Percampuran Turbulen Di Tenggara Samudera Hindia Saat Siklon Tropis Marcus Menggunakan Data ARGO Float
on
Journal of Marine and Aquatic Sciences 6(2), 293-300 (2020)
Percampuran Turbulen Di Tenggara Samudera Hindia Saat Siklon Tropis Marcus Menggunakan Data ARGO Float
Muhammad Hafidz Ibnu Khaldun a*, Yuli Naulita a, Alan Frendy Koropitan a
a Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat-Indonesia
* Penulis koresponden. Tel.: +62-812-5252-9575
Alamat e-mail: [email protected]
Diterima (received) 09 Desember 2020; disetujui (accepted) 22 Desember 2020; tersedia secara online (available online) 23 Desember 2020
Abstract
Tropical cyclones are a phenomenon that occurs because of the interaction between oceans and atmospheric circulation. The southeastern Indian Ocean is one of the areas that has a high activity of tropical cyclones. Tropical cyclones that cross waters can result in mixing of water masses. The mixing process produces water mass entrainment between lower and upper layers which decreases temperature in the upper layer. The purpose of this study was to estimate the strength of turbulent mixing caused by tropical cyclones using Argo Float data. The result of this study shows the turbulent mixing caused by tropical cyclones was very strong in the surface layer. Turbulent mixing is not found before the cyclone and increases when the cyclone occurs. The increase in turbulent mixing was recorded at a depth of 50 m which had an energy dissipation value ranging from 6.86x10-8 - 1.93x10-4 W/Kg and a turbulent mixing value with a range of 1.0x10-3 - 2.51x10-1 m2 s-1. This study concluded that the turbulent mixing in the surface layer is caused by tropical cyclones which is the main factor triggering the increase in the dissipation of kinetic and turbulent energy at the sites.
Keywords: tropical cyclones; turbulent mixing; argo float; Southeastern Indian Ocean
Abstrak
Siklon tropis merupakan salah satu fenomena yang terjadi karena adanya interaksi antara lautan dan sirkulasi atmosfer. Samudera hindia bagian Tenggara merupakan salah satu daerah yang memiliki aktifitas terbentuknya siklon tropis yang tinggi. Siklon tropis yang melintasi suatu perairan dapat mengakibatkan terjadinya percampuran massa air. Percampuran massa air akan menyebabkan pertukaran massa air antara lapisan bawah dan lapisan diatasnya sehingga menurunkan suhu dilapisan atas tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengestimasi kekuatan percampuran turbulen yang disebabkan oleh siklon tropis dengan menggunakan data Argo Float. Hasil penelitian menunjukan percampuran turbulen disebabkan oleh siklon tropis sangat kuat di lapisan permukaan. Percampuran turbulen tidak ditemukan sebelum siklon dan meningkat saat siklon terjadi. Peningkatan percampuran turbulen tercatat kedalaman 50 m yang memiliki nilai disipasi energi dengan rentang 6.86x10-8 – 1.93x10-4 W/Kg dan nilai percampuran turbulen dengan rentang 1.0x10-3 – 2.51x10-1 m2 s-1. Penelitian ini menyimpulkan bahwa percampuran turbulen di lapisan permukaan disebabkan oleh siklon tropis yang menjadi faktor utama memicu peningkatan disipasi energi kinetik dan turbulen di lokasi penelitian.
Kata Kunci: siklon tropis; percampuran turbulen; argo float; Tenggara Samudera Hindia
Siklon tropis merupakan salah satu fenomena yang terjadi karena interaksi antara massa air (lautan) dan sirkulasi atmosfer. Siklon tropis dapat diartikan sebagai sebuah sistem tekanan rendah berskala besar yang tumbuh di lautan dengan suhu
diatas 26.5°C dan kecepatan angin mencapai 34 knot yang bertahan lebih dari enam jam (Knutson et al., 2010; Syaifullah, 2015). Siklon tropis umumnya terbentuk didaerah 10°-20° dari ekuator, sebagian kecil terbentuk di daerah dengan lintang yang lebih tinggi, dan pada daerah lintang rendah (0°-10°LS/LU) siklon tropis sangat jarang terbentuk
(Syaifullah, 2015). Samudera Hindia bagian Tenggara merupakan salah satu daerah yang memiliki aktifitas terbentuknya siklon tropis yang tinggi.
Ketika siklon tropis melintasi suatu perairan, suhu permukaan perairan tersebut akan menjadi lebih dingin (Efendi dkk., 2018; Chacko dan Zimik, 2018). Hal ini diduga karena adanya proses percampuran massa air yang disebabkan oleh peningkatan tekanan angin permukaan sehingga menginduksi terjadinya turbulensi dan transfer momentum ke lapisan bawah perairan (Baranowski et al., 2011). Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Emanuel (2001) bahwa siklon tropis dapat mengakibatkan terjadinya percampuran massa air. Percampuran massa air menyebabkan pertukaran massa air antara lapisan bawah dan lapisan diatasnya sehingga menurunkan suhu dilapisan atas tersebut.
Pengembangan pengetahuan mengenai dampak siklon tropis di Samudera Hindia Tenggara khususnya Indonesia sangat penting. Menurut Haryani dan Zubaidah (2012), penelitian mengenai dinamika siklon tropis di wilayah Asia Tenggara masih diperlukan kajian lebih lanjut karena memiliki dampak yang sangat berpengaruh terhadap kondisi cuaca khususnya di wilayah Indonesia. Kondisi cuaca yang buruk pada saat siklon tropis menyebabkan pengukuran langsung oleh manusia tidak dapat dilakukan, sehingga pengukuran harus dilakukan dengan menggunakan instrumen. Salah satu instrumen yang dapat melakukan pengukuran di laut saat terjadi siklon tropis adalah Argo Float. Instrumen Argo Float yang jumlahnya banyak dan telah tersebar di lautan memungkinkan melakukan pengukuran langsung proses percampuran di lautan yang disebabkan oleh siklon tropis. Tujuan penelitian ini untuk mengestimasi kekuatan percampuran turbulen yang disebabkan oleh siklon tropis menggunakan data Argo Float.
Penelitian ini berlokasi di perairan Tenggara Samudera Hindia dengan posisi geografis 104– 110°BT dan 16–20°LS. Area ini dipilih karena merupakan kawasan jalur Argo float dan daerah siklon tropis Marcus saat mencapai puncak intensitasnya. Pengolahan data dilakukan di
Laboratorium Data Processing Institut Pertanian Bogor (IPB).
-
2.1 Analisis Data
Argo Float merupakan instrumen pengukuran data suhu, salinitas dan tekanan di laut yang sebagian besar waktu operasinya berada di kedalaman lebih dari 1500 m. Argo Float umumnya memiliki siklus pengukuran setiap 10 hari, namun beberapa argo ada yang beroperasi dengan siklus yang lebih pendek. Argo Float pada penelitian ini menggunakan data Argo Float Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO) Australia dengan nomer kode 5905214 yang beroperasi merekam nilai tekanan, suhu, dan salinitas setiap 10 hari di perairan Tenggara Samudera Hindia. Argo Float ini mulai beroperasi pada 17 November 2017 22:29:27 hingga sekarang. Data Argo Float ini dipilih karena lokasinya (17 Maret 107.08oBT dan 15.68oLS; 27 Maret 106.72oBT 15.92oLS) yang berada dalam lintasan siklon tropis Marcus saat mencapai puncak tekanan terendah, sehingga dapat memberikan informasi sebelum dan sesudah siklon tropis melewati lokasi tersebut pada tanggal 21-22 Maret.
Analisis turbulen diperlukan untuk estimasi kekuatan percampuran turbulen. Analisis dapat dilakukan dengan menghitung besaran nilai diffusivitas vertikal eddy. Diffusivitas vertikal eddy ( Kp ) dapat ditentukan setelah menghitung beberapa nilai yakni nilai Thorpe displacement(Td), skala Thorpe (Lτ), skala ozmidov (L0), frekuensi Brunt-Vaisala (N'), dan nilai disipasi energi kinetik turbulen (ε). Nilai Td diperoleh dengan menata kembali profil densitas dari data Argo ke bentuk stabilitas statis. Thorpe displacement dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut (Dillon, 1982; Suteja dkk., 2015):
Td = za - zb (1)
Nilai positif (negatif) menunjukkan bahwa massa air akan bergerak ke atas (ke bawah). Setelah kalkulasi nilai d , dilakukan smoothing data menggunakan metode Galbraith dan Kelley (GK). Selanjutnya, perhitungan Lτ dengan menggunakan persamaan berikut (Dillon, 1982; Suteja dkk., 2015):
1
L = f1 ∑ LTd2 'l 2 (2)
k n J
Gambar 1. Lokasi penelitian siklon tropis Marcus. Kotak berwarna merupakan lintasan siklon tropis dan nilai tekanannya pada tanggal 14 Maret – 25 Maret 2018. Kotak merah merupakan daerah pengamatan saat siklon tropis mencapai kategori 5.
dimana di adalah perpindahan Thorpe pada kedalaman i dan n adalah jumlah sampel rentang kedalaman. Setiap nilai Lt diperoleh dari hasil perata-rataan n buah sampel pada kedalaman yang telah ditentukan. Dillon (1982) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara ketidakstabilan massa air di laut dengan disipasi turbulen yang pada tahap selanjutnya digunakan untuk menghitung koefisien difusivitas (Kp).
Nilai skala Thorpe pada setiap lapisan dipergunakan untuk menghitung skala Ozmidov dengan menggunakan persamaan (Purwandana dkk. (2014):
(5)
dimana L0 merupakan skala panjang Ozmidov dan ε merupakan disipasi energi kinetik turbulen. Nilai difusivitas vertikal eddy pada tiap kedalaman diperoleh melalui persamaan berikut (Purwandana dkk. 2014):
Kp
(6)
(3)
Selanjutnya dilakukan perhitungan frekuensi Brunt-Väisälä pada tiap kedalaman menggunakan persamaan (Purwandana dkk. 2014):
(4)
dimana g merupakan percepatan gravitasi bumi (9.8 m/s2) dan p0 adalah densitas rata-rata dari hasil pengukuran (kg/m3). Tingkat energi kinetik disipasi turbulen eddy pada setiap kedalaman dapat diperoleh dengan persamaan (Purwandana dkk. 2014):
dimana frekuensi Brunt-Vaisala (N). Variabel y atau efisiensi percampuran menjadi indikator yang memperlihatkan efisiensi konversi dari energi kinetik turbulen ke energi potensial pada sistem. Hal ini sejalan dengan pendapat Thorpe (2007) yang menyatakan bahwa percampuran efisiensi dapat menjadi indikator dari konversi energi kinetik turbulen ke energi potensial, sehingga nilai yang hasilakan dapat sangat bervariasi tergantung pada dinamika turbulensi.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Estimasi Frekuensi Brunt Vaisälä (N2)
Proses terjadinya percampuran massa air pada kolom perairan dapat terjadi ketika massa air berada pada kondisi tidak stabil yang dapat
Gambar 2. Distribusi nilai Brunt Vaisälä pada 25 Februari- 06 April 2018.
diidentifikasi dengan nilai frekuensi Brunt Vaisälä (N2). Frekuensi Brunt Vaisälä (N2) yang rendah atau negatif akan menujukan bahwa kondisi massa air tidak stabil. Sebaliknya, nilai tinggi atau positif menunjukkan bahwa massa air berada dalam keadaan stabil. Purwandana dkk. (2014), menyatakan bahwa stabilnya massa air pada lapisan termoklin dikarenakan adanya lapisan pycnocline yang menunjukan adanya peningkatan densitas secara drastis dengan bertambahnya kedalaman atau tekanan.
Distribusi nilai N2 sangat berkaitan erat dengan gradien nilai suhu dan salinitas yang akan memberikan pengaruh pada nilai gradien densitas. Umumnya lapisan tercampur memiliki kestabilan yang rendah, hal ini dikarenakan lapisan tercampur memiliki gradien densitas secara vertikal yang rendah sehingga massa air menjadi kurang stabil dan menyebabkan percampuran vertikal (Meirinawati dan Iskandar, 2019). Sebaran melintang nilai N2 pada 25 Februari-16 April 2018 dapat dilihat pada Gambar 2. Analisis sebaran vertikal N2 menunjukkan bahwa massa air lebih stabil berada di lapisan dalam. Sebelum dilalui siklon pada tanggal 7 Maret pada lapisan tercampur 0-30 m nilai N2 memiliki nilai yang relatif rendah yakni 9.9 x10-6 – 8.1x10-5 s-2, sedangkan pada batas atas lapisan di kedalaman 30 - 35 m tercatat bahwa nilai N2 berkisar 2.1x10-4 - 6.1x10-4 s-2. Pada tanggal 17 Maret pada lapisan tercampur 0-30 m nilai N2 memiliki nilai yang relatif rendah yakni 9.54 x10-6 – 6.79x10-5 s-2, sedangkan pada batas atas lapisan termoklin di kedalaman 33-35 m tercatat bahwa nilai N2 berkisar 1.4x10-4 - 6.8x10-4 s-2. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa sebelum siklon tropis kolom perairan berada pada keadaan stabil,
karena tidak adanya keberadaan densitas tinggi di atas densitas rendah.
Pasca siklon melintasi daerah kajian pada tanggal 27 Maret, analisis sebaran vertikal N2 menunjukkan adanya lapisan stabil dengan kedalaman >60 m, namun yang menarik adalah adanya massa air dengan nilai N2 yang tinggi dikedalaman 7-11 m berada di atas massa air dengan nilai N2 yang rendah pada kedalaman 12-60 m. Analisis memperlihatkan bahwa pada kedalaman 7-11 m memiliki nilai N2 berkisar 3.5x10-4-7x10-4 s-2, sedangkan pada kedalaman 12-60 m memiliki nilai N2 berkisar 1.37x10-5 – 8.08x10-5 s-2. Rendahnya nilai N2 kedalaman 12-60 m menandakan bahwa lapisan tersebut tidak stabil dan mudah mengalami turbulen atau percampuran vertikal. Hal ini juga didukung oleh Purwandana dkk. (2014), serta Meirinawati dan Iskandar (2019), bahwa semakin tinggi nilai N2 pada suatu lapisan, maka stabilitas statis (kondisi massa air dengan densitas rendah berada di atas massa air dengan densitas tinggi) lapisan tersebut semakin besar begitu pula sebaliknya. Selain itu, perubahan nilai N2 pada lapisan massa air akan sangat ditentukan oleh gradien suhu dan salinitas yang berpengaruh pada gradien densitas (Suteja dkk., 2015).
-
3.2 Estimasi perpindahan Thorpe (Td)
Percampuran vertikal atau turbulen dapat terjadi pada massa air yang tidak stabil yang dapat diidentfikasi dengan menggunakan nilai Brunt Vaisälä (N2). Nilai N2 pada massa air mengalami percampuran vertikal akan rendah bahkan negatif yang menunjukkan adanya massa air dengan densitas tinggi berada di atas massa air dengan
densitas rendah, sehingga massa air akan mencari kesetimbangan dengan bergerak naik dan turun yang menyebabkan percampuran vertikal. Seberapa jauh jarak perpindahan nilai densitas massa air untuk mencari kesetimbangan pada konsisi stabil disebut dengan perpindahan Thorpe atau Thorpe displacement (Td).
Nilai Thorpe displacement (Td) akan memberikan informasi mengenai arah pegerakan massa air, nilai positif akan menunjukkan massa air akan bergerak naik untuk mencapai kestabilan sejauh jarak Td. Massa air yang bergerak naik dapat terjadi karena adanya massa air yang memiliki densitas rendah berada di bawah massa air dengan densitas tinggi. Nilai Td negatif memberikan gambaran sebaliknya, nilai negatif menunjukkan adanya massa air yang bergerak turun kelapisan lebih dalam untuk mencapai kesetimbangan.
Analisis perpindahan Thorpe pada rentang waktu 7 Maret–27 Maret 2018 dapat dilihat pada Gambar 3. Pada 7 Maret terlihat bahwa sebelum siklon tropis pada kedalaman 118-124 m nilai Td -6 m hingga 4 m. Saat siklon terjadi pada tanggal 17 Maret terlihat adanya peningkatan nilai Td. Pada 17 Maret, nilai Td berkisar 6 m hingga 9.8 m dengan kedalaman maksimal mencapai 12-16 m, pada kedalaman 100-114 m nilai td berkisar -4 m hingga 4 m. Pada saat siklon punah 27 Maret pergerakan massa air pada kedalaman 28-40 m dengan kisaran nilai Td antara -10 m hingga 6.4 m dan pada kedalaman 140-150 m dengan kisaran nilai Td antara -22 m hingga 8 m.
Gambar 3. Nilai perpindahan Thorpe (kiri) dan skala Thorpe (kanan) tanggal 7 Maret – 27 Maret 2018
Nilai Td pada lapisan permukaan perairan khususnya lapisan tercampur umumnya sangat berkaitan erat dengan kecepatan angin yang bergerak di permukaan perairan. Analisis data memperlihatkan adanya peningkatan nilai Td seiring terjadinya siklon tropis, khususnya pada kedalaman hingga 50 m. Analisa selanjutnya akan difokuskan pada kedalaman 0-50 m yang dianggap mendapat pengaruh dari siklon tropis. Analisis data pra-siklon memperlihatkan bahwa tidak terdapatnya nilai Td dan Lt yang mengindikasikan tidak terjadinya pembalikan massa air (overturn) dan turbulensi. Ketika siklon tropis terjadi pada tanggal 17 Maret Argo float mencatat terdapat peningkatan nilai Td berkisar 6 m hingga 9.8 m dengan kedalaman maksimal mencapai 12-16 m dan setelahnya ditemukannya indikasi terjadinya pembalikan massa air dengan nilai Lt mencapai 6.4 m hingga kedalaman 16 m. Hal ini diduga karena siklon tropis Marcus yang akan melintasi daerah tersebut memiliki kecepatan angin yang besar dan terus mengalami peningkatan intesitas. Peningkatan kecepatan angin pada lapisan permukaan membuat nilai Td dan Lt menjadi semakin besar sehingga dapat menyebabkan pembalikan massa air di kedalaman 0-50 m.
Pasca siklon (27 Maret) tetap tercatat massa air tetap mengalami pergerakan massa air pada kedalaman 28-40 m dengan kisaran nilai Td hingga 6.4 m dan nilai Lt hingga 6.03 m pada kedalaman 24-40 m. Nilai Lt yang ditemukan menunjukan bahwa pasca siklon massa air terus mengalami pembalikan, hal ini diduga karena pasca siklon ada massa air dengan densitas tinggi yang berada pada lapisan permukaan yang terlihat pada nilai N2 (Gambar 2). Massa air yang memiliki nilai densitas tinggi yang berada pada lapisan permukaan menyebabkan massa air di lapisan permukaan khususnya lapisan tercampur menjadi tidak stabil dan mengakibatkan nilai Td dan Lt menjadi besar sehingga menyebabkan pembalikan (overturn).
-
3.3 Estimasi Disipasi energi (ε) dan Difusivitas vertikal (W
Perhitungan Thorpe Displacement (Td) yang dilakukan akan digunakan untuk melakukan perhitungan skala Thrope (Lt). Skala Thrope (Lt) digunakan untuk melihat percampuran vertikal turbulen, dimana skala Thorpe dapat memberikan informasi menggenai pembalikan massa air yang terjadi pada kolom perairan melalui mekanisme
kuantifikasi percampuran massa air. Analisis Thorpe memiliki keterbatasan dalam menganalisi nilai percampuran, dimana nilai disipasi energi kinetik yang menjadi indikator percampuran hanya dapat tercatat hingga O (10-11 W/Kg) (Naulita 2016).
Nilai disipasi energi kinetik (ε) atau epsilon dapat memberikan informasi dan gambaran lapisan massa air yang aktif mengalami turbulen, lapisan aktif tubulen tersebut ditandai dengan terjadinya disipasi energi atau pecahnya energi menjadi bentuk energi yang lebih kecil. Proses ini akan mengakibatkan adanya proses perpindahan energi dari satu media ke media lainnya, semakin tinggi nilai disipasi energi mengindikasikan proses percampuran pada suatu struktur massa air.
Perhitungan percampuran pada analisis kali ini dilakukan setiap kedalaman 2 m yang menyesuaikan akuransi instrumen. Selain itu, analisa juga difokuskan pada kedalaman 0-50 m karena kedalaman ini yang dianggap dipengaruhi oleh siklon tropis yang melintas diatas perairan.
Gambar 4. Rentang nilai epsilon dan kz pada kedalaman 0-150 m. pra-siklon (7 Maret), saat siklon (17 Maret), dan pasca siklon (27 Maret) Thorpe (kanan) tanggal 7 Maret – 27 Maret 2018
Analisis memperlihatkan nilai ε dan Kp pada kedalaman 0-150 m pada rentang waktu 7 Maret – 27 Maret 2018 di wilayah kajian terus mengalami peningkatan pada lapisan permukaan hingga bertambahnya kedalaman yang dapat dilihat pada Gambar 4. Nilai ε memiliki rentang nilai 6.86x10-8 – 1.93x10-4 W/Kg dan nilai Kp berada di rentang nilai 1.0x10-3 – 2.51x10-1 m2 s-1 pada kedalaman hingga 150 m. Nilai energi kinetik tertinggi tercatat pada
pasca siklon terjadi yakni 27 Maret dengan nilai berbeda pada berbagai kedalaman. Pada kedalaman 4-8 m tercatat nilai disipasi energi 6.86 x 10-8 W/Kg, pada kedalaman 26-42 m tercatat nilai disipasi energi 1 x 10-5 W/Kg dan pada kedalaman 140-150 m tercatat nilai disipasi energi 1.94 x 10-4 W/Kg. Nilai difusivitas vertikal juga menunjukkan hal serupa, pada kedalaman 4-8 m tercatat nilai disipasi energi 1.01 x 10-3 W/Kg, pada kedalaman 26-42 m tercatat nilai disipasi energi 3.52 x 10-2 W/Kg dan pada kedalaman 140-150 m tercatat nilai disipasi energi 2.51 x 10-1 W/Kg. Hal ini menunjukkan bahwa kedalaman tersebut mengalami pemecahan atau disipasi energi yang paling tinggi yang berperan penting dalam proses percampuran.
Analisis data memperlihatkan adanya peningkatan nilai ε dan Kp seiring terjadinya siklon tropis, khususnya pada kedalaman hingga 50 m. Hal ini berkaitan dengan nilai Td dan Lt yang mengindikasi adanya turbulen yang selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai ε dan Kp, sehingga analisa selanjutnya juga akan difokuskan pada kedalaman 0-50 m yang dianggap mendapat pengaruh dari siklon tropis. Analisis data pra-siklon menunjukan tidak terdapatnya nilai ε dan Kp yang mengindikasikan tidak terjadinya turbulensi. Ketika siklon tropis terjadi pada tanggal 17 Maret tercatat nilai ε berkisar 8.37x10-7 W/Kg dengan kedalaman maksimal mencapai 12-16 m dan nilai Kp mencapai 1.66x10-2 m2 s-1 hingga kedalaman 16 m yang mengindikasikan terjadinya turbulensi. Hal ini menunjukkan bahwa saat siklon, pada kedalaman tersebut mengalami pemecahan atau disipasi energi yang paling tinggi yang berperan penting dalam proses percampuran atau turbulen. Tingginya nilai disipasi energi kinetik turbulen pada lapisan permukaan ini diduga karena siklon tropis mengakibatkan terjadinya turbulensi yang menyebabkan penguatan percampuran vertikal massa air pada kedalaman diatas 50 m.
Pasca siklon (27 Maret) tercatat pada kedalaman 24-40 m nilai ε berkisar 1x10-5 W/Kg dan nilai Kp mencapai 3.52x10-2 m2 s-1. Nilai ε dan nilai Kp yang tercatat pada kedalaman 24-40 m yang mengindikasikan masih terjadinya turbulensi yang mengakibatkan percampuran vertikal, hal ini disebabkan oleh massa air dengan densitas tinggi yang berada pada lapisan permukaan setelah siklon tropis dan adanya transfer energi yang diduga mengakibatkan terjadinya modifikasi massa air sehingga proses tersebut menginduksi terjadinya
turbulensi. Menurut Gregg (1987) percampuran secara difusi berkaitan dengan disipasi energi yang mengindikasikan adanya kesetimbangan antara proses transfer energi dan terjadinya modifikasi massa air.
Peningkatan difusivitas, disipasi energi kinetik, dan turbulen pada lapisan permukaan sangat berkaitan erat dengan gesekan angin permukaan, sehingga siklon tropis yang terjadi pada permukaan perairan akan memberikan efek yang kuat berupa energi untuk proses turbulensi di lapisan permukaan terutama lapisan tercampur. Hal ini diperkuat oleh Cyriac et al. (2019), Atmadipoera dan Widyastuti (2014), Risko dkk. (2017), Prihatini dkk. (2016), yang menyatakan bahwa peningkatan difusivitas berkaitan erat dengan gesekan angin permukaan. Pada penelitian ini secara umum menunjukan bahwa pasca siklon turbulensi yang terjadi lebih besar dari pada saat siklon, hal ini diduga karena Argo Float tidak berada pada waktu yang tepat ketika siklon berada pada intensitas tinggi dan interval data yang kurang halus. Interval data yang kurang halus menyebabkan gambaran dampak siklon tropis yang menyebabkan turbulensi menjadi sangat kasar dan kurang mendetail.
Hasil penelitian menunjukan adanya pertukaran massa air antara lapisan bawah dan lapisan diatasnya memberikan implikasi dimungkinkan adanya pengayaan nutrien di lapisan permukaan. Pengayaan ini dapat memicu pertumbuhan fitoplankton yang dapat dijadikan sebagai indikator daerah tangkapan sementara atau temporer, sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penangkapan oleh nelayan. Yu et al. (2013), pada penelitiannya mengenai peningkatan kelimpahan ikan selama dua siklon di laut cina selatan, menunjukan adanya peningkatan jumlah tangkapan ikan pasca siklon karena adanya pengayaan nutrien karena proses upwelling yang disebabkan oleh siklon.
Percampuran turbulen yang disebabkan oleh siklon tropis sangat kuat di lapisan permukaan. Percampuran turbulen tidak ditemukan sebelum siklon dan meningkat saat siklon terjadi. Peningkatan percampuran turbulen tercatat kedalaman 50 m yang memiliki nilai disipasi energi dengan rentang 6.86x10-8 – 1.93x10-4 W/Kg dan nilai percampuran turbulen dengan rentang 1.0x10-3 –
2.51x10-1 m2 s-1. Penelitian ini menyimpulkan bahwa percampuran turbulen di lapisan permukaan disebabkan oleh siklon tropis yang menjadi faktor utama memicu peningkatan disipasi energi kinetik dan turbulen di lokasi penelitian.
Ucapan terimakasih
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data Argo float diperoleh dari Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO) Australia.
Daftar Pustaka
Atmadipoera, A. S., & Widyastuti, P. (2014). A numerical modeling study on upwelling mechanism in southern Makassar Strait. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 6(2), 355-371.
Baranowski, D. B., Flatau, P. J., & Malinowski, S. P. (2011). Tropical cyclone turbulent mixing as observed by autonomous oceanic profilers with the high repetition rate. In Journal of Physics: Conference Series Vol. 318, No.
-
7, p. 072001. Warsaw, Poland, 12-15 September 2011 (pp. 1-5).
Chacko, N., & Zimik, L. (2018). Effect of cyclone Thane in the Bay of Bengal explored using moored buoy observations and multi-platform satellite data. Journal of the indian Society of Remote Sensing, 46(5), 821-828.
Cyriac, A., Phillips, H., Bindoff, N., & Feng, M. (2019). Variability of turbulent mixing in the eastern south Indian Ocean. Geophysical Research Abstracts, 21, 1-1.
Dillon, T. M. (1982). Vertical overturns: A comparison of Thorpe and Ozmidov length scales. Journal of Geophysical Research: Oceans, 87(C12), 9601-9613.
Efendi, U., Fadlan, A., & Hidayat, A. M. (2018).
Chlorophyll-A variability in the southern coast of Java Island, Indian Ocean: corresponding to the tropical cyclone of Ernie. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science Vol. 162, No. 1, p. 012035. Denpasar, Indonesia, 3-5 August 2017 (pp. 1-11).
Emanuel, K. (2001). Contribution of tropical cyclones to meridional heat transport by the oceans. Journal of Geophysical Research: Atmospheres, 106(D14), 14771
14781.
Gregg, M. C. (1987). Diapycnal mixing in the thermocline: A review. Journal of Geophysical Research: Oceans, 92(C5), 5249-5286.
Haryani, N. S., & Zubaidah, A. (2012). Dinamika Siklon Tropis di Asia Tenggara Menggunakan Data Penginderaan Jauh. Majalah Ilmiah Widya, 29(324), 5458.
Knutson, T. R., Mcbride, J. L., Chan, J., Emanuel, K., Holland, G., Landsea, C., Held, I., Kossin, J. P.,
Srivastava, A. K., & Sugi, M. (2010). Tropical cyclones and climate change. Nature geoscience, 3, 157–163
Meirinawati, H., & Iskandar, M. R. (2019). Karakteristik Fisika dan Kimia Perairan di Laut Jawa–Ambang Dewakang. OLDI (Oseanologi dan Limnologi di Indonesia), 4(1), 41-52.
Naulita, Y. (2016). Proses percampuran turbulen di kanal labani, selat makassar. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 8(1), 345-355.
Prihatini, D., Purba, M., Naulita, Y., & Purwandana, A. (2016). Vertical turbulent at thermocline layer in Makassar Strait. International Journal of Marine Science, 6(51), 1-10.
Purwandana, A., Purba, M., & Atmadipoera, A. S. (2014). Distribusi Percampuran Turbulen di Perairan Selat Alor. ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences, 19(1), 43-54.
Risko, Atmadipoera, A. S., Jaya, I., & Sudjono, E. H. (2017). Analysis of turbulent mixing in Dewakang Sill, Southern Makassar Strait. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science Vol. 54, No. 1, p. 012086. Bogor, Indonesia, 25-26 Oktober 2016 (pp. 1-10).
Suteja, Y., Purba, M., & Atmadipoera, A. S. (2015).
Percampuran turbulen di Selat Ombai. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 7(1), 71-82.
Syaifullah, M. D. (2015). Siklon tropis, karasteristik dan pengaruhnya di wilayah Indonesia pada tahun 2012. Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, 16(2), 61-71.
Thorpe, S. A. (2007). An introduction to ocean turbulence. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Yu, J., Tang, D., Li, Y., Huang, Z., & Chen, G. (2013). Increase in fish abundance during two typhoons in the South China Sea. Advances in Space Research, 51(9), 1734-1749.
© 2020 by the authors; licensee Udayana University, Indonesia. This article is an open access article distributed under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution license (http://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).
J. Mar. Aquat. Sci. 6: 293-300 (2020)
Discussion and feedback