it was revealed that consumer’s perceived value and repurchase intention have a positive influence in on-line shopping. In addition, it was shown that that information searching cost and moral hazard have negatif influence in perceived value. On the other hand information searching cost and specific asset investment showed negatif influence and positive influence on repurchase intention. Limitations and recommendations for future research are presented at the end of the paper.
Keywords : perceived value, repurchase intention, transaction cost economic, moral hazard cost
PENDAHULUAN
Laporan Bank Indonesia menunjukkan bahwa transaksi e-commerce di Indonesia mencapai hingga Rp 34,9 triliun di tahun 2014. Hal ini menjadi ciri bahwa pasar online di Indonesia cukup menggiurkan untuk diseriusi oleh perusahaan dalam menjangkau calon konsumen. Untuk selalu memperluas dan mempertahankan pasar, perusahaan menghadapi tantangan dari luar maupun dari dalam perusahaan itu sendiri. Salah satu permasalahan yang terjadi tidak hanya bagaimana menjangkau pasar, namun bagaimana mempertahankan pasar yang telah terbentuk sebelumnya.
Transaksi online perusahaan harus mampu mengikat pelanggan kedalam bentuk hubungan yang kuat. Hal ini bertujuan agar pelanggan melakukan pembelian berulang. Menurut Khandelwal et al.
(2013) inti dalam proses penciptaan hubungan yang baik dengan pelanggan adalah bagaimana perusahaan mampu membuat pelanggan untuk bersedia melakukan pembelian online dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi niat pembelian tersebut. Khandelwal juga mengemukakan bahwa niat pembelian menentukan sikap seorang pelanggan; dimana niat pembelian dianggap elemen penting yang mempengaruhi dalam proses penyebaran produk maupun layanan baru. Niat beli secara sederhana bermakna rencana pembelian suatu barang atau jasa dalam waktu dekat (Khandelwal et al., 2013).
Meskipun toko online mencoba untuk memberikan banyak keuntungan untuk menarik pelanggan, sebagian besar dari mereka kehilangan uang (Ponte et al., 2015). Alasannya mungkin saja
karena produk yang berkualitas superior dengan harga yang wajar belum tentu mampu mempertahankan konsumen karena hal tersebut mudah ditiru oleh kompetitor (Ponte et al., 2015). Untuk mempertahankan posisinya dalam benak pelanggan, maka toko online harus selalu siap untuk berkompetisi. Dimana kompetisi mendorong perusahaan untuk lebih baik dari waktu ke waktu (Iskandar et al., 2015).
Mempertahankan konsumen menjadi fokus perusahaan untuk menjaga eksistensinya di tengah persaingan, terutama dalam usaha yang berfokus pada melayani konsumen akhir secara langsung atau yang dikenal dengan istilah Bussiness-to-consumer menurut Ponte et al., (2015). Persaingan yang ketat ini berarti bahwa kelangsungan hidup bisnis belanja online tergantung pada inovasi dan penyediaan interaktif, layanan hemat biaya, dan nyaman, serta menarik pelanggan baru dan mempertahankan basis pelanggan yang sudah ada. Maka dari itu perusahaan harus berusaha lebih agar konsumen selalu memiliki niat pembelian kembali melalui website yang mereka sediakan. Namun menurut Wu et al., (2014) ada kecenderungan calon pelanggan hanya menggunakan website sebagai tempat untuk mencari informasi dari pada sebagai sebuah tempat untuk melakukan pembelian online. Clicking ataupun aktivitas yang terjadi di halaman website belum tentu berbanding lurus dengan penjualan yang terjadi. Mudah atau tidaknya website diakses dan ditemukan menjadi salah satu pendorong seberapa tinggi traffic yang terjadi dalam suatu website. Traffic dalam suatu websitepun bisa terbentuk jika pelanggan melakukan clickling namun tidak melakukan pembelian. Dalam melakukan belanja online pelanggan cenderung melakukan aktivitas pengumpulan informasi lebih banyak terlebih dahulu baru memutuskan untuk melakukan pembelian online.
Pembelian kembali yang terjadi dalam sebuah situs belanja online hanya sekitar 1% (Gupta and Woong 2007). Di Indonesia, nilai transaksi belanja online masyarakat mencapai Rp 75 triliun di tahun 2016. Jumlah pengguna internet yang belanja secara online di tahun tersebut sebesar 24.73 sehingga rata-rata, masing-masing pelanggan membelanjakan sekitar Rp 3 juta per tahun. Nilai ini berpotensi untuk meningkat secara drastis selama beberapa tahun mendatang (Nababan 2017). Gupta dan Wong (2007) juga menambahkan bahwa pelanggan yang melakukan pembelian kembali lebih menguntungkan dari pada pelanggan baru. Pelanggan yang telah melakukan pembelian kembali berpotensi besar untuk merekomendasikan produk atau jasa yang disukainya kepada orang lain. Orang-orang yang
seperti ini harus dijaga ikatannya agar tetap merasa nyaman dan terus melakukan pembelian ulang. Mereka merupakan tipe orang yang tidak sensitive dengan harga.
Website yang menjadi salah satu media untuk menjaga hubungan dengan konsumen diharapkan tidak hanya dapat menjalin bentuk hubungan transaksional, namun juga mampu membangun sebuah hubungan relasional dengan konsumen. Hubungan relasional bersifat jangka panjang. Dalam menjangkau konsumen melalui website sering kali perusahaan lebih banyak kehilangan uang yang banyak demi mendapatkan perhatian konsumen (Ponte et al., 2015). Menurut Tontini (2016) Dalam mendapatkan dan mempertahankan pelanggan, website tidak berpengaruh secara tunggal, ada pengaruh gabungan antara website dan layanan akhir agar perusahaan berhasil dalam menarik dan mempertahankan pelanggan.
Ada faktor relasional yang mendasari kedalam dua pandangan teoritis, yaitu faktor nilai yang dirasakan atau yang disebut dengan perceived value dan faktor biaya transaksi ekonomis atau yang dikenal dengan transaction cost economics (TCE) (Ponte et al., 2015). Namun Wu et al. (2014) yang sebelumnya melakukan penelitian mengenai pengaruh TCE terhadap kesediaan berbelanja online kedua variabel tersebut berhubungan negatif. Perbedaan hasil ini bisa saja dipicu oleh banyak faktor, seperti budaya lokal, kemampuan finansial, dan lain-lain. Oleh sebab penelitian tentang hubungan TCE terhadap pembelian kembali penting untuk dilakukan di Indonesia karena belum ada yang mengangkat isu ini sebelumnya. Ponte et al., (2015) mengemukakan dalam penelitiannya di Taiwan bahwa nilai yang dirasakan konsumen berhubungan positif terhadap niat pembelian kembali, namun masing-masing elemen dalam TCE memiliki pengaruh yang berbeda dalam hubungannya dengan niat pembelian kembali.
Penelitian ini akan memberikan kebaruan (novelty) yang akan menghasilkan kontribusi terhadap pengetahuan (contribution to knowledge) karena ini adalah penelitian pertama yang melakukan analisis perceived value dan TCE terhadap transaksi online di Indonesia. Indonesia memiliki perilaku konsumen yang berbeda, budaya yang berbeda, dan tingkat penyerapan teknologi yang berbeda pula jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian dalam topik terkait yang mayoritas dilakukan di negara maju.
Berdasarkan uraian diatas penelitian ini mencoba untuk mengangkat tujuh rumusan masalah,
yaitu apakah niat pembelian kembali secara on-line meningkat ketika nilai yang diterima konsumen meningkat; apakah persepsi nilai belanja on-line meningkat ketika persepsi konsumen dalam mencari informasi tentang biaya menurun; apakah konsumen merasa biaya pencarian menurun ketika niat pembelian mereka meningkat; apakah persepsi konsumen tentang biaya moral hazard menurun ketika persepsi mereka tentang nilai belanja on-line meningkat; apakah persepsi konsumen tentang biaya moral hazard menurun ketika niat pembelian kembali meningkat; apakah dengan meningkatnya investasi asset tertentu nilai yang diterima konsumen menurun; apakah persepsi konsumen terhadap akumulasi investasi dalam asset tertentu meningkat apabila niat mereka melakukan pembelian kembali meningkat
Variabel – variabel yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah perceived value, niat beli kembali (repurchase intention), persepsi konsumen transaction cost, dan nilai dalam berbelanja online (e-shopping value). Di bagian ini akan dibahas secara mendalam penelitian-penelitian terdahulu yang membahas mengenai variabel-variabel tersebut sehingga dapat diperoleh pemahaman yang menyeluruh. Di bagian akhir setiap sub-bab, akan dirumuskan hipotesis yang kemudian akan diuji dengan menggunakan data yang berasal dari responden.
Ponte et al. (2015)mendefinisikan perceived value atau e-shopping value sebagai penilaian keseluruhan konsumen dari utilitas produk berdasarkan persepsi tentang apa yang diterima dan apa yang diberikan. Perceived value juga berisi evaluasi terhadap produk atau jasa yang dilakukan oleh seorang konsumen. disisi lain perceived value memainkan peran penting dalam proses pertukaran yang terjadi di transaksi online.
Ponte et al., (2015) menyatakan bahwa pertukaran berharga (valuable exchange) adalah sebuah pernyataan penting yang tidak hanya berlaku secara offline namun juga secara online. Kesadaran konsumen akan harga akan lebih rendah jika mereka menemukan suatu nilai dalam layanan yang selalu siap dan menawarkan fasilitas lebih (misalnya pesan antar), walaupun mengorbankan biaya yang lebih besar namun itu sesuai dengan hal yang telah dikorbankan. Manfaat seperti ini juga mampu meningkatkan repurchase intention seorang konsumen. Seperti yang dikemukakan oleh Hapsari et al., (2017), peningkatan perceived benefits yang dirasakan konsumen melebihi perceived cost maka itu akan cenderung meningkatkan repurchase intention. Menurut Priem et al. (2017), perceived value suatu barang
ataupu jasa didasarkan pada kebutuhan (needs), keyakinan (beliefs), pengalaman (experiences), keinginan (desires), dan harapan (expectations) mengenai barang atau jasa tersebut. Nilai yang menjadi penentu repurchase intention ini sangat bersifat subjektif, spesifik, dan mungkin sangat bervariasi dari konsumen ke konsumen yang lainnya (Zeithamal, 1988)
Berdasarkan uraian diatas perceived value memiliki pengaruh terhadap repurchase intention. Artinya semakin tinggi nilai yang didapat seorang konsumen ketika melakukan transaksi maka akan berpengaruh terhadap niat beli seorang konsumen terhadap suatu produk. atas dasar hal tersebut, hipotesis yang akan dirumuskan yaitu sebagai berikut : H1: Perceived value konsumen akan berpengaruh positif terhadap repurchase intention seorang konsumen di lingkungan online.
Berdasarkan teori perilaku manusia, ketidak pastian atau keadaan yang tidak pasti memicu konsumen untuk mengurangi ketidak pastian tersebut. Ketidakpastian yang lebih tinggi mengarah pada pencarian yang dilakukan lebih luas baik sebelum maupun setelah pembelian yang dapat menyebabkan peningkatan information searching cost. Pembeli yang melakukan pencarian seperti ini untuk mempelajari fungsi utama toko online, spesifikasi dan manfaatnya dan membandingkannya dengan toko online yang lain.
Konsumen juga selalu mencari referensi toko online yang lainnya dan terjadi peningkatan pedagang dalam suatu toko online. Hal ini bisa disebabkan karna hambatan untuk masuk ke lingkungan online sangat minim. Sehingga konsumen banyak menghabiskan waktu dan tenaga untuk mengintegras ika n informasi yang ada yang mampu meningkatkan penilaian suatu merek diantara informasi yang sangat kompleks (Ponte et al., 2015). Konsumen tidak akan cukup kenal dengan suatu merk produk di suatu toko online jika perusahaan tidak memberi rangsangan berupa informasi yang cukup dan kemudian hal ini akan menjadi dasar evaluasi toko online yang dilakukan seorang konsumen.
Zeitham et al., (1988) membuktikan bahwa mengurangi perngobanan konsumen dapat meningkatkan perceived value konsumen dalam hal menghemat waktu. Ponte et al., (2015) dalam penelitiannya mendapati bahwa Information searching cost memiliki pengaruh yang signifikan yang negatif terhadap perceived value. Jika konsumen dapat dengan mudah menemukan,
memahami, dan menyimpan informasi, waktu dan usaha mereka akan lebih minim dan dapat mengarahkan ke perceived value yang dirasakan semakin tinggi. Alasannya karena brand awareness membuat konsumen lebih efisien menggunakan suatu situs belanja online dan sangat menghemat waktu.
Berdasarkan uraian kajian diatas, persepsi tentang information cost yang semakin rendah akan berdampak pada meningkatnya persepsi konsumen untuk melakukan shopping online. Sehingga hipotesis yang dapat diasumsikan adalah sebagai berikut:
H2: Information searching cost berpengaruh negatif terhadap perceived value konsumen dalam transaksi belanja online
Information searching cost selain mempengaruhi perceived value juga berpengaruh hingga repurchase intention seorang konsumen. Menurut model kecendrungan, took online dapat memberikan isyarat yang dapat meningkatkan keterlibatan konsumen terhadap suatu toko online, dan peningkatan pengetahuan tentang toko online dapat meyakinkan dan memberdayakan mereka untuk melakukan niat pembelian kembali (Campos et al., 2017). Konsumen akan mempercepat proses pembelian kembali jika toko online mampur memberikan informasi yang akurat dan mudah dimengerti Ponte et al., 2015). Operator toko online yang memanfaat strategi pemasaran melalui iklan, spanduk di gedung-gedung dan bekerja sama dengan merk terkenal untuk meningkatkan brand awareness. Tujuannya adalah untuk memberi kode kepada konsumen terkait sepotong informasi yang mungkin mengingatkan konsumen akan suatu produk dengan mudah. Memori berpotensi berkaitan dengan niat perilaku (Lee et al., 2017).
Kemudian, dari perspektif Economic of Information (EOI), konsumen online cenderung untuk mendapatkan pengetahuan tentang merek yang mereka inginkan melalui proses mencari dan mengevaluasi informasi. Setelah pengetahuan tentang produk dan merek meningkat, peristiwa kesenjangan informasi cenderung terjadi, sehingga niat beli menjadi lebih tinggi (Kitsios and Kamariotou, 2018). Vigneron dan Johnson (2017) menjelaskan bahwa konsumen lebih cenderung untuk membeli produk atau merek yang mereka kenal. Sehingga, jika toko online dapat memberikan informasi dengan petunjuk yang jelas, maka konsumen dapat menurunkan biaya pencarian kognitif, yang pada akhirnya akan meningkatkan repurchase intention seorang konsumen (Ponte et al., 2015).
Berdasarkan uraian kajian diatas, persepsi konsumen tentang information cost yang semakin rendah akan berdampak pada meningkatnya persepsi konsumen untuk melakukan shopping online. Sehingga hipotesis yang dapat diasumsikan adalah sebagai berikut.
H3: Information cost berpengaruh negatif terhadap repurchase intention seorang konsumen.
Seperti yang diungkapkan Ponte et al., (2015) banyaknya ketidakpastian yang terjadi dan kemungkinan terjadinya asimetris informasi, konsumen cenderung melakukan pilihan yang merugikan ketika belanja online. Salah satu ancaman tranasaksional yang dihadapi konsumen juga berkaitan tentang moral hazard. Moral Hazard sendiri adalah kecendrungan untuk mengambil resiko yang tidak semestinya karna biaya resiko tidak ditanggung oleh perusahaan. Contoh moral hazard yang terjadi seperti ketika telah terjadi kesepakatan pembelian, perusahaan tidak mengirimkan produknya kepada konsumen (Ponte et al., 2015). Hingga untuk mengantisipasi hal ini konsumen melakukan pencarian informasi terkait kinerja toko online yang akan dia gunakan, apakah bisa dipercaya atau tidak.
Setelah konsumen memilih toko online yang akan dikunjunginya kembali, kemudian konsumen melakukan pemesanan dan pembayaran untuk produk yang diinginkan. Pada titik ini, moral hazard cost mungkin terjadi karena keraguan konsumen bahwa toko online akan menipu mereka. Toko online harus dapat menghilangkan keraguan ini, karena pernyataan tentang kualitas produk yang bagus saja tidak dapat menyakinkan konsumen untuk merasakan nilai produk yang sebenarnya. Menurut Schau (2009) salah satu cara yang paling efektif untuk menghilangkan keraguan, yaitu melalui testimoni atau yang dikenal dengan istilah e-word of mouth (eWOM).
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan bahwa bila moral hazard cost menurun maka perceived value konsumen tentang online shopping meningkat, sehingga hipotesis yang dirumuskan sebagai berikut:
H4: Moral hazard cost berpengaruh negatif terhadap perceived value konsumen dalam transaksi belanja online
Ponte et al., (2015) dalam penelitian sebelumnya memaparkan bahwa eWOm berperan mengurangi moral hazard. Schau et al., (2009)
menyimpulkan bahwa eWOM efektif dalam memfasilitasi pengetahuan tentang merek, dan mengurangi penipuan. Cheung et al., (2009) menyarankan eWOM yang diberikan kepada konsumen harus berisi informasi persuasif dan normati yang dapat memperkuat keyakinan konsumen. Konsumen toko online tidak dapat menerima respon langsung dan umpan balik, mereka akan memiliki pengalaman belanja yang berbeda dari yang ditemukan ketika berbelanja secara konvensional melalui toko yang memiliki tempat fisik. Sehingga umpan balik dan evaluasi dari pembeli menjadi hal penting untuk toko online unt uk menciptakan kepercayaan tentang keputusan pembelian kembali yang mereka lakukan (Chou et al., 2016; Ponte et al., 2015). Hal ini disebabkan karena kepercayaan merupakan sesuatu yang sangat abstrak, melalui eWOM kepercayaan konsumen dapat dibangun, dan naik menjadi tingginya perceived value.
Konsumen juga masih sangat khawatir tentang seberapa jujurnya suatu iklan, legitimasi transaksi, dan jaminan kebijakan tentan refund untuk produk disuatu toko online. Untuk meningkatkan citra ini, banyak dari toko online yang menggunakan jasa selebriti untuk melakukan endorsement. Beberapa toko online juga mencoba membangun sebuah komunitas online untuk berbagi pengalaman dalam menggunaka n produk (Ponte et al., 2015). Startegi yang banyak diterapkan ini semata-mata untuk mengurangi moral hazard cost konsumen. Dari dua sisi sudut pandang, membangun kepercayaan dari mulut ke mulu, dan jika memungkinkan memberi testimonial ke dalam website, dianggap penting untuk membangun reputasi sebuah toko online. Strategi word of mouth jika dikembangkan akan mampu membuat konsumen lebih percaya untuk berbelanja melalui toko online, yang akan berdampak pada menurunnya moral hazard cost. Selain itu penting untuk memastikan persepsi konsumen terhadap suatu produk yang dibeli tetap sama dalam kondisi sebelum maupun setelah melakukan transaksi tetap sama, sehingga toko online memiliki reputasi melalui pengaruh eWOM. Selanjutnya akan berpengaruh terhadap penurunan moral hazard cost dan dapat meningkatkan repurchase intention.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diasumsikan bahwa bila moral hazard cost menurun maka repurchase intention yang dimiliki meningkat, sehingga hipotesis yang akan dirumuskan sebagai berikut
H5 : Moral hazard cost berpengaruh negatif terhadap repurchase intention seorang konsumen.
Biaya ketiga yang terjadi dalam tahap terjadinya repurchase intention adalah Specific Asset Invesment (SAI). Investasi ini mengacu pada asset yang bersifat mengarah pada pengetahuan manusia, asset fisik, rutinitas tertentu perusahaan, dan pengetahuan yang kurang dapat diimplementasikan untuk pengguna lain (Chiou, 2010; Williamson, 1985). SAI merupakan asset berwujud (investasi fisik) dan asset tidak berwujud (pengetahuan dan kebiasaan pengguna atau konsumen) ketika melakukan transaksi. Berbeda dengan toko konvensional, belanja online biasanya membutuhkan konsumen untuk mengembangkan pemahaman yang unik tentang prosedur toko online yang secara efektif mampu memenuhi transakso online yang mengacu pada pengetahuan procedural sebagai salah satu jenis SAI. Loyalitas merupakan salah satu jenis SAI yang memainkan peran penting dalam menciptakan nilai dan mempertahankan konsumen (Kivets and Simonson, 2003).
Namun dalam penelitian sebelumnya peran SAI dalam mempengaruhi perceived value tidak dapat disimpulkan. Lo et al. (2017) menyelidiki pemakaian konsumen dari layanan kartu kredit dan menyimpulkan bahwa program loyalitas tampaknya memperkuat perceived value konsumen karena pengguna cenderung mengabaikan program loyalitas atau diskon dari perusahaan. Namun teori reaktansi psikologis menyatakan bahwa orang bereaksi terhadap upaya untuk mengontrol kebiasaan dan ancaman untuk kebebasan memilih, dimana SAI dapat menyebabkanreaktansi konsumen yang menciptakan motivasi untuk menegaskan kembali kebebasan mereka terancam. Konsumen yang rasional mencoba menghindari ketergantungan pada toko online jika mereka mendeteksi toko online tersebut mempertahankan mereka dengan strategi SAI. Sehingga konsumen seperti ini memiliki perasaan terjebak dan menahan diri, yang mengarahkan pada mereka rendahnya perceived value (Ponte et al., 2015). Briley et al., (2017) menyatakan SAI kemungkinan besar akan membangkitkan reaktansi konsumen dan berdampak menurunkan perceived value konsumen. Liu et al. (2016) juga menemukan bahwa beberapa program loyalitas menjadi sangat sukses sedangkan program yang lain gagal. Mereka meyakini bahwa program loyalitas yang konsumen merasa istimewa menggunakannya itulah yang dapat meningkatkan perceived value.
Dengan demikian, dalam penelitian ini SAI dianggap sebagai sebuah peningkatan biaya transaksi (Ponte et al., 2015). SAI dalam konteks online
memungkinkan konsumen merasakan terejrat dan kehilangan kebebasan untuk memilih dengan pilihan yang ada. Sehingga akumulasi dari strategi ini dapat menurunkan perceived value konsumen dalam berbelanja online. Berdasarkan uraian teori diatas, premis yang dapat digunakan yaitu apabila terjadi peningkatan SAI makan percevived value konsumen akan menurun, sehingga hipotesis yang disimpulkan yaitu:
H6 : Investasi asset khusus (SAI) berpengaruh negatif terhadap perceived value konsumen.
Meskipun SAI dapat menurunkan perceived value dalam konteks belanja online, strategi ini dapat meningkatkan repurchase intention dalam konteks yang sama (Lo et al., 2017). SAI menciptakan suatu ketergantungan konsumen terhadap sebuah toko online (Ponte et al., 2015). Sebagai konsumen yang berlangganan dengan suatu toko online, mereka biasanya menjadi tidak berdaya atau tidak bereaksi dan memilik untuk tetap dengan toko online ini. SAI mengarahkan konsumen untuk melakukan kontrak sebagai sebuah bentuk komitmen yang dapat memotivasi konsumen untuk melakukan pembelian kembali, yang mengarah kepada lock in effect (Arora and Glover, 2017). Konsumen mungkin saja tidak sepenuhnya puas, namun kosnumen tidak akan beralih ke toko online lainnya. Hal ini disebabkan karena konsumen melakukan keputusan untuk berlangganan namun disebabkan karena konsumen ini kuramg memiliki pengetahuan tentang toko online lainnya (Lo et al., 2017). Chiou dan Drige (2006) menjelaskan bahwa SAI secara positif berpengaruh dengan loyalitas dan perilaku.
Dalam lingkungan jenis belanja online B2C, SAI menekankan tingkat alur kerja dan proses suatu perusahaan yang disesuaikan dengan persyaratan dari konsumen (Ponte et al., 2015). Misalnya Zalora memenuhi kebiasaan pembelian konsumen dengan merancang website yang menyerupai took fisik dan mampu membuat pembelianloyal, karena kebiasaan konsumen tersebut website mampu memberikan mereka pengetahuan tentang toko online yang belum dimiliki konsumen tersebut (Patricia, 2001). Oleh sebab itu jika toko online mampu menyesuaikanlayanan untuk menjadi preferensi online seorang pembeli. Langkah ini membuat pembeli online dapat dengan mudah mengembangkan pemahaman yang untuk tentang prosedur toko online ini, dan mungkin melakukan peningkatan lebih lanjut untuk pembelian mereka. Tokopedia melalui layanan TopPoin-nya memberikan kredit poin untuk pembeli yang melakukan transaksi
menggunakan layanan TopPoin mereka dengan berbagai keuntungan lebih lanjut jika tetap berlangganan dengan Tokopedia. Keuntungan ini dapat berupa diskon yang bisa digunakan konsumen untuk transaksi selanjutnya. Akumulasi transaksi yang timbul dari strategi ini mendorong konsumen untuk terus melakukan transaksi pada situs ini. Berdasarkan perspektif konsumen mereka merasa harus terus terlibat dengan toko ini dan memanfaatkan SAI yang mereka miliki. hal ini menyebabkan ketergantungan pada toko online dan menurunkan niat konsumen untuk beralih ke toko yang lain.
H7: Persepsi konsumen akan akumulasi SAI berpengaruh positif terhadap repurchase intention seorang konsumen.
METODE PENELITIAN
Teknik Pengumpulan data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data tersebut didapatkan melalui penyebaran kuesioner secara online melalui media social seperti LINE, Whatapps, dan Blackberry Messenger . Dengan menggunakan teknik ini peneliti menganggap bahwa responden tidak akan terbebani untuk terlibat dalam penelitian ini. Metode ini dipilih karena dianggap mampu menjangkau area penelitian yang lebih luas dengan biaya yang murah dan mampu memberikan konsumen keleluasaan untuk mempertimbangkan jawaban yang ada di dalam kuesioner.
Kelemahan metode penyebaran secara online yaitu dapat terjadinya double input oleh seorang responden untuk dua kuesioner. Untuk mencegah hal tersebut terjadi pilihan bahwa one email one input akan peneliti aktifkan di form online yang tersedia nantinya. Hal kedua yang peneliti lakukan untuk meminimalisir terjadinya double input dengan meminta responden secara sukarela mengisi nomor telepon mereka agar peneliti bisa memastikan bahwa hal ini tidak terjadi.
Populasi yang ada dalam penelitian ini tidak teridentifikasi jumlah totalnya sehingga penelitian ini akan menggunakan teknik mengumpulkan data purposive sampling untuk menentukan sample seperti apa yang diharapkan dan mampu mewakili populasi yang ada. Populasi dari penelitian ini adalah orang – orang yang pernah melakukan transaksi belanja online. Orang – orang tersebut juga kelompok yang pernah melakukan pembelanjaan online dalam waktu maksimal dalam 1 tahun terakhir.
Sampel dalam penelitian ini akan dikumpulkan dengan metode purposive sampling yang merupakan teknik dari pengambilan sampel nonprobabilitas
(Morissan, 2012). Sample yang dipilih merupakan individu yang melakukan transaksi belanja online dalam kurun satu tahun terakhir. Untuk memastikan bahwa sampel ini cukup besar dan representatif, penelitian ini tidak membatasi produk atau jasa apa yang mereka beli dalam satu tahun terakhir melalui teknik belanja online. Penelitian ini akan berfokus pada kelompok umur diatas 12 tahun. Dimana kemampuan adaptasi generasi ini untuk menggunakan sistem belanja yang baru lebih cepat dan inovatif. Penelitian ini menggunakan dua sub model, yaitu model pengukuran (measurement model atau outer model) dan model struktural (structural model atau inner model). Model pengukuran akan menunjukkan bagaimana variabel manifest merepresentasikan variabel laten untuk diukur, sedangkan model struktural menunjukkan kekuatan estimasi antar variabel laten (Ghozali, 2015). Sample Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah orang - orang yang pernah melakukan transaksi belanja online dalam kurun satu tahun terakhir. sebesar 65.56% atau 139 orang responden berjenis kelamin wanita dan sisanya sebesar 34.43% 73 orang responden berjenis kelamin laki – laki. Dimana 84.90% responden berumur 18 hingga 23 tahun. Sebesar 197
atau sebesar 92.92% orang responden berada pada tingkat pendidikan S1/D3. 180 atau 84.90% orang responden dalam penelitian ini masih berstatus mahasiswa. Traveloka menjadi website yang paling banyak digunakan dalam kurun satu tahun terakhir, dimana 113 orang responden atau 50.9% pernah melakukan transaksi belanja online melalui website ini. Measurement Model Analisis
Pengujian outer model dilakukan untuk mengetahui validitas dan reliabilitas konstruk yang ada dalam penelitian ini. Uji validitas yang dilakukan yaitu convergent validity dan discriminant validity. Pengujian outer model dilakukan dengan pendekaan Confirmatory Factor Analysis (CFA) dimana model dikatakan valid jika uji validitas dengan penilaian convergent validity dan discriminant validity memenuhi nilai minimum yang disyaratkan. Penilaian terpenuhinya kriteria convergent validity selanjutnya dengan melihat apakah nilai AVE yang ditunjukkan lebih besar dari 0.5. Langkah uji validitas terakhir yaitu menganalisis apakah model memenuhi kriteria discriminant validity. Caranya dengan melihat apakah nilai loading pada konstruk yang dituju harus lebih besar dibandingnya dengan nilai loading ke konstruk yang lain.
Gambar 1. Model Penelitian
Hasil analisis convergent validity diatas diperoleh bahwa 18 indikator yang ada untuk masing-masing konstruk memiliki nilai factor loading yang bernilai diatas nila i minimun yang disyaratkan oleh Ghozali (2015), yaitu 0.7 dan nilai EV15 sebagai indikator EV1 hanya memiliki factor loading sebesar 0.574 namun Hair et al. (2013) menyatakan bahwa nilai loading factor 0.50 keatas masih dapat
diterima. Sehingga semua indikator dapat dikatakan memiliki convergent validity untuk dilakukan pengujian selanjutnya.
Nilai AVE untuk masing - masing konstruk menghasilkan nilai diatas nila i minimum yang disyaratkan. ini menunjukkan bahwa variabel laten dari konstruk mampu untuk menjelaskan minimum 50% dari varians yang ada dalam suatu item.
Tabel 1: Hasil Uji Convergent Validity dengan AVE
Kriteria |
Average Variance Extracted (AVE) |
EV1 |
0.582 |
IC1 |
0.676 |
MC1 |
0.639 |
RI1 |
0.758 |
SI1 |
0.629 |
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2017
Berikutnya dilakukan penilaian terhadap discriminant validity dari konstruk ini. Penilaian akan dilakukan dengan membandingkat antara nilai square of root dari masing - masing nilai AVE
konstruk satu dengan yang lainnya. hasil dalam tahap ini menunjukkan bahwa model yang diajukan dalam penelitian ini dapat memenuhi kriteria discriminant validity yang disyaratkan.
Tabel 2: Korelasi Variabel Laten (Square of Root)
EV1 |
C1 |
I C1 |
RI1 |
SI1 | |
EV1 |
0.763 | ||||
IC1 |
-0.614 |
0.822 | |||
MC1 |
-0.586 |
0.521 |
0.799 | ||
RI1 |
0.631 |
-0.617 |
-0.578 |
0.871 | |
SI1 |
0.277 |
-0.275 |
-0.423 |
0.505 |
0.793 |
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2017
Selanjutnya penelitian akan menganalisis nilai cross loading diantara masing - masing item, cross loading menjadi metode alternatif dalam menilai discriminant validity selain melalui metode Root of Square. Hasil uji menunjukkan bahwa masing -
masing item memiliki nilai loading paling tinggi terhadap konstruk yang dituju dibandingkan dengan konstruk silangnya. hal ini menunjukkan bahwa instrument ini memenuhi kriteria uji convergent validity dan discriminant validity.
Tabel 3: Nilai Cross Loading antar Indikator dan Konstruk
EV1 |
IC1 |
MC1 |
RI1 |
SI1 | |
EV11 |
0.797 |
-0.455 |
-0.500 |
0.553 |
0.262 |
EV12 |
0.786 |
-0.477 |
-0.464 |
0.545 |
0.229 |
EV13 |
0.813 |
-0.500 |
-0.455 |
0.462 |
0.195 |
EV14 |
0.818 |
-0.505 |
-0.452 |
0.528 |
0.195 |
EV15 |
0.574 |
-0.411 |
-0.353 |
0.265 |
0.166 |
IC11 |
-0.430 |
0.756 |
0.407 |
-0.462 |
-0.225 |
IC12 |
-0.503 |
0.774 |
0.403 |
-0.445 |
-0.093 |
IC13 |
-0.537 |
0.885 |
0.452 |
-0.554 |
-0.301 |
IC14 |
-0.542 |
0.866 |
0.451 |
-0.558 |
-0.271 |
MC11 |
-0.506 |
0.423 |
0.774 |
-0.510 |
-0.257 |
MC12 |
-0.501 |
0.432 |
0.876 |
-0.490 |
-0.427 |
MC13 |
-0.380 |
0.393 |
0.742 |
-0.365 |
-0.335 |
RI11 |
0.646 |
-0.588 |
-0.552 |
0.832 |
0.306 |
RI12 |
0.457 |
-0.476 |
-0.441 |
0.873 |
0.525 |
RI13 |
0.537 |
-0.543 |
-0.511 |
0.906 |
0.493 |
SI11 |
0.267 |
-0.253 |
-0.398 |
0.416 |
0.715 |
SI12 |
0.161 |
-0.181 |
-0.267 |
0.319 |
0.749 |
SI13 |
0.193 |
-0.187 |
-0.299 |
0.376 |
0.836 |
SI14 |
0.235 |
-0.237 |
-0.353 |
0.460 |
0.862 |
Analisis yang dilakukan selanjutnya yaitu uji reliabililtas pada model penelitian. uji reliabilitas dilakukan dengan dua cara yaitu Cronbach’s alpha
dan Composite Reliability (CR) atau yang sering disebut dengan Dillon Goldstein’s.
Tabel 4: Nilai Cronbach’s Alpa dan Composite Reliability
Cronbach's Alpha |
rho_A |
Composite Reliability | |
EV1 |
0.817 |
0.834 |
0.873 |
IC1 |
0.839 |
0.849 |
0.892 |
MC1 |
0.718 |
0.732 |
0.841 |
RI1 |
0.840 |
0.841 |
0.904 |
SI1 |
0.802 |
0.812 |
0.871 |
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2017
Berdasarkan hasil yang ditunjukkan oleh tabel diatas, bahwa seluruh konstruk memiliki nilai cronbach’s alpha diatas nilai yang disyaratkan atau diatas 0.7. dimana nilai terkecil Cronbach’s alpha yang dimiliki oleh konstruk MC1 (morah hazard cost) yaitu sebesar 0.718 dan Cronbach’s alpha tertinggi dihailkan oleh RI1 (repurchase intention) dengan nilai 0.840. Nilai CR terkecil ditunjukkan oleh konstruk MC1 dan nilai CR tertinggi ditunjukkan oleh konstruk RI1. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semua instrumen penelitian ini memiliki reliabilitas karena nilai yang dihasilkan le bih besar dari nilai yang disyaratkan.
Analisis Structural Model
Penelitian ini menggunakan uji R2 untuk melakukan analisis model struktural untuk konstruk dependennya. Nilai koefisien path atau t-values tiap
Tabel 5. R Square dalam analisis Inner Model
Original Sample (O) |
Sample Mean (M) |
Standard Deviation (STDEV) |
T Statistics (|O/STDEV|) |
P Values | |
EV1 |
0.475 |
0.490 |
0.057 |
8.271 |
0.000 |
RI1 |
0.586 |
0.600 |
0.042 |
14.044 |
0.000 |
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2017 bootstrapping yang menjadikan sampel berlipat ganda. Jumlah sampel yang awalnya 212 akan menjadi 1000 (Ghozali. 2015). Kriteria minimum syarat yang harus dipenuhi untuk hipotesis dapat
path untuk diuji signifikansi antar konstruk dalam model strultural. Berdasarkan Tabel 5 dibawah ini dapat dilihat bahwa nilai R2 yang dihasilkan untuk variabel konstruk EV1 sebesar 0.475. Artinya adalah pengaruh variabel IC1, MC1, dan SI1 terhadap EV1 sebesar 47.5% dan sisanya sebesar 52.5% dipengaruhi oleh variabel lain diluar model penelitian ini. nilai R2 yang dihasilkan pada RI1 sebesar 0.586 yang berarti bahwa pengaruh variabel IC1, MC1, SI1, dan EV1 terhadap RI1 sebesar 58.6% dimana sisanya sebesar 41.4% dipengaruhi oleh variabel lain diluar model penelitian ini.
Pengujian Hipotesis
Penelitian ini menggunkanakan SmartPLS 3.0 untuk melakukan pengujian hipotesis. Untuk melakukan uji signifikansi loading factor dan koefisien, peneliti menggunakan teknik
diterima adalah t-statistik harus diatas 1.96 untuk standar error (alpha) 5% dan beta bernilai positif. Adapun hasil uji hipotesis penelitian yang disajikan pada tabel dibawah ini.
Tabel 6. Path Coefficients
Original Sample (O) |
Sample Mean (M) |
Standard Deviation (STDEV) |
T Statistics (|O/STDEV|) |
P-values | |
EV1÷ RI1 |
0.298 |
0.287 |
0.087 |
3.419 |
0.001 |
IC1÷EV1 |
-0.424 |
-0.419 |
0.087 |
4.892 |
0.000 |
IC1÷RI1 |
-0.285 |
-0.292 |
0.081 |
3.545 |
0.000 |
MC1÷EV1 |
-0.362 |
-0.370 |
0.076 |
4.751 |
0.000 |
MC1÷RI1 |
-0.133 |
-0.137 |
0.071 |
1.871 |
0.062 |
SI1÷EV1 |
0.007 |
0.007 |
0.059 |
0.115 |
0.909 |
SI1÷RI1 |
0.287 |
0.288 |
0.048 |
5.954 |
0.000 |
Hipotesis pertama menguji apakah peningkatan perceived value(EV1) dalam lingkungan online akan meningkatkan repurchase intention(RI1) seorang konsumen. Hasil uji menunjukkan bahwa nilai koefisien beta sebesar 0.298 dan t-statistik sebesar 3.419. Hasil ini menunjukkan t-statistik ≥ dari 1.96 dengan p<0.05 sehingga hipotesis pertama
dapat diterima. Hal ini membuktikan bahwa perceived value yang meningkat akan meningkatkan repurchase intention seorang konsumen untuk melakukan transaksi belanja online. Dimana pada hipotesis pertama terjadi hubungan signifikan yang positif.
Tabel 7. Hasil Pengujian Hipotesis | |||
Hipotesis |
Nilai |
Keterangan | |
1 |
Peningkatan perceived value konsumen akan berpengaruh pada peningkatan repurchase intention seorang konsumen di lingkungan on-line |
β : 0.298 t-statistik : 3.419 P value : 0.001 |
Diterima (signifikan positif) |
2 |
Persepsi konsumen tentang Information searching cost menurun apabila perceived value mereka terhadap on-line shopping meningkat |
β : -0.424 t-statistik : 4.892 P value : 0.000 |
Diterima (signifikan negatif) |
3 |
Persepsi konsumen tentang information cost yang menurun menyebabkan repurchase intention mereka akan meningkat |
β : -0.285 t-statistik : 3.545 P value : 0.000 |
Diterima (signifikan negatif) |
4 |
Persepsi konsumen tentang moral hazard cost yang menurun menyebabkan perceived value mereka tentang berbelanja on-line meningkat. |
β : -0.362 t-statistik : 4.751 P value : 0.000 |
Diterima (signifikan negatif) |
5 |
Persepsi konsumen terhadap moral hazard cost menurun apabila repurchase intention mereka (konsumen) meningkat. |
β : -0.133 t-statistik : 1.871 P value : 0.062 |
Ditolak |
6 |
Investasi asset khusus (SAI) meningkat menyebabkan perceived value konsumen menurun |
β : 0.007 t-statistik : 0.115 P value : 0.909 |
Ditolak |
7 |
Persepsi konsumen akan akumulasi SAI meningkat apabila repurchase intention meningkat. |
β : 0.287 t-statistik : 5.945 P value : 0.000 |
Diterima (signifikan positif) |
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2017
Hipotesis kedua menguji apakah persepsi konsumen tentang information searching cost (IC1) menurun apabila perceived value mereka tentang transaksi online meningkat. Hasil uji menghasilkan bahwa nilai koefisien beta yang dihasilkan sebesar -0.424 dan t-statistik sebesar 4.892. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai t-statistik yang diperoleh e”1.96 dengan p<0.05 sehingga hipotesis kedua dapat diterima. Hal tersebut membuktikan bahwa persepsi akan information searching cost akan menurun apabila perceived value konsumen tentang transaksi online meningkat. Pada hipotesis kedua terjadi hubungan signifikan yang negatif.
Hipotesis ketiga menguji apakah persepsi konsumen tentang information searching cost (IC1) menurun apabila repurchase intention konsumen untuk melakukan transaksi online meningkat. Hasil uji menghasilkan bahwa nilai koefisie n beta yang dihasilkan sebesar 0.285 dan t-statistik sebesar 3.545. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai t-statistik yang diperoleh e”1.96 dengan p<0.05 sehingga hipotesis ketiga dapat diterima. Hal tersebut membuktikan bahwa persepsi akan information
searching cost akan menurun apabila repurchase intention konsumen untuk melakukan transaksi online meningkat. Pada hipotesis ketiga terjadi hubunga n signifikan yang negatif.
Hipotesis keempat menguji apakah persepsi konsumen tentang moral hazard cost (MC1) yang menurun menyebabkan perceived value konsumen tentang transaksi online meningkat. Hasil uji menghasilkan bahwa nilai koefisien beta yang dihasilka n sebesar -0.362 dan t-statistik sebesar 4.751. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai t-statistik yang diperoleh e”1.96 dengan p<0.05 sehingga hipotesis keempat dapat diterima. Hal tersebut membuktikan bahwa persepsi tentang moral hazard cost akan menurun apabila perceived value konsumen tentang transaksi online meningkat. Pada hipotesis keempat ini terjadi hubungan signifikan yang negatif.
Hipotesis kelima menguji apakah persepsi konsumen tentang moral hazard cost (MC1) menurun apabila repurchase intention seorang konsumen tentang transaksi online meningkat. Hasil uji menghasilkan bahwa nilai koefisien beta yang dihasilkan sebesar -0.133 dan t-statistik sebesar
1.871. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai t-statistik yang diperoleh tidak signifikan yaitu <1.96 dengan p>0.05 sehingga hipotesis kelima ditolak.
Hipotesis keenam menguji apakah peningkatan persepsi konsumen tentang Specific Asset Investment (SI1) akan mengakibatkan menurunnya perceived value seorang konsumen terhadap transaksi online . Hasil uji menghasilkan bahwa nila i koefisien beta yang dihasilkan sebesar 0.007 dan t-statistik sebesar 0.115. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai t-statistik yang diperoleh tidak signifikan yaitu < 1.96 dengan p>0.05 sehingga hipotesis keenam ditolak. Ponte et al. (2015) dalam penelitiannya juga tidak mampu menyimpulkan hubungan yang terjadi antara SAI dan perceived value.
Hipotesis ketujuh menguji apakah peningkatan persepsi konsumen tentang akumulasi Specific Asset Investment (SI1) akan mengakibatkan meningka tnya repurchase intention seorang konsumen tentag transaksi online . Hasil uji menghasilkan bahwa nilai koefisien beta yang dihasilkan sebesar 0.287 dan t-statistik sebesar 5.954. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai t-statistik yang diperoleh signifikan yaitu e”1.96 dengan p<0.05 sehingga hipotesis ketujuh dapat diterima. Hal tersebut berarti meningkatnya persepsi konsumen tentanga akumulasi specific asset invesment membuktikan bahwa repurchase intention konsumen juga akan meningkat. Pengujian hipotesis keempat menunjukkan hasil terjadinya hubungan signifikan yang positif. Berikut tabel rangkuman atas hipotesis – hipotesis yang diuji dalam penelitin ini.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dengan pengumpulan data dari 212 sampel konsumen transaksi online sebagai responden dan analisa data menggunakan smartPLS 3.0 untuk masing - masing model pengukuran penelitian, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (1)Perceived value memiliki pengaruh signifikan yang positif terhadap repurchase intention dalam lingkungan belanja online di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi customer perceived value, maka repurchase intention semakin meningkat. (2) Persepsi konsumen tentang information searching cost menurun apabila perceived value mereka terhadap online shopping meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pelanggan memandang bahwa belanja secara online memberikan manfaat besar. (3) Komponen dari transaction cost yang pertama, yaitu information searching cost bepengaruh signifikan negatif terhadap perceived value. Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah IC maupun
MC maka perceived value yang dirasakan konsumen semakin tinggi. Komponen dari transaction cost yang terakhir yaitu specific asset investment (SAI) tidak berpengaruh signifikan terhadap perceived value konsumen. (4) Konsisten dengan komponen dari transaction cost yang pertama, komponen yang kedua yaitu moral hazard cost (MC) bepengaruh signifikan negatif terhadap perceived value. (5) Persepsi konsumen terhadap moral hazard cost tidak terbukti menurun apabila repurchase intention mereka (konsumen) meningkat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa moral hazard cost tidak memiliki kaitan dengan repurchase intention. (6) Investasi asset khusus berpengaruh signifikan negatif dan positif terhadap repurchase intention seorang konsumen dalam lingkungan belanja online di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa jika IC mengalamin penurunan maka repurchase intention seorang konsumen meningkat. Jika SAI yang dirasakan konsumen meningkat, maka repurchase intenton seorang konsumen dalam berbelanja online di Indonesia juga meningkat. (7) Persepsi konsumen terhadap akumulasi SAI meningkat apabila repurchase intention meningkat.
Keterbatasan dan saran untuk penelitian lanjutan
Penelitian ini tidak terlepas dari keterbatasan, diantaranya adalah penyebaran sampel yang sebagian besar dikalangan mahasiswa. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah penelitian selanjutnya dapat memperluas penyebaran sampel di lingkungan atau dengan latar belakang pendidikan yang lebih beragam.
Penelitian juga lebih berfokus pada jenis - jenis transaction cost yang diajukan oleh Ponte et al. (2015) dalam penelitiannya. Wu et al. (2014) memiliki pendapat berbeda terkait jenis - jenis transaction cost. Dari hasil temuan penelitian ini diharapkan untuk penelitian berikutnya dapat memperluas dan menggabungkan jenis transaction cost dari perspektif yang berbeda.
Penelitian ini juga mengabaikan variabel moderasi seperti, umur, pendidikan, pendapatan, hingga jenis kelamin. Keterbatasan ini bisa digunakan untuk penelitian selanjutnya menjadikan variabel diatas sebagai variabel moderasi pada penelitian berikutnya.
REFERENSI
Arora, S., & Glover, D. (2017). Power in Practice: Insights from Technography and ActorNetwork Theory for Agricultural Sustainability, STEPS Working Paper 100.
Briley, D. A., Danziger, S., & Li, E. (2017). Promotional Games: Trick or Treat?. Journal of Consumer Psychology, 28, (1), 99–114.
Campos, A. C., Mendes, J., do Valle, P. O., & Scott, N. (2017). Co-creating animal-based tourist experiences: Attention, involvement and memorability, Tourism Management, 63, 100-114.
Chiou, J. S. & Droge, C. (2006). Service quality, trust, specific asset investment and expertise: Direct and indirect effects in a satisfaction– loyalty framework. Journal of the Academy of Marketing Science, 34(4), 613–627.
Chiou, J. S. (2010). Strategic marketing analysis: Framework and practical application (3rd Ed.). Taipei, Taiwan: Bestwise Co. Ltd.
Chou, S. Y., Shen, G. C., Chiu, H. C., & Chou, Y. T. (2016). Multichannel service providers’ strategy: Understanding customers’ switching and free-riding behavior. Journal of Business Research, 69(6), 2226-2232.
Ghozali, Imam, Hengky Latan. (2015). Konsep, Teknik, Aplikasi Menggunakan Smart PLS 3.0 Untuk Penelitian Empiris. BP Undip. Semarang.
Gupta, S. & Hee-Woong, K. (2007). The moderating effect of transaction experience on the decision calculus in on-line repurchase. International Journal of Electronic Commerce, 12(1), 127–158.
Hair, J. F., Black, W. C., Babin, B. J., Anderson, R. E., & Tatham, R. L. (2013). Multivariate data analysis, 5, 3, 207-219. Prentice Hall, New York.
Hapsari, R., Clemes, M. D. & Dean, D. (2017). The impact of service quality, customer engagement and selected marketing constructs on airline passenger loyalty. International Journal of Quality and Service Sciences, 9(1), 21-40.
Iskandar, D., Nurmalina, R., & Riani, E. (2015). The effect of service, product quality, and perceived value on customer purchase intention and satiscfaction, Indonesian Journal of Business and Entrepreneurship, 1, 2, 51-57.
Khandelwal, U., Bajpai, N., & Sharma, J. P. (2013). Purchase intention of Indian consumers on online travel buying decision: A comparative study on metro and non-metro city. International Journal of Hospitality & Tourism Systems, 5, (2), 13-22.
Kitsios, F., & Kamariotou, M. (2018). Open Data and High-Tech Startups Towards Nascent Entrepreneurship Strategies. In Encyclopedia of Information Science and Technology, Fourth Edition (pp. 3032-3041). IGI Global.
Lee, R., Lee, K. T., & Li, J. (2017). A memory theory perspective of consumer ethnocentrism and animosity. European Journal of Marketing, 51(7/8).
Liu, S. Q., Liu, S. Q., Mattila, A. S., & Mattila, A. S. (2016). The influence of a “green” loyalty program on service encounter satisfaction. Journal of Services Marketing, 30(6), 576-585.
Lo, A. S., Lo, A. S., Im, H. H., Im, H. H., Chen, Y., Chen, Y., & Qu, H. (2017). Building brand relationship quality among hotel loyalty program members. International Journal of Contemporary Hospitality Management, 29(1), 458-488.
Morissan (2012). Metode Penelitian Survei. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Nababan, C. N. (2017). Belanja Online Masyarakat Indonesia Tembus Rp75 Triliun, CNN Indonesia, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/ 20170809151902-78-233513/belanja-online-masyarakat-indonesia-tembus-rp75-triliun
Patricia, S. (2001). Get inside the lives of your customers. Harvard Business Review, 79(5), 80–89.
Ponte, E. B., Carvajal-Trujillo, E., & Escobar-Rodríguez, T. (2015). Influence of trust and perceived value on the intention to purchase travel online: Integrating the effects of assurance on trust antecedents. Tourism Management, 47, 286-302.
Priem, R. L., Wenzel, M., & Koch, J. (2017). Demand-side strategy and business models: Putting value creation for consumers center stage. Long Range Planning.
Schau, H. J. Muniz, A. & Arnold, E. J. (2009). How brand community practices create value. Journal of Marketing, 73,30–51.
Setyaputri, D. C. (2012). Pengaruh Perceived Value Terhadap Repurchase Intention (Studi Pada Sushi Tei Plaza Indonesia). Universitas Indonesia.
Tontini, G. (201 6). Identify opportunies for improvement in on-line shopping sites. Journal of Retailing and Consumer Service, 31, 228-238.
Vigneron, F., & Johnson, L. W. (2017). Measuring perceptions of brand luxury. In Advances in Luxury Brand Management (pp. 199-234). Palgrave Macmillan, Cham.
Williamson, Oliver E. The economic institutions of capitalism: Firms, markets, relational contracting. New York: Free Press, 1985.
Wu, L. Y., Chen, K. Y., Chen, P. Y., & Cheng, S. L. (2014). Perceived value, transaction cost, and repurchase-intention in online shopping: A relational exchange perspective. Journal of Business Research, 67(1), 2768-2776.
Zeithaml, V. A. (1988). Consumer perceptions of price, quality and value: A means-end model and synthesis of evidence. Journal of Marketing, 52, (3), 2–22.
Discussion and feedback