Steffanie Yu, Studi Mengenai CityBranding ... 31

P-ISSN : 1978-2853

E-ISSN : 2302-8890


MATRIK: JURNAL MANAJEMEN, STRATEGI BISNIS DAN KEWIRAUSAHAAN

Homepage: https://ojs.unud.ac.id/index.php/jmbk/index

Vol. 13 No. 1, Februari 2019, 31-46

STUDI MENGENAI CITY BRANDING KOTA YOGYAKARTA SEBAGAI

KOTA PELAJAR DI INDONESIA

Steffanie Yu1), Ari Setiyaningrum2)

1,2)Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

email: ms.steffanieyu@gmail.com


SINTA 2


DOI : https://doi.org/10.24843/MATRIK:JMBK.2019.v13.i01.p04

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh attitude toward brand, brand uniqueness, dan brand personality terhadap self-brand connection serta pengaruh self-brand connection terhadap brand advocacy. Penelitian ini juga menganalisis peran mediasi self-brand connection pada pengaruh attitude toward brand, brand uniqueness, dan brand personality terhadap brand advocacy. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei melalui pendistribusian kuesioner pada 128 responden mahasiswa pendatang yang mengambil studi di kota Yogyakarta. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah non-probability sampling dengan teknik purposive sampling. Dengan menggunakan model persamaan struktural dengan software statistik AMOS, penelitian ini menemukan bahwa attitude toward brand, brand uniqueness dan brand personality berpengaruh positif pada self-brand connection serta self-brand connection berpengaruh positif terhadap brand advocacy. Self-brand connection juga terbukti memediasi pengaruh attitude toward brand, brand uniqueness, dan brand personality terhadap brand advocacy.

Kata kunci: attitude toward brand, brand uniqueness, brand personality, self-brand connection, brand advocacy

A STUDY OF CITY BRANDING INYOGYAKARTAASA STUDENT CITY OF INDONESIA

ABSTRACT

This study has a purpose to analyze the influence of attitude towards brand, brand uniqueness, and brand personality on self-brand connection and the influence of self-brand connection on brand advocacy. This study also analyzed the mediation of self-brand connection in the influence of attitude towards brand, brand uniqueness and brand personality on brand advocacy. The data collection is conducted by using the survey method, through the distribution of questionnaires to 128 immigrant student respondents who study in Yogyakarta City. The sampling method used is the non-probability sampling with the purposive sampling technique. By using the structural equation model with the AMOS statistics software, this study found that the attitude towards brand, brand uniqueness and brand personality have a positive influence on self-brand connection and self-brand connection has a positive influence on brand advocacy. Self-brand connection has also been proven to be capable of mediating the influence of attitude towards brand, brand uniqueness, and brand personality on brand advocacy.

Keywords: attitude toward brand, brand uniqueness, brand personality, self-brand connection, brand advocacy.

PENDAHULUAN

Branding merupakan sebuah alat penting dalam strategi pemasaran. Brand pada awalnya merupakan temuan ilmu pemasaran yang diterapkan pada barang atau jasa. Pada perkembangannya, konsep brand kemudian meluas ke berbagai objek seperti event, orang, dan tempat (place branding). Place branding merupakan pada penerapan strategi brand dan teknik pemasaran lainnya bersama

dengan disiplin ilmu ekonomi, politik, dan budaya dalam pengembangan tempat yang meliputi kota, wilayah, dan negara (Ashworth dan Kavaratzis, 2009). Branding pada tempat dapat menjadi proses yang lebih rumit dan menantang dibandingkan branding pada barang atau jasa. Pada dasarnya, tempat mencakup konsep lebih luas daripada produk atau jasa; stakeholder yang terlibat biasanya lebih beraneka-ragam dibanding segmen konsumen;

ekuitas merek dan loyalitas merek lebih sulit dicapai dan diukur; pendanaan dan anggaran pemasaran mungkin terbatas (Pike, 2005).

Akademisi menggambarkan city branding sebagai branding dan pemasaran kota ke masyarakat setempat, pengunjung, dan investor (Hultman et al., 2016). City branding merupakan perangkat baru dalam pembangunan wilayah untuk meningkatkan daya saing menghadapi kompetisi global. Sebagai perangkat, city branding adalah konsep lanjutan dari place branding (Yananda, 2014). City branding menjadi sumber diferensiasi yang tidak ternilai bagi seluruh kota di seluruh dunia seiring dengan semakin meningkatnya persaingan antar tempat dari waktu ke waktu (Hultman et al., 2016). Konsep inti dari city branding mengacu pada strategi dari suatu kota untuk membuat positioning yang kuat di area regional maupun global. City branding mencoba memberikan identitas yang berbeda pada sebuah kota, sehingga dapat dibedakan antara kota yang satu dengan kota lainnya. Sebuah brand yang kuat berarti brand tersebut dapat dibedakan dari pesaing sehingga akan berakibat peningkatan investasi, bisnis, pengunjung dan penduduk. Sebuah brand yang kuat pertama-tama akan meningkatkan kesadaran keberadaan tempat itu. Kedua, brand tersebut akan membuat pelanggan potensial kota menganggap kualitas dari sebuah kota lebih baik dari kota-kota lainnya. Akhirnya, sebuah brand yang baik memungkinkan untuk mengontrol bagaimana sebuah kota dijalankan (Kavaratzis, 2004). Selain itu, city branding dipercaya sebagai cara ampuh untuk membuat sebuah kota menjadi terkenal (Anholt, 2010).

Saat ini semakin banyak kota, wilayah, dan negara yang melakukan kampanye branding untuk tujuan membangun reputasi yang dimilikinya dan membangun keunggulan kompetitif di pasar global (Sevin, 2014). Kampanye branding pada dasarnya mencerminkan upaya-upaya yang dilakukan kota, wilayah, atau negara untuk menegaskan seperti apa kota, wilayah, atau negara tersebut ke audiens sasaran.

Penelitian terdahulu mengenai city branding dilakukan oleh Kemp, Childers, dan Williams (2012a). Pada penelitian tersebut, Kemp, Childers, dan Williams, (2012a) meneliti kota Austin di negara Texas yang mana brand kota tersebut adalah ‘Live Music Capital of the World’. Kemp, Childers, dan Williams, (2012a) menemukan bahwa brand attitude, brand trust, brand commitment, dan brand uniqueness merupakan determinan penting

dari upaya melakukan strategi branding dan positioning dari suatu kota. Kemp, Childers, dan Williams, (2012a) juga menemukan bahwa keterikatan yang kuat antara diri masyarakat dan suatu kota akan terbentuk ketika masyarakat memiliki kepercayaan dan komitmen terhadap suatu kota serta merasakan adanya keunikan dari kota tersebut. Dalam studi lanjutannya, Kemp dan Williams, (2012b) mengembangkan model penelitian dengan menambahkan variabel asosiasi merek yang mencakup attitude toward brand, perceived quality, dan brand uniqueness sebagai anteseden dari self-brand connection dan brand advocacy. Kemp dan Williams, (2012b) menemukan bahwa ketika masyarakat memiliki sikap yang positif terhadap suatu kota, menilai suatu kota berkualitas tinggi, dan merasakan adanya keunikan dari kota tersebut maka akan menciptakan keterikatan yang kuat antara diri masyarakat dengan kota tersebut yang pada akhirnya mendorong masyarakat untuk merekomendasikan kota tersebut ke orang lain melalui komunikasi dari mulut ke mulut.

Dalam rangka melengkapi penelitian terdahulu tentang city branding khususnya dalam konteks negara Indonesia dan melihat sejauh mana konsep city branding dapat diterapkan pada kota di Indonesia, peneliti tertarik untuk menganalisis konsep city branding di Indonesia dengan menyoroti kota Yogyakarta yang branding sebagai kota pelajar. Predikat kota Yogyakarta sebagai kota pelajar tidak terlepas dari kehadiran kelompok intelektual yang turut mempengaruhi semangat perjuangan. Salah satunya lewat kehadiran sekolah Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 3 Juli tahun 1922 di Yogyakarta metrotvnews.com. Ki Hadjar Dewantara dihormati sebagai Bapak Pendidikan Nasional di Indonesia dan hari kelahirannya pada tanggal 2 Mei dijadikan Hari Pendidikan Nasional nationalgeographic.co.id.

Kota Yogyakarta juga disebut sebagai miniatur Indonesia yang menyediakan berbagai pendidikan disetiap jenjang pendidikan pendidikan-diy.go.id. Karenanya, banyak mahasiswa dan pelajar dari seluruh daerah di Indonesia datang ke kota Yogyakarta untuk melanjutkan studinya disana. Jumlah mahasiswa pendatang di Yogyakarta meningkat dari waktu ke waktu. Sebanyak 42.629 pelajar datang ke Yogyakarta, sebagian besar adalah mahasiswa luar yang tinggal baik indekos, kontrak, maupun membeli rumah di Yogyakarta news.idntimes.com yang dipublikasikan pada

Agustus 2015. Banyaknya siswa dan mahasiswa bahkan sampai ribuan berdatangan dari luar kota bahkan dari luar pulau Jawa untuk menempuh pendidikan di kota Yogyakarta menunjukkan adanya daya tarik tersendiri bagi warga luar kota untuk mencari sekolah dan perguruan tinggi di Yogyakarta. Fenomena ini mendorong peneliti untuk menganalisis sejauh mana konsep city branding kota Yogyakarta sebagai kota pelajar mampu menciptakan selfbrand connection yang pada akhirnya mendorong pada brand advocacy yang diwujudkan dalam bentuk rekomendasi ke orang lain untuk menempuh studi di kota Yogyakarta.

City branding merupakan bagian dari place branding. Dalam bahasa kiasan, place branding adalah pohon keluarga yang beranggotakan city branding, destination branding, nation branding, dan location branding yang mana masing-masing merupakan cabang dari place branding. Secara umum, strategi city branding memiliki lingkup yang lebih luas daripada destination branding yang hanya mengarah kepada wisatawan. City branding bertujuan untuk semua pengguna di kota tersebut, pengguna potensial, dan stakeholders lain yang penting bagi berjalannya fungsi kota (Braun, 2008).

City branding didefinisikan sebagai “continuous process interlinked with all marketing efforts and with the whole planning exercise” (Kavaratzis, 2007). Dalam studi lanjutannya, Kavaratzis (2008) menggambarkan city branding sebagai “a new application of city marketing”. Dari pandangan Kavaratzis tersebut, city branding diidentifikasikan sebagai suatu aplikasi strategi marketing dalam menciptakan emosional, mental, asosiasi psikologi pada suatu kota sehingga dapat dibedakan dengan kota lainnya. Alasan utama suatu kota menggunakan marketing dan branding tetap sama yaitu kompetisi di antara kota-kota untuk menarik wisatawan, pebisnis, penduduk, dan target grup lainnya (Van den Berg dan Braun, 1999; Medway dan Warnaby, 2008; Zenker, 2009).

City branding yang ingin dibangun dari suatu kota didasarkan pada visi yang ingin dicapai. Visi yang ingin dibangun tersebut dapat berbeda antara pemerintah selaku pihak yang membangun kota dan masyarakat selaku pihak konsumen yang merasakan pengalaman di kota tersebut. Penelitian yang dilakukan Hultman et al. (2016) menemukan bahwa pemerintah cenderung memiliki visi membangun city branding yang mengarah pada

aspek yang lebih abstrak dan strategik misalnya “Menjadi kota terbaik”, sedangkan masyarakat mengharapkan city branding dari suatu kota dibangun dengan visi yang lebih praktis, berwujud, dan fungsional misalnya dengan memperbaiki fasilitas fisik untuk menciptakan pengalaman yang baik dan positif. Visi city branding yang ingin dicapai pemerintah dan masyarakat seharusnya dapat sejalan dan saling melengkapi karena hal ini secara potensial akan mempengaruhi bagaimana masyarakat menilai suatu kota dan merekomendasikan kota tersebut ke orang lain.

Salah satu studi mengenai city branding bermula dari branding dan corporate branding (Anholt, 2005; Dinnie, 2011; Kavaratzis, 2004). Dalam literatur tersebut, city branding sangat berbeda dengan branding produk atau jasa. City branding melibatkan lebih banyak kompleksitas yang timbul dari sejumlah organisasi yang mempengaruhi city branding, keragaman stakeholders, terbatasnya kontrol pimpinan dalam proses city branding, dan kelompok sasaran yang berbeda (Kavaratzis, 2009). Namun terdapat kesamaan antara city branding dan corporate branding misalnya keduanya memiliki akar multidisiplin, memiliki pemangku kepentingan yang relatif banyak, dan terkait dengan tanggung jawab sosial (Kavaratzis, 2004). Adapun perbedaan antara city branding dan corporate branding yang salah satunya yaitu city branding tidak bersaing seperti yang perusahaan lakukan, yang mana perusahaan bertujuan untuk menghasilkan profit sebesar-besarnya. Adapun city branding bersaing untuk menghasilkan penduduk, wisatawan, dana, acara, investasi, dan sebagainya. City branding berhubungan dengan pembentukan identitas suatu kota agar berbeda dengan kota lainnya di mana menekankan pada keunggulan yang dimiliki kota sehingga menjadi daya saing yang unik untuk berkompetisi dengan kota lain. Adapun disamping untuk memenuhi kebutuhan atau tujuan masyarakat di kota tersebut, city branding juga bersaing untuk menarik pendatang dari kota lain.

City branding dapat dikomunikasikan baik melalui media komunikasi offline seperti brosur, pameran, surat kabar, dan majalah maupun media komunikasi online seperti website dan jejaring sosial. Studi yang dilakukan Molina et al. (2017) pada lima kota besar di Eropa (London, Paris, Berlin, Roma, dan Madrid) menemukan bahwa sebagian besar pengunjung yang loyal menggunakan media offline

untuk mencari informasi lebih banyak mengenai suatu kota. Meskipun media online menawarkan biaya yang lebih murah dan lebih banyak digunakan orang, namun ditemukan kurang menarik orang untuk berkunjung ke suatu kota.

Penelitian terkini mengenai city branding juga menyoroti pentingnya kompleksitas city brand pada pembentukan sikap dan perilaku masyarakat baik masyarakat setempat maupun masyarakat pendatang. Kompleksitas city brand menggambarkan seberapa banyak atribut-atribut yang dimiliki oleh suatu kota yang membedakannya dengan kota lain. Zenker, Braun, dan Petersen (2017) menemukan bahwa kompleksitas city brand menciptakan sikap yang positif terhadap suatu tempat (kepuasan terhadap suatu tempat, identifikasi terhadap suatu tempat, dan keterikatan terhadap suatu tempat) dan pada akhirnya menciptakan word of mouth yang positif terhadap tempat tersebut.

American Marketing Association (AMA) mendefinisikan brand sebagai “a name, term, sign, symbol or any other feature that identifies one seller’s good or service as distinct from those of other sellerswww.ama. org. Menurut definisi tersebut, kunci penciptaan sebuah brand adalah kemampuan memilih nama, logo, simbol atau atribut-atribut lain yang membedakan sebuah produk dari produk lainnya. Ketika sebuah kota dikaitkan dengan brand, maka brand tersebut harus bisa mengkomunikasikan dengan jelas seperti apa kota tersebut, apa saja yang dimilikinya, dan mengapa kota tersebut patut mendapat perhatian, sehingga siapapun yang datang ke kota tersebut atau penduduk kota itu dapat memaparkan secara singkat citra kota tersebut. Sebuah kota, layaknya sebuah brand, harus bersifat fungsional, simbolik, dan emosional (Rainisto, 2003) dan atribut yang memuaskan kebutuhan-kebutuhan tersebut perlu dikelola dalam proposisi kota yang unik (Ashworth dan Voogd, 1990 dalam Braun, 2012). Fungsionalitas berarti dapat dilihat sebagai sebuah benefit. Sebuah kota harus berfungsi sebagai tujuan untuk pencari kerja, tujuan untuk menempuh pendidikan, industri, tempat tinggal, transportasi umum dan atraksi serta rekreasi.

Salah satu perkembangan penelitian city sebagai brand ditemukan oleh Herezniak dan Florek (2018) yang mengemukakan bahwa event Expo menjadi alat penting dalam strategi city branding. Suatu event Expo yang berskala besar di suatu kota akan meningkatkan profil kota yang bersifat internasional, menarik investor asing, turis, keterlibatan penduduk

lokal, keterlibatan pemerintah pusat dalam memberikan dana tambahan, serta meningkatkan lapangan kerja. Event Expo dapat menjadi peluang untuk membentuk, meningkatkan, serta memperbaiki city awareness, terutama suatu kota yang memiliki tingkat awareness rendah. Adapun kota-kota yang memiliki tingkat awareness tinggi akan menggunakan Expo untuk mencapai tujuan tertentu seperti menarik perhatian target sasaran yang diinginkan.

Aaker (1991) dalam Kemp et al. (2012b) mengemukakan bahwa “brand associations are any ideas linked in memory to a brand” yang mana dapat diartikan asosiasi merek merupakan segala hal yang berkaitan dengan ingatan mengenai merek. Keller (1993) menyatakan bahwa “brand associations are informational nodes connected to brand nodes in memory that provide meaning for the consumer about a brand” yang mana dapat diartikan asosiasi merek merupakan segala informasi yang terhubung dengan merek dalam ingatan yang memberikan makna bagi konsumen tentang suatu merek. Brand associations menekankan pada segala hal atau informasi yang berhubungan dengan memori atau ingatan konsumen terhadap suatu merek. Namun, Keller (1993) menambahkan bahwa adanya kesan tersendiri di benak konsumen akan suatu merek sehingga membantu dalam proses mengingat. Dalam strategi pemasaran, pemasar menggunakan asosiasi merek untuk menciptakan sikap atau perilaku konsumen yang positif terhadap merek serta untuk membedakan dalam memposisikan dan memperluas merek (Low dan Lamb, 2000).

Asosiasi merek tidak hanya membantu konsumen dalam proses, mengorganisir, dan mendapatkan informasi dalam ingatan untuk pengambilan keputusan namun juga berguna untuk membangun, memperkuat, dan menyatakan identitas mereka (Low dan Lamb, 2000). Pada akhirnya, asosiasi merek yang kuat dan positif dapat mempengaruhi konsumen dalam meningkatkan koneksi terhadap suatu merek yang mana memungkinkan konsumen untuk menunjukkan konsep diri (self-concept). Dalam konteks city branding, dua konstruksi - attitude toward the brand dan perceived uniqueness of the brand – mewakili asosiasi merek yang diusulkan untuk mempengaruhi proses selfbrand connections.

Sikap terhadap merek didefinisikan sebagai evaluasi keseluruhan tentang merek yang dilakukan

oleh konsumen dan merefleksikan respon konsumen terhadap merek tersebut (Keller, 1998). Sikap terhadap merek tidak hanya dapat dibentuk dari manfaat fungsional akan suatu merek, melainkan juga dari manfaat simbolis dan pengalaman yang menyertainya seperti sensasi, perasaan, dan pengertian yang ditimbulkan merek (Rossiter and Percy, 1987; Zeithaml, 1988; Brakus, 2009 dalam Kemp, Fillapalli, dan Becerra, (2014). Penelitian dari psikologi menunjukkan bahwa ketika seseorang memiliki sikap yang favorable terhadap sesuatu, mereka akan cenderung memercayai sesuatu tersebut (Rotter, 1980 dalam Kemp, Fillapalli, dan Becerra 2014).

Dalam kaitannya antara attitude toward brand dengan city branding, maka dapat disimpulkan bahwa evaluasi atau penilaian keseluruhan yang baik terhadap suatu kota akan menghasilkan respon yang positif seperti rasa menyukai dan memilih kota tersebut untuk tujuan tertentu dibanding kota lainnya. Untuk menumbuhkan sikap yang positif terhadap suatu kota, maka perlunya memperhatikan penduduk atau calon pengunjung kota sehingga menciptakan pengalaman yang berkesan bagi masing-masing individu.

Keunikan yang dirasakan dari suatu merek ditentukan oleh penilaian konsumen terhadap fitur-fitur yang membedakan antara merek yang satu dengan merek lainnya. Menurut Netemeyer et al. (2004) dalam Kemp et al. (2012b), “brand uniqueness is often established through advertising claims or from past experiences with the brand”. Dalam pengertian tersebut ditemukan bahwa keunikan merek berdasarkan diferensiasi merek-merek maupun pengalaman langsung penggunaan suatu merek. Aspek keunikan merek berdampak bagi konsumen, baik bagi pilihan atau preferensi konsumen serta juga kesediaan konsumen untuk membayar harga yang lebih tinggi (Kalra dan Goodstein, 1998 dalam Kemp et al., 2012b). Selain itu, konsumen seringkali menganggap keunikan suatu merek merupakan merek yang memiliki nilai lebih dan kualitas yang lebih baik (Netemeyer et al., 2004 dalam Kemp et al., 2012b). Sebuah merek haruslah unik dan menarik sehingga produk tersebut memiliki ciri khas dan sulit untuk ditiru oleh pesaing. Melalui keunikan suatu merek maka akan memberi kesan yang cukup membekas terhadap ingatan pelanggan akan keunikan merek tersebut yang membedakannya dengan merek sejenis lainnya. Jika merek tidak dianggap unik dari pesaingnya, maka akan sangat sulit untuk menciptakan harga jual yang lebih tinggi dari merek lainnya. Merek yang unik juga akan

menyederhanakan proses pemilihan yang dilakukan oleh konsumen.

Dalam kaitannya dengan city branding, sebuah kota haruslah unik dan dirasakan berbeda dari kota-kota lain sehingga memiliki nilai tambah tersendiri untuk mendorong orang-orang memilih kota tersebut. Konsep brand uniqueness dapat digambarkan sebagai berikut. Penduduk seringkali menyoroti karakteristik unik dari kotanya untuk menemukan keunggulan dibanding kota lainnya. Konsep keunikan pada kota dapat dikaitkan dengan makanan (Memphis-style barbecue, Chicago-style pizza, Cincinnati-style chili), musik adat (New Orleans traditional jazz, Detroit Motown music, Nashville country music), dan bahkan nama panggilan atau julukan atau tagline (Seattle sebagai “Emerald City”, New York sebagai “City that Never Sleeps”).

Studi yang dilakukan Ahn et al. (2016) menyimpulkan bahwa kekhasan merek dari suatu kota menjadi faktor penentu yang sangat penting dalam menciptakan perilaku citizenship dari para pengunjung kota. Kekhasan merek tersebut dapat dibangun melalui brand evidence yang mencakup nama merek, perbandingan antara harga dan nilai, pelayanan utama, pelayanan karyawan, dan lingkungan fisik serta brand hearsay yang mencakup word of mouth dan publisitas.

Dalam konteks yang sama, karakter kepribadian juga dikaitkan dengan suatu merek. Menurut Wee (2004), “the personality functions in much the same way as the human personality and that, by extension, the personality of brands would likely function much like the personality of humans”. Pengertian Wee (2004) menekankan pada kesamaan fungsi suatu kepribadian yang dimiliki oleh manusia seperti kepribadian suatu merek, yang mana merek juga memiliki karakter kepribadian yang berbeda-beda antara suatu merek dengan merek lainnya. Aaker (1997) dalam Sahin dan Baloglu (2014) menyatakan bahwa “brand personality as the set of human characteristics associated to a brand”. Maka destination personality dapat didefinisikan sebagai “the set of human characteristics associated with a destination”. Brand personality memiliki karakteristik produk yang diketahui oleh konsumen dan memberikan arti bahwa brand tersebut cocok dengan identitas konsumen (Kim et al., 2005).

Studi mengenai brand personality tidak hanya diterapkan pada produk atau jasa, namun

penerapannya juga berkembang pada suatu tempat, kota, maupun negara. Meskipun masih jarang ditemukannya studi mengenai brand personality yang diterapkan pada suatu tempat, namun brand personality tempat telah menarik minat peneliti terdahulu untuk dibahas. Dalam penelitian mengenai city branding, suatu kota penting memiliki karakter kepribadian sebagai alat positioning dalam persaingannya dengan kota-kota lain. Melihat ketatnya persaingan antar-kota, konsep brand personality dapat dijadikan alat promosi yang efektif. Ketika suatu kota berhasil mengkomunikasikan karakter kepribadiannya, maka konsumen akan memiliki perasaan yang kuat sehingga mendorong terciptanya self-brand connection.

Konsumen sering memilih produk dan merek yang cocok dengan gambar diri mereka melalui proses penyesuaian atau pemasangan (Hankinson, 2004). Proses ini dibantu dengan ketersediaan merek yang banyak dan kesan yang ditunjukkan oleh perwakilan merek tersebut (Chaplin and John, 2005 dalam Kemp et al., 2012b). Konsumen yang menemukan kesesuaian antara konsep dirinya dan citra merek, maka mereka mampu membuat keterkaitan diri dengan merek (self-brand connection). Menurut Escalas dan Bettman (2003) dalam Kemp et al. (2012b), “self-brand connections are created when brands engender strong and favorable brand associations from the consumer’s perspective”. Self-brand connection dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan psikologis, memperkuat identitas, dan memungkinkan individu untuk berhubungan dengan orang lain (Escalas, 2004).

Dalam city branding, self-brand connection menggambarkan identitas seseorang dengan suatu kota. Jika seseorang merasakan suatu kota sama dengan konsep dirinya, maka orang tersebut akan mengembangkan self-brand connection akan kota tersebut. Semakin kuat self-brand connection, maka semakin kuat juga suatu kota mewakili gambar diri seseorang. Ketika seseorang telah mengalami keterikatan dengan sebuah kota maka pada akhirnya akan menghasilkan suatu dukungan dalam bentuk brand advocacy yang positif akan kota tersebut.

Komunikasi yang baik akan suatu merek dari konsumen akan mempercepat penerimaan dan penyesuaian produk baru (Keller, 1993). Hal ini dapat menjadi sumber informasi yang paling berpengaruh bagi pembelian beberapa produk karena dirasakan sebagai sumber yang asli (Kim et al., 2001). Ketika

konsumen berkomitmen akan suatu merek, hubungan ini dapat memicu brand advocacy (Fullerton, 2003). Konsumen akan menjadi ‘penginjil’ untuk suatu merek dan menyebarkan word-of-mouth yang positif serta merekrut orang lain untuk menjadi pembeli dan pengguna merek tersebut (Chakravarty et al., 2010 dalam Kemp et al., 2014).

Kemp et al. (2012) menyatakan bahwa brand advocacy terbentuk ketika suatu merek menggambarkan identitas personal diri seseorang. Brand advocacy akan city branding dapat terjadi jika seseorang memiliki sikap dan keterikatan yang positif akan suatu kota dimana adanya pengalaman positif yang didapat dan kota tersebut mampu menggambarkan diri seseorang sesuai dengan gambar diri yang diinginkan. Dari proses tersebut maka seseorang akan bangga memperkenalkan kota yang disukainya melalui pengalamannya serta merekomendasikan kota tersebut kepada orang lain. Dalam hal ini, orang tersebut juga akan menerima komentar yang didapatnya negatif terhadap kota tersebut.

Individu secara intrinsik termotivasi untuk meraih kekhasan positif dan biasanya ingin diidentifikasi dengan objek-objek dan ide-ide yang positif (Tajfel, 1974 dalam Kemp et al., 2012b). Ketika konsumen memiliki sikap yang favorable terhadap merek, konsumen akan lebih cenderung untuk menyesuaikan diri dengan merek. Sehubungan dengan city branding, sikap yang positif terhadap brand kota kemungkinan akan meningkatkan koneksi diri bersamaan dengan merek. Penelitian terdahulu Kemp et al. (2012a) mengenai attitude toward the brand merupakan skala global yang mengukur keseluruhan penilaian penduduk akan upaya branding kota musik Austin. Hasil penelitian Kemp et al. (2012a) menunjukkan adanya pengaruh positif variabel attitude toward brand terhadap selfbrand connection. Berdasarkan hasil review temuan terdahulu, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

H1: Semakin positif attitude toward brand maka semakin kuat self-brand connection.

Penelitian city branding oleh Kemp et al. (2012b) menyatakan bahwa keunikan merek yang dirasakan dapat mengembangkan perasaan bangga dan kepemilikan di benak penduduk setempat. Hasil studi yang dilakukan Kemp et al. (2012b) menemukan bahwa brand uniqueness berpengaruh positif terhadap self-brand connection. Kemp et

al. (2012b) menyimpulkan bahwa keunikan strategi city branding yang dirasakan dapat mempengaruhi penduduk menjadi lebih self-connected terhadap brand kota Austin. Dalam studi terdahulunya, Kemp et al. (2012a) juga menyatakan bahwa melalui perkembangan perasaan bangga yang kuat akan suatu kota, konsumen yang merasakan keunikan brand kota mereka akan merasa lebih terhubung dengan brand tersebut. Studi Kemp et al. (2012a) mengindikasi adanya pengaruh positif brand uniqueness terhadap self-brand connection. Kemp et al. (2012b) menyimpulkan bahwa keunikan brand diasosiasikan dengan proses individu membentuk keterikatan pada brand. Dengan demikian hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

H2: Semakin kuat brand uniqueness maka semakin kuat self-brand connection.

Brand personality adalah komponen utama dari brand identity dan brand image. Konsumen menggunakan merek untuk menandakan dan mengelola identitas mereka terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Untuk memuaskan kebutuhan tersebut, konsumen cenderung menyukai merek yang memiliki karakter kepribadian seperti karakter diri mereka. Kepribadian merek (brand personality) memberikan pengaruh penting bagi self-brand connection. Kecocokan diri seseorang dengan suatu merek merupakan kesesuaian antara diri konsumen atau konsep diri yang diinginkan dengan brand image (Sirgy, 1986 dalam Moons dan de Pelsmacker, 2015). Seseorang lebih cenderung memiliki keterikatan emosional yang lebih kuat pada merek yang sesuai dengan kepribadiannya. Dalam konteks city branding, peneliti ingin mengetahui lebih lanjut mengenai pengaruh brand personality suatu kota terhadap self-brand connection.

Berdasarkan perumusan tersebut, maka hipotesis dalam penelitian ini:

H3: Semakin kuat brand personality maka semakin kuat self-brand connection.

Penelitian oleh Kemp et al. (2012b) menyatakan bahwa ketika seorang konsumen terkoneksi dengan merek, koneksi atau hubungan ini dapat menyebabkan brand advocacy kemudian konsumen menyebar word-of-mouth yang positif akan brand. Hasil penelitian Kemp et al. (2012b)

menemukan bahwa self-brand connection berpengaruh positif terhadap brand advocacy. Kemp et al. (2012b) menyimpulkan bahwa selfbrand connection dapat memperkuat perasaan akan kesadaran sebagai penduduk yang menempati suatu kota dan penduduk menjadi pendukung brand melalui komunikasi mulut ke mulut (word-of-mouth). Penelitian Kemp et al. (2014) juga menyatakan bahwa individu yang membentuk koneksi dengan brand akan menjadi pendukung brand yang semangat. Hasil penelitian Kemp et al. (2014) menunjukkan adanya pengaruh positif variabel self-brand connection terhadap brand advocacy. Kemp et al. (2014) menyimpulkan bahwa ketika self-brand connection terbentuk maka individu akan memihak pada institusi tersebut. Selain itu, konsumen juga memulai menjalani perannya sebagai pendukung brand dengan aktif melakukan promosi. Berdasarkan hasil temuan tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini:

H4: Semakin kuat self-brand connection maka semakin positif brand advocacy.

Dalam penelitian Kemp et al. (2012b) telah disebutkan sebelumnya, brand associations dapat memainkan peran utama dalam membantu konsumen membangun, mengembangkan, dan mengekspresikan identitasnya. Setelah koneksi dengan brand terbentuk dan konsumen merasa bahwa merek mewujudkan siapa mereka, maka mereka akan cenderung berbagi evaluasi dan penilaian positif tentang merek kepada orang lain. Berikutnya dalam konteks city branding, selfbrand connection dengan brand kota akan memediasi hubungan antara city brand associations dan brand advocacy. Hasil penelitian Kemp et al. (2012b) menemukan bahwa self-brand connection memediasi secara positif hubungan antara brand attitude dan brand advocacy serta hubungan antara brand uniqueness dan brand advocacy. Sebagai modifikasi dari penelitian Kemp et al. (2012b), peneliti ingin meneliti lebih lanjut apakah self-brand connection memediasi secara positif hubungan antara brand personality dan brand advocacy berdasarkan teori yang dikemukakan sebelumnya.

Berdasarkan hasil temuan tersebut, maka penelitian ini mengajukan hipotesis:

H5: Self-brand connection memediasi pengaruh attitude toward brand pada brand advocacy.

H6: Self-brand connection memediasi pengaruh brand uniqueness pada brand advocacy.

H7: Self-brand connection memediasi pengaruh brand personality pada brand advocacy.


METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, populasinya adalah semua mahasiswa pendatang yang studi di kota Yogyakarta. Mahasiswa pendatang menjadi populasi peneliti dikarenakan meningkatnya jumlah mahasiswa pendatang yang studi di kota Yogyakarta dan ingin mengetahui lebih lanjut apakah city branding ‘Kota Yogyakarta sebagai Kota Pelajar’ berhasil menarik kaum pelajar untuk studi di kota Yogyakarta. Pengambilan sampel responden dilakukan dengan metode non-probability sampling dengan teknik purposive sampling. Adapun responden yang terpilih harus memiliki kriteria yaitu: merupakan mahasiswa pendatang (berasal dari luar kota Yogyakarta) dan menempuh studi di Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Ketiga Universitas tersebut dipilih karena masuk dalam peringkat 11 Perguruan Tinggi Terbaik di Yogyakarta Tahun 2016 (https://ayokuliah.id).

Penelitian ini menggunakan data primer berupa kuesioner yang didistribusikan secara langsung kepada responden. Setelah didistribusikan, peneliti menunggu hingga responden selesai menjawab semua pertanyaan yang ada dan kemudian mengumpulkan kembali lembar kuesioner yang telah diisi oleh responden tersebut. Alasan pendistribusian kuesioner secara langsung yaitu untuk menjamin kebenaran pengisian kuesioner oleh responden. Total responden yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah 128 mahasiswa. Waktu yang diperlukan peneliti untuk melakukan penelitian yaitu pada bulan November – Desember 2016.

Mayoritas responden mahasiswa pendatang dalam penelitian ini berjenis kelamin perempuan (70,30%). Dari sisi usia, mayoritas usia responden berkisar 19-21 tahun (57,80%). Dari tingkat pendidikan, didominasi oleh mahasiswa pendatang yang sedang menempuh studi sarjana yaitu sebanyak 124 orang (96,90%) dan sebanyak 57 orang (44,50%) merupakan mahasiswa pendatang tahun angkatan 2016. Dari sisi lokasi penelitian, mayoritas responden (36,72%) menempuh studi di Universitas Negeri Yogyakarta. Dari sisi bidang ilmu yang ditempuh, mayoritas responden mengambil bidang ilmu di Fakultas Ilmu Sosial (23,40%). Dari sisi asal daerah, mayoritas responden berasal dari provinsi Jawa Tengah yaitu sebanyak 53 orang (41,40%).

Variabel dan indikator yang digunakan dalam penelitian ini diadopsi dari hasil penelitian terdahulu. Penelitian ini menggunakan skala pengukuran interval dengan rentang nilai 1-10 dimana angka 1 menunjukkan bahwa responden memberikan tanggapan yang sangat tidak setuju terhadap pernyataan yang diajukan sedangkan angka 10 menunjukkan sangat setuju. Pengujian validitas dari instrumen penelitian dilakukan menggunakan confirmatory factor analysis (CFA) yaitu melihat nilai factor loading indikator dari konstruk yang diteliti. Menurut Wijanto (2008), suatu dimensi atau indikator dikatakan valid apabila t-value dari factor loading standard adalah > 1,96, dan jika nilai factor loading standard > 0,50 maka dinyatakan valid. Pengujian reliabilitas dilakukan dengan dua cara yaitu construct reliability dan variance extracted. Untuk mengukur reliabilitas, cut-off value dari construct

reliability adalah minimal 0,70 sedangkan cut-off value dari variance extracted minimal 0,50 (Ghozali, 2011).

Tabel 1 menyajikan indikator yang digunakan dalam penelitian ini dan hasil pengujian validitas serta reliabilitas.

Tabel 1. Hasil Pengujian Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian

Variabel

Construct

Factor       Reliability

Indikator

Loading    danVariance

Extracted

Attitude

Toward Brand

  •    Penilaian baik/buruk terhadap suatu merek              0,656

  •    Penilaian menguntungkan/tidak menguntungkan                       CR 0 9

terhadap suatu merek                                  0 741         VE:: 0,6

  •    Evaluasi positif/negatif terhadap suatu merek             0,886             : ,

  •    Perasaan suka/tidak suka terhadap suatu merek

  •    Perasaan senang/tidak senang terhadap suatu merek      0,852

Brand

Uniqueness

  • Perbedaan merek                                    0,761

  • Kekhususan merek                                  0,918        CR: 0,9

  • Keistimewaan merek                                 0,734        VE: 0,6

  • Kekhasan merek                                   0,709

Brand Personality

  • Terpelajar                                               0,527

  • Bersahabat                                            0,850

CR: 0,8

  • Menyenangkan                                    0,758 VE: 0,5

  • Ramah                                           0,702

  • Aman                                         0,555

Self-Brand Connection

  •    Merek merefleksikan diri

  •    Identifikasi diri dengan merek                            00,77155

  •    Keterikatan personal dengan suatu merek                0,713         CR: 0,9

  •    Merek mengkomunikasikan diri                       0,763        VE: 0,5

  •    Merek mampu menjadikan apa yang diinginkan         0 763

  •    Kecocokan diri seseorang terhadap suatu merek          0,675

Brand Advocacy

  •    Rekomendasi untuk menggunakan merek              0,850

  •    Sharing pengalaman mengenai merek                  0,779

  •    Pemberitahuan hal-hal yang positif mengenai merek       ,779         CR: 0,9

  •    Pembelaan terhadap merek                           0 611         VE: 0,6

  •    Ajakan untuk menggunakan merek                   0,732

Sumber: Data penelitian diolah, 2017

HASIL DAN PEMBAHASAN

Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model persamaan struktural (SEM) dengan menggunakan software statistik AMOS. Besarnya ukuran sampel memiliki peran penting dalam interpretasi hasil SEM. Peneliti menggunakan acuan rumus Hair et al. (2006) yang mana menjelaskan bahwa syarat mendapatkan sampel yang sesuai adalah antara 100-200 sampel dan menyarankan agar ukuran sampel minimum sebanyak 5-10 kali jumlah parameter yang diestimasikan, sehingga jumlah sampel minimum dalam penelitian ini adalah 125 responden yang diperoleh dari 25 indikator dikali 5. Dalam penelitian ini, total sampel yang digunakan adalah 128 responden. Jumlah tersebut sudah

memenuhi ukuran sampel minimal yang digunakan dalam pengujian dengan alat analisis SEM. Dengan demikian, asumsi atas kecukupan sampel dalam penelitian ini sudah terpenuhi.

Evaluasi normalitas dilakukan dengan menggunakan kriteria critical ratio dari nilai skewness dan kurtosis yang dihasilkan dari output AMOS. Data dinyatakan memiliki distribusi yang normal secara univariate apabila memiliki nilai critical ratio dari nilai skewness dan kurtosis sebesar ± 2,58 (Ghozali, 2011). Data dinyatakan memiliki distribusi yang normal secara multivariate apabila nilai critical ratio dari kurtosis yang dihasilkan dibawah nilai 10 (Kline, 2011). Tabel 2 menyajikan hasil pengujian normalitas data dalam penelitian ini.

Tabel 2. Hasil Pengujian Normalitas Data (n= 128)

Variable

min

Max

skew

c.r.

kurtosis

c.r.

BA5

5.000

10.000

-.436

-.356

-.823

BA4

4.000

10.000

-.008

-.038

-.387

-.895

BA3

6.000

10.000

-.443

-2.047

-.356

-.822

BA2

5.000

10.000

-.516

-2.385

-.068

-.157

BA1

6.000

10.000

-.269

-1.241

-.644

-1.488

SBC6

5.000

10.000

-.033

-.151

-.453

-1.047

SBC5

5.000

10.000

.043

.201

-.565

-1.304

SBC4

6.000

10.000

.086

.395

-.572

-1.321

SBC3

6.000

10.000

.108

.499

-.733

-1.694

SBC2

5.000

10.000

-.037

-.172

-.226

-.521

SBC1

6.000

10.000

.048

.223

-.272

-.628

BP1

6.000

10.000

-.070

-.322

-.866

-2.001

BP2

6.000

10.000

.065

.299

-.759

-1.754

BP3

6.000

10.000

-.214

-.989

-.285

-.657

BP4

6.000

10.000

-.348

-1.608

-.255

-.588

BP5

4.000

10.000

-.105

-.486

-.446

-1.030

BU1

6.000

10.000

-.414

-1.911

-.993

-2.293

BU2

6.000

10.000

-.461

-2.127

-.517

-1.194

BU3

6.000

10.000

-.490

-2.265

-.745

-1.721

BU4

6.000

10.000

-.492

-2.274

-.736

-1.699

ATB1

5.000

10.000

.057

.265

-.572

-1.321

ATB2

6.000

10.000

-.112

-.518

-.642

-1.482

ATB3

6.000

10.000

-.273

-1.263

-.630

-1.455

ATB4

6.000

10.000

-.085

-.393

-.804

-1.857

ATB5

6.000

10.000

.021

.099

-.783

-1.808

Multivariate

62.988

9.698

Sumber: Data penelitian diolah, 2017

Berdasarkan hasil pengujian normalitas data yang disajikan pada Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa secara univariate, semua indikator penelitian menunjukkan data telah memiliki distribusi yang normal karena nilai critical ratio dari skewness dan kurtosis yang dihasilkan berada pada rentang -2,58< c.r < 2,58. Secara multivariate, nilai critical ratio dari kurtosis yang dihasilkan adalah 9,698. Dengan demikian, asumsi atas normalitas data pada penelitian ini telah terpenuhi.

Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan Structural Equation Model (SEM) dengan software statistik AMOS. Gambar 2 menyajikan secara lengkap hasil analisis data menggunakan SEM.

Penelitian ini menggunakan kriteria nilai GFI, AGFI, TLI, dan RMSEA untuk mengevaluasi kesesuaian model (goodness of fit). Berdasarkan

analisis kesesuaian model, penelitian ini menghasilkan nilai GFI sebesar 0,759; AGFI sebesar 0,705; TLI sebesar 0,851; dan RMSEA sebesar 0,086. Dengan demikian model penelitian ini dapat dikatakan fit karena nilai GFI, AGFI, TLI, dan RMSEA yang dihasilkan telah memenuhi nilai yang direkomendasikan meskipun nilainya masuk dalam kategori fit marginal.

Tabel 3. menunjukkan bahwa berdasarkan hasil analisis data menggunakan software AMOS, hipotesis 1-4 dapat diterima. Dalam penelitian ini, hipotesis 5-7 menguji pengaruh mediasi variabel selfbrand connection pada hubungan antara attitude toward brand, brand uniqueness, dan brand personality dengan brand advocacy. Uji mediasi dilakukan dengan menggunakan Sobel Test untuk melihat signifikansi variabel mediasi dan AMOS untuk melihat besarnya pengaruh langsung variabel independen ke dependen serta pengaruh tidak

Gambar 2. Full Structural Model

Sumber: Data penelitian diolah, 2017

langsung variabel independen ke dependen melalui menggunakan kalkulator online Sobel test dari http:/ variabel mediasi. Gambar 3, Gambar 4, dan Gambar /www.danielsoper.com/statcalc/calculator.aspx 5 menyajikan hasil pengujian variabel mediasi ?id=31.

menggunakan Sobel Test yang dihitung dengan

Tabel 3. Hasil Pengujian Hipotesis Penelitian

Hipotesis                  Estimate S.E.

Critical P Value

Keterangan

Ratio (< 0.05)

H1: Semakin positif attitude toward

brand maka semakin kuat self-brand 0,191     0,079

connection

2,398      0,016 Diterima

H2: Semakin kuat brand uniqueness

maka semakin kuat self-brand            0,247     0,092

connection

2,691      0,007 Diterima

H3: Semakin kuat brand personality

maka semakin kuat self-brand            0,373     0,113

connection

3,299     0,000 Diterima

H4: Semakin kuat self-brand connection maka semakin positif          1,061     0,220

brand advocacy

4,817      0,000 Diterima

Sumber: Data Penelitian diolah, 2017

Gambar 3. Hasil Perhitungan Peran Mediasi Self-Brand Connection pada Pengaruh

Attitude Toward Brand (ATB) terhadap Brand Advocacy (BA)

Sumber: Data penelitian diolah, 2017



Gambar 4. Hasil Perhitungan Peran Mediasi Self-Brand Connection pada

Pengaruh Brand Uniqueness (BU) terhadap Brand Advocacy (BA)

Sumber: Data penelitian diolah, 2017


Gambar 5. Hasil Perhitungan Peran Mediasi Self-Brand Connection pada Pengaruh Brand Personality (BP) terhadap Brand Advocacy (BA)

Sumber: Data penelitian diolah, 2017

Hasil perhitungan peran mediasi self-brand connection dengan menggunakan kalkulator online Sobel test seperti yang disajikan pada Gambar 3, Gambar 4, dan Gambar 5 menunjukkan bahwa selfbrand connection secara signifikan memediasi

pengaruh attitude toward brand, brand uniqueness, dan brand personality terhadap brand advocacy. Gambar 3 menunjukkan bahwa selfbrand connection secara signifikan memediasi pengaruh pengaruh attitude toward brand terhadap

brand advocacy. Hal ini terlihat dari nilai Sobel Test Statistic yang dihasilkan yaitu sebesar 2,161 dengan p-value two tailed probability sebesar 0,031 dan p-value one tailed probability sebesar 0,015 pada tingkat signifikansi p< 0,05. Gambar 4 menunjukkan bahwa self-brand connection secara signifikan memediasi pengaruh brand uniqueness terhadap brand advocacy. Hal ini terlihat dari nilai Sobel Test Statistic yang dihasilkan yaitu sebesar 2,346 dengan p-value two tailed probability sebesar 0,019 dan p-value one tailed probability sebesar 0,009 pada tingkat signifikansi p< 0,05.

Gambar 5 menunjukkan bahwa self-brand connection secara signifikan memediasi pengaruh brand personality terhadap brand advocacy. Hal ini terlihat dari nilai Sobel Test Statistic yang dihasilkan yaitu sebesar 2,724 dengan p-value two tailed probability sebesar 0,006 dan p-value one tailed probability sebesar 0,003 pada tingkat signifikansi p< 0,05. Besarnya pengaruh langsung variabel independen ke dependen serta pengaruh tidak langsung variabel independen ke dependen melalui variabel mediasi dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai Standardized Direct Effects dan Standardized Indirect Effects

Variabel Independen

Variabel Mediasi

Variabel

Dependen

Direct Effects

Indirect Effects

Attitude Toward Brand

Self-Brand Connection

Brand Advocacy

-0,044

0,225

Brand Uniqueness

Self-Brand Connection

Brand Advocacy

-0,163

0,243

Brand Personality

Self-Brand Connection

Brand Advocacy

0,045

0,374

Sumber: Data Penelitian diolah, 2017

Tabel 4 menunjukkan bahwa pengaruh tidak langsung variabel attitude toward brand, brand uniqeness, dan brand personality pada brand advocacy yang dimediasi oleh self-brand connection memiliki nilai pengaruh yang lebih besar daripada pengaruh langsungnya. Dengan demikian H5, H6, dan H7 diterima. Penelitian ini membuktikan bahwa self-brand connection memediasi pengaruh attitude toward brand pada brand advocacy, pengaruh brand uniqueness pada brand advocacy, dan brand personality pada brand advocacy.

PEMBAHASAN

Penelitian ini menemukan bahwa attitude toward brand berpengaruh positif terhadap selfbrand connection. Evaluasi atau penilaian keseluruhan mahasiswa pendatang terhadap strategi kota Yogyakarta sebagai kota pelajar menghasilkan respon yang positif yaitu mahasiswa menilai baik strategi kota Yogyakarta sebagai kota pelajar; mahasiswa menilai strategi kota Yogyakarta merupakan hal yang menguntungkan; mahasiswa memiliki kesan positif mengenai strategi kota Yogyakarta sebagai kota pelajar; mahasiswa menyukai strategi kota Yogyakarta sebagai kota pelajar; mahasiswa senang dengan strategi kota Yogyakarta sebagai kota pelajar. Dengan demikian, pemerintah kota Yogyakarta telah menerapkan branding yang efektif terutama pada pengelolaan

sikap konsumen (Berry, 2000). Sehubungan dengan city branding, sikap yang semakin positif terhadap brand kota Yogyakarta akan menghasilkan keterikatan diri yang semakin kuat dengan kota Yogyakarta. Penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kemp et al. (2012a), dimana hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya pengaruh positif attitude toward brand terhadap self-brand connection.

Penelitian ini mengidentifikasi bahwa brand uniqueness berpengaruh positif terhadap self-brand connection. Aspek keunikan kota Yogyakarta sebagai kota pelajar berdampak bagi mahasiswa pendatang dalam memilih universitas yang ingin dituju. Mahasiswa pendatang yang melakukan studi di kota Yogyakarta menilai bahwa kota Yogyakarta sebagai kota pelajar itu unik, istimewa, khas, dan berbeda dengan kota lainnya. Selain itu, mahasiswa pendatang menganggap keunikan kota Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar merupakan nilai lebih dan memiliki kualitas pendidikan yang lebih baik dibanding universitas di kota-kota lainnya, dalam hal ini peneliti sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Netemeyer et al., (2004) dalam Kemp et al., (2012b) pada pembahasan sebelumnya. Keunikan kota Yogyakarta yang dirasakan oleh mahasiswa pendatang dapat mempengaruhi mahasiswa menjadi lebih self-connected terhadap kota Yogyakarta karena adanya rasa bangga yang kuat akan kota Yogyakarta. Penelitian ini sejalan dengan hasil

penelitian city branding sebelumnya yang dilakukan oleh Kemp et al. (2012a dan 2012b) yang menemukan bahwa brand uniqueness berpengaruh positif terhadap self-brand connection.

Penelitian ini menunjukkan bahwa brand personality berpengaruh positif terhadap selfbrand connection. Brand personality memberikan pengaruh unik yaitu mahasiswa pendatang menggambarkan karakter kota Yogyakarta yang terpelajar, bersahabat, menyenangkan, ramah, dan aman. Mahasiswa akan lebih menyukai kota yang cocok dengan kepribadian mereka sehingga membentuk emosional yang kuat dan memicu terjadinya kepercayaan dan loyalitas. Peneliti sependapat bahwa brand personality tidak hanya diterapkan pada produk atau jasa, namun penerapannya betul berkembang pada suatu tempat, kota, maupun negara. Karakter kota Yogyakarta yang diposisikan oleh mahasiswa pendatang dapat mempengaruhi mahasiswa menjadi lebih selfconnected terhadap kota Yogyakarta serta kecocokan diri seseorang dengan suatu merek merupakan kesesuaian antara diri konsumen atau konsep diri yang diinginkan dengan brand image (Sirgy, 1986 dalam Moons dan Pelsmacker, 2015).

Selanjutnya, self-brand connection berpengaruh positif terhadap brand advocacy. Mahasiswa pendatang menemukan kesesuaian antara konsep dirinya dengan citra kota Yogyakarta sehingga mereka mampu membuat keterkaitan diri dengan merek (self-brand connection). Dalam city branding, self-brand connection menggambarkan identitas seseorang dengan suatu kota. Semakin kuat self-brand connection, maka semakin kuat juga kota Yogyakarta mewakili gambar diri mahasiswa pendatang. Ketika mahasiswa telah mengalami keterikatan dengan kota Yogyakarta maka pada akhirnya akan menghasilkan suatu dukungan dalam bentuk word-of-mouth (WOM) yang positif terhadap kota Yogyakarta. Hasil penelitian ini mengindikasi bahwa mahasiswa pendatang bersedia untuk merekomendasikan kota Yogyakarta sebagai tempat untuk melanjutkan atau menempuh studi. Lalu mahasiswa juga akan membela kota Yogyakarta jika terdapat orang yang berbicara negatif akan kota Yogyakarta. Penelitian ini mendukung penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Kemp et al. (2012b dan 2014) yang menemukan bahwa adanya pengaruh positif variabel self-brand connection terhadap brand advocacy.

Hasil pengujian variabel mediasi menemukan bahwa self-brand connection memediasi attitude toward brand terhadap brand advocacy; self-

brand connection memediasi brand uniqueness terhadap brand advocacy; self-brand connection memediasi brand personality terhadap brand advocacy. Hasil penelitian ini mengindikasi bahwa mahasiswa pendatang yang terkoneksi atau memiliki keterikatan terhadap kota Yogyakarta serta merasa bahwa kota Yogyakarta mewujudkan siapa mereka, maka mereka akan cenderung berbagi evaluasi dan penilaian positif tentang kota Yogyakarta kepada orang lain. Brand advocacy tidak akan terbentuk jika mahasiswa pendatang belum memiliki keterikatan yang kuat terhadap kota Yogyakarta. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kemp et al. (2012b) bahwa selfbrand connection memediasi pengaruh brand attitude terhadap brand advocacy serta pengaruh brand uniqueness terhadap brand advocacy.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data, penelitian ini menemukan bahwa attitude toward brand, brand uniqueness, dan brand personality berpengaruh positif terhadap self-brand connection. Penelitian ini juga menemukan bahwa self-brand connection berpengaruh positif terhadap brand advocacy. Terkait dengan peran variabel mediasi self-brand connection, penelitian ini membuktikan bahwa self-brand connection memediasi pengaruh attitude toward brand terhadap brand advocacy, pengaruh brand uniqueness terhadap brand advocacy, dan pengaruh brand personality terhadap brand advocacy.

Beberapa saran praktis yang direkomendasikan untuk pemerintah kota Yogyakarta antara lain pertama, memperkuat self-brand connection dengan menciptakan attitude toward brand yang positif seperti membuat iklan bertema pendidikan serta menonjolkan tagline ‘Kota Yogyakarta sebagai Kota Pelajar’ agar memperkuat memori orang-orang akan merek tersebut. Selain itu, memperbanyak program beasiswa untuk menarik orang pendatang agar tertarik melakukan studi di kota Yogyakarta. Kedua, memperkuat self-brand connection dengan menciptakan brand uniqueness seperti mendesain logo unik yang menunjukkan simbol kota Yogyakarta sebagai kota pelajar dan spanduk berkonten motivasi pendidikan untuk dipasang di semua institut perguruan tinggi. Ketiga, memperkuat self-brand connection dengan meningkatkan keamanan kota Yogyakarta terutama di wilayah pendidikan dan pariwisata agar tercipta brand personality sebagai kota pelajar yang aman, nyaman, menyenangkan, dan bersahabat. Keempat,

menciptakan brand advocacy dengan membuat testimonial video dari mahasiswa pendatang yang bangga telah melakukan studi di kota Yogyakarta serta merekomendasikan perguruan tinggi di kota Yogyakarta kepada masyarakat luar daerah Yogyakarta. Kelima, pemerintah dapat melakukan penelitian mengenai city branding lebih lanjut agar mengetahui evaluasi keseluruhan dari mahasiswa pendatang yang studi di kota Yogyakarta sehingga dapat mempertahankan hal-hal positif yang telah dilakukan pemerintah dan juga sebagai masukan untuk kinerja yang lebih baik untuk kedepannya.

Beberapa saran akademis yang dapat dipertimbangkan untuk penelitian mendatang antara lain pertama, penelitian yang akan datang sebaiknya dapat menambah variabel lain yang belum diteliti dalam penelitian ini untuk memperoleh temuan hasil penelitian yang lebih komprehensif tentang city branding di Indonesia. Kedua, jumlah responden dapat diperbanyak lagi sehingga dapat menghasilkan data yang lebih representatif. Selain itu, responden yang dipilih dapat diperluas lagi dan tidak terbatas pada tiga universitas saja sehingga hasil penelitian dapat lebih digeneralisasikan. Ketiga, penelitian berikutnya akan lebih menarik jika dapat memilih kota atau tempat lain sebagai objek penelitian tentang city branding di Indonesia, misalnya kota DKI Jakarta sebagai kota metropolitan atau kota mall, kota Surabaya sebagai kota Pahlawan, kota Malang sebagai kota wisata, dan kota-kota lainnya di Indonesia yang dinilai memiliki keunikan.

REFERENSI

Ahn, Young-Joo, Kim, I. dan Lee, Timothy J. (2016).

Exploring visitor brand citizenship behavior: The case of the ‘MICE city Busan’, South Korea. Journal of Destination Marketing dan Management, 5(3), 249-259.

Anholt, S. (2005). Some important distinctions in place branding. Place Branding (Henry Stewart Publications), 1(2), 116-121.

Anholt. (2010). Definitions of place branding – Working towards a resolution. Place Branding and Public Diplomacy (Macmillan Publishers Ltd), 6(1), 1–10.

Ashworth, G., dan Kavaratzis, M. (2009). Beyond the logo: Brand management for cities. Journal of Brand Management, 16(8), 520-531.

Berry, L.L. (2000). Cultivating service brand equity.

Journal of the Academy of Marketing Sciences, 28(1), 128-137.

Braun, E. (2008). City marketing: Towards an integrated approach. ERIM PhD Series in

Research and Management, 142. Erasmus Research Institute of Management (ERIM), Rotterdam. http://hdlhandle.net/1765/13694

Braun, E. (2012). Putting city branding into practice. Journal of Brand Management, 19(4), 257-267.

Dinnie, K. (2011). City branding: Theory and cases.Place Branding and Public Diplomacy, 7(3), 218-222.

Escalas, J.E. (2004). Narrative processing: Building consumer connections to brands. Journal of Consumer Psychology, 14(1dan2), 168-180.

Fullerton, G. (2003). When does commitment lead to loyalty? Journal of Services Research, 5(4), 333-344.

Ghozali, I. (2011). Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Hair Jr, J.F., Black, W.C., Babin, B.J., dan Tatham, R.L. (2006). Multivariate Data Analysis. 6th Edition. Upper Saddle River, NJ: Pearson Prentice Hall.

Hankinson, G. (2004). The brand image of tourism destinations: A study of the saliency of organic images. Journal of Product dan Brand Management, 13(1), 6-14.

Herezniak, M., dan Florek, M. (2018). Citizen involvement, place branding and mega events: insights from Expo host cities. Place Branding and Public Diplomacy, 14(2), 89-100.

http://nationalgeographic.co.id, Mengenang Kembali Sejarah Hari Pendidikan Nasional di Indonesia, diakses tanggal 17 Oktober 2016.

http://telusur.metrotvnews.com, Dari Taman Siswa Hingga Kota Pelajar, diakses tanggal 14 Oktober 2016.

http://www.danielsoper.com, Sobel Test Calculation, diakses tanggal 12 Januari 2016.

http://www.pendidikan-diy.go.id, Sejarah Singkat Daerah Istimewa Yogyakarta, diakses tanggal 14 Oktober 2016.

https://ayokuliah.id, 11 Perguruan Tinggi Terbaik di Yogyakarta Tahun 2016, diakses tanggal 18 Desember 2016.

https://news.idntimes.com, Pemandangan Seperti Ini yang Bakal Kamu Sering Lihat di Yogyakarta! diakses tanggal 14 Oktober 2016.

https://www.ama.org, Dictionary Brand, diakses tanggal 19 Oktober 2016.

Hultman, M, Yeboah-Banin, A.A dan Formaniuk, L. (2016). Demand- and supply-side perspectives of city branding: A qualitative investigation. Journal of Business Research, 69 (11), 5153-5157.

Kavaratzis, M. (2004). From city marketing to city branding: Towards a theoretical framework for developing city brands. Place Branding (Henry Stewart Publications), 1(1), 58-73.

Kavaratzis, M. (2007). City marketing: The past, the present and some unresolved issues. Geography Compass, 1(3), 695-712.

Kavaratzis, M. (2008). From City Marketing to City Branding: An Interdisciplinary Analysis with Reference to Amsterdam, Budapest and Athens. University of Groningen.

Kavaratzis, M. (2009). Cities and their brands: Lessons from corporate branding. Place Brandingand Public Diplomacy, 5(1), 26-37.

Keller, K.L. (1993). Conceptualizing, measuring, and managing customer-based brand equity. Journal of Marketing, 57(1), 1-22.

Keller, K.L. (1998). Strategic Brand Management: Building, Measuring and Managing Brand Equity. Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall.

Kemp, E., Childers, C.Y., dan Williams, K.H. (2012a). A tale of a musical city: Fostering self-brand connection among residents of Austin, Texas. Place Branding and Public Diplomacy, 8(2), 147-157.

Kemp, E., Childers, C.Y., dan Williams, K.H. (2012b). Place branding: Creating self-brand connections and brand advocacy. Journal of Product and Brand Management, 21(7), 508-515.

Kemp, E., Fillapalli, R., dan Becerra, E. (2014). Healthcare branding: Developing emotionally based consumer brand relationships. Journal of Services Marketing, 28(2), 126-137.

Kim, C.K., Han, D., dan Park, S.B. (2001). The effect of brand personality and brand identiûcation on brand loyalty: Applying the theory of social identiûcation. Japanese Journal of Psychological Research, 43(4), 195-206.

Kim, H. R., Lee, M., dan Ulgado, F.M. (2005). Brand personality, self-congruity and the consumer-brand relationship. Paper Presented at the Asia Pacific Advances in Consumer Research.

Kline, R. B. (2011). Principles and Practice of Structural Equation Modeling. 3rd Edition. New York: The Guilford Press.

Low, G.S., dan Lamb, C.W. (2000). The measurement and dimensionality of brand associations. Journal of Product dan Brand Management, 9(6), 350-368.

Medway, D., dan Warnaby, G. (2008). Alternative perspectives on marketing and the place brand. European Journal of Marketing, 42(5/6), 641-653.

Molina, Arturo, Fernandez, Alejandra C., Gomez, Mar dan Aranda, Evangelina. (2017). Differences in the city branding of European capitals based on online vs. offline sources of information. Tourism Management, 58, 28-39.

Moons, I., dan de Pelsmacker, P. (2015). Self-brand personality differences and attitudes towards electric cars. Sustainability, 7, 12322-12339.

Pike, S. (2005). Tourism destination branding complexity. Journal of Product dan Brand Management, 14(4), 258-259.

Rainisto, S. K. (2003). Success factors of place marketing: A study of place marketing practices in Northern Europe and the United States. Published Doctoral Dissertation, Helsinki University of Technology, Institute of Strategy and International Business, Finland.

Sahin, S. dan Baloglu, S. (2014). City branding: Investigating a brand advocacy model for distinct segments. Journal of Hospitality Marketing dan Management, 23(3), 239-265.

Sevin, H. Efe. (2014). Understanding Cities through city brands: City branding as a social and semantic network. Cities, 38, 47-56.

Van den Berg, L., dan Braun, E. (1999). Urban competitiveness, marketing and the need for organising capacity. Urban Studies, 36(5/6), 987-999.

Wee, T.T.T. (2004). Extending human personality to brands: The stability factor. Journal of Brand Management, 11(4), 317-330.

Wijanto, S.H. (2008). Structural Equation Modelling Dengan Lisrel, Konsep dan Tutorial. Jakarta: Graha Ilmu.

Yananda, M Rahmat. (2014). Branding Tempat: Membangun Kota, Kabupaten dan Provinsi Berbasis Identitas. Jakarta: Makna Informasi.

Zenker, S. (2009). Who’s your target? The creative class as a target group for place branding. Journal of Place Management and Development, 2(1), 23-32.

Zenker, Sebastian, Braun, Erik dan Petersen, Sibylle. (2017). Branding the destination versus the place: The effects of brand complexity and identification for residents and visitors. Tourism Management, 58, 15-27.